bab ii kajian teori - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/bab ii.pdf · digunakan yaitu...

33
8 BAB II KAJIAN TEORI Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi yang diuraikan berupa definisi-definisi dan teorema. Adapaun materi-materi yang digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka- Voltera, fungsi respon, titik ekuilibrium, linearisasi sistem persamaan nonlinear, nilai eigen, vektor eigen, analisis kestabilan dan orbit periodik. A. Persamaan Differensial Definisi 2.1 (Ross, 1989:1) Persamaan differensial adalah suatu persamaan yang menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas. Berdasarkan banyaknya variabel bebas yang disertakan dalam persamaan, persamaan differensial diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu persamaan differensial biasa dan persamaan differensial parsial. Definisi 2.2 (Ross, 1989:2) Persamaan differensial biasa adalah suatu persamaan differensial yang menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel bebas.

Upload: lykhuong

Post on 06-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

8

BAB II

KAJIAN TEORI

Pada bab ini akan dibahas tentang landasan teori yang digunakan pada bab

selanjutnya sebagai bahan acuan yang mendukung tujuan penulisan. Materi-materi

yang diuraikan berupa definisi-definisi dan teorema. Adapaun materi-materi yang

digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-

Voltera, fungsi respon, titik ekuilibrium, linearisasi sistem persamaan nonlinear,

nilai eigen, vektor eigen, analisis kestabilan dan orbit periodik.

A. Persamaan Differensial

Definisi 2.1 (Ross, 1989:1)

Persamaan differensial adalah suatu persamaan yang menyertakan turunan dari

satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu atau lebih variabel bebas.

Berdasarkan banyaknya variabel bebas yang disertakan dalam persamaan,

persamaan differensial diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu persamaan

differensial biasa dan persamaan differensial parsial.

Definisi 2.2 (Ross, 1989:2)

Persamaan differensial biasa adalah suatu persamaan differensial yang

menyertakan turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap satu variabel

bebas.

Page 2: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

9

Contoh 2.1

Contoh dari persamaan differensial biasa.

𝑑2𝑦

𝑑𝑥2+ 𝑥𝑦 (

𝑑𝑦

𝑑𝑥)2

− 3𝑦 = 0 2.1

𝑑3𝑦

𝑑𝑡3+ 3

𝑑2𝑦

𝑑𝑡2+ 5𝑦 = sin 𝑡 2.2

Persamaan (2.1) merupakan persamaan differensial orde dua dan persamaan

(2.2) merupakan persamaan differensial orde tiga. Variabel y pada Persamaan (2.1)

merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x merupakan variabel bebas

tunggal sedangkan pada persamaan (2.2) variabel y merupakan variabel tak bebas

dan variabel t merupakan variabel bebas.

Definisi 2.3 (Ross, 1989:2)

Persamaan differensial parsial adalah persamaan differensial yang menyertakan

turunan dari satu atau lebih variabel tak bebas terhadap lebih dari satu variabel

bebas.

Contoh 2.2

Contoh dari persamaan differensial parsial,

𝜕𝑣

𝜕𝑥+

𝜕𝑣

𝜕𝑦= 𝑣 2.3

𝜕2𝑣

𝜕𝑥2+

𝜕2𝑣

𝜕𝑦2+

𝜕2𝑣

𝜕𝑧2= 0 2.4

Page 3: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

10

Persamaan 2.3 merupakan persamaan differensial orde satu dan persamaan 2.4

merupakan persamaan differensial orde dua. Pada persamaan (2.3) dan (2.4)

variabel v merupakan variabel tak bebas sedangkan variabel x dan y pada persamaan

(2.3) variabel x,y dan z pada persamaan (2.4) merupakan variabel bebas.

B. Sistem Persamaan Differensial

Kumpulan dari beberapa persamaan differensial disebut sistem persamaan

differensial. Diberikan suatu sistem persamaan differensial sebagai berikut:

�̇�1 = 𝑓1(𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛),

�̇�2 = 𝑓2(𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛),

�̇�3 = 𝑓3(𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛), 2.5

�̇�𝑛 = 𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛)

Sistem (2.5) dapat ditulis menjadi

�̇� = 𝑓(𝑥) 2.6

dengan,

vektor 𝑥 = (𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛)𝑇 ∈ 𝐸, 𝐸 ⊆ ℝ𝑛. 𝑓: 𝐸 → ℝ𝑛 dengan 𝑓 =

(𝑓1, 𝑓2, 𝑓3, … , 𝑓𝑛)𝑇 dan 𝑓 ∈ 𝐶′(𝐸). Sistem persamaan differensial pada dasarnya

terbagi menjadi sistem persamaan differensial linear dan sistem persamaan

differensial nonlinear.

1. Sistem persamaan differensial linear

Page 4: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

11

Secara umum bentuk sistem persamaan differensial orde satu dengan variabel

tak bebas 𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛 serta variabel bebas t dapat dinyatakan sebagai berikut,

�̇�1 = 𝑎11(𝑡)𝑥1 + 𝑎12(𝑡)𝑥2 + ⋯+ 𝑎1𝑛(𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹1(𝑡)

�̇�2 = 𝑎21(𝑡)𝑥1 + 𝑎22(𝑡)𝑥2 + ⋯+ 𝑎2𝑛(𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹2(𝑡)

�̇�3 = 𝑎31(𝑡)𝑥1 + 𝑎32(𝑡)𝑥2 + ⋯+ 𝑎3𝑛(𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹3(𝑡)

�̇�𝑛 = 𝑎𝑛1(𝑡)𝑥1 + 𝑎𝑛2(𝑡)𝑥2 + ⋯+ 𝑎𝑛𝑛(𝑡)𝑥𝑛 + 𝐹𝑛(𝑡) 2.7

Jika 𝐹𝑖(𝑡) dengan 𝑖 = 1,2,3,4…𝑛 bernilai nol maka sistem (2.7) merupakan

sistem persamaan differensial linear homogen, sedangkan jika 𝐹𝑖(𝑡) ≠ 0 maka

sistem (2.7) merupakan sistem persamaan differensial linear nonhomogen (Ross,

1989:285). Sitem (2.7) dapat ditulis dalam bentuk

�̇� = 𝐴𝑥 + 𝐹(𝑡) 2.8

dengan 𝑥 = [

𝑥1𝑥2

⋮𝑥𝑛

], 𝐴 = [

𝑎11 𝑎12 … 𝑎1𝑛

𝑎21

⋮𝑎𝑛1

𝑎22

⋮𝑎𝑛2

…⋱…

𝑎2𝑛

⋮𝑎𝑛𝑛

] dan 𝐹(𝑡) = [

𝐹1(𝑡)𝐹1(𝑡)

⋮𝐹𝑛(𝑡)

].

Jika 𝐹(𝑡) = 0, maka didapatkan sistem persamaan linear homogen

�̇� = 𝐴𝑥 2.9

dengan vektor 𝑥 = (𝑥1, 𝑥2, 𝑥3, … , 𝑥𝑛)𝑇 dan A adalah matriks ukuran 𝑛 × 𝑛 yang

entri-entrinya adalah bilangan real.

Contoh 2.3

Contoh dari sistem persamaan diferensial linear homogeny,

𝑑𝑥

𝑑𝑡= 9𝑥 + 2𝑦 − 3𝑧

Page 5: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

12

𝑑𝑦

𝑑𝑡= 5𝑥 − 4𝑦 + 𝑧 2.10

𝑑𝑧

𝑑𝑡= 7𝑥 − 3𝑦 + 2𝑧

2. Sistem persamaan differensial nonlinear

Sistem persamaan differensial dikatakan nonlinear jika ada persamaan

penyusunnya yang merupakan persamaan differensial nonlinear.

Persamaan diferensial dikatakan nonlinear jika persamaan diferensial tersebut

memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut ini (Ross, 1984: 6):

a. Memuat variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya berpangkat selain

satu. Contoh: 𝑑𝑥

𝑑𝑡= 𝑡2 − 5𝑥

b. Terdapat perkalian pada variabel tak bebas dan/atau turunan-turunannya.

Contoh : 𝑑𝑥

𝑑𝑡= 𝑥𝑡2 + 8𝑡 − 3𝑥

c. Terdapat fungsi yang memuat vaiabel tak bebas dan tidak dapat diperoleh

melalui behingga operasi penjumlahan, pengurangan, pembagian dan

perkalian (fungsi transedental dari variabel tak bebas) dan turunan-

turunannya. Contoh: 𝑑𝑥

𝑑𝑡= 𝑥 + sin 𝑡

Contoh 2.4

Contoh sistem persamaan differensial nonlinear,

𝑑𝑥

𝑑𝑡= 5𝑥 − 𝑥𝑦

𝑑𝑦

𝑑𝑡= −3𝑦 + 2𝑥𝑦 2.11

Page 6: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

13

C. Model Matematika Predator-Prey Lotka-Voltera dan Fungsi Respon

Persamaan Lotka-Volterra, juga dikenal sebagai sistem persamaan

predator-prey karena persamaan ini menyatakan interaksi antara satu jenis predator

dan satu jenis prey. Bentuk persamaan ini berupa sepasang persamaan differensial

orde pertama dan non-linear. Persamaan ini adalah persamaan yang masih

sederhana dengan asumsi dasar dari persamaan Lotka-Voltera yaitu populasi

mengalami pertumbuhan dan peluruhan secara exponensial. Berikut sistem

persamaan Lotka-Voltera (Verhulst,1990:180 ):

𝑑𝑥

𝑑𝑡= 𝑥(𝑟 − 𝛼𝑦) 2.12

𝑑𝑦

𝑑𝑡= 𝑦(𝛽𝑥 − 𝑠) 2.13

Dalam dinamika populasi, fungsi respon mengacu pada peningkatan populasi

pemangsa atau pengurangan populasi mangsa saat terjadi interaksi. Fungsi respon

predator adalah tingkat predasi (daya makan) predator terhadap jumlah

makanan/mangsa (Holling, 1959:293-230). Sehingga fungsi respon berkaitan erat

dengan peningkatan populasi predator atau pengurangan populasi prey saat saling

berinteraksi. Pada tahun 1913, Michaelis dan Menten memperkenalkan sebuah

fungsi respon dan pada tahun 1959, Holling menggunakan fungsi respon ini sebagai

salah satu fungsi respon predator. Holling memperkenalkan 3 fungsi respon, yaitu

fungsi respon tipe I, fungsi respon tipe II dan fungsi respon tipe III (Ruan,S dan

Xiao,D, 2001).

Page 7: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

14

Fungsi respon tipe I terjadi pada predator dengan karakteristik pasif, dimana

ketika populasi mangsa meningkat maka daya konsumsi predator pun meningkat.

Contoh predator fungsi respon tipe I adalah laba-laba dengan serangga sebagai

mangsa. Misal fungsi respon dinotasikan dengan 𝑝(𝑥) maka persamaan fungsi

respon tipe I adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

𝑝(𝑥) = 𝑚𝑥.

Fungsi respon tipe II terjadi pada predator dengan karakteristik aktif dalam

mencari mangsa dan predator memerlukan waktu untuk mencerna mangsa. Contoh

predator fungsi respon tipe II adalah serigala dengan karibu sebagai prey.

Persamaan fungsi respon tipe II adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

𝑝(𝑥) =𝑚𝑥

𝑎 + 𝑥.

Fungsi respon tipe III terjadi pada predator yang cenderung akan mencari

populasi prey lain ketika populasi prey yang dimakan mulai berkurang. Contoh

predator fungsi respon tipe III adalah rusa tikus (mice deer) dengan kepompong

kupu-kupu sebagai prey. Persamaan fungsi respon tipe III adalah (Ruan,S dan

Xiao,D, 2001)

𝑝(𝑥) =𝑚𝑥2

𝑎2 + 𝑥2.

Ketiga fungsi respon tersebut merupakan fungsi monoton naik. Berikut

grafik dari ketiga fungsi respon tersebut (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

Page 8: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

15

Gambar 2.1 Grafik Tiga Fungsi Respon Holling

Selain ketiga fungsi respon monoton yang telah dikemukakan oleh Holling,

menurut S. Ruan dan D. Xiao (2001), Monod dan Haldane menambahkan satu

fungsi respon hasil penelitiannya. Fungsi respon ini didasari oleh adanya Interaksi

antara predator dan prey yang tidak monoton, yaitu saat jumlah populasi mangsa

meningkat, daya predasi pemangsa berkurang karena adanya sifat bertahan dari

mangsa. Contoh interaksi seperti ini adalah singa dan banteng, ketika jumlah

banteng sedikit maka tingkat konsumsi singa cenderung meningkat, namun ketika

jumlah banteng meningkat sehingga pertahanan hidup kelompok banteng pun

meningkat maka tingkat predasi singa menurun.

Contoh lainnya adalah proses pada penjernihan air. Salah satu cara

menjernihkan air adalah dengan memasukkan tawas ke dalam air tersebut

membunuh sejumlah bakteri dalam air. Ketika bakteri dalam jumlah tertentu

tawas dengan jumlah tertentu, dapat dengan mudah membunuh (memangsa)

bakteri tersebut. Namun, ketika bakteri semakin banyak tawas akan semakin sulit

membunuh bakteri, dan saat bakteri mencapai jumlah tertentu daya predasi tawas

type 2

𝑝(𝑥)

type 3 type 1

𝑥

Page 9: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

16

terhadap bakteri cenderung semakin menurun. Persamaan fungsi respon tipe

Monod-Haldane adalah (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

𝑝(𝑥) =𝑚𝑥

𝑎𝑥2 + 𝑏𝑥 + 𝑐

Menurut Shigui Ruan dan Dongmei Xiao, Sokol dan Howell (1980) juga

meneliti tentang predator-prey yang bersifat tak monoton. Dalam penelitiannya,

Sokol dan Howell menyatakan fungsi Monod-Haldane dalam bentuk yang lebih

sederhana, yaitu (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

𝑝(𝑥) =𝑚𝑥

𝑎 + 𝑥2

Sokol dan Howell menyatakan bahwa model fungsi respon mereka secara

signifikan lebih baik dan lebih sederhana karena hanya melibatkan dua parameter.

Berikut grafik fungsi respon tak monoton (Ruan,S dan Xiao,D, 2001)

Gambar 2.2 Grafik Fungsi Respon Tak Monoton.

D. Titik Ekuilibrium

Titik ekuilibrium atau titik kritis merupakan solusi dari sistem �̇� = 𝑓(𝑥) yang

tidak mengalami perubahan terhadap waktu. Definisi tentang titik ekuilibrium akan

dijelaskan pada Definisi (2.5) berikut ini,

Page 10: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

17

Definisi 2.5 (Perko, 2001: 102)

Titik �̅� ∈ ℝ𝑛 disebut titik ekuilibrium atau titik kritis dari sistem �̇� = 𝑓(𝑥) jika

𝑓(�̅�) = 0.

Contoh 2.5

Akan dicari titik ekuilibrium dari sistem berikut ini,

�̇�1 = 2𝑥1 − 2𝑥1𝑥2

�̇�2 = 2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥2

2 2.15

Penyelesaian:

Misalkan �̅� = (�̅�1, �̅�2)𝑇 adalah titik ekuilibrium dari Sistem (2.15) maka

2𝑥1 − 2𝑥1𝑥2 = 0 2.16

2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥2

2 = 0 2.17

Dari persaaan (2.16) didapatkan

2𝑥1(1 − 𝑥2) = 0

⇔ �̅�1 = 0 atau �̅�2 = 1

Substitusi �̅�1 = 0 ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan

𝑥2(2 + 𝑥2) = 0

⇔ �̅�2 = 0 atau �̅�2 = −2

Substitusi �̅�2 = 1 ke persamaan (2.17) sehingga didapatkan

2 − 𝑥12 + 1 = 0 ⇔ 𝑥1

2 = 3

⇔ �̅�1 = −√3 atau �̅�1 = √3

Page 11: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

18

Jadi sistem (2.15) memiliki 4 titik ekuilibrium yaitu (0,0)𝑇, (0, −2)𝑇,

(−√3, 1)𝑇dan (√3, 1)

𝑇.

E. Nilai Eigen dan Vector Eigen

Definisi 2.6 (Anton, 1991: 277)

Jika A adalah matriks 𝑛 × 𝑛, maka vektor tak nol x didalam ℝ𝑛 dinamakan

vektor eigen dari A jika Ax adalah kelipatan skalar dari x, yakni

𝐴𝑥 = 𝜆𝑥 (2.18)

untuk suatu skalar 𝜆. Skalar 𝜆 dinamakan nilai eigen dari A dan x dikatakan vektor

eigen yang bersesuaian dengan 𝜆.

Selanjutnya untuk mencari nilai-nilai eigen dari matriks A, Persamaan (2.18)

dapat ditulis menjadi

𝐴𝑥 = 𝜆𝑥

⟺ 𝐴𝑥 = 𝜆𝐼𝑥

⟺ 𝐴𝑥 − 𝜆𝐼𝑥 = 0

⟺ (𝐴 − 𝜆𝐼)𝑥 = 0 (2.19)

dengan I adalah matriks identitas. Menurut Howard Anton (1991: 278) supaya 𝜆

menjadi nilai eigen maka harus ada pemecahan tak nol dari Persamaan (2.19).

Persamaan (2.19) akan mempunyai pemecahan tak nol jika dan hanya jika

𝑑𝑒𝑡(𝐴 − 𝜆𝐼) = 0. (2.20)

Persamaan (2.20) disebut persamaan karakteristik dari A, sedangkan skalar 𝜆 yang

memenuhi persamaan (2.20) adalah nilai eigen dari A.

Page 12: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

19

Contoh 2.6

Akan dicari nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A berukuran 2 × 2 berikut,

𝐴 = [−2 −22 3

]

akan dicari nilai-nilai eigen dan vektor eigen dari matriks A.

a. Nilai eigen dari matriks A

𝐴 − 𝜆𝐼 = [−2 −22 3

] − 𝜆 [1 00 1

]

= [−2 −22 3

] − [𝜆 00 𝜆

]

= [−2 − 𝜆 −2

2 3 − 𝜆]

Sehingga diperoleh persamaan karakteristik dari 𝐴 yaitu,

𝑑𝑒𝑡(𝐴 − 𝜆𝐼) = 0

⇔ |−2 − 𝜆 −2

2 3 − 𝜆| = 0

⇔ (−2 − 𝜆)(3 − 𝜆) − (−2)2 = 0

⇔ 𝜆2 − 𝜆 − 2 = 0

⇔ (𝜆 + 1)(𝜆 − 2) = 0

⇔ 𝜆 = −1 ∨ 𝜆 = 2

Jadi nilai-nilai eigen dari matriks A yaitu 𝜆 = −1 dan 𝜆 = 2.

b. Vektor eigen yang bersesuaian dengan nilai-nilai eigen matriks A.

Untuk 𝜆 = −1

[−2 − 𝜆 −2

2 3 − 𝜆] [

𝑥1

𝑥2] = 0

[−1 −22 4

] [𝑥1

𝑥2] = 0

Page 13: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

20

{−𝑥1 − 2𝑥2 = 02𝑥1 + 4𝑥2 = 0

Persamaan −𝑥1 − 2𝑥2 = 0 ekuivalen dengan 𝑥1 = −2𝑥2, misalkan 𝑥2 = 𝑡

maka 𝑥1 = −2𝑡. Sehingga

𝑥 = [𝑥1

𝑥2] = [

−21

] 𝑡

jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan 𝜆 = −1 adalah [−21

].

Untuk 𝜆 = 2

[−2 − 𝜆 −2

2 3 − 𝜆] [

𝑥1

𝑥2] = 0

[−4 −22 1

] [𝑥1

𝑥2] = 0

{−4𝑥1 − 2𝑥2 = 02𝑥1 + 𝑥2 = 0

Persamaan 2𝑥1 + 𝑥2 = 0 ekuivalen dengan 𝑥2 = −2𝑥1, misalkan 𝑥1 = 𝑡 maka

𝑥2 = −2𝑡. Sehingga

𝑥 = [𝑥1

𝑥2] = [

1−2

] 𝑡

jadi vektor eigen yang bersesuaian dengan 𝜆 = 2 adalah [1

−2].

F. Linearisasi Sistem Persamaan Nonlinear

Linearisasi merupakan proses mengubah suatu sistem persamaan diferensial

nonlinear menjadi sistem persamaan diferensial linear. Menurut Perko (2001, 102),

jika diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear

�̇� = 𝑓(𝑥) 2.21

Page 14: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

21

dengan 𝑥 ∈ 𝐸 ⊆ ℝ𝑛, 𝑓: 𝐸 → ℝ𝑛, f merupakan fungsi nonlinear dan kontinu maka

sistem linear linear �̇� = 𝐴𝑦 dengan matriks 𝐴 = 𝐷𝑓(�̅�) disebut sebagai linearisasi

dari �̇� = 𝑓(𝑥) di �̅�.

Sebelum ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan differensial

nonlinear, akan dibahas terlebih dahulu matriks Jacobian yang dijelaskan dalam

Teorema 2.1.

Teorema 2.1 (Perko, 2001: 67)

Jika 𝑓: ℝ𝑛 → ℝ𝑛 terdiferensial di 𝑥0 maka turunan parsial 𝜕𝑓𝑖

𝜕𝑥𝑗, 𝑖, 𝑗 = 1, 2, 3, … , 𝑛,

di 𝑥0 ada untuk semua 𝑥 ∈ ℝ𝑛 dan

𝐷𝑓(𝑥0)𝑥 = ∑𝜕𝑓

𝜕𝑥𝑗

(𝑥0)𝑥𝑗 .

𝑛

𝑗=1

Bukti:

∑𝜕𝑓

𝜕𝑥𝑗

(𝑥0)𝑥𝑗

𝑛

𝑗=1

=

[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥1

(𝑥0)𝑥1

𝜕𝑓2𝜕𝑥1

(𝑥0)𝑥1

⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1

(𝑥0)𝑥1]

+

[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥2

(𝑥0)𝑥2

𝜕𝑓2𝜕𝑥2

(𝑥0)𝑥2

⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2

(𝑥0)𝑥2]

+ ⋯+

[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛

(𝑥0)𝑥𝑛

𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛

(𝑥0)𝑥𝑛

⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛

(𝑥0)𝑥𝑛]

=

[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥1

(𝑥0)𝜕𝑓1𝜕𝑥2

(𝑥0) …𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛

(𝑥0)

𝜕𝑓2𝜕𝑥1

(𝑥0)

⋮ 𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1

(𝑥0)

𝜕𝑓2𝜕𝑥2

(𝑥0) …𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛

(𝑥0)

⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2

(𝑥0) …𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛

(𝑥0)]

[

𝑥1

𝑥2

⋮𝑥𝑛

]

= 𝐷𝑓(𝑥0)𝑥

Matriks 𝐷𝑓(𝑥0) disebut matriks Jacobian dari fungsi 𝑓: ℝ𝑛 → ℝ𝑛 yang

terdiferensial di 𝑥0 ∈ ℝ𝑛. 𝐷𝑓(𝑥0) dapat dinotasikan dengan 𝐽𝑓(𝑥0).

Page 15: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

22

Selanjutnya akan ditunjukkan proses linearisasi dari sistem persamaan

diferensial nonlinear (2.21) ke dalam sistem persamaan diferensial linear namun

sebelumnya akan diberikan teorema mengenai deret Taylor, berikut teorema Deret

Taylor:

Teorema 2.2 (Purcell, 1987:57)

Andaikan 𝑓 sebuah fungsi yang memiliki turunan dari semua tingkatan

dalam suatu selang (𝑎 − 𝑟, 𝑎 + 𝑟). Syarat yang perlu dan cukup agar deret

𝑓(𝑎) + 𝑓′(𝑎)(𝑥 − 𝑎) +𝑓′′(𝑎)

2!(𝑥 − 𝑎)2 + ⋯+

𝑓𝑛(𝑎)

𝑛!(𝑥 − 𝑎)𝑛 + 𝑅𝑛(𝑥)

menggambarkan fungsi 𝑓 pada selang itu, ialah

𝑙𝑖𝑚𝑛→∞

𝑅𝑛(𝑥) = 0

dengan 𝑅𝑛(𝑥) suku sisa dalam Rumus Taylor, yaitu

𝑅𝑛(𝑥) =𝑓𝑛+1(𝑐)

(𝑛 + 1)!(𝑥 − 𝑎)𝑛+1

dengan 𝑐 suatu bilanga dalam selang (𝑎 − 𝑟, 𝑎 + 𝑟).

Diberikan sistem persamaan diferensial nonlinear seperti pada sistem (2.21)

dan misalkan �̅� = (�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 adalah titik ekuilibrium dari sistem (2.21).

Deret Taylor dari fungsi 𝑓(𝑥) =

(𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), 𝑓2(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), … , 𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) )𝑇 disekitar titik

ekuilibrium �̅� adalah sebagai berikut,

Page 16: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

23

𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓1𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1) + ⋯

+𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) +1

2![𝜕2𝑓1

𝜕𝑥12

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)2

+𝜕2𝑓1

𝜕𝑥22

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2)2 + ⋯+

𝜕2𝑓1𝜕𝑥𝑛

2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)2

+𝜕2𝑓1

𝜕𝑥1𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)(𝑥2 − �̅�2) + ⋯

+𝜕2𝑓1

𝜕𝑥𝑛−1𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛−1 − �̅�𝑛−1)(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)] + ⋯

+1

𝑛![𝜕𝑛𝑓1𝜕𝑥1

𝑛 (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)𝑛

+𝜕𝑛𝑓1𝜕𝑥2

𝑛 (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2)𝑛 + ⋯

+𝜕𝑛𝑓1𝜕𝑥𝑛

𝑛 (�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)𝑛] + 𝑅𝑓1

𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)

+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯

+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) +1

2![𝜕2𝑓𝑛

𝜕𝑥12

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)2

+𝜕2𝑓𝑛

𝜕𝑥22

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2)2 + ⋯

Page 17: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

24

+𝜕2𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛

2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)2 +

𝜕2𝑓𝑛𝜕𝑥1𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)(𝑥2 − �̅�2)

+ ⋯ +𝜕2𝑓𝑛

𝜕𝑥𝑛−1𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛−1 − �̅�𝑛−1)(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)] + ⋯

+1

𝑛![𝜕𝑛𝑓𝑛𝜕𝑥1

𝑛 (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)𝑛

+𝜕𝑛𝑓𝑛𝜕𝑥2

𝑛 (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2)𝑛 + ⋯

+𝜕𝑛𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛

𝑛 (�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)𝑛] + 𝑅𝑓𝑛

Karena dicari bentuk linier terdekat dari fungsi 𝑓(𝑥) =

(𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), 𝑓2(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), … , 𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) )𝑇 dan karena

𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛 ada disekitar �̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛 sehingga nilai dari (𝑥1 − �̅�1), (𝑥2 −

�̅�2), … , (𝑥𝑛 − �̅�𝑛) sangat kecil maka penurunan pada deret Taylor hanya hingga

turunan pertama dan deret Taylor dari fungsi 𝑓(𝑥) =

(𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), 𝑓2(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛), … , 𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛) )𝑇 disekitar titik

ekuilibrium �̅� berubah menjadi

𝑓1(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓1𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)

+𝜕𝑓1𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯

+𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) + 𝑅𝑓1

𝑓2(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓2𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)

+𝜕𝑓2𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯

Page 18: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

25

+𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) + 𝑅𝑓2

𝑓𝑛(𝑥1, 𝑥2, … , 𝑥𝑛)𝑇 = 𝑓𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 +𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1)

+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯

+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛) + 𝑅𝑓𝑛

dengan 𝑅𝑓1 , 𝑅𝑓2 , … , 𝑅𝑓𝑛 disebut bagian nonlinear atau sisa yang nilainya mendekati

nol sehingga nilai dari 𝑅𝑓1 , 𝑅𝑓2 , … , 𝑅𝑓𝑛 dapat diabaikan dan karena (�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇

adalah titik ekuilibrium sistem (2.21) maka 𝑓1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 =

𝑓2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 = ⋯ = 𝑓𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 = 0 . Sehingga diperoleh

�̇�1 =𝜕𝑓1𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1) +𝜕𝑓1𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, , … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯

+𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)

�̇�2 =𝜕𝑓2𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1) +𝜕𝑓2𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯

+𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛)

�̇�𝑛 =𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥1 − �̅�1) +𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥2 − �̅�2) + ⋯

+𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇(𝑥𝑛 − �̅�𝑛). 2.22

Sistem (2.22) dapat ditulis ke dalam bentuk matriks berikut:

Page 19: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

26

[

�̇�1

�̇�2

⋮�̇�𝑛

] =

[ 𝜕𝑓1

𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 𝜕𝑓1

𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …

𝜕𝑓1

𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

𝜕𝑓2

𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

⋮ 𝜕𝑓𝑛

𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

𝜕𝑓2

𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …

𝜕𝑓2

𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛

𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …

𝜕𝑓𝑛

𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

]

[

𝑥1 − �̅�1

𝑥2 − �̅�2

⋮𝑥𝑛 − �̅�𝑛

]

Misalkan 𝑦1 = 𝑥1 − �̅�1, 𝑦2 = 𝑥2 − �̅�2, … , 𝑦𝑛 = 𝑥𝑛 − �̅�𝑛, dan didapatkan

[

�̇�1

�̇�2

⋮�̇�𝑛

] =

[ 𝜕𝑓1

𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 𝜕𝑓1

𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …

𝜕𝑓1

𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

𝜕𝑓2

𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

⋮ 𝜕𝑓𝑛

𝜕𝑥1(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

𝜕𝑓2

𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …

𝜕𝑓2

𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛

𝜕𝑥2(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …

𝜕𝑓𝑛

𝜕𝑥𝑛(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

]

[

𝑦1

𝑦2

⋮𝑦𝑛

] 2.23

dari Sistem (2.23) didapatkan matriks Jacobian

𝐽(𝑓(�̅�))

=

[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇𝜕𝑓1𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

𝜕𝑓2𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

⋮ 𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

𝜕𝑓2𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

⋮ ⋱ ⋮ 𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇 …𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛

(�̅�1, �̅�2, … , �̅�𝑛)𝑇

]

dan sistem hasil linearisasi dari sistem (2.21) adalah

�̇� = 𝐽(𝑓(�̅�))𝑦. 2.24

Jika tidak ada bagian real dari nilai eigen-nilai eigen matriks 𝐽(𝑓(�̅�)) yang bernilai

nol, maka sifat kestabilan Sistem (2.21) dapat dilihat dari Sistem (2.24) dan titik �̅�

Page 20: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

27

disebut sebagai titik ekuilibrium hiperbolik. Definisi resmi mengenai titik

ekuilibrium hiperbolik dapat dilihat pada Definisis 2.7 berikut.

Definisi 2.7 (Perko, 2001: 102)

Titik ekuilibrium �̅� ∈ ℝ𝑛 disebut titik ekuilibrium hiperbolik dari Sistem (2.21) jika

bagian real nilai eigen dari matriks 𝐷𝑓(�̅�) tidak ada yang bernilai nol.

Contoh 2.7

Akan dicari matriks Jacobian dari sistem (2.15) serta akan dilakukan identifikasi

untuk masing-masing titik ekuilibrium. Pencarian titik ekuilibrium telah dilakukan

pada Contoh 2.5 dan didapatkan titik ekuilibrium untuk sistem (2.15) adalah

(0,0)𝑇 , (0, −2)𝑇 , (−√3, 1)𝑇dan (√3, 1)

𝑇.

Matriks Jacobian dari Sistem (2.25) adalah

𝐽(𝑓(�̅�)) =

[

𝜕(2𝑥1 − 2𝑥1𝑥2)

𝜕𝑥1

𝜕(2𝑥1 − 2𝑥1𝑥2)

𝜕𝑥2

𝜕(2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥2

2)

𝜕𝑥1

𝜕(2𝑥2 − 𝑥12 + 𝑥2

2)

𝜕𝑥2 ]

= [2 − 2𝑥2 2𝑥1

−2𝑥1 2 + 2𝑥2]

Untuk �̅�1 = (0,0)𝑇

𝐽(𝑓(0,0)𝑇) = [2 00 2

]

Didapatkan nilai eigen dari 𝐽(𝑓(0,0)𝑇) yaitu

|2 − 𝜆 0

0 2 − 𝜆| = 0

⇔ (2 − 𝜆)(2 − 𝜆) = 0

⇔ 𝜆1 = 2 ∨ 𝜆2 = 2

Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �̅�1 = (0,0)𝑇 adalah

titik ekuilibrium hiperbolik.

Page 21: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

28

Untuk �̅�2 = (0,−2)𝑇

𝐽(𝑓(0, −2)𝑇) = [6 00 −2

]

Didapatkan nilai eigen dari 𝐽(𝑓(0, −2)𝑇) yaitu

|6 − 𝜆 0

0 −2 − 𝜆| = 0

⇔ (6 − 𝜆)(−2 − 𝜆) = 0

⇔ 𝜆1 = 6 ∨ 𝜆2 = −2

Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �̅�2 = (0,−2)𝑇 adalah

titik ekuilibrium hiperbolik.

Untuk �̅�2 = (−√3, 1)𝑇

𝐽 (𝑓(−√3, 1)𝑇) = [ 0 −2√3

2√3 4]

Didapatkan nilai eigen dari 𝐽 (𝑓(−√3, 1)𝑇) yaitu

|0 − 𝜆 −2√3

2√3 4 − 𝜆| = 0

⇔ −𝜆(4 − 𝜆) − (−2√3)(2√3) = 0

⇔ 𝜆2 − 4𝜆 + 12 = 0

⇔ (𝜆 − 2 − √8𝑖)(𝜆 − 2 + √8𝑖) = 0

⇔ 𝜆1 = 2 + √8𝑖 ∨ 𝜆2 = −2 + √8𝑖

Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �̅�3 = (−√3, 1)𝑇

adalah titik ekuilibrium hiperbolik.

Untuk �̅�2 = (√3, 1)𝑇

Page 22: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

29

𝐽 (𝑓(√3, 1)𝑇) = [ 0 2√3

−2√3 4]

Didapatkan nilai eigen dari 𝐽 (𝑓(√3, 1)𝑇) yaitu

|0 − 𝜆 2√3

−2√3 4 − 𝜆| = 0

⇔ −𝜆(4 − 𝜆) − (−2√3)(2√3) = 0

⇔ 𝜆2 − 4𝜆 + 12 = 0

⇔ (𝜆 − 2 − √8𝑖)(𝜆 − 2 + √8𝑖) = 0

⇔ 𝜆1 = 2 + √8𝑖 ∨ 𝜆2 = −2 + √8𝑖

Bagian real pada nilai eigen tidak nol maka titik ekuilibrium �̅�4 = (√3, 1)𝑇 adalah

titik ekuilibrium hiperbolik.

G. Analisis Kestabilan

Kestabilan titik ekuilibrium dari sebuah sistem persamaan differenssial secara

umum dibagi menjadi tiga jenis yaitu stabil, stabil asimtotik dan tidak stabil.

Kestabilan titik ekuilibrium ini akan dijelaskan dalam definisi-definisi dan teorema

berikut.

Definisi 2.8 (Olsder, 2004:57)

Diberikan sistem persamaan differensial �̇�(𝑡) = 𝑓(𝑥(𝑡)) dengan 𝑥 ∈ ℝ𝑛,

penyelesaan dengan keadaan awal 𝑥(0) = 𝑥0 dinotasikan oleh 𝑥(𝑡, 𝑥0).

Suatu titik ekuilibrium 𝑥 dikatakan stabil bila untuk setiap 휀 > 0 ada 𝛿 >

0 dan 𝑡𝛿 sedemikian hingga bila ‖𝑥𝑡𝛿− 𝑥‖ < 𝛿 maka ‖𝑥(𝑡, 𝑥𝑡𝛿) − 𝑥‖ <

휀 untuk semua 𝑡 > 𝑡𝛿.

Page 23: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

30

Suatu titik ekuilibrium 𝑥 dikatakan stabil asimtotik bila titik 𝑥 stabil dan

ada 𝛿1 > 0 sedemikian hingga 𝑙𝑖𝑚𝑡→∞

‖𝑥(𝑡, 𝑥0) − �̅�‖ = 0 untuk semua

𝑥0 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑒𝑚𝑒𝑛𝑢ℎ𝑖 ‖𝑥0 − �̅�‖ < 𝛿1.

Suatu titik ekuilibrium dikatakan takstabil bila tidak memenuhi definisi

stabil.

Ilustrasi pada ℝ2 dari Definisi 2.9 disajikan pada Gambar 2.3 berikut ini,

Gambar 2.3 Ilustrasi Kestabilan

Secara intuisi, stabil untuk nilai awal yang cukup dekat dengan titik

ekuilibrium maka untuk nilai t yang cukup tinggi, penyelesaian sistem sangat dekat

dengan titik ekuilibrium dalam suatu persekitaran. Sedangkan stabil asimtotik

berarti penyelesaian konvergen ke titik ekuilibrium (asalkan titik awal adalah cukup

dekat ke titik ekuilibrium). Takstabil artinya selalu ada penyelesaian yang dimulai

dari manapun dekatnya dengan titik ekuilibrium tapi akhirnya menjauh dari titik

ekuilibrium.

Analisis kestabilan berdasarkan definisi masih terlalu sulit dilakukan, oleh

karena itu terdapat cara analisis kestabilan berdasarkan nilai eigen dari sistem

persamaan differensial. Teorema berikut memberikan syarat kestabilan dari

persamaan differensial �̇� = 𝐴𝑥, dimana matriks 𝐴 mempunyai peranan penting

Page 24: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

31

khususnya nilai eigen (𝜆) dari matriks 𝐴 yaitu bagian real dari 𝜆 yang dinotasikan

oleh 𝑅𝑒𝜆.

Untuk suatu sistem persamaan differensial linear �̇� = 𝐴𝑥 dengan 𝐴 adalah

matriks berukuran 𝑛 × 𝑛 dan titik ekuilibrium yang diambil sebagai titik asal adalah

𝑥 = 0 (meskipun mungkin ada titik ekuilibrium yang lainnya saat determinan

matriks 𝐴 sama dengan nol). Untuk selanjutnya dikatakan bahwa persamaan

differensial �̇� = 𝐴𝑥 atau bahkan matriks 𝐴 itu sendiri adalah stabil asimtotik, stabil

atau takstabil bila titik asal 𝑥 = 0 sebagai titik ekuilibrium adalah stabil asimtotik,

stabil atau takstabil (Olsder,2004:58).

Teorema 2.3 (Olsder, 2004:58)

Diberikan persamaan differensial �̇� = 𝐴𝑥 dengan matriks A berukuran 𝑛 × 𝑛 dan

mempunyai nilai karakteristik yang berbeda 𝜆1,· · · , 𝜆𝑘 (𝑘 ≤ 𝑛).

Titik asal 𝑥 = 0 adalah stabil asimtotik bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 < 0 untuk

semua 𝑖 = 1,· · · , 𝑘.

Titik asal 𝑥 = 0 adalah stabil bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 ≤ 0 untuk semua

𝑖 = 1,· · · , 𝑘 dan untuk semua 𝜆𝑖 dengan 𝑅𝑒𝜆𝑖 = 0 multisiplisitas aljabar

sama dengan mutiplisitas geometrinya.

Titik asal 𝑥 = 0 adalah takstabil bila dan hanya bila 𝑅𝑒𝜆𝑖 > 0 untuk

beberapa 𝑖 = 1,· · · , 𝑘 atau ada 𝜆𝑖 dengan 𝑅𝑒𝜆𝑖 = 0 dan multisiplisitas

aljabar lebih besar dari mutiplisitas geometrinya.

Analisis kestabilan juga dapat dilakukan dengan melihat potret fase sistem.

Potret fase dari persamaan differensial menurut Hale dan Kocak (1991) merupakan

Page 25: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

32

kumpulan dari semua orbit, sedangkan orbit merupakan proyeksi dari grafik solusi

pada bidang-𝑥𝑦 dengan kata lain potret fase juga merupakan proyeksi dari grafik

solusi pada bidang-𝑥𝑦. Pada potret fase juga diberi panah berarah. Potret fase dari

sebuah sistem hampir seluruhnya berdasarkan nilai eigen (𝜆). Desinisi dari bentuk-

bentuk potret fase dapat dilihat pada Definisi 2.9.

Definisi 2.9 (Verhulst, 1990:28)

Diberikan sebuah sistem persamaan linear dimensi dua �̇� = 𝐴𝑥 dengan nilai

eigen 𝜆1 dan 𝜆2.

1. Sistem dikatakan Node pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real

dan bertanda sama. Stabil Node jika 𝜆1, 𝜆2 < 0 dan tidak stabil Node jika

𝜆1, 𝜆2 > 0.

2. Sistem dikatakan Saddle pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai real

dan berbeda tanda. Saddle bersifat tidak stabil.

3. Sistem dikatakan Focus pada titik asal jika kedua nilai eigen bernilai

kompleks, 𝜆1, 𝜆2 = 𝜇 ± 𝑤𝑖 dengan 𝜇 ≠ 0. Stabil Focus jika 𝜇 < 0 dan tidak

stabil Focus jika 𝜇 > 0.

4. Sistem dikatakan Center pada titik ekuilibrium jika kedua nilai eigen

bernilai imajiner murni. Jika sistem linear dikatakan focus maka sistem

stabil namun jika sistem hasil linearisasi bernilai Center maka kestabilan

sistem asli tidak dapat ditentukan.

Contoh potret fase untuk setiap kasus dapat dilihat pada Gambar 2.4a, 2.4b,

2.4c, 2.4d, 2.4e dan 2.4f.

Page 26: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

33

Gambar 2.4a Stabil Node

Gambar 2.4b Tidak Stabil Node

Gambar 2.4c Saddle

Page 27: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

34

Gambar 2.4d Stabil Focus

Gambar 2.4e Tidak Stabil Focus

Gambar 2.4f Center

Page 28: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

35

H. Orbit Periodik

Pada model matematika Predator-prey, untuk mengetahui apakah mangsa

dan pemangsa akan selalu ada dalam sistem maka digunakan orbit periodik. Jika

sistem memiliki orbit periodik maka mangsa dan pemangsa akan selalu ada secara

bersama-sama. Definisi orbit periodik secara formal dapat dilihat pada Definisi

2.10.

Definisi 2.10 (Hale, 1991:179)

Suatu solusi 𝜑(𝑡, 𝑥0) dari sistem �̇� = 𝑓(𝑥) disebut sebagai solusi priodik

jika 𝜑(𝑡 + 𝑝, 𝑥0) = 𝜑(𝑡, 𝑥0) untuk semua 𝑡 ∈ ℝ dan 𝑝 > 0. Orbit 𝛾(𝑥0) =

{𝜑(𝑡, 𝑥0), 𝑡 ∈ ℝ} dari sebuah solusi priodik disebut orbit priodik (orbit tertutup).

Keberadaan orbit periodik dapat ditunjukkan dengan menggunakan kriteria Dulac.

Teorema 2.4 Kriteria Dulac (Hale, 1991:373)

Misal 𝐵(𝑥1, 𝑥2) adalah fungsi bernilai real 𝐶1 pada daerah 𝐷 ⊆ 𝑅2. Jika

𝜕(𝐵𝑓1)

𝜕𝑥1+

𝜕(𝐵𝑓2)

𝜕𝑥2 tidak bernilai nol dan tidak terjadi perubahan tanda di 𝐷 maka

�̇� = 𝑓(𝑥) tidak memiliki orbit periodik.

I. Lumpur Lapindo dan Bacillus subtilis

Sekitar November 2006, lumpur Sidoarjo mulai dibuang melalui Kali Porong

melalui outlet sekitar 20 km dari hulu sungai, dengan harapan debit air Sungai

Porong dapat mengalirkan buangan lumpur Sidoarjo ke laut dalam di Selat Madura

(BAPEL –BPLS dalam Gita Anggraeni, Suntoyo, Muhammad Zikra, 2014). Kali

Page 29: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

36

Porong (Sungai Porong) merupakan salah satu cabang dari sungai Brantas yang

berhulu di Mojokerto. Lumpur panas dibuang melalui Sungai Porong dengan

menggunakan pompa dimana debit lumpur yang dibuang antara 0.5 m3/s - 4,5 m3/s

atau sekitar 1.8 juta L/Jam – 16.2 juta L/Jam. Hal ini berakibat pada penurunan

kualitas air Sungai Porong.

Menurut Kep.Menkes. No. 907/2002, air layak dikonsumsi jika kadar

logam berat di air tidak lebih dari 0,003 ppm untuk Cd (Kadmium), 1 ppm untuk

Cu (Tembaga), 0,05 ppm untuk Pb (Timbal) dan 0,05 ppm untuk Cr (Kromium).

Namun air Lumpur Sidoarjo mengandung logam berat antara lain Pb 0,05 ppm,

Cr 0,65 dan Cu 0.0144 ppm dan air Sungai Porong mengandung Cd 0.0271 ppm

(Faisal Aziz P dkk, 2013:1) sehingga air Sungai Porong tidak layak konsumsi.

Pada tahun 2013, Faisal Aziz P,dkk telah melakukan penelitian guna

mengurangi kandungan logam berat pada air Sungai Porong dengan menggunakan

bakteri Bacillus Subtilis. Menurut penelitian tersebut, kemampuan B. subtilis untuk

menurunkan COD (Chemical Oxygen Demand) adalah sebesar 211,7 – 752 mg/L

dari semula 6.438,1 mg/L atau sebesar 88,41 % - 96,73 %. COD merupakan kadar

limbah anorganik yang diukur dari banyaknya oksigen yang diperlukan untuk

memecah limbah anorganik. Jika nilai COD sungai porong pada awalnya adalah

20,2 mg/L, maka dengan teknologi B. subtilis COD menurun menjadi 0,66 – 2,34

mg/L. Sedangkan kemampuan untuk dapat mengikat logam berat seperti Cd, Pb

dan Cu masing – masing sebesar 87%, 77% dan 54%. Berikut tabel kemampuan

reduksi B. subtilis (Faisal Aziz P dkk, 2013:9):

Page 30: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

37

Tabel 2.1 Reduksi Logam Berat oleh B.subtilis

Penggunaan mikrobia dalam penurunan kadar logam berat pada air telah

banyak digunakan. Secara umum mikrobia mengurangi bahaya pencemaran logam

berat dengan cara: detoksifikasi (biopresipitasi), biohidrometalurgi, bioleaching

dan biokumulasi. Detoksifikasi atau biopresipitasi pada prinsipnya mengubah ion

logam berat yang bersifat tonsik menjadi senyawa bersifat tidak tonsik.

Biohidrometalurgi pada prinsipnya mengubah ion logam yang terikat pada suatu

senyawa yang tidak dapat larut dalam air menjadi senyawa yang dapat larut dalam

air. Bioleaching merupakan aktivitas mikrobia untuk melarutkan logam berat dari

senyawa yang mengikatnya dalam bentuk ion bebas. Bioakumulasi merupakan cara

yang paling umum digunakan oleh mikrobia untuk menangani logam berat. Pada

prinsipnya bioakumulasi merupakan pengikatan ion-ion logam dalam struktur sel

mikrobia (David Ariono, 1996).

Salah satu mikrobia yang dapat digunakan dalam pengurangan kadar logam

berat pada air adalah bakteri Bacillus subtilis. Bakteri Bacillus subtilis memiliki

potensi untuk menjernihkan sumber air. Kemampuan bakteri tersebut dalam

menghasilkan asam poliglutamat (PGA) dapat berperan sebagai flokulan, dimana

zat ini dapat mengikat polutan dalam air. Bakteri B. subtilis memiliki laju

pertumbuhan dan waktu generasi secara berturut - turut sebagai berikut 1,15/jam

Page 31: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

38

dan 33,43 menit. Waktu generasi adalah waktu yang diperlukan oleh

mikroorganisme untuk meningkatkan jumlah sel menjadi dua kali lipat jumlah

semula (Doddi Yudhabuntara, 2013). Berikut mekanisme bakteri Bacillus subtilis

dalam menjernihkan air (Faisal Aziz P dkk, 2013:8):

1. B.subtilis sebagai bioflokulan

Mekanisme penjernihan air menggunakan B.subtilis didasarkan bahwa

mikroorganisme ini mampu memproduksi bioflokulan sehingga mampu mengikat

zat polutan. Proses penjernihan air kotor karena zat polutan ialah sebagai berikut.

Air kotor+Mikroorganisme+O2 mikroorganisme + Flok + Air bersih +CO2

Prinsip teknik ini adalah menginteraksikan mikroorganisme dengan air

kotor yang mengandung polutan-polutan. Mikroorganisme mengikat polutan dan

akan membentuk gumpalan partikel yang ukurannya dapat memungkinkan untuk

dipisahkan dengan sedimentasi atau filtrasi (flok). Di dalam air kotor oksigen yang

ada hanya sedikit karena polutan akan mengubah kondisi COD dan BOD tetapi

bakteri tetap mampu berkembang dan berperan. Flok-flok bakterien menyebabkan

air kotor tersebut mengendap di dasar, sehingga akan terpisah antara polutan, air

dan mikroorganisme.

2. B.subtilis sebagai penghasil asam Poliglutamat (PGA)

Proses penjernihan air dapat dilakukan dengan memanfaarkan asam

poliglutamat (PGA), dimana PGA tersebut juga dihasilkan oleh B.subtilis, proses

penjernihan digambarkan dalam skema berikut ini

Page 32: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

39

Asam poliglutamat (PGA) + Air mengandung polusi Flok +Air bersih

Prinsip teknik ini adalah asam poliglutamat dicampur dengan air yang

mengandung polusi dan akan menghasilkan flok yang mengendap di dasar,

sehingga akan terpisah antara polutan dan air. Hal ini diakibatkan PGA

mengandung anion yang mengikat polutan yang mengandung kation sehingga akan

mengakibatkan endapan di dasar.

3. B.subtilis untuk mengikat dan menyerap logam berat

Proses penjernihan air yang mengandung logam berat dapat dilakukan

dengan menggunakan mikroorganisme, yang terdiri dari dua tahap yaitu aktif

uptake dan pasif uptake.

Gambar 2.5 Proses Penjernihan Air

Prinsip teknik ini ialah mengontakkan mikroorganisme dengan air yang

tercemar polutan dan terjadi dua proses yaitu proses aktif uptake dan proses pasif

uptake. Proses pasif uptake terjadi ketika ion logam berat mengikat dinding sel

dengan dua cara yang berbeda, pertama pertukaran ion di mana ion monovalent dan

divalent seperti Na+, Ca2+ dan Mg+ pada dinding sel digantikan oleh ion-ion logam

berat Cd2+ dan Ni2+ dan yang kedua adalah formasi kompleks antara ion-ion

Mikroorganisme Air yang tercemar logam berat dikontakkan

Proses pasif

uptake Proses aktif

uptake

Pertukaran

ion

Menyerap

logam berat

Pengurangan logam berat

Page 33: BAB II KAJIAN TEORI - eprints.uny.ac.ideprints.uny.ac.id/41716/3/BAB II.pdf · digunakan yaitu sistem persamaan differensial, model predator-prey Lotka-Voltera, fungsi respon, titik

40

logam berat dengan functional groups seperti carbonyl, amino, thiol, hydroxyl,

phosphate dan hydroxyl-carbonyl yang berada pada dinding sel. Sedangkan pada

proses aktif uptake, mikroorganisme memakan logam berat untuk pertumbuhan

mikroorganisme. Logam berat dapat diendapkan dan ekskresi pada tingkat ke dua.

Pada tahap tertentu mikroorganisme ini dapat mati, sehingga dari kedua proses

tersebut menyebabkan terjadi pengurangan polutan ion logam berat.