bab ii kajian teori - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/bab ii.pdf · digunakan yaitu...
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN TEORI
Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab
selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi
yang diuraikan berupa definisi-definisi dan teorema. Adapaun materi-materi yang
digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-
Voltera, fungsi respon, titik ekuilibrium, linearisasi sistem persamaan nonlinear,
nilai eigen, vektor eigen, analisis kestabilan dan orbit periodik.
A. Persamaan Differensial
Definisi 2.1 (Ross, 1989:1)
Persamaan differensial adalah suatu persamaan yang menyertakan turunan dari
satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.
Berdasarkan banyaknya variabel bebas yang disertakan dalam persamaan,
persamaan differensial diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu persamaan
differensial biasa dan persamaan differensial parsial.
Definisi 2.2 (Ross, 1989:2)
Persamaan differensial biasa adalah suatu persamaan differensial yang
menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel
bebas.
9
Contoh 2.1
Contoh dari persamaan differensial biasa.
𝑑2𝑦
𝑑𝑥2+ 𝑥𝑦 (
𝑑𝑦
𝑑𝑥)2
− 3𝑦 = 0 2.1
𝑑3𝑦
𝑑𝑡3+ 3
𝑑2𝑦
𝑑𝑡2+ 5𝑦 = sin 𝑡 2.2
Persamaan (2.1) merupakan persamaan differensial orde dua dan persamaan
(2.2) merupakan persamaan differensial orde tiga. Variabel y pada Persamaan (2.1)
merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x merupakan variabel bebas
tunggal sedangkan pada persamaan (2.2) variabel y merupakan variabel tak bebas
dan variabel t merupakan variabel bebas.
Definisi 2.3 (Ross, 1989:2)
Persamaan differensial parsial adalah persamaan differensial yang menyertakan
turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel
bebas.
Contoh 2.2
Contoh dari persamaan differensial parsial,
𝜕𝑣
𝜕𝑥+
𝜕𝑣
𝜕𝑦= 𝑣 2.3
𝜕2𝑣
𝜕𝑥2+
𝜕2𝑣
𝜕𝑦2+
𝜕2𝑣
𝜕𝑧2= 0 2.4
10
Persamaan 2.3 merupakan persamaan differensial orde satu dan persamaan 2.4
merupakan persamaan differensial orde dua. Pada persamaan (2.3) dan (2.4)
variabel v merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x dan y pada persamaan
(2.3) variabel x,y dan z pada persamaan (2.4) merupakan variabel bebas.
B. Sistem Persamaan Differensial
Kumpulan dari beberapa persamaan differensial disebut sistem persamaan
differensial. Diberikan suatu sistem persamaan differensial sebagai berikut:
�̇�1 = 𝑓1(𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛),
�̇�2 = 𝑓2(𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛),
�̇�3 = 𝑓3(𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛), 2.5
⋮
�̇�𝑛 = 𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛)
Sistem (2.5) dapat ditulis menjadi
�̇� = 𝑓(𝑥) 2.6
dengan,
vektor 𝑥 = (𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛)𝑇 ∈ 𝐸, 𝐸 ⊆ ℝ𝑛. 𝑓: 𝐸 → ℝ𝑛 dengan 𝑓 =
(𝑓1, 𝑓2, 𝑓3, … , 𝑓𝑛)𝑇 dan 𝑓 ∈ 𝐶′(𝐸). Sistem persamaan differensial pada dasarnya
terbagi menjadi sistem persamaan differensial linear dan sistem persamaan
differensial nonlinear.
1. Sistem persamaan differensial linear
11
Secara umum bentuk sistem persamaan differensial orde satu dengan variabel
tak bebas 𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛 serta variabel bebas t dapat dinyatakan sebagai berikut,
�̇�1 = 𝑎11(𝑡)𝑥1 + 𝑎12(𝑡)𝑥2 + ⋯+ 𝑎1𝑛(𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹1(𝑡)
�̇�2 = 𝑎21(𝑡)𝑥1 + 𝑎22(𝑡)𝑥2 + ⋯+ 𝑎2𝑛(𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹2(𝑡)
�̇�3 = 𝑎31(𝑡)𝑥1 + 𝑎32(𝑡)𝑥2 + ⋯+ 𝑎3𝑛(𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹3(𝑡)
⋮
�̇�𝑛 = 𝑎𝑛1(𝑡)𝑥1 + 𝑎𝑛2(𝑡)𝑥2 + ⋯+ 𝑎𝑛𝑛(𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹𝑛(𝑡) 2.7
Jika 𝐹𝑖(𝑡) dengan 𝑖 = 1,2,3,4…𝑛 bernilai nol maka sistem (2.7) merupakan
sistem persamaan differensial linear homogen, sedangkan jika 𝐹𝑖(𝑡) ≠ 0 maka
sistem (2.7) merupakan sistem persamaan differensial linear nonhomogen (Ross,
1989:285). Sitem (2.7) dapat ditulis dalam bentuk
�̇� = 𝐴𝑥 + 𝐹(𝑡) 2.8
dengan 𝑥 = [
𝑥1𝑥2
⋮𝑥𝑛
], 𝐴 = [
𝑎11 𝑎12 … 𝑎1𝑛
𝑎21
⋮𝑎𝑛1
𝑎22
⋮𝑎𝑛2
…⋱…
𝑎2𝑛
⋮𝑎𝑛𝑛
] dan 𝐹(𝑡) = [
𝐹1(𝑡)𝐹1(𝑡)
⋮𝐹𝑛(𝑡)
].
Jika 𝐹(𝑡) = 0, maka didapatkan sistem persamaan linear homogen
�̇� = 𝐴𝑥 2.9
dengan vektor 𝑥 = (𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛)𝑇 dan A adalah matriks ukuran 𝑛 × 𝑛 yang
entri-entrinya adalah bilangan real.
Contoh 2.3
Contoh dari sistem persamaan diferensial linear homogeny,
𝑑𝑥
𝑑𝑡= 9𝑥 + 2𝑦 − 3𝑧
12
𝑑𝑦
𝑑𝑡= 5𝑥 − 4𝑦 + 𝑧 2.10
𝑑𝑧
𝑑𝑡= 7𝑥 − 3𝑦 + 2𝑧
2. Sistem persamaan differensial nonlinear
Sistem persamaan differensial dikatakan nonlinear jika ada persamaan
penyusunnya yang merupakan persamaan differensial nonlinear.
Persamaan diferensial dikatakan nonlinear jika persamaan diferensial tersebut
memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut ini (Ross, 1984: 6):
a. Memuat variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya berpangkat selain
satu. Contoh: 𝑑𝑥
𝑑𝑡= 𝑡2 − 5𝑥
b. Terdapat perkalian pada variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya.
Contoh : 𝑑𝑥
𝑑𝑡= 𝑥𝑡2 + 8𝑡 − 3𝑥
c. Terdapat fungsi yang memuat vaiabel tak bebas dan tidak dapat diperoleh
melalui behingga operasi penjumlahan, pengurangan, pembagian dan
perkalian (fungsi transedental dari variabel tak bebas) dan turunan-
turunannya. Contoh: 𝑑𝑥
𝑑𝑡= 𝑥 + sin 𝑡
Contoh 2.4
Contoh sistem persamaan differensial nonlinear,
𝑑𝑥
𝑑𝑡= 5𝑥 − 𝑥𝑦
𝑑𝑦
𝑑𝑡= −3𝑦 + 2𝑥𝑦 2.11
13
C. Model Matematika Predator-Prey Lotka-Voltera dan Fungsi Respon
Persamaan Lotka-Volterra, juga dikenal sebagai sistem persamaan
predator-prey karena persamaan ini menyatakan interaksi antara satu jenis predator
dan satu jenis prey. Bentuk persamaan ini berupa sepasang persamaan differensial
orde pertama dan non-linear. Persamaan ini adalah persamaan yang masih
sederhana dengan asumsi dasar dari persamaan Lotka-Voltera yaitu populasi
mengalami pertumbuhan dan peluruhan secara exponensial. Berikut sistem
persamaan Lotka-Voltera (Verhulst,1990:180 ):
𝑑𝑥
𝑑𝑡= 𝑥(𝑟 − 𝛼𝑦) 2.12
𝑑𝑦
𝑑𝑡= 𝑦(𝛽𝑥 − 𝑠) 2.13
Dalam dinamika populasi, fungsi respon mengacu pada peningkatan populasi
pemangsa atau pengurangan populasi mangsa saat terjadi interaksi. Fungsi respon
predator adalah tingkat predasi (daya makan) predator terhadap jumlah
makanan/mangsa (Holling, 1959:293-230). Sehingga fungsi respon berkaitan erat
dengan peningkatan populasi predator atau pengurangan populasi prey saat saling
berinteraksi. Pada tahun 1913, Michaelis dan Menten memperkenalkan sebuah
fungsi respon dan pada tahun 1959, Holling menggunakan fungsi respon ini sebagai
salah satu fungsi respon predator. Holling memperkenalkan 3 fungsi respon, yaitu
fungsi respon tipe I, fungsi respon tipe II dan fungsi respon tipe III (Ruan,S dan
Xiao,D, 2001).
14
Fungsi respon tipe I terjadi pada predator dengan karakteristik pasif, dimana
ketika populasi mangsa meningkat maka daya konsumsi predator pun meningkat.
Contoh predator fungsi respon tipe I adalah laba-laba dengan serangga sebagai
mangsa. Misal fungsi respon dinotasikan dengan 𝑝(𝑥) maka persamaan fungsi
respon tipe I adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
𝑝(𝑥) = 𝑚𝑥.
Fungsi respon tipe II terjadi pada predator dengan karakteristik aktif dalam
mencari mangsa dan predator memerlukan waktu untuk mencerna mangsa. Contoh
predator fungsi respon tipe II adalah serigala dengan karibu sebagai prey.
Persamaan fungsi respon tipe II adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
𝑝(𝑥) =𝑚𝑥
𝑎 + 𝑥.
Fungsi respon tipe III terjadi pada predator yang cenderung akan mencari
populasi prey lain ketika populasi prey yang dimakan mulai berkurang. Contoh
predator fungsi respon tipe III adalah rusa tikus (mice deer) dengan kepompong
kupu-kupu sebagai prey. Persamaan fungsi respon tipe III adalah (Ruan,S dan
Xiao,D, 2001)
𝑝(𝑥) =𝑚𝑥2
𝑎2 + 𝑥2.
Ketiga fungsi respon tersebut merupakan fungsi monoton naik. Berikut
grafik dari ketiga fungsi respon tersebut (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
15
Gambar 2.1 Grafik Tiga Fungsi Respon Holling
Selain ketiga fungsi respon monoton yang telah dikemukakan oleh Holling,
menurut S. Ruan dan D. Xiao (2001), Monod dan Haldane menambahkan satu
fungsi respon hasil penelitiannya. Fungsi respon ini didasari oleh adanya Interaksi
antara predator dan prey yang tidak monoton, yaitu saat jumlah populasi mangsa
meningkat, daya predasi pemangsa berkurang karena adanya sifat bertahan dari
mangsa. Contoh interaksi seperti ini adalah singa dan banteng, ketika jumlah
banteng sedikit maka tingkat konsumsi singa cenderung meningkat, namun ketika
jumlah banteng meningkat sehingga pertahanan hidup kelompok banteng pun
meningkat maka tingkat predasi singa menurun.
Contoh lainnya adalah proses pada penjernihan air. Salah satu cara
menjernihkan air adalah dengan memasukkan tawas ke dalam air tersebut
membunuh sejumlah bakteri dalam air. Ketika bakteri dalam jumlah tertentu
tawas dengan jumlah tertentu, dapat dengan mudah membunuh (memangsa)
bakteri tersebut. Namun, ketika bakteri semakin banyak tawas akan semakin sulit
membunuh bakteri, dan saat bakteri mencapai jumlah tertentu daya predasi tawas
type 2
𝑝(𝑥)
type 3 type 1
𝑥
16
terhadap bakteri cenderung semakin menurun. Persamaan fungsi respon tipe
Monod-Haldane adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
𝑝(𝑥) =𝑚𝑥
𝑎𝑥2 + 𝑏𝑥 + 𝑐
Menurut Shigui Ruan dan Dongmei Xiao, Sokol dan Howell (1980) juga
meneliti tentang predator-prey yang bersifat tak monoton. Dalam penelitiannya,
Sokol dan Howell menyatakan fungsi Monod-Haldane dalam bentuk yang lebih
sederhana, yaitu (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
𝑝(𝑥) =𝑚𝑥
𝑎 + 𝑥2
Sokol dan Howell menyatakan bahwa model fungsi respon mereka secara
signifikan lebih baik dan lebih sederhana karena hanya melibatkan dua parameter.
Berikut grafik fungsi respon tak monoton (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)
Gambar 2.2 Grafik Fungsi Respon Tak Monoton.
D. Titik Ekuilibrium
Titik ekuilibrium atau titik kritis merupakan solusi dari sistem �̇� = 𝑓(𝑥) yang
tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Definisi tentang titik ekuilibrium akan
dijelaskan pada Definisi (2.5) berikut ini,
17
Definisi 2.5 (Perko, 2001: 102)
Titik �̅� ∈ ℝ𝑛 disebut titik ekuilibrium atau titik kritis dari sistem �̇� = 𝑓(𝑥) jika
𝑓(�̅�) = 0.
Contoh 2.5
Akan dicari titik ekuilibrium dari sistem berikut ini,
�̇�1 = 2𝑥1 − 2𝑥1𝑥2
�̇�2 = 2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥2
2 2.15
Penyelesaian:
Misalkan �̅� = (�̅�1, �̅�2)𝑇 adalah titik ekuilibrium dari Sistem (2.15) maka
2𝑥1 − 2𝑥1𝑥2 = 0 2.16
2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥2
2 = 0 2.17
Dari persaaan (2.16) didapatkan
2𝑥1(1 − 𝑥2) = 0
⇔ �̅�1 = 0 atau �̅�2 = 1
Substitusi �̅�1 = 0 ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan
𝑥2(2 + 𝑥2) = 0
⇔ �̅�2 = 0 atau �̅�2 = −2
Substitusi �̅�2 = 1 ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan
2 − 𝑥12 + 1 = 0 ⇔ 𝑥1
2 = 3
⇔ �̅�1 = −√3 atau �̅�1 = √3
18
Jadi sistem (2.15) memiliki 4 titik ekuilibrium yaitu (0,0)𝑇, (0, −2)𝑇,
(−√3, 1)𝑇dan (√3, 1)
𝑇.
E. Nilai Eigen dan Vector Eigen
Definisi 2.6 (Anton, 1991: 277)
Jika A adalah matriks 𝑛 × 𝑛, maka vektor tak nol x didalam ℝ𝑛 dinamakan
vektor eigen dari A jika Ax adalah kelipatan skalar dari x, yakni
𝐴𝑥 = 𝜆𝑥 (2.18)
untuk suatu skalar 𝜆. Skalar 𝜆 dinamakan nilai eigen dari A dan x dikatakan vektor
eigen yang bersesuaian dengan 𝜆.
Selanjutnya untuk mencari nilai-nilai eigen dari matriks A, Persamaan (2.18)
dapat ditulis menjadi
𝐴𝑥 = 𝜆𝑥
⟺ 𝐴𝑥 = 𝜆𝐼𝑥
⟺ 𝐴𝑥 − 𝜆𝐼𝑥 = 0
⟺ (𝐴 − 𝜆𝐼)𝑥 = 0 (2.19)
dengan I adalah matriks identitas. Menurut Howard Anton (1991: 278) supaya 𝜆
menjadi nilai eigen maka harus ada pemecahan tak nol dari Persamaan (2.19).
Persamaan (2.19) akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya jika
𝑑𝑒𝑡(𝐴 − 𝜆𝐼) = 0. (2.20)
Persamaan (2.20) disebut persamaan karakteristik dari A, sedangkan skalar 𝜆 yang
memenuhi persamaan (2.20) adalah nilai eigen dari A.
19
Contoh 2.6
Akan dicari nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A berukuran 2 × 2 berikut,
𝐴 = [−2 −22 3
]
akan dicari nilai-nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A.
a. Nilai eigen dari matriks A
𝐴 − 𝜆𝐼 = [−2 −22 3
] − 𝜆 [1 00 1
]
= [−2 −22 3
] − [𝜆 00 𝜆
]
= [−2 − 𝜆 −2
2 3 − 𝜆]
Sehingga diperoleh persamaan karakteristik dari 𝐴 yaitu,
𝑑𝑒𝑡(𝐴 − 𝜆𝐼) = 0
⇔ |−2 − 𝜆 −2
2 3 − 𝜆| = 0
⇔ (−2 − 𝜆)(3 − 𝜆) − (−2)2 = 0
⇔ 𝜆2 − 𝜆 − 2 = 0
⇔ (𝜆 + 1)(𝜆 − 2) = 0
⇔ 𝜆 = −1 ∨ 𝜆 = 2
Jadi nilai-nilai eigen dari matriks A yaitu 𝜆 = −1 dan 𝜆 = 2.
b. Vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai-nilai eigen matriks A.
Untuk 𝜆 = −1
[−2 − 𝜆 −2
2 3 − 𝜆] [
𝑥1
𝑥2] = 0
[−1 −22 4
] [𝑥1
𝑥2] = 0
20
{−𝑥1 − 2𝑥2 = 02𝑥1 + 4𝑥2 = 0
Persamaan −𝑥1 − 2𝑥2 = 0 ekuivalen dengan 𝑥1 = −2𝑥2, misalkan 𝑥2 = 𝑡
maka 𝑥1 = −2𝑡. Sehingga
𝑥 = [𝑥1
𝑥2] = [
−21
] 𝑡
jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan 𝜆 = −1 adalah [−21
].
Untuk 𝜆 = 2
[−2 − 𝜆 −2
2 3 − 𝜆] [
𝑥1
𝑥2] = 0
[−4 −22 1
] [𝑥1
𝑥2] = 0
{−4𝑥1 − 2𝑥2 = 02𝑥1 + 𝑥2 = 0
Persamaan 2𝑥1 + 𝑥2 = 0 ekuivalen dengan 𝑥2 = −2𝑥1, misalkan 𝑥1 = 𝑡 maka
𝑥2 = −2𝑡. Sehingga
𝑥 = [𝑥1
𝑥2] = [
1−2
] 𝑡
jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan 𝜆 = 2 adalah [1
−2].
F. Linearisasi Sistem Persamaan Nonlinear
Linearisasi merupakan proses mengubah suatu sistem persamaan diferensial
nonlinear menjadi sistem persamaan diferensial linear. Menurut Perko (2001, 102),
jika diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear
�̇� = 𝑓(𝑥) 2.21
21
dengan 𝑥 ∈ 𝐸 ⊆ ℝ𝑛, 𝑓: 𝐸 → ℝ𝑛, f merupakan fungsi nonlinear dan kontinu maka
sistem linear linear �̇� = 𝐴𝑦 dengan matriks 𝐴 = 𝐷𝑓(�̅�) disebut sebagai linearisasi
dari �̇� = 𝑓(𝑥) di �̅�.
Sebelum ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan differensial
nonlinear, akan dibahas terlebih dahulu matriks Jacobian yang dijelaskan dalam
Teorema 2.1.
Teorema 2.1 (Perko, 2001: 67)
Jika 𝑓: ℝ𝑛 → ℝ𝑛 terdiferensial di 𝑥0 maka turunan parsial 𝜕𝑓𝑖
𝜕𝑥𝑗, 𝑖, 𝑗 = 1, 2, 3, … , 𝑛,
di 𝑥0 ada untuk semua 𝑥 ∈ ℝ𝑛 dan
𝐷𝑓(𝑥0)𝑥 = ∑𝜕𝑓
𝜕𝑥𝑗
(𝑥0)𝑥𝑗 .
𝑛
𝑗=1
Bukti:
∑𝜕𝑓
𝜕𝑥𝑗
(𝑥0)𝑥𝑗
𝑛
𝑗=1
=
[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥1
(𝑥0)𝑥1
𝜕𝑓2𝜕𝑥1
(𝑥0)𝑥1
⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1
(𝑥0)𝑥1]
+
[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥2
(𝑥0)𝑥2
𝜕𝑓2𝜕𝑥2
(𝑥0)𝑥2
⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2
(𝑥0)𝑥2]
+ ⋯+
[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛
(𝑥0)𝑥𝑛
𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛
(𝑥0)𝑥𝑛
⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛
(𝑥0)𝑥𝑛]
=
[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥1
(𝑥0)𝜕𝑓1𝜕𝑥2
(𝑥0) …𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛
(𝑥0)
𝜕𝑓2𝜕𝑥1
(𝑥0)
⋮ 𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1
(𝑥0)
𝜕𝑓2𝜕𝑥2
(𝑥0) …𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛
(𝑥0)
⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2
(𝑥0) …𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛
(𝑥0)]
[
𝑥1
𝑥2
⋮𝑥𝑛
]
= 𝐷𝑓(𝑥0)𝑥
Matriks 𝐷𝑓(𝑥0) disebut matriks Jacobian dari fungsi 𝑓: ℝ𝑛 → ℝ𝑛 yang
terdiferensial di 𝑥0 ∈ ℝ𝑛. 𝐷𝑓(𝑥0) dapat dinotasikan dengan 𝐽𝑓(𝑥0).
22
Selanjutnya akan ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan
diferensial nonlinear (2.21) ke dalam sistem persamaan diferensial linear namun
sebelumnya akan diberikan teorema mengenai deret Taylor, berikut teorema Deret
Taylor:
Teorema 2.2 (Purcell, 1987:57)
Andaikan 𝑓 sebuah fungsi yang memiliki turunan dari semua tingkatan
dalam suatu selang (𝑎 − 𝑟, 𝑎 + 𝑟). Syarat yang perlu dan cukup agar deret
𝑓(𝑎) + 𝑓′(𝑎)(𝑥 − 𝑎) +𝑓′′(𝑎)
2!(𝑥 − 𝑎)2 + ⋯+
𝑓𝑛(𝑎)
𝑛!(𝑥 − 𝑎)𝑛 + 𝑅𝑛(𝑥)
menggambarkan fungsi 𝑓 pada selang itu, ialah
𝑙𝑖𝑚𝑛→∞
𝑅𝑛(𝑥) = 0
dengan 𝑅𝑛(𝑥) suku sisa dalam Rumus Taylor, yaitu
𝑅𝑛(𝑥) =𝑓𝑛+1(𝑐)
(𝑛 + 1)!(𝑥 − 𝑎)𝑛+1
dengan 𝑐 suatu bilanga dalam selang (𝑎 − 𝑟, 𝑎 + 𝑟).
Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear seperti pada sistem (2.21)
dan misalkan �̅� = (�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 adalah titik ekuilibrium dari sistem (2.21).
Deret Taylor dari fungsi 𝑓(𝑥) =
(𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), 𝑓2(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), … , 𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) )𝑇 disekitar titik
ekuilibrium �̅� adalah sebagai berikut,
23
𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓1𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1) + ⋯
+𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) +1
2![𝜕2𝑓1
𝜕𝑥12
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)2
+𝜕2𝑓1
𝜕𝑥22
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2)2 + ⋯+
𝜕2𝑓1𝜕𝑥𝑛
2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)2
+𝜕2𝑓1
𝜕𝑥1𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)(𝑥2 − �̅�2) + ⋯
+𝜕2𝑓1
𝜕𝑥𝑛−1𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛−1 − �̅�𝑛−1)(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)] + ⋯
+1
𝑛![𝜕𝑛𝑓1𝜕𝑥1
𝑛 (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)𝑛
+𝜕𝑛𝑓1𝜕𝑥2
𝑛 (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2)𝑛 + ⋯
+𝜕𝑛𝑓1𝜕𝑥𝑛
𝑛 (�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)𝑛] + 𝑅𝑓1
⋮
𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)
+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯
+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) +1
2![𝜕2𝑓𝑛
𝜕𝑥12
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)2
+𝜕2𝑓𝑛
𝜕𝑥22
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2)2 + ⋯
24
+𝜕2𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛
2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)2 +
𝜕2𝑓𝑛𝜕𝑥1𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)(𝑥2 − �̅�2)
+ ⋯ +𝜕2𝑓𝑛
𝜕𝑥𝑛−1𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛−1 − �̅�𝑛−1)(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)] + ⋯
+1
𝑛![𝜕𝑛𝑓𝑛𝜕𝑥1
𝑛 (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)𝑛
+𝜕𝑛𝑓𝑛𝜕𝑥2
𝑛 (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2)𝑛 + ⋯
+𝜕𝑛𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛
𝑛 (�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)𝑛] + 𝑅𝑓𝑛
Karena dicari bentuk linier terdekat dari fungsi 𝑓(𝑥) =
(𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), 𝑓2(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), … , 𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) )𝑇 dan karena
𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛 ada disekitar �̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛 sehingga nilai dari (𝑥1 − �̅�1), (𝑥2 −
�̅�2), … , (𝑥𝑛 − �̅�𝑛) sangat kecil maka penurunan pada deret Taylor hanya hingga
turunan pertama dan deret Taylor dari fungsi 𝑓(𝑥) =
(𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), 𝑓2(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), … , 𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) )𝑇 disekitar titik
ekuilibrium �̅� berubah menjadi
𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓1𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)
+𝜕𝑓1𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯
+𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) + 𝑅𝑓1
𝑓2(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓2𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)
+𝜕𝑓2𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯
25
+𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) + 𝑅𝑓2
⋮
𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)
+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯
+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) + 𝑅𝑓𝑛
dengan 𝑅𝑓1 , 𝑅𝑓2 , … , 𝑅𝑓𝑛 disebut bagian nonlinear atau sisa yang nilainya mendekati
nol sehingga nilai dari 𝑅𝑓1 , 𝑅𝑓2 , … , 𝑅𝑓𝑛 dapat diabaikan dan karena (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇
adalah titik ekuilibrium sistem (2.21) maka 𝑓1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 =
𝑓2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 = ⋯ = 𝑓𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 = 0 . Sehingga diperoleh
�̇�1 =𝜕𝑓1𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1) +𝜕𝑓1𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯
+𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)
�̇�2 =𝜕𝑓2𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1) +𝜕𝑓2𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯
+𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)
⋮
�̇�𝑛 =𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1) +𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯
+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛). 2.22
Sistem (2.22) dapat ditulis ke dalam bentuk matriks berikut:
26
[
�̇�1
�̇�2
⋮�̇�𝑛
] =
[ 𝜕𝑓1
𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 𝜕𝑓1
𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …
𝜕𝑓1
𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
𝜕𝑓2
𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
⋮ 𝜕𝑓𝑛
𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
𝜕𝑓2
𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …
𝜕𝑓2
𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛
𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …
𝜕𝑓𝑛
𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
]
[
𝑥1 − �̅�1
𝑥2 − �̅�2
⋮𝑥𝑛 − �̅�𝑛
]
Misalkan 𝑦1 = 𝑥1 − �̅�1, 𝑦2 = 𝑥2 − �̅�2, … , 𝑦𝑛 = 𝑥𝑛 − �̅�𝑛, dan didapatkan
[
�̇�1
�̇�2
⋮�̇�𝑛
] =
[ 𝜕𝑓1
𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 𝜕𝑓1
𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …
𝜕𝑓1
𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
𝜕𝑓2
𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
⋮ 𝜕𝑓𝑛
𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
𝜕𝑓2
𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …
𝜕𝑓2
𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛
𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …
𝜕𝑓𝑛
𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
]
[
𝑦1
𝑦2
⋮𝑦𝑛
] 2.23
dari Sistem (2.23) didapatkan matriks Jacobian
𝐽(𝑓(�̅�))
=
[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇𝜕𝑓1𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
𝜕𝑓2𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
⋮ 𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
𝜕𝑓2𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛
(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇
]
dan sistem hasil linearisasi dari sistem (2.21) adalah
�̇� = 𝐽(𝑓(�̅�))𝑦. 2.24
Jika tidak ada bagian real dari nilai eigen-nilai eigen matriks 𝐽(𝑓(�̅�)) yang bernilai
nol, maka sifat kestabilan Sistem (2.21) dapat dilihat dari Sistem (2.24) dan titik �̅�
27
disebut sebagai titik ekuilibrium hiperbolik. Definisi resmi mengenai titik
ekuilibrium hiperbolik dapat dilihat pada Definisis 2.7 berikut.
Definisi 2.7 (Perko, 2001: 102)
Titik ekuilibrium �̅� ∈ ℝ𝑛 disebut titik ekuilibrium hiperbolik dari Sistem (2.21) jika
bagian real nilai eigen dari matriks 𝐷𝑓(�̅�) tidak ada yang bernilai nol.
Contoh 2.7
Akan dicari matriks Jacobian dari sistem (2.15) serta akan dilakukan identifikasi
untuk masing-masing titik ekuilibrium. Pencarian titik ekuilibrium telah dilakukan
pada Contoh 2.5 dan didapatkan titik ekuilibrium untuk sistem (2.15) adalah
(0,0)𝑇 , (0, −2)𝑇 , (−√3, 1)𝑇dan (√3, 1)
𝑇.
Matriks Jacobian dari Sistem (2.25) adalah
𝐽(𝑓(�̅�)) =
[
𝜕(2𝑥1 − 2𝑥1𝑥2)
𝜕𝑥1
𝜕(2𝑥1 − 2𝑥1𝑥2)
𝜕𝑥2
𝜕(2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥2
2)
𝜕𝑥1
𝜕(2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥2
2)
𝜕𝑥2 ]
= [2 − 2𝑥2 2𝑥1
−2𝑥1 2 + 2𝑥2]
Untuk �̅�1 = (0,0)𝑇
𝐽(𝑓(0,0)𝑇) = [2 00 2
]
Didapatkan nilai eigen dari 𝐽(𝑓(0,0)𝑇) yaitu
|2 − 𝜆 0
0 2 − 𝜆| = 0
⇔ (2 − 𝜆)(2 − 𝜆) = 0
⇔ 𝜆1 = 2 ∨ 𝜆2 = 2
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �̅�1 = (0,0)𝑇 adalah
titik ekuilibrium hiperbolik.
28
Untuk �̅�2 = (0,−2)𝑇
𝐽(𝑓(0, −2)𝑇) = [6 00 −2
]
Didapatkan nilai eigen dari 𝐽(𝑓(0, −2)𝑇) yaitu
|6 − 𝜆 0
0 −2 − 𝜆| = 0
⇔ (6 − 𝜆)(−2 − 𝜆) = 0
⇔ 𝜆1 = 6 ∨ 𝜆2 = −2
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �̅�2 = (0,−2)𝑇 adalah
titik ekuilibrium hiperbolik.
Untuk �̅�2 = (−√3, 1)𝑇
𝐽 (𝑓(−√3, 1)𝑇) = [ 0 −2√3
2√3 4]
Didapatkan nilai eigen dari 𝐽 (𝑓(−√3, 1)𝑇) yaitu
|0 − 𝜆 −2√3
2√3 4 − 𝜆| = 0
⇔ −𝜆(4 − 𝜆) − (−2√3)(2√3) = 0
⇔ 𝜆2 − 4𝜆 + 12 = 0
⇔ (𝜆 − 2 − √8𝑖)(𝜆 − 2 + √8𝑖) = 0
⇔ 𝜆1 = 2 + √8𝑖 ∨ 𝜆2 = −2 + √8𝑖
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �̅�3 = (−√3, 1)𝑇
adalah titik ekuilibrium hiperbolik.
Untuk �̅�2 = (√3, 1)𝑇
29
𝐽 (𝑓(√3, 1)𝑇) = [ 0 2√3
−2√3 4]
Didapatkan nilai eigen dari 𝐽 (𝑓(√3, 1)𝑇) yaitu
|0 − 𝜆 2√3
−2√3 4 − 𝜆| = 0
⇔ −𝜆(4 − 𝜆) − (−2√3)(2√3) = 0
⇔ 𝜆2 − 4𝜆 + 12 = 0
⇔ (𝜆 − 2 − √8𝑖)(𝜆 − 2 + √8𝑖) = 0
⇔ 𝜆1 = 2 + √8𝑖 ∨ 𝜆2 = −2 + √8𝑖
Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �̅�4 = (√3, 1)𝑇 adalah
titik ekuilibrium hiperbolik.
G. Analisis Kestabilan
Kestabilan titik ekuilibrium dari sebuah sistem persamaan differenssial secara
umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu stabil, stabil asimtotik dan tidak stabil.
Kestabilan titik ekuilibrium ini akan dijelaskan dalam definisi-definisi dan teorema
berikut.
Definisi 2.8 (Olsder, 2004:57)
Diberikan sistem persamaan differensial �̇�(𝑡) = 𝑓(𝑥(𝑡)) dengan 𝑥 ∈ ℝ𝑛,
penyelesaan dengan keadaan awal 𝑥(0) = 𝑥0 dinotasikan oleh 𝑥(𝑡, 𝑥0).
Suatu titik ekuilibrium 𝑥 dikatakan stabil bila untuk setiap 휀 > 0 ada 𝛿 >
0 dan 𝑡𝛿 sedemikian hingga bila ‖𝑥𝑡𝛿− 𝑥‖ < 𝛿 maka ‖𝑥(𝑡, 𝑥𝑡𝛿) − 𝑥‖ <
휀 untuk semua 𝑡 > 𝑡𝛿.
30
Suatu titik ekuilibrium 𝑥 dikatakan stabil asimtotik bila titik 𝑥 stabil dan
ada 𝛿1 > 0 sedemikian hingga 𝑙𝑖𝑚𝑡→∞
‖𝑥(𝑡, 𝑥0) − �̅�‖ = 0 untuk semua
𝑥0 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 ‖𝑥0 − �̅�‖ < 𝛿1.
Suatu titik ekuilibrium dikatakan takstabil bila tidak memenuhi definisi
stabil.
Ilustrasi pada ℝ2 dari Definisi 2.9 disajikan pada Gambar 2.3 berikut ini,
Gambar 2.3 Ilustrasi Kestabilan
Secara intuisi, stabil untuk nilai awal yang cukup dekat dengan titik
ekuilibrium maka untuk nilai t yang cukup tinggi, penyelesaian sistem sangat dekat
dengan titik ekuilibrium dalam suatu persekitaran. Sedangkan stabil asimtotik
berarti penyelesaian konvergen ke titik ekuilibrium (asalkan titik awal adalah cukup
dekat ke titik ekuilibrium). Takstabil artinya selalu ada penyelesaian yang dimulai
dari manapun dekatnya dengan titik ekuilibrium tapi akhirnya menjauh dari titik
ekuilibrium.
Analisis kestabilan berdasarkan definisi masih terlalu sulit dilakukan, oleh
karena itu terdapat cara analisis kestabilan berdasarkan nilai eigen dari sistem
persamaan differensial. Teorema berikut memberikan syarat kestabilan dari
persamaan differensial �̇� = 𝐴𝑥, dimana matriks 𝐴 mempunyai peranan penting
31
khususnya nilai eigen (𝜆) dari matriks 𝐴 yaitu bagian real dari 𝜆 yang dinotasikan
oleh 𝑅𝑒𝜆.
Untuk suatu sistem persamaan differensial linear �̇� = 𝐴𝑥 dengan 𝐴 adalah
matriks berukuran 𝑛 × 𝑛 dan titik ekuilibrium yang diambil sebagai titik asal adalah
𝑥 = 0 (meskipun mungkin ada titik ekuilibrium yang lainnya saat determinan
matriks 𝐴 sama dengan nol). Untuk selanjutnya dikatakan bahwa persamaan
differensial �̇� = 𝐴𝑥 atau bahkan matriks 𝐴 itu sendiri adalah stabil asimtotik, stabil
atau takstabil bila titik asal 𝑥 = 0 sebagai titik ekuilibrium adalah stabil asimtotik,
stabil atau takstabil (Olsder,2004:58).
Teorema 2.3 (Olsder, 2004:58)
Diberikan persamaan differensial �̇� = 𝐴𝑥 dengan matriks A berukuran 𝑛 × 𝑛 dan
mempunyai nilai karakteristik yang berbeda 𝜆1,· · · , 𝜆𝑘 (𝑘 ≤ 𝑛).
Titik asal 𝑥 = 0 adalah stabil asimtotik bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 < 0 untuk
semua 𝑖 = 1,· · · , 𝑘.
Titik asal 𝑥 = 0 adalah stabil bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 ≤ 0 untuk semua
𝑖 = 1,· · · , 𝑘 dan untuk semua 𝜆𝑖 dengan 𝑅𝑒𝜆𝑖 = 0 multisiplisitas aljabar
sama dengan mutiplisitas geometrinya.
Titik asal 𝑥 = 0 adalah takstabil bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 > 0 untuk
beberapa 𝑖 = 1,· · · , 𝑘 atau ada 𝜆𝑖 dengan 𝑅𝑒𝜆𝑖 = 0 dan multisiplisitas
aljabar lebih besar dari mutiplisitas geometrinya.
Analisis kestabilan juga dapat dilakukan dengan melihat potret fase sistem.
Potret fase dari persamaan differensial menurut Hale dan Kocak (1991) merupakan
32
kumpulan dari semua orbit, sedangkan orbit merupakan proyeksi dari grafik solusi
pada bidang-𝑥𝑦 dengan kata lain potret fase juga merupakan proyeksi dari grafik
solusi pada bidang-𝑥𝑦. Pada potret fase juga diberi panah berarah. Potret fase dari
sebuah sistem hampir seluruhnya berdasarkan nilai eigen (𝜆). Desinisi dari bentuk-
bentuk potret fase dapat dilihat pada Definisi 2.9.
Definisi 2.9 (Verhulst, 1990:28)
Diberikan sebuah sistem persamaan linear dimensi dua �̇� = 𝐴𝑥 dengan nilai
eigen 𝜆1 dan 𝜆2.
1. Sistem dikatakan Node pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real
dan bertanda sama. Stabil Node jika 𝜆1, 𝜆2 < 0 dan tidak stabil Node jika
𝜆1, 𝜆2 > 0.
2. Sistem dikatakan Saddle pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real
dan berbeda tanda. Saddle bersifat tidak stabil.
3. Sistem dikatakan Focus pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai
kompleks, 𝜆1, 𝜆2 = 𝜇 ± 𝑤𝑖 dengan 𝜇 ≠ 0. Stabil Focus jika 𝜇 < 0 dan tidak
stabil Focus jika 𝜇 > 0.
4. Sistem dikatakan Center pada titik ekuilibrium jika kedua nilai eigen
bernilai imajiner murni. Jika sistem linear dikatakan focus maka sistem
stabil namun jika sistem hasil linearisasi bernilai Center maka kestabilan
sistem asli tidak dapat ditentukan.
Contoh potret fase untuk setiap kasus dapat dilihat pada Gambar 2.4a, 2.4b,
2.4c, 2.4d, 2.4e dan 2.4f.
33
Gambar 2.4a Stabil Node
Gambar 2.4b Tidak Stabil Node
Gambar 2.4c Saddle
34
Gambar 2.4d Stabil Focus
Gambar 2.4e Tidak Stabil Focus
Gambar 2.4f Center
35
H. Orbit Periodik
Pada model matematika Predator-prey, untuk mengetahui apakah mangsa
dan pemangsa akan selalu ada dalam sistem maka digunakan orbit periodik. Jika
sistem memiliki orbit periodik maka mangsa dan pemangsa akan selalu ada secara
bersama-sama. Definisi orbit periodik secara formal dapat dilihat pada Definisi
2.10.
Definisi 2.10 (Hale, 1991:179)
Suatu solusi 𝜑(𝑡, 𝑥0) dari sistem �̇� = 𝑓(𝑥) disebut sebagai solusi priodik
jika 𝜑(𝑡 + 𝑝, 𝑥0) = 𝜑(𝑡, 𝑥0) untuk semua 𝑡 ∈ ℝ dan 𝑝 > 0. Orbit 𝛾(𝑥0) =
{𝜑(𝑡, 𝑥0), 𝑡 ∈ ℝ} dari sebuah solusi priodik disebut orbit priodik (orbit tertutup).
Keberadaan orbit periodik dapat ditunjukkan dengan menggunakan kriteria Dulac.
Teorema 2.4 Kriteria Dulac (Hale, 1991:373)
Misal 𝐵(𝑥1, 𝑥2) adalah fungsi bernilai real 𝐶1 pada daerah 𝐷 ⊆ 𝑅2. Jika
𝜕(𝐵𝑓1)
𝜕𝑥1+
𝜕(𝐵𝑓2)
𝜕𝑥2 tidak bernilai nol dan tidak terjadi perubahan tanda di 𝐷 maka
�̇� = 𝑓(𝑥) tidak memiliki orbit periodik.
I. Lumpur Lapindo dan Bacillus subtilis
Sekitar November 2006, lumpur Sidoarjo mulai dibuang melalui Kali Porong
melalui outlet sekitar 20 km dari hulu sungai, dengan harapan debit air Sungai
Porong dapat mengalirkan buangan lumpur Sidoarjo ke laut dalam di Selat Madura
(BAPEL –BPLS dalam Gita Anggraeni, Suntoyo, Muhammad Zikra, 2014). Kali
36
Porong (Sungai Porong) merupakan salah satu cabang dari sungai Brantas yang
berhulu di Mojokerto. Lumpur panas dibuang melalui Sungai Porong dengan
menggunakan pompa dimana debit lumpur yang dibuang antara 0.5 m3/s - 4,5 m3/s
atau sekitar 1.8 juta L/Jam – 16.2 juta L/Jam. Hal ini berakibat pada penurunan
kualitas air Sungai Porong.
Menurut Kep.Menkes. No. 907/2002, air layak dikonsumsi jika kadar
logam berat di air tidak lebih dari 0,003 ppm untuk Cd (Kadmium), 1 ppm untuk
Cu (Tembaga), 0,05 ppm untuk Pb (Timbal) dan 0,05 ppm untuk Cr (Kromium).
Namun air Lumpur Sidoarjo mengandung logam berat antara lain Pb 0,05 ppm,
Cr 0,65 dan Cu 0.0144 ppm dan air Sungai Porong mengandung Cd 0.0271 ppm
(Faisal Aziz P dkk, 2013:1) sehingga air Sungai Porong tidak layak konsumsi.
Pada tahun 2013, Faisal Aziz P,dkk telah melakukan penelitian guna
mengurangi kandungan logam berat pada air Sungai Porong dengan menggunakan
bakteri Bacillus Subtilis. Menurut penelitian tersebut, kemampuan B. subtilis untuk
menurunkan COD (Chemical Oxygen Demand) adalah sebesar 211,7 – 752 mg/L
dari semula 6.438,1 mg/L atau sebesar 88,41 % - 96,73 %. COD merupakan kadar
limbah anorganik yang diukur dari banyaknya oksigen yang diperlukan untuk
memecah limbah anorganik. Jika nilai COD sungai porong pada awalnya adalah
20,2 mg/L, maka dengan teknologi B. subtilis COD menurun menjadi 0,66 – 2,34
mg/L. Sedangkan kemampuan untuk dapat mengikat logam berat seperti Cd, Pb
dan Cu masing – masing sebesar 87%, 77% dan 54%. Berikut tabel kemampuan
reduksi B. subtilis (Faisal Aziz P dkk, 2013:9):
37
Tabel 2.1 Reduksi Logam Berat oleh B.subtilis
Penggunaan mikrobia dalam penurunan kadar logam berat pada air telah
banyak digunakan. Secara umum mikrobia mengurangi bahaya pencemaran logam
berat dengan cara: detoksifikasi (biopresipitasi), biohidrometalurgi, bioleaching
dan biokumulasi. Detoksifikasi atau biopresipitasi pada prinsipnya mengubah ion
logam berat yang bersifat tonsik menjadi senyawa bersifat tidak tonsik.
Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu
senyawa yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam
air. Bioleaching merupakan aktivitas mikrobia untuk melarutkan logam berat dari
senyawa yang mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Bioakumulasi merupakan cara
yang paling umum digunakan oleh mikrobia untuk menangani logam berat. Pada
prinsipnya bioakumulasi merupakan pengikatan ion-ion logam dalam struktur sel
mikrobia (David Ariono, 1996).
Salah satu mikrobia yang dapat digunakan dalam pengurangan kadar logam
berat pada air adalah bakteri Bacillus subtilis. Bakteri Bacillus subtilis memiliki
potensi untuk menjernihkan sumber air. Kemampuan bakteri tersebut dalam
menghasilkan asam poliglutamat (PGA) dapat berperan sebagai flokulan, dimana
zat ini dapat mengikat polutan dalam air. Bakteri B. subtilis memiliki laju
pertumbuhan dan waktu generasi secara berturut - turut sebagai berikut 1,15/jam
38
dan 33,43 menit. Waktu generasi adalah waktu yang diperlukan oleh
mikroorganisme untuk meningkatkan jumlah sel menjadi dua kali lipat jumlah
semula (Doddi Yudhabuntara, 2013). Berikut mekanisme bakteri Bacillus subtilis
dalam menjernihkan air (Faisal Aziz P dkk, 2013:8):
1. B.subtilis sebagai bioflokulan
Mekanisme penjernihan air menggunakan B.subtilis didasarkan bahwa
mikroorganisme ini mampu memproduksi bioflokulan sehingga mampu mengikat
zat polutan. Proses penjernihan air kotor karena zat polutan ialah sebagai berikut.
Air kotor+Mikroorganisme+O2 mikroorganisme + Flok + Air bersih +CO2
Prinsip teknik ini adalah menginteraksikan mikroorganisme dengan air
kotor yang mengandung polutan-polutan. Mikroorganisme mengikat polutan dan
akan membentuk gumpalan partikel yang ukurannya dapat memungkinkan untuk
dipisahkan dengan sedimentasi atau filtrasi (flok). Di dalam air kotor oksigen yang
ada hanya sedikit karena polutan akan mengubah kondisi COD dan BOD tetapi
bakteri tetap mampu berkembang dan berperan. Flok-flok bakterien menyebabkan
air kotor tersebut mengendap di dasar, sehingga akan terpisah antara polutan, air
dan mikroorganisme.
2. B.subtilis sebagai penghasil asam Poliglutamat (PGA)
Proses penjernihan air dapat dilakukan dengan memanfaarkan asam
poliglutamat (PGA), dimana PGA tersebut juga dihasilkan oleh B.subtilis, proses
penjernihan digambarkan dalam skema berikut ini
39
Asam poliglutamat (PGA) + Air mengandung polusi Flok +Air bersih
Prinsip teknik ini adalah asam poliglutamat dicampur dengan air yang
mengandung polusi dan akan menghasilkan flok yang mengendap di dasar,
sehingga akan terpisah antara polutan dan air. Hal ini diakibatkan PGA
mengandung anion yang mengikat polutan yang mengandung kation sehingga akan
mengakibatkan endapan di dasar.
3. B.subtilis untuk mengikat dan menyerap logam berat
Proses penjernihan air yang mengandung logam berat dapat dilakukan
dengan menggunakan mikroorganisme, yang terdiri dari dua tahap yaitu aktif
uptake dan pasif uptake.
Gambar 2.5 Proses Penjernihan Air
Prinsip teknik ini ialah mengontakkan mikroorganisme dengan air yang
tercemar polutan dan terjadi dua proses yaitu proses aktif uptake dan proses pasif
uptake. Proses pasif uptake terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel
dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion monovalent dan
divalent seperti Na+, Ca2+ dan Mg+ pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam
berat Cd2+ dan Ni2+ dan yang kedua adalah formasi kompleks antara ion-ion
Mikroorganisme Air yang tercemar logam berat dikontakkan
Proses pasif
uptake Proses aktif
uptake
Pertukaran
ion
Menyerap
logam berat
Pengurangan logam berat
40
logam berat dengan functional groups seperti carbonyl, amino, thiol, hydroxyl,
phosphate dan hydroxyl-carbonyl yang berada pada dinding sel. Sedangkan pada
proses aktif uptake, mikroorganisme memakan logam berat untuk pertumbuhan
mikroorganisme. Logam berat dapat diendapkan dan ekskresi pada tingkat ke dua.
Pada tahap tertentu mikroorganisme ini dapat mati, sehingga dari kedua proses
tersebut menyebabkan terjadi pengurangan polutan ion logam berat.