bab ii kecerdasan emosi pada remaja yang mengikuti kelas unggulan di smpn 103 jakarta (skripsi)

53
6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kecerdasan Emosional 1. Pengertian Kecerdasan Emosional Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1996) mendefinisikan emosi sebagai “Setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis yang merupakan serangkaian kecenderungan untuk bertindak dengan adanya campuran, variasi, mutasi dan nuansanya yang berupa amarah, kesedihan, nikmat, cinta, terkejut, jengkel, dan malu(Goleman, 2004). Emosi dipengaruhi oleh pengetahuan individu mengenai emosi dan bagaimana penanganannya (intelegensi), pengalaman, peran orang tua, guru, lingkungan. Hampir semua perilaku kita yang terus menerus atau yang mengarah ke tujuan adalah bernada emosional dan bahwa nada emosionallah yang memberi motivasi untuk serangkaian perilaku yang panjang (Riyanti, 1998). Cooper dan Sawaf (1998) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan emosi menuntut penilaian perasaan, untuk mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari. Howes dan Herald (dalam Mutadin, 2002) mengatakan pada intinya kecerdasan emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada di wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Upload: tyaseta-sardjono

Post on 05-Dec-2014

1.464 views

Category:

Education


0 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1996) mendefinisikan emosi sebagai

“Setiap kegiatan atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu; setiap keadaan mental yang

hebat atau meluap-luap. Emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiran

khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis yang merupakan serangkaian

kecenderungan untuk bertindak dengan adanya campuran, variasi, mutasi dan

nuansanya yang berupa amarah, kesedihan, nikmat, cinta, terkejut, jengkel, dan malu”

(Goleman, 2004).

Emosi dipengaruhi oleh pengetahuan individu mengenai emosi dan bagaimana

penanganannya (intelegensi), pengalaman, peran orang tua, guru, lingkungan.

Hampir semua perilaku kita yang terus menerus atau yang mengarah ke tujuan

adalah bernada emosional dan bahwa nada emosionallah yang memberi motivasi

untuk serangkaian perilaku yang panjang (Riyanti, 1998).

Cooper dan Sawaf (1998) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan

kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Kecerdasan

emosi menuntut penilaian perasaan, untuk mengakui, menghargai perasaan pada diri

dan orang lain serta menanggapinya dengan tepat, menerapkan secara efektif energi

emosi dalam kehidupan sehari-hari.

Howes dan Herald (dalam Mutadin, 2002) mengatakan pada intinya kecerdasan

emosional merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar

menggunakan emosi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa emosi manusia berada di

wilayah dari perasaan lubuk hati, naluri yang tersembunyi, dan sensasi emosi yang

apabila diakui dan dihormati, kecerdasan emosional menyediakan pemahaman yang

lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri sendiri dan orang lain.

Page 2: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

7

Goleman (2004) mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan

lebih yang dimiliki seseorang dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi

kegagalan, mengendalikan emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan

jiwa. Dengan kecerdasan emosional tersebut seseorang dapat menempatkan emosinya

pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati.

McClelland (dalam Hapsariyanti, 2006) mendefinisikan kecerdasan emosional

sebagai seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif yang

akan menghasilkan orang-orang yang sukses dan memiliki kinerja yang tinggi.

Menurut Schwartz (dalam Hapsariyanti, 2006) kecerdasan emosional adalah

keajaiban dalam pemikiran yang memperlihatkan bagaimana keberhasilan tidak

hanya ditentukan oleh ukuran besar kecil otak seseorang tetapi lebih kepada gagasan

atau pemikiran seseorang dalam mengamati, memahami dirinya, dan berinteraksi

dengan orang lain.

Sellovey dan Mayer (dalam Aprilia, 2007) mendefinisikan kecerdasan emosional

sebagai sebuah bentuk kecerdasan emosional sebagai sebuah bentuk kecerdasan yang

melibatkan kemampuan memonitor perasaan dan emosi diri sendiri atau orang lain,

untuk membedakan diantara mereka dan menggunakan informasi untuk menuntun

pikiran dan tindakan seseorang.

Menurut Patton (dalam Aprilia, 2007), kecerdasan emosional adalah dasar-dasar

pembentukan emosi yang mencakup keterampilan-keterampilan seseorang, untuk

mengadakan impuls-impuls dan menyalurkan emosi yang kuat secara efektif.

Hills (dalam Hapsariyanti, 2006), kecerdasan emosional adalah sebagai kekuatan

berpikir alam bawah kecil otak sadar yang berfungsi sebagai kendali atau pendorong

yang tdak digerakkan oleh sarana logis, namun harus berlatih mengendalikannya

sehingga menjadi terbiasa.

Tidak ada standar test Emotional Quantum (EQ) yang resmi dan baku. Namun

kecerdasan emosi dapat ditingkatkan, baik terukur maupun tidak. Tetapi dampaknya

dapat dirasakan baik oleh diri sendiri maupun orang lain. Banyak ahli berpendapat

kecerdasan emosi yang tinggi akan sangat berpengaruh pada peningkatan kualitas

hidup (Yunita, 2009).

Page 3: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

8

Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi

adalah kemampuan merasakan, memahami, menghargai diri dan orang lain,

menempatkan emosinya pada porsi secara tepat, menunda kepuasan yang hanya bisa

dinikmati oleh individu, karena emosi dapat mengatur pikiran, motivasi, tingkah laku,

dan tindakan seseorang dalam menghadapi masalah dan berinteraksi dengan orang di

sekitarnya.

2. Perkembangan Kecerdasan Emosional

Konsep kecerdasan emosional bermula dari konsep kecerdasan sosial yang

pertama kali diungkapkan oleh E.L. Thorndike di tahun 1920. Dalam artikelnya di

Harper’s Magazine menyebutkan bahwa salah satu aspek kecerdasan emosional yaitu

kecerdasan sosial (Goleman, 2004). Para psikolog membagi kecerdasan dalam tiga

kelompok :

a. Kecerdasan abstrak

Kecerdasan abstrak adalah kemampuan untuk memahami dan memanipulasi

dengan simbol verbal dan matematis.

b. Kecerdasan konkret

Kecerdasan konkret adalah kemampuan memahami dan memanipulasi objek.

c. Kecerdasan sosial

Kecerdasan sosial adalah kemampuan untuk memahami dan berhubungan dengan

orang.

Thorndike (dalam Goleman, 2004) mendefinisikan kecerdasan sosial sebagai

kemampuan memahami dan mengatur laki-laki dan perempuan untuk dapat bertindak

secara bijak. Gardner (dalam Goleman, 2004) memasukkan kecerdasan interpersonal

dan intrapersonal dalam teori kecerdasan. Kedua kecerdasan itu dimasukkan dalam

kecerdasan sosial, ia mendefinisikannya :

a. Kecerdasan Interpersonal

Kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk memahami orang lain,

mengetahui apa yang dapat memotivasi individu, bagaimana individu dapat

bekerja secara kooperatif. Orang yang berprofesi sebagai guru, politikus,

Page 4: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

9

salesman, dokter, perawat, dan pemimpin religius yang sukses adalah seseorang

yang mempunyai kecerdasan interpersonal yang tinggi.

b. Kecerdasan Intrapersonal

Kecerdasan intrapersonal adalah kemampuan untuk memahami diri sendiri.

Kecerdasan emosi atau kecerdasan emosional meliputi kecerdasan sosial dan

menekankan pada pengaruh emosi pada kemampuan melihat situasi secara objektif

dan dapat memahami diri sendiri serta orang lain.

3. Komponen-komponen Kecerdasan Emosional

Goleman (2004) mengungkapkan lima wilayah kecerdasan emosional yang dapat

menjadi pedoman bagi individu untuk mencapai kesuksesan dalam kehidupan sehari-

hari :

a. Mengenali emosi diri atau kesadaran diri (self-awareness)

Kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk mengenali perasaan

diri sendiri sewaktu perasaan itu timbul. Hal ini menyebabkan individu menyadari

emosi yang sedang dialami serta mengetahui penyebab emosi tersebut terjadi serta

memahami kuaitas, intensitas, dan durasi emosi yang sedang berlangsung.

Kesadaran akan intensitas emosi memberi informasi mengenai besarnya pengaruh

kejadian tersebut pada individu. Intensitas yang tinggi cenderung memotivasi

individu untuk bereaksi sedangkan intensitas emosi yang rendah tidak banyak

mempengaruhi individu secara sadar. Kesadaran akan durasi emosi yang

berlangsung membuat individu dapat berpikir dan mengambil keputusan yang

selaras dalam mengungkapkan emosinya.

Pada tahap ini diperlukan adanya pemantauan perasaan diri dari waktu ke

waktu agar timbul wawasan psikologi dan pemahaman tentang diri.

Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan yang sesungguhnya membuat diri

berada dalam kekuasaan perasaan. Sehingga tidak peka akan perasaan yang

sesungguhnya yang berakibat buruk bagi pengambilan keputusan masalah

(Mutadin, 2002).

Menurut Mayer (dalam Goleman, 2004) kesadaran diri adalah waspada

baik terhadap suasana hati maupun pikiran kita tentang suasana hati dimana orang

Page 5: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

10

akan cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi

yakni dengan

1) Sadar diri

Peka akan suasana hati mereka ketika mengalaminya. Kejernihan pikiran

mereka tentang emosi telah melandasi kemandirian mereka dan keyakinan

akan pendirian mereka. Mereka cenderung melihat kehidupan secara positif

dan memiliki jiwa yang sehat. Apabila suasana hati sedang buruk, mereka

mampu melepaskan diri dari suasana hati itu dengan lebih cepat. Hal ini

terjadi karena mereka tidak risau dan larut di dalamnya, sehingga ketajaman

pola pikir mereka menjadi pendorong untuk mengatur emosi.

2) Tenggelam dalam permasalahan

Individu-individu yang seringkali dikuasai oleh emosi dan tidak berdaya

untuk melepaskan diri, seolah-olah suasana hati mereka telah mengambil alih

kekuasaan diri. Mereka mudah marah dan amat tidak peka terhadap yang

dialami sehingga larut ke dalam perasaan tersebut sehingga tidak mampu

untuk mencari perspektif baru. Akibatnya, mereka kurang berusaha untuk

melepaskan diri dari suasana hati yang buruk. Seringkali mereka merasa kalah

dan secara emosional mereka lepas kendali.

3) Pasrah

Individu ini peka terhadap apa yang mereka rasakan, mereka juga cenderung

menerima suasana hati mereka dan tidak berusaha untuk mengubahnya. Orang

yang dapat mengenali perasaan yang muncul pada dirinya merupakan orang

yang memiliki keputusan-keputusan pribadi dengan lebih mantap. Kesadaran

diri membuat individu menjadi waspada dan tidak terhanyut ke dalam aliran

emosi tersebut. Kurangnya kewaspadaan diri seseorang dapat mengakibatkan

orang tersebut mudah larut dalam aliran emosi yang digunakan sebagai

panduan dalam melakukan tindakan.

b. Mengelola emosi atau pengendalian diri (self-control)

Mengelola emosi atau pengendalian diri berarti menangani perasaan agar

dapat terungkap dengan tepat, sehingga terjadi keselarasan antara emosi dan

lingkungan. Dengan kata lain, individu dapat mengungkapkan emosinya dengan

Page 6: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

11

kadar yang tepat pada waktu yang tepat dengan cara yang tepat (Aristoteles dalam

Goleman, 2004). Tujuan pengendalian diri adalah keseimbangan emosi bukan

menekan emosi, karena setiap perasaan memiliki nilai dan makna tersendiri.

Emosi dikatakan berhasil dikelola apabila :

1) Mampu menghibur diri ketika ditimpa kesedihan

2) Dapat melepas kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan dapat

bangkit kembali dengan cepat dari semua itu

c. Memotivasi diri (self-motivation)

Kemampuan seseorang memotivasi diri dapat ditelusuri melalui :

1) Cara mengendalikan dorongan hati

Semua emosi, sesuai dengan sifatnya membawa pada salah satu dorongan

untuk bertindak. Setelah individu dapat menguasai dorongan hati tersebut,

mereka mampu membaca situasi sosial dimana penundaan akan memberi

manfaat lebih, mereka juga mampu mengacak perhatian agar tidak selalu

berpusat pada godaan yang dihadapi, dan mampu menghibur diri selama

mempertahankan kegigihan yang diperlukan untuk meraih sasaran.

2) Derajat kecemasan yang berpengaruh terhadap unjuk kerja seseorang

Orang yang pintar mengatur emosi dapat memanfaatkan kecemasan antisipasi,

misalnya bila akan berpidato atau mau ujian, untuk memotivasi diri guna

mempersiapkan diri baik-baik, sehingga dapat melakukannya dengan

sempurna.

3) Harapan

Harapan adalah lebih dari pandangan yang optimis bahwa segala sesuatunya

akan menjadi beres, mempunyai harapan berarti seseorang tidak akan terjebak

dalam kecemasan, bersikap pasrah, atau depresi dalam menghadapi sulitnya

tantangan atau kemunduran.

4) Optimisme

Seligman (dalam Goleman, 2004) orang yang optimis menganggap kegagalan

disebabkan oleh sesuatu yang dapat diubah sehingga mereka dapat berhasil

pada masa-masa mendatang.

5) Keadaan flow (mengikuti aliran)

Page 7: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

12

Keadaan flow yaitu keadaan ketika perhatian seseorang sepenuhnya tercurah

ke dalam apa yang sedang terjadi, pekerjaannya hanya terfokus pada satu

objek. Dalam flow, emosi tidak hanya ditampung dan disalurkan tetapi juga

bersifat mendukung, memberi tenaga, dan selaras dengan tugas yang sedang

dihadapi.

d. Mengenali emosi orang lain (empati)

Mengenali emosi berarti kemampuan untuk menangkap sinyal-sinyal

sosial secara tersembunyi yang mengisyaratkan hal-hal yang dibutuhkan atau

dikehendaki orang lain atau lebih dikenal dengan empati. Empati dibangun

berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka

dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain.

Sebaliknya orang yang tidak mampu menyesuaikan diri dengan emosinya sendiri

dapat dipastikan tidak akan mampu menghormati perasaan orang lain.

e. Membina hubungan dengan orang lain atau keterampilan sosial (social skill)

Seni dalam membina hubungan dengan orang lain merupakan

keterampilan sosial yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang

lain. Untuk menangani emosi orang lain dibutuhkan dua keterampilan emosi yaitu

pengendalian diri dan empati. Dengan landasan ini keterampilan berhubungan

dengan orang lain akan menjadi matang atau tidak akan mengalami kesulitan

dalam pergaulan sosial. Kemampuan ini memungkinkan seseorang membentuk

suatu hubungan untuk menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina

kedekatan hubungan, meyakinkan, mempengaruhi dan membuat orang lain

merasa nyaman. Apabila individu tidak memiliki keterampilan-keterampilan

semacam ini dapat menyebabkan seseorang seringkali dianggap angkuh, meng-

ganggu atau tidak berperasaan.

Berdasarkan uraian di atas, komponen-komponen kecerdasan emosi yaitu

mengenali emosi diri, dapat mengelola emosi dan mengendalikannya, dapat me-

motivasi diri, dapat mengenali emosi orang lain.

Page 8: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

13

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

DePorter, B., Mark, R., dan Mourie, S.S. (2002) menyatakan guru adalah salah

satu faktor yang berperan dalam pembentukan kecerdasan emosi siswanya karena :

a. Guru harus menggunakan keadaan positif anak untuk menarik mereka ke dalam

pembelajaran di bidang yang dapat mengembangkan potensi mereka dengan

memberikan tugas, membanjiri mereka dengan tantangan (Gardner dalam

DePorter, B., Mark, R., & Mourie, S.S., 2002),

b. Guru harus membangun hubungan dengan menjalin rasa simpati dan saling

pengertian guna membangun kehidupan yang bergairah, membukakan jalan untuk

memasuki dunia baru mereka, mengetahui kuatnya minat mereka, berbagi

kesuksesan, berbicara dengan bahasa hati sehingga dapat memudahkan guru

dalam melibatkan siswa, mengelola kelas, memperpanjang perhatian selama

belajar, serta meningkatkan kegembiraan,

c. Menumbuhkan rasa saling memiliki akan membuat orang dengan sukarela

menyumbang, merasa berdaya, dan diterima apa adanya, dengan menyingkirkan

ancaman, mengizinkan otak untuk bersantai sejenak, melibatkan emosi sehingga

dapat mengoptimalkan proses belajar, rasa saling memiliki sejati membuat orang

merasa berdaya untuk keluar dan mempertaruhkan zona nyaman mereka demi

kesuksesan dan pembelajaran. Rasa ini juga dapat menciptakan bahasa dukungan

dan standar dalam memperlakukan satu sama lain dengan hormat,

d. Memberikan teladan bagaimana membangun hubungan, memperbaiki

kredibiltitas, dan meningkatkan pengaruh yang di timbulkan dari modelling dalam

diri individu juga salah satu cara ampuh dalam membangun hubungan dan

memahami orang di sekitarnya, semakin mereka tertarik dan mulai mencontoh

kita sebagai figur yang layak dijadikan obyek modeling,

e. Memberikan disiplin yang adil, saat adu kekuatan dan kemampuan dengan

landasan yang kukuh serta garis pedoman yang jelas, serta setiap orang bermain

dengan peraturan yang sama tanpa adanya perbedaan,

f. Mengajarkan siswa cara berkonsentrasi, mencatat yang efektif, belajar untuk

ujian, meningkatkan kecepatan membaca, pemahaman, dan kemampuan mereka

untuk menghafalkan, berarti guru sudah mengajarkan cara menjadi pelajar yang

Page 9: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

14

sukses yang dapat berkarier dalam akademis serta dapat melihat pada diri sendiri

sebagai individu sepanjang hidupnya.

Menurut Goleman (2004) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan

emosional adalah

a. Keluarga

Kehidupan keluarga merupakan hal yang paling berpengaruh dalam

membangun kecerdasan emosi. Keluarga merupakan sekolah pertama untuk

mempelajari emosi. Orang tua yang kecerdasan emosinya tinggi akan

menguntungkan anak, karena orang tua dapat memilih tindakan-tindakan dan pola

asuh yang sesuai bagi anak untuk meningkatkan kecerdasan emosi anak.

Gottman (dalam Aprilia, 2007), mengadakan penelitian terhadap 119

keluarga, dengan mengamati bagaimana orang tua dan anak-anak saling bereaksi

dalam situasi-situasi penuh emosi, membagi tipe orang tua menjadi dua kategori

besar :

1) Orang tua yang memberi bimbingan kepada anak-anak mereka tentang dunia

emosi (pelatih emosi),

2) Orang tua yang tidak melakukannya.

b. Pengalaman

Semakin anak bertambah dewasa, semakin sedikit waktu yang dihabiskan

dalam keluarga. Pengalaman-pengalaman di luar rumah akan memperkaya

kecerdasan emosi anak. Hal-hal yang ditemui di luar rumah ada yang dapat

meningkatkan atau justru mengurangi kecerdasan emosi. Teori Bandura mengenai

belajar sosial mengatakan seseorang akan mempelajari perannya dalam kontak

sosial (dalam Sarwono, 2004). Demikian juga dengan kecerdasan yang dapat

dipelajari dari adanya kontak sosial dengan orang lain (Goleman, 2004).

Sarwono (2004) dalam artikelnya menyebutkan beberapa hal yang dapat

mempengaruhi kecerdasan emosional :

a. Peran orang tua

Di Barat, ekspresi positif orang tua umumnya dinyatakan berhubungan dengan

kemampuan sosialisasi yang positif dari anak, sedangkan emosi negatif orang tua

Page 10: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

15

berkaitan dengan sosialisasi negatif (Eisenberg dkk., dalam Sarwono 2004).

Sementara itu, hampir semua penelitian menyatakan bahwa sikap, pengasuhan

dan kondisi orang tua, secara langsung atau tidak akan mempengaruhi

kemampuan pengendalian emosi anak. Eisenberg, dkk. (dalam Sarwono, 2004)

mengemukakan bahwa perilaku emosional orang tua berpengaruh pada perilaku

pengendalian diri dan pernyataan diri anak. Tetapi sebaliknya tidak terbukti

bahwa perilaku anak berpengaruh pada gaya asuh orang tua.

b. Perlakuan yang tidak baik

Dalam penelitiannya Shields (dalam Sarwono, 2004) ditemukan bahwa individu

yang diperlakukan dengan baik lebih menunjukkan perilaku kesulitan dalam

menyesuaikan diri (maladaptive). Perilaku maladaptive yang dimaksud adalah

ketidakmampuan mengendalikan amarah dan menolak berteman, sedangkan

perilaku yang adaptif adalah perilaku prososial dan suka berteman. Chang

melakukan penelitian di Cina terhadap 325 sampel anak, menunjukkan bahwa

perlakuan kasar dari orang tua berpengaruh langsung dan tidak pada pengendalian

emosi anak dan pada gilirannya mempengaruhi agresivitas anak, perlakuan kasar

ayah juga lebih mempengaruhi agresivitas anak.

c. Sekolah

Disamping pengaruh orang tua terhadap prestasi individu di sekolah, kecerdasan

emosional individu di sekolah dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan emosional

para kepala sekolah, dan hubungan dengan teman-temannya. Misalnya pada

penelitian terhadap 589 kepala sekolah (pria dan wanita, SLTP dan SLTA)

membuktikan bahwa ada hubungan yang kuat antara kecerdasan emosional kepala

sekolah dengan bagaimana cara mereka mengelola konflik (Noghabs, dalam

Sarwono 2004).

d. Gender, usia dan budaya

1) Gender

Pria dengan kecerdasan emosional yang tinggi memiliki komitmen yang

tinggi, bertanggung jawab, simpatik dan menunjukkan keperduliannya dalam

hubungan sosial. Ia mudah bergaul, ceria dan tidak mudah merasa cemas,

mereka mampu mengatur kehidupan emosi mereka sehingga dapat merasa

Page 11: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

16

tenang, senang dengan diri sendiri dan orang lain serta lingkungan (Goleman,

2004).

Mubayidh (2006) menjelaskan bahwa “Setiap jenis kelamin memiliki

kecerdasan emosional dalam batas-batas tertentu sesuai dengan potensi setiap

individu”, yang dimaksudkan dalam batas-batas tertentu sesuai potensi

individu adalah masing-masing individu memiliki cara khusus untuk

mengekspresikan emosionalnya yang dicerminkan melalui wilayah-wilayah

kecerdasan emosional. Wilayah-wilayah kecerdasan emosional berkembang

dengan berbeda sesuai dengan potensi kecerdasan emosional yang dimiliki

oleh masing-masing jenis kelamin.

Menurut Mubayidh (2006) pada umumnya laki-laki lebih berkembang

dalam hal perasaan jati diri dan kemampuan dalam menghadapi kesulitan

(mengelola diri sendiri), sedangkan pada perempuan lebih berkembang dalam

hal hubungan antar sesama, tanggung jawab sosial dan empati dengan orang

lain. Perasaan jati diri maksudnya yaitu laki-laki lebih mampu untuk

menghargai jati diri dan potensi yang dimiliki, kemampuan menghadapi

kesulitan maksudnya adalah laki-laki lebih mampu menghadapi kemungkinan

adanya peristiwa buruk yang menimpanya, kesulitan yang dihadapinya, serta

tegang dalam menghadapi situasi tanpa kehilangan kendali dan kehilangan

inisiatif; maksud dari hubungan antar sesama yaitu perempuan lebih mampu

membangun hubungan timbal balik yang saling menguntungkan, mampu

melestarikan hubungan yang ditandai dengan adanya sifat kasih sayang, dalam

hal tanggung jawab sosial, perempuan mampu menunjukkan kerja sama

dengan orang lain, perempuan mampu menjadi anggota yang memberikan

perannya baik dalam berhubungan dengan anggota-anggota lain dalam

kelompoknya, dalam hal yang berhubungan dengan empati, perempuan lebih

mampu mengenali, merasakan dan menghargai apa yang dirasakan oleh orang

lain. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Hernowo

(2010) bahwa rata-rata wilayah kecerdasan emosi tertinggi pada laki-laki

terdapat pada kemampuan dalam mengelola emosi, sedangkan rata-rata

wilayah kecerdasan emosi tertinggi pada perempuan terdapat pada

Page 12: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

17

kemampuan dalam mengenali emosi diri sendiri (tanpa perbandingan jenis

kelamin), dan dalam membina hubungan (dengan perbandingan jenis kelamin)

kecuali pada wilayah empati.

Zahara (2008) menyatakan bahwa wanita yang memiliki kecerdasan

emosional yang tinggi dapat mengekspresikan perasaan dengan tepat, hal ini

menyebabkan mereka lebih asertif. Mereka mudah bergaul dan merasa dunia

penuh arti bagi dirinya. Mereka dapat mengendalikan stres, jarang cemas

apalagi tenggelam dalam kepedihan yang berlarut-larut. Mereka merasa

tenang, spontan, dan terbuka terhadap pengalaman baru.

2) Usia

Menurut Mubayidh (2006) kecerdasan emosional manusia akan bertambah

tinggi seiring dengan bertambahnya umur. Puncak kecerdasan emosional

terjadi pada akhir usia 40 tahun, sedangkan pada kecerdasan intelektual (IQ)

mencapai puncaknya pada masa remaja, setelah melewati usia 50 tahun,

kecerdasan intelektual seseorang menjadi menurun (Hernowo, 2010).

Penurunan ini tidak terjadi pada kecerdasan emosional (EQ), lebih lanjut

Mubayidh (2006) menjelaskan bahwa ada sebagian orang yang kecerdasan

emosionalnya stabil dan tidak berubah sesuai dengan perjalanan waktu.

Seseorang mungkin sangat rajin di usia 16 tahun, dan masih stabil bahkan saat

sudah berusia 40 tahun, meskipun ada pula orang yang kecerdasan

emosionalnya berubah secara drastis karena pengaruh keadaan dan peristiwa

yang dialami (Hernowo, 2010).

Hernowo (2010) mengemukakan bahwa hasil data deskripsi subjek

berdasarkan usia diperoleh data bahwa rata-rata kecerdasan emosional yang

paling tinggi terdapat pada subjek yang berusia 18 tahun, sedangkan

kecerdasan emosional yang paling rendah terdapat pada subjek yang berusia

14 tahun. Hasil ini menunjukkan bahwa perbedaan tingkat usia mempengaruhi

kecerdasan emosional.

Page 13: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

18

3) Budaya

Sebuah penelitian di Jepang membuktikan bahwa laki-laki Jepang cerewet

soal nilai-nilai pelajaran, tetapi cuek dalam membantu Ibu di rumah dan

pengendalian emosi (misalnya menahan emosi), sedangkan perempuan Jepang

sebaliknya, rewel dalam pekerjaan rumah tangga, namun tetap peduli soal

pelajaran sekolah dan dapat melakukan pengendalian amarah; walaupun

menurut antropolog Benedict, orang Jepang berbudaya malu dan orang tua

tidak memberi pelatihan khusus tentang pengendalian emosi (Sogon dalam

Sarwono 2004). Penelitian pada 72 anak prasekolah membuktikan bahwa

mereka mampu mengerti emosi orang lain. Kemampuan ini berkembang

sejalan dengan pertambahan usia. Individu yang sudah lebih besar mampu

memahami emosi dalam hubungan antar tiga orang, dan dapat menyesuaikan

diri dengan baik kepada emosi itu (Hayasi dalam Sarwono 2004).

Berdasarkan uraian di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan

emosional yaitu guru, keluarga atau orang tua, pengalaman, perlakuan yang tidak

baik, sekolah, gender, usia dan budaya.

5. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Dalam artikel yang terdapat di Harper’s Magazine menyebutkan bahwa salah satu

aspek kecerdasan emosional yaitu kecerdasan sosial (Goleman, 2004).

Salovey dan Mayer (dalam Aprilia, 2007) mengemukakan bahwa ada empat

macam aspek dasar kecerdasan emosional :

a. Mengendalikan emosi

Ketidakmampuan mengendalikan emosi, atau membedakan dengan benar emosi,

membuat semua keterampilan lain tidak berguna. Ada dua lokasi dalam

mengendalikan emosi (Davis dalam Aprilia, 2007) :

1) Pada diri sendiri

Emosi dapat memberikan informasi atau dengan jelas memberitahu

bagaimana anda sedang mengevaluasi sesuatu, orang, benda, situasi, gagasan.

Mengetahui secara akurat emosi dapat memberikan masukan tentang apa yang

disukai, tidak disukai, atau yang bertentangan.

Page 14: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

19

Emosi juga dapat memberikan petunjuk bagaimana berperilaku yang tepat

dalam situasi yang dihadapi. Banyak emosi merupakan tanda bagi anda

tentang kemana akan mengarahkan perhatian dan bagaimana mengarahkan

energi.

2) Pada lingkungan

Emosi dapat membuat seseorang peka terhadap situasi yang terjadi serta

dapat menempatkan dirinya di lingkungan tempat ia berada.

b. Memahami emosi

Memahami emosi berarti mengetahui dengan seksama penyebab, akibat

serta cara berkembang dan berubahnya emosi setiap saat sangat penting sementara

individu berusaha menggunakan emosi agar berfungsi dengan efektif di dunia ini.

Hal-hal yang harus dipahami tentang emosi adalah apa yang

menyebabkannya. Memahami penyebab emosi individu itu sendiri, tetapi juga

ketika dirasakan orang lain dan lebih penting lagi adalah mengetahui mengapa

perasaan itu muncul.

Hal kedua dalam memahami emosi adalah pengaruh yang dihasilkan

akibat emosi, mengetahui asal emosi, mengetahui bagaimana emosi mem-

pengaruhi orang yang mengalami juga penting. Keuntungan memiliki pengertian

emosi yang akurat adalah membantu menghindari bersikap emosional akibat

mendapatkan pengaruh yang tidak diinginkan dari tingkah laku. Memahami emosi

diri akan memiliki manfaat serupa dengan memahami emosi orang lain.

Terakhir, berkaitan dengan memiliki pengertian umum tentang cara kerja

emosi. Kemampuan memahami emosi lebih banyak ditentukan oleh pengetahuan

individu tentang teori emosi karena dengan memiliki pengetahuan tentang teori

emosi dapat membantu individu, khususnya ketika sedang dihadapkan dengan

situasi baru yang melibatkan orang-orang yang mungkin kurang dikenal.

Ketika ketiga bentuk emosi dikombinasikan, campuran yang kuat akan

terbentuk dengan mengombinasikan pemahaman penyebab emosi, akibat emosi

dan cara kerja dapat mengantisipasi perilaku orang lain dengan lebih baik, bahkan

yang paling mudah dapat mempengaruhi reaksi emosi orang disekitarnya.

Page 15: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

20

c. Mengatur emosi

Keterampilan ini pada intinya adalah tentang bereaksi dengan suatu cara

terhadap emosi yang kita hadapi dalam hidup. Kemampuan mengendalikan emosi

membuat individu dapat memiliki fleksibilitas yang besar dalam emosi serta

kehidupan sosial. Kemampuan ini dapat membuat individu dapat mengendalikan

rangsangan sehingga dapat memaksimalkan rangsangan, lebih tabah dalam

menghadapi frustasi dan godaan, mencegah dampak buruk dari hasutan orang

lain, serta dapat bertindak tepat meskipun ada tekanan dari orang lain untuk

melakukan hal yang sebaliknya.

Kemampuan ini juga dapat membantu individu untuk membuat orang lain,

tidak hanya mengurangi atau meningkatkan emosi positif, tetapi meningkatkan

keinginan orang lain untuk berusaha keras dan menghdapi tantangan.

d. Menggunakan emosi

Penggunaan emosi adalah pengembangan alami terhadap pengaturan

emosi. Menggunakan emosi dengan sukses berarti mampu ketika diperlukan.

Memanfaatkan kekuatan emosi ini untuk mencapai sasaran, misalnya :

1) Menggunakan emosi untuk mempengaruhi kinerja

Emosi dapat digunakan untuk meningkatkan kinerja dengan beberapa cara,

misalnya dengan memanfaatkan motivasi rasa malu dan kecemasan social,

mengenali manfaat kekuatan kemarahan dan mengubah strategi dalam

mecapai sasaran, menggunakan ketekunan untuk mengatur segala sesuatu

sehingga tahu bahwa tidak tekun hanya akan membuahkan hasil yang sangat

tidak diinginkan, dan juga menggunakan emosi dan sejarah emosi untuk

membantu mencapai sasaran.

2) Menggunakan emosi untuk meningkatkan diri secara umum

Dengan menggunakan teknik penilaian kembali secara kognitif dan

perencanaan aktif sangat berguna untuk menciptakan dan mempertahankan

suasana hati yang positif. Pengaruh suasana hati yang positif cenderung

membuat anda lebih terbuka terhadap pengalaman, kemungkinan besar mau

menyelidiki, menjadi kreatif dan mau mencoba hal-hal baru.

Page 16: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

21

3) Menggunakan emosi untuk mempengaruhi orang lain

Dengan membuat orang lain bertindak dengan cara yang kita inginkan. Pada

dasarnya dapat dianggap sebagai sasaran utama hubungan sosial, dan nampak

bahwa kecerdasan emosi yang terbangun secara baik.

4) Menggunakan emosi untuk mengatasi konflik dengan lebih baik

Perselisihan dengan orang lain tidak dapat dihindari, tetapi cara itu terjadi

sebagian berada dalam kendali individu. Emosi berbahaya dan melukai.

Merupakan sesuatu yang berhasil dipengaruhi orang yang cerdas secara

emosional misalnya dengan cara :

Merespon dengan tepat di saat awal konflik akan terjadi, respon yang

membangun cenderung membuat segalanya lebih baik, memberikan informasi

kepada orang lain tentang apa yang individu rasakan dan alasannya, tujuannya

adalah menunjukkan emosi individu dengan tepat dan tidak menyalahkan

orang lain; dan tidak memberikan respon terhadap hasutan.

Menurut Stein dan Book (dalam Hapsariyanti, 2006) terdapat beberapa aspek

kecerdasan emosional yaitu

a. Empati

Kemampuan untuk menyadari, memahami dan menghargai perasaan dan pikiran

orang lain. Empati adalah peka terhadap apa, bagaimana dan latar belakang

perasaan dan pikiran orang lain sebagaimana orang tersebut merasakan dan

memikirkannya. Bersikap empatik artinya mampu membaca orang lain dari sudut

pandang emosional. Orang empatik peduli pada orang lain dan memperlihatkan

minat dan perhatiannya pada orang lain. Stone dan Dillehunt (dalam Hapsariyanti,

2006) menambahkan bahwa empati merupakan kemampuan memahami perasaan

dan masalah orang lain, dan berpikir dengan sudut pandang individu dengan

menghargai setiap perbedaan perasaan orang mengenai berbagai hal.

b. Hubungan antarpribadi

Kemampuan membina dan memelihara hubungan yang saling memuaskan yang

ditandai dengan keakraban dan saling memberi serta menerima kasih sayang.

Unsur kecerdasan emosional ini tidak hanya berkaitan dengan keinginan untuk

Page 17: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

22

membina persahabatan dengan orang lain, tetapi juga dengan kemampuan merasa

tenang dan nyaman dalam jalinan hubungan tersebut.

c. Sikap fleksibel

Kemampuan menyesuaikan emosi, pikiran dan perilaku dengan perubahan situasi

dan kondisi. Unsur kecerdasan emosional ini mencakup seluruh kemampuan

seseorang dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak biasa, tidak

terduga dan dinamis. Orang yang fleksibel adalah orang yang tangkas dan mampu

bekerja sama.

d. Kesadaran diri secara emosional

Kemampuan untuk mengenal dan memilah-milah perasaan, memahami hal yang

sedang dirasakan dan mengapa hal itu dirasakan, dan mengetahui penyebab

munculnya hal tersebut. Stone dan Dillehunt (dalam Hapsariyanti, 2006)

mengatakan bahwa kesadaran diri secara emosional adalah kemampuan seseorang

dalam mengamati diri dan mengenal perasaan-perasaannya, dan mengetahui

hubungan antara pikiran, perasaan dan reaksinya terhadap sesuatu.

e. Optimisme

Kemampuan melihat sisi terang kehidupan dan memelihara sikap positif,

sekalipun ketika berada dalam kesulitan. Optimisme mengasumsikan adanya

harapan dalam menghadapi kehidupan. Optimisme adalah pendekatan yang

positif terhadap kehidupan sehari-hari.

f. Kebahagiaan

Kemampuan untuk merasa puas dengan kehidupan yang dialami, bergembira

dengan diri sendiri dan dengan orang lain, serta bersenang-senang. Kebahagiaan

adalah gambaran dari kepuasan diri, kepuasan secara umum dan kemampuan

menikmati hidup. Seseorang yang bahagia sering merasa senang dan nyaman,

baik selama bekerja maupun pada waktu luang, menikmati hidup dengan bebas,

serta menikmati kesempatan yang ada disetiap menjalani kehidupan.

g. Kemandirian

Kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri sendiri dalam berpikir

dan bertindak, serta tidak merasa bergantung pada orang lain secara emosional.

Seseorang yang mandiri mengandalkan dirinya sendiri dalam merencanakan dan

Page 18: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

23

membuat keputusan penting. Selain itu, seseorang yang mandiri juga bisa saja

meminta dan mempertimbangkan pendapat orang lain sebelum akhirnya membuat

keputusan yang tepat untuk diri sendiri. Perlu diketahui, seseorang yang meminta

pendapat orang lain jangan selalu di anggap pertanda ketergantungan. Orang yang

mandiri mampu bekerja sendiri dan tidak mau bergantung dengan orang lain

dalam memenuhi harapan dan kewajiban tanpa dikendalikan oleh sesuatu yang

ada.

Sedangkan menurut Goleman (dalam Hapsariyanti, 2006) terdapat pula aspek-

aspek :

a. Mengenali emosi diri

Kesadaran diri dengan mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi

merupakan dasar kecerdasan emosional. Kemampuan untuk memantau perasaan

dari waktu ke waktu merupakan hal penting bagi wawasan psikologi dan

pemahaman diri. Ketidakmampuan untuk mencermati perasaan diri sendiri yang

sesungguhnya membuat seseorang berada dalam kekuasaan perasaan. Orang yang

memiliki keyakinan yang lebih tentang perasaannya adalah orang yang andal bagi

kehidupan diri seseorang itu sendiri, karena mempunyai kepekaan lebih tinggi

akan perasaan diri yang sesungguhnya atas pengambilan keputusan-keputusan

mengenai suatu masalah maka seseorang tersebut akan dapat memahami

keterbatasan yang ada pada dirinya.

b. Mengelola emosi

Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan baik adalah

kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri merupakan kemampuan untuk

menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan, atau ketersinggung-

an dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan ini akan terus

muncul bertarung melawan perasaan-perasaan buruk yang menguasai dirinya,

sementara orang yang pandai dapat bangkit kembali dengan jauh lebih baik

seperti yang diharapkan.

c. Memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting

dalam kaitannya untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan

Page 19: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

24

menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional adalah

menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati sehingga

terciptalah suatu keberhasilan dalam berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki

keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apa pun

yang dilakukan dan dikerjakan.

d. Mengenali emosi orang lain atau berempati

Orang yang empatik lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang

tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan atau dikehendaki

orang lain sehingga orang lain merasa nyaman dan tenang berada di dekatnya.

e. Membina hubungan

Seni dalam membina hubungan, sebagian besar merupakan keterampilan

mengelola emosi orang lain. Ini merupakan keterampilan yang menunjang

popularitas, kepemimpinan, dan keberhasilan antarpribadi. Orang-orang hebat

dalam keterampilan ini akan sukses dalam bidang apapun yang mengandalkan

hubungan yang baik dengan orang lain.

Salovey, Stroud, Woolery dan Epel (dalam Hapsariyanti, 2006) berkata ada

beberapa aspek penting kecerdasan emosi yaitu sejauh mana kemampuan individu

untuk melakukan refleksi terhadap perasaannya sendiri dan mengatur perasaan

tersebut. Kemampuan ini harus diawali dengan adanya kemauan individu untuk

memperhatikan emosinya dan mengalami emosi tersebut dengan jelas (Salovey, dkk.

dalam Hapsariyanti, 2006). Terdapat beberapa aspek kecerdasan emosional yang

merupakan ciri-ciri individu yang cerdas secara emosional sehingga mampu

mengungkapkan perasaannya pada diri dan orang lain :

a. Atensi

Kemampuan individu untuk memperhatikan mood dan emosinya.

b. Kejelasan

Kemampuan individu untuk membedakan perasaan-perasaannya.

c. Pengaturan

Kemampuan individu untuk mengatur moodnya.

Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek kecerdasan emosional meliputi mengenal

dan memilah perasaan, mengendalikan emosi, memahami emosi, mengatur emosi,

Page 20: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

25

menggunakan emosi, empati, kemampuan membina dan memelihara hubungan

dengan orang lain, menyesuaikan emosi, kemampuan untuk dapat melihat sisi terang

kehidupan sekalipun ketika berada dalam kesulitan, kemampuan untuk merasa puas

dengan kehidupan yang dialami serta bergembira dengan diri sendiri dan orang lain,

kemampuan untuk mengatasi mengarahkan dan mengendalikan diri dalam berpikir

dan bertindak serta tidak bergantung pada orang lain.

6. Area Kecerdasan Emosi

Baron (dalam Stein & Book, 2004) ada lima area dalam kecerdasan emosi :

a. Area intrapribadi

Area ini terkait dengan kemampuan seseorang untuk mengenal dan

mengendalikan diri sendiri yang melingkupi kesadaran diri, perilaku asertif,

kemandirian, penghargaan diri, dan aktualisasi diri. Kesadaran diri merupakan

kemampuan untuk mengenali perasaan dan mengapa seseorang merasakannya,

pengaruh perilaku seseorang terhadap orang lain. Perasaan asertif merupakan

kemampuan menyampaikan secara jelas pikiran dan perasaan seseorang saat

membela diri dan mempertahankan pendapat. Kemandirian merupakan

kemampuan untuk mengarahkan dan mengendalikan diri, berdiri dengan kaki

sendiri. Penghargaan diri yaitu kemampuan untuk mengenali kekuatan dan

kelemahan seseorang dan menyenangi diri sendiri meskipun memiliki kelemahan.

Aktualisasi diri merupakan kemampuan mewujudkan potensi yang dimiliki

seseorang dan merasa puas dengan potensi yang diraih dalam kehidupan pribadi.

b. Area antarpribadi

Berkaitan dengan keterampilan bergaul yang dimiliki seseorang serta kemampuan

dalam berinteraksi dengan orang lain yang meliputi empati, tanggung jawab sosial

dan hubungan antarpribadi. Empati adalah kemampuan untuk memahami

perasaan dan pikiran orang lain, dan untuk melihat dunia dari sudur pandang

orang lain. Tanggung jawab sosial adalah kemampuan untuk menjadi angota

masyarakat yang dapat bekerja sama dan yang bermanfaat bagi kelompok

masyarakatnya. Hubungan antarpribadi mengacu pada kemampuan untuk

Page 21: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

26

menciptakan dan mempertahankan hubungan yang saling menguntungkan, dan

ditandai oleh rasa memberi dan menerima serta adanya rasa kedekatan emosional.

c. Area penyesuaian diri

Berkaitan dengan kemampuan untuk bersikap lentur dan realistis, dan untuk

memecahkan aneka masalah yang muncul, yang meliputi uji realitas, fleksibel,

dan pemecahan masalah. Uji realitas merupakan kemampuan untuk melihat

sesuatu sesuai kenyataannya, bukan seperti yang diinginkan atau ditakuti.

Fleksibel diperlukan untuk menyesuaikan perasaan pikiran dan tindakan dengan

keadaan yang berubah-ubah. Pemecahan masalah merupakan kemampuan untuk

mendefinisikan permasalahan, kemudian bertindak untuk mencari pemecahan

yang jitu.

d. Area pengendalian stres

Terkait dengan kemampuan seseorang untuk bertahan menghadapi stres dan

mengendalikan impuls, yang meliputi ketahanan menanggung stres, dan

mengendalikan impuls. Ketahanan menanggung stres diperlukan untuk tetap

tenang dan konsentrasi, serta tetap tegar dalam menghadapi konflik emosi.

Pengendalian impuls merupakan kemampuan untuk menahan atau menunda

keinginan untuk bertindak.

e. Area suasana hati umum

Suasana hati yang umum berkaitan dengan keoptimisan dan kebahagiaan dalam

diri. Optimisme adalah kemampuan untuk mempertahankan sikap positif realistis

yang sulit. Kebahagiaan adalah kemampuan untuk mensyukuri kehidupan,

menyukai diri sendiri dan orang lain, dan untuk bersemangat serta bergairah

dalam melakukan setiap kegiatan.

Berdasarkan uraian di atas, area kecerdasan emosi meliputi area : intrapribadi,

antarpribadi, penyesuaian diri, pengendalian stress, suasana hati umum.

7. Ciri-ciri Individu yang Memiliki Kecerdasan Emosional

Zahara (2008) ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosional :

a. Pria dengan kecerdasan emosional yang tinggi memiliki komitmen yang tinggi,

bertanggung jawab, simpatik dan menunjukkan keperduliannya dalam hubungan

Page 22: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

27

sosial. Ia mudah bergaul, ceria dan tidak mudah merasa cemas, mereka mampu

mengatur kehidupan emosi mereka sehingga dapat merasa tenang, senang dengan

diri sendiri dan orang lain serta lingkungan (Goleman, 2004),

b. Wanita yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi dapat mengekspresikan

perasaan dengan tepat, hal ini menyebabkan mereka lebih asertif. Mereka mudah

bergaul dan merasa dunia penuh arti bagi dirinya. Mereka dapat mengendalikan

stres, jarang cemas apalagi tenggelam dalam kepedihan yang berlarut-larut.

Mereka merasa tenang, spontan, dan terbuka terhadap pengalaman baru.

Menurut Richard Herinstein dan Charles Murray (dalam Goleman, 2004)

kecerdasan emosional selain memiliki beberapa faktor juga memiliki beberapa ciri-

ciri tambahan yaitu

a. Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri

b. Bertahan menghadapi frustasi

c. Mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan

d. Mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan

kemampuan berpikir

e. Berempati dan berdoa

Berdasarkan uraian di atas, ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosional

yaitu punya komitmen yang tinggi, bertanggung jawab, simpatik, menunjukkan

keperduliannya, berempati, mudah bergaul, ceria, tidak mudah cemas, mampu

mengatur emosi, asertif, dapat memotivasi diri, dapat bertahan menghadapi frustasi,

dapat mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan, dapat

menjaga agar stres tidak mengendalikan pikiran dan perasaan.

B. Kelas Unggulan

1. Pengertian Kelas Unggulan

Kelas unggulan adalah kelas tertentu dengan sejumlah siswa yang telah

dikelompokkan karena prestasinya yang menonjol (di atas normal), kemudian

diberi program pengajaran dengan kurikulum yang berlaku, ditambah pendalaman

materi secara khusus meliputi mata pelajaran Matematika, IPA dan Bahasa

Page 23: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

28

Inggris, dengan standar prestasi melalui sistem evaluasi tertentu

http://www.sdnsukasari4tng. sch.id /Info-Sekolah/kelas-unggulan.php).

Kelas Unggulan adalah kelas yang dipersiapkan secara dini untuk

pengembangan kelas yang memiliki sejumlah siswa dengan minat, bakat,

kemampuan, dan kecerdasan yang tinggi, diasuh oleh sejumlah pembimbing atau

guru atau tutor yang profesional dan handal di bidangnya, melaksanakan

kurikulum dengan menekankan pada mata pelajaran Matematika, IPA, Seni,

Olahraga, Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan Ketrampilan Komputer, serta

didukung sarana dan prasarana yang memadai (http://smpyabakii1-clp.sch.id/

profil.php?num=27).

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kelas unggulan

adalah kelas tertentu yang dipersiapkan secara dini untuk pengembangan kelas

yang memiliki sejumlah siswa dengan minat, bakat, kemampuan, dan kecerdasan

yang tinggi, diasuh oleh sejumlah pembimbing atau guru atau tutor yang

profesional dan handal di bidangnya dengan sejumlah siswa yang telah

dikelompokkan karena prestasinya yang menonjol (di atas normal), kemudian

diberi program pengajaran dengan kurikulum yang berlaku, ditambah pendalaman

materi secara khusus meliputi mata pelajaran Matematika, IPA, Seni, Olahraga,

Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan Ketrampilan Komputer, dengan standar prestasi

melalui sistem evaluasi tertentu serta didukung sarana dan prasarana yang

memadai.

2. Dasar Konseptual Kelas Unggulan

Dasar konspetual kelas unggulan (http://www.sdnsukasari4tng.sch.id/Info-

Sekolah/kelas-unggulan.php):

a. Setiap anak pada dasarnya memiliki kemampuan, bakat dan minat yang

berbeda-beda, maka setiap anak perlu mendapat pelayanan belajar yang

memadai agar kemampuan bakat dan minat yang dimilikinya dapat

berkembang secara optimal.

Page 24: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

29

b. Anak yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa, apabila tidak

memperoleh pelayanan khusus, akan menimbulkan perilaku negatif seperti :

lekas bosan terhadap tugas rutin, memaksakan pendapat kepada orang lain,

kurang sikap tenggang rasa, acuh tak acuh, dan mudah tersinggung yang

akhirnya akan menghambat perkembangan dirinya.

c. Pengelompokan siswa yang memiliki kecerdasan di atas normal ke dalam

kelas khusus, akan memudahkan guru/pendidik dalam memberikan pelayanan

belajar, sehingga siswa akan memperoleh kesempatan berkembang lebih

cepat.

3. Tujuan Kelas Unggulan

Tujuan kelas unggulan (www.sdnsukasari4tng.sch.id/Info-Sekolah/ kelas-

unggulan.php):

a. Memberi kesempatan kepada siswa yang memiliki kecerdasan di atas normal

untuk mendapat pelayanan khusus, sehingga mempercepat pengembangan

bakat dan minat yang dimilikinya.

b. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk lebih cepat menguasai ilmu

pengetahuan dan keterampilan, sesuai dengan ketentuan kurikulum sekolah

dasar (khusus kelas unggulan).

c. Mempersiapkan lulusan menjadi siswa unggul dalam ilmu pengetahuan, budi

pekerti dan keterampilan sesuai dengan tingkat perkembangannya.

4. Ciri-ciri Kelas Unggulan

Kelas unggulan adalah kelas yang dipersiapkan secara dini untuk pengembangan

kelas yang memiliki ciri-ciri (dalam http://smpyabakii1-clp.sch.id/profil.php?num=

27) :

a. Memiliki sejumlah siswa dengan minat, bakat, kemampuan, dan kecerdasan

yang tinggi.

Page 25: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

30

b. Diasuh oleh sejumlah pembimbing atau guru atau tutor yang profesional dan

handal di bidangnya.

c. Melaksanakan kurikulum dengan menekankan pada mata pelajaran

Matematika, IPA, Seni, Olahraga, Bahasa Inggris, Bahasa Arab dan

Ketrampilan Komputer.

d. Didukung sarana dan prasarana yang memadai, antara lain :

1) Kelas yang nyaman dan representatif.

2) Laboratorium IPA, Bahasa dan Komputer.

3) Ruang Pusat Belajar Sekolah (PBS) multimedia yang dilengkapi dengan

sistem audiovisual yang lengkap.

4) Perpustakaan yang memiliki minimal 2.000 judul buku yang relevan dan

ruang yang cukup luas untuk belajar sendiri.

5) Lapangan olahraga dan atau ruangan yang dapat meningkatkan kebugaran

jasmani dan peningkatan prestasi.

6) Ruang pengembangan minat dan bakat siswa lengkap dengan peralatan

yang dibutuhkan.

7) Suasana belajar dan lingkungan yang kondusif.

8) Buku belajar, diktat dan bang soal latihan yang menunjang.

9) Jumlah siswa di kelas antara 20 sampai 30 siswa, sehingga belajar menjadi

lebih efektif.

10) Di dalam kelas dilengkapi dengan alat pembelajaran yang lengkap dan

memadai.

5. Pandangan Masyarakat Mengenai Kelas Unggulan

Mukti (2008) berkata, “Penyelenggaraan kelas unggulan melalui proses

rekrutmen untuk melihat potensi siswa dilakukan secara multidimensional.

Rekrutmen dilakukan dengan mengembangkan konsep keberbakatan dari Renzulli,

Reis dan Smith (1978). Konsep itu menyebutkan bahwa anak berbakat mempunyai

IQ minimal 125 menurut skala Wechsler, selain itu harus mempunyai task

commitment dan creativity quotion di atas rata-rata. Dari sisi waktu,

penyelenggaraan kelas akselerasi menguntungkan, siswa yang bakat intelektualnya

Page 26: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

31

tinggi dibantu secara khusus, sehingga mereka mendapatkan bantuan pengajaran

lebih sesuai bakatnya. Mereka akan dapat cepat lulus, diperkirakan setahun lebih

awal dibanding siswa biasa. Dengan program percepatan ini diharapkan siswa

berbakat tidak bosan di kelas yang sama dengan siswa lain, sehingga tidak

mengganggu, mengacau kelas, dan dia dapat terus maju dengan cepat.

Kelas model ini memang menjanjikan siswa lebih cepat selesai

dibandingkan melalui tahapan-tahapan pada umumnya. Dalam perdebatan soal

pendidikan nasional, banyak dipersoalkan kurangnya pendidikan nilai di sekolah-

sekolah, dari SD sampai SMU. Disadari, kebanyakan sekolah terlalu menekankan

segi kognitif saja, tetapi kurang menekankan segi nilai kemanusiaan yang lain.

Maka mulai disadari pentingnya pendidikan nilai, termasuk pendidikan budi pekerti

dan segi-segi kemanusiaan lain, seperti emosionalitas, religiusitas, sosialitas,

spiritualitas, kedewasaan pribadi, dan afektivitas. Masalahnya, pendidikan nilai

tidak bisa dipercepat, bahkan instan.

Pendidikan nilai kemanusiaan memerlukan latihan dan penghayatan yang

membutuhkan waktu lama, sehingga sulit dipercepat. Misalnya, penanaman nilai

sosialitas perlu diwujudkan dalam banyak tindakan interaksi antarsiswa dan kerja

sama; penanaman nilai penghargaan terhadap manusia lain membutuhkan latihan

dan mungkin hidup bersama orang lain, dan tidak cukup hanya dengan pengajaran

pengetahuannya.

Perkembangan intelektual dan moral anak yang baik tidak secara langsung,

mereka harus dipaksa melalui tahapan-tahapan perkembangan sebagaimana anak-

anak pada umumnya. Memaksakan diri dalam berbagai ketimpangan tiada ubahnya

mengejar gengsi orang tua untuk mempunyai anak-anak cerdas dan gengsi sekolah,

karena yang ingin dianggap sekolah unggulan, serta biaya pendidikan di kelas

tersebut memang agak mahal”. “Yang kita khawatirkan, kelas unggulan yang

mendewakan kecerdasan intelektual hanya akan melahirkan tamatan pendidikan

yang cerdas, pintar, dan terampil, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosional dan

spiritual yang memadai” (Suara Merdeka dalam Tuhusetya, 2008).

Page 27: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

32

6. Dampak Kelas Unggulan

a. Dampak Positif

Suyanto (2008) mengemukakan bahwa dengan adanya program ini

diharapkan siswa berbakat tidak bosan di kelas yang sama dengan siswa lain,

sehingga tidak mengganggu, mengacau kelas, dan dia dapat terus maju dengan

cepat. Kelas model ini memang menjanjikan siswa lebih memahami, mengerti

dan mendalami minat, bakat, serta pelajaran dibandingkan dengan siswa yang

belajar di kelas reguler.

b. Dampak Negatif

Menurut Suyanto (2008) pengelompokan siswa secara homogen

berdasarkan kemampuan akademik menjadi kelas superbaik, amat baik, baik,

sedang, kurang, sampai ke kelas di bawah rata-rata. Yang ikut

memprihatinkan (Suyanto, 2008), pengelompokan itu disertai program

promosi dan degradasi. Siswa yang tidak mampu mempertahankan prestasi

akademiknya bisa dikeluarkan dari kelas superbaik ke kelas sedang. Bahkan

mungkin bisa meluncur ke kelas di bawah rata-rata. Kalau ini terjadi, maka

dunia pendidikan telah lepas dari lingkaran dan dinamika kehidupan

kontekstual yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Implikasinya,

out-put yang dilahirkan oleh institusi pendidikan kita hanyalah generasi-

generasi berotak brilian dan cerdas intelektualnya, tetapi miskin kecerdasan

hati nurani dan spiritual. Yang pada akhirnya justru membikin mereka

menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat serta tidak memiliki

kepekaan dalam merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di

sekelilingnya.

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelas Unggulan

a. Orang Tua

1). Wawasan dan pendidikan

Menurut Faizah (2008) ada beberapa jenis orang tua menurut wawasan

dan pendidikan :

Page 28: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

33

a). College Degree Parents (orang tua intelek)

Kelompok ini merupakan bentuk lain dari keluarga intelek yang

menengah ke atas. Mereka sangat peduli dengan pendidikan anak-

anaknya. Sering melibatkan diri dalam berbagai kegiatan di sekolah

anaknya. Misalnya membantu membuat majalah dinding, dan kegiatan

ekstra kurikuler lainnya. Orang tua dengan tipe ini, percaya bahwa

pendidikan yang baik merupakan pondasi dari kesuksesan hidup.

Terkadang mereka juga tergiur menjadikan anak-anak mereka

"Superkids", Apabila si anak memperlihatkan kemampuan akademik

yang tinggi. Terkadang mereka juga memasukkan anak-anaknya ke

sekolah mahal yang prestisius sebagai bukti bahwa mereka mampu

dan percaya bahwa pendidikan yang baik tentu juga harus dibayar

dengan pantas.

Kelebihan kelompok ini adalah sangat peduli dan kritis terhadap

kurikulum yang dilaksanakan di sekolah anak anaknya. Dan dalam

banyak hal mereka banyak membantu dan peduli dengan kondisi

sekolah.

b). Gold Medal Parents (orang tua selebritis)

Kelompok ini adalah kelompok orang tua yang menginginkan

anak-anaknya menjadi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Mereka

sering mengikutkan anaknya ke berbagai kompetisi dan gelanggang.

Ada gelanggang ilmu pengetahuan seperti Olimpiade matematika dan

sains yang akhir-akhir ini lagi marak di Indonesia. Ada juga

gelanggang seni seperti ikut menyanyi, kontes menari, terkadang

kontes kecantikan. Berbagai cara akan mereka tempuh agar anak-

anaknya dapat meraih kemenangan dan menjadi "seorang Bintang

Sejati". Sejak dini mereka persiapkan anak-anak mereka menjadi

"Sang Juara", mulai dari juara renang, menyanyi dan melukis hingga

none abang cilik kelika anak-anak mereka masih berusia TK.

Page 29: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

34

Sebagai ilustrasi dalam sebuah arena lomba ratu cilik di Padang.

Puluhan anak-anak TK baik laki-laki maupun perempuan tengah

menunggu di mulainya lomba pakaian adat. Ruangan yang sesak,

penuh asap rokok, dan acara yang molor menunggu datangnya tokoh

anak dari Jakarta. Anak-anak mulai resah, berkeringat, mata memerah

karena keringat melelehi mascara mata kecil mereka. Para orangtua

masih bersemangat, membujuk anak-anaknya bersabar. Mengharap-

kan acara segera di mulai dan anaknya akan keluar sebagai pemenang.

Sementara pihak penyelenggara mengusir panas dengan berkipas

kertas.

Banyak kasus yang mengenaskan menimpa diri anak akibat

perilaku ambisi kelompok gold medal parents ini. Sebagai contoh pada

tahun 70-an seorang gadis kecil pesenam usia TK mengalami kelainan

tulang akibat ambisi ayahnya yang guru olahraga. Atau kasus "bintang

cilik" Yoan Tanamal yang mengalami tekanan hidup dari dunia

glamour masa kanak-kanaknya. Kemudian menjadikannya pengguna

dan pengedar narkoba hingga menjadi penghuni penjara. Atau bintang

cilik dunia Heintje yang setelah dewasa hanya menjadi pasien dokter

jiwa.

c). Do-it Yourself Parents

Merupakan kelompok orang tua yang mengasuh anak-anaknya

secara alami dan menyatu dengan semesta.

Orang tua dengan tipe ini, sering menjadi pelayanan profesional di

bidang sosial dan kesehatan, sebagai pekerja sosial di sekolah, di tempat

ibadah, di Posyandu dan di perpustakaan.

Kelompok ini menyekolahkan anak-anaknya di sekolah negeri

yang tidak begitu mahal dan sesuai dengan keuangan mereka. Walaupun

begitu kelompok ini juga bemimpi untuk menjadikan anak-anaknya

"Superkids" dengan konsep “earlier is better".

Page 30: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

35

Dalam kehidupan sehari-hari anak-anak mereka diajak mencintai

lingkungannya. Mereka juga mengajarkan merawat dan memelihara

hewan atau tumbuhan yang mereka sukai. Kelompok ini merupakan

kelompok penyayang binatang, dan mencintai lingkungan hidup yang

bersih.

d). Outward Bound Parents (orang tua paranoid)

Untuk orang tua kelompok ini mereka memprioritaskan pendidikan

yang dapat memberi kenyamanan dan keselamatan kepada anak-

anaknya.

Tujuan orang tua dengan tipe ini sederhana, yakni agar anak-anak

dapat bertahan di dunia yang penuh dengan permusuhan. Dunia di luar

keluarga mereka dianggap penuh dengan marabahaya. Jika mereka

menyekolahkan anak-anaknya maka mereka Iebih memilih sekolah yang

nyaman dan tidak melewati tempat-tempat tawuran yang berbahaya.

Seperti halnya Do It Yourself Parents, kelompok ini secara tak

disengaja juga terkadang terpengaruh dan menerima konsep "Superkids"

karena mengharapkan anak-anaknya menjadi anak-anak yang hebat agar

dapat melindungi diri mereka dari berbagai macam marabahaya.

Terkadang dengan melatih kecakapan anaknya, contohnya melatih untuk

melindungi diri dari bahaya, seperti memasukkan anak-anaknya "Karate,

Yudo, pencak Silat" sejak dini.

Ketidakpatutan pemikiran kelompok ini dalam mendidik anak-

anaknya adalah terlalu berlebihan melihat marabahaya di luar rumah

tangga mereka, mudah panik dan ketakutan melihat situasi yang selalu

mereka pikir akan membawa dampak buruk kepada anak. Akibatnya

anak-anak mereka menjadi "steril" dengan lingkungannya.

e). Prodigy Parents (orang tua instan)

Merupakan kelompok orang tua yang sukses dalam karier namun

Page 31: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

36

tidak memiliki pendidikan yang cukup. Mereka cukup berada, namun

tidak berpendidikan yang baik.

Orang tua dengan tipe ini memandang kesuksesan mereka di dunia

bisnis merupakan bakat semata. Oleh karena itu orang tua dengan tipe

ini memandang sekolah dengan sebelah mata, dan menganggap sekolah

sebagai kekuatan yang akan menumpulkan kemampuan anak-anaknya.

Tidak kalah mengejutkannya, orang tua dengan tipe ini memandang

anak-anaknya akan hebat dan sukses seperti orang tuanya tanpa

memikirkan pendidikan seperti apa yang cocok diberikan kepada anak-

anaknya. Oleh karena itu orang tua seperti ini sangat mudah terpengaruh

kiat-kiat atau cara unik dalam mendidik anak tanpa bersekolah. Buku-

buku instan dalam mendidik anak sangat mereka sukai. Misalnya buku

tentang Kiat-kiat mengajarkan bayi membaca" karangan Glenn Doman,

atau "Kiat-kiat mengajarkan bayi matematika" karangan Siegfried,

"Berikan anakmu pemikiran cemerlang" karangan Therese Engelmann,

dan "Kiat-kiat mengajarkan anak dapat membaca dalam waktu enam

Hari" karangan Sidney Ledson.

f). Orang tua ngrumpi

Merupakan kelompok orang tua yang memiliki dan menyenangi

pergaulan, terkadang cukup berpendidikan, namun tidak cukup berada

atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang lantung).

Kelompok orang tua yang kurang bahagia dalam perkimpoiannya

yang menyukai dan sangat mementingkan nilai-nilai relationship dalam

membina hubungan dengan orang lain.

Sebagai akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan

dalam mendidik anak-anak dengan berbagai perilaku "gang ngrumpi"

yang terkadang mengabaikan anak.

Kelompok ini banyak membuang-buang waktu dalam kelompok-

nya sehingga mengabaikan fungsi sebagai orangtua. Atau pun jika

memiliki aktivitas di kelompoknya maka akan lebih berorientasi kepada

Page 32: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

37

kepentingan kelompoknya. Kelompok ini sangat mudah terpengaruh dan

latah untuk memilihkan pendidikan bagi anak-anaknya. Menjadikan

anak-anak sebagai "Superkids". Namun banyak dari anak-anak dalam

kelompok ini biasanya kurang menampilkan minat dan prestasi yang

diharapkan. Namun banyak dari anak-anak dalam kelompok ini biasanya

kurang menampilkan minat dan prestasi yang diharapkan.

g). Milk and Cookies Parents (orang tua ideal)

Kelompok ini merupakan kelompok orang tua yang memiliki masa

kanak-kanak yang bahagia, yang memiliki kehidupan masa kecil yang

sehat dan manis.

Orang tua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan

tulus yang sangat peduli dan mengiringi tumbuh kembang anak-anak

mereka dengan penuh dukungan.

Kelompok ini tidak berpeluang menjadi orang tua yang melakukan

"miseducation" dalam merawat dan mengasuh anak-anaknva dengan

memberikan lingkungan yang nyaman kepada anak-anaknya dengan

penuh perhatian, dan tumpahan cinta kasih yang tulus sebagai orang tua.

Kelompok ini memenuhi rumah tangga dengan buku-buku, lukisan

dan musik yang disukai oleh anak-anaknya, berdiskusi di ruang makan,

bersahabat dan menciptakan lingkungan yang menstimulasi anak-anak

mereka untuk tumbuh mekar segala potensi dirinya. Anak-anak

kelompok ini pun meninggalkan masa kanak-kanak dengan penuh

kenangan indah yang menyebabkan. Kehangatan hidup berkeluarga

menumbuhkan kekuatan rasa yang sehat pada anak untuk percaya diri

dan antusias dalam kehidupan belajar.

Kelompok ini merupakan kelompok orang tua yang menjalankan

tugasnya dengan patut kepada anak-anak mereka. Orang tua jenis ini

begitu yakin bahwa anak mem-butuhkan suatu proses dan waktu untuk

dapat menemukan sendiri keistimewaan yang dimilikinya. Dengan kata

lain mereka percaya bahwa anak sendirilah yang akan menemukan

Page 33: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

38

sendiri kekuatan didirinya. Bagi mereka setiap anak adalah benar-benar

seorang anak yang hebat dengan kekuatan potensi yang juga berbeda

dan unik

2). Peran orang tua

Orang tua sangat bertanggung jawab mendidik anak-anak, terutama

dari segi pendidikan moralnya, seperti perbaikan jiwa anak, meluruskan

penyimpangan, mengangkat anak dari seluruh kehinaan dan menganjurkan

bergaul yang baik dengan orang lain (Adniesta, 2009).

Cassidy (dalam Hawadi, 2001) menyebutkan ada lima hal yang

mungkin bisa menjadi pegangan bagi orang tua di dalam mendidik

anaknya yang tergolong anak berbakat :

a). Berlaku sebagai pendorong anak dengan sekolahnya yakni orangtua

memberikan informasi tentang kekuatan-kekuatan dan gaya belajar

yang dimiliki oleh anak,

b). Menyediakan kesempatan belajar di rumah maupun di luar rumah,

c). Bantulah anak pada setiap tugas yang diberikan oleh sekolah,

d). Berperan sebagai mentor, dan tidak segan-segan bertukar pikiran

dengan orang tua lainnya maupun dengan anak-anak lain,

e). Menasihati anak,

f). Mengembangkan materi pelajaran yang diberikan untuk anak sesuai

dengan minat dan kemampuannya,

g). Bantu guru dengan membuat bahan pelajaran tambahan, Bantu

dalam kelas atau perpustakan, menawarkan keahlian dalam kelas

kecil atau kelompok kecil siswa untuk memenuhi pengalaman

pengayaan bagi siswa.

Peran orang tua menumbuhkan percaya diri remaja (Lie, 2003) :

a). Dampingi dalam proses perubahan dirinya dengan menjelaskan

perubahan sebagai proses yang alamiah dan semua orang juga

Page 34: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

39

mengalaminya, membiarkan remaja bereksperimen dalam batas yang

wajar, memberikan pujian pada kelebihan fisik yang mereka miliki,

b). Dampingi untuk belajar membedakan mana yang baik dan buruk,

c). Dampingi dalam proses pencarian identitas dengan bercerita saat

orang tua berada dalam masa remaja,

d). Dengarkan mereka,

e). Biarkan mereka berpendapat dan berkeinginan dengan memberikan

pengarahan-pengarahan,

f). Jadilah teman buat mereka,

g). Pahami kebutuhannya dan bimbinglah ia agar masuk dalam

lingkungan yang baik,

h). Beritahu cara untuk berinteraksi dengan teman lawan jenis karena

mereka akan merasa canggung dan kaku,

i). Berikan pendidikan seks dan seksualitas.

Dukungan orang tua dapat berupa dukungan moril maupun materil dan

juga orangtua dapat melihat dan mengerti minat yang diinginkan anak

yang mempengaruhi prestasi yang dicapai oleh anak dengan menjadikan

orangtua sebagai tempat konsultasi yang nyaman, mengajak anak

menganalisa motivasi dengan alasannya, hal ini akan membuat anak

mencoba untuk menerapkan cara berpikir analitis (dalam Hartaji, 2009).

Susilowati (dalam Hartaji, 2009), bagi anak yang sudah

mengetahui apa bakat, minatnya dan terbiasa mengambil keputusan

sendiri, tidak banyak mengalami kendala dalam memilih meski terkadang

anak tidak mengetahuinya sehingga bingung ketika harus memilih

sehingga dibutuhkan bantuan orangtua untuk memilihkan apa yang terbaik

untuk anaknya.

3). Dampak negatif orangtua

Di pendidikan tingkat pra sekolah, taman kanak-kanak, sekolah

dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, setiap awal

tahun ajaran baru para orang tua murid sibuk mengurusi NEM anaknya

Page 35: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

40

kalaupun NEM anaknya rendah, cara yang paling praktis adalah mencari

lobby untuk memasukkan anaknya ke sekolah yang diinginkan, kalau

perlu menyuap atau membayar supaya anaknya dapat bersekolah, perilaku

para orang tua seperti ini secara tidak langsung sudah mengajari anak-anak

mereka bagaimana melakukan kecurangan dan penipuan, sehingga

mengakibatkan anak cenderung mengambil jalan pintas dan menghalalkan

segala cara dalam mengatasi masalah (Adniesta, 2009).

Kebingungan siswa ada pula yang disebabkan sikap orang tua yang

memaksakan anak memilih sesuai pilihan jurusan yang orang tua

inginkan, bukan berdasarkan kemauan dan minat anaknya (Susilowati

dalam Hartaji, 2009). Beberapa orangtua tanpa sadar mengarahkan anak

untuk menyelesaikan “keinginan dan ambisi tidak sampainya” di masa

lalu sehingga dapat dipastikan bahwa pilihan anak bukanlah karena ambisi

orang tua, atau karena kecemasan dan cara berpikir yang keliru dalam

mempersepsi masa depan anak (Hartaji, 2009). Orang tua yang

memilihkan tanpa memperdulikan minat anaknya biasanya akan membuat

anak merasa terbebani dalam menjalani hidup dan tidak memiliki motivasi

meskipun ada yang menjalaninya hanya demi menyenangkan hati orang

tua mereka, akan tetapi hal ini membuat mereka merasa terkekang dan

terbebani sehingga sulit bagi mereka untuk berprestasi (Hartaji, 2009).

b. Diri

1). Kecerdasan Intelektual

Menurut Terman intelegensi adalah kemampuan untuk berpikir abstrak

(Winkel, 1996).

Kecerdasan intelektual ialah kemampuan untuk mengolah dan berfikir

kognitif yang terukur dengan angka-angka sejak kita di bangku sekolah

hingga kuliah, yang merupakan kemampuan yang diolah pada otak

sebelah kiri (http://smkn1bongas-tkj.blogspot.com/).

2). Kecerdasan Spiritual

Page 36: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

41

Merupakan kemampuan kita untuk berahlak mulia dan mengenal siapa

diri kita dan Tuhan yang dilaksanakan, dapat dimaknai dan diaplikasikan

dalam kehidupan, artinya perilaku merupakan cerminan dari ibadah yang

telah dilaksanakan (http://smkn1bongas-tkj.blogspot.com/).

Kecerdasan spiritual tinggi mengandung beberapa aspek (Satria,

2008):

a). Sikap ramah tamah

Adanya minat bersosialisasi, menyesuaikan diri dengan kelompok, dan

menikmati berbagai aktivitas kelompok.

b). Kedekatan

Kebutuhan untuk memberikan cinta dan untuk merasa dicintai.

c). Keigintahuan

Dorongan untuk menyelidiki, tertarik dengan berbagai hal.

d). Kreatifitas

Membuat yang belum pernah ada.

e). Konstruksi

Memiliki perasaan batiniah yang kaya, menekankan pada kontrol diri

atau harga diri.

f). Penegasan diri

Pengabdian kepada masyarakat dan untuk kepentingan transpersonal.

g). Religius

Penemuan makna dan nilai dalam segala aktivitas dari sudut pandang

agama.

Beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan spiritual (Satria,

2008) :

a). Motif

Niat, tujuan hidup yang menggerakkan potensi dari permukaan

sehingga membuat seseorang bertindak.

b). Memiliki kesadaran diri

Membuat diri selalu berusaha untuk bertindak dengan baik dan benar.

c). Disiplin.

Page 37: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

42

3). Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk dapat mempengaruhi

dan diterima orang lain dengan baik yang mencakup pengendalian diri,

semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri

dan bertahan menghadapi frustrasi, kesanggupan untuk mengendalikan

dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur

suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan

kemampuan berpikir, untuk membaca perasaan terdalam orang lain

(empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan dengan sebaik-baiknya,

kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan

lingkungan sekitarnya (http://smkn1bongas-tkj.blogspot.com/).

Banyak orang yang berpendapat bahwa untuk meraih prestasi belajar

yang tinggi diperlukan Kecerdasan Intelektual (IQ) yang juga tinggi.

Namun, menurut hasil penelitian IQ bukanlah satu-satunya faktor yang

mempengaruhi prestasi belajar seseorang, tetapi ada banyak faktor lain

yang mempengaruhi salah satunya adalah kecerdasan emosional (Xyber,

2008).

Artikel “On The Road on Chairman Lou” (The New York Times dalam

http://smpyabakii1-clp.sch.id/profil.php?num=27), menyebutkan bahwa

IQ sesungguhnya tidak cukup untuk menerangkan kesuksesan seseorang,

ketika skor IQ dikorelasikan dengan tingkat kinerja dalam karier mereka,

besarnya selisih IQ terhadap kinerja hanyalah sekitar 25%, bahkan untuk

analisis yang lebih seksama yang dilakukan American Psycological Press

(dalam http://jurnalskripsi.com) angka yang lebih tepat bahkan tidak lebih

dari 10%. Hal ini berarti bahwa IQ setidaknya dibutuhkan paling sedikit

sekitar 96% untuk menentukan kinerja atau keberhasilan

seseorang. Serta menurut penelitian yang dilakukan oleh Goleman

menyebutkan pengaruh IQ hanyalah sebesar 20% saja, sedangkan 80%

dipengaruhi oleh faktor lain termasuk di dalamnya EQ. Sehingga dengan

Page 38: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

43

kata lain IQ dapat dikatakan gagal dalam menerangkan atau

berpengaruh terhadap kesuksesan seseorang (Goleman, 2000).

4). Potensi Dasar

Hurlock (1993) menyatakan minat merupakan sumber motivasi

yang mendorong orang untuk melakukan apa yang mereka inginkan bila

mereka bebas memilih, minat penting pada semua usia karena minat

memainkan peran yang penting dalam kehidupan seseorang dan

berdampak besar atas perilaku, bentuk dan intensitas aspirasi anak, serta

bagaimana anak akan sikap; minat mempunyai ciri :

a). Tumbuh bersamaan dengan perkembangan fisik dan mental

b). Pada waktu pertumbuhan terlambat dan kematangan dicapai, minat

akan menjadi lebih stabil.

c). Tergantung pada kesiapan belajar secara fisik dan mental

d). Seperti saat anak akan bermain bola, bila mereka memiliki kekuatan

dan koordinasi otot yang diperlukan maka mereka bisa bermain bola.

e). Kesempatan belajar

f). Minat tumbuh dari rumah, dengan bertambahnya lingkup sosial,

mereka menjadi tertarik pada minat orang di luar rumah.

g). Perkembangan minat mungkin terbatas

h). Ketidakmampuan fisik dan mental serta adanya pengalaman sosial

membatasi minat anak.

i). Budaya

j). Mereka tidak diberi kesempatan untuk menekuni minat yang dianggap

tidak sesuai bagi kelompok buadaya mereka.

k). Minat berbobot emosional

l). Minat yang berbobot emosional tidak menyenangkan akan

melemahkan minat.

m). Minat itu egosentris

Page 39: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

44

Berlandaskan keyakinan bahwa kepandaian merupakan langkah

penting menuju kedudukan yang menguntungkan dan bergengsi di masa

depan.

Manusia mempunyai potensi dasar yang sudah merupakan

fitrahnya berupa (Hasan, 1994) :

a). bakat,

b). insting,

c). nafsu,

d). karakter,

e). keturunan,

f). intuisi,

g). potensi berpikir (pembentukan pengertian, pendapat, keputusan),

h). potensi merasa (subyek dan obyek yang ada di lingkungan yang akan

mempengaruhi individu menerima dan mengembangkan dirinya pada

eksistensi dalam lingkungan),

i). potensi kemauan (mencapai atau melakukan sesuatu yang ada di dalam

atau luar diri yang menjadikan individu sebagai pribadi yang kuat

dalam mengembangkan dan mengaktualisasikan diri dalam memenuhi

kebutuhan hidup dan mengembangkan potensi yang ada pada dirinya),

j). potensi motivasi (pengembangan dan pembinaan potensi individu).

Winkel (1996) menyatakan bahwa manusia mempunyai potensi :

a). Bakat khusus

Bakat khusus adalah sesuatu yang dibentuk dalam kurun waktu

sejumlah tahun dan merupakan perpaduan dari taraf intelegensi pada

umumnya, komponen intelegensi tertentu, pengaruh pendidikan dalam

keluarga dan di sekolah, minat dari subyek sendiri.

b). Organisasi kognitif

Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah dipelajari,

disimpan dalam ingatan; apakah tersimpan secara sistematis atau tidak.

Page 40: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

45

Hal ini sangat tergantung pada cara materi dipelajari dan diolah; makin

mendalam dan makin sistematis pengolahan materi pelajaran, makin

baiklah taraf organisasi dalam ingatan itu sendiri.

c). Kemampuan berbahasa

Mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu bacaan dan

merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh itu dalam

bahasa yang baik, sekurang-kurangnya bahasa tertulis.

d). Daya fantasi

Daya fantasi berupa aktivitas kognitif yang mengandung pikiran-

pikiran dan tanggapan-tanggapan, yang bersama-sama menciptakan

sesuatu dalam alam kesadaran. Dalam alam fantasi orang tidak hanya

menghadirkan kembali hal-hal yang pernah diamati, tetapi

menciptakan sesuatu yang serba baru.

Keberbakatan merupakan perkembangan yang asimetris dalam

kemampuan kognitif yang tinggi, dan intensitas yang tinggi ini

dikombinasikan dengan pengalaman dalam kesadaran yang secara

kualitatif berbeda dari norma biasanya (Hawadi, 2001). Kemudian,

Hawadi (2001) menyatakan bahwa keunikan dari bakat yang dimiliki

anak membutuhkan penanganan yang khusus dalam merawat,

mendidik, dan memberikan konseling sebagai upaya agar

keberbakatan mereka berkembang optimal.

5). Gaya Belajar

Ada tiga gaya belajar siswa (Fatimah, 2009) :

1) Visual

Siswa ini memproses informasi baru ketika mereka diberikan ilustrasi

atau demonstrasi dengan menggunakan media gambar, symbol, dan

lain-lain.

2) Auditorial

Page 41: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

46

Siswa ini memproses informasi baru ketika mereka berbicara dan

mendengar.

3) Kinestetik

Siswa ini memproses informasi baru ketika mereka menyentuh,

memanipulasi, memperagakan, menulis, menjelaskan objek,

berpartisipasi dalam kegiatan belajar mengajar.

6). Kondisi Fisik

Miarso (2005), kondisi fisik siswa meliputi masukan energi (energy

intake), mobilitas dan durasi. Faktor durasi dalam kondisi fisik adalah

rentangan waktu yang diperlukan dalam mengaktifkan indera setelah

menerima berbagai rangsangan.

7). Kondisi Emosional

Miarso (2005), kondisi emosional meliputi motivasi, preservasi

(ketangguhan), tanggung jawab, dan kesetiakawanan. Kondisi emosional

bergantung pada rangsangan yang diterima dan pengalaman sebelumnya

terhadap rangsangan yang semacam. Kondisi ini terdiri atas tiga

komponen dasar, yaitu komponen kognitif (pikiran, keyakinan dan

harapan) yang menentukan intensitas tanggapan; komponen fisik yang

meliputi perubahan dalam tubuh seperti tertawa, takut, cemas, marah,

pernafasan meningkat, detak jantung berdebar; dan komponen perilaku

yang merupakan ungkapan emosi melalui ekspresi wajah, nada suara, dan

gerak anggota tubuh.

8). Kondisi Sosiologikal

Miarso (2005), kondisi sosiologikal meliputi percaya diri, hubungan

dengan teman sebaya, hubungan dalam kelompok, dan pengakuan adanya

otoritas secara vertikal dan lateral. Percaya diri merupakan keyakinan

seseorang akan kemampuannya untuk melakukan hal-hal tertentu. Percaya

diri ini meliputi : nilai diri yaitu perasaan tentang hal yang layak

Page 42: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

47

diperoleh; bangga diri (selfesteem) yaitu perasaan bangga akan apa yang

dapat dicapai; percaya diri yaitu keyakinan untuk dapat berhasil; harga-

diri (self-respect) yaitu sikap menyayangi atau menghormati diri; dan puas

diri (self-acceptance) yaitu perasaan untuk menerima apa yang menjadi

bagiannya. Hubungan dengan teman sebaya merupakan interaksi antara

sesama siswa dalam kelas, dalam sekolah maupun siswa antar sekolah

sejenjang, yang diperlukan untuk bertukar dan saling menguji

pengetahuan, pengalaman, minat (hobby), kemampuan, dan keterampilan.

Hubungan dalam kelompok merupakan usaha saling membantu,

menghargai dan bekerjasama dalam mengerjakan tugas bersama baik yang

diberikan oleh guru maupun atas prakarsa sendiri. Pengakuan adanya

otoritas merupakan pemahaman atas struktur, dan hirarki dalam suatu

kelompok atau organisasi. Pengakuan ini diwujudkan antara lain dengan

menghormati dan menaati peraturan, mematuhi petunjuk guru, mengikuti

tata tertib kelas atau organisasi.

9). Kondisi Psikologikal

Miarso (2005), kondisi psikologikal merupakan unsur-unsur bawaan

maupun lingkungan yang mempengaruhi pola berpikir, bersikap dan

bertindak seseorang. Siswa yang berasal dari latar belakang keluarga dan

sosial yang berbeda dan dengan pembawaan yang berbeda pula perlu

mendapat perhatian dan penanganan yang memungkinkan pengakuan atas

perbedaan tersebut.

Mengingat sangat bervariasinya kondisi ini, tidak ada satu resep yang

dapat berlaku secara umum. Berbagai teori, model, konsep dan prosedur

dikemukakan oleh para ahli dan praktisi. Namun semua ini memerlukan

kebijaksanaan dan kiat guru dalam menghadapi siswanya. Berbagai

strategi dan metode perlu dipilih, dikembangkan dan digunakan oleh guru

sesuai dengan situasi, kondisi dan tujuan belajar.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kelas unggulan yaitu orang tua, dan diri.

Page 43: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

48

C. Remaja

1. Pengertian Remaja

Kata remaja berasal dari bahasa latin yaitu adolescence yang berarti to grow atau

to grow maturity (Golinko dalam Rice, 1990). Banyak tokoh yang memberikan

definisi tentang remaja, seperti DeBrun (dalam Rice, 1990) mendefinisikan remaja

sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa.

Menurut Adams dan Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia

antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi

masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17

tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock (1990)

karena pada masa remaja individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih

mendekati masa dewasa.

Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa

remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang

berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam

hubungan dengan orang tua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita

merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa

kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai

(Hurlock, 1990). Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan

biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa

dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi

dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak

(Hurlock, 1990; Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan perkembangan

adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan (Papalia & Olds, 2001).

Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat

tubuh; dan secara kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi

abstrak (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan dalam kehidupan manusia terjadi pada

aspek-aspek yang berbeda.

Page 44: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

49

Papalia dan Olds (2001) tidak memberikan pengertian remaja (adolescent) secara

eksplisit melainkan secara implisit melalui pengertian masa remaja (adolescence).

Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan

antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12

atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan

tahun. Papalia dan Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa

antara kanak-kanak dan dewasa. Remaja adalah tumbuh menjadi dewasa atau dalam

perkembangan menjadi dewasa (Mar’at, 2005).

Berdasarkan definisi-definisi di atas, dapat disimpulkan remaja adalah masa

transisi perkembangan antara masa kanak-kanak hingga dewasa yang dimulai pada

usia 11 hingga 20 tahun.

2. Aspek-aspek Perkembangan pada Masa Remaja

a. Perkembangan Kognitif

Menurut Piaget (dalam Santrock, 2001), seorang remaja termotivasi untuk

memahami dunia karena perilaku adaptasi secara biologis mereka. Dalam

pandangan Piaget, remaja secara aktif membangun dunia kognitif mereka, di

mana informasi yang didapatkan tidak langsung diterima begitu saja ke dalam

skema kognitif mereka. Remaja sudah mampu membedakan antara hal-hal atau

ide-ide yang lebih penting dibanding ide lainnya, lalu remaja juga meng-

hubungkan ide-ide tersebut. Seorang remaja tidak saja mengorganisasikan apa

yang dialami dan diamati, tetapi remaja mampu mengolah cara berpikir mereka

sehingga memunculkan suatu ide baru.

Perkembangan kognitif adalah perubahan kemampuan mental seperti belajar,

memori, menalar, berpikir, dan bahasa. Piaget (dalam Papalia & Olds, 2001)

mengemukakan bahwa pada masa remaja terjadi kematangan kognitif, yaitu

1) Interaksi dari struktur otak yang telah sempurna,

2) Lingkungan sosial yang semakin luas untuk eksperimentasi

Kedua hal ini memungkinkan remaja untuk berpikir abstrak. Piaget menyebut

tahap perkembangan kognitif ini sebagai tahap operasi formal (dalam Papalia &

Olds, 2001). Tahap formal operations adalah suatu tahap dimana seseorang sudah

Page 45: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

50

mampu berpikir secara abstrak. Seorang remaja tidak lagi terbatas pada hal-hal

yang aktual, serta pengalaman yang benar-benar terjadi. Dengan mencapai tahap

operasi formal remaja dapat berpikir dengan fleksibel dan kompleks. Seorang

remaja mampu menemukan alternatif jawaban atau penjelasan tentang suatu hal.

Berbeda dengan seorang anak yang baru mencapai tahap operasi konkret yang

hanya mampu memikirkan satu penjelasan untuk suatu hal. Hal ini

memungkinkan remaja berpikir secara hipotetis.

Remaja sudah mampu memikirkan suatu situasi yang masih berupa

rencana atau suatu bayangan (Santrock, 2001). Remaja dapat memahami bahwa

tindakan yang dilakukan pada saat ini dapat memiliki efek pada masa yang akan

datang. Dengan demikian, seorang remaja mampu memperkirakan konsekuensi

dari tindakannya, termasuk adanya kemungkinan yang dapat membahayakan

dirinya. Pada tahap ini, remaja juga sudah mulai mampu berspekulasi tentang

sesuatu, dimana mereka sudah mulai membayangkan sesuatu yang diinginkan di

masa depan.

Perkembangan kognitif yang terjadi pada remaja juga dapat dilihat dari

kemampuan seorang remaja untuk berpikir lebih logis. Remaja sudah mulai

mempunyai pola berpikir sebagai peneliti, dimana mereka mampu membuat suatu

perencanaan untuk mencapai suatu tujuan di masa depan (Santrock, 2001).

Salah satu bagian perkembangan kognitif masa kanak-kanak yang belum

sepenuhnya ditinggalkan oleh remaja adalah kecenderungan cara berpikir

egosentrisme (Piaget dalam Papalia & Olds, 2001). Yang dimaksud dengan

egosentrisme di sini adalah ketidakmampuan melihat suatu hal dari sudut pandang

orang lain (Papalia & Olds, 2001). Elkind (dalam Papalia & Olds, 2001)

mengungkapkan salah satu bentuk cara berpikir egosentrisme yang dikenal

dengan istilah personal fabel. Personal fabel adalah "suatu cerita yang kita

katakan pada diri kita sendiri mengenai diri kita sendiri, tetapi cerita itu tidaklah

benar". Kata fabel berarti cerita rekaan yang tidak berdasarkan fakta, biasanya

dengan tokoh-tokoh hewan. Personal fabel biasanya berisi keyakinan bahwa diri

seseorang adalah unik dan memiliki karakteristik khusus yang hebat, yang

Page 46: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

51

diyakini benar adanya tanpa menyadari sudut pandang orang lain dan fakta

sebenarnya. Papalia dan Olds (2001) menjelaskan personal fabel sebagai berikut :

Personal fabel adalah keyakinan remaja bahwa diri mereka unik dan tidak

terpengaruh oleh hukum alam. Belief egosentrik ini mendorong perilaku merusak

diri (self-destructive) oleh remaja yang berpikir bahwa diri mereka secara magis

terlindung dari bahaya. Misalnya seorang remaja putri berpikir bahwa dirinya

tidak mungkin hamil karena perilaku seksual yang dilakukannya, atau seorang

remaja pria berpikir bahwa ia tidak akan sampai meninggal dunia di jalan raya

saat mengendarai mobil, atau remaja yang mencoba-coba obat terlarang berpikir

bahwa ia tidak akan mengalami kecanduan. Remaja biasanya menganggap bahwa

hal-hal itu hanya terjadi pada orang lain, bukan pada dirinya.

b. Perkembangan Kepribadian dan Sosial

Yang dimaksud dengan perkembangan kepribadian adalah perubahan cara

individu berhubungan dengan dunia dan menyatakan emosi secara unik;

sedangkan perkembangan sosial berarti perubahan dalam berhubungan dengan

orang lain (Papalia & Olds, 2001). Perkembangan kepribadian yang penting pada

masa remaja adalah pencarian identitas diri. Yang dimaksud dengan pencarian

identitas diri adalah proses menjadi seorang yang unik dengan peran yang penting

dalam hidup (Erikson dalam Papalia & Olds, 2001).

Perkembangan sosial pada masa remaja lebih melibatkan kelompok teman

sebaya dibanding orang tua (Conger 1991; Papalia & Olds, 2001). Dibanding

pada masa kanak-kanak, remaja lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah

seperti kegiatan sekolah, ekstra kurikuler dan bermain dengan teman (Conger

1991; Papalia & Olds, 2001). Dengan demikian, pada masa remaja peran

kelompok teman sebaya adalah besar. Mar’at (2005), karena remaja meluangkan

lebih sedikit waktunya bersama orang tua dan lebih banyak menghabiskan

waktunya untuk berinteraksi dengan dunia yang lebih luas maka remaja

dihadapkan dengan bermacam nilai dan ide, sehingga hal ini mengakibatkan

remaja mulai mempertanyakan dan menentang pandangan-pandangan orang tua

Page 47: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

52

serta mengembangkan ide-ide mereka sendiri karena menyadari memiliki

kemampuan, bakat dan pengetahuan tertentu.

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui

cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang

memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja

dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya

(Conger, 1991).

Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan

keputusan seorang remaja tentang perilakunya (Papalia, D E., Olds, S. W., &

Feldman, Ruth D. (2001)). Conger (1991) dan Papalia dan Olds (2001)

mengemukakan bahwa kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi

utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya

hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai

bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan

sebagainya (Conger, 1991).

Studi-studi kontemporer tentang remaja, juga menunjukkan bahwa

hubungan yang positif dengan teman sebaya diasosiakan dengan penyesuaian

sosial yang positif (Santrock dalam Mar’at, 2005). Kelly dan Hansen (dalam

Mar’at, 2005) menyebutkan enam fungsi positif dari teman sebaya :

1) Melalui interaksi dengan teman sebaya, remaja belajar bagaimana

memecahkan pertentangan-pertentangan,

2) Memperoleh dorongan emosional dan sosial untuk mengambil peran dan

tanggung jawab mereka,

3) Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar

mengekspresikan ide dan perasaan serta mengembangkan kemampuan dalam

memecahkan masalah,

4) Mengembangkan sikap dan tingkah laku dengan berperan sebagai wanita atau

pria,

5) Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dengan nilai-nilai yang

dimiliki teman sebayanya serta memutuskan mana yang benar dapat

membantu remaja mengembangkan kemampuan penalaran moral,

Page 48: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

53

6) Meningkatkan harga diri dengan menjadi orang yang disukai membuat remaja

merasa senang akan dirinya sendiri.

Berdasarkan uraian di atas, aspek-aspek perkembangan pada masa remaja

meliputi perkembangan fisik, perkembangan kognitif, perkembangan pribadi dan

sosial.

3. Ciri-ciri Masa Remaja

Masa remaja adalah suatu masa perubahan, karena pada masa remaja terjadi

perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Gunarsa (dalam Nurul,

2003) melihat masa remaja sebagai masa kritis, masa dimana remaja dihadapi dengan

masalah yang banyak. Ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja

(Hurlock, 1973):

a. Peningkatan emosional

Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang

dikenal dengan sebagai masa storm dan stress. Peningkatan emosional ini

merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa

remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa

remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada

masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya

mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus

lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan

terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir

yang duduk di awal-awal masa kuliah.

b. Perubahan yang cepat secara fisik

Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual.

Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan

kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik

perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi

maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh

sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.

Page 49: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

54

c. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain

Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa

kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini

juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja,

maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-

hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain.

Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang

sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.

d. Perubahan nilai

Dimana apa yang mereka anggap penting pada masa kanak-kanak menjadi kurang

penting karena sudah mendekati dewasa.

e. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen

Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang

terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka

takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan

kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

Hurlock (dalam Yuningsih, 2005) menerangkan bahwa masa remaja sebagai

periode yang penting, sebagai periode peralihan, dan sebagai periode perubahan dan

pencarian identitas.

a. Masa remaja sebagai periode yang penting

Masa remaja sebagai periode yang penting karena individu dihadapi dengan

perubahan secara fisik dan psikologis. Tanner (dalam Nurmala, 2003)

mengatakan bahwa sebagian anak muda yang berusia antara 12 dan 16 tahun

dihadapkan dengan berbagai kejadian-kejadian sepanjang hidupnya, terutama

yang menyangkut pertumbuhan dan perkembangan, sehingga individu

membutuhkan penyesuaian secara mental dan perlu untuk membentuk sikap, nilai

dan minat baru.

b. Masa remaja sebagai periode peralihan

Dalam periode ini, status individu tidaklah jelas dan terdapat keraguan akan peran

yang harus dilakukan, namun perlu disadari bahwa apa yang telah terjadi akan

meninggalkan kenangan yang berharga, akan mempengaruhi pola perilaku dan

Page 50: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

55

sikap individu. Masa remaja menunjukkan dengan jelas sifat-sifat masa transisi

atau masa peralihan karena remaja belum memperoleh status sebagai orang

dewasa tetapi bukan juga berstatus sebagai anak-anak, karena ketidak jelasan atas

status inilah, maka akan menguntungkan individu, hal ini disebabkan karena

status ini memberi individu pola perilaku, nilai dan sifat yang paling sesuai bagi

dirinya.

c. Remaja sebagai periode perubahan

Selama masa awal remaja, ketika terjadi beberapa perubahan secara fisik, perilaku

dan sikap yang pesat. Apabila perubahan fisik menurun, maka perilaku dan sikap

juga ikut menurun. Ada empat perubahan yang sama dan bersifat universal :

1) Meningginya emosi yang intensitasnya tergantung pada tingkat perubahan

fisik dan psikologi. Perubahan emosi lebih menonjol pada awal periode akhir

masa remaja.

2) Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial

disekitar individu supaya dapat berkesan, walaupun dapat menimbulkan

masalah baru. Remaja akan merasa dibebani dengan masalah baru sampai

dapat benar-benar dapat menyelesaikannya menurut kemuan dan kepuasannya

sendiri.

3) Dengan adanya perubahan minat dan perilaku, maka nilai-nilai juga akan ikut

berubah. Hal-hal yang dianggap penting pada masa kanak-kanak akan

dianggap tidak penting lagi setelah individu dewasa.

d. Sebagai masa pencarian identitas

Pada akhir masa anak-anak, penyesuaian diri dengan standar kelompok geng

adalah jauh lebih penting bagi anak yang lebih besar daripada dirinya. Anak yang

lebih tua dalam kelompok akan cenderung lebih cepat dalam berpikir, berbicara

dan berperilaku. Terjadinya penyimpangan dalam kelompok akan cendering

membahayakan keanggotaan dalam kelompok tersebut. Pada tahun-tahun awal

masa remaja, penyesuaian diri dengan kelompok masih tetap penting, walaupun

dengan berjalannya waktu individu akan mulai mendambakan identitas dirinya

dan merasa tidak puas lagi dengan menjadi sama dengan teman-teman dalam

kelompoknya dalam segala hal.

Page 51: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

56

Berdasarkan uraian di atas, ciri-ciri masa remaja yakni adanya peningkatan

emosional, adanya perubahan yang cepat secara fisik, adanya perubahan dalam hal

yang menarik bagi dirinya dan pengaruhnya dalam hubungan dengan orang lain,

adanya perubahan anggapan dan kepentingan, adanya keinginan untuk bebas dan

bertanggung jawab, sebagai masa dimana memasuki berbagai periode yakni periode

yang penting, sebagai periode peralihan, dan sebagai periode perubahan dan

pencarian identitas.

4. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Gunarsa, 1990) antara

lain :

a. Memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa

dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan,

b. Memperoleh peranan sosial,

c. Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif,

d. Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya,

e. Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri,

f. Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan,

g. Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga,

h. Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup.

Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama

remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis

kelima dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas

perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat

menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang

bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).

Diantara tugas-tugas perkembangan remaja adalah pencarian identitas diri

(Erikson dalam Sari, 2006). Sari (2006) mengemukakan bahwa remaja yang berhasil

mengatasi krisis identitas akan merasa aman dan diterima, sedangkan yang tidak

berhasil individu akan menarik diri dari lingkungan sosial dan keluarga karena

Page 52: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

57

mereka merasa tidak diterima oleh lingkungan sekitar. Untuk menyelesaikan krisis ini

remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam

masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya

menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan

peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tugas-tugas perkembangan

remaja meliputi memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih

dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan; memperoleh

peranan sosial; menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif;

memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya; mencapai

kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri; memilih dan

mempersiapkan lapangan pekerjaan; mempersiapkan diri dalam pembentukan

keluarga; membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidup; mencari identitas

untuk menemukan siapa dirinya dan peranannya dalam masyarakat.

D. Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN

103 Jakarta

Cooper dan Sawaf (1998) menyatakan bahwa kecerdasan emosional adalah

kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan

kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi. Howes dan

Herald (dalam Mutadin, 2002) mengatakan pada intinya kecerdasan emosional

merupakan komponen yang membuat seseorang menjadi pintar menggunakan emosi.

McClelland (dalam Hapsariyanti, 2006) kecerdasan emosional sebagai

seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif yang akan

menghasilkan orang-orang yang sukses dan memiliki kinerja yang tinggi.

Karena dengan adanya emosi, maka seseorang dapat mengendalikan amarah,

kesedihan yang mempengaruhi individu terutama pada remaja, level usia pelajar

(siswa) Sekolah Menengah. Pada remaja terjadi peningkatan emosional yang terjadi

secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm dan

Page 53: Bab II Kecerdasan Emosi pada Remaja yang Mengikuti Kelas Unggulan di SMPN 103 Jakarta (skripsi)

58

stress yang merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada

masa remaja (http://rumahbelajarpsikologi.com).

Peningkatan emosi merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru

yang berbeda dari masa sebelumnya dimana pada masa ini banyak tuntutan dan

tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi

bertingkah seperti anak-anak, remaja harus lebih mandiri dan bertanggung jawab

karena diharapkan remaja dapat mengarahkan ketertarikan pada hal-hal yang lebih

penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain karena remaja

tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi

juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa.

Siswa yang memasuki kelas unggulan dan memiliki kecerdasan emosi akan dapat

memahami lebih mendalam dan lebih utuh tentang diri dan orang lain (Howes dan

Herald dalam Mutadin, 2002), serta dapat mempengaruhi peningkatan potensi

keberhasilan dan prestasi belajar siswa yang mengikuti kelas unggulan.

Mukti (2008) mengatakan siswa yang berbakat tidak bosan di kelas yang sama

dengan siswa lain, sehingga tidak mengganggu, mengacau kelas, dan dapat terus maju

dengan cepat dengan mengikuti kelas unggulan.

Menurut Goleman (dalam Wahyuningsih, 2004), individu yang memiliki

kecerdasan akademis tinggi cenderung memiliki rasa gelisah, terlalu kritis, rewel,

cenderung menarik diri, terkesan dingin serta cenderung sulit mengekspresikan

kekesalan dan kemarahannya secara tepat. Apabila seorang remaja yang mengikuti

kelas unggulan memiliki kecerdasan emosi yang rendah maka cenderung akan keras

kepala, sulit bergaul, dan cenderung putus asa bila mengalami masalah, tidak mudah

percaya kepada orang lain, tidak peka dengan kondisi lingkungan sehingga membuat

individu menjadi asing hidup di tengah-tengah masyarakat serta tidak memiliki

kepekaan dalam merasakan denyut nadi kehidupan yang berlangsung di

sekelilingnya.