bab ii kajian teori 2.1...
TRANSCRIPT
7
BAB II
KAJIAN TEORI
Kajian teori dalam penelitian ini bertujuan untuk mengkaji teori-teori ysng
relevan dengan masalah yang akan diteliti. Bab ini mendeskripsikan beberapa
elemen yang berkaitan dengan judul dalam penelitian, yakni penalaran, konjektur,
serta materi Sistem persamaan linear dua variabel.
2.1 Penalaran
Dalam proses perkembangannya, siswa memiliki kemampuan berfikir
yang beragam. Hal tersebut didukung dengan adanya penelitian oleh Eganinta
(2012), bahwa dalam menyelesaikan masalah, siswa tidak memiliki cara
penyelesaian yang sama. Cara penyelesaian masalah tersebut bergantung pada
seberapa jauh kemampuan berfikir yang dimiliki siswa yang disebut dengan
penalaran. Menurut Suherman, dkk (1993) Penalaran adalah proses berfikir yang
dilakukan untuk menarik kesimpulan dengan berbagai macam cara. Sedangkan
menurut Soekadijo (1985) penalaran adalah suatu bentuk pemikiran. Adapun
Hardjosatoto, dkk (1979) memberikan definisi penalaran sebagai berikut :
“Penalaran adalah proses dari budi manusia yang berusaha tiba pada suatu
keterangan baru dari sesuatu atau beberapa keterangan lain yang telah diketahui
dan keterangan yang baru itu merupakan urutan kelanjutan dari sesuatu atau
beberapa keterangan yang semula itu.”
Soekadijo (1985) membuat kronologi mengenai terjadinya penalaran.
Proses berfikir dimulai dari pengamatan indera atau observasi empirik. Proses
8
tersebut terjadi di dalam pikiran menghasilkan sejumlah pengertian dan proposisi
sekaligus. Berdasarkan pengamatan-pengamatan indera yang sejenis, pikiran
menyusun proposisi yang sejenis pula. Proses inilah yang disebut dengan
penalaran yaitu bahwa berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui
ataudianggap benar kemudian digunakan untuk menyimpulkan sebuah proposisi
baru yang sebelumnya tidak diketahui.
Keraf (dalam Shadiq,2004) menjelaskan, penalaran (jalan pikiran atau
reasoning) sebagai:
“Proses berpikir yang berusaha menghubung-hubungkan fakta-fakta atau
evidensi-evidensi yang diketahui menuju kepada suatu kesimpulan”.
Secara lebih jelas, Shadiq mendefinisikan bahwa penalaran merupakan suatu
kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas berfikir untuk menarik kesimpulan atau
membuat suatu pernyataan baru yang benar berdasarkan pada beberapa
pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau diasumsikan sebelumnya.
Dari berbagai pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa penalaran
merupakan proses berfikir sebagai jalan untuk menemukan solusi dari suatu
permasalahan yang berupa argument argument yang dikemukakan secara sadar.
Matematika kerap dihubungkan dengan proses befikir tinggi sehingga
pada dasarnya matematika digunakan untuk mengembangkan cara berpikir
seseorang. Oleh karena itu matematika sangat diperlukan baik dalam kehidupan
sehari-hari maupun dalam menghadapi kemajuan IPTEK.
Setiap penyelesaian soal matematika memerlukan kemampuan penalaran.
Penalaran matematika diperlukan untuk menentukan apakah sebuah argumen
9
matematika benar atau salah dan dipakai untuk membangun suatu argumen
matematika. Melalui penalaran, siswa diharapkan dapat melihat bahwa
matematika merupakan kajian yang masuk akal atau logis. Dengan demikian
siswa merasa yakin bahwa matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan,
dan dapat dievaluasi. Dan untuk mengerjakan hal-hal yang berhubungan
diperlukan proses bernalar.
Penalaran matematika atau biasa yang dikenal dengan penalaran
matematis dalam beberapa literatur disebut dengan mathematical reasoning.
Brodie(2010) menyatakan bahwa,:
“Mathematical reasoning is reasoningabout and with the object of mathematics.”
Pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa penalaran matematis adalah penalaran
mengenai objek matematika. Objek matematika dalam hal ini adalah cabang-
cabang matematika yang dipelajari seperti statistika, aljabar, geometri dan
sebagainya.
Secara garis besar terdapat dua jenis penalaran yaitu penalaran induktif
yang juga dikenal dengan induksidan penalaran deduktif yang juga bisa disebut
deduksi. Sumarmo (2013) mengatakan bahwa penarikan kesimpulan yang
berdasarkan sejumlah kasus atau contoh terbatas disebut induksi. Sedangkan
penarikan kesimpulan berdasarkan aturan yang disepakati dinamakan deduksi.
Sumarmo juga menjelaskan pula bahwa penalaran induktif adalah penalaran yang
berdasarkan contoh-contoh terbatas yang teramati. Beberapa penalaran induktif
diantaranya: penalaran analogi, generalisasi, estimasi atau memperkirakan
jawaban dan proses solusi, dan menyusun konjektur. Penalaran induktif di atas
10
dapat digolongkan pada berpikir matematik tingkat rendah atau tingkat tinggi
tergantung pada kekomplekan situasi yang terlibat.
Sedangkan penalaran deduktif adalah penalaran yang didasarkan pada
aturan yang disepakati. Beberapa penalaran yang tergolong deduktif diantaranya:
melakukan operasi hitung, menarik kesimpulan logis, memberi penjelasan
terhadap model, fakta, sifat, hubungan atau pola, mengajukan lawan contoh,
mengikuti aturan inferensi, memeriksa validitas argumen, membuktikan, dan
menyusun argumen yang valid, merumuskan definisi dan menyusun pembuktian
langsung, pembuktian tak langsung dan pembuktian dengan induksi matematika.
Penalaran induktif melibatkan persepsi tentang keteraturan.Dalam
matematika, mendapatkan kesamaan tersebut dapat menjadi dasar dalam rangka
pembentukan konsep, yaitu dengan cara mengurangi hal-hal yang harus diingat.
Proses tersebut dinamakan abstraksi konsep. Penalaran induktif memainkan peran
penting dalam pengembangan dan penerapan matematika. Sebagai fakta,
penemuan matematika ada pula yang berawal dari suatu penarikan kesimpulan
dengan menerapkan panalaran induktif. Kesimpulan yang ditarik secara induktif
tidak selalu dapat dibuktikan secara deduktif. Kesimpulan demikian dinamakan
suatu konjektur. Konjektur adalah suatu tebakan, penyimpulan, teori, atau dugaan
yang didasarkan pada fakta yang tak tertentu atau tak lengkap. Kesimpulan umum
yang ditarik dari jenis induktif generalisasi dapat merupakan suatu aturan, namun
dapat pula sebagai prediksi yang didasarkan pada aturan itu. Penalaran induktif
yang menunjukkan kegiatan menebak suatu aturan dapat dilakukan dengan
menggunakan mesin fungsi sebagai proses kerja dalam menarik suatu kesimpulan.
11
2.2 Masalah
Dalam belajar matematika, pada umumnya yang dianggap masalah bukanlah
soal yang biasa dijumpai siswa. Hudoyo (1988) menyatakan bahwa
soal/pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki
penjawab. Dapat terjadi bagi seseorang, pertanyaan itu dapat dijawab dengan
menggunakan prosedur rutin baginya, namun bagi orang lain untuk menjawab
pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah
dimiliki secara tidak rutin.
Senada dengan pendapat Hudoyo, Suherman, dkk. (2003) menyatakan bahwa
suatu masalah biasanya memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk
menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung apa yang harus
dikerjakan untuk menyelesaikannya. Jika suatu masalah diberikan kepada seorang
anak dan anak tersebut langsung mengetahui cara menyelesaikannya dengan
benar, maka soal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai masalah bagi anak
tersebut.
Memperhatikan pendapat-pendapat tentang masalah seperti tersebut di atas,
dapatlah disimpulkan bahwa suatu soal atau pertanyaan merupakan suatu masalah
apabila soal atau pertanyaan tersebut menantang untuk diselesaikan atau dijawab,
dan prosedur untuk menyelesaikannya atau menjawabannya tidak dapat dilakukan
secara rutin, sebagaimana Bell (1978) menyatakan bahwa “a situation is a
problem for a person if he or she is aware of its existence, recognizes that it
requires action, wants or needs to act and does so, and is not immediately able to
resolve the situation”.
12
2.3 Penyelesaian Masalah
Pemecahan masalah adalah proses yang digunakan untuk menyelesaikan
masalah. Pemecahan masalah sebagai suatu proses banyak langkah dengan si
pemecah masalah harus menemukan hubungan antara pengalaman (skema) masa
lalunya dengan masalah yang sekarang dihadapinya dan kemudian bertindak
untuk menyelesaikannya (Kirkley, 2003).
Pentingnya belajar pemecahan masalah dalam matematika, banyak ahli
yang mengatakannya. Menurut Bell (1978) hasil-hasil penelitian menunjukkan
bahwa strategi-strategi pemecahan masalah yang umumnya dipelajari dalam
pelajaran matematika, dalam hal-hal tertentu, dapat ditransfer dan diaplikasikan
dalam situasi pemecahan masalah yang lain. Penyelesaian masalah secara
matematis dapat membantu para siswa meningkatkan daya analitis mereka dan
dapat menolong mereka dalam menerapkan daya tersebut pada bermacam-macam
situasi.
Conney (dikutip Hudoyo, 1988) juga menyatakan bahwa mengajarkan
penyelesaian masalah kepada peserta didik, memungkinkan peserta didik itu
menjadi lebih analitis di dalam mengambil keputusan di dalam hidupnya. Dengan
perkataan lain, bila peserta didik dilatih menyelesaikan masalah, maka peserta
didik itu akan mampu mengambil keputusan, sebab peserta didik itu telah menjadi
trampil tentang bagaimana mengumpulkan informasi yang relevan, menganalisis
informasi, dan menyadari betapa perlunya meneliti kembali hasil yang telah
diperolehnya.
13
Memperhatikan apa yang akan diperoleh siswa dengan belajar
memecahkan masalah, maka wajarlah jika pemecahan masalah adalah bagian
yang sangat penting, bahkan paling penting dalam belajar matematika. Hal ini
karena pada dasarnya salah satu tujuan belajar matematika bagi siswa adalah agar
ia mempunyai kemampuan atau ketrampilan dalam memecahkan masalah atau
soal-soal matematika, sebagai sarana baginya untuk mengasah penalaran yang
cermat, logis, kritis, analitis, dan kreatif.
Salah satu cara untuk menyelesaikan permasalahan adalah dengan
mengkonstruksi konjektur sebagai sarana mempermudah dalam penyempurnaan
kerangka berfikir setelah memahami masalah. Menghubungkan segala bentuk
informasi sehingga munculah sebuah pernyataan yang bisa disebut sebuah
dugaan. Masalah akan terselesaikan dengan memperhitungkan dugaan yang telah
dibuat oleh peserta didik.
2.4 Konjektur
Menurut Norton (2000), proses abstraksi dan generalisasi dalam
matematika yang sering melibatkan ide-ide yang awalnya bersifat hipotetik atau
dugaan yang disebut konjektur. Konjektur muncul dari intuisi setelah menyadari
adanya hubungan-hubungan yang bersifat matematik selama proses abstraksi dan
generalisasi berlangsung.
Ponte, et. Al (1998) menyatakan bahwa,:
“A mathematical conjecture is a statement that answers a certain question and
that is considered to be true”.
Pedemonte (2001) memberikan definisi konjektur dengan menyatakan,
14
“conjecture is a statement strictly is potentially true because some conseptions
allow the construction of an argumentation that justifies it”.
Norton (2000) menetapkan konjektur dengan menyatakan,
“conjectures are ideas formed by a person (the learner) in experience which
satisfy the following properties: the idea is conscious (thrught not necessarily
explicitly stated), uncertain and the conjecture is concerned about its validity”.
Ketiga definisi konjektur yang diberikan oleh Ponte, Pedemonte, dan Norton
menggambarkan hal yang sama dengan penekanan dengan yang berbeda.Ponte
menekankan bahwa konjektur sebagai suatu pernyataan matematika yang
menjawab suatu pertanyaan tertentu dimana jawaban tersebut dianggap benar.
Pedemonte menekankan bahwa konjektur sebagai pertanyaan yang langsung
berhubungan dengan argumentasi dan sekumpulan konsep. Penekanan ini lebih
mengarah kepada tindak lanjut dari konjektur yang memerlukan pembuktian.
Norton menekankan sesorang dapat mengkonstruksi konjektur berdasarkan
pengalaman belajarnya.
Ciri penting dalam konjektur sesuai pernyataan Norton diatas adalah
kesadaran dan ketidaktentuan. Kesadaran berarti ide-ide yang dibangun, diketahui
dan dimengerti oleh pengkonstruksi. Ketidaktentuan berarti ide-ide yang dibangun
masih memuat hal-hal yang bisa keliru. Akibatnya konjektur belum memiliki
kebenaran yang pasti. Konjektur yang telah terbukti kebenarannya menjadi
pernyataan yang valid (Hernadi,2011). Pernyataan yang dikatakan valid berarti
ide-ide yang dibangun sesuai dengan pengalaman dan informasi yang tersedia.
Pembuktian konjektur menjadi pernyataan yang valid melalui proses penalaran
15
menggunakan aturan-aturan logis atau menggunakan contoh penyangkal yang
umum dilakukan oleh para matematikawan. Akan tetapi, pembuktian konjektur
oleh orang yang tidak ahli matematika seperti siswa umumnya tidak demikian.
Tidak semua konjektur mudah dibuktikan kebenarannya. Banyak
konjektur dalam matematika yang kebenarannya belum dapat dibuktikan secara
tuntas baik menggunakan penalaran deduktif dengan menggunakan hukum-
hukum logika maupun dengan memberikan contoh penyangkal. Konjektur
Goldbach merupakan salah satu contoh konjektur yang belum dapat dibuktikan
secara lengkap. Goldbach membuat dugaan dengan menyatakan bahwa setiap
bilangan bulat yang lebih besar dari 4dapat dinyatakan sebagai jumlah dua
bilangan prima. Kesulitan mengidentifikasi bilangan-bilangan besar sebagai
bilangan prima merupakan salah satu kendala dalam membuktikan konjektur
Goldbach. Dalam penelitian ini, agar peneliti dapat melihat bahwa pernyataan
yang dibuat subjek tepat, dibuat indikator konjektur sebagai berikut:
Tabel 2.1 Indikator Konjektur
No Parameter Indikator
1. Conscious
(kesadaran)
Sebuah kalimat pernyataan yang
dipradugakan sebagai hal yang nyata, benar
atau asli
Berbentuk kalimat logis, dapat berupa
implikasi, biimplikasi, negasi atau berupa
kalimat berkuantor. Operasi logika seperti
(dan, atau, tidak) sering digunakan dalam
16
pernyataan matematika.
2. Uncertain
(ketidaktentuan)
sebagian besarnya didasarkan pada landasan
yang tidak konklusif sehingga belum
memiliki kesimpulan yang pasti.
3. Validity Pernyataan matematika yang bernilai benar
berdasarkan observasi, investigasi, eksplorasi,
eksperimen dan inkuiri.
Pada penerapannya, baik penalaran induktif maupun deduktif, konjektur
akan selalu digunakan oleh siswa dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Sebagai contoh pada penalaran induktif yang dikemukakan Permatasari (2016),
Misalkan, siswa diminta untuk menunjukkan bahwa jumlah besar sudut-sudut
suatu segitiga adalah 180o, lalu setiap siswa diminta untuk membuat model
segitiga sembarang dari kertas, menggunting sudut-sudut segitiga tersebut, dan
mengimpitkannya. Diantara siswa mungkin ada yang membuat segitiga siku-siku,
ada yang membuat segitiga sama kaki, sama sisi atau segitiga sembarang. Dari
hasil yang diperoleh siswa menunjukkan hasil yang sama, yaitu jumlah besar
sudut-sudut segitiga adalah 180o. Berdasarkan hal ini, dari beberapa kasus khusus
itu yaitu dari setiap segitiga, akan didapat hasil yang sama sehingga dapat ditarik
suatu kesimpulan yang bersifat umum bahwa jumlah besar sudut-sudut suatu
segitiga adalah 180o. Pernyataan atau kesimpulan yang didapat dari penalaran
induktif bisa bernilai benar atau salah. Karenanya, di dalam matematika
17
kesimpulan yang didapat dari proses penalaran induktif masih disebut dengan
dugaan (konjektur).
Penggunaan konjektur pada penalaran deduktif, misalkan selalu dapat
ditambahkan satu dari suatu bilangan. Dari keterangan tersebut dapat disimpulkan
bahwa tidak ada bilangan terbesar atau bilangan terakhir, melainkan tak terbatas.
Penalaran deduktif dapat menentukan apakah suatu konjektur yang muncul
dikarenakan suatu intuisi atau deduksi secara logis serta konsisten dan apakah
penalaran itu hanya untuk kasus-kasus tertentu atau kasus yang lebih umum.Siswa
dikatakan mampu melakukan penalaran matematika bila iamampu menggunakan
penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasimatematika dalam membuat
generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskangagasan dan pernyataan
matematika.
Mengkontruksi konjektur matematika merupakan salah satu cara dalam
mengkonstruksi pengetahuan matematika, Chalder (2006). Konjektur dapat
dikonstruksi dari informasi daripermasalahan yang diberikan serta pengetahuan
awal yang dimiliki sebelumnya.
Kompleksitas pernyataan konjektur mencerminkan kompleksitas
kemampuan bernalaranya. Kompleksitas kemampuan penalaran berkaitan erat
dengan pengalaman berinteraksi dengan lingkungan sebelumnya. Hal ini berarti
bahwa pengetahuan-pengetahuan matematika yang diperoleh dari interaksi dengan
objek-objek matematika seperti definisi, rumus, reprentasi grafik, diagram,
gambar bangun, atau teorema yang telah pernah dilakukan akan menentukan
bagaimana konjektur matematika yang dihasilkannya. Semakin kompleks
18
konjektur matematika yang dibangun maka semakin kompleks kemampuan
bernalar yang dimiliki oleh yang mengonstruksinya.
Pengetahuan matematika yang tersimpan dalam memori segera dapat
diakses dan diaktifkan saat siswa diberi stimulus berupa informasi atau masalah
yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut. Pengetahuan matematika yang
tersimpan dalam memori memungkinkan seseorang segera memberikan respon
bila ada tantangan untuk menggunakan pengetahuan tersebut. Hal ini mendorong
intuisi agar bekerja. Dengan intuisi, segera dapat dicerna tentang berbagai
keadaan informasi yang berfungsi sebagai stimulus seperti apakah informasi
masuk akal, mengandung anomali, atau kurang lengkap. Bahkan, intuisi bisa
memberikan gambaran kemana arah perluasan informasi dapat dilakukan.
Mengkonstruksi konjektur dalam matematika dapat dilakukan selama
proses pembelajaran berlangsung melalui aktivitas-aktivitas yang dirancang untuk
tujuan investigasi. Investigasi matematika dimulai dengan suatu situasi yang harus
dipahami atau sekumpulan data yang harus diorganisasi dan dijelaskan dalam
istilah-istilah yang umum dalam matematika.
Menurut Chalder (2006), terdapat beberapa tahapan dalam investigasi
matematika yang melibatkan konjektur. Tiga tahap dalam investigasi matematika
menurut Ponte, et.al(1998) adalah: (1) mengajukan pertanyaan dan menghasilkan
konjektur, (2) menguji dan memperbaiki konjektur, dan (3) memberi alasan dan
membuktikan konjektur. Ponte menegaskan bahwa mengonstruksi konjektur
bukan merupakan aktivitas instan tetapi merupakan proses berulang dan
19
menyerupai metode ilmiah. Pada tahapanmengkonstruksi konjektur ini, peneliti
mengadaptasi dari proposal tesis Permatasari (2016)sebagai berikut,:
Tabel 2.2 Tahap Mengkonstruksi Konjektur
No Tahap Mengkonstruksi
Konjektur
Aspek penilaian
1 Memahami Masalah Bagaimana cara bernalar siswa
SMP dalam memahami masalah
yang meliputi proses mengetahui
apa yang dicari dan apa yang
ditanyakan
2 Mengeksplorasi Masalah Bagaimana proses bernalar siswa
SMP dalam mengeksplorasi
masalah, yang meliputi proses
menerjemahkan masalah lebih
lanjut dengan informasi informasi
yang telah diketahui.
3 Merumuskan Konjektur Bagaimana proses bernalar siswa
SMP dalam merumuskan
konjektur, yang meliputi proses
menuliskan kalimat-kalimat
konjektur berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan.
20
4 Mengargumentasi Konjektur Bagaimana proses bernalar siswa
SMP dalam mengargumentasi
konjektur, yaitu proses
mengemukakan konjektur serta
memvalidasi kojekturnya
(memberi alasan)
5 Membuktikan Konjektur Bagaimana proses bernalar siswa
SMP dalam membuktikan
konjektur, yaitu proses memilih
dan menyusun bukti konjektur
2.5 Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
Nohda (2000) menunjukkan bahwa agar kemampuan penalaran dan
berpikir matematika siswa dapat berkembang secara optimal, siswa harus
memiliki kesempatan yang sangat terbuka untuk berpikir dan beraktivitas dalam
memecahkan berbagai permasalahan. Dengan demikian pemberian otonomi
seluas-luasnya kepada siswa dalam berpikir untuk menyelesaikan permasalahan
dapat menumbuhkembangkan kemampuan siswa dalam penalaran dan berpikir
strategis secara optimal.
Kemampuan berifikir tersebut tertuang dalam berbagai kegiatan berpikir
siswa dalam menyelesaikan masalah. Dalam tahapan menyelesaikan masalah
siswa berfikir sesuai tahap yang tertera, mulai dari siswa memahami masalah
hingga membuktikannya. Menurut Suherman (2003), “suatu masalah biasanya
21
memuat suatu situasi yang mendorong seseorang untuk menyelesaikannya tetapi
tidak tahu secara langsung apa yang harus dikerjakan untuk menyelesaikannya.
Sedangkan menurut Siswono (2008), “masalah dapat diartikan suatu situasi atau
pertanyaan yang dihadapi oleh seorang individu atau kelompok ketika mereka
tidak mempunyai aturan, algoritma atau prosedur tertentu atau hukum yang segera
dapat digunakan untuk menentukan jawabannya.” Berdasarkan beberapa pendapat
di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah adalah suatu soal/pertanyaan yang tidak
langsung mempunyai aturan atau algoritma yang segera dapat digunakan untuk
menentukan jawabannya.
Masalah matematika seringkali dijumpai siswa baik dalam mata pelajaran
di sekolah maupun di kehidupan sehari-hari. Materi yang sering terkait dengan
masalah matematika adalah Aljabar. “Aljabar merupakan cabang matematika
yang mempelajari penyederhanaan dan pemecahan masalah menggunakan huruf-
huruf tertentu” (Glover, 2004). Pada masalah aljabar ini, siswa dituntut untuk lbih
berfikir keras, melakukan proses bernalar sehingga ia dapat memahami dan
menyeesaikan masalah yang diberikan.
Parmen no. 22 tahun 2006 menjelaskan bahwa aljabar merupakan salah
satu mata pelajaran matematika di tingkat SMP atau MTs dan aljabar itu sendiri
tertuang pada materi yang lebih kompleks dan memicu kemampuan bernalar
siswa yaitu pada materi Sistem Persamaan Llinear Dua Variabel. Dalam materi
ini, siswa diberikan dua jenis persamaan dan siswa diarahkan untuk
menyelesaikan masalah guna mencari solusi terhadap sebuah permasalahan yang
22
diberikan. Alidah (2011) juga menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara
aljabar dan sistem persamaan linier dua variabel (SPLDV).
Mengkonstruksi konjektur pada materi sistem persamaan linear dua
variabel (SPLDV) dibutuhkan oleh siswa sebagai pendahuluan sebelum siswa
mengetahui berbagai macam metode yang digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan yang terkait. Siswa dituntut untuk memikirkan alternatif
peyelesaian untuk menemukan himpunan selesaian dari dua buah variabel. Disini
siswa dituntut untuk bernalar mencari pemecahan masalah terkait.
2.6 Hasil Penelitian yang Relevan
Beberapa peneliti terdahulu sudah melakukan penelitian tentang
pengkonstruksian konjektur, Permatasari (2016) yang menghasilkan penelitian
bahwa proses kognisi siswa kelas X dalam mengkonstruksi konjektur pada tahap
memahami masalah cenderung melakukan aktivitas yang sama yaitu membaca
secara berulang untuk memahami masalah yang diberikan. Untuk dapat
mengetahui yang ditanyakan dan yang diketahui, aktivitas yang mereka lakukan
cenderung sama, yaitu dengan memeriksa setiap kata yang ada pada soal.
Penelitian tersebut dilakukan berdasarkan pola generalisasi dengan subjek
penelitian siswa kelas X SMA Negeri 04 Sidoarjo dengan menggunakan metode
kualitatif.
Peneliti lain juga sudah melakukan penelitian tentang daya nalar siswa
SMP seperti yang ditunjukkan oleh Mullis, dkk, (2012) bahwa kemampuan
penalaran siswa SMP Indonesia sangat rendah. Demikian juga di Amerika Serikat,
yang dalam TIMSS peringkatnya jauh dibawah beberapa negara di Asia Tenggara
23
(Singapura, Korea, Jepang, Malaysia, Thailand, dan Indonesia), Indonesia berada
diurutan terendah dalam kategori kognitif di bidang penalaran yaitu sebesar 17%.
Hasil penelitian diatas membuat penulis mengaplikasikan keduanya
sehingga akan diteliti tentang seberapa jauh kemampuan penalaran siswa SMP
dalam proses mengkonstruksi konjektur masing masing siswa.