bab ii kajian teori partisipasi politik dan konsep...

22
11 BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP PERAN ANGGOTA LEGISLATIF Pada mulanya politik selalu dikaitkan sebagai sebuah pertarungan laki-laki untuk memperoleh kekuasaan. Segala sesuatu diatur dan dikontrol oleh laki-laki. Pada abad ke-21, perempuan mulai berpartisipasi dalam berbagai lembaga politik yang diharapkan dapat membuat suatu perubahan sifat demokrasi, manajemen dan pengambilan keputusan. 1 Akan tetapi, hingga saat ini peluang bagi kaum perempuan untuk terlibat langsung sebagai pembuat keputusan di lembaga legislatif masih sangat minim. Jumlah keterpilihan perempuan yang terbatas ini membuat berbagai kebijakan yang dihasilkan belum sepenuhnya berpihak pada perempuan. Oleh karena itu, anggota legislatif perempuan sebagai barometer kaum perempuan lainnya perlu melakukan berbagai peran politis untuk meningkatkan jumlah keterpilihan perempuan pada pemilihan umum legislatif berikutnya. Untuk memecahkan persoalan terkait dengan minimnya peluang yang diberikan pemilih kepada caleg perempuan dan peran anggota legislatif perempuan untuk meningkatkan jumlah keterpilihan tersebut maka pada bagian II ini penulis akan mendeskripsikan lebih dalam mengenai teori partisipasi politik dan konsep peran anggota legislatif. Dalam pendeskripsian tersebut, peneliti juga melakukan diskusi antara masyarakat dan partisipasi politik serta perempuan dan partisipasi politik. 1 Lilijana Čičkarić, In/Visibility Of Woman In Politics, Jurnal Ebsco (Jurnal Ilmu Politik) seri 1, vol. XXXIX, (Januari-Maret 2013): 44. http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=4&sid=c989b974-fd3a-459e-a42a- 79556af7e1db%40sessionmgr4007&hid=4207 (diakses pada 8 Agustus 2016).

Upload: nguyenhuong

Post on 07-Mar-2019

237 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

11

BAB II

KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP PERAN

ANGGOTA LEGISLATIF

Pada mulanya politik selalu dikaitkan sebagai sebuah pertarungan laki-laki untuk

memperoleh kekuasaan. Segala sesuatu diatur dan dikontrol oleh laki-laki. Pada abad ke-21,

perempuan mulai berpartisipasi dalam berbagai lembaga politik yang diharapkan dapat membuat

suatu perubahan sifat demokrasi, manajemen dan pengambilan keputusan.1 Akan tetapi, hingga

saat ini peluang bagi kaum perempuan untuk terlibat langsung sebagai pembuat keputusan di

lembaga legislatif masih sangat minim. Jumlah keterpilihan perempuan yang terbatas ini

membuat berbagai kebijakan yang dihasilkan belum sepenuhnya berpihak pada perempuan. Oleh

karena itu, anggota legislatif perempuan sebagai barometer kaum perempuan lainnya perlu

melakukan berbagai peran politis untuk meningkatkan jumlah keterpilihan perempuan pada

pemilihan umum legislatif berikutnya.

Untuk memecahkan persoalan terkait dengan minimnya peluang yang diberikan pemilih

kepada caleg perempuan dan peran anggota legislatif perempuan untuk meningkatkan jumlah

keterpilihan tersebut maka pada bagian II ini penulis akan mendeskripsikan lebih dalam

mengenai teori partisipasi politik dan konsep peran anggota legislatif. Dalam pendeskripsian

tersebut, peneliti juga melakukan diskusi antara masyarakat dan partisipasi politik serta

perempuan dan partisipasi politik.

1 Lilijana Čičkarić, In/Visibility Of Woman In Politics, Jurnal Ebsco (Jurnal Ilmu Politik) seri 1, vol. XXXIX,

(Januari-Maret 2013): 44.

http://web.a.ebscohost.com/ehost/pdfviewer/pdfviewer?vid=4&sid=c989b974-fd3a-459e-a42a-

79556af7e1db%40sessionmgr4007&hid=4207 (diakses pada 8 Agustus 2016).

Page 2: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

12

2.1 Partisipasi Politik

2.1.1 Teori Politik

Langkah awal untuk memahami partisipasi politik yaitu dengan memahami istilah kata

politik. Istilah politik berasal dari kata Yunani „polis‟ yang secara harfiah berarti negara/kota,

yang kemudian diterjemahkan dalam berbagai bahasa Inggirs, seperti polity, politic, politics,

political, politician, police dan policy.2 Kata polis (negara/kota) memiliki arti khusus dari

kelompok-kelompok manusia atau masyarakat, yaitu pertama, mengacu pada negara bangsa

(nation-state) yang menunjukan masyarakat nasional; kedua, mengacu pada negara pemerintah

(goverment state) yang menunjukan penguasa dan pemimpin dari masyarakat nasional.3

Istilah politik ini sangat dipengaruhi oleh para filsuf Yunani Kuno abad ke-5 SM seperti

Plato dan Aristoteles. Kedua filsuf ini mendefinisikan politik sebagai usaha untuk mencapai

masyarakat politik yang didalamnya ada kebahagiaan, hubungan keakraban dan moralitas yang

tinggi.4 Berdasarkan pemikiran Plato dan Aristoteles ini, maka sebenarnya sejak semula semua

manusia telah berpolitik kapanpun dan di manapun karena setiap individu atau kelompok

masyarakat selalu diperhadapkan dengan berbagai kebutuhan dan berusaha untuk mewujudkan

kebutuhan baik melalui cara yang positif maupun negatif untuk mencapai kepuasan dan

kebahagiaan atas kebutuhan itu.

Pengaruh pemikiran Plato dan Aristoteles berlangsung hingga abad-19 dan praktek

berpolitik pun semakin berkembang baik ke arah positif maupun negatif. Peter Merkl

2 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004), 6.

3 Maurice Duverger, Sosiologi Politik, terj. Daniel Dhakidae (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), 18.

4 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke-15 (Jakarta: Gramedia, 2015), 13-14.

Page 3: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

13

menganggap politik yang baik adalah usaha untuk mencapai suatu tatanan masyarakat yang baik

dan keadilan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai serta ideologi masing-masing. Selanjutnya, Peter

Merkl juga berpendapat bahwa politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan

kekuasaan, kedudukan dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.5

Politik sebagai usaha untuk menggapai kehidupan yang lebih baik pun didefinisikan oleh

Miriam Budiardjo dan tidak terlepas dari beberapa konsep penting seperti negara (state),

kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making), kebijakan publik (public policy)

dan alokasi atau distribusi (allocation or distribution).6 Dengan demikian, dapat disimpulkan

bahwa politik merupakan cara seseorang untuk mencipkatan suatu kebijakan demi kebaikan

bersama dengan menggunakan kekuasaan yang ditetapkan oleh negara.

Wajah politik pun digambarkan oleh Joni Lovenduski yang terdiri dari person, proses,

hubungan, lembaga dan prosedur yang membuat keputusan-keputusan publik berwibawa.7

Lovenduski menegaskan bahwa istilah politik tidak dapat dipisahkan dari penilaian masyarakat

atas pengalamannya terhadap para politisi, majelis, pemerintahan serta kebijakan-kebijakan yang

disajikan media sebagai wujud persaingan politik. Penilaian tersebut bersifat pengandaian dan

sering berkonotasi negatif. Kenyataan bahwa lembaga-lembaga pemerintahan yang didominasi

laki-laki sedangkan perempuan sebagai kaum minoritas berada pada ruang privat atau domestik

5 Budiardjo, Dasar-Dasar..., 15.

6 Politik mempelajari negara, tujuan, lembaga-lembaga yang menjalankan tujuan dan hubungan negara

dengan rakyat karena negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memiliki kekuasaan tertinggi yang

sah dan ditaati oleh rakyatnya. Kekuasaan itu dimiliki oleh individu atau kelompok untuk mempengaruhi perilaku

seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku. Dengan kekuasaan tersebut maka pemerintah

akan mengadakan proses pengambilan keputusan yang diambil secara kolektif mengikat seluruh masyarakat. Proses

pengambilan keputusan ini akan melahirkan suatu kebijakan umum yang merupakan suatu kumpulan keputusan

yang diambil oleh seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara mencapai tujuan

tersebut. Pada prinsipnya, pihak yang membuat kebijakan itu memiliki kekuasaan untuk melaksanakannya. Lih.,

Budiardjo, Dasar-Dasar..., 13-14. 7 Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 32.

Page 4: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

14

membuat kaum feminis mendefinisikan istilah politik sebagai kehidupan privat yang didasarkan

oleh kekuasaan yang tidak seimbang.8

2.1.2 Teori Partisipasi Politik

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson mendefinisikan partisipasi politik sebagai

kegiatan yang dilakukan warga negara dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilaan

keputusan pemerintah.9 Selanjutnya, Huntington dan Nelson pun menjelaskan bahwa partisipasi

politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk seperti berpartisipasi dalam pemungutan suara,

menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pimpinan politik untuk mempengaruhi

kepentingan mereka yang mengangkut hajat hidup orang banyak yang disebut lobbying, berperan

sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi dengan tujuan mempengaruhi pengambilan

keputusan pemerintah, mencari koneksi untuk para pejabat pemerintah dan biasanya bermanfaat

hanya bagi satu orang atau segelintir orang serta terlibat dalam tindak kekerasan untuk

mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah dengan menimbulkan kerugian fisik manusia

maupun benda.10

Hal senada dijelaskan oleh Miriam Budiardjo bahwa partisipasi politik merupakan

kegiatan seseorang, atau kelompok orang yang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik,

yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung

mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti

memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu

8 Ibid., 33.

9 Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, terj. Sahat Simamora

(Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994), 4. 10

Ibid., 16-20.

Page 5: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

15

partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan dengan pejabat pemerintah atau

anggota parlemen, dsb.11

Demikian halnya partisipasi politik yang diungkapkan oleh Herbert

McClosky, Norman H. Nie dan Sidney Verba bahwa partisipasi politik merupakan kegiatan

sukarela setiap warga negara untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat dan kebijakan-

kebijakan yang diambil mereka.12

Dengan demikian, partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang secara langsung

atau tidak langsung mempengaruhi pembuatan kebijakan oleh para penyelenggara negara melalui

berbagai tindakan seperti pemberian suara dalam pemilihan umum, bergabung dengan kelompok

kepentingan atau lembaga politik, mencari kandidat dan/atau mencalonkan diri sebagai kandidat

penyelenggara negara, menjalin komunikasi dengan pejabat negara, demonstrasi, kampanye, dsb.

Huntington dan Nelson kemudian membagi landasan atau asal usul seseorang atau

kelompok melakukan kegiatan partisipasi politik (terkecuali dalam bentuk mencari koneksi),

yaitu:13

- Kelas: individu-individu dengan status sosial, pendapatan dan pekerjaan yang sama.

- Kelompok: individu-individu dengan ras, agama, bahasa atau etnisitas yang sama.

- Lingkungan: individu-individu yang tempat tinggalnya sama atau berdekatan.

11

Miriam Budiardjo dikutip oleh Merphin Panjaitan. Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara

(Jakarta: Permata Aksara, 2011), 73. 12

Herbert McClosky dalam International Encyclopedia of the Social Sciences: “The term ‘political

participation’ will refer to those voluntary activities by which members of a society share in the selection of rules

and directly or indirectly, in the formulation of public policy”. Norman H Nie dan Sidney Verba dalam Handbook of

Political Science: By political participation we refer to those legal activities by private citizens which are more or

less directly aimed at influencing the selection of governmental personnel and/or the actions they take. Lih.,

Panjaitan. Logika Demokrasi..., 73-74. 13

Hubungan patron-client adalah hubungan pertukaran peran yaitu kelompok masyarakat dengan tingkat

sosio-ekonominya tinggi (patron) berusaha mempengaruhi dan melindungi kelompok yang tingkat sosio-

ekonominya rendah (client). Sebagai gantinya, maka kelompok client akan memberikan jasa atau dukungan kepada

kelompok patron. Lih., Huntington dan Nelson, Partisipasi..., 21.

Page 6: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

16

- Partai: individu-individu yang tergabung dalam organisasi formal yang sama dan berusaha

untuk mempertahankan kontrol atas bidang eksekutif dan legislatif pemerintah.

- Golongan: individu-individu dengan status, pendidikan dan ekonomi yang tidak sederajat

namun dipersatukan oleh interaksi secara terus menerus dan membentuk hubungan patron-

client.

Faktor-faktor penyebab seseorang melakukan partisipasi politik diungkapkan oleh

Milbrath, yaitu: pertama, adanya perangsang politik seperti sering mengikuti debat atau diskusi

politik baik formal maupun informal; kedua, peduli terhadap isu-isu sosial, politik, budaya,

ekonomi, dll; ketiga, status sosial, ekonomi, etnis dan agama yang mempengaruhi persespsi

dalam bidang politik; keempat, lingkungan politik yang kondusif dan demokratis akan

mendekatkan seseorang dengan dunia politik.14

Lain halnya dengan Frank Lindenfeld yang

mengatakan bahwa kepuasan finansial adalah faktor utama seseorang berpartisipasi politik.

Dalam studinya, Lindenfeld menemukan bahwa status ekonomi yang rendah menyebabkan

seseorang merasa teralienasi dari kehidupan politik dan orang yang bersangkutan pun akan

menjadi apatis. Hal ini tidak terjadi pada orang yang memiliki kemapanan ekonomi. 15

Dan

Nimmo menambahkan bahwa seseorang berpartisipasi dalam politik dipengaruhi oleh adanya

peluang resmi dimana seseorang berpartisipasi politik karena didukung oleh kebijakan negara,

kemudian adanya sumber daya sosial serta adanya motivasi personal atau kemauan diri sendiri

untuk terlibat dalam dunia politik.16

14

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik: Suatu Pemikiran dan Penerapan (Jakarta: Rineka

Cipta, 2007), 156-157. 15

Ibid., 156. 16

Dan Nimmo dikutip oleh Zaenal Mukarom. Perempuan dan Politik: Studi Komunikasi Politik tentang

Keterwakilan Perempuan di Legislatif, Jurnal Komunikasi, vol. 2, nomor 9, (2008): 260.

http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mediator/article/viewFile/1125/681 (diakses pada 1 november 2016).

Page 7: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

17

Tingkat pertisipasi politik di setiap negara atau daerah bervariasi sejalan dengan tingkat

pembangunan ekonominya.17

Dalam masyarakat yang kompleks dan lebih kaya, dengan tingkat

industrialisasi dan urbanisasi serta sosio-konomi yang lebih tinggi, lebih banyak orang yang

terlibat dalam politik dibandingkan dengan masyarakat yang kurang berkembang dan primitif.

Tingkat partisipasi politik juga ditentukan oleh kesadaran politik setiap anggota masyarakat.18

Semakin sadar bahwa dirinya diperintah maka ia akan semakin menuntut untuk diberikan hak

bersuara dalam penyelenggaraan pemerintah. Sebaliknya, seseorang tidak menaruh perhatian

pada politik disebabkan oleh kesadarannyaa bahwa pendapat dalam masyarakat tidak

dikemukakan, pemimpin negara kurang memberi apresiasi terhadap kebutuhan dan aspirasi

masyarat dan lebih fokus kepada salah satu kelompok yang membawa keuntungan bagi

kepentingan mereka.

Galen A.Irwan dalam tulisannya mengenai “Political Efficacy, Satisfaction and

Participation” menyimpulkan bahwa dalam beberapa keadaan tertentu, perasaan puas

menentukan tingkat partisipasi.19

Kesimpulan Galen ini dapat berlangsung dalam suatu

masyarakat karena pada dasarnya setiap individu yang terlibat dalam politik menaruh harapan

bahwa kebutuhan dan aspirasinya akan diperhatikan oleh para pemimpin dan perbuatan mereka

akan mempengaruhi pembuatan kebijakan demi kebaikan bersama. Selain itu, Gabriel A.

Almond juga mengungkapkan bahwa tingkat pendidikan, perbedaan jenis kelamin dan status

sosio-ekonomi serta partai politik tentunya mempengaruhi keaktifan seseorang berpartisipasi

dalam politik.20

17

Huntington dan Nelson, Partisipasi..., 59 18

Budiardjo, Dasar-dasar..., 369. 19

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai politik (Jakarta: Gramedia, 1981), 5. 20

Gabriel A. Almond, “Sosialisasi, Kebudayaan dan Partisipasi Politik”, dalam Perbandingan Sistem

Politik, peny. Mochtar Mas‟oed dan Colin MacAndrews (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2015), 61.

Page 8: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

18

Tujuan partisipasi politik adalah untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh

pemerintah melalui berbagai bentuk partisipasi. Menurut Myron Weiner, ada 5 hal yang

menyebabkan timbulnya kegiatan partisipasi politik, yaitu:21

- Pengaruh modernisasi melalui media, pendidikan, urbanisasi, industrialisasi, dsb,

membuat masyarakat ingin memperjuangkan nasib mereka melalui politik.

- Perubahan struktural kelas sosial mengakibatkan perebutan kekuasaan dan pola

partisipasi politik.

- Penyebaran ide-ide demokratisasi partisipasi oleh kaum intelektual dan media

komunikasi modern.

- Terjadinya konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik membuat kelompok-

kelompok yang bertikai mencari dukungan rakyat untuk memperoleh kekuasaan.

- Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan budaya.

2.2 Partisipasi Politik Masyarakat

a. Masyarakat dan Negara

Masyarakat adalah sekelompok individu yang memiliki kebutuhan masing-masing dan

hidup bersama untuk menciptakan kebutuhan-kebutuhan tersebut.22

Pada hakikatnya, manusia

tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri sehingga manusia membutuhkan bantuan orang lain

untuk mewujudkan kebutuhan tersebut baik melalui kerjasama maupun persaingan. Hubungan

kerjasama dan persaingan tersebut dilakukan dengan mengorganisir berbagai perserikatan atau

Tulisan ini diambil dari Gabriel A. Almond “political Sosialization and Culture” dan “Political Participation” dalam

Comparative Politics Today (Boston: Little , Brown and Company, 1974). 21

Ibid., 56-57.

22

Harold J Laski mendefinisikan masyarakat sebagai sekelompok manusia yang hidup bersama dan

bekerjasama untuk mencapai terkabulnya keinginan-keinginan bersama. Lih., Budiardjo, Dasar-dasar...,cetakan

kedua, 34.

Page 9: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

19

asosiasi. Perserikatan atau asosiasi tersebut berfungsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di

segala bidang dan membatasi kompetisi serta mewujudkan ketertiban. 23

Negara adalah asosiasi tertinggi dalam suatu wilayah. Negara berfungsi untuk

menyelenggarakan penertiban dan perlindungan bagi seluruh individu yang hidup bersama

sebagai masyarakat serta dapat memaksakan kekuasaannya secara sah dan menetapkan tujuan-

tujuan dari kehidupan bersama tersebut.24

Dengan kata lain, negara menjalankan kekuasaan

politik yang didasarkan oleh hukum melalui perantaraan pemerintah beserta alat-alat

perlengkapannya. Menurut Montesquieu, negara memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi,

eksekutif dan yudikatif. Ketiga fungsi ini dibagikan kepada pemegang kekuasaan untuk

mencegah suatu individu atau kelompok menghancurkan kebebasan masyarakat.25

Sebagai akibat dari kekuasaan mutlak negara maka untuk menyelenggarakan hak-hak

politik secara efektif perlu adanya hukum yang berpihak pada rakyat yang disebut sebagai

demokrasi konstitusionil.26

Dengan demikian, agar kebutuhan masyarakat terpenuhi maka

masyarakat harus berinteraksi dengan negara melalui partisipasi politik untuk mempengaruhi

pembuatan keputusan oleh badan-badan penyelenggara negara serta adanya komunikasi politik

yang melahirkan suatu kebijakan untuk seluruh masyarakat.27

23 Setiap asosiasi memiliki aturan-aturan yang memiliki tanggung jawab untuk memperjuangkan

kepentingan bersama anggota-anggota asosiasi serta mencegah timbulnya tindakan yang merugikan anggota asosiasi

lainnya. Lih., Budiardjo, Dasar-dasar..., cetakan kedua, 34-35. 24

Budiardjo, Dasar-dasar..., cetakan kedua, 34-35 40-41. 25

Montesquieu dikutip oleh Merphin Panjaitan. Logika Demokrasi: Rakyat Mengendalikan Negara

(Jakarta: Permata Aksara, 2011), 112. 26

Ciri khas demokrasi konstitusionil adalah gagasan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintah

yang terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warganya. Pembatasan-

pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi. Lih., Budiardjo, Dasar-dasar..., cetakan

kedua..., 40-41. 27

Interaksi negara dan masyarakat bertujuan untuk menjalankan keputusan negara, sosialisasi berbagai

aturan perundang-undangan serta kebijakan publik dan untuk menyampaikan berbagai hal yang perlu diiketahui

masyarakat. Interaksi ini juga digunakan kelompok masyarakat untuk memperjuangkan kepentingan kelompoknya

menjadi warga negara. Lih., Panjaitan, Logika Demokrasi..., 117-118.

Page 10: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

20

Dalam negara demokrasi, masyarakat berhak untuk mempengaruhi proses

penyelenggaraan negara, seperti pembuatan APBN, APBD, Undang-undang dan Perda serta

berbagai kebijakan negara lainnya, sampai dengan pelaksanaan, pengawasan dan penilaian serta

dalam pemilihan umum. Partisipasi politik masyarakat ditingkatkan untuk memperkuat kendali

rakyat atas negara, agar negara melayani seluruh rakyat tanpa terkecuali.28

Oleh sebab itu, maka

untuk mewujudkan pemerintahan dari rakyat untuk rakyat, partisipasi politik masyarakat harus

berlangsung dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat. Jika arena penyelenggaraan negara

tidak memberikan ruang bagi semua rakyat maka akan terjadi hegemoni kepentingan mayoritas

terhadap kelompok-kelompok marginal.29

b. Partai Politik

Partai politik merupakan sarana warga negara untuk berpartisipasi dalam proses

pengelolaan suatu daerah atau negara. Melalui partai politik, masyarakat menaruh segala harapan

dan aspirasi mereka untuk diwujudkan ke arah yang lebih baik melalui berbagai kebijakan.

Sigmund Neumann dalam bukunya Modern Political Parties, mengemukakan definisi

partai politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai

kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu

golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Selanjutnya,

Giovanni Sartoni dalam bukunya Parties and Party Sistems mendefinisikan partai politik sebagai

suatu kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum dan melalui pemilihan umum itu

28

Ibid., 76. 29

Martha Tilaar, “Aktivisme Perempuan..., 33.

Page 11: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

21

mampu menempatkan calon-calonnya untuk menduduki jabatan-jabatan publik.30

Dengan

demikian, partai politik merupakan sekelompok orang yang dipilih rakyat sebagai perantara

kekuatan dan ideologi masyarakat dengan pemerintah.

Dalam negara demokratis, partai politik menyelenggarakan beberapa fungsi, yaitu:

pertama, sebagai sarana komunikasi politik, yaitu sebagai jembatan antara pemerintah dengan

rakyat serta rakyat dengan pemerintah untuk merumuskan suatu keputusan; kedua, sebagai

sarana sosialisasi politik di mana melaluinya partai politik dapat memberikan didikan politik

kepada masyarakat, mengembangkan citra peduli akan kepentingan rakyat, mencari dukungan

serta mendidik anggota-anggotanya menjadi manusia yang sadar dan bertanggungjawab; ketiga,

sebagai sarana rekrutmen politik, yaitu mencari anggota baru yang berbakat untuk berpartisipasi

dalam politik; keempat, sebagai sarana pengatur konflik, yaitu membantu meminimalisir akibat

negatif dari sebuah pertikaian atau masalah dalam masyarakat.31

c. Badan Legislatif

Badan legislatif atau legislature atau yang biasa dikenal dengan sebutan assembly,

parliament atau representative body (Dewan Perwakilan Rakyat) memiliki fungsi utama untuk

membuat undang-undang. Undang-undang tersebut haruslah mengikat semua masyarakat. Hal

ini ditegaskan Rousseau bahwa setiap masyarakat memiliki suatu „kehendak‟ yang disebut

Volonte Generale atau General Will. Oleh karena itu, dengan adanya gagasan kedaulatan ada di

tangan rakyat, maka badan legislatif menjadi badan yang berhak menyelenggarakan kedaulatan

itu dengan jalan menentukan kebijakan umum dan menuangkannya dalam undang-undang.32

30

Budiardjo, Dasar-dasar, cetakan ke-15..., 404-405. 31

Budiardjo, Dasar-dasar..., 405-409. 32

Pada mulanya, Rousseau yang memelopori gagasan kedaulatan rakyat tidak menyetujui badan

perwakilan tetapi mencita-citakan suatu bentuk demokrasi langsung di mana rakyat secara langsung merundingkan

Page 12: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

22

Di negara-negara demokrasi, badan legislatif disusun untuk mewakili mayoritas dari

rakyat dan pemerintah bertanggung jawab kepadanya. Hal ini ditegaskan oleh pernyataan

C.F.Strong bahwa demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang mayoritas anggota dewasa

dari suatu komunitas politik berpartisipasi atas dasar sistem perwakilan yang manjamin bahwa

pemerintah akhirnya mempertanggungjawabkan tindakan-tindannya kepada mayoritas itu.33

Jadi,

sistem perwakilan yang demokratis adalah sistem yang segala usaha dan kebijakannya menjamin

kedaulatan rakyat.

Badan perwakilan terbagi atas dua kategori yaitu badan perwakilan politik (political

representation) yang mewakili rakyat melalui partai politik serta badan perwakilan fungsional

(functional representation) yang berperan sebagai badan parlemen yang dipercayai dan

memegang mandat perwakilan. Perwakilan politik sudah menjadi sangat umum namun ada

beberapa kalangan yang merasa kecewa dengan kinerja perwakilan politik untuk kesatuan-

kesatuan politik dan mengabaikan kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, banyak negara

seperti India, Pakistan, dsb, mengangkat wakil rakyat dari kalangan minoritas atau kalangan

yang memerlukan perhatian khusus sebagai bentuk koreksi atas kinerja perwakilan politik.34

Dengan demikian, sebenarnya keterwakilan perempuan dalam politik bukan hanya sebagai

bentuk partisipasi politik tetapi juga seharusnya menjadi suatu bentuk kritik atas praktek

perpolitikan Indonesia yang bias gender.

dan memutuskan kebijakan negara dan politik. Namun hal ini tidak praktis sehingga negara-negara modern

menyelenggarakan kedaulatan rakyat yang dimilikinya melalui wakil-wakil rakyat yang dipilihnya secara berkala.

Lih., Budiardjo, Dasar-dasar, cetakan ke-15..., 315-316. 33

Ibid., 316. 34

Budiardjo, Dasar-dasar, cetakan ke-15..., 317. Pada masa demokrasi dasar, parlemen Pakistan

menyediakan beberapa kursi untuk golongan perempuan dan orang-orang yang berjasa dalam berbagai bidang

seperti bekas pejabat tinggi (gubernur atau mentri)dan dari kalangan kebudayaan, ilmu pengetahuan dan profesi-

profesi (pengacara, dsb) sebagai bentuk kritik terhadap kinerja perwakilan politik. Sedangkan India mengangkat

beberapa orang wakil dari Anglo-Indian sebagai anggota majelis rendah, sedangkan beberapa wakil dari kalangan

kebudayaan, kesusastraan dan pekerjaan sosial diangkat menjadi anggota majelis tinggi.

Page 13: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

23

Adapun fungsi-fungsi badan legislatif yaitu:35

1. Menentukan kebijakan dan membuat undang-undang serta mengadakan amandemen

terhadap rancangan UU yang disusun pemerintah terutama di bidang anggaran.

2. Mengontrol tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang

ditetapkan. Fungsi kontrol ini dapat dijalankan melalui beberapa cara, yaitu:

mengajukan pertanyaan parlemen mengenai suatu masalah secara tertulis,

menggunakan hak interpelasi yaitu hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah

mengenai kebijakan di suatu bidang, menggunakan hak angket untuk mengadakan

penyelidikan sendiri serta hak mosi.

3. Menjalankan fungsi edukatif. Dengan berkurangnya fungsi badan legislatif dalam

bidang pembuatan UU, maka yang lebih ditonjolkan adalah peranan edukatifnya.

Badan legislatif bertindak sebagai pembawa suara rakyat dan mengajukan berbagai

pandangan yang berkembang secara dinamis dalam mayarakat melalui berbagai

media. Dengan demikian, rakyat dididik ke arah kewarganegaraan yang sadar dan

bertanggung jawab dan partisipasi politiknya dapat dibina.

4. Sebagai sarana sosialisai politik

Gabriel A. Almond mendefinisikan sosialisasi politik sebagai suatu proses

pengajaran nilai nilai masyarakat, dalam hal ini nilai-nilai dan kebudayaan politik,

kepada warganegara yang berlangsung selama hidup seseorang.36

Menurut Almond,

meskipun pengalaman sosialisasi tidak bersifat politik tetapi dapat mempengaruhi

tingkah laku politik di kemudian hari. Keluarga menjadi tempat pertama bagi

pembentukan sosialisai politik karena pengalaman nonpolitik di masa dapat

35

Ibid., 322-326. 36

Gabriel A. Almond, “Sosialisasi..., 40.

Page 14: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

24

memainkan peran penting dalam sikap politik dan tingkahlaku politik dan akan terrus

berkembang sepanjang masa.37

Selain keluarga sebagai pembentukan sosialisasi

primer, sekolah ketetanggaan atau kelompok bermain, gereja, kelompok kerja dan

media komunikasi juga mempengaruhi sikap dan tingkah laku politik. Oleh karena

itu, badan legislatif sebagai perwakilan politik harus memainkan peran dalam

pembentukan sosialisasi politik.

2.3 Partisipasi Politik Perempuan

Pada awal kemunculannya, demokrasi berasal dari warisan tradisi Yunani yang

menempatkan perempuan sebagai budak belian dan tidak diikutsertakan dalam pemilihan

umum.38

Kenyataan sejarah ini sangat bertentangan dengan pengertian demokrasi itu sendiri

yang semestinya menghadirkan keadilan bagi semua kalangan.39

Artinya bahwa kekuasaan tidak

hanya berada di tangan kaum laki-laki tetapi ada juga di tangan kaum perempuan.

37

Gabriel A. Almond dan Sidney Verba, Budaya Politik: Tingkah Laku Politik dan Demokrasi di Lima

Negara, terj. Sahat Simamora (Jakarta: PT Bina Aksara, 1984), 325. 38

Martha Tilaar, “Aktivisme Perempuan dalam Parlemen..., 53. 39

Menurut asal katanya, demokrasi berarti “rakyat berkuasa” atau “goverment or rule by the people”. (Kata

Yunani demos berarti rakayat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa). Lih., Budiardjo, Dasar-Dasar..., 50.

Page 15: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

25

Data menunjukan bahwa negara-negara yang menunjunjung tinggi dan mendukung

emansipasi dan partisipasi politik perempuan baik di lembaga-lembaga kekuasaan negara

maupuan peranan-peranan politik resminya, tetap didominasi oleh kaum laki-laki. Hal ini

dipengaruhi oleh pembuatan kebijakan negara, ras, kelas, latar belakang etnis dan agama. Alasan

utamanya adalah mengenai persoalan memahami istilah kekuasaan (power). Kaum perempuan

memiliki kekuasaan politik tetapi sedikit kekuatan, legitimasi dan otoritasnya.40

Sebelum abad 20, banyak kebijakan konstitusi yang mendiskriminasi kaum perempuan di

Amerika. Perempuan tidak diperkenankan mengikuti Pemilu, tidak berhak menguasai harta

miliknya, pendidikan dibatasi bagi kaum perempuan, dsb. Ketidakadilan gender ini

mengakibatkan banyak perlawanan kaum perempuan untuk keluar dari kungkungan hukum yang

mendiskreditkan kehadiran mereka seperti gerakan feminis. Namun, gerakan feminis yang sudah

tersebar di belahan dunia belum dapat menjawab persoalan ketidakadilan gender.41

Di Indonesia, isu gender yang dikonstruksi salah berimbas pada berbagai bidang

kehidupan masyarakat termasuk bidang politik. Hal ini dapat dilihat pada hasil keterwakilan

perempuan di parlemen (DPR). Sebagai contoh, perempuan hanya terwakili 9,7% di DPR hasil

Pemilu 1997, kemudian menurun menjadi 8,4% dari hasil Pemilu 1999, lalu naik menjadi 11,5%

dari hasil Pemilu 2004. Padahal partisipasi perempuan dalam menggunakan hak pilih lebih tinggi

daripada laki-laki. Pemilu 1999 diikuti 57% pemilih perempuan dan Pemilu 2004 diikuti 53%

pemilih perempuan.42

40

Henrietta L. Moore, Feminisme dan Antropologi, terj. Tim Proyek Studi Jender dan Pembangunan FISIP

UI (Jakarta: Obor, 1998), 258 41

Astrid Anugrah, Keterwakilan Perempuan dalam Politik (Jakarta: Pancuran Alam, 2009), 7-8. 42

Heriyani Agustina, “Keterwakilan Perempuan di Parlemen dalam Perspektif Keadilan dan Kesetaraan

Gender” dalam Gender and Politics, terj. Siti Hariti Sastriyani (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), 164.

Page 16: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

26

Dampak dari ketidakadilan gender ini juga merasuk dalam kehidupan politik. Panggung

politik formal dan arena pengambilan keputusan didominasi oleh laki-laki sehingga kebijakan-

kebijakan pemerintah dalam segala level tidak dapat mengartikulasikan kepentingan kaum

perempuan. Kaum perempuan membutuhkan usaha yang panjang dalam partisipasi politik untuk

memperjuangkan hak-haknya dan semua perempuan melalui arena politik.43

Salah satu terobosan untuk mencapai keadilan gender di bidang politik adalah dengan

pemberlakuan sistem affirmative action yaitu sistem yang digunakan secara global untuk

memungkinkan perempuan memainkan perannya dalam masyarakat. Beberapa orang

berpendapat bahwa affirmative action bukanlah suatu kebijakan yang sesuai dengan sistem

demokrasi karena sangat membatasi peluang bagi laki-laki maupun perempuan untuk

berpartisipasi dalam politik yaitu dengan kebijakan jumlah kuota perempuan 30% dan sekurang-

kurangnya terdapat satu orang perempuan bakal calon. Namun, bila pemerintah tidak tegas

dalam hal ini maka perempuan akan semakin tertinggal. Undang-undang ini membantu negara

keluar dari kesan hukum yang patriakat.44

Menurut Inter-Parliamentary Union (IPU 2013), kehadiran perempuan dalam parlemen di

Portugal meningkat baik di Eropa maupun di tingkat nasional, tetapi mereka masih dikategorikan

sebagai kaum minoritas di arena politik. Oleh karena itu, langkah affirmative seperti kuota yang

diadopsi secara internasional digunakan sebagai strategi untuk memulihkan ketidakadilan dan

menciptakan masyarakat yang egaliter. Dalam konteks politik, penerapan kuota gender bertujuan

43

Nursyahbani Katjasungkana, “Pengantar” dalam Masih Dalam Posisi Pinggiran: Membaca Tingkat

Partisipasi Perempuan di Kota Surakarta, peny. Eva Kusuma Sundari (Solo: Pustaka Pelajar, 2005), xiii. 44

Anugrah, Keterwakilan..., 61. Affirmative Actions merupakan upaya jalan keluar dari permasalahan kaum

perempuan atas ketertinggalannya, dan sesuatu yang tidak mungkin dicapai berhubung sifat nature (alami) dan

nurture (peran) tanpa adanya suatu kebijakan atau tindakan khusus dalam hal mengatasi ketertinggalannya tersebut

dari kaum pria.

Page 17: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

27

untuk menjamin keterwakilan perempuan dalam daftar pemilih menurut sebuah target

kuantitatif.45

Sistem kuota merupakan suatu bentuk nyata UU yang dibuat pemerintah Indonesia untuk

keluar dari sistem patriakat. Menurut Azza Karam, ide inti dari sistem kuota ini adalah untuk

merekrut perempuan ke dalam posisi politik dan memastikan bahwa perempuan tidak lagi

terisolasi dalam kehidupan politik. Sistem kuota sering disebut gender neutral karena digunakan

sebagai pengkritik keseimbangan perwakilan laki-laki dan perempuan.46

Upaya-upaya yang dilakukan negara untuk menjamin adanya keadilan gender membawa

kita pada pemahaman akan pentingnya kehadiran perempuan dalam lembaga-lembaga pembuat

keputusan. Ada beberapa argumen yang dikemukakan oleh Joni Lovenduski untuk mendukung

tuntutan partisipasi perempuan, yaitu: pertama, argumen keadilan. Menurut argumen ini,

sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli perwakilan, terutama di negara yang

menganggap diri sebagai negera demokrasi modern karena perempuan memiliki hak dan

kewajiban yang sama dengan laki-laki; kedua, argumen pragmatis. Melalui partisipasi

perempuan, politik akan lebih konstruktif dan ramah; ketiga, argumen perbedaan. Perempuan

akan membawa gaya dan pendekatan yang berbeda dalam politik yang akan mengubahnya

menjadi lebih baik yaitu suatu pengaruh yang menguntungkan semua pihak.47

Selanjutnya, Drude Dahlrup juga mengemukakan beberapa argumen yang menjadi dasar

pentingnya partisipasi perempuan dalam politik dan peran yang ia hasilkan dengan kekuasaan

yang diperoleh dari rakyat, yaitu pertama, kehadiran anggota legislatif perempuan menjadi

45

Maria Helena Santos, Lígia Amâncio dan Hélder Alves, “Gender and politics: The relevance of gender

on judgements about the merit of candidates and the fairness of quotas” Portuguese Journal of Social Science

Volume 12 Number 2 (2013): 134. 46

Masruchah, “Mengapa Perlu Perempuan di Parlemen?”, dalam Perempuan Parlemen dalam Cakrawala

Politik Indonesia, peny. Indra Syamsi (Jakarta: PT Dian Rakyat, 2013), 28. 47

Lovenduski, Politik Berparas..., 48-52.

Page 18: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

28

inspirasi bagi perempuan lainnya untuk terlibat dan berperan dalam dunia politik; kedua,

perempuan dan laki-laki mempunyai kepentingan yang berbeda, oleh karena itu laki-laki tidak

bisa mewakili perempuan seolah mereka tahu kepentingan dan kebutuhan perempuan.48

Meskipun kehadiran mereka di panggung politik memberi banyak manfaat bagi kaum

perempuan lainnya serta lembaga politik itu sendiri, proses keterwakilan perempuan di arena

politik bukanlah perjuangan yang mudah. Ada dua faktor utama yang menjadi kendala bagi

kaum perempuan untuk menjadi pelaku politik yaitu pertama faktor sosial meliputi kurangnya

sumber daya yang dimiliki perempuan, tuntutan pekerjaan rumah tangga dan adanya pemahaman

tentang tugas politik yang dikategorikan sebagai tugas laki-laki. Sedangkan faktor kedua adalah

faktor institusional yang terlihat dari lembaga-lembaga politik yang ditandai dengan prioritas,

budaya dan praktek-praktek yang sangat maskulin. 49

Berbeda dengan negara-negara Skandinavia yang memiliki peluang yang besar bagi

partisipasi perempuan dalam politik, Indonesia memiliki peluang atau akses yang sangat terbatas

bagi kehadiran perempuan dalam arena politik. Hal ini dipengaruhi oleh nilai dan norma gender

yang dikembangkan dalam konteks internasional seperti anti-diskriminasi terhadap perempuan,

pengarusutamaan gender, pemberlakuan kuota 30% dalam parlemen, dll.50

Istilah gender itu

sendiri berbeda dengan seks. Seks berasal dari aspek biologis: anatomi, hormon dan fisiologi;

sedangkan gender adalah sebuah status yang dikonstruksi melalui psikologi, budaya dan

pemahaman masyarakat.51

Seks tampak sebagai sebuah pemberian sedangkan gender tampak

48

Masruchah, “Mengapa Perlu Perempuan..., 30. 49

Joni Lovenduski mengungkapkan bahwa faktor sosial dan faktor institusional menjadi kendala utama bagi

kaum perempuan untuk menjadi pelaku politik. Lih., Lovenduski. Politik Berparas..., 87-95. 50

Ririn Tri Nurhayati, ”The Influence of International Norms on Gender Equality in the Advancement of

Women‟s Political Participation in Indonesia”, dalam Gender and Politics, peny. Siti Hariti Sastriyani (Yogyakarta:

Tiara Wacana, 2009), 131-132. 51

Candace West dan Don N. Zimmerman, “Doing Gender”, dalam The Social Construction of Gender,

peny. Judith Lorber dan Susan A. Farrell (Newbury Park, London, New Delhi: Sage Publications, 1991), 13.

Page 19: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

29

seperti sebuah pencapaian atau hasil dalam studi antropologis, psikologis dan kewajiban sosial-

pembagian kerja, pembentukan identitas dan subordinasi sosial perempuan dan laki-laki.52

Gender pertama kali diperkenalkan oleh Robert Stoller pada tahun 1968 untuk memisahkan

pencirian manusia yang didasarkan pada pendefinisian yang bersifat sosial budaya dengan

pendefinisian yang berasal dari ciri-ciri fisik biologis. Ann Oakley mengartikan gender sebagai

konstruksi sosial atau atribut yang dikenakan pada manusia yang dibangun oleh kebudayaan

manusia.53

Perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran dan posisinya tidak akan menjadi

masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilam. Adapun bentuk-bentuk ketidakadilan gender

yang termanifestasi pada perempuan:54

1. Marginalisasi perempuan

Marginalisasi perempuan disebabkan oleh kebijakan pemerintah, keyakinan atau

penafsiran terhadap ajaran agama, tradisi dan ilmu pengetahuan. Ada jenis pekerjaan

tertentu yang dianggap cocok oleh perempuan dan dapat pula didominasi oleh laki-

laki.

2. Subordinasi Perempuan

Perempuan dianggap makhluk yang emosional sehingga tidak dapat menjadi seorang

pemimpin. Perempuan dipatok bekerja di dapur untuk melayani keluarganya/suami.

Perempuan tidak memiliki hak untuk mengatur dirinya sendiri.

3. Stereotip/pelabelan jenis kelamin

52

West dan Zimmerman, “Doing Gender”, dalam The Social..., 13. 53

Riant Nugroho, Gender dan Strategi Pengarus-Utamaannya di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2011), 2-3. 54

Achmad Muthali‟in, Bias Gender dalam Pendidikan (Surakarta: Muhammadiyah University Press,

2001), 33-40.

Page 20: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

30

Stereoptip adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu yang

menimbulkan ketidakadilan. Perempuan dilabelkan sebagai ibu rumah tangga yang

mengakibatkan perempuan tidak pantas bekerja di wilayah laki-laki seperti politik,

olahraga keras, dll. Dengan demikian, pendidikan bukanlah hal yang utama bagi

perempuan. Pelabelan laki-laki sebagai pencari nafkah mengakibatkan pekerjaan

perempuan hanya dipandang sebagai tambahan dalam memenuhi kebutuhan keluarga.

4. Beban kerja lebih berat

Asumsi teori hukum alam (nature) menyatakan bahwa perempuan secara alami

memiliki sifak keibuan, lemah lemut, dll sehingga sangat cocok menjadi ibu rumah

tangga. Akibatnya pekerjaan domestik menjadi tanggung jawab perempuan. Bagi

masyarakat miskin, pekerjaan rumah tangga menjadi sangat berat karena harus

bekerja di sektor publik untuk memenuhi kebutuhan lainnya meskipun tidak dihargai

secara ekonomi.

2.4 Peran Partisipasi Politik Perempuan

Chusnul Mar‟iyyah mengungkapkan bahwa politik tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan

(power) yang dapat dikelompokan dalam pengertian ability (kemampuan), capacity (kecakapan),

Page 21: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

31

faculty (kemampuan), potential (kesanggupan) dan skill (kepandaian).55

Kehadiran perempuan

dalam politik melahirkan berbagai pertanyaan seputar peran perempuan dalam struktur politik

sebagai barometer keterwakilan kaum perempuan lainnya dari segi kuantitas dan kualitas.

Kekuasaan sebagaimana yang diungkapkan oleh Mar‟iyyah tentu perlu dimiliki oleh setiap

anggota legislatif dalam menjalankan perannya di berbagai bidang kehidupan.

Peranan (role) merupakan aspek dinamis kedudukan (status) di mana seseorang dikatakan

menjalankan suatu peranan apabila ia melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai

kedudukannya. Suatu peranan mencakup 3 hal yaitu: pertama, peranan meliputi norma-norma

yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat; peranan merupakan

suatu konsep perihal apa yang dapat dilakukan oleh individu dalam mayarakat; ketiga, peranan

juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial.56

Peran berfungsi untuk menjalankan hak dan kewajiban.57

Secara normatif, keberadaan

perempuan di parlemen diharapkan bisa mempengaruhi kinerja lembaga legislatif sehingga lebih

berpihak pada kepentingan perempuan. Ada beberapa peran perempuan sebagai anggota

legislatif yang ditetapkan Lovenduski dan Karam, yaitu:58

1. Membuat parlemen menjadi “ramah” kepada perempuan melalui langkah-langkah

yang dapat memajukan kepedulian gender dan menghasilkan peraturan-peraturan

yang lebih ramah kepada perempuan.

55

Chusnul Mar‟iyyah dikutip oleh Katriana dan David Samiyono, “Perempuan dan Politik (Studi Kasus

Perempuan dan Politik di Tewah Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009 Kabupaten Gunung Mas)” Tesis. Teologi.

Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga: 2012. 56

Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), 210-211. 57

Partini. Bias Gender..., 19. 58

Machya Astuti Dewi, “Potret Anggota Legislatif Perempuan di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta:

Antara Misi dan Kapasitas Personal” dalam Gender and Politics. Peny. Siti Hariti Sastriyani, 191. Yogyakarta: Tiara

Wacana, 2009.

Page 22: BAB II KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13343/2/T2_752015021_BAB II... · KAJIAN TEORI PARTISIPASI POLITIK dan KONSEP-KONSEP

32

2. Jaminan keberlanjutan dan peningkatan akses perempuan ke parlemen dengan

mendorong dan mendukung kandidat-kandidat perempuan lain untuk berjuang masuk

menjadi anggota parlemen, mengupayakan agar anggota perempuan mendapat posisi

penting di parlemen, mengubah UU Pemilu dan kampanye, serta mengajukan

legislasi kesetaraan jenis kelamin.

3. Memastikan bahwa semua perundang-undangan atau semua produk kebijakan yang

dibuat oleh lembaga legislatif benar-benar mempertimbangkan kepentingan dan

kebutuhan perempuan.

4. Menjadikan perspektif perempuan dalam perdebatan di parlemen sebagai suatu hal

yang wajar dan mendorong perubahan sikap publik terhadap perempuan. Upaya ini

dapat didukung oleh peran media massa dan publik, sehingga dapat meningkatkan

kapasitas anggota legislatif perempuan dalam debat publik dan meningkatkan

kepedulian mereka pada isu-isu perempuan.