bab ii kajian teori 2.1 film - repository.uksw.edu · kajian teori . 2.1 film. film merupakan alat...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Film
Film merupakan alat komunikasi massa yang muncul pada akhir abad ke- 19. Film
merupakan alat komunikasi yang tidak terbatas ruang lingkupnya di mana di dalamnya
menjadi ruang ekspresi bebas dalam sebuah proses pembelajaran massa. Kekuatan dan
kemampuan film menjangkau banyak 13 segmen sosial, yang membuat para ahli film
memiliki potensi untuk mempengaruhi membentuk suatu pandangan dimasyarakat dengan
muatan pesan di dalamnya. Hal ini didasarkan atas argument bahwa film adalah potret dari
realitas di masyarakat. Film selalu merekam realitas yang tumbuh dan berkembang di dalam
masyarakat dan kemudian memproyeksikanya ke dalam layar (Sobur, 2003:126–127).
Film merupakan media unik yang berbeda dengan bentuk-bentuk kesenian lainnya
seperti seni lukis, seni pahat, seni musik, seni patung, seni tari dan cabang seni lainnya. Ini
disebabkan oleh film merupakan perpaduan antara berbagai seni yang pernah ada. Film
sebagai salah satu media yang berkarakteristik massa, yang merupakan kombinasi antara
gambar-gambar bergerak dan perkataan serta suara. Film juga diartikan sebagai rekaman
segala macam gambar hidup atau bergerak, dengan atau tanpa suara, yang dibuat di atas pita
seluloid, jalur pita magnetic, piringan audio visual, dan atau benda hasil teknik kimiawi atau
elektronik lainnya yang mungkin ditemukan oleh kemajuan teknologi dalam segala bentuk
jenis dan ukuran baik hitam maupun putih atau berwarna yang dapat disajikan dan atau
dipertunjukkan kembali sebagai tontonan di atas layar proyeksi atau layar putih atau layar TV
dengan menggunakan sarana-sarana mekanis dari segala macam bentuk peralatan proyeksi
(Effendi 2003: 208). Dalam pasal 3 pada Pesatuan Film dan Televisi Indonesia yang
merupakan keputusan Kongres ke-8 pada 1995 menyatakan bahwa film dan televisi adalah
karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang
dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan
video, dan atau bahan hasil teknologi lainnya dalam bentuk, jenis, ukuran, melalui kimiawi,
proses elektronik, atau proses lainnya.
Sedangkan pengertian sinetron dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah film
yang dibuat khusus untuk penayangannya di media elektronik seperti televisi. Pengertian
sinetron yang lain adalah sekumpulan konflik-konflik yang disusun menjadi suatu bangunan
cerita yang dituntut untuk dapat menganalisa gejolak batin, emosi, dan pikiran pemirsa yang
ditayangkan di media televisi (Kuswandi, 1996:130).
Pengertian diatas mengungkapkan bahwa film merupakan penggambaran budaya
masyarakat yang disajikan dalam bentuk gambar hidup. Banyak aspek yang tertuang di dalam
film. Dari proses pembuatannya, film merupakan komoditi untuk dikosumsi oleh masyarakat
luas dan merupakan karya seni ciptaan manusia yang berkaitan erat dengan berbagai aspek
kehidupan.
2.1.1 Film sebagai Media Komunikasi
Dari awal pemunculan film sampai sekarang, banyak bermunculan cara – cara
yang makin terampil dalam membuat, meramu segala unsur untuk membentuk sebuah
film. Turner dalam (Widiyaningrum, 2012:17) menjelaskan bahwa film sebagai media
komunikasi, tidak mencerminkan atau bahkan merekam realitas seperti medium
representasi yang lain. Film hanya mengkonstruksi dan “menghadirkan kembali”
gambaran dari realitas melalui kode – kode, konvensi – konvensi, mitos dan ideologi
– ideologi dari kebudayaannya sebagai cara praktik signifikasi yang khusus.
Sebagai media komunikasi, film memberikan pengaruh yang besar bagi
penonton. Pengaruh yang diberikan tidak hanya pada saat menonton film namun dapat
mempengaruhi penontonnya meskipun film telah selesai ditonton. Penonton biasanya
menirukan adegan atau gaya yang ditampilkan oleh para aktor dari film yang ditonton.
Dengan demikian kita dapat merasakan bahwa film mempunyai kekuatan serta
pengaruh yang sangat besar, sumbernya terletak pada perasaan emosi penontonnya
(Effendy, 2003: 208).
2.2 Representasi
Representasi didefinisikan sebagai proses perekonstruksian dunia dan proses
memaknainya, representasi merupakan penggambaran dari sebuah makna (Maluda, 2014:34).
Representasi juga dapat diartikan sebagai pemakaian atau penggunaan tanda-tanda untuk
menampilkan kembali sesuatu yang diserap oleh indera, atau yang dirasakan dalam bentuk
fisik (Adji & Peni, 2010:3). Dengan demikian representasi yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah bentuk penerimaan dan penolakan terhadap penyandang stutter dalam pasangan
hidup dalam film Thapki.
Representasi merupakan konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan
melalui sistem penandaan yang tersedia, seperti dialog, tulisan, video, film, fotografi.
Representasi berarti memproduksi makna dengan menggunakan bahasa untuk menyampaikan
sesuatu yang bermakna atau untuk mewakili sesuatu dengan penuh arti kepada orang lain.
6
Konsep representasi bisa berubah-ubah. Selalu ada pemaknaan baru dan pandangan baru
dalam konsep representasi yang sudah pernah ada. Karena makna sendiri juga tidak pernah
tetap, ia selalu berada dalam proses negoisasi dan disesuaikan dengan situasi yang baru
(Fachruddin, 2011:21). Istilah representasi sendiri merujuk pada bagaimana seseorang atau
kelompok, atau pendapat tertentu ditampilkan dalam sebuah pemberitaan. Mengingat akan
hal ini maka ada 2 hal penting yang perhatikan dalam representasi. Pertama, apakah
seseorang, kelompok atau gagasan tertentu ditampilkan sebagaimana mestinya dan yang
kedua adalah bagaimana representasi tersebut ditampilkan melalui kata, kalimat, aksentuasi,
foto dan lainnya (Eriyanto, 2001 : 113 ).
2.2.1 Representasi dalam Media Massa
Adakalanya representasi dibuat dengan suatu tujuan tertentu sehingga tanpa
disadari bentuk - bentuk representasi tersebut dianggap sebagai suatu „kebenaran‟
dalam realitas (Burton, 2007:269).
Kata representasi merujuk kepada penggambaran. Namun demikian kata itu
tidak hanya sekadar tentang penampilan di permukaan tapi juga menyangkut tentang
makna yang dikonstruksi di baliknya. Jadi, representasi itu menyangkut pada proses
pembuatan makna. Melalui media massa kita diberikan representasi tentang dunia dan
bagaimana cara kita nantinya akan memahami dunia (Maluda, 2014 :34).
2.2.2 Level Representasi
Fiske (dalam Eriyanto, 2001:114), mengungkapkan bahwa persoalan
utama dalam representasi adalah bagaimana suatu realitas ditampilkan. Dalam
menampilkan suatu peristiwa, objek, gagasan, seseorang ataupun kelompok, ada
beberapa proses yang dihadapi :
Level pertama yakni peristiwa yang ditandakan (encode) sebagai realitas. Hal
ini menunjukkan bahwa bagaimana sebuah peristiwa dikonstruksi sebagai
realitas oleh media. Dalam bahasa gambar (terutama televisi) hal ini pada
umumnya dapat berupa pakaian, lingkungan, ucapan, serta ekspresi.
Level kedua yakni bagaimana realitas itu digambarkan. Dalam media
(terutama televisi) hal ini digambarkan melalui pemakaian kata, kalimat atau
proposisi tertentu yang membawa makna tertentu ketika diterima oleh
khalayak.
Pada level ketiga yakni bagaimana sebuah peristiwa atau realitas dikonvesi ke
dalam kode - kode yang dapat diterima secara logis, bagaimana kode–kode
representasi dihubungkan dan diorganisassikan ke dalam koherensi sosial
seperti kelas sosial atau kepercayaan yang dominan yang ada dalam
masyarakat.
Ketiga level yang menjadi persoalan utama dalam representasi tersebut lebih
jelasnya dapat digambarkan sebagai berikut :
Tabel 2.2.2
Persoalan Utama Dalam Representasi
Level
Pertama
Realitas
( Dalam bahasa tertulis seperti dokumen, wawancara, transkip dan
lainnya, sedangkan dalam televisi seperti pakaian, make up,
perilaku, gerak – gerik, ekspresi, intonasi, ucapan dan tekanan
suara).
Level
Kedua
Representasi
( Elemen – elemen pada level pertama ditandakan secara teknis.
Dalam bahasa tertulis seperti kata, proposdisi, kalimat, caption,
foto, grafik dan lainnya, sedangkan dalam televisi seperti kamera,
tata cahaya, editing, musik latar dan sebagiannya).
Level
Ketiga
Ideologi
Semua elemen diorganisasikan ke dalam koherensi dan ideologi –
ideologi seperti individualisme, liberalisme, sosialisme, patriaki,
ras , kelas, materialisme, kapitalisme dan sebagiannya.
Sumber : Eriyanto, 2001, Hal 116.
Konsep representasi dalam penelitian ini yaitu bagaimana dalam film Thapki
menunjukkan pandangan dan memberi gambaran mengenai penerimaan maupun
penolakan pada seorang penyandang stutter yang diproduksi dan dikonstruksi. Alat-
alat representasi dalam film ini yaitu Thapki sebagai korban dalam bentuk penerimaan
maupun penolakan, serta pemeran lainnya sebagai tokoh pelaku dalam film ini,
aksesoris yang digunakan baik dari penampilan, kostum, tata rias, lingkungan, tingkah
laku, cara bicara, gerak tubuh, ekspresi, suara, kamera, cahaya, editing, musik, dialog
yang menandai adanya bentuk penerimaan maupun penolokan terhadap penyandang
stutter dalam film ini.
6
2.3 Semiotika Komunikasi
Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut
menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. Keberadaannya mampu
menggantikan sesuatu yang lain, dapat dipikirkan, atau dibayangkan. Semiotika berasal dari
kata Yunani semeion, yang berarti tanda. Ada kecenderungan bahwa manusia selalu mencari
arti atau berusaha memahami segala sesuatu yang ada di sekelilignya dan dianggapnya
sebagai tanda. Pemaknaan terhadap dunia tanda pada tingkat yang paling rendah adalah
pemaknaan secara lugas, yakni menginterpretasikan berdasarkan asal makna tanda tersebut
(Sobur, 2009:15).
Semiotika biasanya didefinisikan sebagai pengkajian tanda – danda, yang pada
dasarnya merupakan studi atas kode – kode, yaitu sistem apapun yang memungkinkan kita
memandang idenentitias tertentu sebagai tanda atau sebagai sesuatu yang bermakna
(Budiman, 2011:3).
2.3.1 Semiotika Model John Fiske
“Semiotik Dalam Film” Menurut John Fiske, dalam bukunya Cultural And
Communication Studies, disebutkan bahwa terdapat dua perspektif dalam mempelajari
ilmu komunikasi. Perspektif yang pertama melihat komunikasi sebagai transmisi
pesan, sedangkan perspektif yang kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan
pertukaran makna. Untuk itulah pendekatan yang berasal dari perspektif tentang teks
dan budaya ini dinamakan pendekatan semiotik (Fiske, 2006:9). Semiotik
mempelajari bagaimana sistem tanda membentuk sebuah makna. Menurut John Fiske
dan John Hartley, konsentrasi semiotik adalah pada hubungan yang timbul antara
sebuah tanda dan makna yang dikandungnya. Juga bagaimana tanda-tanda tersebut
dikomunikasikan dalam kode–kode (Budiman, 2011:61). Fiske (dalam Budiman,
2011:63), mengatakan bahwa film tidak mempunyai gramatika, untuk itu ia
menawarkan kritik bahwa teknik yang digunakan dalam film dan gramatika pada sifat
kebahasaannya adalah tidak sama. Tidak cukup menggunakan kajian linguistik untuk
menganalisa sebuah film, karena film terdiri dari kode – kode yang beraneka ragam.
Penerapan Semiotik pada film, berarti perlu memperhatikan aspek medium film yang
berfungsi sebagai tanda, dalam hal ini pengambilan kamera (Shot) dan kerja kamera
(camera work), Efek kamera, efek suara, intonasi, kata, kalimat, intonasi, gerak tubuh
dan lainnya. Hal inilah yang menjadi pertimbangan bagi peneliti untuk menggunakan
konsep semiotika Fiske guna mengamati tanda- tanda yang mengandung bentuk –
bentuk penerimaan serta penolakan terhadap penyandang stutter sebagai pasangan
hidup dalam film “Thapki“ yang hendak diteliti.
2.3.2 Semiotika dalam Film
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda.
Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di
dunia ini, ditengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Suatu tanda
menandakan sesuatu selain dirinya sendiri, dan makna ialah hubungan antara suatu
objek atau ide dan suatu tanda. Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori
yang amat luas berurusan dengan simbol, bahasa, wacana, dan bentuk-bentuk non-
verbal, teori-teori yang menjelaskan bagaimana tanda berhubungan dengan maknanya
dan bagaimana tanda disusun. Secara umum, studi tentang tanda merujuk pada
semiotika (Sobur, 2009:15-16).
Film memiliki dua unsur utama di dalamnya yaitu gambar dan dialog. Film
disini dapat disebut sebagai citra (image) berbentuk visual bergerak dan suara dalam
dialog di dalamnya. Citra menurut Barthes merupakan amanat ikonik (iconic
massage) yang dapat dilihat berupa adegan (Scene) yang terekam. Kode – kode dalam
film terbentuk dari kondisi sosial budaya dimana film itu dibuat, serta sebaliknya
kode tersebut dapat berpengaruh pada masyarakatnya ketika seseorang melihat film,
ia memahami gerakan, aksen, dialog, dan lainya, kemudian disesuaikan dengan
karakter untuk memperoleh posisi dalam struktur kelas atau dengan
mengkonstruksikan apa yang dilihat dalam film dengan lingkungannya (Sobur
2009:127).
2.4 Teori Analisis Kultivasi
Analisis kultivasi adalah sebuah teori yang menjelaskan pembentukan jangka panjang
dari persepsi, pemahaman, dan keyakinan mengenai dunia sebagai akibat dari konsumsi akan
pesan-pesan media. Seperti yang diungkapkan Gerbner, bahwa apa yang kita ketahui atau kita
pikir, sebenarnya tidak pernah kita alami sendiri secara pribadi. Kita mengetahuinya melalui
cerita-cerita yang kita lihat dan dengar di media. Teori ini menyatakan bahwa komunikasi
massa, terutama televisi mengkultivasi keyakinan tertentu mengenai kenyataan yang
dianggap umum oleh konsumen komunikasi massa.
Menurut teori kultivasi, ketika televisi menggambarkan suatu hal atau cerita, maka
yang lebih ditekankan adalah bagaimana cara untuk menyalurkan suatu sistem dan kesatuan
6
pesan yang sama secara berulang-ulang. Televisi membuat masyarakat memberikan
perhatiannya pada isi atau pesan yang ditampilkan, seolah-olah televisi memberikan
kepercayaan (Windahl, Signitizer & Olson, 1992). Secara tidak langsung cara berpikir dan
pandangan kita terhadap sesuatu dipengaruhi oleh tayangan televisi.
2.4.1 Asumsi Dasar Teori Kultivasi
Secara skematis, Teori Kultivasi yang diungkapkan George Gerbner didasarkan
pada beberapa asumsi diantaranya:
Tabel 2.4.1 Asumsi Dasar Teori Kultivasi
Televisi adalah media yang unik yang memerlukan studi pendekatan yang spesifik pula.
Pesan-pesan televisi membentuk sistem yang koheren, membentuk cara berpikir, cara
bertindak, yang pada akhirnya menjadi budaya kita.
Sistem pesan (isi pesan misalnya) menciptakan tanda-tanda penanaman realitas.
Fokus analisa Kultivasi adalah kontribusi menonton televisi yang berlebihan terhadap
pola pikir dan perilaku.
Teknologi-teknologi baru lebih banyak menyimpangkan jangkauan pesan-pesan
televisi.
Fokus teori Kultivasi terletak pada pemantapan yang meluas dan konsekuensi-
konsekuensi yang sama.
2.5 Penerimaan Dan Penolakan Sosial
Chaplin (dalam Putra, 2014:04) menjelaskan bahwa penerimaan sosial adalah
pengakuan dan penghargaan terhadap nilai-nilai individual. Individual yang mendapatkan
penerimaan sosial akan merasa mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari individu lain
atau kelompok secara utuh. Penerimaan merupakan sikap terhadap diri seseorang maupun
kelompok yang diwujudnyatakan dengan pengakuan, penghargaan serta menciptakan rasa
nyaman. Penerimaan sosial dapat diartikan sebagai bentuk penerimaan terhadap hal-hal
tertentu atau terhadap seseorang maupun kelompok. Sebaliknya, penolakan sosial merupakan
sikap terhadap diri sesorang atau kelompok yang tidak menunjukan adanya pengakuan,
penghargaan serta rasa nyaman terhadap individu maupun kelompok lain tersebut.
Menurut Asher & Parker dalam Putra (2014), penerimaan sosial adalah suatu keadaan
dimana individu atau kelompok tertentu disukai dan diterima oleh individu atau kelompok
lain lain didalam lingkungan, dan setiap individu diterima oleh individu lain secara penuh dan
penerimaan semacam ini akan menimbulkan perasaan aman, sedangkan penolakan sosial
adalah suatu keadaan dimana individu atau kelompok tertentu ditolak dan tidak disukai oleh
individu maupun kelompok lain dalam suatu lingkungan sehingga menimbulkan
ketidaknyamanan bagi mereka yang ditolak.
Dengan merujuk pada defenisi diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan sosial
merupakan suatu wujud tindakan nyata dari suatu individu atau kelompok terhadap individu
atau kelompok lainnya. Tindakan yang dimaksud mencerminkan adanya pengakuan,
penghargaan memberikan rasa nyaman serta menerima orang lain ataupun kelompok lagin
apa adanya. Demikian pula dengan penolakan sosal, yaitu tindakan nyata dari individu
maupun kelompok terhadap individu maupun kelompok lain, dimana tindakan yang
dimaksud mencerminkan adanya penolakan, kurangnya rasa hormat serta menciptakan
ketidaknyamanan serta tidak dapat menerima orang ataupun kelompok lain apa adanya.
Penerimaan sosial didasarkan pada keadaan individu atau kelompok lain baik secara
fisik, latar belakng sosial maupun mental. Artinya ketika melakukan penerimaan terhadap
pihak lain maka tindakan penerimaan tersebut dilakukan tanpa memandang kurang maupun
lebihnya keadaan pihak lain baik secara fisik, mental maupun latar belakang sosial,
sedangkan penolakan didasarkan pada paenilaian atau pertimbangan tertentu terhadap
keadaan fisik, mental maupun latar belakang sosial pihak lain yang tidak sesuai dengan
kriteria maupun pandangan tertentu dari pihak yang melakukan tindakan penolakan sosial.
2.5.1. Sikap Yang Ditampilkan
Andi Mappiere (dalam Putra, 2014:07) menjabarkan seseorang diterima di
dalam lingkungannya akan menampilkan sikap-sikap sebagi berikut :
Menghargai secara keseluruhan apa yang ada di dalam diri individu tanpa syarat,
pendapat atau penilaian. Lingkungan yang dimiliki individu atau dengan kata lain
keadaan individu diterima sepenuhnya.
Memandang sebagai orang yang berharga tanpa memandang latar belakang atau
keadaan individu.
Tidak memandang rendah. Lingkungan sosial percaya bahwa individu memiliki
6
keyakinan atas kemampuan atau potensi yang ada pada dirinya.
Individu yang diterima tidak mendapatkan tekanan atau memiliki kebebasan.
Dengan kata lain individu akan merasakan bahwa lingkungannya memberikan
suatu independensi (mandiri).
2.5.2. Karakteristik
Seseorang yang diterima oleh kelompok sosialnya akan menunjukan
karakteristik sebagai berikut :
Merasa aman juga berada ditengah-tengah lingkungan. Individu akan merasa
nyaman ketika berada dilingkungan.
Dengan merasa diterima. Individu akan mendapatkan indentitas diri dan
mempunyai harga diri.
Akan merasa bebas. Dalam arti individu tidak merasa tertekan dan yakin bahwa
kelompok menerima keadaanya.
Akan lebih sering terlibat dan bergaul dengan lingkungan. Dalam arti individu
akan lebih terbuka tentang keberadaannya, karena lingkungan dapat menerima
keadaan individu.
2.5.3. Faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Dan Penolakan Sosial
Ciri Kepribadian
Penerimaan sosial terjadi dari penilaian seseorang terhadap orang lain pada
kepribadiannya secara utuh. Biasanya seseorang dapat diterima atau mengalami
penolakan secara sosial karena baik – buruknya karakter yang dimiliki.
Ciri Non Kepribadian.
Kesan pertama ikut menentukan sejauh mana seseorang dapat diterima atau ditolak
oleh lingkungan sosialnya. Jika seseorang menunjukkan kesan positif maka ia akan
menerima suatu kelompok, dan sebaliknya.
Faktor Sugesti.
Sugesti disini adalah keadaan individu atau kelompok, baik datangnya dari diri sendiri
maupun orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya tarik. Sugesti
merupakan suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan
atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa keritik terlebih dahulu, dan
dikatakan pula seseorang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu
diterima oleh orang lain di luarnya.
Faktor Simpati.
Simpati adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang lain. Simpati
timbul tidak atas dasar logis, melainkan berdasarkan penlilaian perasaan, bahkan
orang dapat tiba-tiba merasa dirinya tertarik kepada orang lain seakan-akan dengan
sendirinya, dan tertariknya itu bukan karena salah satu ciri tertentu, melainkan karena
keseluruhan cara-cara bertingkah laku orang tersebut.
2.5.4. Indikator
Penerimaan sosial berarti adanya sinyal dari orang lain yang ingin
menyertakan seseorang untuk tergabung dalam suatu relasi atau kelompok sosial.
Dengan demikian maka indikator dalam penerimaan maupun penolakan sosial; Karina
(2012) adalah sebagai berikut :
keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain
adanya kepercayaan yang diberikan kepada orang lain
kesamaan (similiarity) yang dirasakan terhadap orang lain
2.6 Stutter
Stutter adalah gangguan ritme bicara dimana seseorang tahu apa yang mau
dibicarakan, tetapi tidak bisa diucapkan karena pengulangan, perpanjangan atau penghentian
bunyi. Menurut Wingate’s stutter adalah gangguan kelancaran ekspresi verbal yang ditandai
dengan involunter, pengulangan atau perpanjangan yang terdengar atau tidak dalam bentuk
bunyi, suku kata, dan kata dari suku kata.
Stutter merupakan gangguan kelancaran berbicara yang ditandai pengulangan dan
perpajangan suara, kata, atau suku kata, blocking, serta penghindaran kata-kata yang dirasa
sulit dengan kata-kata yang lain, bahkan diikuti oleh gerakan anggota tubuh tertentu sehingga
menganggu kelancaran berbicara. Banyak stutter (orang yang mengalami) tidak mengetahui
latarbelakang terjadinya stuttering yang mereka alami serta banyak stresor-stresor yang dapat
memicu munculnya simptom stuttering tanpa mereka sadari sangat menganggu kehidupan
mereka sehari-hari (Fatmawati, 2011:02).
Stutter dipengaruhi oleh beberapa faktor. Dalam literatur dijelaskan kemungkinan
faktor risiko sangat banyak, termasuk jenis kelamin, predisposisi genetik, stress emosional
dan fisik, reaksi personal, keluarga dan sosial serta perilaku keluarga. Pada umumnya para
penyandang stutter mempunyai hambatan dalam mengembangkan dirinya. Hal ini disebabkan
karena mereka mengalami permasalahan sosial. Kekurangan yang ada pada dirinya,
6
menjadikan mereka secara psikologis mengalami hambatan dalam bentuk rasa rendah diri,
kurang percaya diri, kurang dapat menerima kondisi diri, sehingga cenderung mengisolasi
diri. Hambatan-hambatan tersebut menimbulkan dampak kekurangmampuan mereka dalam
upaya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Hambatan-hambatan ini
seringkali diperburuk dengan masih adanya pandangan yang negatif dari masyarakat terhadap
para penyandang stutter (Fidhzalidar, 2015:519).
2.7. Penelitian Terdahulu.
Pokok bahasan mengenai hal – hal yang berhubungan dengan representasi dalam film
merupakan hal yang sering diteliti atau didalami. Sekalipun telah banyak penelitian
mengenai representasi dalam media, namun bagi peneliti hal ini tidak menutup kemungkinan
untuk melakukan penelitian pada tema atau topik yang berhubungan dengan representasi.
Beberapa penelitian terdahulu yang peneliti jadikan acuan memberikan gambaran
serta pemahaman konsep yang cukup jelas bagi peneliti mengenai hal – hal yang
berhubungan dengan representasi dalam film, sehingga peneliti lebih mengenal dan
memahami bentuk – bentuk representasi dalam media, khususnya pada film. Penelitian
terdahulu yang peneliti gunakan memberi gambaran serta pemahaman tentang penyandang
stutter.
Media semakin berkembang, hal-hal yang disajikan oleh media terutama film, turut
mengalami perubahan. Sekalipun dengan tema yang sama (Representasi), namun apabila
diteliti pada waktu yang berbeda, tentunya akan ditemukan pula hal – hal yang berbeda.
2.7.1. Representasi Kekerasan Terhadap Anak (Analisis Semiotika Dalam Film
Alangkah Lucunya Negeri Ini).
Penelitian ini dilakukan oleh Vetriani Maluda pada tahun 2014. Melalui
penelitian ini ditemukan bahwa kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang
paling banyak ditonjolkan dalam film ini. Selain kekerasan fisik ada juga ancaman –
ancaman terhadap anak – anak yang dilakukan oleh Bang Jarot.
2.7.2. Representasi Kekerasan Anak Di Media (Studi Semiotika Kekerasan Pada
Anak Yang Direpresentasikan Dalam Film Slumdog Millionaire).
Penelitian ini dilakukan oleh Diyah Ayu Iswari pada tahun 2010. Melalui
penelitiannya ditemukan kekerasan terhadap anak-anak gelandangan di India yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum, warga sipil, sesama anak gelandangan, preman
juga saudara. Dimana kehidupan anak-anak gelandangan sangat memprihatinkan, dari
umur yang sangat belia harus hidup sendiri dan menerima perlakukan yang tidak
manusiawi tanpa adanya perlindungan dari Negara. Salah satu penderitaan yang
mereka terima ialah mengalami kekerasan dari kekerasan simbolik hingga kekerasan
fisik.
2.7.3. Tingkat Kecemasan Sosial Pada Anak – Anak Penyandang Stutter.
Penelitian ini dilakukan oleh M. Gengki Fidhzalidar pada tahun 2015, dimana
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal – hal yang menyebabkan terjadinya
kecemasan sosial terhadap anak – anak penyandang stutter serta mengetahui seberapa
jauh tingkat kecemasan tersebut.
2.7.4. Stuttering (studi tentang latar belakang terjadinya stuttering dan stresor-
stresor pemicu munculnya simptom stuttering)
Penelitian ini dilakukan oleh Fidya Fatmawati pada tahun 2011. Penelitian ini
bertujuan untuk menggali hal – hal yang menjadi faktor utama penyebab terjadinya
stutter.
6
2.8 Kerangka Pikir
Semiotika yang dikaji oleh John Fiske antara lain membahas pertandaan dan makna
dari sistem tanda, ilmu tentang tanda, dan bagaimana makna dibangun dalam teks media, atau
studi tentang bagaimana tanda dari jenis karya apapun dalam masyarakat yang
mengkonsumsi makna dalam suatu objek yang peneliti akan teliti. Dari peta John Fiske di
atas diadaptasi bahwa sebuah tanda mengacu pada sesuatu di luar dirinya sendiri (objek), dan
ini dipahami oleh seseorang, dan ini memiliki efek di benak penggunanya (interpretant).
Fiske berpendapat bahwa realitas adalah produk yang dibuat oleh manusia. Dari ungkapan
tersebut diketahui bahwa Fiske berpandangan apa yang ditampilkan di layar kaca, seperti
film, adalah merupakan realitas sosial.
Dengan demikian maka kerangka pikir dalam penelitian ini digambarkan sebagai
berikut :
Film Thapki
Semiotika Model
John Fiske
Representasi tindakan
penerimaan dan
penolakan sosial
terhadap penyandang
stutter sebagai pasangan
hidup
Penyandang Stutter