bab ii kajian teori a. resiliensi 1. definisi resiliensirepository.ump.ac.id/4674/3/bab ii.pdf ·...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Resiliensi
1. Definisi Resiliensi
Istilah resiliensi diperkenalkan oleh Redl (dalam Desmita, 2011)
dan digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan
individual dalam respons seseorang terhadap stres dan keadaan yang
merugikan (adversity) lainnya. Henderson & Milstein (dalam Desmita,
2011) mengemukakan bahwa istilah resiliensi diadopsi oleh para
peneliti untuk menggambarkan fenomena, seperti: “invulnerable”
(kekebalan), “invicible” (ketangguhan), dan “hady” (kekuatan), karena
dalam proses menjadi resilien tercakup pengenalan perasaan sakit,
perjuangan dan penderitaan.
Menurut Siebert (dalam Aprilia, 2013) dalam bukunya The
Resiliency Advantage memaparkan bahwa yang dimaksud dengan
resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dengan baik perubahan
hidup pada level yang tinggi, menjaga kesehatan di bawah kondisi
penuh tekanan, bangkit dari keterpurukan, mengatasi kemalangan,
merubah cara hidup ketika cara yang lama dirasa tidak sesuai lagi
dengan kondisi yang ada, dan menghadapi permasalahan tanpa
melakukan kekerasan.
Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Reivich & Shatte (2002) yang menyatakan bahwa resiliensi merupakan
16
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
17
kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi ketika menghadapi
kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.
Bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan
penderitaan yang dialami dalam kehidupannya.
Sedangkan menurut Goldstein & Brooks (dalam Argiyana, 2014),
resiliensi bukan hanya untuk mereka yang mengalami keterpurukan saja
tetapi menyangkut semuanya baik yang telah mengalami trauma
ataupun belum sehingga resiliensi adalah kesehatan emosional yang
dilengkapi dengan kesuksesan dalam menghadapi tantangan dan
menyembuhkan dalam keterpurukan.
Desmita (2011) mengungkapkan bahwa resiliensi adalah
kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang, kelompok
atau masyarakat yang memungkinkannya untuk menghadapi,
mencegah, meminimalkan bahkan menghilangkan dampak-dampak
yang merugikan dari kondisi yang tidak menyenangkan atau mengubah
kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar
untuk diatasi. Bagi mereka yang resilien, resiliensi membuat hidupnya
menjadi lebih kuat. Artinya, resiliensi akan membuat seseorang berhasil
menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak
menyenangkan, serta dapat mengembangkan kompetensi sosial,
akademis, dan vikasional sekalipun berada di tengah kondisi stres hebat
yang inheren dalam kehidupan dunia dewasa ini.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
18
Dari berbagai pengertian resiliensi yang telah diuraikan dapat
disimpulkan bahwa resiliensi adalah kemampuan individu dalam
bertahan mengatasi masalah yang ada dalam hidup serta mampu untuk
bangkit dari keterpurukan dan kesengsaraan sehingga mampu
menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak
menyenangkan.
2. Aspek-Aspek Resiliensi
Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi
sebagai berikut:
a. Regulasi emosi (emotional regulation)
Regulasi emosi adalah kemampuan untuk tetap tenang
dibawah kondisi yang menekan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa orang yang kurang memiliki kemampuan untuk mengatur
emosi mengalami kesulitan dalam membangun dan menjaga
hubungan dengan orang lain. Hal ini disebabkan oleh berbagai
macam faktor, di antara alasan yang sederhana adalah tidak ada
orang yang mau menghabiskan waktu bersama orang yang marah,
merengut, cemas, khawatir serta gelisah setiap saat.
Emosi yang dirasakan oleh seseorang cenderung
berpengaruh terhadap orang lain. Semakin kita terasosiasi dengan
kemarahan maka kita akan semakin menjadi seorang yang pemarah.
Orang yang resilien akan mengembangkan seluruh kemampuannya
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
19
dengan baik yang dapat membantu untuk mengontrol emosi, atensi,
dan perilaku.
b. Pengendalian impuls (impuls control)
Pengendalian impuls adalah kemampuan individu untuk
mengendalikan keinginan, dorongan, kesukaan, serta tekanan yang
muncul dari dalam diri. Individu yang memiliki kemampuan
pengendalian impuls yang rendah, cepat mengalami perubahan
emosi yang pada akhirnya mengendalikan pikiran dan perilaku
mereka. Individu menampilkan perilaku mudah marah, kehilangan
kesabaran, impulsif dan berlaku agresif. Tentunya perilaku yang
ditampakkan ini akan membuat orang disekitarnya merasa kurang
nyaman sehingga berakibat pada buruknya hubungan sosial individu
dengan orang lain.
c. Optimisme (optimism)
Optimisme adalah ketika individu melihat bahwa masa
depannya cemerlang, individu yang resilien adalah individu yang
optimis. Optimisme tentunya, berarti bahwa individu melihat masa
depan kita relatif cerah. Implikasi dari optimisme adalah percaya
bahwa mempunyai kemampuan untuk mengatasi kesulitan yang
mungkin terjadi di masa depan. Orang yang optimis tidak
menyangkal bahwa dirinya memiliki masalah atau menghindari
berita buruk, sebaliknya mereka mamandang masalah dan berita
buruk sebagai kesulitan yang dapat diatasi.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
20
d. Kemampuan menganalisis masalah (causal analysis)
Causal analysis merujuk pada kemampuan individu untuk
mengidentifikasikan penyebab dari permasalahan yang dihadapi.
Individu yang tidak mampu mengidentifikasikan penyebab dari
permasalahan yang dihadapi secara tepat, akan terus menerus
berbuat kesalahan yang sama.
Individu yang resilien adalah individu yang memiliki
fleksibilitas kognitif. Mampu mengidentifikasi semua penyebab
yang menyebabkan kemalangan yang menimpa mereka, tanpa
terjebak pada salah satu gaya berpikir explanatory. Tidak
mengabaikan faktor permanen maupun pervasif. Individu yang
resilien tidak akan menyalahkan orang lain atas kesalahan yang
diperbuat demi menjaga harga diri atau membebaskan dari rasa
bersalah. Individu tidak terlalu terfokus pada faktor-faktor yang
berada di luar kendali mereka, sebaliknya mereka memfokuskan dan
memegang kendali penuh pada pemecahan masalah, perlahan
mereka mulai mengatasi permasalahan yang ada, mengarahkan
hidup mereka, bangkit dan meraih kesuksesan.
e. Empati (empathy)
Seseorang yang memiliki kemampuan berempati
cenderung memiliki hubungan sosial yang positif. Ketidakmampuan
berempati berpotensi menimbulkan kesulitan dalam hubungan
sosial. Individu-individu yang tidak membangun kemampuan untuk
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
21
peka terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut tidak mampu untuk
menempatkan dirinya pada posisi orang lain, merasakan apa yang
dirasakan orang lain dan memperkirakan maksud dari orang lain.
Ketidakmampuan individu untuk membaca tanda-tanda
nonverbal orang lain dapat sangat merugikan, baik dalam konteks
hubungan kerja maupun hubungan personal, hal ini dikarenakan
kebutuhan dasar manusia untuk dipahami dan dihargai. Individu
dengan empati yang rendah cenderung mengulang pola yang
dilakukan oleh individu yang tidak resilien, yaitu menyamaratakan
semua keinginan dan emosi orang lain. Orang yang resilien dapat
dapat membaca isyarat nonverbal orang lain untuk membantu
membangun hubungan yang lebih dalam dengan orang lain, dan
secara emosional lebih cocok.
f. Efikasi diri (self efficacy)
Self-efficacy adalah hasil dari pemecahan masalah yang
berhasil. Self efficacy merepresentasikan sebuah keyakinan bahwa
mampu memecahkan masalah yang kita alami dan mencapai
kesuksesan.
Self-efficacy adalah perasaan bahwa individu efektif dalam
dunia. Telah dihabiskan banyak waktu untuk mendiskusikan tentang
self efficacy, karena melihat betapa pentingnya hal tersebut dalam
dunia nyata. Dalam pekerjaan, orang yang memiliki keyakinan
terhadap kemampuan untuk memecahkan masalah, muncul sebagai
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
22
pemimpin, sementara yang tidak dapat di percaya terhadap
kemampuan diri menemukan diri akan tertinggal dari orang lain.
g. Pencapaian (reaching out)
Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya, bahwa
resiliensi lebih dari sekedar bagaimana seorang individu memiliki
kemampuan untuk mengatasi kemalangan dan bangkit dari
keterpurukkan, namun lebih dari itu faktor yang terakhir dari
resiliensi adalah reaching out. Reaching out adalah kemampuan
individu meraih aspek positif atau mengambil hikmah dari
kehidupan setelah kemalangan yang menimpa.
Banyak individu yang tidak mampu melakukan reaching
out, hal ini dikarenakan individu tersebut telah diajarkan sejak kecil
untuk sedapat mungkin menghindari kegagalan dan situasi yang
memalukan. Mereka adalah individu-individu yang lebih memilih
memiliki kehidupan standar dibandingkan harus meraih kesuksesan
namun harus berhadapan dengan resiko kegagalan hidup dan hinaan
masyarakat. Hal ini menunjukkan kecenderungan individu untul
berlebih-lebihan (overestimate) dalam memandang kemungkinan
hal-hal buruk yang dapat terjadi di masa mendatang. Individu-
individu ini memiliki rasa ketakutan untuk mengoptimalkan
kemampuan mereka hingga batas akhir. Gaya berpikir ini
memberikan batasan bagi diri sendiri, atau dikenal dengan istilah
self-handicaping.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
23
Reaching out menggambarkan kemampuan individu untuk
meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang
mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala
ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek
resiliensi adalah regulasi emosi (emotional regulation), kontrol impuls
(impuls control), optimisme (optimism), analisis kausal (causal
analysis), empati (empathy), efikasi diri (self eficacy), dan pencapaian
(reaching out).
3. Sumber-Sumber Pembentukan Resiliensi
Menurut Grotberg (1999) ada tiga sumber dari resiliensi, yaitu I
have (saya memiliki), I am (saya adalah), dan I can (saya bisa). Adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. I have (saya memiliki) merupakan sumber resiliensi yang
berhubungan dengan pemaknaan individu akan besarnya dukungan
yang diberikan oleh lingkungan sosial terhadap dirinya. Sumber I
have ini memiliki beberapa kualitas yang memberikan sumbangan
bagi pembentukan resiliensi yaitu: hubungan yang dilandasi oleh
kepercayaan, struktur dan aturan, model-model peran, dorongan
untuk mandiri, serta fasilitas penunjang kehidupan.
b. I am (saya adalah) merupakan sumber resiliensi yang berkaitan
dengan kekuatan pribadi yang dimiliki individu, yang terdiri dari
perasaan, sikap, dan keyakinan pribadi. Beberapa kualitas pribadi
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
24
yang mempengaruhi I am adalah disayangi dan disukai banyak
orang, mencintai, memiliki empati dan kepedulian pada orang lain,
bangga kepada diri sendiri, bertanggung jawab, percaya diri,
optimis, dan penuh harapan.
c. I can (saya bisa) adalah sumber resiliensi yang berkaitan dengan apa
saja yang dapat dilakukan oleh individu sehubungan dengan
keterampilan-keterampilan sosial dan interpersonal. Keterampilan-
keterampilan ini meliputi, cara berkomunikasi, memecahkan
masalah, mengelola perasaan, mengukur temperamen diri dan orang
lain, serta menjalin hubungan-hubungan yang saling mempercayai.
Berdasarkan poin-poin diatas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi
adalah hasil kombinasi dari tiga faktor, yang berupa: I have (saya
memiliki), I am (saya adalah), dan I can (saya bisa). Individu tidak bisa
menjadi resilien hanya dengan memiliki salah satu aspek saja,
melainkan harus ditopang oleh ketiga sumber pembentukan tersebut.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Resiliensi
Masten dan Coatsworth (dalam Setyowati dkk, 2010)
mengemukakan tiga faktor yang berhubungan dengan resiliensi pada
individu, yaitu:
a) Faktor individual
Faktor individu merupakan faktor-faktor yang bersumber
dari dalam individu itu sendiri, yaitu mempunyai intelektual
yang baik, namun individu yang mempunyai intelektual yang
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
25
tinggi belum tentu individu itu resilien, sociable, self confident,
self efficacy, harga diri yang tinggi, memiliki talent (bakat).
b) Faktor keluarga
Faktor-faktor keluarga yang berhubungan dengan
resiliensi, yaitu hubungan yang dekat dengan orangtua yang
memiliki kepedulian dan perhatian, pola asuh yang hangat,
teratur dan kondusif bagi perkembangan individu, sosial
ekonomi yang berkecukupan, memiliki hubungan harmonis
dengan anggota-anggota keluarga lain.
c) Faktor masyarakat sekitar
Faktor dari masyarakat yang memberikan pengaruh
terhadap resiliensi pada individu, yaitu mendapat perhatian dari
lingkungan, aktif dalam organisasi kemasyarakatan di
lingkungan tempat tinggal.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada tiga
faktor yang mempengaruhi resiliensi yaitu faktor individual, faktor
keluarga, dan faktor masyarakat sekitar.
5. Karakteristik Individu Yang Memiliki Kemampuan Resiliensi
Menurut Wolins (dalam Desmita, 2011) ada tujuh karakteristik
utama yang dimiliki individu yang resilien. Karakteristik-karakteristik
inilah yang membuat individu mampu beradaptasi dengan baik disaat
menghadapi masalah, mengatasi berbagai hambatan, serta
mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal, yaitu:
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
26
a. Insight
Insight adalah kemampuan mental untuk bertanya pada diri
sendiri dan menjawab dengan jujur. Hal ini untuk membantu
individu untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain serta
dapat menyesuaikan diri dalam berbagai situasi.
b. Kemandirian
Kemandirian adalah kemampuan untuk mengambil jarak
secara emosional maupun fisik dari sumber masalah dalam hidup
seseorang. Kemandirian melibatkan untuk menjaga keseimbangan
antara jujur pada diri sendiri dengan peduli pada orang lain.
c. Hubungan
Seseorang yang resilien dapat mengembangkan hubungan
yang jujur, saling mendukung dan berkualitas bagi kehidupan atau
memiliki role model yang sehat.
d. Inisiatif
Inisiatif melibatkan keinginan yang kuat untuk bertanggung
jawab atas kehidupan sendiri atau masalah yang dihadapi. Individu
yang resilien bersikap proaktif bukan reaktif bertanggung jawab
dalam pemecahan masalah selalu berusaha memperbaiki diri
ataupun situasi yang dapat diubah serta meningkatkan kemampuan
untuk menghadapi hal-hal yang tidak dapat diubah.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
27
e. Kreatifitas
Kreativitas melibatkan kemampuan memikirkan berbagai
pilihan, konsekuensi dan alternatif dalam menghadapi tantangan
hidup. Individu yang resilien tidak terlibat dalam perilaku yang
negtaif sebab ia mampu mempertimbangkan konsekuensi dari setiap
perilaku dan membuat keputusan yang benar. Kreativitas juga
melibatkan daya imajinasi yang digunakan untuk mengekspresikan
diri dalam seni, serta membuat seseorang mampu menghibur dirinya
sendiri saat menghadapi kesulitan.
f. Humor
Humor adalah kemampuan untuk melihat sisi terang dari
kehidupan, menertawakan diri sendiri dan menemukan kebahagiaan
dalam situasi apapun. Individu yang resilien menggunakan rasa
humornya untuk memandang tantangan hidup dengan cara yang
baru dan lebih ringan.
g. Moralitas
Moralitas atau orientasi pada nilai-nilai ditandai dengan
keinginan untuk hidup secara baik dan produktif. Individu yang
resilien dapat mengevaluasi berbagai hal dan membuat keputusan
yang tepat tanpa rasa takut akan pendapat orang lain. Individu juga
dapat mengatasi kepentingan diri sendiri dalam membantu orang
lain yang membutuhkan.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
28
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa
karakteristik individu yang memiliki kemampuan resiliensi adalah
individu yang memiliki karakteristik tertentu yaitu insight,
kemandirian, hubungan, inisiatif, kreatifitas, humor dan moralitas.
B. Tunagrahita
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk mneyebut anak yang
mempunyai kemampuan intelektual dibawah rata-rata. Dalam kepustakaan
bahasa asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarted,
mental deficiency, mental defective, dan lain-lain (dalam Somantri, 2007).
Anak tunagrahita adalah anak yang mengalami keterbelakangan
kecerdasan dan kekurangmatangan aspek mental lainnya dan sosialnya
sedemikian rupa, yang terjadi selama masa perkembangan, sehingga untuk
mencapai perkembangan yang optimal diperlukan pelayanan dan
pengajaran dengan program khusu (dalam Hidayat dkk, 2006).
Klasifikasi tunagrahita atau retardasi mental dalam DSM-IV-TR
terdapat empat level. Berikut ini merupakan ringkasan karakteristik masing-
masing level tunagrahita atau retardasi mental dalam DSM-IV-TR (dalam
Gerald dkk, 2014):
1. Ringan (IQ 50-55 hingga 70)
Sekitar 85 persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70
diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental atau tunagrahita
ringan. Mereka tidak selalu dapat dibedakan dari anak-anak
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
29
normal sebelum mulai bersekolah. Di usia remaja akhir biasanya
mereka dapat mempelajari keterampilan akademik yang kurang
lebih sama dengan level kelas 6. Ketika dewasa mereka mampu
melakukan pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan atau
di balai karya di rumah penampungan, meskipun mereka mungkin
membutuhkan bantuan dalam masalah sosial dan keuangan.
Mereka bisa menikah dan mempunyai anak.
2. Sedang (IQ 35-40 hingga 50-55).
Sekitar 10 persen dari mereka yang memiliki IQ kurang dari 70
diklasifikasikan dalam kelompok retardasi mental atau tunagrahita
sedang. Kerusakan otak dan patologi lain sering terjadi. Orang-
orang yang mengalami retardasi mental sedang dapat memiliki
kelemahan fisik dan disfungsi neurologis yang menghambat
keterampilan motorik yang normal, seperti memegang dan
mewarnai di dalam garis, dan keterampilan motorik kasar, seperti
berlari dan memanjat. Mereka mampu, dengan banyak bimbingan
dan latihan, bepergian sendiri di daerah lokal yang tidak asing bagi
mereka. Banyak yang tinggal di institusi penampungan, namun
sebagian besar hidup bergantung bersama keluarga atau dalam
rumah-rumah bersama yang disupervisi.
3. Berat (IQ 20-25 hingga 35-40)
Di antara mereka yang memiliki IQ kurang dari 70, sekitar 3
hingga 4 persen masuk dalam kelompok retardasi mental parah.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
30
Orang-orang tersebut umumnya memiliki abnormalitas fisik sejak
lahir dan keterbatasan dalam pengendalian sensori motor.
Sebagian besar dimasukkan dalam institusi penampungan dan
membutuhkan bantuan dan supervisi terus menerus. Orang
dewasa yang mengalami retardasi mental parah dapat berperilaku
ramah, namunbiasanya hanya dapat berkomunikasi secara singkat
di level yang sangat konkret. Mereka hanya dapat melakukan
sedikit kativitas secara mandiri dan sering kali terlihat lesu karena
kerusakan otak mereka yang parah yang menjadikan mereka
relatif pasif dan kondisi kehidupan mereka hanya memberikan
sedikit stimulasi. Mereka mampu melakukan pekerjaan yang
sangat sederhana.
4. Sangat Berat (IQ di bawah 20-25)
Hanya 1 hingga 2 persen dari mereka yang mengalami retardasi
mental yang masuk dalam kelompok retardasi mental sangat berat,
yang membutuhkan supervisi total dan seringkali harus diasuh
sepanjang hidup mereka. Sebagian besar memiliki abnormalitas
fisik berat serta kerusakan neurologis dan tidak dapat berjalan
sendiri ke mana pun. Tingkat kematian di masa kanak-kanak pada
orang-orang yang mengalami retardasi mental sangat berat sangat
tinggi.
Tunagrahita atau terbelakang mental merupakan kondisi di mana
perkembangan kecerdasannya mengalami hambatan sehingga tidak
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
31
mencapai tahap perkembangan yang optimal. Ada beberapa karakteristik
umum tunagrahita sebagai berikut (dalam Somantri, 2007):
1. Keterbatasan Inteligensi
Inteligensi merupakan fungsi yang kompleks yang dapat diartikan
sebagai kemampuan untuk mempelajari informasi dan
keterampilan-keterampilan menyesuaikan diri dengan masalah-
masalah dan situasi-situasi kehidupan baru, belajar dari
pengalaman masa lalu, berpikir abstrak, kreatif, dapat menilai
secara kritis, menghindari kesalahan-kesalahan, mengatasi
kesulitan-kesulitan, dan kemampuan untuk merencanakan masa
depan. Anak tunagrahita terutama yang bersifat abstrak seperti
belajar dan berhitung, menulis dan membaca juga terbatas.
Kemampuan belajarnya cenderung tanpa pengertian atau
cenderung belajar dengan membeo.
2. Keterbatasan Sosial
Disamping memiliki keterbatasan inteligensi, anak tunagrahita
juga memiliki kesulitan dalam mengurus diri sendiri dalam
masyarakat, oleh karena itu mereka memerlukan bantuan. Anak
tunagrahita cenderung berteman baik dengan anak yang lebih
muda usianya, ketergantungan terhadap orangtua sangat besar,
tidak mampu memikul tanggung jawab sosial dengan bijaksana,
sehingga mereka harus selalu dibimbing dan diawasi. Mereka juga
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
32
mudah dipengaruhi dan cenderung melakukan sesuatu tanpa
memikirkan akibatnya.
3. Keterbatasan Fungsi-fungsi Mental Lainnya
Anak tunagrahita memerlukan waktu lebih lama untuk
menyelesaikan reaksi pada situasi yang baru dikenalnya. Mereka
memperlihatkan reaksi terbaiknya bila mengikuti hal-hal yang
rutin dan secara konsisten dialaminya dari hari ke hari.
Anak tunagrahita memiliki keterbatasan dalam penguasaan
bahasa. Mereka bukannya mengalami kerusakan artikulasi, akan
tetapi pusat pengolahan (perbendaharaan kata) yang kurang
berfungsi sebagaimana mestinya. Karena alasan itu mereka
membutuhkan kata-kata konkret yang sering didengarnya. Selain
itu perbedaan dan persamaan harus ditunjukkan secara berulang-
ulang. Latihan-latihan sederhana seperti mengajarkan konsep
besar dan kecil, keras dan lemah, pertama, kedua, dan terakhir,
perlu menggunakan pendekatan konkret (dalam Somantri, 2007).
Selain itu, anak tunagrahita kurang mampu
mempertimbangkan sesuatu, membedakan antara baik dan buruk,
benar dan salah. Ini semua karena kemampuannya terbatas
sehingga anak tunagrahita tidak dapat membayangkan terlebih
dahulu konsekuensi dari suatu perbuatan (dalam Somantri, 2007).
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
33
C. Ibu Yang Memiliki Anak Tunagrahita
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, disebutkan bahwa ibu adalah
sebutan untuk perempuan yang telah melahirkan seseorang (Tim Penyusun,
2008). Wikipedia (2015) mengartikan ibu sebagai orangtua perempuan
seorang anak, baik melalui hubungan biologis maupun sosial. Umumnya,
ibu memiliki peranan yang sangat penting dalam membesarkan anak, dan
panggilan ibu dapat diberikan untuk perempuan yang bukan orangtua
kandung (biologis) dari seseorang yang mengisi peranan ini. Contohnya
adalah pada orangtua angkat (karena adopsi) atau ibu tiri (isteri ayah
biologis anak). Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ibu adalah
seorang wanita yang melahirkan, merawat, dan mengasuh anaknya.
Kartono (1992) mengungkapkan kata keibuan bersangkutan dengan
relasi ibu dengan anaknya, sebagai kesatuan fisiologis, psikis, dan sosial.
Relasi tersebut dimulai sejak janin berada dalam kandungan ibunya, dan
dilanjutkan dengan proses-proses fisiologis berupa masa hamil, kelahiran,
periode menyusui, dan memelihara anak. Syafei (2002) juga
mengungkapkan bahwa kehadiran seorang ibu sangat penting dan strategis
bagi anak, terutama pada masa awal bagi kepentingan pertumbuhan,
perkembangan, dan kedewasaan anak. Keutamaan tersebut jelas tidak bisa
digantikan oleh orang lain. Kartono (1992) menjelaskan pengalaman-
pengalaman sebagai seorang ibu menumbuhkan tugas-tugas kewajiban serta
reaksi-reaksi emosional yang khas, baik yang bersifat positif (misalnya,
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
34
kebahgaiaan), maupun yang bersifat negatif (misalnya kecemasan dan
ketakutan).
Kartono (2007) mengemukakan bahwa seorang ibu memiliki peran
sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Ibu sebagai pendidik bagi anak-
anaknya dapat terpenuhi dengan baik apabila ibu mampu menciptakan iklim
psikis yang gembira-bahagia dan bebas; sehingga suasana rumah tangga
menjadi semarak, dan bisa memberikan rasa aman, bebas, hangat,
menyenangkan, serta penuh kasih-sayang. Dengan begitu anak-anak dan
suami akan betah tinggal di rumah. Iklim psikologis penuh kasih-sayang,
kesabaran, ketenangan, dan kehangatan itu memberikan semacam vitamin
psikologis yang merangsang pertumbuhan anak-anak menuju kedewasaan.
Gesell (dalam Crain, 2007) mengutarakan bahwa orangtua, termasuk
ibu, memerlukan sejumlah pengetahuan teoritis tentang kecenderungan dan
urutan perkembangan anak. Secara khusus mereka perlu menyadari bahwa
perkembangan berfluktuasi antara periode kestabilan dan ketidakstabilan.
Pengetahuan ini akan membantu orangtua menjadi sadar dan paham.
Sebagai contoh, orangtua akan terbantu oleh pengetahuan bahwa anak
mereka dua setengah tahun harus melewati periode-periode sulit yang bisa
membuatnya jadi sangat bandel. Dengan mengetahui hal ini, orangtua tidak
akan merasa berat hati untuk mengendalikan tingkah lakunya sebelum
terlambat. Selain itu, orangtua akan mampu menghadapi anak-anak dengan
lebih fleksibel, dan mungkin lebih menikmati masa-masa kebersamaan
dengan mereka yang gigih berusaha membangun dasar kemandiriannya.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
35
Orangtua dengan anak tunagrahita khususnya ibu akan mengalami
banyak permasalahan dalam praktek pengasuhannya. Kelahiran bayi
dengan kelainan tertentu juga akan memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap keluarga dan dalam berinteraksi satu sama lain. Membuat ibu
mengalami trauma paling hebat dalam merespon kondisi yang diciptakan
dengan kehadiran anak cacat. Ibu yang memiliki sikap yang sehat dalam
mengasuh dan merawat anak tungrahita dapat memberikan pengaruh yang
baik dalam praktek pengasuhan.
Orangtua yang memiliki anak tunagrahita memiliki beban berat dalam
mengurus anak, karena anak tunagrahita memiliki kelemahan-kelemahan
tersendiri dan harus mendapat perhatian lebih yang berbeda dengan anak
normal lainnya. Selain itu, beban lain yang dirasakan orang tua yang
memiliki anak tunagrahita biasanya berasal dari lingkungan sosial. “Orang
awam” yang tidak memiliki pengetahuan mengenai anak tunagrahita akan
memandang anak tunagrahita sebagai anak yang tidak normal dan acap kali
disepelekan. Penilaian-penilaian dari lingkungan ini akan mempengaruhi
kejiwaan orang tua anak tersebut (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010).
Amin dan Dwidjosumarto (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010)
mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak tunagrahita biasanya
merasa tidak bahagia mempunyai anak yang berkelainan, bahkan tidak
sedikit orangtua merasa malu mempunyai anak berkelainan, sehingga ada
sementara orangtua yang justru menyembunyikan anak supaya tidak
menjadi perhatian orang lain.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
36
D. Kerangka Berpikir
Ketika seorang ibu sedang mengandung, tentunya mengharapkan
anak yang ada dalam kandungannya lahir dengan sehat dan sempurna.
Biasanya sejak anak masih dalam kandungan para orang tua mencoba
membayangkan dan menggambarkan anaknya secara fisik dan mulai
merencanakan apa yang dapat mereka lakukan untuk memberikan yang
terbaik bagi anak mereka. Namun pada kenyataannya, tidak semua anak
yang lahir sesuai dengan harapan dan impian orang tuanya. Tidak semua
anak lahir dengan kondisi yang sehat dan sempurna, beberapa dari mereka
terlahir dengan memiliki keterbatasan atau ketidak-mampuan, baik fisik
maupun psikis. Para anak berkebutuhan khusus mungkin saja mengalami
gangguan atau ketunaan seperti, gangguan fisik/tuna-daksa, emosional atau
perilaku, penglihatan/tuna-netra, komunikasi, pendengaran/tunarungu,
kesulitan belajar/tunalaras, atau mengalami retardasi mental/tunagrahita
(dalam Levianti, 2013).
Ketika sang anak didiagnosis mengalami ketunaan seperti tunagrahita,
maka seketika seorang ibu akan merasa sangat sedih, marah, shock, kecewa,
bahkan menolak (dalam Cahyani, 2015). Orangtua yang memiliki anak
tunagrahita memiliki beban berat dalam mengurus anak, karena anak
tunagrahita memiliki kelemahan-kelemahan tersendiri dan harus mendapat
perhatian lebih yang berbeda dengan anak normal lainnya. Selain itu, beban
lain yang dirasakan orang tua yang memiliki anak tunagrahita biasanya
berasal dari lingkungan sosial. Orang-orang yang tidak memiliki
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
37
pengetahuan mengenai anak tunagrahita akan memandang anak tunagrahita
sebagai anak yang tidak normal dan acap kali disepelekan. Penilaian-
penilaian dari lingkungan ini akan mempengaruhi kejiwaan orang tua anak
tersebut (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010).
Tekanan psikologis yang dihadapi oleh ibu yang memiliki anak
tunagrahita sangatlah berat. Seorang ibu harus mencurahkan segala
perhatian dan kemampuannya untuk mengasuh anaknya. Ketika seorang ibu
yang memiliki anak tunagrahita, mereka harus mengurangi segala
kegiatannya demi mengasuh sang anak. Harus mampu mengendalikan
dirinya secara emosi karena keadaan sang anak yang tidak bisa disamakan
dengan anak normal lainnya.
Seorang ibu dengan anak tunagrahita harus memiliki kesabaran dan
tidak bisa memkasakan keinginannya terhadap sang anak. Perasaan putus
asa sering mereka rasakan ketika harus memikirkan masa depan anaknya.
Rasa marah harus mereka kendalikan ketika sang anak yang sangat susah
untuk di atur dan didisiplinkan.
Amin dan Dwidjosumarto (dalam Listiyaningsih & Dewayani, 2010)
mengemukakan bahwa orangtua yang memiliki anak tunagrahita biasanya
merasa tidak bahagia mempunyai anak yang berkelainan, bahkan tidak
sedikit orang tua merasa malu mempunyai anak berkelainan, sehingga ada
sementara orang tua yang justru menyembunyikan anak supaya tidak
menjadi perhatian orang lain. ada sementara orang tua yang justru
menyembunyikan anak supaya tidak menjadi perhatian orang lain.
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017
38
Dari uraian di atas maka dapat dibuat kerangka pemikiran sebagai
berikut:
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Ibu yang memiliki anak tunagrahita
Kondisi Psikiologis:
- Anak membutuhkan pengawasan penuh
bahkan tidak bisa ditinggal sekedar
mengerjakan pekerjaan.
- Marah dan sedih ketika anak susah diatur,
harus perlahan dan berkali-kali
memberitahukan segala hal terhadap
anaknya.
- Tidak bisa diperlakukan secara normal
ketika akan marah walaupun sudah berkali-
kali tidak dapat mengerti, terkadang harus
menahannya dan membuat sesak dadanya
karena merasa sia-sia memarahi anaknya.
- Anak menghadapi bulliying dari
lingkungan
- Kekhawatiran akan masa depan
Individu yang resilien
Faktor-faktor yang
mempengaruhi
resiliensi:
a. Faktor individual
b. Faktor keluarga
c. Faktor masyarakat
sekitar
Aspek-aspek resiliensi:
a. Regulasi emosi
b. Pengendalian impuls
c. Optimisme
d. Kemampuan Analisis
masalah
e. Empati
f. Efikasi diri
g. Pencapaian
Studi Deskriptif Kualitatif..., Titin Purnawati, Fakultas Psikologi, UMP, 2017