bab ii kajian teori a. kurikulum 2013 (k-13) smp/mts

27
BAB II KAJIAN TEORI A. Kurikulum 2013 (K-13) SMP/MTs Tujuan pendidikan nasional yang terkandung dalam Undang- Undang Republik Indonesia nomor tahun 2003 (2013) disebutkan bahwa: Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawabBerpijak dari tujuan tersebut selanjutnya dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional disebutkan pula: “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Sesuai dengan perkembangan jaman di setiap periode, kurikulum selalu mengalami perubahan dalam rangka penyempurnaan dan penyesuaian. Oleh karena itu kurikulum di Indonesia beberapa kali mengalami perubahan dan pergantian. Tahun 1947 kurikulum yang dipakai adalah dengan sebutan Rencana Pelajaran atau Leer Plan meskipun masih terpengaruh oleh politik penjajah tetapi berlangsung hingga tahun 1952. Mulai tahun

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Kurikulum 2013 (K-13) SMP/MTs

Tujuan pendidikan nasional yang terkandung dalam Undang-

Undang Republik Indonesia nomor tahun 2003 (2013) disebutkan

bahwa:

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan

kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang

bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar

menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,

mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta

bertanggung jawab”

Berpijak dari tujuan tersebut selanjutnya dalam Undang-Undang

Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan

Nasional disebutkan pula: “kurikulum adalah seperangkat rencana

dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara

yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan

pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”. Sesuai

dengan perkembangan jaman di setiap periode, kurikulum selalu

mengalami perubahan dalam rangka penyempurnaan dan

penyesuaian. Oleh karena itu kurikulum di Indonesia beberapa kali

mengalami perubahan dan pergantian.

Tahun 1947 kurikulum yang dipakai adalah dengan sebutan

Rencana Pelajaran atau Leer Plan meskipun masih terpengaruh oleh

politik penjajah tetapi berlangsung hingga tahun 1952. Mulai tahun

1952 pula kurikulum yang diberlakukan adalah kurikulum Rencana

Pelajaran Terurai yang artinya mengutamakan silabus yang terurai

di setiap mata pelajaran. Hamalik dalam Simanjuntak (2013)

menyebutkan bahwa tahun 1964, kurikulum Rentjana Pendidikan

dengan penekanan pada pengembangan moral, kecerdasan,

emosional/ artistik, keprigelan dan jasmani atau Pancawardhana.

Tahun 1968-1975 digunakan Kurikulum 1968 sebagai

penyempurnaan dari kurikulum sebelumnya dengan mengutamakan

pembinaan jiwa Pancasila. Tahun 1975 Kurikulum 1975 dengan

nama PSSI atau Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional.

Kurikulum 1984 menggantikan kurikulum 1975 dengan penekanan

Skill Approach (Pendekatan Keahlian) dan model CBSA atau Cara

Belajar Siswa Aktif atau Student Active Learning (SAL). Tahun

1994 dan 1999 dengan nama Kurikulum 1994 dan Suplemen

Kurikulum 1999 dengan adanya perpaduan antara kurikulum

sebelumnya dengan materi penonjolan pada muatan lokal

disesuaikan dengan daerah masing-masing. Tahun 2004, dengan

nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dengan berlandaskan

kompetensi/kemampuan yang harus dicapai siswa. Tahun 2006

dikenal dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)

hingga sekarang masih berlaku seiring munculnya Kurikulum 2013

yang diberlakukan bagi sekolah-sekolah piloting.

Jika dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya yakni

kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) maka Kurikulum 2013

mengalami perubahan di beberapa elemen yaitu: (1) elemen

kompetensi lulusan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan

keterampilan secara berimbang; (2) elemen materi/ isi yaitu adanya

keseimbangan antara materi untuk mendukung kemampuan sikap,

keterampilan, dan pengetahuan dan semua konten mendukung

ketiga kompetisi diatas secara berimbang; (3) pendekatan untuk IPS

dan IPA adalah pembelajaran terpadu; (4) proses pembelajaran yang

semula terfokus pada eksplorasi, elaborasi, dan konfirmasi

dilengkapi dengan mengamati, menanya, mengolah, menalar,

menyajikan, dan mencipta yang dikenal dengan pendekatan

saintifik; belajar tidak hanya terjadi diruang kelas, tetapi juga di

lingkungan sekolah dan masyarakat, guru bukan satu-satunya

sumber belajar, sikap tidak hanya diajarkan secara verbal, tetapi

melalui contoh dan teladan; (5) penilaian hasil belajar penilaian

berbasis kompetensi, pergeseran dari penilaian melalui tes

(mengukur kompetensi pengetahuan berdasarkan hasil saja) menuju

penilaian otentik (mengukur kompetensi sikap, keterampilan, dan

pengetahuan berdasarkan proses dan hasil), penilaian tidak hanya

level KD, tetapi juga kompetensi inti dan SKL, mendorong

pemanfaatan portofolio yang dibuat siswa sebagai instrumen utama

penilaian dan penilaian mandiri oleh siswa.

Organisasi kompetensi, tujuan satuan Pendidikan, dan struktur

kurikulum merupakan komponen yang sangat penting dalam

kurikulum 2013. Organisasi Kompetensi Mata pelajaran adalah unit

organisasi terkecil dari Kompetensi Dasar. Untuk kurikulum

SMP/MTs, organisasi Kompetensi Dasar dilakukan dengan cara

mempertimbangkan keterkaitan antarkelas dan keharmonisan

antarmata pelajaran yang diikat dengan Kompetensi Inti.

Berdasarkan pendekatan ini maka terjadi re-organisasi Kompetensi

Dasar mata pelajaran sehingga Struktur Kurikulum SMP/MTs

menjadi lebih sederhana karena jumlah mata pelajaran dan jumlah

materi berkurang. Substansi muatan lokal termasuk bahasa daerah

diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Seni Budaya. Substansi

muatan lokal yang berkenaan dengan olahraga serta permainan

daerah diintegrasikan ke dalam mata pelajaran Pendidikan Jasmani,

Olahraga, dan Kesehatan. Sedangkan Prakarya merupakan mata

pelajaran yang berdiri sendiri.

Tujuan Satuan Pendidikan Penyelenggaraan pendidikan dasar

dan menengah sebagaimana yang dinyatakan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan

Penyelenggaraan Pendidikan bertujuan membangun landasan bagi

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang:

a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak

mulia, dan berkepribadian luhur;

b. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;

c. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan

d. toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung jawab.

Struktur kurikulum dan beban belajar juga merupakan

komponen yang terdapat dalam kurikulum 2013 (Kemendikbud,

2013). Struktur kurikulum menggambarkan konseptualisasi konten

kurikulum dalam bentuk mata pelajaran, posisi konten/mata

pelajaran dalam kurikulum, dostribusi konten/mata pelajaran dalam

semester atau tahun, beban belajar untuk mata pelajaran dan beban

belajar per minggu untuk setiap siswa. Struktur kurikulum adalah

juga merupakan aplikasi konsep pengorganisasian konten dalam

4ember belajar dan pengorganisasian beban belajar dalam 4ember

pembelajaran. Pengorganisasian konten dalam 4ember belajar yang

digunakan untuk kurikulum yang akan datang adalah 4ember

semester sedangkan pengorganisasian beban belajar dalam 4ember

pembelajaran berdasarkan jam pelajaran per semester. Struktur

kurikulum juga gambaran mengenai penerapan prinsip kurikulum

mengenai posisi seorang siswa dalam menyelesaikan pembelajaran

di suatu satuan atau jenjang pendidikan. Dalam struktur kurikulum

menggambarkan ide kurikulum mengenai posisi belajar seorang

siswa yaitu apakah mereka harus menyelesaikan seluruh mata

pelajaran yang tercantum dalam struktur ataukah kurikulum 5ember

kesempatan kepada siswa untuk menentukan berbagai pilihan.

Struktur Kurikulum SMP/MTs dapat dilihat pada gambar 2.1

berikut (Kemendikbud, 2013).

Gambar 2.1. Struktur Kurikulum SMP/MTs (Kemendikbud, 2013)

Keterangan:

a. Mata pelajaran Seni Budaya dapat memuat Bahasa Daerah.

b. Selain kegiatan intrakurikuler seperti yang tercantum di dalam

struktur kurikulum diatas, terdapat pula kegiatan ekstrakurikuler

Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah antara lain

Pramuka (Wajib), Usaha Kesehatan Sekolah, dan Palang Merah

Remaja.

c. Kegiatan ekstra kurikuler seperti Pramuka (terutama), Unit

Kesehatan Sekolah, Palang Merah Remaja, dan yang lainnya

adalah dalam rangka mendukung pembentukan kompetensi

sikap sosial peserta didik, terutamanya adalah sikap peduli.

Disamping itu juga dapat dipergunakan sebagai wadah dalam

penguatan pembelajaran berbasis pengamatan maupun dalam

usaha memperkuat kompetensi keterampilannya dalam ranah

konkrit. Dengan demikian kegiatan ekstra kurikuler ini dapat

dirancang sebagai pendukung kegiatan kurikuler.

d. Mata pelajaran Kelompok A adalah kelompok mata pelajaran

yang kontennya dikembangkan oleh pusat. Mata pelajaran

Kelompok B yang terdiri atas mata pelajaran Seni Budaya dan

Prakarya serta Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan

adalah kelompok mata pelajaran yang kontennya dikembangkan

oleh pusat dan dilengkapi dengan konten lokal yang

dikembangkan oleh pemerintah daerah.

e. Bahasa Daerah sebagai muatan lokal dapat diajarkan secara

terintegrasi dengan mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya

atau diajarkan secara terpisah apabila daerah merasa perlu untuk

memisahkannya. Satuan pendidikan dapat menambah jam

pelajaran per minggu sesuai dengan kebutuhan satuan

pendidikan tersebut.

f. Sebagai pembelajaran tematik terpadu, angka jumlah jam

pelajaran per minggu untuk tiap mata pelajaran adalah relatif.

Guru dapat menyesuaikannya sesuai kebutuhan peserta didik

dalam pencapaian kompetensi yang diharapkan.

g. Jumlah alokasi waktu jam pembelajaran setiap kelas merupakan

jumlah minimal yang dapat ditambah sesuai dengan kebutuhan

peserta didik.

h. Khusus untuk matapelajaran Pendidikan Agama di Madrasah

Tsanawiyah dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang

ditetapkan oleh Kementerian Agama (Kemendikbud, 2013).

B. Pendekatan Saintifik

Pendekatan saintifik merupakan kerangka ilmiah pembelajaran yang

diusung oleh Kurikulum 2013. Langkah-langkah pada pendekatan

saintifik merupakan bentuk adaptasi dari langkah-langkah ilmiah

pada sains. Proses pembelajaran dapat dipadankan dengan suatu

proses ilmiah, karenanya Kurikulum 2013 mengamanatkan esensi

pendekatan saintifik dalam pembelajaran. Pendekatan saintifik

diyakini sebagai titian emas perkembangan dan pengembangan

sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik. Dalam

pendekatan atau proses kerja yang memenuhi kriteria ilmiah, para

ilmuan lebih mengedepankan penalaran induktif (inductive

reasoning) dibandingkan dengan penalaran deduktif (deductive

reasoning). Penalaran deduktif melihat fenomena umum untuk

kemudian menarik simpulan yang spesifik. Sebaliknya, penalaran

induktif memandang fenomena atau situasi spesifik untuk kemudian

menarik simpulan secara keseluruhan. Sejatinya, penalaran induktif

menempatkan bukti-bukti spesifik ke dalam relasi ide yang lebih

luas. Metode ilmiah umumnya menempatkan fenomena unik

dengan kajian spesifik dan detail untuk kemudian merumuskan

simpulan umum. Metode ilmiah merujuk pada teknik-teknik

investigasi atas suatu atau beberapa fenomena atau gejala,

memperoleh pengetahuan baru, atau mengoreksi dan memadukan

pengetahuan sebelumnya. Untuk dapat disebut ilmiah, metode

pencarian (method of inquiry) harus berbasis pada bukti-bukti dari

objek yang dapat diobservasi, empiris, dan terukur dengan prinsip-

prinsip penalaran yang spesifik. Metode ilmiah pada umumnya

memuat serangkaian aktivitas pengumpulan data melalui observasi

atau ekperimen, mengolah informasi atau data, menganalisis,

kemudian memformulasi, dan menguji hipotesis. Pembelajaran

dengan pendekatan saintifik terkenal dengan lima langkah yakni

mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengolah

informasi, dan mengkomunikasikan. Mengamati merupakan

metode yang mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran

(meaningfull learning). Kegiatan belajar yang dilakukan dalam

proses mengamati adalah membaca, mendengar, menyimak, melihat

(tanpa atau dengan alat). Kompetensi yang dikembangkan adalah

melatih kesungguhan, ketelitian, mencari informasi.

Menanya merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan

dengan cara mengajukan pertanyaan tentang informasi yang tidak

dipahami dari apa yang diamati atau pertanyaan untuk mendapatkan

informasi tambahan tentang apa yang diamati (dimulai dari

pertanyaan faktual sampai ke pertanyaan yang bersifat hipotetik).

Kompetensi yang dikembangkan adalah mengembangkan

kreativitas, rasa ingin tahu, kemampuan merumuskan pertanyaan

untuk membentuk pikiran kritis yang perlu untuk hidup cerdas dan

belajar sepanjang hayat. Mengumpulkan informasi/eksperimen

merupakan kegiatan pembelajaran yang berupa eksperimen,

membaca sumber lain selain buku teks, mengamati

objek/kejadian/aktivitas, dan wawancara dengan narasumber.

Kompetensi yang dikembangkan dalam proses mengumpulkan

informasi/ eksperimen adalah mengembangkan sikap teliti, jujur,

sopan, menghargai pendapat orang lain, kemampuan

berkomunikasi, menerapkan kemampuan mengumpulkan informasi

melalui berbagai cara yang dipelajari, mengembangkan kebiasaan

belajar dan belajar sepanjang hayat. Mengasosiasikan/ mengolah

informasi merupakan kegiatan pembelajaran yang berupa

pengolahan informasi yang sudah dikumpulkan baik terbatas dari

hasil kegiatan mengumpulkan/eksperimen maupun hasil dari

kegiatan mengamati dan kegiatan mengumpulkan informasi.

Kompetensi yang dikembangkan dalam proses

mengasosiasi/mengolah informasi adalah mengembangkan sikap

jujur, teliti, disiplin, taat aturan, kerja keras, kemampuan

menerapkan prosedur dan kemampuan berpikir induktif serta

deduktif dalam menyimpulkan. Mengkomunikasikan merupakan

kegiatan pembelajaran yang berupa menyampaikan hasil

pengamatan, kesimpulan berdasarkan hasil analisis secara lisan,

tertulis, atau media lainnya. Kompetesi yang dikembangkan dalam

tahapan mengkomunikasikan adalah mengembangkan sikap jujur,

teliti, toleransi, kemampuan berpikir sistematis, mengungkapkan

pendapat dengan singkat dan jelas, dan mengembangkan

kemampuan berbahasa yang baik dan benar.

C. Pembelajaran Matematika dalam Kurikulum 2013

Menurut Retnawati (2015), secara teoretis pembelajaran

matematika pada Kurikulum 2013 sejalan dengan pembelajaran

matematika yang ditetapkan National Council of Teachers of

Matematics (NCTM). Pembelajaran matematika yang sesuai dengan

apa yang ditetapkan oleh National Council of Teachers of

Matematics (2000) mengharuskan peserta didik mempelajari

matematika melalui pemahaman dan aktif membangun pengetahuan

baru dari pengalaman dan pengetahuan yang telah dimiliki

sebelumnya. Lebih lanjut lagi menurut NCTM terdapat lima standar

proses dalam pembelajaran matematika, yaitu: (1) belajar untuk

memecahkan suatu permasalahan; (2) belajar untuk bernalar dan

mencari pembuktian; (3) belajar untuk berkomunikasi; (4) belajar

untuk mengaitkan ide; dan (5) belajar untuk mempresentasikan.

Dalam kurikulum 2013, aspek yang dikembangkan dalam

pendidikan terdiri dari aspek sikap, pengetahuan, dan keterampilan.

Pendidikan sesuai dengan Kurikulum 2013 tidak cukup hanya

dengan memantapkan pengetahuan dan keterampilan saja, namun

juga aspek sikap. Menurut Udi dan Cheng (2015) dalam

pembelajaran matematika itu sendiri, keterampilan yang dilihat

adalah keterampilan berfikir tingkat tinggi yang secara langsung

berpengaruh pada kemampuan siswa dalam berfikir kritis.

Menurut Becmann (2009), Scientific Mathematic merupakan

proyek Eropa yang melibatkkan kerjasama interdisiplinary antara

matematika dan ilmu pengetahuan. Hal ini bertujuan untuk

mengembangkan pembelajaran ke arah belajar yang komprehensif

dan multidimensional mengenai isi dan konsep matematika. Ide

dasarnya adalah untuk mendorong pembelajaran matematika dalam

konteks ilmiah dan kegiatan siswa. Pendekatan ini mengaitkan

antara matematika dengan ilmu pengetahuan, sehingga siswa akan

mempelajari matematika dengan cara yang menarik. Belajar dengan

berkegiatan akan berkontribusi terhadap pemahaman intuitif

matematika siswa. Dengan kata lain, belajar matematika yang baik

adalah mengalami atau berkegiatan.

Tahap-tahap pendekatan saintifik pada pembelajaran

matematika yaitu 1) pengumpulan data dari percobaan; 2)

pengembangan dan penyelidikan suatu model matematika dalam

bentuk representasi yang berbeda; 3) refleksi. Tahap-tahap tersebut

kemudian diterapkan pada kurikulum 2013 di Indonesia dan

dijabarkan menjadi lima, yaitu mengamati, menanya, menalar,

mencoba, dan mengkomunikasikan (Kemendikbud, 2013).

Kemudian kelima tahapan ini diterapkan pada proses pembelajaran

semua mata pelajaran termasuk didalamnya pada proses

pembelajaran matematika dasar dan menengah.

Berdasarkan pemaparan tentang matematika dalam kurikulum

2013, dapat disimpulkan beberapa hal. Dalam pembelajaran

matematika kurikulum 2013 peserta didik diharapkan aktif dan

dituntut untuk dapat berpikir kritis membangun ide dari konsep

matematika yang telah didapatkan sebelumnya. Oleh karena itu

guru mata pelajaran matematika juga dituntut untuk dapat

memfasilitasi siswa untuk termotivasi dalam berpikir kritis dan

aktif, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih bermakna.

D. Standar Kompetensi Lulusan, Isi, Proses dan Penilaian

Pelaksanaan implementasi kurikulum 2013 tidak akan dapat

berjalan dengan baik apabila tidak ada rambu-rambu dalam

pelaksanaannya. Rambu-rambu yang dimaksud adalah standar yang

dipakai dalam implementasi kurikulum 2013. Dalam pelaksanaan

pendidikan dan kurikulum 2013 di Indonesia ada delapan standar

penting yang menjadi patokan yaitu 1) Standar Kompetensi

Lulusan; 2) Standar Isi; 3) Standar Proses; 4) Standar Penilaian

Pendidikan; 5) Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan; 6)

Standar Sarana dan Prasarana; 7) Standar Pengelolaan; 8) Standar

Pembiayaan. Empat standar diantaranya adalah sangat penting

dalam implementasi kurikulum 2013, yaitu standar kompetensi

lulusan, standar isi, standar proses, dan standar penilaian

pendidikan.

Standar kompetensi lulusan adalah kriteria mengenai kualifikasi

kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan

keterampilan. Standar Kompetensi Lulusan digunakan sebagai

acuan utama pengembangan standar isi, standar proses, standar

penilaian pendidikan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,

standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, dan standar

pembiayaan (Kemendikbud, 2013). Selanjutnya berdasarkan

peraturan dari kemendikbud (2013), ruang lingkup materi dan

tingkat kompetensi peserta didik yang harus dipenuhi atau dicapai

pada suatu satuan pendidikan dalam jenjang dan jenis pendidikan

tertentu dirumuskan dalam Standar Isi untuk setiap mata pelajaran.

Sehingga materi dan target yang harus dipenuhi pada setiap jenjang

pendidikan dan mata pelajaran menjadi jelas.

Standar Proses adalah kriteria mengenai pelaksanaan

pembelajaran pada satuan pendidikan untuk mencapai Standar

Kompetensi Lulusan. Standar Proses dikembangkan mengacu pada

Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi yang telah ditetapkan

sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19

Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan sebagaimana

telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013

tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun

2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Proses Pembelajaran

pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif,

menyenangkan, menantang, memotivasi pesertadidik untuk

berpartisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi

prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat,

dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Untuk itu

setiap satuan pendidikan melakukan perencanaan pembelajaran,

pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses

pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas

ketercapaian kompetensi lulusan.

Standar yang tidak kalah pentingnya dalam proses pembelajaran

kurikulum 2013 adalah standar penilaian pendidikan. Standar

penilaian pendidikan diatur dalam Peraturan Kementerian dan

Kebudayaan nomor 23 tahun 2016. Dalam standar penilaian

pendidikan ada ketentuan umum yang perlu diperhatikan oleh

penyelenggara pendidikan semua jenjang dan satuan pendidikan,

sebagai berikut :

1. Standar Penilaian Pendidikan adalah kriteria mengenai lingkup,

tujuan, manfaat, prinsip, mekanisme, prosedur, dan instrumen

penilaian hasil belajar peserta didik yang digunakan sebagai

dasar dalam penilaian hasil belajar peserta didik pada

pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

2. Penilaian adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi

untuk mengukur pencapaian hasil belajar peserta didik.

3. Pembelajaran adalah proses interaksi antar peserta didik, antara

peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu

lingkungan belajar.

4. Ulangan adalah proses yang dilakukan untuk mengukur

pencapaian Kompetensi Peserta Didik secara berkelanjutan

dalam proses Pembelajaran untuk memantau kemajuan dan

perbaikan hasil belajar Peserta Didik.

5. Ujian sekolah/madrasah adalah kegiatan yang dilakukan untuk

mengukur pencapaian kompetensi peserta didik sebagai

pengakuan prestasi belajar dan/atau penyelesaian dari suatu

satuan pendidikan.

6. Kriteria Ketuntasan Minimal yang selanjutnya disebut KKM

adalah kriteria ketuntasan belajar yang ditentukan oleh satuan

pendidikan yang mengacu pada standar kompetensi kelulusan,

dengan mempertimbangkan karakteristik peserta didik,

karakteristik mata pelajaran, dan kondisi satuan pendidikan.

E. Jenis-Jenis Evaluasi

Evaluasi merupakan proses yang menentukan kondisi dimana

suatu tujuan telah dicapai (Sukardi, 2008). Menurut Thoha (2003)

Evaluasi merupakan kegiatan yang terencana untuk mengikuti

keadaan sesuatu objek dengan menggunakan instrumen dan

hasilnya dibandingkan dengan tolak ukur untuk memperoleh

kesimpulan. Evaluasi pendidikan mencakup dua sasaran pokok

yaitu evaluasi makro (program) dan evaluasi mikro (kelas). Secara

umum, evaluasi terbagi dalam tiga tahap sesuai proses belajar

mengajar yakni dimulai dari evaluasi input, evaluasi proses dan

evaluasi output (Arikunto, 1993). Evaluasi input mencakup fungsi

kesiapan penempatan dan seleksi. Evaluasi proses mencakup

formatif diagnostic dan monitoring, sedangkan evaluasi output

mencakup sumatif. Evaluasi program adalah proses untuk

mendeskripsikan dan menilai suatu program dengan menggunakan

kriteria tertentu dengan tujuan untuk membantu merumuskan

keputusan atau kebijakan yang lebih baik. Beberapa model evaluasi

telah dikemukakan oleh para ahli. Diantaranya model evaluasi

formatif-sumatif oleh Scriven, model bebas tujuan oleh Scriven,

model evaluasi CIPP oleh Stufflebeam, model evaluasi countenance

Stake, model responsive oleh Stake, model pencapaian tujuan dari

Tyler, model kesenjangan oleh Provus, model CSE-UCLA.

Kaufman & Thomas (1980) dalam Suharsimi Arikunto & Cepi

Syafruddin (2004) membedakan model evaluasi sebagai berikut:

1. Goal oriented evaluation model oleh Tyler

Model evaluasi ini dilakukan secara berkesinambungan, dengan

melihat sejauh mana tujuan sebuah program tercapai. Tujuan

program telah ditetapkan sebelum program dimulai. Evaluator

melihat perubahan tingkah laku yang terjadi pada peserta

program sebelum dan setelah pelaksanaan program.

2. Goal free evaluation model oleh Scriven (Model evaluasi ini

bebas dari tujuan).

3. Formatif-summatif evaluation model yang di kembangkan oleh

Michael Scriven. Evaluasi formatif digunakan untuk

memperoleh informasi yang dapat membantu memperbaiki

program yang dilakukan dengan mengidentifikasi hambatan.

Pelaksanaanevaluasi ketika program masih berlangsung.

Evaluasi sumatif dilakukan setelah program berakhir dengan

tujuan untuk mengukur ketercapaian program.

4. Model Evaluasi Countenance Stake. Model evaluasi ini

menekankan pada 2 matriks utama dalam penggambarannya

yaitu deskripsi (desriptions) dan pertimbangan (judgments).

Penggambaran dilakukan pada masing-masing tahap antecedent

(pendahuluan yaitu kondisi awal yang mungkin berdampak pada

hasil), transaction (proses), dan outcomes (hasil). Data hasil

deskripsi dibandingkan dengan standar untuk melihat

kesesuaian lalu diberikan pertimbangan.

5. Responsive evaluation model yang di kembangkan oleh Stake

6. CSE-UCLA evaluation model yang menekankan pada “ kapan”

evaluasi dilakukan. Model ini memiliki 5 tahapan dalam

evaluasi yaitu perencanaan, pengembangan, implementasi, hasil

dan dampak.

7. CIPP evaluation model yaang di kembangkan oleh Stufflebeam.

Model evaluasi CIPP meliputi Context, Input, Process, dan

Product. Evaluasi konteks membantu dalam mengembangkan

tujuan sebuah program berdasarkan kebutuhan. Evaluasi Input

membantu dalam menyiapkan program. Evaluasi Proses

menunjukkan pelaksanaan program. Evaluasi Produk untuk

mengevaluasi output/hasil/keluaran. Model evaluasi ini bersifat

menyeluruh.

8. Discrepansi model yang dikembangkan oleh Provus. Model ini

menekankan adanya kesenjangan dalam melaksanakan program.

Evaluasi dilakukan dengan mengukur adanya perbedaan antara

kondisi yang seharusnya dicapai dengan kondisi nyata yang

telah tercapai. Hasil evaluasi digunakan untuk pengambilan

kebijakan.

F. Evaluasi Model Countenance Stake

Evaluasi countenance merupakan jenis evaluasi program yang

dianggap cukup memadai dalam menilai pembelajaran secara

kompleks. Model ini dikembangkan oleh Stake. Kata countenance

berasal dari kata dalam bahasa Inggris yang berarti menyetujui atau

persetujuan. Secara istilah, evaluasi countenance berarti evaluasi

yang menekankan pelaksanaan deskripsi dan pertimbangan. Kaitan

arti dengan asal katanya adalah pada pertimbangan yang diperoleh

dari evaluator sehingga menimbulkan keputusan atau persetujuan

tentang suatu hal. Menurut Yusuf (Widiyoko, 2009) evaluasi ini

menekankan pada adanya pelaksanaan dua hal pokok: deskripsi dan

pertimbangan, serta membedakan adanya tiga tahap dalam evaluasi,

yaitu; Anteceden (konteks awal), Transaksi (proses), dan Hasil

(outcome). Model countenance adalah salah satu model evaluasi

yang memiliki komponen hasil. Evaluasi hasil didasarkan pada

kategori hasil belajar. Kategori hasil belajar yang umumnya

digunakan adalah hasil kerja Benjamin Bloom dan kawan-

kawannya yang dikenal dengan nama taxonomy Bloom, yang

membagi hasil belajar atas kemampuan kognitif, afektif, dan

psikomotorik siswa.

Model evaluasi countenance yang diajukan Stake memiliki dua

komponen penting, yaitu deskripsi dan pertimbangan yang masing-

masing terdiri dari dua kategori. Penerapan evaluasi model

countenance dalam proses belajar mengajar dilaksanakan dengan

berdasarkan dua komponen penting tersebut, serta masing-masing

kategorinya. Kategori pertama dari deskripsi adalah sesuatu yang

direncanakan (intent) oleh pengembang program. Sebagai contoh

program adalah silabus yang dikembangkan oleh guru dengan

membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Seorang guru

sebagai pengembang program merencanakan keadaan yang

diinginkannya untuk suatu kegiatan di kelas tertentu. Lebih lanjut,

guru merencanakan apa yang diperkirakan akan terjadi pada waktu

interaksi di kelas, dan kemampuan apa yang diharapkan dimiliki

peserta didik setelah proses interaksi berlangsung.

Kategori kedua dari deskripsi adalah observasi yang

berhubungan dengan apa yang sesungguhnya terjadi sebagai

implementasi dari rencana di kategori pertama. Evaluator harus

melakukan observasi (pengumpulan data) mengenai konteks awal,

proses dan hasil. Evaluator harus memahami apa yang direncanakan

sebelumnya, menentukan data yang diperlukan dan

mengembangkan prosedur atau alat untuk mengumpulkan data yang

diperlukan. Dua kategori dari pertimbangan adalah standar dan

pertimbangan yang tetap fokus pada konteks awal, proses dan hasil.

Standar yang dimaksud adalah kriteria yang harus dipenuhi oleh

suatu program yang dijadikan evaluan. Contoh dalam proses belajar

mengajar adalah evaluator dapat mengambil standar yang telah

ditentukan sekolah untuk mengevaluasi. Kategori kedua adalah

pertimbangan. Kategori ini menghendaki evaluator melakukan

pertimbangan dari apa yang telah dilakukan dari kategori-kategori

sebelumya. Evaluator harus mengumpulkan data mengenai

pertimbangan tersebut dari orang yang dianggap memiliki

kualifikasi untuk memberikan pertimbangan tersebut.

1. Pelaksanaan Evaluasi Countenance

Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam melaksanakan

evaluasi countenance tercakup dalam empat langkah pasti

berdasarkan empat matriks yang ada.

a. Evaluator dapat melakukan studi dokumen atau wawancara

kepada pengembang program, baik berhubungan dengan

persyaratan awal, proses, serta hasil. Pembelajaran dapat

dilakukan dengan mempersiapkan rencana yang dituangkan

dalam silabus dan RPP.

b. Sehubungan dengan kategori observasi, evaluator harus

mengadakan analisis kongruen, yaitu menganalisa

implementasi dari rencana. Apakah sesuai atau tejadi

penyimpangan. Jika terjadi penyimpangan, faktor-faktor apa

saja yang menyebabkannya.

c. Tugas evaluator berikutnya adalah memberikan pertimbangan

mengenai program yang sedang dikaji, oleh karenanya perlu

standar yang dapat diperoleh dari sekolah.

d. Memberi pertimbangan terhadap hasil analisis ketiga langkah

sebelumnya. Pertimbangan dapat diperoleh dengan

mengumpulkan data orang yang memiliki kualifikasi untuk

memberikan pertimbangan.

2. Manfaat Evaluasi Model Countenance

Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh dari

pelaksanaan evaluasi model countenance adalah :

a. Memberikan gambaran yang sangat detail terhadap suatu

program, mulai dari konteks awal hingga hasil yang dicapai.

b. Lebih lengkap dalam menyaring informasi.

c. Adanya pertimbangan terhadap standar, evaluasi tidak hanya

mengukur keterlaksanaan program sesuai rencana, akan

tetapi juga dapat mengetahui ketercapaian standar yang telah

ditentukan.

d. Adanya pertimbangan sehingga evaluator dapat mengetahui

hambatan atau faktor-faktor yang mempengaruhi

ketercapaian program.

3. Kelebihan dan Kekurangan Evaluasi Model Countenance

Evaluasi model countenance stake dipilih dalam penelitian

tentunya memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan

model evaluasi lainnya. Kelebihan dari evaluasi model

countenance antara lain :

a. Memiliki pendekatan yang holistic dalam evaluasi yang

bertujuan memberikan gambaran yang sangat detail atau luas

terhadap suatu proyek, mulai dari konteksnya hingga saat

proses penerapannya.

b. Lebih komprehensif atau lebih lengkap menyaring informasi.

c. Mampu memberikan dasar yang baik dalam mengambil

keputusan dan kebijakan maupun penyusunan program

selanjutnya.

d. Dengan adanya pertimbangan evaluasi dapat mengetahui

ketercapaian standar yang telah ditentukan serta dapat

mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat ataupun

mendukung keberhasilan program.

Terlepas dari kelebihan yang dimiliki model evaluasi

countenance, terdapat juga kekurangan dari model evaluasi ini.

Kekurangan dari evaluasi model countenance adalah :

a. Terlalu mementingkan dimana proses seharusnya dari pada

kenyataan dilapangan.

b. Cenderung fokus pada rational management dari pada

mengakui kompleksitas realitas empiris.

c. Penerapan dalam bidang pembelajaran di kelas mempunyai

tingkat keterlaksanaan yang kurang tinggi.

G. Penelitian yang Relevan

Penelitian relevan tentang evaluasi implementasi kurikulum

2013 kelas I & IV SD dilakukan oleh Noviatmi (2015) di

Kabupaten Magelang menggunakan Model Evaluasi Countenance

dari Stake (Stake’s Countenance Models). Penggunaan model

evaluasi jenis ini didasarkan pada pembuatan penilaian tentang

program yang dievaluasi serta kemudahan untuk

mengkategorisasikan data berdasarkan 3 tahapan antecedent,

transaction, dan outcomes. Evaluasi dilakukan dengan cara

membandingkan data di lapangan dengan standar sehingga

diperoleh gambaran yang menunjukkan keadaan sebenarnya

dibandingkan standar. Model evaluasi ini juga memungkinkan

peneliti untuk bisa memberikan pertimbangan tanpa harus

melakukan pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan bisa

dilakukan oleh pihak lain. Pertimbangan/rekomendasi digunakan

sebagai bahan rujukan terhadap perbaikan implementasi Kurikulum

2013 kelas I & IV SD di Kabupaten Magelang tahun pelajaran

2014/2015.

Penelitian lainnya tentang adalah penelitian yang dilakukan oleh

Nasoetion dkk (2008), yang berjudul “Evaluasi Program Pendidikan

Sistem Ganda: Suatu Penelitian Evaluatif Berdasarkan Stake’s

Countenance Model Mengenai Program Pendidikan Sistem Ganda

Pada Sebuah SMK di Kota Makassar”. Hasil Penelitian di

deskripsikan berdasarkan tiga rumusan masalah sesuai dengan

model evaluasi countenance stake. Masukan (antecedents) Hasil-

hasil analisis evaluatif selanjutnya menunjukkan bahwa berdasarkan

evaluasi masukan terdapat 6 aspek dan 12 sub aspek, yang telah

memenuhi standar objektif yakni 5 aspek dan 9 sub aspek, 1 sub

aspek dan 1 aspek yang tidak memenuhi standar objektif yaitu

pembiayaan, 1 sub aspek yang bisa ditolerir yaitu pendidikan

minimal guru produtif dan 2 sub aspek yang perlu perbaikan yaitu

tes wawancara dan keterlibatan industri dalam rekruitmen

siswa.Proses (antecedents) Hasil-hasil analisis evaluatif selanjutnya

menunjukkan bahwa berdasarkan sub evaluasi proses, 7 aspek dan

30 sub aspek. Dari 30 sub aspek ada 27 sub aspek yang memenuhi

standar objektif, 1 aspek yang tidak terpenuhi standar objektif tetapi

dapat ditolerir yaitu pengisian jurnal siswa dan 2 sub aspek yang

perlu perbaikan yaitu penyusunan naskah kerjasama dengan industri

(institusi pasangan) dan penilaian praktek kerja siswa. Hasil

(outcomes) Hasil-hasil analisis evaluatif selanjutnya menunjukkan

bahwa berdasarkan sub evaluasi hasil, terdapat 30 aspek telah

memenuhi standar objektif, 1 aspek yang dapat ditolerir yaitu

keterserapan tamatan di dunia kerja.

Sedangkan penelitian tentang kurikulum 2013 lainnya dilakukan

oleh Wasino (2015). Penelitian yang dilakukan oleh Wasino

berjudul “Evaluasi Kurikulum 2013 di Kalangan Guru SMP di

Cluster 2 Kabupaten Boyolali Tahun 2015 (Analisis RPP dan

Pelaksanaan Pembelajaran)”. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui Kurikulum 2013 khususnya penyusunan RPP dan

pelaksanaan pembelajaran serta apa yang menjadi hambatannya.

Penelitian ini menunjukkan hasil sebagai berikut; (1) pelaksanaan

kurikulum 2013 dalam hal penyusunan Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran sudah berjalan dengan baik meskipun belum

maksimal, dengan catatan semua komponen masih ada kesenjangan

terutama pada komponen pemilihan sumber belajar, media dan

penilaian. (2) pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam hal pelaksanaan

pembelajaran berjalan dengan baik meskipun belum maksimal,

dengan catatan pelaksanaan komponen penilaian, pemanfaatan

media dan penguasaan materi masih harus mendapat perhatian

lebih. (3) hambatan dalam penyusunan RPP dan pelaksanaan

pembelajaran kurikulum 2013 terletak pada kekurangpahaman guru

terhadap regulasi yang harus diikuti terutama pelaksanaan penilaian

yang komplek dan belum terdukung penguasaan teknologi

informasi yang memadai, selain itu padatnya jam mengajar

sehingga kurang maksimal dalam penyusunan perencanaan

mengajar.

Selanjutnya penelitian lainnya dilakukan oleh Setiono (2013)

yaitu penelitian evaluasi terhadap implementasi kurikulum program

studi listrik industri SMK teknik berstandar internasional. Model

evaluasi yang digunakan adalah evaluasi model countenance Stake.

Lokasi penelitian di SMK N 4 Semarang. Responden kepala

sekolah, wakil kepala sekolah, guru dansiswa di prodi listrik

industri. 8 komponen penelitian yang diteliti yaitu kondisi siswa,

kondisi guru, kondisi sarana prasarana, pemahaman kurikulum,

proses pembelajaran, penggunaan sarana prasarana, institusi

pasangan, dan kondisi lulusan. Hasil penelitian menunjukkan semua

komponen belum memenuhi standar 100% namun sudah terlihat

baik dengan rincian kondisi siswa 91,8%, kondisi guru 100%,

kondisi sarana prasarana 88,9%, pemahaman kurikulum 80%,

proses pembelajaran 100%, penggunaan sarana prasarana 88,9%,

institusi pasangan 80%, dan kondisi lulusan 80%. Rekomendasi

yang diberikan oleh peneliti yaitu (1) saat pendaftaran siswa baru,

agar seleksi penguasaan bahasa inggris secara lisan lebih intensif,

(2) saat penerimaan guru dibuat jalur khusus untuk SMK RSBI

dengan jalur seleksi lebih ketat termasuk penguasaan teknologi dan

bahasa Inggris, (3) pemilihan kepala sekolah dibuka pendaftaran

terbuka guna memberikan kesempatan para ahli untuk bisa menjadi

kepala sekolah, (4) adanya sertifikasi untuk tenaga pendidikan

lainnya, (5) perlu adanya teaching factory, (6) sekolah mempunyai

institusi pasangan di luar negeri, (7) ada uji kompetensi di luar

negeri bagi lulusan.

Penelitian lainnya yang menggunakan evaluasi model

countenance stake yaitu penelitian yang dilakukan oleh Nurmin &

Kartowagiran (2013). Penelitian ini mengevaluasi kemampuan guru

dalam mengimplementasi pembelajaran tematik di sekolah dasar

(SD) di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah terkait

dengan kemampuan guru dalam perencanaan pembelajaran tematik,

pelaksanaan pembelajaran tematik, dan penilaian pembelajaran

tematik. Evaluasi menggunakan metode deskriptif dan pendekatan

kuantitatif serta menggunakan model evaluasi Countenance Stake.

Hasil evaluasi menunjukan: (1) Sebagian besar (91,2%) guru SD di

Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah menyatakan

perencanaan pembelajaran tematik dengan kategori cukup baik. (2)

Sebagian besar (76,5%) guru SD di Kecamatan Salahutu,

Kabupaten Maluku Tengah melaksanakan proses pembelajaran

tematik dengan kategori cukup baik. (3) Sebagian besar (91,2%)

guru SD di Kecamatan Salahutu, Kabupaten Maluku Tengah

mampu melaksanakan penilaian pembelajaran tematik dengan

kategori cukup baik.

Berdasarkan pemaparan tentang penelitian relevan diatas, maka

terdapat perbedaan dan persamaan penelitian terdahulu dengan yang

saat ini dilaksanakan oleh peneliti. Pada penelitian terdahulu

terdapat beberapa penelitian evaluasi program yang juga

mengevaluasi kurikulum 2013 sama seperti penelitian yang saat ini

dilaksanakan, namun terdapat perbedaan pada jenjang dan satuan

pendidikan yang dievaluasi. Penelitian terdahulu sebagian besar

mengevaluasi implementasi kurikulum 2013 pada jenjang sekolah

dasar dan sekolah menengah kejuruan (pada program pendidikan

tertentu). Beberapa penelitian terdahulu juga menggunakan model

evaluasi countenance stake dalam proses evaluasi program yang

berbeda, yaitu program dalam pendidikan selain kurikulum 2013.

H. Kerangka Pikir

Pelaksanaan Kurikulum 2013 dalam implementasinya

berpedoman pada peraturan yang ditetapkan oleh Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pedoman tersebut

bertujuan agar pelaksanaan Kurikulum 2013 sesuai dengan

tujuannya. Ada empat standar dari permendikbud yang berkaitan

erat dengan proses pembelajaran, yaitu 1) Standar Kompetensi

Lulusan; 2) Standar Isi; 3) Standar Proses dan 4) Standar Penilaian

Pendidikan. Standar-standar yang telah ditetapkan oleh

kemendikbud ini juga menjadi patokan dalam pelaksanaan

implementasi kurikulum 2013, sehingga dapat digunakan dalam

evaluasi implementasi kurikulum 2013. Adanya standar pendidikan

dan perubahan kurikulum bertujuan untuk memajukan pendidikan

Indonesia dalam berbagai bidang pembelajaran, tidak terkecuali

dalam pembelajaran matematika. Mata pelajaran matematika

merupakan salah satu mata pelajaran penting untuk diajarkan di

sekolah.

SMP Negeri 7 merupakan salah satu sekolah yang

mengimplementasikan kurikulum 2013 pada pembelajaran di

sekolah. Adapun dalam implementasi kurikulum 2013, sekolah

masih menghadapi beberapa kendala. Kendala-kendala yang

dihadapi dalam pelaksanaan kurikulum 2013 di SMP Negeri 7

Salatiga mengindikasikan bahwa ada kesenjangan dalam

pelaksanaannya, dan masih terdapat kemungkinan ada kendala atau

kesenjangan lainnya. Adanya kendala di beberapa bagian

memerlukan perhatian khusus dan tindak lanjut yang intensif. Oleh

karena itu sangat penting untuk mengetahui implementasi

kurikulum 2013 di SMP Negeri 7 Salatiga.

Bagaimana implementasi Kurikulum 2013 di SMP Negeri 7

Salatiga dapat diketahui, yaitu dengan mengadakan evaluasi

implementasi Kurikulum 2013. Proses pembelajaran dalam

kurikulum 2013 memiliki prosedur yang cukup kompleks, karena

itu diperlukan suatu model evaluasi yang dapat memberikan

deskripsi hasil yang menyeluruh. Asumsi peneliti bahwa dengan

menggunakan model evaluasi countenance stake, implementasi

dapat diketahui secara kompleks atau menyeluruh, dengan maksud

hasil evaluasi dapat menjadi pertimbangan untuk keberlanjutan

pelaksanaan Kurikulum 2013 disekolah. Logika konseptual dalam

penelitian ini dapat dilihat pada gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.2. Kerangka Pikir Penelitian