bab ii kerangka teoritis 2.1. film -...

31
BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film Film merupakan media massa yang tidak terbatas pada ruang lingkupnya. Hal ini dipengaruhi unsur cita rasa dan unsur visualisasi yang saling berkesinambungan. Menurut Alex Sobur dalam bukunya semiotika komunikasi, film merupakan salah satu media yang berpotensi untuk mempengaruhi khalayaknya karena kemampuan dan kekuatannya menjangkau banyak segmen sosial. Dalam hubungannya, film dan masyarakat dipahami secara linear. Maksudnya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasar muatan pesan dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari masyarakat di mana film itu dibuat (Sobur, 2003:127). Menurut Oey Hong Lee dalam Sobur (2006), kemajuan film mencapai puncaknya diantara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun kemudian merosot tajam setelah tahun 1945, bersamaan dengan munculnya medium televisi. Namun seiring dengan kebangkitan film serta kesadaran akan kekuatan dan kemampuan film yang menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat para ahli beranggapan bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi

Upload: haduong

Post on 05-Feb-2018

224 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

BAB II

KERANGKA TEORITIS

2.1. Film

Film merupakan media massa yang tidak terbatas pada ruang lingkupnya.

Hal ini dipengaruhi unsur cita rasa dan unsur visualisasi yang saling

berkesinambungan. Menurut Alex Sobur dalam bukunya semiotika komunikasi,

film merupakan salah satu media yang berpotensi untuk mempengaruhi

khalayaknya karena kemampuan dan kekuatannya menjangkau banyak segmen

sosial. Dalam hubungannya, film dan masyarakat dipahami secara linear.

Maksudnya, film selalu mempengaruhi dan membentuk masyarakat berdasar

muatan pesan dibaliknya, tanpa pernah berlaku sebaliknya. Kritik yang muncul

terhadap perspektif ini didasarkan atas argumen bahwa film adalah potret dari

masyarakat di mana film itu dibuat (Sobur, 2003:127).

Menurut Oey Hong Lee dalam Sobur (2006), kemajuan film mencapai

puncaknya diantara Perang Dunia I dan Perang Dunia II, namun kemudian

merosot tajam setelah tahun 1945, bersamaan dengan munculnya medium

televisi. Namun seiring dengan kebangkitan film serta kesadaran akan kekuatan

dan kemampuan film yang menjangkau banyak segmen sosial, lantas membuat

para ahli beranggapan bahwa film memiliki potensi untuk mempengaruhi

Page 2: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

khalayaknya. Maka sejak itu merebaklah berbagai penelitian yang hendak

melihat dampak film terhadap masyarakat(Sobur, 2006).

Unsur-unsur ideologi dan propaganda yang terselubung dan tersirat dalam

film timbul dari keinginan untuk merefleksikan kondisi masyarakat atau

mungkin bersumber dari keinginan untuk memanipulasi. Pentingnya

pemanfaatan film dalam pendidikan film sebagian didasari oleh pertimbangan

bahwa film memiliki kemampuan mengantar pesan secara unik. Singkatnya,

“terlepas dari dominasi penggunaan film sebagai alat hiburan dalam sejarah film,

tampaknya ada semacam aneka pengaruh yang menyatu dan mendorong

kecenderungan sejarah film menuju ke penerapannya yang bersifat didaktif-

propagandis, atau dengan kata lain bersifat manipulatif” (Mc Quail, 1987:14).

Film merupakan alat bagi sutradara untuk menyampaikan sebuah pesan

bagi para pemirsanya. Film pada umumnya juga mengangkat sebuah tema atau

fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Karakteristik film sebagai

show business merupakan bentuk baru dari perkembangan pasar. (Mc Quail,

1987). Awalnya film masih berjenis dokumenter yang hanya menunjukkan

kehidupan sehari-hari yang umum, namun dalam perkembangannya film

didukung dengan kemajuan teknologi dan selalu menerima tuntutan dari

masyarakat sehingga film dibuat lebih bervariasi. Dengan teknik perfilman yang

sangat berkembang, baik peralatan maupun pengaturan, film telah berhasil

menampilkan gambar-gambar yang semakin mendekati kenyataan. Dalam

Page 3: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

suasana gedung bioskop, penonton menyaksikan suatu cerita yang seolah-olah

benar-benar terjadi dihadapannya.

2.2. Film Sebagai Bentuk Komunikasi Massa

Pool dalam Wiryanto (2003:3) mendefinisikan komunikasi massa sebagai

“Komunikasi yang berlangsung dalam situasi interposed ketika antara sumber

dan penerima tidak terjadi kontak secara langsung, pesan-pesan komunikasi

mengalir kepada penerima melalui saluran-saluran media massa, seperti surat

kabar, majalah, radio, film atau televisi”

Dalam komunikasi, film merupakan salah satu tatanan komunikassi yang

juga termasuk dalam komunikasi massa. Menurut Effendy (1993:91) komunikasi

massa adalah komunikasi melalui media massa modern yang meliputi surat

kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan televisi yang

ditunjukan untuk umum, dan film yang ditunjukan untuk gedung-gedung

bioskop. Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh, bukan saja untuk

hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Sebagai contoh dalam

ceramah-ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film

sebagai alat pembantu untuk memberikan penjelasan (Effendy 1993:209)

Komunikasi merupakan kata yang familiar bagi kita, komunikasi sendiri

mempunyai arti secara sederhana sebagai peristiwa penyampaian pesan dari

komunikator kepada komunikan. Film sebagai salah satu media penyampai

Page 4: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

pesan dalam ilmu komunikasi, juga berperan sebagai alat propaganda atas

sebuah tujuan, yang pada akhirnya disadari atau tidak akan membawa pengaruh

yang kuat terhadap pola pikir suatu masyarakat. Film sebagai media komunikasi

merupakan suatu kombinasi antara usaha penyampaian pesan melalui gambar

yang bergerak, pemanfaatan teknologi kamera, warna dan suara. Unsur-unsur

tersebut dilatarbelakangi oleh suatu pesan yang ingin disampaikan kepada

khalayak film (Susanto, 1982)

Sebagai salah satu betuk media massa, film dinilai paling berpengaruh

terhadap kejiwaan para penontonnya. Film yang baru muncul pada akhir abad

ke-19 lebih berperan sebagai penyebar hiburan. Kendatipun demikian, karena

film dipandang memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional, dan

popularitas yang lebih, pada perkembangannya film pun dimanfaatkan sebagai

alat propaganda. Fenomena film sebagai alat propaganda, meskipun pada

sebagian kasus terjadi secara kebetulan, mampu menyebabkan terjadinya krisis

sosial di beberapa negara (Mc.Quail, 1987:13).

2.3. Fungsi Film

Fungsi film secara garis besar yaitu ada 3 yang disebut dengan trifungsi

film, yaitu fungsi mendidik, fungsi hiburan, fungsi penerangan (Effendy 1993).

Menurut Ron Moam ada 3 fungsi film yaitu fungsi artistik, fungsi industrial, dan

fungsi komunikatif. Sebagai seni(art) sebuah film mempunyai fungsi narasi

Page 5: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

(narative structures) karena ia menghadirkan suatu rangkaian peristiwa yang

saling berkaitan secara kausal yang mengkonstruksi sebuah kisah. Yang lainnya

adalah non narasi (non narrative) yang mengorganisasikan materinya untuk

fungsi yang bersifat informasional, retoris atau murni estetika. Sebagai industri,

film adalah sesuatu yang merupakan bagian dari produksi ekonomi suatu

masyarakat dan ia mesti dipandang dalam hubungannya dengan produk-produk

lainnya.

Sebagai komunikasi, film merupakan bagian penting dari sistem yang

digunakan oleh para individu dan kelompok untuk mengirim dan menerima

pesan (send and receive message). Saat ini pertimbangan ketiga fungsi itu amat

menonjol dalam proses penciptaan sebuah karya sinematografi. Ketiga fungsi itu

(artistik, industrial, dan komunikatif) ini saling berhubungan dan tertanam dalam

konteks budaya, ekonomi, dan teknologi dalam arti yang seluas-luasnya

(Ibrahim, 2007:171).

2.4. Perempuan Sebagai Tanda

Karya Griselda Pollock, “What’s Wrong with Images of Women?”

menunjuk tidak memadainya fokus terhadap “citra” dan stereotip media.

Gagasan bahwa “citra perempuan” selalu mencerminkan makna yang bersumber

dari tempat lain (yakni keinginan produsen media atau struktur sosial),

menyiratkan suatu penyejajaran dua unsur yang dapat dipisahkan atau suatu

Page 6: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

entitas nyata, yakni perempuan, dipertentangkan dengan pandangan laki-laki

yang keliru dan terdistorsi atas perempuan. Kesalahpahaman yang umum terjadi

adalah ketika melihat berbagai citra perempuan sebagai suatu cerminan yang

baik atau buruk, dan membandingkan “citra” yang buruk mengenai perempuan

(ditampilkan dalam foto-foto majalah yang mengkilap, iklan fashion, dsb)

dengan “citra yang baik mengenai perempuan (foto-foto “realis”, tentang

perempuan yang bekerja, ibu-ibu rumah tangga, perempuan tua, dll.). Konsepsi

ini ditentang dan digantikan oleh pengertian perempuan sebagai sebuah tanda

dalam suatu wacana ideologis (Pollock, 1997:26).

Pada dasarnya, perempuan merupakan suatu pesan yang dikomunikasikan

dalam budaya patriarki. Perempuan “dituliskan” melalui pembentukan stereotip

dan mitos bahwa ia adalah suatu tanda yang dipertukarkan; begitulah akhirnya

perempuan berfungsi dalam bentuk-bentuk budaya dominan. Karena itu, dalam

bidang seni dan juga dalam teks film, representasi perempuan terutama bukanlah

suatu tema atau persoalan sosiologis, seperti sering dipikirkan, melainkan sebuah

tanda yang sedang dikomunikasikan (Johnston, 1975:124).

2.5. Ketidakadilan Gender

Gender adalah istilah yang merujuk pada seperangkat karakteristik yang di

pandang manusia sebagai hal-hal yang membedakan antara laki-laki dan wanita,

dari hal-hal biologis seperti jenis kelamin, sampai peran sosial dan identitas

Page 7: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

gender. Gender adalah suatu komponen dari sistem gender/jenis kelamin yang

merujuk pada seperangkat aturan dimana masyarakat mentransformasikan

seksualitas biologis ke dalam produk aktivitas manusia, dan dimana transformasi

kebutuhan (akan produk aktivitas manusia) ini dapat dipuaskan. Hampir semua

masyarakat mempunyai sistem gender, meskipun komponen dan bekerjanya

sistem gender ini bervariasi dari satu masyarakat ke masyarakat lain.

Pengertian Ketidakadilan Gender adalah berbagai tindak keadilan atau

diskriminasi yang bersumber pada keyakinan gender. diskriminasi berarti setiap

pembedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin,

yang mempunyai tujuan mengurangi atau menghapus pengakuan, penikmatan

atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebasan pokok di bidang

politik, ekonomi, dll oleh perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka,

atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.1

Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana baik kaum

laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut (Fakih,1996:12).

Ketidakadilan gender dapat dilihat melalui berbagai manifestasi dalam berbagai

bentuk ketidakadilan, yakni: Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi,

subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan

stereotip atau pelabelan negatif, kekerasan, serta sosialisasi ideologi nilai peran

1 http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/15/gender-463085.html diunduh 22 Desember 2012 jam

12.33 WIB

Page 8: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

gender. Manifestasi gender ini tidak dapat dipisah-pisah karena saling berkaitan

dan berhubungan, saling mempengaruhi secara dialektis (Fakih, 1996:12-13).

2.6. Representasi

Menurut Marcel Danesi dalam bukunya pesan, tanda, dan makna yang

mengatakan bahwa kapasitas otak untuk memproduksi dan memahami tanda

disebut semiosis, sementara aktivitas membentuk ilmu-pengetahuan yang

dimungkinkan kapasitas otak untuk dilakukan oleh semua manusia disebut

Representasi. Representasi dapat didefinisikan lebih jelasnya sebagai

penggunaan tanda (gambar, bunyi, dan lain-lain) untuk menghubungkan,

menggambarkan, memotret, atau memproduksi sesuatu yang dilihat, diindera,

dibayangkan, atau dirasakan dalam bentuk fisik tertentu. Dengan kata lain,

proses menaruh X dan Y secara bersamaan itu sendiri. Menentukan makna X =

Y bukanlah pekerjaan yang mudah. Maksud dari pembuat bentuk, konteks

sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

sebagainya, merupakan faktor kompleks yang masuk dalam sebuah lukisan.

Sebenarnya, salah satu dari pelbagai tujuan utama semiotika adalah untuk

mempelajari faktor-faktor tersebut. Charles pierce menyebut bentuk fisik aktual

dari representasi X, sebagai representamen (secara literal berarti “yang

merepresentasikan”); pierce mengistilahkan Y yang dirujuknya sebagai objek

representasi; dan menyebut makna atau makna-makna yang dapat diektraksi dari

Page 9: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

representasi (X=Y) sebagai interpretan. Keseluruhan proses menentukan makna

representamen, tentu saja, disebut interpretasi.

Sebagai contoh untuk hal-hal yang ditimbulkan representasi, perhatikan

seks, sebagai sebuah objek. Seks adalah sesuatu yang hadir di dunia sebagai

fenomenon biologis dan emosional. Sekarang, sebagai objek, seks dapat

direpresentasikan (secara literal “presentasikan kembali”) dalam bentuk fisik

tertentu. Misal dalam budaya kita, representasi umum seks meliputi: (1) foto dua

orang yang sedang berciuman secara romantis; (2) puisi yang menggambarkan

pelbagai aspek emosional seks atau; (3) film erotis yang menggambarkan aspek

seks yang lebih fisik. (Danesi, 2004: 25)

Repsentasi adalah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan

melalui sistem penandaan yang tersedia : dialog, tulisan, video, film,

fotografi,dst. Secara ringkas, representasi adalah produksi makna melalui bahasa.

Lewat bahasa (simbol-simbol dan tanda tertulis, lisan, atau gambar) tersebut

itulah seseorang yang dapat mengungkapkan pikiran, konsep, dan ide-ide.

(Juliastuti, 2000: 1).

Istilah representasi itu sendiri menunjuk pada bagaimana seseorang, satu

kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam produk media.

Pertama, apakah seseorang atau kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan

sebagaimana mestinya. Kata „semestinya‟ ini mengacu pada apakah seseorang

Page 10: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

atau kelompok itu diberitakan apa adanya atau diburukkan. Penggambaran yang

tampil bisa jadi adalah penggambaran yang buruk dan cenderung memarjinalkan

seseorang atau kelompok tertentu. Kedua, bagaimanakah representasi itu

ditampilkan, hal tersebut bisa diketahui melalui penggunaan kata, kalimat,

aksentuasi (Eriyanto, 2001:113).

Menurut Stuart Hall, representasi adalah proses sosial dari representing.

Representasi menunjuk baik pada proses maupun produk pemaknaan suatu

tanda. Representasi juga bisa merupakan proses perubahan konsep-konsep

ideologi yang abstrakdalam bentuk konkret. Representasi adalah konsep yang

digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang

tersedia yaitu, dialog, tulisan, video, film, fotografi. Representasi adalah

produksi makna melalui bahasa (Hall, 1997). Isi atau makna dari sebuah film

dapat dikatakan merepresentasikan suatu realita yang terjadi karena menurut

Fiske representasi itu merujuk pada proses yang dengannya realitas disampaikan

dalam komunikasi, via kata-kata, bunyi dan kombinasinya (Fiske, 2004 : 282)

2.7. Representasi Perempuan dalam Media

Perempuan di media massa menyangkut tiga hal, yaitu gambaran atau

representasi wajah perempuan yang tidak menyenangkan, keterlibatan

perempuan dalam sturktur organisasi media yang belum berimbang

dibandingkan dengan laki-laki, dan isi pemberitaan yang tidak sensitif dengan

Page 11: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

persoalan-persoalan perempuan. Untuk itu, diperlukan jurnalisme yang berpihak

pada perempuan, yang dikenal dengan jurnalisme berperspektif gender.

Berbicara soal perempuan dan media massa, pada dasarnya kita berbicara

tentang tiga hal. Pertama adalah representasi perempuan dalam media massa,

baik media cetak, media elektronik, maupun berbagai bentuk multi media.

Sejauh ini media massa masih menjadikan perempuan sebagai obyek, baik di

dalam pemberitaan, iklan komersial maupun program acara hiburannya seperti

sinetron. Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan

perempuan sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban

kriminalitas karena sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya

kriminalitas, atau sebagai obyek seksual. Sementara perempuan dalam iklan

tampil lebih sering sebagai potongan-potongan tubuh yang dikomersialisasi

karena keindahan tubuhnya atau kecantikan wajahnya.

Wajah perempuan dalam program acara hiburan seperti sinetron juga

menyudutkan perempuan. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali

sangat stereotipe. Perempuan digambarkan tak berdaya, lemah, membutuhkan

perlindungan, korban kekerasan dalam rumah tangga, kompe-tensinya pada

wilayah domestik saja. Atau, justru perempuan yang galak, tidak masuk akal,

Page 12: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

“murahan” dan bahkan pelacur, bukan perem-puan baik-baik, pemboros, dan

sebagainya 2.

Realitas media di Indonesia menunjukkan adanya bias gender dalam

representasi perempuan dalam media, baik media cetak maupun elektronik.

Berbagai bentuk ketidakadilan gender seperti marjinalisasi, subordinasi,

stereotipe atau label negatif, beban kerja, kekerasan dan sosialisasi keyakinan

gender terlihat. Mengutip Rhenald Kasali, bagi profesional pemasaran,

perempuan merupakan potensi pemasaran yang luar biasa. Sebagai target

market, perempuan telah “menciptakan” begitu banyak produk baru

dibandingkan laki-laki 3.

Hetty Siregar dalam bukunya Komunikasi, Media dan Gender mengatakan

media massa cenderung memojokkan posisi perempuan dengan memperlakukan

perempuan dengan simbol-simbol jari, tangan, dan kaki yang menggambarkan

pengabdian dan seks. Perempuan dipajang di tempat tidur di bawah kekuasaan

laki-laki. Di samping itu masih di dalam media, perempuan secara tradisional

digambarkan sebagai dekorasi atau model untuk memikat laki-laki. Segala media

menempatkan perempuan menjadi obyek, menstereotipkan perempuan sebagai

2 http://www.esaunggul.ac.id/article/jurnalisme-berperspektif-gender/ diunduh pada tanggal 29

Desember 2012 jam 17.23 WIB. Perempuan di dalam Media Massa.

3 http://erhanana.wordpress.com/2008/03/20/representasi-perempuan-dalam-media/ diunduh pada

tanggal 29 Desember 2012 jam 17.55 WIB. Representasi Perempuan Dalam Media.

Page 13: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

bawahan laki-laki dan terbatasnya hak perempuan karena dibatasi oleh

pemenuhan hak laki-laki, seolah-olah perempuan termarginalkan. Pada

kenyataannya bahwa media massa, film, surat kabar, majalah, buku, semuanya

cenderung memperlihatkan gambaran stereotip kaum perempuan yang

merugikan perempuan. Bahwa perempuan itu pasif, didominasi, tidak dapat

mengambil keputusan dan hanya menerima keputusan dari laki-laki. Sebagai

simbol seks dan secara sadar menjadikan perempuan sebagai warga negara kelas

dua.(Siregar, 2001).

2.8. Semiotika

Pengertian semiotika secara terminologis adalah ilmu yang mempelajari

sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai

tanda. Menurut Eco, semiotik sebagai “ilmu tanda” (sign) dan segala yang

berhubungan dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain,

pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya.

Semiotika secara epistimologis menurut Roland Barthes adalah : Istilah

semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti “tanda”. Tanda disini

didefinisikan sebagai sesuatu atas dasar konvensial sosial yang terbangun

sebelumnya, dapat dianggap mewakili sesuatu yang lain. Sedangkan secara

terminologis dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas

obyek-obyek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Dimana

Page 14: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

aliran konotasi pada waktu menelaah sistem tanda tidak berpegang pada makna

primer, tetapi melalui makna konotasi.

Menurut Ferdinand de Saussure, semiotika adalah ilmu yang mangkaji

tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial. Prinsipnya, semiotika menyandarkan

diri pada aturan main atau kode sosial yang berlaku di dalam masyarakat,

sehingga tanda dapat dipahami maknanya secara kolektif.

Menurut John Fiske (2004) dalam bukunya “Cultural and communication

studies” terdapat tiga bidang studi utama dalam semiotika, yakni :

1. Tanda itu sendiri. Hal ini terdiri atas studi tentang berbagai tanda yang

berbeda itu dalam menyampaikan makna, dan cara tanda-tanda itu terkait

dengan manusia yang menggunakannya. Tanda adalah konstruksi manusia

dan hanya bisa dipahami dalam artian yang menggunakannya.

2. Kode atau sistem yang mengorganisasikan tanda. Studi ini mencakup cara

berbagai kode dikembangkan guna memenuhi kebutuhan suatu

masyarakat atau budaya atau untuk mengeksploitasi saluran komunikasi

yang tersedia untuk mentransmisikannya.

3. Kebudayaan tempat kode dan tanda bekerja. Ini pada gilirannya

bergantung pada penggunaan kode-kode dan tanda-tanda itu untuk

keberadaan dan bentuknya sendiri.

Page 15: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

Dalam kajian semiotika, terdapat dua pendekatan yang memiliki

penekanan yang berbeda. Pendekatan semiotika signifikasi Saussure

mengemukakan prinsip yang mengatakan bahwa bahasa itu adalah suatu sistem

tanda, dan setiap tanda itu tersusun dari dua bagian, yakni signifier (penanda)

dan signified (petanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda

(signifier) dan sebuah ide atau petanda (signified). (Sobur, 2006).

Sedangkan pendekatan kedua mengenai semiotika komunikasi yang

diungkapkan oleh Pierce pada intinya mendefinisikan semiotika sebagai suatu

hubungan antara sebuah tanda, objek, dan makna. Semiotik Pierce ini terdiri atas

tiga elemen yang saling berhubungan, yaitu tanda (sign), objek (object),

interpretan (interpretan).(Littlejohn, 1996)

Semiotika juga merupakan proses untuk menginterpretasi kode dan pesan

yang direpresentasikan oleh media agar penonton dapat memahami makna yang

tersimpan dalam sebuah teks. Teks menurut Roland Barthes memiliki arti yang

luas. Teks tidak hanya berkaitan dengan aspek linguistik saja. Semiotik dapat

meneliti teks dimana tanda-tanda terkodifikasi dalam sebuah sistem. Dengan

demikian semiotik dapat meneliti bermacam-macam teks seperti berita, film,

iklan, fashion, fiksi, puisi, dan drama.

Film merupakan salah satu bidang terapan semiotika. Film dibangun

dengan banyak tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang

Page 16: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

bekerjasama baik dalam rangka mencapai efek yang diharapkan. Konstruksi

film, terdiri atas aspek-aspek “realitas” seperti individu, tempat, objek, peristiwa,

identitas kultural dan konsep abstrak lainnya.

Representasi ini dapat dituangkan dalam bentuk speech, writing, atau

bahkan moving images yakni film.yang paling penting dalam film adalah gambar

dan suara, yakni kata yang diucapkan (ditambah dengan suara-suara lain yang

serentak mengiringi gambar-gambar) dan musik film (Zoest, 1996).

Selain gambar, musik film juga merupakan tanda ikonis, namun musik

lebih memiliki cara yang jauh lebih misteerius. Musik yang semakin keras,

dengan cara tertentu “mirip” ancaman yang mendekati kita (ikonitas metaforis).

Namun perlu dibedakan antara suara yang langsung mengiringi gambar (kata-

kata yang diucapkan, derit pintu, dan sebagainya) dengan musik yang

mengiringinya. Suara secara semiotika berfungsi tidak terlalu berbeda dengan

gambar-gambarnya. “suara , sama dengan gambar, merupakan unsur dalam cerita

film yang dituturkan dan dapat disebutkan, dikategorisasikan dan dianalisis

dengan cara yang juga sebanding” (Zoest, 1996, :110).

2.9. Semiotika ROLAND BARTHES

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada

cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat

menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang

Page 17: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda

situasinya.

Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan

interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,

interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan

diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of

signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan

konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di

sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap

mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure.

Barthes mendefinisikan mitos dengan merujuk kepada teori tingkatan

kedua sistem tanda. Mitos ditemukan pada tingkatan kedua tanda atau pada level

konotasi. Barthes membuat perbedaan antara denotasi dan konotasi. Denotasi

digambarkan sebagai makna harafiah, sedangkan konotasi adalah makna

parasitis dimana tanda historis berubah menjadi tanda atau “mitos” yang

dinaturalkan. Terdapat kemungkinan untuk membaca tingkatan penandaan, baik

yang muncul dipermukaan maupun yang ada dibalik tanda.

Nilai semiotika dapat dipakai untuk menunjukkan kemampuan suatu mitos

„ditukarkan‟ dengan suatu ide (ideologi) dan „dibandingkan‟ dengan mitos-mitos

lain. Suatu mitos dapat dipakai karena dia punya nilai. Kita bisa

Page 18: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

membandingkannya dengan berbagai mitos (serupa atau berlawanan) yang ada

dalam masyarakat. Dia mempunyai nilai karena dia dapat ditukarkan dengan

ideologi tertentu.

Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang

disebutnya sebagai „mitos‟ dan berfungsi untuk mengungkapkan dan

memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu

periode tertentu. Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda,

petanda, dan tanda. Namun sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh

suatu rantai pemaknaan yang telah ada sebelumnya atau dengan kata lain, mitos

adalah juga suatu sistem pemaknaan tataran kedua. Didalam mitos pula sebuah

petanda dapat memiliki beberapa penanda.

Pada signifikasi tahap kedua, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos

adalah cerita yang digunakan suatu kebudayaan untuk menjelaskan atau

memahami beberapa aspek dari realitas atau alam. Menurut Barthes, mitos

merupakan cara berpikir dari suatu kebudayaan tentang sesuatu, cara untuk

mengkonseptualisasikan atau memahami sesuatu. Dengan mitos kita dapat

menemukan ideologi dalam teks dengan jalan meneliti konotasi-konotasi yang

terdapat di dalam mitos itu sendiri (Sobur, 2006).

Mitos dari Roland Barthes mempunyai makna berbeda dengan mitos

dalam arti umum ( mitos takhayul ). Mios dari Roland Barthes memaparkan

Page 19: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

fakta. Bagi Roland Barthes mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep

parole yang di perluas oleh Roland Barthes dapat berbentuk Verbal ( lisan atau

tulisan ) atau Non Verbal: n‟importe quelle matiere peut etre dotee arbitrairement

de signification ( materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer ). Mitos

merupakan perkembangan dari konotasi, konotasi yang menetap pada suatu

komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan

mayoritas yang member konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga

lama kelamaan menjadi mitos (makna yang membudaya). Roland Barthes

membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (demontage semiologique).

Tanda denotatif terdiri atas penanda dan petanda. Akan tetapi pada saat

bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif. Jadi dalam kosep

Roland Barthes tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun

juga menggandung kedua bagian tanda denotative yang melandasi

keberadaannya. Pada dasarnya ada perbedaan antara konotasi dan denotasi dalam

pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang di pahami oleh Roland

Barthes. Di dalam semiologi roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi

merupakan sigifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat

kedua. Dalam hal ini denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna.

Sebagai reaksi untuk melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini,

Roland Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya yang ada

Page 20: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

hanyalah konotasi. Roland Barthes lebih lanjut mengatakan bahwa makna

“harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah.

Bagan 2.1. Order of signification Roland Barthes

(Sumber: McQuaill,2000)

Dalam Film Sang Penari ini, alasan penulis untuk lebih memilih

menggunakan teori semitotika Roland Barthes daripada teori semiotik-semiotik

yang lain karena pada teori semiotika Roland Barthes ini, terhadap dengan

pemaknaan dua tahap denotasi konotasi yang digunakan oleh Roland Barthes

dalam teori semiotiknya, Roland Barthes menelusuri makna dengan pendekatan

budaya Barthes memberikan makna pada sebuah tanda berdasarkan kebudayaan

yang melatarbelakangi munculnya makna tersebut. Selain itu Roland Barthes

menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural

penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang

dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan

konotasi

denotasi

signifier

signified

mitos

Page 21: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

“order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus)

dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).

Di sinilah titik perbedaan Semiotik Roland Barthes dengan ahli-ahli semiotik

yang lain. Selain itu Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu

“mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak

pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-

signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki

petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang

memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka

makna denotasi tersebut akan menjadi mitos, dalam tataran mitos dapat diungkap

sesuai dengan keunggulan semiotik Roland Barthes yang terkenal dengan elemen

mitosnya. Selain itu di dalam semiotik Roland Barthes, makna konotasi identik

dengan operasi ideology, yang di sebutnya sebagai “mitos” dan berpungsi untuk

mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang

berlaku dalam suatu periode tertentu.

2.10. Film Dimaknai Secara Konotasi dan Denotasi

Pada tataran permukaan, yang nampak pada film hanyalah penggalan

penggalan gambar yang diambil dari objek yang direkam untuk kemudian

dipertontonkan kepada orang lain. Namun, tak sekedar itu, kini dikembangkan

adanya rekayasa film untuk merekam kenyataan menjadi suatu kesatuan yang

menggambarkan realitasnya tersendiri. Banyaknya gambar yang terekam

Page 22: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

dengan cepat dirasakan menemukan maknanya sendiri sehingga tak heran

kemudian film bisa dipilah-pilah sesuai dengan runtutan gambar yang nampak

di mata penonton. Secara denotasi, film dipahami sebagaimana adanya, dan

penikmat film tidak perlu berusaha banyak untuk lebih mengenali dan

memahami secara mendalam. Inilah yang menjadi kekuatan sebuah film sebab

lebih bisa memberikan sesuatu yang mirip dengan kenyataan serta

mengkomunikasikan sesuatu dengan teliti yang jarang dilakukan oleh bahasa

tulisan maupun lisan.

Sistem bahasa mungkin lebih berkemampuan untuk mengemukakan dunia

ide secara imaginatif, tapi sistem bahasa tidak begitu sanggup untuk

menyampaikan informasi terperinci tentang realita-realita fisik. Secara konotasi,

film laksana meteor yang membutuhkan interpretasi lebih dalam untuk

mendapatkan gambaran akan makna. Lebih lanjut, film menghadirkan kode-

kode yang makna tandanya bersifat implisit, yaitu sistem kode yang tandanya

bermuatan makna-makna tersembunyi. Kekuatan makna bukan terletak pada

apa yang dilihat tapi justru apa yang tidak dilihat, sehingga aspek konotasi

dalam film menjadi aspek esensial.

Kehadiran sebuah imaji dalam film tidak sekedar karena bacaan visual

dalam pola optikal menurut alur tertentu, namun pengalaman mental yang

merupakan stock of knowledge yang menyediakan kerangka referensi dan

rujukan bagi individu dalam kesatuan tindakannya. Makna tersembunyi ini

Page 23: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

adalah makna yang menurut Barthes merupakan kawasan ideologi atau

mitologi. Berbicara tentang ideologi sebagai sebuah fenomena bahasa, ideologi

bisa muncul sebagai suatu yang tidak disadari namun menggiring manusia pada

satu titik baik sepakat ataupun tidak sepakat. Althusser dalam Rakhmani

(2006:31) mengatakan bahwa ideologi berfungsi untuk mereproduksi

hubungan-hubungan produksi, hubungan di antara kelas-kelas dan hubungan

manusia dengan dunianya, sebab ideologi merupakan praktek yang didalamnya

individu-individu dibentuk dengan pembentukan ini sekaligus menentukan

orientasi sosial agar dapat bertindak dalam struktur ini melalui berbagai cara

yang selaras dengan ideologi.

Dan menurut James Monaco, kritikus film dan ahli komunikasi massa AS,

dalam bukunya How to Read a Film menyatakan, latar belakang sosial budaya

justru mempengaruhi bagaimana seseorang menganalisis sebuah film

Page 24: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

Bagan 2.2

Sumber : James Monaco, How To Read a Film (terjemahan).

IMAJI

POLA OPTIKAL PENGALAMAN MENTAL

ISYARAT

PEMBACAAN PENANDA PETANDA PENGALAMAN

KEBUDAYAAN

DENOTASI KONOTASI

Pertama, berbicara tentang konotasi, sebuah konotasi senantiasa berkaitan dengan

pengalaman seorang individu yang tentunya sangat diwarnai oleh lokus kebudayaan

tersebut, sebab kebudayaan menyediakan preferensi nilai. Sebuah konotasi berkaitan

dengan sesuatu yang sifatnya subjektif. Dalam skala yang lebih luas, sebuah film bisa

mengundang segudang interpretasi subjektif yang bertarung dalam sebuah ruang

diskursif tertentu. Makna yang digiring oleh pekerja film tidak mengarah pada satu

titik kontroversi namun dihasilkan lewat proses natural.

Interpretasi melahirkan penghakiman yang naïf dan tidak memiliki

landasan kuat sehingga publik seakan digiring memasuki ruang abu-abu yang

sarat dengan pertarungan interpretasi dan ini rentan pada kemunculan wacana

dominan yang memberi tafsir tunggal pada realitas. Kedua, karena sifatnya

Page 25: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

konotatif, bisa jadi para pekerja film tidak memiliki bacaan yang memadai pada

realitas sosial dan ketika itu ditunjang oleh ketiadaan visi yang jelas, maka

realitas yang hadir adalah simulasi atau realitas filmik yang tidak memiliki asal-

usul. Sebuah simulasi menampakkan bentuknya pada gagasan liar dan lepas

kendali dari realitas acuannya.

Simulasi akan menggiring manusia pada kondisi skizofrenia yang

mengaburkan realitas. Walhasil, film menjadi medium yang sangat ampuh

untuk menyuntikkan berbagai gaya hidup, perilaku serta orientasi sikap kepada

penontonnya baik disengaja maupun tidak disengaja. Ketiga, semua

kemungkinan ini akan termentahkan ketika pekerja film memiliki sebuah

gagasan itu, lalu memaksa mereka untuk berkreasi dan menyalurkan dalam

bentuk yang kaya misalnya bahasa gambar yang kaya serta teks dan wicara

yang setara bahasa puitik.

2.11. Pengambilan Gambar pada Film

Dalam kegiatan produksi video/ film, terdapat banyak jenis kamera yang

digunakan. Pembagian jenis kamera video/ film dibedakan atas media yang

digunakan untuk menyimpan data (gambar & suara) yang telah diambil. Seperti

halnya pada fotografi, gambar yang telah diambil disimpan pada gulungan film.

Adapun jenis film yang digunakan adalah film positif (slide), dimana untuk

melihat isinya harus dicuci terlebih dulu di laboratorium film dan diproyeksikan

Page 26: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

dengan menggunakan proyektor khusus. Selain itu juga banyak terdapat

fasilitas–fasilitas tambahan yang berbeda antara kamera satu dengan kamera

lainnya. Fasilitas itu antara lain lampu infra merah untuk pengambilan gambar

pada tempat yang gelap, edit teks langsung dari kamera, efek-efek video lain,

slow motion dan masih banyak lagi.

Pengambilan gambar terhadap suatu objek dapat dilakukan dengan lima cara:

Tabel 2.1 Pengambilan gambar pada objeknya

Bird Eye View

Teknik pengambilan gambar yang dilakukan dengan

ketinggian kamera berada di atas ketinggian objek.

Hasilnya akan terlihat lingkungan yang luas dan benda-

benda lain tampak kecil dan berserakan.

High Angle

Sudut pengambilan dari atas objek sehingga

mengesankan objek jadi terlihat kecil. Teknik ini

memiliki kesan dramatis yaitu nilai “kerdil”.

Low Angle

Sudut pengambilan dari arah bawah objek sehingga

mengesankan objek jadi terlihat besar. Teknik ini

memiliki kesan dramatis yaitu nilai agung/ prominance,

berwibawa, kuat, dominan.

Eye Level

Sudut pengambilan gambar sejajar dengan objek.

Hasilnya memperlihatkan tangkapan pandangan mata

Page 27: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

seseorang. Teknik ini tidak memiliki kesan dramatis

melainkan kesan wajar.

Frog Eye

Sudut pengambilan gambar dengan ketinggian kamera

sejajar dengan alas/dasar kedudukan objek atau lebih

rendah. Hasilnya akan tampak seolah-olah mata

penonton mewakili mata katak.

Ukuran gambar secara bahsa visual biasanya dikaitkan dengan tujuan

pengambilan gambar, tingkat emosi, situasi dan kodisi objek. Terdapat

bermacam-macam istilah antara lain:

- Extreme Close Up (ECU/XCU) : pengambilan gambar yang terlihat sangat

detail seperti hidung pemain atau bibir atau ujung tumit dari sepatu.

- Big Close Up (BCU) : pengambilan gambar dari sebatas kepala hingga

dagu.

- Close Up (CU) : gambar diambil dari jarak dekat, hanya sebagian dari

objek yang terlihat seperti hanya mukanya saja atau sepasang kaki yang

bersepatu baru

- Medium Close Up : (MCU) hampir sama dengan MS, jika objeknya orang

dan diambil dari dada keatas.

- Medium Shot (MS) : pengambilan dari jarak sedang, jika objeknya orang

maka yang terlihat hanya separuh badannya saja (dari perut/pinggang

keatas).

Page 28: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

- Knee Shot (KS) : pengambilan gambar objek dari kepala hingga lutut.

- Full Shot (FS) : pengambilan gambar objek secara penuh dari kepala

sampai kaki.

- Long Shot (LS) : pengambilan secara keseluruhan. Gambar diambil dari

jarak jauh, seluruh objek terkena hingga latar belakang objek.

- Medium Long Shot (MLS) : gambar diambil dari jarak yang wajar,

sehingga jika misalnya terdapat 3 objek maka seluruhnya akan terlihat.

Bila objeknya satu orang maka tampak dari kepala sampai lutut.

- Extreme Long Shot (XLS): gambar diambil dari jarak sangat jauh, yang

ditonjolkan bukan objek lagi tetapi latar belakangnya. Dengan demikian

dapat diketahui posisi objek tersebut terhadap lingkungannya.

- One Shot (1S) : Pengambilan gambar satu objek.

- Two Shot (2S) : pengambilan gambar dua orang.

- Three Shot (3S) : pengambilan gambar tiga orang.

- Group Shot (GS): pengambilan gambar sekelompok orang.

Gerakan kamera akan menghasilkan gambar yang berbeda. Oleh karenanya

maka dibedakan dengan istilah-istilah sebagai berikut:

- Zoom In/ Zoom Out : kamera bergerak menjauh dan mendekati objek

dengan menggunakan tombol zooming yang ada di kamera.

- Panning : gerakan kamera menoleh ke kiri dan ke kanan dari atas tripod.

- Tilting : gerakan kamera ke atas dan ke bawah. Tilt Up jika kamera

mendongak dan tilt down jika kamera mengangguk.

Page 29: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

- Dolly : kedudukan kamera di tripod dan di atas landasan rodanya. Dolly In

jika bergerak maju dan Dolly Out jika bergerak menjauh.

- Follow : gerakan kamera mengikuti objek yang bergerak.

- Crane shot : gerakan kamera yang dipasang di atas roda crane.

- Fading : pergantian gambar secara perlahan. Fade in jika gambar muncul

dan fade out jika gambar menghilang serta cross fade jika gambar 1 dan 2

saling menggantikan secara bersamaan.

- Framing : objek berada dalam framing Shot. Frame In jika memasuki

bingkai dan frame out jika keluar bingkai.

2.12. Kerangka Pikir

Komunikasi, dalam sekian banyak bentuknya, memiliki peran dan

fungsi yang cukup besar dalam kehidupan manusia. Setiap manusia memiliki

potensi untuk berkomunikasi satu sama. Salah satu konteks komunikasi ini

antara lain adalah komunikasi massa. Definisi paling sederhana dari

komunikasi massa diungkapkan oleh Bittner (dalam Rahmat, 2005: 186)

”Komunikasi massa adalah pesan yang dikomunikasikan melalui media massa

pada sejumlah besar orang.

Dalam berkomunikasi, film merupakan salah satu tatanan komunikassi

yang juga termasuk dalam komunikasi massa. Menurut Effendy (1993:91)

komunikasi massa adalah komunikasi melalui media massa modern yang

Page 30: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

meliputi surat kabar yang mempunyai sirkulasi yang luas, siaran radio dan

televisi yang ditunjukan untuk umum, dan film yang ditunjukan untuk gedung-

gedung bioskop.

Film adalah medium komunikasi massa yang ampuh, bukan saja untuk

hiburan, tetapi juga untuk penerangan dan pendidikan. Dalam ceramah-

ceramah penerangan atau pendidikan kini banyak digunakan film sebagai alat

pembantu untuk memberikan penjelasan (Effendy 1993:209).

Salah satu film yang memberikan ruang bagi kaum perempuan adalah film

Sang Penari. Dimana perempuan selalu menjadi objek dalam segala pekerjaan,

seperti saat menari tari ronggeng di kampung dukuh paruk, namun perempuan

juga dijadikan sebagai objek kekerasan bahkan perempuan di jadikan juga

sebagai pemuas nafsu para lelaki yang mempunyai banyak harta, dengan di

buktikan saat melakukan ritual untuk menjadi penari ronggeng sesuai dengan

adat yang berlaku di desa tersebut.

Inti dari semiotika Roland Barthes adalah mencari sesuatu yang

tersembuyi di dalam teks yang disajikan. Dari teks yang ada di dalam film

“Sang Penari” terlihat mulai dari judul film, bahwa film tersebut bercerita

mengenai penari atau yang berhubungan dengan dunia seni. Akan tetapi di

balik film tersebut tersimpan makna yang lebih dalam, yaitu mengenai

gambaran perempuan yang tidak hanya dilihat dari sisi jenis kelamin (yaitu

Page 31: BAB II KERANGKA TEORITIS 2.1. Film - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/3841/3/T1... · sejarah dan sosial saat representasi dibuat, tujuan pembuatannya, dan

perempuan) tapi gambaran yang secara tersembunyi disajikan seperti gambaran

mengenai perempuan sebagai pekerja seni, gambaran perempuan yang

dijadikan sebagai pelacur, perempuan sebagai ibu rumah tangga dan gambaran

perempuan sebagai pihak yang tertindas.

Dari beberapa alasan diatas maka peneliti merasa bahwa teori analisis

semiotika Roland Barthes dianggap sebagai teori yang paling pas untuk

mencari gambaran yang tersembunyi di dalan film tersebut. Peneliti berharap

dapat menggambarkan peran-peran apa saja yang dilakukan oleh perempuan

sehingga kesalahpahaman yang umum terjadi adalah melihat berbagai citra

mengenai perempuan yang digambarkan dalam film sang penari.

Setelah mengetahui bagaimana peran perempuan yang digambarkan dalam

film sang penari, kemudian peneliti akan menganalisa “Representasi perempuan

yang digambarkan dalam film sang penari. ” berdasarkan peran perempuan

yang dari berbagai aspek atau sudut pandang.