bab ii kajian teori & kerangka berfikir 2.1 kajian teori 2.1.1 partisipasi politik · 2013. 4....

41
7 BAB II KAJIAN TEORI & KERANGKA BERFIKIR 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Partisipasi politik 2.1.1.1 Pengertian Partisipasi Politik Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-orang yang akan menduduki kursi kekuasaan. Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan Negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy). Kemudian dijelaskan pula bahwa kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting) dengan pejabat pemerintahan atau anggota parlemen, dan sebagainya (Budiardjo, 1998). Herbert McClosky menjelaskan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari masyarakat melalui mana

Upload: others

Post on 18-Dec-2020

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

BAB II

KAJIAN TEORI & KERANGKA BERFIKIR

2.1 Kajian Teori

2.1.1 Partisipasi politik

2.1.1.1 Pengertian Partisipasi Politik

Di negara-negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep

partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat,

yang dilaksanakan melalui kegiatan bersama untuk menetapkan

tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk

menentukan orang-orang yang akan menduduki kursi kekuasaan.

Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok

orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu

dengan jalan memilih pimpinan Negara dan, secara langsung atau

tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public

policy). Kemudian dijelaskan pula bahwa kegiatan ini mencakup

tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum,

menghadiri rapat umum, menjadi anggota suatu partai atau

kelompok kepentingan, mengadakan hubungan (contacting)

dengan pejabat pemerintahan atau anggota parlemen, dan

sebagainya (Budiardjo, 1998).

Herbert McClosky menjelaskan bahwa partisipasi politik

adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari masyarakat melalui mana

8

mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan

secara langsung atau tidak langsung, serta dalam proses kebijakan

umum (Budiardjo, 1998). Norman H. Nie dan Sidney Verba

mengungkapkan bahwa partisipasi politik adalah semua aktivitas

yang sah oleh semua warga Negara yang kurang lebih langsung

dimaksudkan untuk mempengaruhi pemulihan pejabat

pemerintahan dan atau tindakan-tindakan yang mereka ambil

(Macridis dan Brown, 1996).

Partisipasi politik adalah kegiatan warga Negara yang

bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk

mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi

bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir atau spontan,

sinambung atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau

ilegal, efektif atau tidak efektif (Huntington dan Nelson, 1994).

Partisipasi politik ialah kegiatan warga Negara biasa dalam

mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan

umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan

(Surbakti, 1992).

Sehingga dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa

partisipasi politik merupakan implementasi atau pengejawantahan

dari penyelenggaraan kekuasaan politik yang absah oleh rakyat.

Dalam demokrasi yang menekankan pada partisipasi politik

masyarakat, partisipasi politik warga masyarakat itu sendiri

9

dimaksimalkan melalui berbagai cara di berbagai tingkat dan

bukan semata dalam proses politik seperti pemilihan umum,

walaupun penekanan dalam karya ilmiah ini lebih menekankan

pada partisipasi politik masyarakat kaitannya dengan pemilihan

kepala daerah secara langsung, dalam hal ini pemilihan kepala

daerah kabupaten Wonosobo tahun 2010.

Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik,

misalnya melalui pemberian suara atau kegiatan lain, terdorong

oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu akan tersalur

ataupun setidaknya akan diperhatikan, dan bahwa mereka dapat

mengaplikasikan hak mereka yang berupa kewenangan untuk

membuat keputusan yang mengikat. Hal tersebut merupakan salah

satu contoh dari penerapan demokrasi partisipatif yang berada pada

lingkup pemilu atau Pilkada.

Dalam Negara yang demokratis umumnya dianggap lebih

banyak partisipasi masyarakat, lebih baik. Tingginya tingkat

partisipasi politik menunjukkan bahwa warga Negara mengikuti

dan memahami masalah politik dan ingin melibatkan diri dalam

kegiatan-kegiatan itu. Sebaliknya tingkat partisipasi yang rendah

pada umumnya dianggap sebagai tanda yang kurang baik, karena

berarti bahwa banyak warga Negara tidak menaruh perhatian

terhadap masalah ketatanegaraan. Dalam hal ini jika rakyat kurang

berpartisipasi dalam kehidupan politik dan bernegara maka akan

10

timbul kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa

atau pemegang kekuasaan pemerintah.

Rendahnya partisipasi politik ini salah satuya diakibatkan oleh

rendahnya kesadaran politik masyarakat sebagai efek langsung

ataupun tidak langsung dari belum optimalnya proses pendidikan

politik. Sekarang ini ketika Negara Indonesia sedang membangun

Negara yang demokratis sudah seharusnya pendidikan politik juga

harus berjalan dengan optimal. partai politik, pers, dan lembaga-

lembaga swadaya masyarakat harus memainkan peran memberikan

pendidikan politik pada masyarakat. Hal ini diharapkan mampu

meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara optimal.

Diantara perangkat pendidikan politik masyarakat yang memiliki

efek signifikan terhadap proses demokratisasi adalah berjalannya

roda komunikasi politik diantara komponen-komponen sosial yang

menjadi bagian penting dari proses tersebut (Muhtadi, 2008).

2.1.1.2 Unsur-unsur Partisipasi Politik

Dari berbagai ulasan tentang definisi partisipasi politik diatas,

dapat dilihat beberapa unsur-unsur partisipasi politik sebagai

berikut, sebagai mana juga yang telah di jelaskan oleh Samuel

P.Huntington dan Joan M.Nelson dalam bukunya mengenai

“Partisipasi Politik di Negara Berkembang” (1994):

a. Kegiatan-kegiatan akan tetapi tidak sikap-sikap atau perilaku

politik individu yang nyata.

11

b. Dilakukan oleh warga negara biasa (preman) bukan pejabat

yang tengah menjalankan fungsinya,

c. Kegiatan itu bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan

oleh pemerintah,

d. Semua kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi

pemerintah , tak peduli apakah kegiatan itu benar-benar

mempunyai efek itu, bisa ada dampaknya bisa juga tidak

berdampak,

e. Kegiatan itu bisa bersifat atas kemampuan sendiri (otonom)

maupun diarahkan oleh pihak lain (dimobilisasi).

Begitu pentingnya partisipasi politik masyarakat dalam

kehidupan bernegara, sehingga sangat disayangkan sekali apabila

masyarakat tidak ikut dalam partisipasi baik partisipasi aktif

maupun pasif. Karena, fungsi partisipasi politik itu sendiri

sebenarnya untuk menyalurkan aspirasi rakyat baik yang berupa

tuntutan maupun dukungan kapada pemerintah. Selain itu

partisipasi politik juga berfungsi untuk menyatakan kontrol rakyat

terhadap kinerja pemerintah.

2.1.1.3 Saluran Partisipasi Politik Masyarakat

Dalam kehidupan bernegara, masyarakat memerlukan sarana

untuk partisipasi politik mereka. Di antaranya yaitu ;

12

1. Partai Politik

Salah satu sarana partisipasi politik masyarakat yaitu partai

politik, partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir,

yang anggota-anggotanya memiliki orientasi, nilai-nilai, dan cita-

cita yang sama (Budiardjo, 1998).

Carl Friedrich memberi batasan partai politik sebagai

kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan

tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam

pemerintahan bagi pemimpin partainya, dan berdasarkan

kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idiil kepada

para anggotanya. Soltau memberikan definisi partai politik sebagai

kelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisasikan ,

yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan dengan

memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih, bertujuan untuk

menguasai pemerintahan dan menjalankan kebijakan umum yang

mereka buat (Surbekti, 1992).

Menurut Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2011 Tentang

Partai Politik Bab I pasal 1 ayat 1, di kemukakan bahwa partai

politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh

sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar

kesamaan kehendak dan cita–cita untuk memperjuangkan dan

membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan

negara, serta pemeliharaan keutuhan Negara Kesatuan Republik

13

Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dari penjelasan diatas dapat penulis simpulkan bahwa partai

politik adalah organisasi yang menghimpun orang – orang yang

memiliki kesamaan tujuan, cita – cita, pandangan, ide atau

gagasan, dan landasan perjuangan.

Sebagai organisasi, partai politik berusaha mewujudkan tujuan,

cita – cita, pandangan, ide atau gagasan tersebut dengan

menempatkan pemimpin – pemimpin dalam pemerintahan dan

jabatan – jabatan publik melalui pemilu. Perbedaan antara partai

politik dan organisasi – organisasi sosial kemasyarakatan lain

terletak pada jalur perjuangan yang dipilih, partai politik berusaha

mewujudkan cita – cita dengan menjadi peserta pemilu (Institute

for Policy and Community Development Studies, 2001).

Fungsi utama partai politik ialah mencari dan mempertahankan

kekuasaan guna mewujudkan program – program yang disusun

berdasarkan ideologi tertentu. Cara yang digunakan suatu partai

politik dalam sistem politik demokrasi untuk mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaan ialah ikut serta dalam pemilihan

umum, sedangkan cara yang digunakan partai tunggal dalam

sistem politik totaliter berupa paksaan fisik dan psikologis oleh

suatu diktatorial kelompok (komunis) maupun oleh ditatorial

individu (Surbekti, 1992).

14

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6

Tahun 2005 Tentang Pilkada dinyatakan bahwa: ” Partai politik

adalah partai politik peserta pemilihan umum sebagaimana

dimaksud dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD ”.

Pembahasan diatas memberikan gambaran bahwa partai politik

peserta pemilihan kepala daerah mempunyai kedudukan, hak, dan

kewajiban yang sama selama melaksanakan pemilihan dan

kegiatan kampanye tanpa membedakan status sosialnya.

2. Media Massa

Hubungan antara media massa dengan sistem politik sangatlah

tergantung terhadap budaya politik suatu suatu bangsa. Media

massa masuk dalam sarana partisipasi politik masyarakat karena

media massa berfungsi menyebarluaskan ide-ide, buah fikir atau

perasaan seseorang atau sekelompok orang maupun kejadian-

kejadian, baik dengan kata-kata tertulis maupun lisan, kepada

massa yaitu orang banyak atau khalayak ramai. Media massa lisan

misalnya yaitu televisi dan radio, sedang media massa tertulis atau

media massa cetak adalah surat kabar, tabloid, dan lain sejenisnya.

Media massa atau cetak inilah yang pada mulanya disebut sebagi

pers. Pers sendiri terjemahan dari kata press yang berarti mesin

pencetak. Dalam Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers

mendefinisikan pers sebagai lembaga sosial dan wahana

15

komunikasi yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi

mencari, memperoleh, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan

informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan

gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya

dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala

jenis saluran yang tersedia.

Dari definisi diatas nampak bahwa pers adalah sama dengan

media massa, sehingga media massa hakikatnya sama dengan pers.

Dalam negara demokrasi media massa amat diperlukan untuk

mewujudkan jaminan atas kebebasan mengekpresikan /

menyatakan diri sendiri. Ekspresi atau pernyataan diri seseorang

bisa dilakukan secara lisan dan isyarat atau gerakan tubuh maupun

secara tertulis, sehingga media yang diperlukan untuk

mengekspresikan diri seseorang juga dapat berupa media lisan

maupun media tulis atau cetak. Bila ekspresi diri ini dimaksudkan

untuk disebarluaskan kepada orang banyak atau massa maka

diperlukan media massa lisan maupun media massa tulis atau

cetak. Media massa lisan diperlukan untuk menjamin perwujudan

keabsahan berbicara sedang media cetak diperlukan untuk

mewujudkan jaminan atas kebebasan memberitakan sesuatu secara

tertulis.

Media massa oleh sebagian orang dijadikan ajang pertarungan

politik. Hal ini juga dijelaskan oleh Charlotte Ryan, menurutnya

16

seperti di kutip Komarudin bahwa media adalah suatu ajang

perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan. Mereka

saling mengajukan pemaknaan terhadap suatu persoalan agar lebih

diterima khalayak ( Muhtadi, 2008).

Media massa memiliki pengaruh penting dalam proses

pembentukan cara berpikir dan berperilaku politik masyarakat.

Media massa juga dapat menyediakan informasi terbaru tentang

berbagai peristiwa di masyarakat, memberikan ruang kesadaran

sosial bagi eksekutif untuk membaca lebih jauh opini publik yang

berkembang di masyarakat.

3. Kelompok Penekan

Kelompok penekan adalah kelompok terorganisir yang para

anggotanya secara sengaja mengelompokkan diri untuk satu tujuan

khusus tertentu, yaitu mempengaruhi dan menekan para pejabat

pemerintah untuk menyetujui tuntutan mereka. Berbeda dengan

kelompok kepentingan yang relatif permanen, kelompok penekan

akan segera membubarkan diri jika tujuan khusus yang menjadi

alasan pembentukan kelompok itu telah atau tidak tercapai. Di

Jepang kelompok penekan melakukan berbagai cara untuk

mempengaruhi jalannya pemerintahan, diantaranya dengan

melakukan demonstrasi (Mas’oed dan MacAndrews, 2006)

17

4. Kelompok Kepentingan

Kelompok kepentingan adalah sejumlah orang yang memiliki

kesamaan dan sifat, sikap, kepercayaan dan atau tujuan, yang

sepakat mengorganisasikan diri untuk melindungi dan mencapai

tujuan. Sebagai kelompok yang terorganisasi mereka memiliki

sistem keanggotaan yang jelas, pola kepemimpinan, sumber

keuangan untuk membiayai kegiatan, dan pola komunikasi baik

dalam maupun luar organisasi. Dengan kata lain , kelompok

kepentingan adalah organisasi yang para anggotanya menyadari

akan karakteristik bersamannya, dan yang dalam batas-batas

tertentu mengarahkan perilaku mereka untuk memajukan nilai-nilai

atau kepentingan–kepentingan yang muncul dari karakteristik

bersama itu. Di Amerika Latin kelompok kepentingan sama

pentingnya dengan partai politik Roy C Macridis (1986)

menyatakan ”dalam sistem-sistem yang lebih besar dan yang lebih

di lembagakan, partai dan kelompok kepentingan sering kali

penting dan mempunyai fungsi yang sama dengan partai yang

dijumpai di Amerika Utara atau Eropa”.

Kelompok kepentingan lebih memusatkan perhatiannya pada

bagaimana merumuskan kepentingan tertentu kepada pemerintah

sehingga pemerintah menyusun kebijakan yang menampung

kepentingan kelompok.

18

2.1.1.4 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Partisipasi politik dalam suatu masyarakat tidak hanya dalam

satu bentuk, tetapi dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Partisipasi

politik masyarakat dapat berbentuk konvensional maupun non-

konvensional. Bentuk partisipasi politik konvensional yaitu

pemberian suara (voting), diskusi politik, kegiatan kampanye,

membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan, serta

mengadakan komunikasi individual dengan pejabat politik dan

administrative (Mas’oed dan MacAndrews, 2006).

Partisipasi politik konvensional dalam bentuk pemberian suara

(voting) merupakan bentuk partisipasi aktif yang banyak dilakukan

masyarakat. Dewasa ini pemberian suara terdapat di hampir semua

sistem politik, baik yang demokratik maupun otoriter. Mohtar

Mas’oed dan Colin MacAndrews (2006) menyatakan di Uni

Soviet misalnya semua warga negaranya diharapkan berpartisipasi

dalam pemilihan umum, meskipun hanya ada satu partai politik dan

semua calon untuk jabatan politik dan pemerintahan harus disetujui

oleh partai.

Adapun definisi dari asas – asas pemungutan suara pada Pilkada

tersebut adalah sebagaimana, dijelaskan oleh Moh. Mahfud M D

(2011) yaitu ” Asas langsung artinya pemilihan dilakukan sendiri

secara langsung oleh yang berhak dan tidak dapat diwakilkan,

masyarakat memilih secara langsung tanpa perantara siapapun, jika

19

yang berhak itu tidak dapat menggunakan hak pilihnya, maka lebih

baik suara itu terbuang dari pada diwakilkan kepada orang lain.

Asas umum artinya bahwa pada pemilu dilaksanakan secara

menyeluruh. Asas ini diberikan pada semua warga Negara yang

telah memenuhi syarat. Asas bebas menurut adanya suasana dan

jaminan bahwa seseorang dapat dengan bebas menentukan

pilihannya, sangatlah bertentangan dengan hakikat pemilihan jika

pemilihan tidak diberi kebebasan menentukan pilihannya. Asas

jujur berarti bahwa pemilu harus dilaksanakan secara benar tanpa

disertai kecurangan – kecurangan dan rekayasa. Asas adil ini berisi

bahwa setiap warga Negara harus mendapatkan perlakukan yang

sama tanpa membedakan derajat sosial, ekonomi, jenis kelamin,

warna kulit dan sebagainya.”

Meskipun pemberian suara merupakan bentuk aktivitas politik

yang paling umum di hampir semua sistem politik, bentuk-bentuk

partisipasi konvensional lain juga dijalankan oleh sejumlah kecil

warganegara dalam sistem politik otoriter maupun demokratik, dan

dalam hampir semua kebudayaan politik. Tanpa memperhatikan

kecenderungan ideologis dari suatu masyarakat atau nilai-nilai yang

timbulkarena kebudayaan politiknya. Partisipasi lainnya selain

pemberian suara biasanya melibatkan biaya yang lebih besar dalam

artian waktu, tenaga dan uang seperti halnya kegiatan kampanye.

Kampanye sendiri menurut Muhtar Haboddin (2009) adalah

20

”upaya untuk memperkenalkan suatu produk kepada konsumen

(pemilih) agar mereka mau membeli produk tersebut berdasarkan

informasi – informasi yang mereka terima. Kampanye juga dilihat

sebagai usaha untuk mengepung lawan dengan taktik dan strategi

yang tepat, sistematis dan terencana. Kampanye adalah pertempuran

demokrasi.” kaitannya dengan Pilkada menurut Undang-undang

No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan

bahwa “ Kampanye pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah adalah kegiatan dalam rangka meyakinkan para pemilih

dengan menawarkan visi, misi, dan program dari masing-masing

pasangan calon .”

Partisipasi politik masyarakat dalam bentuk non-konvensional

yaitu pengajuan petisi, berdemonstrasi, konfrontasi, mogok,

melakukan tindakan kekerasan politik terhadap harta-benda

(perusakan, pengeboman, pembakaran), dan melakukan tindakan

kekerasan politik terhadap manusia (penculikan, pembunuhan),

serta mengadakan perang gerilya dan revolusi (Mas’oed dan

MacAndrews, 2006).

Partisipasi politik masyarakat yang terjadi di masyarakat

tersebut membentuk perilaku memilih masyarakat dalam Pemilihan

Kepala Daerah. Berdasarkan yang diungkapkan oleh Gabriel A

Almond & Sidney Verba (1965) di Amerika Serikat, orang yang

lebih sering berpolitik lebih sering memberikan suara pada saat

21

Pemilu. Namun untuk perilaku politik masyarakat di negara yang

sedang berkembang, terkadang ditentukan oleh pemimpin negara

dalam menggerakkan dan membuat masyarakatnya untuk

berpolitik. Julius Nyerere dari Tanzania dan Fidel Castro dari Kuba

adalah dua pemimpin kharismatik negara yang sedang berkembang

yang menggerakkan massa kedalam kegiatan politik.

2.1.1.5 Cara–cara Partisipasi Politik Masyarakat

Samuel P.Huntington dan Joan M.Nelson (1994)

menjelaskan bahwa masyarakat biasanya menyampaikan aspirasi

atau melakukan partisipasi politik kurang lebih sebagai berikut :

a) Kegiatan Pemilihan mencakup memberikan suara dalam

pemilu, sumbangan kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan.

b) Terlibat dalam kampanye,

c) Lobbying mencakup upaya-upaya perorangan atau kelompok

untuk menghubungi pejabat pemerintah atau pimpinan politik

dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka.

d) Membentuk dan bergabung dalam berbagai organisasi,

e) Mencari koneksi (contacting), melakukan diskusi politik,

melakukan komunikasi pribadi dengan pimpinan politik atau

pejabat pemerintahan,

f) Demontrasi, mogok/boikot, pembangkangan sipil, partisipasi

politik dengan cara tersebut disebut pula sebagai cara

partisipasi non-konvensional.

22

2.1.1.6 Rambu-rambu Partisipasi Politik Masyarakat

Di Negara demokrasi rakyatlah yang berdaulat, untuk itu sudah

semestinya rakyat meyakini dan menjunjung tinggi nilai-nilai

kewarganegaraan demokratis, ketrampilan-ketrampilan

kewarganegaraan demokratis dan pengetahuan-pengetahuan

kewarganegaraan demokratis. Semua itu sesungguhnya menjadi

prasyarat yang harus dipenuhi oleh setiap masyarakat agar mampu

berpartisipasi politik secara bertanggungjawab.

Masyarakat dalam melakukan partisipasi politik haruslah

dilakukan berdasarkan rambu-rambunya yaitu sesuai dengan yang

dituliskan Sulasmono (2010), sebagai berikut;

a) Partisipasi politik hendaknya dilakukan secara beradab.

Artinya bahwasanya partisipasi politik yang dilakukan oleh

masyarakat harus berlaku sopan, berlaku baik dan tidak

dilakukan dengan biadap.

b) Mengutamakan penalara.

Partisipasi politik seharusnya dilaksanakan dengan

mengutamakan pemikiran yang logis, bukan dengan perasaan

ataupun pengalaman.

c) Selalu dalam koridor norma atau patuh norma.

Jadi partisipasi politik dilaksanakan sesuai dengan ketentuan

yang mengikat dan berlaku di masyarakat yang dijadikan tolak

ukur dalam pelaksanaan partisipasi politik. Berkaitan dengan

23

Pilkada maka sesuai dengan Undang-undang yang mengatur

tentang pemerintahan daerah.

2.1.1.7 Tipe-tipe Budaya Politik dan Implikasinya terhadap

Partisipasi Politik

Berdasarkan sikap, nilai-nilai dan kecakapan politik yang

dimiliki warga negara, dapat digolongkan kebudayaan politiknya

sebagai berikut:

1. Budaya politik parokial (Parochial political culture)

Budaya politik parokial ini adalah orang-orang yang

sama sekali tidak menyadari atau mengabaikan adanya

pemerintahan dan politik. Mereka ini mungkin buta huruf,

tinggal di desa yang terpencil atau mungkin nenek-nenek tua

yang tidak tanggap terhadap hak pilih dan mengungkung diri

dalam kesibukan keluarga ( Mas’oed dan MacAndrews, 2006).

Budaya politik ini cenderung berada didaerah-daerah

yang terpencil, masyarakatnya tidak begitu minat terhadap

politik praktis yang ada. Sulasmono dkk (2011) menjelaskan

bahwasannya ” budaya politik parokial ini terbatas pada satu

wilayah atau lingkup yang kecil atau sempit, ini pada umumnya

terdapat dalam masyarakat yang tradisional dan sederhana

dalam masyarakat seperti ini, spesialisasi sangat kecil, belum

banyak berkembang. Pada kebudayaan parokial anggota

masyarakatnya cenderung tidak menaruh minat terhadap

24

obyek-obyek yang luas, kecuali dalam batas tertentu di tempat

dimana mereka tinggal, itupun terbatas pada kesadaran anggota

masyarakat akan adanya pusat kewenangan/ kekuasaan politik

dalam masyarakat”.

Jadi pada budaya ini masyarakatnya tidak berpartisipasi

secara pasif maupun aktif dalam kegiatan politik dan dalam

menanggapi kebijakan-kebijakan pemerintah.

2. Budaya politik subyek (subjecty political culture)

Budaya politik subyek ini, menurut Mochtar Masoed

dan Colin MacAndrews (2006) budaya politik ini menunjuk

pada “masyarakat sebagai subyek yang pasif, mengakui

pemerintah dan tunduk pada hukumnya, tetapi tidak melibatkan

diri dalam urusan pemerintahan.”

Jadi pada budaya politik ini masyarakatnya sudah

paham akan politik praktis dan peduli akan adanya hukum-

hukum yang dibuat oleh pemerintah, namun masyarakat disini

belum mampu terlibat secara aktif dalam pemerintahan dan

hanya cenderung sebagai subyek yang pasif. Masyarakat disini

memiliki budaya yang hanya bisa menerima kebijakan yang

dibuat oleh pemerintah. Sehingga masyarakat pada budaya ini

belum begitu mampu berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan

politik.

25

3. Budaya politik partisipan (participant political culture)

Budaya politik partisipan di jelaskan oleh Almond dan

Verba sebagai suatu bentuk kultur dimana anggota

masyarakatnya cenderung diorientasikan secara eksplisit

terhadap sistem sebagai keseluruhan dan terhadap struktur dan

proses politik serta administrartif (Sulasmono dkk, 2011).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Sulasmono dkk (2011) bahwa ”

budaya politik ini ditandai oleh adanya kesadaran bahwa

dirinya ataupun orang lain sebagai anggota aktif dalam

kehidupan politik. Ini menunjuk pada orang-orang yang

melibatkan diri dalam kegiatan politk, paling tidak dalam

kegiatan memberikan suara (voting) dan memperoleh informasi

yang cukup banyak tentang kehidupan politik.

Jadi dalam budaya politik ini masyarakat sudah mampu

merealisasikan dan menggunakan hak dan menangggung

kewajibannya, selain percaya terhadap pemerintahan yang ada

dan tunduk terhadap hukum yang berlaku, masyarakatnya juga

sudah mampu menilai kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah, sehingga berkemungkinan mampu dengan penuh

berpartisipasi aktif dalam sistem politik.

Menurut Gabriel A. Almond & Sidney Verba (1984) Ketiga

klasifikasi kebudayaan politik ini tidak menyimpulkan bahwa

orientasi yang satu akan menggantikan yang lain. Budaya politik

26

disetiap negara dan daerah berbeda-beda, seperti yang telah

diungkapkan diatas. Budaya politik yang ada di masyarakat juga

mempengaruhi perilaku memilih masyarakat dalam Pemilu

maupun Pilkada, seperti halnya bentuk partisipasi politik

masyarakat. Budaya politik bukanlah budaya modern, tetapi

merupakan suatu kombinasi antara modernitas dengan tradisi

(Almond & Verba, 1984). Inggris memberikan suatu contoh

bagaimana kebudayaan ini dapat dikembangkan. Sedangkan

Amerika Serikat dan negara persemakmurannya baru

mengembangkan budaya politiknya setelah mengatasi peperangan

besar.

Masyarakat yang memiliki budaya politik parokial mungkin

tidak mempedulikan persolan politik praktis dalam negara.

Kepasifan mereka dalam berpolitik sebenarnya merupakan

pemancaran peran-peran yang bersifat politis-ekonomis. Keadaan

budaya politik yang seperti ini menimbulkan adanya golongan

putih di suatu masyarakat. Golongan putih (Golput) yang ada di

masyarakat bisa saja timbul karena ketidakpahaman mereka

terhadap hak-hak mereka dalam suatu negara maupun

kepeduliannya terhadap peraturan atau kebijakan yang di buat oleh

pemerintah. Golongan putih juga mulai muncul di indonesia sejak

era kepemimpinan Soeharto, dan mulai hangat diperbincangkan

27

kembali semenjak munculnya pernyataan dari Abdurahman Wahid

(Gus Dur) yang mengajak golput di pemilu 2009 (Wahid, 2009).

Bagi masyarakat yang memiliki budaya subyek, mereka

cenderung memiliki kepercayaan terhadap pemerintah, seperti

yang dijelaskan di atas bahwa mereka cenderung memilki sikap

tanggap terhadap pemerintah dan kebijakkannya tetapi tidak ikut

serta terhadap kegiatan dan urusan politik. Mereka hanya menjadi

subyek dari kebijakan pemerintahan dan masyarakat yang

cenderung memiliki kebudayaan subyek cenderung memilki

orientasi yang tinggi terhadap sistem politik tetapi bisa pula

menjadi partisipan yang aktif mendekati nol (Almond & verba,

1984). Mendekati nol disini berarti bisa saja mereka tidak

mengikuti kegiatan politik secara aktif.

Kebudayaan politik partisipan yang ada di masyarakat

menempatkan anggota-anggota pemerintahan yang partisipatif

dapat secara menyenangkan atau sebaliknya diarahkan kepada

berbagai obyek politik yang beragam. Hal ini menimbulkan

perilaku politik mereka yang cenderung aktif dalam sistem politik

dan kegiatan politik lainnya. Meraka cenderung diarahkan kepada

peranan pribadi sebagai aktivis masyarakat, sekalipun perasaan dan

evaluasi mereka terhadap peranan yang demikian bisa saja bersifat

menerima maupun menolaknya (Almond & Verba, 1984).

28

2.1.2 Politik Aliran di Indonesia

2.1.2.1 Sejarah Aliran dalam Pemikiran Politik di Indonesia

Secara tradisi istilah aliran digunakan sebagai alat untuk

menerangkan perilaku politik di Indonesia. Asal muasal

penggunaan istilah ini biasanya ditarik dari ilmu antropologi

dengan ranah kajian di daerah Jawa. Namun demikian konsep

aliran sudah lama juga digunakan sebagai alat penjelasan di dunia

perpolitikan di Indonesia. Misalnya sering dicatat dulu bahwa basis

dukungan politik dari kaum santri diarahkan pada kekuatan politik

di kubu NU dan Masyumi sedangkan dari kaum abangan dukungan

diarahkan pada kekuatan politik PNI dan PKI pada tahun 1950-an.

Membicarakan tentang aliran pemikiran politik di Indonesia

kita megacu pada lima aliran politik di Indonesia ada Nasionalisme

Radikal, Tradisionalisme Jawa, Islam, Sosialisme Demokratis, dan

Komunisme . Namun pada awal kemerdekaan presiden Soekarno

berpendapat bahwa ada tiga aliran politik yaitu Nasionalis, Islam

dan Marxisme. Seiring berjalannya demokrasi terpimpin, tiga

aliran ini diberi status resmi dengan bentuk baru. Koalisi partai-

partai propemerintah disebut NASAKOM (Nasionalis, Agama, dan

Komunis). Akan tetapi penafsiran tidak resmi dari singkatan ini

menampilkan adanya kelompok keempat yang tidak pro

pemerintah yaitu Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia yang

menentang demokrasi terpimpin (Budiardjo, 1998).

29

Kenyataan bahwa empat partai besar ini tidak cukup mewakili

pengelompokan pemikiran di Indonesia maka lima aliran ini yang

masuk bisa dikelompokkan lebih sempit lagi. Pertama dengan

ranah Islami yaitu Nahdatul Ulama dan Masyumi, kemudian yang

masuk Jawa Hindu yaitu Nasionalisme Radikal dan Komunis serta

yang memasuki segala ranah yaitu Sosialis Demokrasi ( tidak

termasuk komunis).

Dari kelima aliran politik inilah muncul berbagai partai politik

yang mengikuti Pemilu dan menempatkan kader-kadernya sampai

di parlemen. Sampai tumbangnya orde lama dan diganti orde baru

dengan tokohnya Soeharto munculah kekuatan baru dalam dunia

politik di Indonesia. Kekuatan militer sebagai kekuatan baru

mampu menutupi dan menghabisi beberapa aliran politik di

Indonesia. Kemudian dari berbagai partai politik yang ada di orde

lama pada tahun 1973 disederhanakan hanya menjadi dua partai

politik dan satu Golongan Karya. Sehingga banyak partai yang

kehillangan identitas dirinya atau ditiadakan sama sekali jika tidak

mengelompokkan diri.

Pengelompokan ini mencakup Golongan Nasional yaitu Partai

Demokrasi Indonesia (PDI), Golongan Spiritual yaitu Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan (Golkar) Golongan Karya

(Budiardjo, 1998). Dengan demikian sejak Pemilu 1977 sampai

1997 hanya ada tiga organisasi sosial politik yaitu PDI, PPP, dan

30

Golkar, dan ketiga-tiganya tersebut memiliki azas yang sama.

Mulai Pemilu 1982 sampai 1987 Golkar selalu mengalami

kenaikan hasil suara dan pada 1997 Golkar menang besar-besaran

dalam Pemilu. Kemenangan ini antara lain disebabkan karena

diberlakukannya intervensi aparatur Negara secara berlebihan.

Namun setelah orde baru tumbang, kembalilah sistem partai di

Indonesia menjadi multi partai dan banyak partai yang muncul

dengan jati diri dan ideologi mereka masing-masing sehingga dari

1999 sampai 2009 banyak Pemilu diikuti oleh banyak partai dan

sudah tidak ada lagi Golongan Karya karena juga sudah menjadi

Parpol.

Sebelumnya dua Parpol tersebut disebut sebagai kubu kanan

dan kubu kiri dan Golongan Karya disebut sebagai Golongan

Tengah. Golongan kanan ini yaitu PPP yang merupakan gabungan

dari Nahdatul Ulama, Partai Muslim Indonesia, Partai Sarekat

Islam Indonesia, dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiayah).

Sedangkan di kubu kiri yaitu PDI gabungan dari Partai Nasional

Indonesia, Partai Kristen Indonesia, Partai Katolik, Partai Murba,

dan Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia

(Muhtadi,2008).

Setelah reformasi sampai dengan Pemilu 2009 bahkan sampai

sekarang (2012) kubu kiri mempunyai sikap yang sangat tidak

ingin terhadap potensi munculnya perbedaan kewarganegaraan

31

berdasarkan latar belakang agama atau peletakan khusus untuk

agama Islam dalam tatanan konstitusional Negara. Contoh partai

ini adalah PDIP dan PDS. Pada sayap kanan terdapat aliran politik

yang menilai bahwa agama Islam harus merupakan bagian tak

terpisah dari roh dan semangat kebangsaan Indonesia. Contoh

partai ini adalah PPP, PKS, PBB dan PBR. Namun demikian pada

zaman modern nampak bangsa Indonesia berhasil mengembangkan

visi menengah di antara kedua visi tradisional. Secara singkat

aliran menengah ini hanya menginginkan Negara yang

berketuhanan. Kekuatan politik di aliran tengah ini menilai agama

Islam beserta agama lain sebagai sumber pemikiran yang dapat

mengilhami kebijakan publik, walau tidak sebagai penentu atau

dasar. Contoh partai di ranah tengah ini yaitu Partai Demokrat,

PAN, PKB, dan Partai Golkar.

Namun walaupun demikian adanya perpecahan politik atau

ideologi antar aliran politik ataupun partai politik selalu hidup di

dunia perpolitikan di Indonesia, hal ini menyebabkan timbulnya

berbagai kebijakan pemerintah yang dirasa hanya berpihak pada

salah satu kelompok saja. Sejarah sudat mencatat bagaimana

dahsyatnya perpecahan antara kedua ideologi kebangsaan ini.

2.1.2.2 Islam dan Aliran Politik di Indonesia

Wacana Islam politik di Indonesia hampir selalu menarik

perhatian banyak kalangan. Alasannya sederhana, selain Islam

32

merupakan agama yang dipeluk mayoritas penduduk Indonesia,

Islam juga memberikan perhatian penuh dalam siyasah (Politik).

Karena itu kaitan antara Islam dan politik senantiasa

memperlihatkan catatan penting khususnya dalam sejarah

perpolitikan Indonesia. Islam sebagai agama memiliki peran yang

besar mulai abad ke-15, sejak penyebaran agama Islam di

Indonesia, agama memainkan peran penting bahkan pada abad ke-

20 Islam tetap tampil sebagai ideologi walaupun sudah bercampur

dengan ideologi-ideologi lain seperti nasionalisme, komunisme,

sosialisme (Muhtadi, 2008).

Hal ini bisa dilihat, sejak dibukanya kembali pintu kebebasan

mendirikan partai politik menjelang pemilu 1999, dalam waktu

singkat lahir tidak kurang dari dua puluh lima partai politik yang

secara eksplisit maupun implisit memperlihatkan identitas

keislamannya. Bahkan sebagian besar menjadikan Islam sebagai

azas partainya. Partai-partai Islam ini mengklaim sebagai jelmaan

dari Masyumi yang Berjaya pada Pemilu 1955. Jika dikatagorisasi

modernis-tradisionalis para pengikut Muslim, maka dari kaum

modernis lahir Partai Bulan Bintang (PBB) yang lebih dikesani

sebagai perwujudan baru kekuatan Masyumi. Pimpinannya sendiri

Yusril Ihza Mahendra disebut-sebut sebagai Natsir “Muda” karena

gairah politiknya yang kuat membangkitkan memori politik

Masyumi. Namun, setelah timbul konflik ditubuh PBB sebagian

33

pimpinan partai mendirikan Partai Bintang Reformasi (PBR)

menjelang Pemilu 2004. Hal ini berdampak pada kemrosotan

jumlah suara PBB pada Pemilu 2004 dan 2009. Kemudian ada

yang secara eksplisit menyebutkan kata Masyumi sebagai nama

baru seperti Partai Politik Islam Indonesia Masyumi Baru pimpinan

Abdulah Hehamahua. Kemudian Partai Masyarakat Muslim

Indonesia Baru (Partai Masyumi Baru) pempinan Ridwan Saidi.

Masih dari kalangan modernis Deliar Noer juga mendirikan Partai

Umat Islam (PUI), partai ini masuk dalam jajaran modernis karena

motor utama dan jajaran kepengurusannya berasal dari kalangan

dimaksud, seperti Harun Alrasid, Mochtar Effendi, Abdurahman

Gunadirdja, Mursalin Dahlan, dan lain sebagainya di jajaran

pimpinan (Muhtadi, 2008).

Nuansa saling ingin berkuasa cenderung menimbulkan konflik

tersendiri diantara sesama partai Islam. Kemunculan Partai

Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan PSII 1905 adalah diantara

contoh partai yang memiliki akar sejarah yang sama. Sejak saat

fusi tahun 1973 PSII merupakan salah satu faksi yang melebur

menjadi PPP yang pada saat itu hanya ada satu PSII yang

bergabung dengan dua partai lainnya diluar NU yaitu Permusi dan

Perti.

Dari kalangan tradisional Islam muncul pula sederetan Parpol,

namun berbeda dengan Pemilu 1955 dimana NU tidak tampil

34

sebagai Parpol, NU tetap pada posisinya sebagai Ormas sesuai

Khittah yang diputuskan lima belas tahun sebelumnya. Namun

untuk meyalurkan aspirasi politik komunitas Nahdliyin,

dimunculkanlah sejumlah Parpol dengan basis konstituen yang

terikat pada organisasi NU (Muhtadi, 2008).

Khittah NU sendiri memiliki makna sebagaimana yang

dijelaskan oleh Martin Van Bruinessen (1994) yaitu kembalinya

pola dasar dan bertindak NU 1926, yang muncul pada Munas

Situbondo 1983. Maksud dari apa yang diungkapkan Van

Bruinessen yaitu bahwa pendirian NU sejatinya tidak didirikan

oleh para pendirinya untuk kepentingan politik namun untuk

kepentingan dan memperjuangkan pendidikan dan sosial lainnya.

Hal ini sama dengan sikap Muhamadiyah yang sejak satu dasa

warsa tidak mendukung Masyumi dan menerima Pancasila sebagai

asas tunggal.

Menurut Asep Saeful Muhtadi (2008) setidaknya ada empat

partai politik berbasis NU yang tampil sebagai Organisasi Peserta

Pemilu (OPP) pada pemilu pertama sejak tumbangnya Orde Baru

yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dibawah pimpinan Matori

Abdul Jalil, Partai Solidaritas Uni Nasional (SUNI) dibawah

pimpinan Abu Hasan, Partai Kebangkitan Umat (PKU) dibawah

pimpinan Yusuf Hasyim paman dan “musuh” lama Gus Dur, dan

Partai Nahdhatul Umat (PNU) dibawah pimpinan Syukron

35

Ma’mun da’i bereprutasi yang sering mengkritik sayap progresif

NU.

Sebenarnya ada satu Parpol yang berbau NU namun tidak

begitu terikat dengan Ormas NU yaitu PPP di bawah pimpinan

Hamzah Haz yang telah mengalahkan kader MI, AM Saefudin

dalam Muktamarnya. PPP merupakan wadah aspirasi warga

Nahdliyin yang tidak begitu suka dengan konflik yang terjadi di

NU karena kemunculan empat partai tersebut, apalagi setelah jelas

adanya keberpihakan PBNU kepada salah satu parpol saja yaitu

PKB yang di kampanyekan pula oleh Gus Dur, sehingga waktu itu

mantan ketua Gerakan Pemuda Anshor Yusuf Effendi menilai Gus

Dur sebagai sosok demokrat yang belum bisa menerima

pluralisme. Namun hal itu segera ditepis oleh Khatib Syuriah NU

Said Agil Siradj yang menyebutkan bahwa PKB adalah leburan

dari NU dan tiga Parpol diatas adalah sempalan, separatis PKB.

Perebutan dukungan para elit Parpol berbasiskan NU ini karena

perkirakan NU memiliki massa kurang lebih 30-40 juta orang

(Muhtadi, 2008).

Diluar dari katagorisasi modernis dan tradisionalis lahir Partai

Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan. PAN sendiri digagas

oleh Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang lahir pada 14 Mei

1998. PAN sebelumnya bernama Partai Amanat Bangsa.

Kemudian oleh para penggagasnya diganti dengan PAN yang di

36

ketuai oleh Amien Rais sendiri pada 23 Agustus 1998 (Muhtadi,

2008). Sebenarnya PAN sendiri memiliki basis massa dari

kalangan Muhammadiyah, namun hal itu tidak diungkapkan secara

terbuka oleh para petinggi parpol guna menjaga konsep pluralitas

partai. Dukungan massa tersebut timbul karena Amin Rais sendiri

adalah orang nomor satu Ormas Muhammadiyah. Namun dengan

keberpihakan Ketua Dewan Syuro kepada PAN maka

Muhammadiyah di bawah pimpinan Din Syamsudin mendirikan

Parpol sendiri menjelang Pemilu 2004 yaitu Partai Matahari

Bangsa (PMB).

Partai Keadilan yang seiring berjalannya dunia perpolitikan

nasional berganti nama Partai Keadilan Seahtera (PKS) pada

pemilu 2004, juga mengundang banyak perhatian publik. Partai ini

lahir dan didirikan oleh sebagian besar alumnus Timur Tengah di

bawah pimpinan mudanya Nur Mahmudi Isma’il. PKS di bawah

Hidayat Nur Wahid (ketua MPR-RI 2004-2009) terus melaju

kencang. PKS memilki basis massa yang sangat loyal dan kader-

kadernya sangat militan, basis massa PKS adalah Ikhwanul

Muslimin yang sangat kuat mengusung Islam dalam platform

mereka. Ikwanul Muslimin (IM) merupakan organisasi yang lahir

di Mesir dengan tokohnya yaitu Hasan Albana (Mujahid,2011).

Organisasi ini merupakan aliran Islam semi moderat yaitu dengan

mengusung demokrasi dan syariat Islam sebagi asasnya. IM

37

berkembang dengan pesat dikawasan Asia Timur terkhusus

Indonesia sejak 1998. Menurut Abu Mujahid (2011) pula “IM

menginginkan adanya Negara yang berlandaskan Islam maka hal

itu untuk menjembatani visinya maka para kader IM mendirikan

PKS seperti halnya yang terjadi di Palestina dengan Hamas, Mesir

dengan IM, Malaysia dengan Partai Keadilannya”. Karena hal

itulah PKS terbentuk dari kader-kader pilihan sehingga tak salah

jika PKS disebut sebagai satu-satunya Partai Kader di Indonesia

saat ini. Di Negara lain IM selalu menjadi oposisi yang kuat dan

tak sering memberontak pada pemimpin Parpol yang berkuasa.

Namun hal seperti di Indonesia sekarang ini PKS masuk koalisi

Parpol penguasa.

Dibandingkan PPP, PKB, dan PAN yang selalu mengalami

penurunan konstituen PKS selalu mengalami peningkatan jumlah

suara nasioanl disetiap Pemilu. IM dalam berdakwah selalu

menjurus pada PKS sehingga para santri Tarbiyahnya sangat segan

dengan tokoh-tokoh PKS karena mereka berangkat dari bawah.

Namun di Wonosobo sendiri PKS tidak begitu memiliki massa

yang banyak, Bahkan hasil rekapitulasi KPUD kabupaten

Wonosobo pada Pemilu 2009 di antara Parpol Islam yaitu PKS,

PKB, PAN, PKNU, PBB, PPP, PBR, PPNUI, dan PMB, pemeroleh

suara terbanyak adalah PKB, disusul PAN dan PKNU baru PKS di

urutan nomor empat disusul PBB dan PMB (KPUD Kab.

38

Wonosobo, 2010). Hal ini dikarenakan memang sebagian warga

masyarakat Wonosobo berdasarkan tinjauan langsung beragama

Islam dengan aliran Nahdliyin, baru Muhammadiyah, kemudian

yang lainnya adalah Ikhwanul Muslimin, Ahmadiyah, Salafi

(FKAWJ), Syiah, dan Khowarij (JAT/MMI).

2.1.3 Tahap – Tahap Pemilihan Kepala Daerah

2.1.3.1 Tahap Persiapan Pemilihan Kepala Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Pasal 2 tahap

persiapan pemilihan kepala daerah sebagai berikut :

a. Pemberitahuan DPRD mengenai berakhirnya masa jabatan

kepala daerah.

b. Perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tata cara dan

jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

c. Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS dan KPPS.

d. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau pemilihan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa tahap

persiapan pemilihan kepala daerah merupakan tahap atau rencana

yang paling mendasar karena tanpa adanya persiapan terlebih

dahulu tidak akan berjalan dengan lancar.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal 14

yang berbunyi ” Panitia pengawas adalah panitia pemilihan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dibentuk oleh DPRD dalam

39

melakukan pengawasan terhadap seluruh tahapan pelaksanaan

pemilihan”.

Penjelasan di atas menerangkan bahwa panitia pengawas

peranannya sangat penting bagi kelangsungan proses pemilihan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah supaya berjalan dengan

lancar dan tidak disertai kecurangan – kecurangan.

Dalam Undang – Undang Nomor 32 tahun 2004 pasal 166

ayat 4 bahwa panitia pengawasan pemilihan mempunyai tugas dan

wewenang sebagai berikut:

a. Mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

b. Menerima laporan pelanggaran peraturan perundang –

undangan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

c. Menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelengaraan

pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

d. Meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan

instansi yang berwenang.

e. Mengatur hubungan koordinasi antara panitia pengawas pada

semua tingkatan.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 yang

dimaksud pemantau pemilihan yaitu pelaksana pemantauan

pemilihan yang telah tercatat dan memperoleh akreditasi dari

KPUD yang berfungsi untuk memantau jalannya proses pemilihan

40

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dibentuknya tim

pemantau pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

pada saat pelaksanaan pencoblosan terutama di kalangan

masyarakat sebagai tim pemantau diharapkan dapat menjalankan

tugasnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Adapun kewajiban Komisi Pemilihan Umum yaitu :

a. Memperlakukan pasangan calon secara adil dan setara.

b. Menetapkan standarisasi sera kebutuhan barang dan jasa yang

berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah berdasarkan peraturan perundang –

undangan.

c. Menyampaikan laporan pada DPRD untuk setiap tahap

pelaksanaan pemilihan dan menyampaikan informasi

kegiatannya kepada masyarakat.

d. Memelihara arsip dan dokumen serta mengelola barang

inventaris milik KPUD berdasarkan peraturan perundang –

undangan.

e. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran kepada

DPRD.

f. Melaksanakan semua tahapan pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah secara tepat waktu.

41

2.1.3.2 Tahap Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah di jelaskan bahwa tahap pelaksanaan

pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah meliputi

sebagai berikut :

a. Penetapan Pemilihan

Penetapan pemilihan yaitu warga negara Republik

Indonesia yang sudah berumur 17 (tujuh belas Tahun) yang

pada hari pemungutan suara Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah atau sudah kawin dan mempunyai hak memilih Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah dimana warga negara

Republik Indonesia itu terdaftar sebagai pemilih. Adapun

syarat yang harus dipenuhi pemilih menurut Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, yaitu :

1. Nyata – nyata sedang tidak terganggu jiwa / ingaannya.

2. Tidak sedang dicabut hak pilihannya berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa penetapan

seorang pemilih harus warga negara Indonesia yang telah

memenuhi syarat dengan ketentuan apabila seseorang pemilih

tidak dapat menggunakan hak pilihnya dan bila telah terdaftar

sebagai peserta akan diberi tanda bukti untuk setiap

pemungutan suara dengan catatan seorang pemilih hanya

42

didaftar satu kali dalam pemilih dan bila mempunyai lebih dari

satu tempat tinggal maka pemilih tersebut harus menentukan

satu untuk ditetapkan sebagai tempat tinggal yang dicantumkan

dalam daftar pemilih.

b. Pendaftaran dan Penetapan Pasangan Calon

Dalam proses penetapan pasangan calon Kepala Daerah

dan Wakil Kepala Daerah yang diajukan oleh partai politik atau

gabungan partai politik wajib memperhatikan pendapat dan

tanggapan masyarakat. Hal ini sesuai dengan apa yang

dijelaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 pasal 36 ayat 1 yang

berbunyi ” Peserta pemilihan adalah pasangan calon yang

diusulkan oleh partai politik atau gabungan dari partai politik

secara berpasangan.”

Dengan demikian pasangan calon dapat mendaftarkan diri

setelah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan

perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPRD

atau 15% dari akumulasi perolehan suara yang sah dalam

pemilihan anggota DPRD di daerah, dengan ketentuan partai

politik atau gabungan dari partai politik hanya dapat

mengusulkan satu pasangan calon dan tidak boleh dicalonkan

lagi oleh partai politik atau gabungan partai politik lainnya.

Dalam pendaftaran pasangan calon kepala daerah dan wakil

kepala daerah yaitu kepada komisi pemilihan umum paling

43

lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran

pasangan calon.

c. Kampanye

Kegiatan kampanye dilaksanakan sebagai bagian dari

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah. Kampanye dilakukan selama 14 (empat belas) hari dan

berakhir 3 (tiga) sebelum hari pemungutan suara. Kampanye

sendiri diselenggarakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh

pasangan calon bersama-sama partai politik atau gabungan

partai politik yang mengusulkan pasangan calon.

Adapun jadwal kampanye ditetapkan oleh KPUD dengan

memperhatikan usul dari masing-masing pasangan calon. Tim

kampanye dibentuk secara berjenjang. Selama kampanye orang

bebas mengekspresikan kepentingannya, aspirasi maupun

pendapat secara bebas, dapat menghantarkan pasangan calon

yang bersangkutan pada suasana dimana pasangan calon

tersebut mencoba menarik simpatisan pemilih.

Suasana kampanye yang dimobilisasi oleh masa yang

banyak cenderung akan mendapatkan simpatisan publik dan

cenderung pula masa melakukan tindakan – tindakan yang

dilarang dalam rambu rambu kampanye.

44

d. Pemungutan Suara dan Perhitungan Suara

Secara formal tata cara pemberian suara berupa memilih

pasangan calon sudah menjamin penggunaan hak pilih serta

kebebasan dan kerahasiaan, apabila disertakan dengan adanya

hak bagi pasangan calon menyiapkan saksi dalam pilkada.

Menurut pasal 70 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun

2005 berbunyi bahwa pemungutan suara pemilihan

diselenggarakan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sebelum

masa jabatan kepala daerah berakhir.

Dengan demikian pemungutan suara dimaksud yaitu

dengan memberikan suara melalui surat suara yang berisi

nomor, foto dan nama pasangan calon dan jadwal waktu

pelaksanaan pemungutan suara dimulai pukul 07.00 dan

berakhir 13.00 waktu setempat, dimana pemberian suara untuk

pemilihan dilakukan dengan mencoblos salah satu pasangan

calon yang ada dalam surat suara.

e. Penetapan Calon Terpilih, Pengesahan Pengangkatan dan

Pelantikan

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 pasal

9 ayat 1 yang berbunyi ” pasangan calon kepala daerah dan

wakil kepala daerah yang memperoleh suara lebih dari 50%

45

(lima puluh persen) jumlah suara sah ditetapkan sebagai

pasangan calon terpilih.”

Apabila pasangan calon tidak memperoleh suara lebih dari

25 % dari jumlah sah maka calon yang memperoleh suara

terbesar ditetapkan sebagai calon terpilih, dan pengesahan

pengangkatan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas

nama Presiden paling lambat 30 hari, sebelum kepala daerah

dan wakil kepala daerah memangku jabatan dilantik terlebih

dahulu dengan mengucapkan sumpah atau janji yang dibimbing

oleh pejabat yang melantik, adapun cara pelantikan disesuaikan

dengan peraturan tata tertib DPRD.

f. Tahap Evaluasi

Sebagaimana yang dimaksud pada Peraturan Pemerintah

Nomor 6 Tahun 2005 bahwa tahap evaluasi merupakan tahap

atau kegiatan penyelesaian yaitu sebagai berikut : (1)

pembubaran panitia pemilihan ditingkat PPK, PPS, dan KPPS

sesuai dengan tugas dan tingkatannya. (2) penghimpunan dan

penyusunan hasil pemantauan pengawasan dan pelaksanaan

pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. (3)

evaluasi pelaksanaan kegiatan pemilihan Kepala Daerah dan

Wakil Kepala Daerah. (4) laporan pelaksanaan kegiatan dan

46

pertanggungjawaban anggaran pelaksanaan pemilihan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

2.2 Kerangka Berfikir

Sebagai titik tolak dari penelitian ini adalah harus adanya kerangka

berfikir yang penulis kemukakan sebagai berikut :

a. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang selanjutnya

disebut Pimilukada adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di

wilayah Provinsi dan/atau Kabupaten/kota berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk

memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.(PP N0. 6 Tahun

2005).

b. Proses dari pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

diselenggarakan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) yang

bertanggung jawab kepada DPRD dimana tugas utama dari KPUD

dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah yaitu merencanakan penyelenggaraan Pemilihan Kepala

Daerah dan Wakil Kepala Daerah sesuai dengan tahapan-tahapan yang

diatur dalam peraturan perundang-undangan (UU No.32 Tahun 2004).

c. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah merupakan pejabat negara

yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam rangka

pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan,

kesejahteraan masyarakat, memelihara hubungan yang serasi antara

47

pemerintahan pusat dan daerah serta antar daerah. Sejalan dengan hal

tersebut diatas, diperlukan figur Kepala Daerah yang mampu

mengembangkan inovasi, berwawasan kedepan dan siap melakukan

perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, dimana proses-proses

pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui beberapa tahapan

dimulai dari tahap pendaftaran, penyaringan, penetapan pasangan

calon, rapat paripurna khusus, pengiriman berkas pemilihan,

pengesahan, dan pelantikan.