bab ii kerangka teori, hasil penelitian, dan analisis...undang-undang hukum acara pidana menentukan:...
TRANSCRIPT
9
BAB II
KERANGKA TEORI, HASIL PENELITIAN, DAN ANALISIS
A. KERANGKA TEORI
1. Penuntutan
a. Pengertian Penuntutan Secara Umum
Penuntutan merupakan proses pemeriksaan atas suatu pidana, yakni
melanjutkan dan menyelesaikan tahap pemeriksaan penyidikan ke tingkat
proses pemeriksaan pada sidang pengadilan oleh Hakim, guna
mengambil putusan atas perkara tindak pidana yang bersangkutan.1
Menurut Pasal 1 butir 7 KUHAP, yang dimaksud penuntutan adalah
tindakan Penuntut Umum untuk melimpahkan perkara pidana ke
Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang
diatur dalam Undang-Undang ini disertai permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.
Berkaitan dengan wewenang penuntutan diatas, maka dalam hukum
acara pidana di Indonesia dikenal dua asas penuntutan yaitu:2
1) Asas Legalitas
Penuntut umum diwajibkan menuntut semua orang yang
dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan
pelanggaran hukum.
2) Asas Oportunitas
1 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 38. 2 Djoko prakoso, Penyidik, penuntut umum, Hakim, Dalam proses hukum acara pidana, Bina
aksara, Jakarta, 1987, hlm. 230.
10
Penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun
yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang
dapat dihukum.
Sehubungan dengan dikenalnya kedua asas dalam bidang
penuntutan yaitu asas legalitas dan asas Oportunitas, dalam
prakteknya asas yang sering dipergunakan adalah asas oportunitas.
Dengan prinsip Oportunitas, Jaksa sebagai penuntut umum
mempunyai kekuasaan yang amat penting, yaitu untuk
menyampingkan suatu perkara pidana yang sudah jelas dilakukan
seseorang mengingat tujuan prinsip ini yaitu kepentingan umum.
Maka Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaan
menyampingkan perkara pidana ini. Dengan demikian kriteria demi
kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas ini ialah demi
kepentingan negara dan demi kepentingan umum, bukan kepentingan
pribadi, dan yang berwenang menerapkan asas ini adalah Jaksa Agung
sebagai Penuntut Umum tertinggi.
b. Jaksa dan Jaksa Penuntut Umum
Berdasarkan Buku Lima Windu Sejarah Kejaksaan RI 1945 sampai
1985 yang diterbitkan Kejaksaan Agung RI, bahwasannya kata “Jaksa”
berasal dari bahasa sansekerta “adhyaksa”.3 Keberadaan institusi
Kejaksaan Republik Indonesia itu sendiri saat ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan).
Menurut ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan
3 Prof. Dr. Andi Sofyan, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Rangkang Education,
Yogyakarta, 2013, hlm. 97.
11
bahwa Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan
lain berdasarkan Undang-Undang.
Sedangkan orang yang melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu
disebut Jaksa. Telah dicantumkan pada Pasal 1 ayat (1) UU Kejaksaan
yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh
undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang”.
Kejaksaan hadir sebagai sistem pengendali proses dalam berperkara
(Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam menegakkan
hukum. Karena hanya institusi Kejaksaan yang menentukan apakah suatu
kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti
yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Selain sebagai Dominus Litis,
Kejaksaan juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan
pidana (executive ambrenaar).
Dengan Undang-Undang Kejaksaan yang memperkuat kedudukan
serta peran Kejaksaan RI sebagai lembaga negara pemerintah yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam
melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini
bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas
profesionalnya.
12
Adapun tugas dan wewenang Kejaksaan yang dicantumkan dalam
Pasal 30 Undang-Undang RI No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI,
yaitu:
1) Dibidang pidana kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:
Melakukan penuntutan, melaksanakan penetapan Hakim dan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan
pidana bersyarat, putusan pidana pengawasan dan keputusan
lepas bersyarat, melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana
tertentu berdasarkan Undang-Undang, melengkapi berkas
perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan
tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam
pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.
2) Di bidang perdata dan tata usaha negara, kejaksan dengan kuasa
khusus dapat bertindak baik di dalam maupun diluar pengadilan
untuk dan atas nama negara atau pemerintah.
3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, kejaksaan
turut menyelenggarakan kegiatan: peningkatan kesadaran
hukum masyarakat, pengamanan kebijakan penegakan hukum,
pengawasan peredaran barang cetakan, pengawasan kepercayaan
yang dapat membahayakan masyarakat dan negara, pencegahan
penyalahgunaan dan/atau penodaan agama, penelitian dan
pengembangan hukum serta statik kriminal.
13
Dalam KUHAP Pasal 1 butir 6a, Jaksa adalah pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang bertindak sebagai Penuntut Umum serta
melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap. Kemudian dalam Pasal 1 butir 6a jo. Pasal 13 KUHAP,
Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
Hakim.
Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991, Jaksa
adalah jabatan dengan menambahkan kata jabatan fungsional. Maka
Jaksa yang melaksanakan tugas penuntutan atau penyidangan perkara
berdasar surat perintah yang sah itu disebut Penuntut Umum. Apabila
tugas penuntutan selesai dilaksanakan, maka yang bersangkutan
jabatannya adalah Jaksa. Untuk menjadi Penuntut Umum maka yang
bersangkutan harus berstatus Jaksa.
c. Tugas dan Wewenang Jaksa Penuntut Umum
Kewenangan Penuntut Umum secara normatif dirumuskan oleh
KUHAP mealui Pasal 14, yaitu:
1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dan
Penyidik atau Penyidik Pembantu;
2) Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari Penyidik;
14
3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh Penyidik;
4) Membuat surat dakwaan;
5) Melimpahkan perkara ke pengadilan;
6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi,
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
7) Melakukan penuntutan;
8) Menutup perkara demi kepentingan hukum;
9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai Penuntut Umum menurut ketentuan undang-
undang ini;
10) Melaksanakan menetapan Hakim.
Adapun yang dimaksud dengan “tindakan lain” yang disebutkan
diatas yaitu meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan
memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara Penyidik,
Penuntut Umum menurut perkara tindak pidana yang terjadi dalam
daerah hukumnya menurut ketentuan Pasal 15 Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tugas dan wewenang seorang Jaksa di
bidang pidana adalah sebagai berikut: melakukan penuntutan dalam
perkara pidana, melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan,
15
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat,
melengkapi berkas perkara tertentu.
Untuk itu, Jaksa dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum
dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaanya di koordinasikan
dengan penyidik.
d. Proses Penuntutan Pidana Umum
Sesuai dengan Peraturan Jaksa Agung No: PER- 036/A/JA/09/2011
Tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) Penanganan Perkara
Tindak Pidana Umum, sebelum dilakukannya penuntutan terlebih dahulu
dilakukannya prapenuntutan. Adapun pengertian prapenuntutan menurut
penjelasan Pasl 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang No 16 Tahun 2004
Tentang Kejaksaan, Prapenuntutan adalah tindakan Jaksa untuk
memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pemberitahuan
dimulainya penyidikan dari penyidik, petunjuk guna dilengkapi oleh
penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas tersebut dapat
dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan. Prapenuntutan meliputi
penerimaan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP),
penunjukan Penuntut Umum guna mengikuti perkembangan kasus,
koordinasi penanganan perkara, penelitian berkas perkara.
Setelah semua berkas perkara dari penyidik dinyatakan lengkap
memenuhi persyaratan formil dan materiil maka dilakukanlah
penuntutan, mengacu pada pasal 13 sampai dengan Pasal 33 Peraturan
Jaksa Agung No: PER- 036/A/JA/09/2011 Tentang Standar Operasional
Prosedur (SOP) Penanganan Perkara Tindak Pidana Umum. Secara
16
singkat dilakukannya penuntutan dengan menunjuk Penuntut Umum
untuk melakukan penunutan, penerimaan tersangka dan barang bukti,
melakukan penahanan dan segala bentuk penahanannya, pemeriksaan
tambahan, menyusun Surat Dakwaan. Dalam perkara tindak pidana
Narkotika Surat Dakwaan mengacu pada Surat Edaran Jaksa Agung
(SEJA) nomor B-182/E.3/EP/3/2003 perihal Surat Dakwaan Perkara
Narkotika.
Setelah Penuntut Umum telah selesai membuat Surat Dakwaan
kemudian Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
disertai dengan surat dakwaan dan surat pelimpahan perkara yang isinya
permintaan agar perkara tersebut segera diadili diatur pada Pasal 143 ayat
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Pasal 143 Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana menentukan:
a) Penuntut Umum melimpahkan perkara ke pengadilan negeri
dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai
dengar surat dakwaan.
b) Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang diberi tanggal
dan ditandatangani serta berisi: 1) Nama lengkap, tempat lahir,
umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal,
agama dan pekerjaan tersangka. 2) Uraian secara cermat, jelas dan
lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan
menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
c) Surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) huruf b batal demi hukum.
17
d) Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan
disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat
hukumnya dan penyidik pada saat yang bersamaan dengan
penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan
negeri.
Dalam melakukan pelimpahan perkara, Penuntut Umum
bertanggung jawab secara penuh terhadap seluruh proses persidangan
mulai dari membacakan dakwaan, tanggapan eksepsi, pembuktian, surat
tuntutan, replik, pengajuan upaya hukum dan tindakan lain yang
diperlukan dalam penyelesaian penanganan perkara.
2. Pembuktian
Pembuktian adalah mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan
kebenaran adalah suatu peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap
kebenaran peristiwa tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian
adalah dalam rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP yang
menetapkan tahapan dalam mencari kebenaran sejati yaitu melalui
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan, serta pelaksanaan,
pengamatan, dan pengawasan Sehingga acara pembuktian hanyalah
merupakan salah satu fase atau prosedur dalam pelaksanaan hukum acara
pidana secara keseluruhan. Yang sebagaimana diatur didalam KUHAP.4
Dikarena hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara
pidana, maka sumber hukum yang utama adalah Undang-undang No.8 tahun
1981 tentang hukum acara pidana atau KUHAP. Lembaran Negara Republik
4 Andi Sofyan, ibid, hlm. 242
18
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan penjelasannya yang dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 32095. Pokok utama
dari hukum acara pidana terletak pada acara pembuktian. Maka dari itu suatu
pembuktian harus benar-benar dikuasai oleh semua sistem peradilan mulai
dari hakim, penuntut umum dan penasihat hukum. Demikian juga bagi
penyidik supaya dapat memprediksi seorang tersangka yang kemungkinan
dapat dibuktikan melakukan tindak pidana didalam sidang pengadilan.6
Sistem pembuktian yang dianut KUHAP ialah sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negative. Sistem pembuktian negative
diperkuat oleh prinsip kebebasan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan sistem
pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen untuk
menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa, yaitu:
a. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut undang-undang;
b. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan dengan
alatalat bukti yang sah menurut undang-undang7.
Minimal alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP adalah
sekurang-kurangnya ada dua, kemudian adapun alat bukti yang sah
sebagaimana diatur didalam pasal 184 ayat (1) Undang Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, yakni sebagai berikut:
1) Keterangan saksi
5 Drs. Hari Sasangka, S.H., M.H, Lily Rosita, S.H., M.H., Hukum Pembuktian Dalam Perkara
Pidana, Mandar Maju, Surabaya, 2003, hlm. 10. 6 Romli Atmasasmita, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Mandar Maju, Bandung,
1995, hlm. 106. 7 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang
Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm. 279.
19
saksi yang ia mendengar, ia mengalami, atau ia melihat dengan
mata kepala sendiri, dan bukan saksi, yang ia mendengar atau
memperoleh keterangan dari orang lain. Saksi terakhir ini disebut
sebagai testimonium d’auditu.
2) Keterangan ahli
Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan diatur
dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP.
3) Surat
Aspek fundamental “surat” sebagai alat bukti diatur pada Pasal 184
Ayat (1) huruf c KUHAP. Kemudian secara substansial tentang bukti
“surat” ini ditentukan oleh Pasal 187 KUHAP yang berbunyi: “surat
sebagaimana tersebut pada Pasal 184 Ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:
a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat
dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian
atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya
sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya itu;
b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
20
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan;
c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu
keadaan yang diminta secara resmi daripadanya;
d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Surat di bawah
tangan masih mempunyai nilai jika ada hubungannya dengan
isi dari alat pembuktian yang lain 8.
4) Petunjuk
Pasal 188 Ayat (1) KUHAP memberi definisi petunjuk adalah
sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan
tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.
5) Keterangan terdakwa
Pernyataan yang terdakwa nyatakan di sidang pengadilan tentang
perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri,
diatur dalam Pasal 189 ayat 1 KUHAP.
Kelima alat bukti tersebut memiliki kekuatan pembuktian yang sama
dalam persidangan acara pidana. tidak ada pembedaan antar masingmasing
alat bukti satu sama lain. Urutan sebagaimana yang diatur didalam pasal
tersebut hanyalah urutan sebagaimana dalam pemeriksaan persidangan.
8 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. hlm. 253.
21
3. Rehabilitasi
a. Pengertian Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah pemulihan kepada kedudukan (keadaan, nama
yang baik) yang dahulu (semula), atau rehabilitasi juga dapat diartikan
sebagai perbaikan anggota tubuh yang cacat dan sebagainya atas individu
(misalnya pasien rumah sakit, korban bencana) supaya menjadi manusia
yang berguna dan memiliki tempat di masyarakat. Selain itu, pengertian
rehabilitasi lainnya adalah restorasi (perbaikan, pemulihan) pada
normalitas, atau pemulihan menuju status yang paling memuaskan
terhadap individu yang pernah menderita penyakit netral.9 Definisi lain
mengenai rehabilitasi, yaitu upaya pemulihan kesehatan jiwa dan raga
kepada pemakai narkoba yang sudah menjalani program
kuratif.tujuannya agar ia tidak memakai lagi dan bebas dari penyakit
ikutan yang disebabkan oleh bekas pemakaian narkoba.10
Jadi dari semua definisi rehabilitasi, maka dapat diartikan secara
umum makna rehabilitasi adalah pemulihan-pemulihan kembali,
rehabilitasi mengembalikan sesuatu kepada keadaan semula yang tadinya
dalam keadaan baik, tetapi karena sesuatu hal kemudian menjadi tidak
berfungsi atau rusak.
Terdapat 2 (dua) jenis rehabilitasi dalam Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Tindakan rehabilitasi ini merupakan penanggulangan yang bersifat
represif yaitu, penanggulangan yang dilakukan setelah terjadinya tindak
9 J.P. Caplin, Kamus Lengkap Psikologi, PT Raja Grasindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 425.
10 Dr. Subagyo Partodiharjo, Kenali Narkoba dan Musuhi Penyalahgunannya, Erlangga, Jakarta,
2010, hlm. 105.
22
pidana, dalam hal narkotika yang berupa pembinaan atau pengobatan
terhadap para pengguna narkotika. Dengan upaya-upaya pembinaan atau
pengobatan tersebut nantinya diharapkan korban penyalahgunaan
narkotika kembali normal dan berperilaku baik dalam bermasyarakat.
b. Dasar Hukum Rehabilitasi
Bukan hanya Undang-undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika
saja tetapi ada juga beberapa peraturan lainnya yang mengatur mengenai
rehabilitasi seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4
Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahguna, Korban Penyalahgunaan
Narkotika kedalam Lembaga Medis dan Sosial, kemudian Pemerintah
juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2011
tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika untuk mendapatkan
layanan terapi dan rehabilitasi.
Kemudian Menteri Kesehatan juga mengeluarkan Keputusan
Menteri Kesehatan (kepmenkes) Nomor HK.02.02/MENKES/502/2015
yang menunjuk 434 instansi penerima wajib lapor (PWL) di 33 provinsi,
beserta aturan yang memperkuat aturan ini, seperti Peraturan Bersama
ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Ham
Republik Indinesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jaksa Agung
Republik Indonesia, Kepala kepolisian republik Indonesia, kepala Badan
Narkotika Nasional Republik Indonesia Nomor. 01/ PB / MA/III/2014
Nomor 03 Tahun 2014, Nomor PER-005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahun
2014, Nomor PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu
23
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika kedalam Lembaga
Rehabilitasi.
Mengenai prosedur tetap (protap) dalam pelaksanaan rehabilitasi diatur
dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun
2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Rehabilitasi Medis bagi
Pecandu, Penyalahguna, dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang
sedang dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan atau telah
mendapatkan penetapan/putusan pengadilan.
Kesungguhan Pemerintah dalam hal merehabilitasi pecandu dan
korban penyahgunaan narkotika tidak dapat dikatakan main-main, begitu
banyaknya peraturan-peraturan yang dikeluarkan dari semua elemen
membuat rehabilitasi. Walaupun banyaknya peraturan-peraturan yang
ada tersebut, masih belum bisa menjamin lancarnya tujuan yang
diinginkan tanpa adanya pengawasan dan pengimplementasian yang
maksimal maka tujuan dibuat tersebut tidak dapat terlaksana, dengan
terbukti banyak kasus diluar sana yang tidak memberikan rahabilitasi
medis sebagai prioritas sebagaimana yang telah diatur.
c. Rehabilitasi Medis
Pengertian rehabilitasi medis di dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2009 tentang Narkotika, mempunyai arti suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari
ketergantungan Narkotika.11
11
Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika.
24
Rehabilitasi medis pecandu narkotika dilakukan di rumah sakit yang
ditunjuk oleh Menteri. Selain itu lembaga rehabilitasi tertentu yang
diselenggarakan oleh instansi pemerintah seperti Lapas Narkotika dan
Pemerintah Daerah dapat melakukan rehabilitasi medis terhadap
penyalahguna narkotika setelah mendapat persetujuan menteri. Dengan
demikian untuk rehabilitasi medis bagi pecandu narkotika pengguna
jarum suntik dapat diberikan serangkaian terapi untuk mencegah
penularan antara lain penularan HIV/AIDS melalui jarum suntik dengan
pengawasan ketat Kementerian Kesehatan.
Demikian pula bagi masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis
pecandu narkotika setelah mendapat persetujuan dari menteri. Selain
melalui pengobatan dan/atau rehabilitasi medis, penyembuhan pecandu
narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau
masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Adapun proses pemberian rehabilitasi medis seperti menurut Surat
Edaran Jaksa Agung (SEJA) NO. B-601/E/EJP/02/2013 tentang
Penempatan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke
Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Dalam poin 2.1
Penuntut Umum dapat menempatkan tersangka/terdakwa pecandu
Narkotika dan korban penyalahguna Narkotika di Panti Rehabilitasi
medis dan/atau sosial, di luar rumah tahanan negara dengan syarat
tersangka/terdakwa adalah pecandu dan korban penyalahgunaan
Narkotika yang dibuktikan dari hasil asesmen dokter bahwa yang
25
bersangkutan pecandu Narkotika baik klasifikasi: coba pakai, teratur
pakai, pecandu suntik, dan pecandu bukan suntik.
Selain itu dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 03
Tahun 2011 dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04
Tahun 2010 juga telah mengatur tentang petunjuk teknis penaganan
pecandu Narkotika dan Korban penyalahgunaan narkotika yang
direhabilitasi. Pedoman teknis penanganan terhadap pecandu narkotika
dan korban penyalahgunaan narkotika yang tanpa hak dan melawan
hukum yang telah ditetapkan sebagai tersangka untuk dapat menjalani
rehabilitasi. Pecandu narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
yang tanpa hak dan melawan hukum sebagai tersangka dan/atau terdakwa
dalam Peyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses
penyidikan, penuntutan, dan persidangan di pengadilan diberikan
pengobatan, perawatan, dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.
Penentuan rekomendasi rehabilitasi ini berdasarkan hasil rekomendasi
Tim asesmen Terpadu.
Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menteri Hukum dan
HAM, Menteri Kesehatan, Menteri Sosial, Jaksa Agung, Kepala
Kepolisian RI, dan Kepala BNN menyepakati peraturan bersama
mengenai Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi. Mengatur Pacandu Narkotika
dan Korban Penyalahgunaan Narkotika sebagai tersangka dan/atau
terdakwa penyalahgunaan narkotika yang ditangkap dengan barang bukti
melebihi dari jumlah tertentu sebagaimana dan positif memakai narkotika
26
berdasarkan hasil tes urine, darah, rambut, atau DNA setelah dibuatkan
Berita Acara Pemeriksaan Hasil Laboratorium dan Berita Acara
Pemeriksaan oleh penyidik dan telah dinyatakan dengan hasil asesmen
dari Tim Asesmen Terpadu, tetap ditahan di Rumah Tahanan Negara atau
cabang Rumah Tahanan Negara dibawah naungan Kementerian Hukum
dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia serta dapat diberikan
pengobatan dan perawatan dalam rangka rehabilitasi.
d. Proses Pemberian tuntutan Rehabilitasi Medis
Pemberian tuntutan rehabilitasi medis diatur dalam SEJA NO. B-
601/E/EJP/02/2013 tentang Penempatan Pecandu dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan
Rehabilitasi Sosial pada poin 2.1. Penempatan Tersangka/Terdakwa
Pecandu Narkotika dan korban Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga
Rehabilitasi Media dan/atau Sosial, yang Perkaranya dalam Tahap
Penuntutan:
- Penuntut Umum dapat menempatkan tersangka/terdakwa pecandu
narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika di panti rehabilitasi
medis dan/atau sosial di luar Rumah Tahanan Negara, dengan syarat dan
ketentuan:
a. Tersangka/terdakwa adalah pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika, yang dibuktikan dari hasil asesmen dokter bahwa yang
bersangkutan pecandu narkotika baik klasifikasi coba pakai, teratur
pakai, pecandu suntik, maupun pecandu bukan suntik.
27
b. Ada penetapan Pengadilan Negeri. Bila masih pada tahap
penyidikan dimana penyidik telah mendapatkan persetujuan/penetapan
Pengadilan Negeri, maka penetapan tersebut yang dapat dipergunakan
untuk kelanjutan pada tahap penuntutan, sehingga penuntut umum tidak
perlu lagi meminta penetapan dari Pengadilan Negeri.
c. Tersangka/terdakwa pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika, yang ditempatkan di panti rehabilitasi medis dan/atau sosial
oleh penyidik, ketika proses perkaranya pada tahap penyidikan. Hal ini
dimaksudkan agar ada keterpaduan penegak hukum dan proses
perawatan medis/sosial di pantai rehabilitasi dapat berjalan secara efektif
dan berkesinambungan untuk penyembuhannya.
d. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor masih terbatasnya
fasilitas panti rehabilitasi medis/sosial, biaya, maupun pelaksanaan
peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan, maka penempatan
tersangka/terdakwa penyalahgunaan narkotika pada panti rehabilitasi
medis/sosial yang perkaranya dalam proses penuntutan oleh Penuntut
Umum, untuk sementara masih dibatasi pelaksanaannya, dan
diperkenankan bagi Kejaksaan Tinggi/Kejaksaan Negeri.
Adapun pada poin 2.2 terdapat syarat-syarat dan klasifikasi untuk
dilakukannnya rehabilitasi sebagai berikut:
a. Terdakwa pada saat ditangkap oleh penyidik dalam kondisi
tertangkap tangan.
28
b. Pada saat tertangkap tangan sesuai huraf a di atas, ditemukan
barang bukti pemakaian untuk 1 (satu) hari dengan perincian sebagai
berikut:
1) Kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram
2) Kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram = 8 butir
3) Kelompok heroin : 1,8 gram
4) Kelompok kokain : 1,8 gram
5) Kelompok ganja : 5 gram
6) Daun koka : 5 gram
7) Meskalin : 5 gram
8) Kelompok psilosybin : 3 gram
9) Kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram
10) Kelompok PCP (phencyclidine) : 3 gram
11) Kelompok fentanil : 1 gram
12) Kelompok metadon : 0,5 gram
13) Kelompok morfin : 1,8 gram
14) Kelompok petidin : 0,96 gram
15) Kelompok kodein : 72 gram
16) Kelompok bufrenorfin : 32 mg
29
c. Surat Uji Laboraturium berdasarkan permintaan penyidikan yang
menyatakan positif menggunakan narkotika.
d. Perlu Surat Keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah
yang ditunjuk oleh hakim.
e. Tidak terdapat bukti bahwa bersangkutan terlibat dalam
peredaran gelap narkotika.
f. Bekas residivis kasus narkotika.
- Untuk menuntut berupa lamanya proses rehabilitasi, maka
Penuntut Umum harus dengan sungguh-sungguh
mempertimbangkan kondisi/taraf kecanduan terdakwa, sehingga
dalam hal ini diperlukan adanya keterangan ahli. Dan sebagai
standar dalam proses terapi dan rehabilitasi adalah sebagai berikut:
a. Program Detoksifikasi dan Stabilisasi : lamanya 1 (satu) bulan
b. Program primer : lamanya 6 (enam) bulan
c. Program re-entry : lamanya 6 (enam) bulan
Syarat-syarat dan klasifikasi yang ditentukan tersebut pada huruf a
sampai dengan f diatas berlaku untuk penempatan tersangka/terdakwa
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika yang perkaranya dalam
tahap penuntutan, sebagaimana tersebut pada angka 2.1 maupun untuk
tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum, sebagaimana tersebut pada angka
2.2 di atas.
30
4. Tindak Pidana dan Tindak Pidana Narkotika
a. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana itu sendiri merupakan terjemahan dari kata
(strafbaar feit), didalam KUHP tidak terdapat penjelasan mengenai apa
sebenarnya yang dimaksud dengan (strafbaar feit) itu sendiri. Biasanya
tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin
yakni kata (delictum).12
Delik atau tindak pidana adalah perbuatan yang
dapat dihukum, merupakan perbuatan manusia yang bertentangan dengan
Undang-Undang yang dilakukan dengan sengaja (dengan niat, ada
kesalahan atau schuld) oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.13
Rumusan tindak pidana dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah
(criminal act). Dalam hal ini meskipun orang telah melakukan suatu
perbuatan yang dilarang di situ belum berarti bahwa ia mesti dipidana, ia
harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah ia lakukan
untuk menentukan kesalahannya, yang dikenal dengan istilah (criminal
responbility).14
Diantara istilah-istilah itu, yang paling tepat dan baik
digunakan adalah istilah tindak pidana dengan pertimbangan selain
mengandung pengertian yang tepat dan jelas dengan istilah hukum juga
sangat praktis untuk diucapkan. Disamping itu di dalam peraturan
perundang-undangan Negara Indonesia pada umumnya menggunakan
istilah tindak pidana.15
12
Prof. Dr. Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers , Jakarta, 2014, hlm. 47. 13
Sri Harini Dwiyatmi, Pengantar Hukum Indonesia, Ghalia Indonesia , Bogor, 2006, hlm. 95. 14
Suharto RM, Hukum Pidana Materiil Unsur-Unsur Obyktif Sebagai Dasar Dakwaan, Sinar
Grafika, Jakarta, 1996. hlm. 28. 15
Bassar, S, Tindak-Tindak Pidana Tertentu didalam KUH”, CV Remadja Karya , Bandung ,
1986, hlm. 45.
31
Adapun arti lain dari beberapa ahli hukum tentang pengertian tindak
pidana antara lain tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang
berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar aturan tersebut.16
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tindak pidana adalah
segala suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pelaku
dapat dijatuhi hukuman pidana. Secara jelas bahwa yang tidak boleh
dilakukan adalah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan akibat
yang dilarang dan yang akan dijatuhi hukuman pidana adalah orang yang
melakukan perbuatan tersebut.
Untuk dapat menghukum seseorang serta memenuhi tuntutan
keadilan dan kemanusiaan, harus ada suatu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum dan yang dapat dipersalahkan kepada pelakunya.
Tambahan pada syarat-syarat ini adalah bahwa pelaku yang bersangkutan
harus merupakan seseorang yang dapat dimintai pertanggungjawaban
(toerekeningsvatbaar) atau (schuldfahig). Untuk itu, tindak pidana
sebaiknya dimengerti sebagai perilaku manusia yang diperbuat dalam
situasi dan kondisi yang dirumuskan di dalamnya, perilaku dimana
dilarang oleh Undang-Undang dan diancam dengan sanksi pidana.17
b. Unsur-Unsur Tindak Pidana
Unsur-unsur tindak pidana dibagi menjadi 2 bagian yaitu:
1) Unsur Obyektif
17
Jan Rammelink, Hukum Pidana, Jakarta, Gramedia Pustaka, hlm. 85.
32
Unsur yang terdapat diluar si pelaku. Unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana
tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:
a) Sifat melanggar Hukum.
b) Kualitas dari si pelaku.
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam
kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan
sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di
dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
c) Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat.
2) Unsur Subjektif.
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini terdiri dari:
a) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dulus atau culpa)
b) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam
Pasal 53 ayat (1) KUHP.
c) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-
kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
d) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam
Pasal 340 KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan
terlebih dahulu.
33
e) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.18
Adapun menurut Prof Moelyatno, S.H, unsur atau elemen
perbuatan pidana terdiri dari:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).
Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS
tidak terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti
yang dimaksud pada Pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi
dapat dikatakan bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP
ini ada jika pelakunya adalah seorang PNS.
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
Misal pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa
penghasutan itu harus dilakukan di muka umum, jadi hal ini
menentukan bahwa keadaaan yang harus menyertai perbuatan
penghasutan tadi adalah dengan dilakukan dimuka umum.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu
seseorang terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan
pidana yang dapat dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan
tambahan tadi ancaman pidananya lalu diberatkan. Misalnya
pada Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang penganiayaan diancam
dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan,
tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat
18
Prof.Dr.Teguh Prasetyo, Op.Cit, hlm 50-51
34
ancaman pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika
menyebabkan kematian menjadi tujuh tahun.
d. Unsur melawan hukum yang obyektif.
Unsur melawan hukum yang menunjuknkepada keadaan
lahir atau obyektif yang menyertai perbuatan.
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
Unsur melawan hukum yang terletak didalam hati
seseorang pelaku kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362
KUHP, terdapat kalimat “dengan maksud” kalimat ini
menyatakan bahwa sifat melawan hukumnya perbuatan tidak
dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi tergantung pada niat
seseorang mengambil barang. Apabila niat hatinya baik,
contohnya mengambil barang untuk kemudian dikembalikan
kepada pemiliknya, maka perbuatan tersebut tidak dilarang.
Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu mengambil barang
untuk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya
menurut hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan
pencurian.
c. Jenis-jenis Tindak Pidana
Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam jenis-jenis
tertentu atau mengklasifikasikan sangat bermacam-macam sesuai dengan
kehendak yang mengklasifikasikan atau mengelompokannya, yaitu
menurut dasar apa yang diinginkan, demikian pula halnya dengan tindak
pidana.
35
Pembagian jenis-jenis tindak pidana dalam teori dan praktek
peraturan perundang-undangan ialah sebagai berikut:
1) Kejahatan dan Pelanggaran;
2) Delik formil dan delik materiil;
3) Delik dolus dan delik culpa;
4) Delikcommisissonis, delik ommissionis, dan delik commisissonis
perommisionis commisso;
5) Delik tunggal dan delik berganda;
6) Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung
terus;
7) Delik aduan dan delik biasa atau bukan aduan;
8) Delik ekonomi dan bukan delik ekonomi;
9) Delik sederhana dan delik yang ada pemberatnya;
10) Kejahatan ringan.
Disamping tindak pidana yang tercantum dalam KUHP, terdapat
pula beberapa jenis tindak pidana yang pengaturannya berada diluar
KUHP yang disebut “tindak pidana khusus”. tindak pidana khusus adalah
hukum pidana yang ditetapkan untuk golongan orang khusus atau yang
berhubungan dengan perbuatan-perbuatan khusus, termasuk didalamnya
hukum pidana militer, hukum pidana ekonomi sehingga dapat
disimpulkan “Undang-Undang Pidana Khusus” itu adalah Undang-
Undang selain KUHP yang merupakan kedudukan sentral dari KUHP ini
terutama karena didalamnya termuat ketentuan-ketentuan umum dari
hukum pidana dalam Buku I yang berlaku juga terhadap tindak-tindak
36
pidana yang terdapat diluar KUHP kecuali apabila Undang-Undang
menentukan lain.19
Adapun jenis-jenis tindak pidana khusus antara lain:
1) Tindak Pidana Korupsi;
2) Tindak Pidana Ekonomi;
3) Tindak Pidana Narkotika dan Psikotropika;
4) Tindak Pidana Perpajakan;
5) Tindak Pidana Kepabean dan Cukai;
6) Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering);
7) Tindak Pidana Anak.
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah
salah satu bentuk Undang-undang yang mengatur tindak pidana di luar
KUHP, merupakan ketentuan khusus dari ketentuan umum (KUHP)
sebagai perwujudan dari asas lex specialis derogat lex generalis. Maka
dari itu segala kejadian yang berhubungan dengan tindak pidana
narkotika harus diterapkan ketentuan-ketentuan tindak pidana dalam
undang-undang tersebut, kecuali hal-hal yang belum diatur di dalamnya.
d. Tindak Pidana Narkotikat
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
menjelaskan bahwa setiap perbuatan yang tanpa hak berhubungan secara
langsung maupun tidak langsung dengan narkotika adalah bagian dari
tindak pidana narkotika. Tindak pidana narkotika diatur dalam Bab XV
19
Sudarto, Hukum Pidana I,Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 21.
37
Pasal 111 sampai Pasal 148 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
yang merupakan ketentuan khusus, walaupun tidak disebutkan dengan
tegas dalam Undang-Undang Narkotika bahwa tindak pidana yang diatur
di dalamnya adalah tindak kejahatan, akan tetapi tidak perlu disangsikan
lagi bahwa semua tindak pidana di dalam Undang-Undang tersebut
merupakan kejahatan.20
Pada dasarnya penggunaan narkotika diperbolehkan hanya demi
kepentingan pengobatan serta ilmu pengetahuan dan teknologi. Apabila
diketahui terdapat perbuatan-perbuatan diluar kepentingan yang telah
disebutkan tadi, maka perbuatan-perbuatan tersebut digolongkan sebagai
perbuatan tindak pidana narkotika.
e. Jenis-jenis Kejahatan Tindak Pidana Narkotika
Dalam segi perbuatannya ketentuan pidana yang diatur oleh Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika pada Pasal 111
sampai Pasal 148, yang dapat dikelompokkan menjadi 9 (sembilan)
yaitu:
1) Kejahatan yang menyangkut produksi narkotika;
2) Kejahatan yang menyangkut jual beli narkotika;
3) Kejahatan yang menyangkut pengangkutan dan transit
narkotika;
4) Kejahatan yang menyangkut penguasaan narkotika;
5) Kejahatan yang menyangkut penyalahgunaan narkotika;
6) Kejahatan yang menyangkut tidak melapor pecandu narkotika;
20
Gatot Supramono, Hukum Narkotika Indonesia, Djambatan, Jakarta, 2001, hlm. 32.
38
7) Kejahatan yang menyangkut dengan label dan publikasi
narkotika;
8) Kejahatan yang menyangkut dengan jalannya peradilan
narkotika
9) Kejahatan yang menyangkut penyitaan dan pemusnahan
narkotika.21
f. Kebijakan sanksi pidana dan pemidaan tindak pidana narkotika.
Kebijakan sanksi pidana dan pemidaannya antara lain disebutkan
sebagai berikut :
1) Jenis sanksi dapat berupa pidana pokok (denda, kurungan,
penjara dalam waktu tertetentu/seumur hidup, dan pidana mati),
pidana tambahan (pencabutan izin usaha/pencabutan hak
tertentu), dan tindakan pengusiran (bagi warga Negara asing).
2) Jumlah/lamanya pidana bervariasi untuk denda berkisar antara
Rp 800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) sampai Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) untuk tindak pidana
Narkotika, untuk pidana penjara minimal 4 tahun sampai 20
tahun dan seumur hidup.
3) Sanksi pidana pada umumnya (kebanyakan) diancamkan secara
kumulatif (terutama penjara dan denda);
4) Untuk tindak pidana tertentu ada yang diancam dengan pidana
minimal khusus (penjara maupun denda);
21
Ibid, hlm 154.
39
5) Ada pemberatan pidana terhadap tindak pidana yang didahului
dengan permufakatan jahat, dilakukan secara terorganisasi,
dilakukan oleh korporasi dilakukan dengan menggunakan anak
belum cukup umur, dan apabila ada pengulangan (recidive).
5. Narkotika
a. Pengertian Narkotika
Sejak dunia pertama kali mengurusi candu, maka istilah yang
dipergunakan adalah opium, karena candu terbuat dari buah tanaman
Papaver Somniferum L, yaitu sejenis tanaman perdu liar yang tumbuh
dengan subur di daerah timur pegunungan Mediterania.22
Pertemuan
internasional yang membahas masalah candu pernah dilangsungkan di
Den Haag tahun 1912, dan Jenewa tahun 1925. Pada pertemuan
berikutnya di Jenewa tahun 1931, diperkenalkan istilah baru, yaitu
Narkotika (narco yang berarti tidur yang tidak sadar).
Istilah Narkotika yang digunakan di Indonesia bukanlah “narcotics”
pada farmasi (farmacologie), melainkan sama artinya dengan “drug”,
yaitu sejenis zat yang apabila dipergunakan akan membawa efek dan
pengaruh-pengaruh terutama pada tubuh si pemakai. Pengertian
Narkotika menurut Sudarto, bahwa Narkotika berasal dari bahasa yunani
“narke”, yang berarti terbius sehingga tidak merasa apa-apa.23
22
Rachman Hermawan S, Penyalahgunaan Narkotika Oleh Para Remaja, Eresco, Bandung, 1987,
hlm. 10. 23
Djoko Prakoso, Bmbang, Riyadi Lany, dan Mukhsin, Kejahatan-Kejahatan yang Merugikan
dan Membahayakan Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm. 480.
40
Sedangkan pengertian Narkotika berdasarkan ketentuan Pasal 1
angka 1 Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika, bahwa
yang dimaksud dengan Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya
rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan.
b. Jenis- jenis Narkotika
Jenis-jenis narkotika dibagi menjadi dua macam menurut M. Ridha
Ma’roef , yaitu antara lain:
1) Narkotika alam: narkotika dalam penegertian sempit, termasu
didalamnya adalah berbagai jenis candu, morphine, heroin,
ganja, hashish, codein dan cocaine.
2) Narkotika sintesis : narkotika dalam pengertia yang luas,
termasuk didalamnya adalah zat-zat (obat) yang tergolong dalam
tiga jenis obat yaitu hallucinogen, depressant, dan stimulant.24
c. Penyalahguna Narkotika
Memang tidak dapat dikesampingkan bahwa zat-zat narkotika dan
yang sejenis memiliki manfaat yang cukup besar di dunia kedokteran,
bidang penelitian, pendidikan, dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Berikut aplikasinya pemakaian dalam dosis yang teratur akan
memberikan manfaat, akan tetapi pemakaian zat-zat jenis narkotika
24
M. Ridha Ma’roef, Narkotika Masalah dan Bahayanya, CV Marga Djaya, Jakarta, 1986, hlm.
34.
41
dalam dosis yang tidak teratur lebih-lebih disalahgunakan akan
membawa efek-efek negatif.25
Secara harafiah, kata penyalahguna berasal dari kata “salah guna”
yang artinya tidak sebagaimana mestinya atau berbuat keliru. Jadi
penyalahgunaan narkotika diartikan sebagai pemakaian, cara, perbuatan
yang berhubungan dengan narkotika yang tidak sah dimata hukum.
Secara yuridis terkait dengan penyalahgunaan narkotika dibedakan
antara penyalahguna narkotika, pecandu narkotika, dan korban
penyalahgunaan narkotika.
Pengertian penyalahguna terdapat pada Undang-Undang No. 35
Tahun 2019 tentang Narkotika dalam Pasal 1 ayat 15 dengan artian orang
yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.
Sedangkan pecandu ada di dalam Pasal 1 ayat 13, Pecandu Narkotika
adalah Orang yang menggunakan atau menyalahgunakan Narkotika dan
dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik maupun
psikis.
Perbuatan seorang pecandu narkotika merupakan suatu perbuatan
menggunakan narkotika untuk dirinya sendiri secara tanpa hak, dalam
artian dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Erat
kaitannya hubungan antara penyalahgunaan narkotika dengan pecandu
narkotika. Penggunaan narkotika secara tanpa hak digolongkan kedalam
kelompok penyalahguna narkotika, sedangkan telah kita ketahui bahwa
25
Harsono, Etika Islam Tentang Kenakalan Remaja, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hlm .51.
42
penyalahgunaan narkotika merupakan salah satu bagian tindak pidana
narkotika.
Sehingga secara langsung dapat dikatakan bahwa pecandu narkotika
tidak lain adalah pelaku tindak pidana narkotika. Kedudukan pecandu
narkotika sebagai pelaku tindak pidana narkotika diperkuat dengan
adanya ketentuan didalam Pasal 127 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika yang mengatur mengenai penyalahgunaan
narkotika, yaitu :
”(1) Setiap Penyalah Guna:
a. Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun;
b. Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan
c. Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam memutus perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54, Pasal 55, dan Pasal 103.
(3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan
Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial “.
43
Kemudian dalam Pasal 54 berbunyi “Pecandu Narkotika dan korban
penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.”
Meskipun pecandu narkotika memiliki kualifikasi sebagai pelaku
tindak pidana narkotika, namun didalam keadaan tertentu dari pecandu
narkotika dapat berkedudukan kearah korban penyalahgunaan narkotika.
Maka dari itu korban penyalahgunaan narkotika ada di dalam Undang-
Undang No 35 Tahun 2009, pada penjelasan Pasal 54 korban
penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa,
dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika.
Telah diketahui bahwa tujuan dari Undang-Undang tentang
narkotika adalah menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan
sosial bagi pecandu dan penyalahgunaan narkotika. Mahkamah Agung
pada tanggal 7 April 2010 mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
(SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan,
Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.
Diterbitkannya SEMA tersebut memungkinan bagi pengadilan dalam
memutus perkara tindak pidana narkotika khususnya yang berkaitan
dengan pecandu narkotika berupa putusan dalam bentuk hukuman
rehabilitasi.
d. Hak Korban Penyalahgunaan Narkotika
44
Dalam penjelasan Pasal 54, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah seseorang yang tidak
sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu,
dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan narkotika. Korban
penyalahgunaan narkotika mempunyai hak dan kewajiban, dalam
wawancara dengan Kardiyana hak dan kewajiban korban
penyalahgunaan narkotika ialah :
1) Hak;
Korban penyalahgunaan narkotika berhak mendapatkan
pengobatan dan/atau rahabilitasi.
2) Kewajiban;
Korban penyalahgunaan narkotika wajib melapor diri kepada
instansi terkait atau kepolisi (kasatreskrim narkotika). Instansi terkait
yaitu pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, klinik yang ditunjuk.
Ketentuan mengenai rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika dalam
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur dari Pasal 54 sampai
dengan Pasal 59.
B. HASIL PENELITIAN
1) Kasus Posisi
Pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 16.00 WIB
bertempat di depan SMP 9 Jalan Pemuda Kota Salatiga telah terjadi
penangkapan terhadap seseorang bernama Agus Pramono. Pada hari dan
tanggal tersebut telah terjadi tindak pidana setiap orang yang tanpa hak
45
atau melawan hukum melakukan pemufakatan jahat untuk melakukan
tindak pidana membeli Narkotika Golongan I bentuk bukan tanaman jenis
(Shabu) atau menguasai dalam melakukan penyalahgunaan dengan cara
menggunakan bagi dirinya sendiri Narkotika Golongan I bentuk bukan
tanaman jenis (Shabu). Pada saat diamankan bersama Imam Surono,
terdakwa akan mengambil Narkotika jenis Shabu yang sebelumnya telah
dipesan oleh Imam Surono dari Bagas Dwitya Pradipta. Sebelumnya
terdakwa menggunakan Shabu bersama Imam Surono di rumah kosong
sekitar Kalitaman Kota Salatiga. Kemudian dilakukan penggeledahan dan
ditemukan barang bukti berupa alat-alat untuk melakukan
penyalahgunaan Narkotika Golongan I.
2) Dakwaan
Jaksa Penuntut Umum memberikan dakwaan primair dengan Pasal 114
ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
Tentang Narkotika.
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk
dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli,
menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I, dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah) dan paling banyak Rp
10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)”
Dakwaan subsidair dengan Pasal Pasal 112 ayat (1) jo Pasal 132 ayat (1)
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
46
“Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki,
menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I bukan
tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah).”
Dalam dakwaan lebih dari subsidair terdakwa didakwakan dengan Pasal
127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
“Setiap Penyalah Guna Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana
dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun”
3) Pembuktian dan Fakta Persidangan
a. Pembuktian
Berdasarkan keterangan saksi dan atau keterangan terdakwa sendiri
serta adanya barang bukti yang diajukan dipersidangan maka dapat
diambil sebagai bukti petunjuk bahwa terdakwa telah melanggar
ketentuan pada Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 35
Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Terdapat saksi-saksi yang dihadirkan di dalam persidangan yaitu saksi
baik dari masyarakat yang menyaksikan penangkapan terdakwa serta
dari pihak kepolisian yang menangkap terdakwa. Para saksi
memberikan keterangan sebagai berikut:
1. Saksi Sutarman Bin Ayani Alm.
47
- Bahwa awalnya pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017
sekitar pukul 16.00 WIB di depan rumah milik partai demokrat
Salatiga Jl. Kalitaman saksi didatangi oleh petugas kepolisian
untuk menyaksikan penggeledahan;
- Bahwa saksi menyaksikan penggeledahan tersebut bersama
dengan Bpk. Darmaji;
- Bahwa dalam penggeledahan tersebut ditemukan 1 (satu)
bungkus sedota didalam rumah terletak di tembok, 1 (satu) buah
botol dan 4 (empat) buah potongan sedotan yang ditemukan di
luar rumah tersebut;
Atas keterangan saksi Terdakwa membenarkan;
2. Saksi Darmaji Surasto Bin Darsono Alm;
- Bahwa awalnya pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017
sekitar pukul 16.00 WIB di depan rumah milik Partai demokrat
Salatiga Jl. Kalitaman saksi didatangi oleh petugas kepolisian
untuk menyaksikan penggeledahan;
- Bahwa saksi menyaksikan penggeledahan tersebut bersama
dengan Bpk. Darmaji;
- Bahwa dalam penggeledahan tersebut ditemukan 1 (satu)
bungkus sedota didalam rumah terletak di tembok, 1 (satu) buah
botol dan 4 (empat) buah potongan sedotan yang ditemukan di
luar rumah tersebut;
Atas keterangan saksi Terdakwa membenarkan;
3. Saksi Hendriawan Surya Prayoga,S.H. Bin R. Soeroto;
48
- Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 saksi bersama
rekan polisi lainnya sedang melintas di pertigaan Tegalrejo
Salatiga, kemudian melihat sdr. Bagas dengan gelagat
mencurigakan. Kemudian diamankan oleh saksi;
- Bahwa selanjutnya dilokasi tersebut saksi bersama rekan
melakukan penggeledahan ditempat dan ditemukan barang
bukti:
- 1 (satu) paket jenis sabu yang di bungkus plastik klip warna
bening bertuliskan Magic Lezat dan dua bungkus lagi
bertuliskan Paramex ditemukan di saku celana depan;
- 1 (satu) buah celana pendek bergaris;
- 1 (satu) buah HP merk Nokia warna hitam Type RH 122
berikut sim card IM3;
Yang barang bukti tersebut berada dalam perkara lain;
- Bahwa paket shabu yang ditemukan pada sdr. Bagas, menurut
pengakuan Sdr. Bagas adalah pesanan dari sdr. Imam Surono
yang sdr. Bagas beli dari seseorang yang bernama Andri;
- Bahwa, menurut pengakuan sdr. Bagas, shabu tersebut adalah
pesanan dari Terdakwa, yang mana sebelumnya pada tanggal 9
Oktober 2017 sdr. Imam Surono telah membayar kepada sdr.
Bagas di rumah sdr. Bagas sejumlah Rp 550.000,- (lima ratus
lima puluh ribu rupiah) untuk membeli paket shabu tersebut;
- Bahwa kemudian sdr. Bagas pada tanggal 10 Oktober pukul
15.30 akan menyerahkan kepada Sdr. Imam Surono, namun
49
tidak berhasil karena terlebih dahulu sudah tertangkap oleh saksi
dan rekan;
- Bahwa dari penangkapan sdr. Bagas, Kepolisian melanjutkan
penelusuran pelaku lainnya yaitu sdr. Imam Surono
- Bahwa untuk dapat menangkap sdr. Imam Surono saksi bersama
rekan memancing sdr. Imam Surono menggunakan sms melalui
HP sdr.Bagas yang mengatakan bahwa sabu pesanannya sudah
ada dan bias diambi di daerah Kaliwedok;
- Bahwa awalnya sdr. Imam Surono merasa curiga dengan SMS
tersebut namun kemudian saksi dan rekan mengarahkan
Terdakwa ke daerah SMP 9 Salatiga, lalu terdakwa terpancing
dan akhirnya saksi dan rekan dapat mengkap Terdakwa.
- Bahwa saat ditangkap terdakwa bersama terdakwa;
- Bahwa kemudian sdr. Imam Surono mengakui bila dirinya
sering menggunakan shabu di dalam Rumah Partai Demokrat di
daerah Kalitaman, maka oleh karenanya saksi dan rekan
melakukan penggeledahan di tempat tersebut dan ditemukan
barang bukti berupa: 1 (satu) bungkus sedotan didalam rumah
terletak di tembok, 1 (satu) buah botol dan 4 (empat) buah
potongan sedotan yang ditemukan di luar rumah tersebut, yang
menurut pengakuan Terdakwa barang bukti tersebut digunakan
Terdakwa untuk mongkonsumsi sabu;
Atas keterangan saksi Terdakwa membenarkan;
4. Saksi Ahmat Jhon Febri Bin Lilik Harsono;
50
- Bahwa saksi adalah anggota polisi yang melakukan
penangkapan kepada Terdakwa;
- Bahwa penangkapan terhadap terdakwa dilakukan karena
sebelumnya pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 pukul
16.00 WIB, saksi bersama rekan melakukan penangkapan
terhadap sdr. Bagas, dimana sdr. Bagas tertangkap membawa
satu paket sabu yang rencananya akan diberikan kepada sdr.
Imam Surono;
- Bahwa selanjutnya Saksi bersama rekan memancing sdr. Imam
Surono dan setelah sdr Imam Surono terpancing saat itulah
Terdakwa juga tertangkap karena Terdakwa menemani sdr.
Imam Surono yang hendak mengambil pesanan sabu yang
memang sudah berada ditangan polisi;
- Bahwa berdasarkan pengakuan Terdakwa, dirinya diajak oleh
sdr. Imam Surono menemani mengambil sabu di depan SMP 9
Jl. Pemuda Salatiga, yang kemudian shabu tersebut akan
digunakan bersama.
Atas keterangan saksi Terdakwa membenarkan
5. Saksi Jerikson Nelto Belo;
- Bahwa saksi adalah anggota polisi yang melakukan
penangkapan kepada Terdakwa;
- Bahwa penangkapan terhadap terdakwa dilakukan karena
sebelumnya pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2017 pukul
16.00 WIB, saksi bersama rekan melakukan penangkapan
51
terhadap sdr. Bagas, dimana sdr. Bagas tertangkap membawa
satu paket sabu yang rencananya akan diberikan kepada sdr.
Imam Surono;
- Bahwa selanjutnya Saksi bersama rekan memancing sdr. Imam
Surono dan setelah sdr Imam Surono terpancing saat itulah
Terdakwa juga tertangkap karena Terdakwa menemani sdr.
Imam Surono yang hendak mengambil pesanan sabu yang
memang sudah berada ditangan polisi;
- Bahwa berdasarkan pengakuan Terdakwa, dirinya diajak oleh
sdr. Imam Surono menemani mengambil sabu di depan SMP 9
Jl. Pemuda Salatiga, yang kemudian shabu tersebut akan
digunakan bersama.
Atas keterangan saksi, terdakwa membenarkan.
6. Saksi Bagas Dwitya Pradipta Bin Yitno Atmajie;
- Bahwa saksi telah mendapat pesanan paket sabu dari sdr. Imam
Surono;
- Bahwa pada hari Selasa tanggal 10 Oktober 2018 pada pukul
15.00 WIB, saksi berniat menyerahkan shabu kepada sdr. Imam
Surono, namun hal tersebut belum tersampaikan karena saksi
telah ditangkap dipertigaan Tegalrejo oleh para saksi Polisi;
- Bahwa sdr. Imam Surono membeli sabu dari saksi dengan harga
Rp.550.000,- (lima ratus lima puluh ribu rupiah) dan sudah
diserahkan oleh sdr. Imam Surono di rumah saksi beberapa hari
sebelumnya;
52
- Bahwa kemudian, untuk pengembangan Terdakwa memberikan
informasi kepada saksi Polisi mengenai kontak Imam Surono,
dan selanjutnya para saksi Polisi mengirim pesan samara
melalui HP saksi, yang pada pokoknya bertuliskan akan
menyampaikan sabu di hari itu di daerah Kaliwedok;
- Bahwa terhadap SMS tersebut sdr. Imam Surono terpancing dan
akhirnya mendatangi tempat yang sudah diarahkan oleh saksi
Polisi di JL Pemuda Salatiga depan SMP 9;
- Bahwa benar saat melakukan penangkapan kepada Imam
Surono, dilokasi juga ada terdakwa yang saat itu berperan
menemani sdr. Imam Surono yang hendak mengambil paket
sabu;
Atas keterangan saksi, terdakwa membenarkan.
7. Saksi Imam Surono Als. Boim Bin Slanet Basuki
- Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2017 sekira pukul 15.30 WIB
saksi menerima pesan SMS dari nomor saksi Bagas bahwa sabu
sudah siap;
- Bahwa saat akan mengambil sabu, saksi mengajak Terdakwa
serta, dimana rencananya saksi akan mengkonsumsi sabu
bersama dengan Terdakwa di rumah Partai Demokrat di daerah
Kalitaman.
- Bahwa saat saksi akan mengambil sabu di Kaliwedok saksi
merasa curiga kemudian tempat penyerahan di ganti di depan
53
SMP 9 Salatiga, namun setelah dilokasi ternyata sudah ada
anggota kepolisian yang menghadang Terdakwa dan saksi;
- Bahwa kemudia para saksi anggota polisi meminta Terdakwa
dan saksi menunjukkan tempat biasa Terdakwa mengkonsumsi
shabu, lalu Terdakwa menunjukkan lokasi di rumah Partai
Demokrat di daerah Kalitaman dan ditempat tersebut ditemukan
barang bukti berupa: 1(satu) bungkus sedotan didalam rumah
terletak di tembok, 1 (satu) buah botol pepsi Blue, 4 (empat)
buah potongan sedotan (berada dalam perkara lain);
Atas keterangan saksi, terdakwa membenarkan;
b. Fakta Persidangan
Selama persidangan berlangsung didapati fakta-fakta dari kasus ini
antara lain:
- Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 15.30 WIB
saksi Surono Als. Boim dihubungi saksi Bagas melalui SMS bahwa
sabu sudah siap dan diminta untuk mengambil.
- Bahwa kemudian saksi Surono mengajak Terdakwa untuk ke kali
wedok Kalitaman sesuai SMS dari nomor HP terdakwa, untuk
mengambil sabu namun karena keadaan mencurigakan kemudian
tempat penyerahan di ganti menjadi di depan SMP 9 Salatiga,
namun setelah dilokasi ternyata sudah ada anggota kepolisian yang
menghadang saksi Imam Surono danTerdakwa;
- Bahwa terdakwa sudah sering memakai sabu bersama saksi Surono
dan Berita Acara Pengambilan dan Pemeriksaan Urine Nomor
54
BA/25/X/2017/Dokkes tanggal 10 Oktober 2017, tentang
pemeriksaan urine atas nama Agus Pramono BinS udarno (Alm)
dengan kesimpulan hasil pemeriksaan dinyatakan ditemukan zat
narkoba (Methamphetamin) dan Amphetamin positif;
- Bahwa, Terdakwa mengkonsumsi sabu bukan Karena aalasan
kesehatan, dan tidak pula ada ijin dari pihak yang berwenang;
4) Tuntutan
Dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum memohon agar majelis hakim
mengabulkan:
1. Menyatakan terdakwa AGUS PRAMONO Bin NOTO SUDARNO
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana PERCOBAAN ATAU PERMUFAKATAN JAHAT UNTUK
MELAKUKAN TINDAK PIDANA TANPA HAK ATAU
MELAWAN HUKUM MENAWARKAN UNTUK DIJUAL,
MENJUAL, MEMBELI, MENERIMA, MENJADI PERANTARA
DALAM JUAL BELI, MENUKAR ATAU MENYERAHKAN
NARKOTIKA GOLONGAN I. Sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 114 Pasal 114 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat (1)
Undang-Undang RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam
dakwaan PRIMAIR dan tindak pidana PERCOBAAN ATAU
PERMUFAKATAN JAHAT UNTUK MELAKUKAN TINDAK
PIDANA TANPA HAK ATAU MELAWAN HUKUM MEMILIKI,
MENYIMPAN, MENGUASAI, ATAU MENYEDIAKAN
55
NARKOTIKA GOLONGAN I BUKAN TANAMANsebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 112 Ayat (1) jo Pasal 132 Ayat
(1) Undang-Undang R.I. Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dalam dakwaan SUBSIDIAIR ;
2. Membebaskan terdakwa AGUS PRAMONO Bin NOTO SUDARNO
oleh karena itu dari dakwaan PRIMAIR dan dakwaan SUBSIDIAIR ;
3. Menyatakan terdakwa AGUS PRAMONO Bin NOTO SUDARNO
terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana PENYALAHGINAAN NARKOTIKA GOLONGAN I BAGI
DIRI SENDIRI, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
127 Ayat (1) huruf a Undang-Undang R.I. Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika dalam dakwaan LEBIH SUBSIDAIR.
4. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, dengan pidana penjara selama
1 (satu) tahun dan 8 (delapan) bulan dengan dikurangkan lamanya
terdakwa ditangkap dan ditahan dengan perintah agar tetap ditahan.
5. Menetapkan supaya terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah)
5) Pertimbangan Hakim
Bahwa oleh karena dakwaan primair dan subsidair tidak terbukti maka
Hakim mempertimbangkan dakwaan lebih dari subsidair. Dakwaan lebih
dari subsidair mendakwakan dengan Pasal 127 Ayat (1) huruf a Undang-
Undang R.I. Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika:
a) Unsur setiap orang
56
- Menimbang bahwa, unsur ini telah dipertimbangkan dalam
pertimbangan dakwaan primair, maka pertimbangan unsur ini
dalam dakwaan sebelumnya akan diambil alih;
- Menimbang bahwa, oleh karenanya unsur setiap orang telah
terpenuhi;
b) Unsur penyalahguna Narkotika golongan I bagi diri sendiri
- Menimbang bahwa, yang dimaksud dengan unsur ini adalah setiap
orang yang menggunakan narkotika tanpa haka tau melawan
hukum, dimana penggunaanya tersebut diperuntukkan bagi ciri nya
sendiri;
- Menimbang bahwa, dalam fakta dipersidangan Terdakwa
merupakan teman dari saksi Imam Surono yang diajak oleh saksi
Imam Surono mengambil sabu dari tangan saksi bagas;
- Menimbang bahwa, pada tanggal 10 Oktober 2018 pukul 16.30
WIB Terdakwa diajak oleh saksi untuk menemani saksi Imam
Surono untuk mengambil sabu;
- Menimbang bahwa, selanjutnya dalam penangkapan terhadap diri
Terdakwa tidak diperoleh barang bukti yang berkaitan dengan
narkotika golongan I;
- Menimbang bahwa, dari pengakuan saksi Imam Surono, Terdakwa
diajak hanya karena Terdakwa sering menjadi teman saat saksi
Imam Surono akan mengkonsumsi sabu demikian pula dengan
keterangan Terdakwa yang dirinya memang sudah sering
menggunakan sabu bersama saksiImam Surono;
- Menimbang bahwa, terhadap Terdakwa dilakukan tes urine dan
hasilnya positif menggunakan shabu berdasarkan Berita Acara
57
Pengambilan Dan Pemeriksaan Urine Nomor BA/25/X/2017,
tentang pemeriksaan urine atas nama Agus Pramono Bin Sudarmo
(Alm)dengan kesimpulan pemeriksaan dinyatakan ditemukan zat
narkoba (Methamphetamin) dan Amphetamin positif;
- Menimbang bahwa,dengan demikian dari tes urine terhadap diri
Terdakwa telah membuktikkan bahwa terdakwa mengkonsumsi
narkoba yang memiliki bahan metamfetamina yang terdaftar dalam
golongan I (satu) UU Narkotika;
- Menimbang bahwa, Terdakwa mengkonsumsi sabu bukan karena
alasan kesehatan, dan tidak pula ada ijin dari pihak berwenang;
- Menimbang bahwa, dengan demikian unsur penyalah guna
narkotika golongan I bagi diri sendiri telah terpenuhi dan oleh
karenanya Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “tanpa hak melakukan
penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri sendiri”;
- Menimbang bahwa, oleh perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur
Pasal 127 Ayat (1) huruf a UU RI No. 35 Tahun 2009 serta selama
pemeriksaan persidangan tidak ditemukan alasan pemaaf maupun
alasan pembenar yang dapat menghapus/ menghilangkan
pertanggungjawaban terdakwa atas tindak pidana yang
dilakukannya maka untuk memberikan efek jera terhadap terdakwa,
Majelis Hakim berpendapat bahwa pidana penjara adalah lebih
tepat dijatuhkan terhadap terdakwa;
58
- Menimbang bahwa, untuk menjatuhkan hukuman yang setimpal
maka terlebih dahulu Majelis Hakim akan mempertimbangkan hal-
hal yang memberatkan dan hal-hal yang meringankan pidana
tersebut yang didapat dari diri terdakwa selama pemeriksaan ini;
Hal-hal yang memberatkan :
- Bahwa perbuatan Terdakwa bertentangan dengan program
pemerintah yang sedang giat-giatnya melakukan pemberantasan
penyalahgunaan Narkotika;
Hal-hal yang meringankan :
- Terdakwa berterus terang dan menyesali perbuatannya sehingga
memperlancar persidangan
- Terdakwa belum pernah dihukum;
- Menimbang bahwa, selama menjalani pemeriksaan perkara ini dari
pemeriksaan di tingkat penyidikan sampai dengan pemeriksaan di
dalam persidangan ini Terdakwa telah ditahan dengan penahanan
yang sah maka lamanya Terdakwa berada di dalam penahanan
tersebut haruslah dikurangkan sepenuhnya dari lamanya pidana
yang akan dijatuhkan;
- Menimbang bahwa, oleh karena penahanan atas diri Terdakwa
adalah sah menurut hukum sedangkan menurut Majelis tidak
didapat alasan hukum apapun yang dapat menjadi dasar
pertimbangan Majelis Hakim untuk dapat mengeluarkan Terdakwa
dari dalam tahanan maka terhadap diri Terdakwa diperintahkan
untuk tetap ditahan;
59
- Menimbang bahwa, oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka
haruslah dibebani pula untuk membayar biaya perkara;
6) Putusan
Dalam putusannya Majelis Hakim mengadili:
1. Menyatakan Terdakwa Agus Promo Bin Noto Sudarno tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana dakwaan primair dan subsidair;
2. Membebaskan Terdakwa Agus Pramono Bin Noto Sudarno dari
dakwaan Primair dan Subsidair;
3. Menyatakan Terdakwa Agus Pramono Bin Noto Sudarno terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “tanpa
hak melakukan penyalahgunaan narkotika golongan I bagi diri
sendiri”;
4. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Agus Pramono Bin Noto
Sudarno dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan;
5. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani
oleh Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;
6. Memerintahkan agar Terdakwa tetap ditahan;
7. Membebankan kepada terdakwa membayar biaya perkara sejumlah
Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah);
60
C. ANALISIS
1. Faktor Yang Memperngaruhi Tidak Dituntut Rehabilitasi.
a. Faktor Pemenuhan Unsur- Unsur Tindak Pidana Narkotika
Berdasarkan fakta yang diperoleh selama persidangan terdakwa
trbukti secara sah dan meyakinkan bersalah telah melanggar Pasal 127
ayat (1) huruf a Undang-Undang No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika
dengan unsur-unsur sebagai berikut:
1) Setiap
setiap orang adalah subyek hukum pendukung hak dan
kewajiban yang dalam hal ini adalah orang (person) yang
didakwa melakukan tindak pidana, yang cakap secara lahir batin
serta mampu dan dapat dipertanggungjawabkan dalam suatu
tindak pidana, dan untuk menghindari kesalahan mengenai
orangnya (error in persona) maka identitasnya dicantumkan
secara lengkap di dalam surat dakwaan.
Dengan demikian hal ini yang diperhadapkan di persidangan
dengan identitas yang terdapat dalam surat dakwaan sudah
bersesuaian, yakni terdakwa Agus Pramono Bin Noto Sudarno,
serta fakta yang terungkap dalam persidangan sesuai dengan
keterangan saksi-saksi yang menyatakan bahwa terdakwa benar
adalah terdakwa Agus Pramono Bin Noto Sudarno, dimana
keterangan saksi-saksi tersebut telah dibenarkan sendiri oleh
terdakwa di persidangan sehingga tidak terdapat kesalahan
mengenai orangnya, dalam sepanjang persidangan terdakwa
61
cakap secara lahir dan batin serta mampu
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kemudian berdasarkan
pertimbangan hukum tersebut di atas maka unsur pertama ini
telah terpenuhi.
2) Penyalahguna Narkotika Golongan I Bagi Dirinya Sendiri
Adapun kata setiap tidak dapat dipisahkan dari kata
penyalahguna, bahwa dalam setiap Pasal 1 angka 15 Undang-
Undang No 35 2009 yang dimaksud dengan penyalahguna adalah
(setiap) orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau
melawan hukum.
Yang disebut dengan Narkotika menurut Pasal 1 angka (1)
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah
zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik
sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Di dalam Pasal 127 ayat (1) huruf a Undang-
Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan
“Narkotika Golongan I”, maka dalam pasal ini berlaku untuk
Narkotika Golongan I baik dalam bentuk tanaman maupun dalam
bentuk bukan tanaman dimana daftar Narkotika Golongan I dapat
dilihat dalam lampiran Undang-Undang No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika.
62
Unsur bagi diri sendiri bahwa penyalahguna Narkotika
Golongan I sebagaimana dipertimbangkan diperuntukkan atau
dikonsumsi bagi diri pelaku penyalahguna Narkotika sendiri atau
digunakan untuk kepentingan sendiri. Berdasarkan keterangan
saksi satu sama lainnya saling bersesuaian dikuatkan oleh surat,
barang bukti serta pengakuan terdakwa diperoleh fakta hukum:
Dalam putusan perkara pidana Nomor : 169/Pid.Sus/
2017/PN. Slt diperoleh fakta bahwa perbuatan yang dilakukan
terdakwa Agus Pramono adalah merupakan perbuatan yang
bersifat melawan hukum. Bahwa terdakwa Agus Pramono
menggunakan shabu 1 (satu) kali pemakaian dengan cara 2 (dua)
kali hisap atas ajakan saksi Imam Surono yang sebelumnya shabu
telah dibeli dari saksi Bagas Dwitya Pradipta, dilakukan
pemeriksaan urine terdakwa Agus Pramono menunjukan hasil
positif (+) shabu yang dengan No. BA/ 25/ X/ 2017 diperoleh
kesimpulan METHAMPITHAMIN positif (+) serta
AMPHETAMIN positif (+) positif, dari hasil pemeriksaan laborat
dari Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga dengan NO. 1959/ X/
P.JIWA/ 2017 ditemukan zat Narkoba METAMPETAMIN
terdaftar dalam golongan I (satu) nomor urut 61 pada Lampiran
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika..
Perbuatan terdakwa telah terbukti melawan hukum karena
terdakwa mempunyai niat untuk memakai shabu sendiri atau
kepentingan sendiri, seperti yang diketahui bahwa Narkotika
63
hanya dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi dilarang untuk kepentingan lainnya.
Kemudian berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka unsur
kedua ini telah terbukti dan terpenuhi.
Bahwa atas pemenuhan unsur kedua yang telah disebutkan diatas,
penulis tidak sepenuhnya sependapat dengan Jaksa Penuntut umum yang
mengatakan bahwa terdakwa termasuk dalam kategori penyalahguna. Hal
itu dikarenakan posisi terdakwa adalah sebagai seseorang yang dibujuk
oleh temannya sehingga terdakwa Agus Pramono dapat dikategorikan
sebagai korban penyalahgunaan Narkotika. Pengertian korban
penyalahguna Narkotika diatur dalam PERBER No. 01 Tahun 2014
Tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna
Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Pasal 1 ayat 3 korban
penyalahguna Narkotika adalah seseorang yang tidak sengaja
menggunakan narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan
atau diancam untuk mrnggunakan narkotika. Terdakwa Agus Pramono
dapat dikatakan sebagai Korban Penyalahguna Narkotika berdasarkan
fakta yang diperoleh dalam persidangan antara lain:
1) Bahwa terdakwa Agus Pramono merupakan teman saksi Imam
Surono
2) Bahwa Terdakwa Agus Pramono sebelumnya tidak pernah
menggunakan Narkotika.
64
3) Bahwa terdakwa Agus Pramono menggunakan Narkotika
Golongan I jenis Shabu atas ajakan Imam Surono
4) Bahwa pada tanggal 10 Oktober 2017 sekitar pukul 16.00 WIB
Imam Surono menemui terdakwa Agus Pramono yang sedang
beristirahat, kemudian terdakwa Agus Pramono diajak pergi oleh
Imam surono dengan tidak memberi tau tujuan akan kemana.
Setelah dijalan barulah Imam Surono mengatakan akan
mengambil Shabu serta memberi tau tempat diletakkannya Shabu
tersebut. Hingga sampai pada tujuan terdakwa Agus Pramono
yang mengambil shabu sedangkan Imam Surono menunggu di
atas motor.
5) Bahwa terdakwa Agus Pramono tidak memiliki bukti
kepemilikan Shabu.
6) Bahwa terdakwa Agus Pramono tidak membeli dan tidak ikut
patungan dengan Imam Surono.
Kemudian pada saat persidangan berlangsung Hakim memberikan
pertanyaan kepada terdakwa Agus Pramono diantaranya: Apakah
terdakwa sebelumnya sudah pernah menggunakan Narkotika, apakah
terdakwa tahu sendiri atau diajak Imam Surono menggunakan Narkotika.
Kemudian terdakwa Agus Pramono memberikan jawaban bahwa tidak
pernah menggunakan Narkotika dan baru menggunakannya ketika diajak
oleh Imam Surono.
65
Jadi menurut penulis terdakwa Agus Pramono tidak sepenuhnya
memenuhi unsur penyalahguna Narkotika melainkan terdakwa adalah
korban penyalahguna Narkotika yang seharusnya dapat dijatuhi hukuman
Rehabilitasi bukan hukuman pidana penjara. Telah ditegaskan bahwa
pada Pasal 127 ayat (3) Dalam hal Penyalah Guna sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban
penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dengan demikian setiap
seseorang yang melanggar Pasal 127 ayat (1) dalam hal penyalahguna,
tidak boleh serta merta dikatakan sebagai penyalahguna namun harus
dilakukannya proses pembuktian bahwa seseorang tersebut apakah ada
indikasi benar penyalahguna, atau pecandu, dan/atau korban
penyalahguna Narkotika.
b. Faktor Pembuktian
Dalam kasus terdakwa Agus Pramono, terdapat beberapa alat bukti
yang dapat menguatkan kesalahan terdakwa diantaranya terdapat
keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa.
1. Surat
Terdapat Surat dari hasil kepolisian dengan No. BA/ 25/ X/ 2017 dan
surat hasil pemeriksaan laborat dari Rumah Sakit Umum Daerah Salatiga
dengan NO. 1959/ X/ P.JIWA/ 2017 yang dimana keduanya menyatakan
terdakwa Agus pramono positif menggunakan shabu.
2. Saksi
66
Menurut keterangan saksi bahwa benar terdakwa Agus Pramono
menggunakan shabu.
3. Terdakwa
Terdakwa Agus Pramono menerangkan bahwa terdakwa sebelumnya
diajak Imam Surono untuk menggunakan shabu pada tanggal 7 Oktober
2017 di eks Gedung Demokrat Salatiga, Imam Surono pun mengakui
bahwa memang dia mengajak terdakwa Agus Pramono tercantum dalam
berkas perkara lain.
Dengan terbuktinya ketiga fakta dipersidangan yang telah dijelaskan
seperti diatas maka terdakwa Agus Pramono dinyatakan sebagai
penyalahguna Narkotika.
Menurut penulis, Jaksa Penuntut Umum hanya berkeyakinan pada
hasil positif terdakwa Agus Pramono yang menggunakan shabu. Jika
dilihat kembali unsur saksi pada keterangan Imam Surono mengakui
bahwa dia mengajak terdakwa Agus Pramono untuk menggunakan shabu
yang sebelumnya diberi oleh Bagas Dwitya Pradipta, maka dari itu
berdasarkan bukti tersebut terdakwa Agus Pramono tidak bisa dikatakan
sebagai penyalahguna saja akan tetapi dia merupakan korban
penyalahguna Narkotika. Sedangkan pada unsur keterangan terdakwa,
terdakwa Agus Pramono mengakui bahwa dia diajak oleh Imam Surono.
Dari kata diajak sudah memenuhi kriteria korban penyalahguna
Narkotika seperti yang tercantum pada penjelasan Pasal 54, disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan korban penyalahgunaan narkotika adalah
seseorang yang tidak sengaja menggunakan narkotika karena dibujuk,
67
diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan
narkotika.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, Jaksa Penuntut Umum dalam
kasus terdakwa Agus Pramono ini seperti memaksakan telah
terpenuhinya alat-alat bukti yang ada dengan berdasarkan keyakinannya.
Namun alat-alat bukti tersebut jika ditelusuri lebih dalam dapat
ditemukan suatu kelemahan yang tidak terlalu kuat untuk menyatakan
bahwa Agus Pramono merupakan penyalahguna. Menurut penulis dari
tiga alat bukti hanya satu yang kuat sebagai dasar dapat dijatuhi
hukuman, akan tetapi alat bukti harus sekurang-kurangnya dua juga
terdakwa Agus Pramono tidak mempunyai barang bukti kepemilikan
Narkotika.
Dengan demikian bertambah kuatlah keyakinan penulis bahwa
terdakwa Agus Pramono merupakan seorang korban penyalahguna
Narkotika.
c. Faktor Pemberian Asesmen
Berdasarkan SEJA NO. B-601/E/EJP/02/2013 tentang Penempatan
Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga
Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial pada poin 2.1 huruf a
menegaskan bahwa Tersangka/terdakwa adalah pecandu dan korban
penyalahgunaan narkotika, yang dibuktikan dari hasil asesmen dokter
bahwa yang bersangkutan pecandu narkotika baik klasifikasi coba pakai,
teratur pakai, pecandu suntik, maupun pecandu bukan suntik. Asesmen
menjadi dasar penting sebagai syarat untuk dilakukannya rehabilitasi.
68
Dalam Peraturan Kepala Badan Narkotika Nasional No. 11 Tahun
2014 Tata Cara Penanganan tersangka Dan/Atau Terdakwa Pecandu
Narkotika Dan Korban Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga
Rehabilitasi Pasal 3 ayat (1), Asesmen diberikan kepada Pecandu
Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika yang tanpa hak dan
melawan hukum sebagai Tersangka dan/atau Terdakwa dalam
penyalahgunaan Narkotika yang sedang menjalani proses penyidikan,
penuntutan, dan persidangan dipengadilan diberikan pengobatan,
perawatan dan pemulihan dalam lembaga rehabilitasi.
Dalam hal membuat asesmen adalah kewenangan dari Tim Asesmen
Terpadu, asesmen dibuat berdasarkan permohonan tertulis dari penyidik.
Jangka waktu Penyidik mengajukan permohonan paling lama 1x24 jam
setelah penangkapan, disertai dengan tembusan kepada Kepala BNN
setempat yang sesuai dengan tempat kejadian perkara. Asesmen berisikan
tentang keterangan mengenai peran tersangka dan/atau terdakwa dalam
tindak pidana, tingkat ketergantungan penyalahguna narkotika,
rekomendasi kelanjutan proses hukumnya dan tempat serta lama waktu
rehabilitasi, dengan tahap proses asesmen antara lain:
a. Pemeriksaan urin atau rambut untuk mengetahui jenis narkoba dan
riwayat penyalah gunaan narkoba.
b. Wawancara menggunakan format asesmen yang berlaku / standar
dalam PP 25 tahun 2011 tentang wajib lapor dan sesuai dengan
format Adiction Severity Index (ASI) yang meliputi riwayat
kesehatan, riwayat pekerjaan / dukungan hidup, riwayat penggunaan
69
narkoba, riwayat keterlibatan pada tindak kriminalitas, riwayat
keluarga dan sosial, serta riwayat psikiatris pecandu narkoba.
c. Pemeriksaan fisik.
d. Pemberian terapi simptomatik jika diperlukan. Pemberian terapi
simptomatik tidak harus didahului oleh asesmen, jika kondisi fisik
tidak memungkinkan asesmen dapat ditunda dengan mendahulukan
penanganan kegawatdaruratan dan terapi simptomatik.
e. Rencana terapi.
Dalam kasus terdakwa Agus Pramono yang tidak tertangkap tangan
saat sedang menggunakan Narkotika, namun positif menggunakan
Narkotika hanya lewat tes urin dan hasil laboraturium, namun tidak
mendapatkan asesmen yang dimana proses asesmen itu sendiri
merupakan suatu hal yang penting dalam upaya menentukan tingkat
kecanduan dari pelaku penyalahgunaan narkotika, apakah mereka perlu
mendapatkan rehabilitasi atau sanksi penjara. Sesuai dengan amanat UU
No. 35 Tahun 2009 mereka yang tergolong sebagai penyalahguna wajib
untuk mendapatkan rehabilitasi.
Dari contoh kasus di atas penulis tidak setuju dengan tidak
diberikannya asesmen kepada terdakwa Agus Pramono, menurut penulis
karena terdakwa Agus Pramono dapat dikatakan sebagai korban
penyalahguna Narkotika seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
”Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika sebagai
tersangka dan/atau terdakwa penyalahgunaan Narkotika yang ditangkap
tetapi tanpa barang bukti Narkotika dan positif menggunakan narkotika
sesuai dengan hasil tes urine, darah atau rambut dapat di tempatkan di
70
lembaga rehabilitasi medis dan/atau lembaga rehabilitasi sosial yang
dikelola oleh pemerintah setelah dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan
Hasil Laboratorium dan Berita Acara Pemeriksaan oleh Penyidik dan
telah dilengkapi dengan surat hasil asesmen Tim Asesmen Terpadu.26
”
Maka terhadap terdakwa Agus Pramono wajib diberikan asesmen
untuk mendapatkan rehabilitasi.
Dalam hal ini, Jaksa selaku yang bertanggung jawab pada perkara
tindak pidana Narkotika pada terdakwa Agus Pramono tidak memeriksa
kelengkapan berkas perkara penyidikan dan Penyidik atau Penyidik
Pembantu dengan baik. Terbukti dalam faktanya tidak diberikan asesmen
sejak di penyidikan, telah dijelaskan pada KUHAP Pasal 14 ayat (2)
kewenangan Jaksa “mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan
pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan
ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan
penyidikan dari Penyidik”. Jika tidak adanya asesmen terlampir maka
Jaksa Penuntut Umum memberi petunjuk kepada Penyidik untuk
meminta asesmen kepada BNN Provinsi atau BNN Kabupaten/Kota.
Serta Jaksa Penuntut Umum kurang memperhatikan ketentuan Peraturan
bersama seperti yang telah dijelaskan diatas. Dengan ketidakcermatan
Jaksa dalam melakukan dakwaan serta tuntutan mengakibatkan
padaputusan Hakim yang menjatuhkan pidana penjara pada terdakwa
26
Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial
Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia,
Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. No. 01/PB/MA/III/2014, No. 03 Tahun
2014, No. 11 Tahun 2014, No. 03 Tahun 2014, No. PER-005/A/JA/03/2014, No. 1 Tahun 2014,
No. PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi
71
Agus Pramono yaitu hukuman 10 bulan penjara, dan dia kehilangan
haknya untuk di rehabilitasi medis.
Seharusnya tidak boleh begitu saja secara sembarangan dalam
mengimplementasikan salah satu pasal tersebut kepada penyalahguna
Narkotika, maka dari itu dibutuhkan adanya ketelitian, kehati-hatian dan
kecermatan guna menegakkan hukum terkhusus bagi Jaksa dalam
penerapan pasal-pasal tersebut untuk menentukan apakah tersangka
berperan sebagai pengedar Narkotika atau hanya sebagai pecandu atau
korban penyalahgunaan Narkotika.
Dengan menerapkan ketelitian, kehati-hatian dan kecermatan Jaksa
dalam penerapan pasal-pasal pada undang-undang Narkotika khususnya
pada tahap penuntutan, selain bertujuan untuk menentukan peran
tersangka serta dapat bertujuan untuk penentuan pemidanaan bagi
tersangka dalam tindak pidana Narkotika. Sehingga pemidanaan yang
dijatuhkan pada saat tahap penuntutan dapat tepat, sehingga sejalan
dengan tujuan yang terdapat pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
d. Faktor Non Hukum
Dalam kasus terdakwa Agus Pramono ini, penulis berkesempatan
melakukan wawancara dengan Jaksa Penuntut Umum yang ditunjuk
dalam penangan kasus Agus Pramono.
Dalam pernyataannya sebagai berikut:
72
untuk ada tuntutan atau putusan harus ada asesmen dari BNN,
namun pada kasus Agus Pramono Tidak disertai assesmen. Pada
dasarnya harus ada kebijakan bahwa setiap perkara Narkotika khususnya
yang disangkakan assesmen harus ada kebijakan bahwasannya kalau
ternyata tidak ada permintaan dari penyidik untuk assesmen maka Jaksa
Penuntut Umum dapat memberikan petunjuk kepada penyidik untuk
permintaan assesmen. Ada alasan teknis untuk proses rehabilitasi yang
berkelanjutan dari proses penyidikan sampai putusan yang butuh biaya
besar sedangkan untuk Jaksa tidak dianggarkan. Jadi akhirnya yang
tombok Jaksanya sendiri, mulai dari biaya antar jemput terdakwa dari
tempat rehabilitasi (untuk yang dekat dengan salatiga posisi perkara
Dhyo di Semarang dan untuk posisi perkara Agus Pramono yang di
Semarang udah pindah ke Purwokerto), biaya pengamanan polisi, biaya
konsumsi. Makanya kadang pilihan terbaik biar ga terlalu tombok adalah
penahanan di rutan, maka dari itu tidak memberikan rehabilitasi kepada
Agus Pramono.
Diperoleh fakta bahwa Jaksa Penuntut Umum tidak memberikan
tuntutan rehabilitasi dikarenakan ketidak inginan Jaksa untuk
mengeluarkan biaya lebih, sehingga lebih efisien dilakukannya pidana
penjara bagi terdakwa Agus Pramono.
Menurut penulis dengan penjatuhan pidana penjara terhadap pecandu
atau penyalahguna Narkotika dirasa jauh dari kata “bermanfaat” karena
tentu akan berujung pada tidak selesainya persoalan Narkotika, ini sama
artinya dengan memindahkan pecandu, korban penyalahguna Narkotika
73
ke dalam penjara tanpa ada upaya untuk disembuhkan serta tanpa
memikirkan proses rehabilitasi bagi pecandu atau korban penyalahguna
Narkotika untuk mengobati kecanduannya akan Narkotika. Hal ini
bahkan dapat menjerumuskan mereka ke dalam peredaran gelap
Narkotika. Serta pidana penjara bertentangan dengan pertimbangan
sosiologis dan filosofis pada SEJA NO. SE-002/A/JA/02/2013
“1) Kecenderungan meningkatnya penyalahgunaan narkotika dari
tahun ke tahun dimana sebagian besar dari
tersangka/terdakwa/terpidana dalam kasus narkotika adalah
termasuk kategori pemakai bahkan sebagai korban yang secara
medis mereka sesungguhnya adalah orang yang menderita sakit,
oleh karena itu menggunakan instrumen pemenjaraan bukanlah
terapi yang tepat karena telah mengabaikan aspek rehabilitasi
medis dan rehabilitasi sosial.
2) Kondisi lembaga pemasyarakatan pada saat ini selain sudah
mengalami over capacity juga membawa dampak negatif yang dapat
semakin memperburuk kondisi kejiwaan dan kesehatan yang diderita
para narapidana korban penyalahgunaan narkotika.”
Sehingga tindakan rehabilitasi merupakan tindakan yang tepat agar
dapat membantu pecandu sekaligus korban penyalahguna Narkotika
tersebut untuk direhabilitasi sesuai haknya. Rehabilitasi dapat
memberikan kesempatan pada pelaku sekaligus korban untuk
melanjutkan cita-cita hidupnya sesuai haknya. Hal ini berkaitan dengan
hak hidup seseorang dan sekaligus pelaku atau korban tersebut
merupakan generasi penerus bangsa yang harus dilindungi serta
mendapatkan perlakuan yang layak sekalipun mereka merupakan pelaku
atau korban Narkotika. Selain untuk mendapatkan penyembuhan dalam
masa rehabilitasi, juga sekaligus dapat mengasah keterampilan mereka
74
dalam bentuk pengarahan, daripada membiarkan korban atau pelaku
narkotika tersebut ke dalam proses dehumanisasi.27
27
Badan Narkotika Nasional, Pencegahan Penyalahgunaan Narkoba Sejak Dini, (Jakarta: BNN,
2009), hlm. 4.