bab ii kajian teori 2.1 definisi kota - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/874/3/bab2.pdf ·...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Definisi Kota
Pengertian tentang kota telah banyak didefinisikan oleh para ahli dan
masing-masing memiliki alasan tertentu dalam mengemukakan pendapatnya,
beberapa pendapat mengenai pengertian kota diantaranya; Christaller dalam Rini
(2014) dengan „Central Place Theori’ menunjukan bahwa kota adalah sebagai
pusat pelayanan bukan sebagai tempat permukiman yang dilihat dari sejauh
manakah kota menjadi pusat pelayanan yang tergantung pada sejauh mana
pedesaan sekitarnya memanfaatkan jasa-jasa kota.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang,
kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan
pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan,
pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan,pelayanan social, dan
kegiatan ekonomi. Kota merupakan permukiman yang mempunyai penduduk
yang relatif besar, luas area terbatas, pada umumnya bersifat non agraris,
kepadatan penduduk relative tinggi (Kamus Tata Ruang, 1997).
Menurut Wirth dalam Bagus (2011) kota adalah pemukiman yang relative
besar, padat dan permanen, dihuni oleh orang orang yang heterogen kedudukan
sosialnya. Bintaro dalam Rini (2014) memberikan pengertian kota sebagai suatu
system jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk
yang tinggi dan diwarnai dengan strata sosial-ekonomi yang heterogen dan
materialistis dibandingkan dengan daerah belakangnya.
14
Dalam memberikan defenisi dari kota, para ahli mengajukan beberapa
aspek yang akan mendasari menurut pendapat mereka masing-masing. Sehubung
dengan hal tersebut (Hoekveld dalam Rini, 2014) memberikan pembahasan
mengenai pengertian kota diantaranya:
a) Morfologi kota diukur berdasarkan bentuk fisik kota dengan pedesaan.
b) Jumlah penduduk, kota diukur berdasarkan jumlah penduduknya.
c) Hukum, pengertian kota dikaitkan dengan adanya hak-hak hukum
tersendiri bagi penghuni kota.
d) Ekonomi, kota dilihat dari segi kehidupan yang non-agraris, adanya pasar
dengan keramaian perniagaan mencirikan kota.
e) Sosial, hubungan antar kehidupan penduduk terkotak-kotak oleh
kepentingan yang berbeda-beda dan bebas memilih bergaul dengan siapa
saja yang diinginkannya
2.2 Pinggiran Kota
Daerah pinggiran kota (urban fringe) didefinisikan sebagai daerah
pinggiran kota yang berada dalam proses transisi dari daerah perdesaan
menjadi perkotaan. Sebagai daerah transisi, daerah ini berada dalam tekanan
kegiatan-kegiatan perkotaan yang meningkat yang berdampak pada perubahan
fisikal termasuk konversi lahan pertanian dan non pertanian dengan berbagai
dampaknya.
Kurtz dan Eicher dalam Muhlisin (2003) mengemukakan
definisi daerah pinggiran kota antara lain sebagai berikut :
a) Kawasan dimana tata guna lahan rural dan urban bertemu
15
dan mendesak, di periferi kota modern
b) Suatu kawasan yang letaknya terletak diluar perbatasan kota
yang resmi, tetapi masih dalam jarak melaju (commuting
distance)
c) Kawasan di luar kota yang pendduknya berkiblat ko kota
(urban oriented residents)
d) Suatu kawasan pedesaan yang terbuka yang dihuni oleh
orang- orang yang bekerja di dalam kota.
e) Suatu daerah tempat pertemuan orang-orang yang
memerlukan kehidupan di kota dan di desa.
Russwurm 1987 dalam Koestoer (2001) menyatakan bahwa daerah
pinggiran kota mempunyai konotasi yang luas. Secara keruangan dalam
batasan fisik, wilayah ini mencakup radius sekitas sekitas 50 km pada suatu
kota. Namun, wilayah ini pun dibedakan dalam beberapa tahapan. Pertama,
wilayah bagian „dalam‟ atau „inner fringe‟ yang mencakup daerah beradius
sekitar 10-15 kilometer dimana masih tampak batas-batas perluasan fisik
suatu kota. Kedua, wilayah bagian „luar‟ atau „outer fringe’, yang mencakup
daerah perluasan antara 25-50 kilometer dan berakhir pada suatu wilayah
bayangan kota dimana pengaruh kota sudah relatif berkurang. Dari pernyataan
tersebut dapat dikatakan bahwa daerah urban fringe „murni‟ terletak sekitar
radius 15-25 kilometer pada suatu kota.
Menurut Howard, pada akhir abad ke 19 diantara daerah perkotaan,
daerah pedesaan, dan daerah pinggiran kota, ternyata daerah pinggiran kota
memberikan peluang paling besar untuk usaha-usaha produktif maupun
16
peluang paling menyenangkan untuk bertempat tinggal (Daldjoeni dalam
Koestoer,2001)
Whynne Hammond dalam Muhlisin, (2003) mengemukakan
lima alasan tumbuhnya pinggiran kota sebagai berikut :
a) Peningkatan pelayanan transportasi kota, baik itu berupa
pelayanan angkutan umum ataupun jaraingan jalan yang
memadai.
b) Pertumbuhan penduduk, dimana pertumbuhan disebabkan
oleh berpindahnya sebagian penduduk dari bagian pusat
kota ke bagian pinggiran dan masuknya penduduk dari
pedesaan.
c) Meningkatnya taraf hidup masyarakat.
d) Gerakan pendirian bangunan pada masyarakat. Pemerintah
membantu mereka yang ingin memiliki rumah sendiri
melalui pemberian kredit lewat jasa suatu bank yang
ditunjuk.
e) Dorongan dari hakikat manusia sendiri, dimana merupakan
sifat dasar manusia untuk mendapatkan yang terbaik.
Pada wilayah Kecamatan Siak Hulu alasan diatas juga menjadi faktor
yang mempengaruhi pesatnya perkembangan permukiman yang terjadi di
wilayah; tersebut baik pada permukiman teratur maupun permukiman tidak
teratur. Hal ini mengingat kedua kecamatan tersebut berada pada daerah yang
berbatasan langsung dengan Kota Pekanbaru sehingga merupakan lokasi yang
ideal bagi solusi kebutuhan akan ruang didaerah perkotaan. Selain itu
17
pesatnya perkembangan permukiman-permukiman pada kedua wilayah
tersebut juga akibat dari bergesernya fungsi-fungsi kekotaan yang berasal dari
kota induk (Pekanbaru) menuju daerah pinggiran kota disekelilingnya seperti
fasilitas pelayanan pendidikan, aksesibilitas, transportasi, perumahan, serta
kegiatan-kegiatan sosial dan perekonomian lainnya. Sementara itu harga tanah
yang juga jauh relatif lebih murah dibandingkan pada daerah perkotaan
menjadi alasan para developer perumahan membangun permukiman-
permukiman teratur pada wilayah tersebut dengan tujuan apabila tanah
tersebut telah diolah menjadi kawasan perumahan yang lengkap dengan
sarana dan prasarana penghuninya, harga tanah yang dijual akan dapat
meningkat.
2.3 Perkembangan Fisik Ruang Kota
2.3.1 Ulasan Fisik
Komunitas secara fisik adalah daerah binaan di perkotaan yang terletak
saling berdekatan, meluas dari pusatnya hingga ke daerah pinggiran kota.
Kota secara fisik terdiri atas tiga tingkatan, yaitu bangunan-bangunan dan
kegiatannya yang berada di atas atau dekat permukaan tanah; instalasi-
instalasi ibawah tanah, termasuk beberapa utilitas dibawah permukaan tanah;
dan kegiatan-kegiatan dalam ruang (Koestoer, 2001).
Perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zone-zone yang berada dalam
wilayah perkotaan. Dalam konsep ini Bintarto dalam Koestoer (2001)
menjelaskan perkembangan kota tersebut terlihat dari penggunaan lahan yang
membentuk zone-zone tertentu di dalam ruang perkotaan sedangkan menurut
Branch dalam Koestoer (2001) bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan
18
posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya. Branch juga
mengemukakan contoh pola-pola perkembangan kota pada medan datar dalam
bentuk ilustratif seperti:
a) Topografi
b) Bangunan
c) Jalur Transportasi
d) Ruang Terbuka
e) Kepadatan Bangunan
f) Iklim Lokal
g) Vegetasi Tutupan
h) Kualitas Estetika
Branch dalam Koestoer (2001) mengemukakan bahwa pada skala yang
lebih luas, bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara
geografis dan karakteristik tempatnya. Berdasarkan teori ini, dapat diartikan
bahwa perkembangan suatu kota dapat ditentukan oleh posisi geografis serta
karakteristik tempat dimana suatu proses kegiatan berlangsung sehingga dapat
membentuk pola pola yang mengikuti kondisi wilayah tersebut. Pola-pola
perkembangan fisik kota di atas tanah datar digambarkan secara skematik oleh
Branch sebagai berikut :
19
Sistem jaringan jalan
Area terbangun
Gambar 2.1 Pola-Pola Umum Perkembangan Kota
Branch dalam Koestoer,(2001)
Sebuah kota adalah suatu permmukiman yang relatif besar, padat dan
permanen, terdiri dari kelompok individu yang heterogen dari segi sosial (Rapoport
dalam Koestoer, 2001). Amas Rapoport menuntun kearah suatu pemahan yang
lebih baik mengenai kota dan urbanisme. Ia merumuskan suatu defenisi baru yang
dapat diterapkan pada daerah permukiman kota di mana saja yaitu sebuah
permukiman dapat dirumuskan sebagai suatu kota bukan dari segi ciri-cirinya,
melainkan dari segi suatu fungsi khusus yaitu menyusun sebuah wilayah dan
menciptakan ruang-ruang efektif melalui pengorganisasian sebuah daerah
pedalaman yang lebih besar berdasarkan hirarki-hirarki tertentu.
Perkembangan kota secara fisik ditandai dengan semakin bertambahnya
luas daerah yang pada umumnya tidak hanya berupa penebalan pada kawasan
terbangun yang sudah ada, akan tetapi juga berkembang ke arah luar pusat kota
20
sebagai akibat dari perkembangan kegiatan manusian (masyarakat kota) untuk
memenuhi kebutuhan hidup dan ruang hidupnya.
Sebagian besar terjadinya kota adalah berawal dari desa yang berasal
menjadi pusat-pusat kegiatan tertentu, misalnya desa menjadi pusat pemerintahan,
pusat perdagangan, pusat pertambangan, pusat pergantian transportasi seperti
menjadi pelabuhan, pusat persilangan/pemberhentian kereta api, terminal busa dan
sebagainya.
Salah satu pemicu perkembangan kota yang begitu pesat adalah adanya
pembangunan infrastruktur seperti jalan, sekolah, pusat pelayanan, pusat kegiatan
ekonomi. Akibanya semakin tinggi pula konversi lahanpertanian menjadi lahan
permukiman.
Perkembangan kota sebagai konsekuensi dari peran fungsional
menyebabkan munculnya perubahan-perubahan, baik perubahan sosial ekonomi,
sosial budaya maupun fisik. Perubahan ini ditandai dengan perubahan fungsi kota
yang selanjutnya diikuti dengan perubahan fisik sebagai dampak dari
perkembangan aktivitas masyarakat secara keseluruhan.
2.3.2 Proses Pemekaran Kota
Suatu kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan
ini menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik.
Khususnya mengenai aspek yang berkaitan langsung dengan penggunaan lahan
perkotaan maupun penggunaan lahan pedesaan adalah perkembangan fisik,
khususnya perubahan arealnya yg disebut pendekatan morfologi kota atau “Urban
Morphological Approach” (Yunus, 2001).
21
Menurut Herbert dalam Yunus (2001) morfologi pemukiman menyoroti
eksistensi keruangan kekotaan dan hal ini dapat diamati dar kenampakan kota
secara fiskal yang antara lain tercermin pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-
blok bangunan baik dari daerah hunian ataupun bukan (perdagangan dan industri)
dan juga banguna individual.
Meningkatnya jumlah penduduk perkotaan maupun kegiatan penduduk
perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan ruang perkotaan yang besar.
Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka
meningkatnya kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi
selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Proses perembetan
kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut”urban sprawl”.Adapun
macam “urban sprawl” sebagai berikut: (Yunus, 2001).
Suatu kota mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan
ini menyangkut aspek politik, sosial, budaya, teknologi, ekonomi dan fisik. Aspek
fisik berkaitan langsung dengan penggunaan lahan perkotaan khususnya
perubahan areal suatu kawasan atau kota yang sering diukur dengan melihat
perubahan bentuk kota. Dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan
maupun kegiatan penduduk perkotaan mengakibatkan meningkatnya kebutuhan
ruang perkotaan yang besar. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke
arah luar ini disebut ”urban sprawl”. Ada beberapa tipe urban sprawl atau
perembetan kota, seperti diperlihatkan dalam Tabel 2.1 berikut.
22
Tabel 2.1 Tipe-Tipe Perembetan Kota
Tipe Gambar Uraian
Tipe 1: Perembetan
konsentris
(Concentric
Development/ Low
Density continous
development)
Tipe perembetan paling
lambat, berjalan perlahan-
lahan terbatas pada semua
bagianbagian luar
kenampakkan fisik kota yang
sudah ada sehingga akan
membentuk suatu kenampakan
morfologi kota yang kompak.
Peran transportasi terhadap
perembetannya tidak begitu
besar.
Tipe 2: Perembetan
memanjang (ribbon
development/lineair
development/axial
development)
Tipe ini menunjukkan
perembetan paling cepat
terlihat di sepanjang jalur
transportasi yang ada,
khususnya yang bersifat
menjari (radial) dari pusat
kota. Daerah disepanjang rute
transportasi merupakan
tekanan paling berat dari
perkembangan.
Tipe 3: Perembetan
yang meloncat (leap
frog
development/checkker
board development)
Perembetan yang terjadi pada
tipe ini dianggap paling
merugikan dan tidak efisien.
Perkembangan lahan
perkotaan terjadi berpencaran
secara sporadis dan tumbuh di
tengah-tengah lahan pertanian
sehingga penurunan
produktifitas pertanian akan
lebih cepat terjadi.
Sumber: Yunus, 2001
2.4 Permukiman
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan
tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan {Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 4 tahun 1992 tentang perumahan dan
23
permukiman, Bab I, Pasal 1 (5)}. Permukiman yang dimaksudkan dalam
undang-undang ini mempunyai lingkup tertentu yaitu kawasan yang
didominasi oleh lingkungan hunian dengan fungsi utama sebagai tempat
tinggal yang dilengkapi dengan prasarana, sarana lingkungan, dan tempat
kerja terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan sehingga
fungsi permukiman tersebut dapat berdaya guna dan berhasil guna.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008) permukiman berarti
daerah tempat bermukim. Bintarto dalam Rini (2014) mengemukakan bahwa
permukiman dapat digambarkan sebagai suatu tempat atau daerah dimana
mereka membangun rumah-rumah, jalan-jalan, dan sebagainya guna
kepentingan mereka. Permukiman sebagai bagian permukaan bumi yang
dihuni manusia meliputi pula segala sarana dan prasarana yang menunjang
kehidupan penduduk yang menjadi satu kesatuan dengan tempat tinggal yang
bersangkutan.
Permukiman yang menempati areal paling luas dalam pemanfaatan tata
ruang mengalami perkembangan yang selaras dengan perkembangan
penduduk dan mempunyai pola tertentu yang menciptakan bentuk dan struktur
tata ruang yang berbeda satu dengan lainnya. Perkembangan permukiman
pada bagian- bagian kota tidaklah sama, tergantung pada karakteristik
kehidupan masyarakat, potensi sumberdaya (kesempatan kerja) yang tersedia,
kondisi fisik alami serta fasilitas kota terutama berkaitan dengan transportasi
dan komunikasi (Bintarto dalam Rini, 2014).
Pola penyebaran permukiman di daerah pinggiran kota yang
mempunyai sifat desa-kota ini pembentukkannya berakar dari pola campuran
24
antara ciri perkotaan dan ciri pedesaan. Ada perbedaan mendasar antara pola
permukiman di perkotaan dan di pedesaan. Wilayah permukiman di daerah
perkotaan memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya, sebagian besar
permukiman menghadap secara teratur kearah kerangka jalan yang ada dan
sebagian besar terdiri dari bangunan permanen.
2.4.1 Karakteristik Kawasan Permukiman
Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 (UU
No. 1/2011) tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud
dengan kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan
permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu
satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta
mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan
perdesaan. Adapun yang dimaksud dengan prasarana adalah kelengkapan dasar
fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan
bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, serta nyaman, dan sarana adalah
fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk mendukung
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Dari
pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman terdiri dari komponen:
perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana, baik di
perkotaan maupun di perdesaan.
25
Kawasan permukiman mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan
pendukung, baik di perkotaan dan di perdesaan. Dengan demikian berdasarkan
Pasal 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU No. 26/2007) tentang
Penataan Ruang serta Bagian Penjelasan Pasal 59 dan Pasal 61 UU No 1/2011,
yang dimaksud dengan kawasan permukiman perkotaan dan kawasan
permukiman perdesaan dapat dijabarkan sebagai berikut. Kawasan permukiman
perkotaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan
utama bukan pertanian, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum,
serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pemusatan dan distribusi pelayanan
jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan yang dimaksud kawasan permukiman
perdesaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan
utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, yang dilengkapi dengan
prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi
pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan.
Karakteristik permukiman di daerah pedesaan ditandai terutama oleh
ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukimannya cenderung
berkelompok membentuk suatu perkampungan. Sandy 1977 dalam Koestoer
(2001) mengatakan bahwa pola permukiman yang masih sangat tradisioanal
banyak mengikuti pola bentuk sungai, karena di daerah itu sungai dianggap
sebagai sumber penghidupan dan jalur transportasi utama antar wilayah.
26
Sedangkan karakteristik permukiman di Kecamatan Siak hulu dapat
diketahui secara sekilas mempunyai sifat-sifat perkotaan dan juga perdesaan.
Dari segi fisik banyak bentuk-bentuk bangunan permukiman di kedua wilayah
tersebut yang terencana dan menghadap teratur kearah kerangka jalan yang
ada dan sebagian besar terdiri dari bangunan permanen yang merupakan ciri-
ciri dari perkotaan. Selain itu pada kedua wilayah tersebut permukimannya
juga memiliki karakteristik perdesaan, dilihat dari masih banyaknya bentuk-
bentuk bangunan permukiman yang polanya tidak teratur dan cenderung
berkelompok membentuk suatu perkampungan.
2.3.1 Pola Permukiman Penduduk
Penduduk adalah sekelompok masyarakat yang tinggal menetap diwilayah
tertentu dan dalam jangka waktu tertentu. Ada penduduk tentu juga ada
pemukiman penduduk sebagai empat singgah dan menetap, pemukiman penduduk
pun bermacam-macam bentuk sesuai dengan karakter yang ada pada tiap wilayah.
Apakah wilayah (Region) pada daerah tersebut mempengaruhi pola pemukiman
atau sebaliknya pemukiman penduduk yang mempengaruhi lingkungan sekitar.
Pola permukiman penduduk adalah bentuk umum sebuah permukiman
penduduk terlihat mengikuti pola tertentu. Pola permukiman penduduk berbeda-
beda di setiap daerah. Adapun faktor yang mempengaruhi pola pemukiman
pendud uk adalah sebagai berikut:
a. Bentuk permukaan bumi
Betuk permukaan bumi yang berbeda-beda seperti gunung, pantai,
dataran rendah, dataran tinggi, dan sebagainya. Akan membuat pola
kehidupan yang berbeda pula, misal penduduk pantai bekerja sebagai
27
nelayan. Pola kehidupan yang berbeda akan menyebabkan penduduk
membuat permukiman yang sesuai dengan lingkungan tempat penduduk
itu berada.
b. Keadaan tanah
Keadaan tanah menyangkut kesuburan/kelayakan tanah ditanami
ataupun digunakan untuk kepentingan fasilitas tertentu baik fasilitas publik
atau swasta. Lahan yang subur tentu menjadi sumber penghidupan
penduduk. Lahan tersebut bisa dijadikan lahan pertanian atau
semacamnya. Karena itu, penduduk biasanya hidup mengelompok di dekat
sumber penghidupan tersebut (ini jelas terlihat di desa).
c. Keadaan iklim
Iklim memiliki unsur-unsur di antaranya curah hujan, intensitas
cahaya matahari, suhu udara, dan sebagainya yang berbeda- beda disetiap
daerah. Perbedaan iklim membuat kesuburan tanah dan keadaan alam di
setiap daerah berbeda-beda mengakibatkan pola permukiman penduduk
berbeda pula. Sebagai contoh penduduk di pegunungan cenderung
bertempat tinggal berdekatan, sementara penduduk di daerah panas
memiliki permukiman yang lebih terbuka ( agak terpencar).
d. Keadaan ekonomi
Keadaan ekonomi membuat suatu kelas dalam masyarakat, dikenal
dengan stratifikasi penduduk dalam sosioloi menjadikan tiga kelas dalam
masyarakat yaitu kelas bawah (low class), kelas menengah (middle class),
dan kelas atas (top class,), menjadikan sistem pola perputaran dan keadaan
ekonomi berbeda. Jika kita memilih rumah, tentu kita akan memilih tempat
28
yang tepat sebagai salah satu faktor utama. Kondisi ini jelas berpengaruh
terhadap pola permukiman penduduk ( ini jelas terlihat di kota).
e. Kultur penduduk
Pola permukiman penduduk sangat bergantung pada kemajuan dan
kebutuhan penduduk itu sendiri. Jika penduduk itu masih tradisional, pola
permukimannya akan cenderung terisolir dari permukiman lain.
Permukiman di daerah tersebut hanya diperuntukan bagi mereka yang
masih anggota suku atau yang masih berhubungan darah.
Faktor-faktor seperti bentuk permukaan bumi, keadaan tanah, keadaan
ikim, keadaan ekonomi, dan keadaan penduduk yang telah dijelaskan sebelumnya
merupakan acuan yang pada akhirnya menghasilkan bentuk khas dari setiap
pemukiman di satu wilayah tertentu. Adapun macam bentuk tersebut seperti
terpusat, tersebar, dan pola pemukiman memanjang. Ida Bagus (2014).
Perumahan dan permukiman merupakan unsur penyusun morfologi kota
yang cukup dominan, pola – pola yang terbentuk merupakan respon terhadap
kondisi geografis yang ada maupun struktur kawasan yang telah direncanakan.
ada empat tipe perumahan di Kecamatan Siak Hulu dengan karakteristik spasial
tertentu yaitu perumahan di tepi sungai dan lanting; Perumahan campuran (ruko
dan rukan); perumahan terencana; dan perumahan biasa. Perumahan tepi sungai
umumnya berupa bangunan kayu, non-permanen, tidak terlalu luas, sejajar dan
memakan badan sungai, pola tidak teratur, sedangkan perumahan terencana
bangunannya variatif, permanen, terletak di pinggiran kota, masyarakat variatif,
pola teratur dengan lahan yg sangat luas.
29
Perumahan tipe ruko dan rukan didominasi oleh bangunan beton,
permanen, dengan luas lantai terbatas bertingkat, terletak di pinggir jalan utama,
berbentuk pola klusterkluster kecil, dihuni umumnya oleh para pendatang.
Menurut Doxiadis dalam Soetomo (2009) ada tiga pola permukiman yaitu pola
sentripetal atau konsentrik; pola permukiman linear dan pola permukiman yang
mengikuti bentukan alam atau lanskap. Ketiga pola ini banyak dipengaruhi oleh
pola jalan yang terbentuk, jika kerangka jalan bersifat linear maka terbentuk pola
permukiman linear. Selain itu dia menambahkan bahwa pusat pertumbuhan
sebuah kawasan atau kota juga menjadi kekuatan yang mempengaruhi
perkembangan permukiman ke arah luar sebagai bentuk memusat.
Tabel 2.2 Pola Permukiman Penduduk
No Bentuk Keterangan
1
Memiliki ciri permukiman desa saling
menggerombol/mengelompok.
Biasanya memusat pada sumber
kehidupan seperti pasar, waduk dan
sebagainya
2
Memiliki ciri permukiman berupa
deretan memanjang, kanan-kiri
permukiman berupa jalan, sungai, atau
pantai.
30
No Bentuk Keterangan
3
Memiliki ciri permukiman penduduk
menyebar di daerah pertanian antara
perumahan yang satu dengan yang lain
dihubungkan oleh jalur-jalur lintas
untuk keperluan bidang perdagangan
Sumber: Ida Bagus, Pola Pemukiman Penduduk, http://arisudev.wordpress.
2.5 Morfologi dan Pertumbuhan Kota
Morfologi Kota adalah studi tentang permukiman penduduk dan proses
pembentukan serta perubahannya, dengan melihat struktur ruang perkotaan yang
terbentuk. Analisis morfologi perkotaan meliputi beberapa skala dan pola yang
menyangkut pola pergerakan (movement), tata guna lahan (land use), dan
kepemilikan lahan. Studi ini menitik beratkan pada pola jaringan jalan yang
terbentuk, susunan (layout) tata guna lahan dan plot perumahan. (Gilliland &
Gauthier, 2006).
Morfologi Kota juga menyangkut pola hubungan bentukan tata ruang kota
terhadap perilaku penduduknya (social forms) dalam beraktivitas sehari-hari. Pola
menyebar, linier atau terkonsentrasi pada satu pusat kota akan mempengaruhi pola
pergerakan penduduk (travel demand) suatu kota yang berpengaruh pada jauh
dekatnya jarak dan mudah tidaknya pencapaian terhadap pusat-pusat aktivitas
(activity generators) Gilliland & Gauthier (2006).
31
2.5.1 Ruang Dan Kehidupan Manusia
Ruang dan manusia. Jagad atau planet bumi ini merupakan tempat atau
ruang bagi kehidupan manusia, dan doxiadis mengatakan hal ini maka jagad raya
tersebut merupakan human settlement, “the total surface of the earth, the largest
container for man, is for all practical purpose, the whole cosmos of man, the
sosmos of anthropos.” (Doxiadis,1968 dalam Soetomo, 2009).
Konsep five elements of human settlement dari Doxiadis dapat
dikembangkan sebagai dasar pemahaman tata ruang dan manusianya. Natural
container (wadah alam dengan semua sistem ekologi natural) dan man made
container (cell,network) meliputi bangunan dan jaringan (jalan, ruang terbuka
terbangun), merupakan wadah bagi manusia (man and society) dengan semua
kompleksitas kehidupannya. Untuk mencapai ruang bermukim manusia (human
settlemen) baik skala kecil (rumah), lingkungan permukiman, kota hingga
wilayah, maka lima elemen tersebut harus seimbang sesuai kebutuhan untuk
keberlanjutannya (sustainabilitas).
Pada skala regional human settlemen dapat terlihat jelas dalam gambar
diatas. Manusia dalam mendiami (to settle) di bumi sebagai sumber daya alam
merupakan kegiatan mengekspoitasi alam digunakan melalui penggunaan lahan
pertanian dan lahan terbangun yang merupakan sumber daya buatan yaitu cell dan
network.
Pada skala bangunan cell dan network terdiri dari ruang kamar kamar
(cells) dan ruang penghubung (networks) yang memanjang (corridor) untuk
berjalan (movement) dan ruang penghubung berupa ruang kotak atau bentuk
lainnya (bukan memanjang) yaitu hall, untuk komunikasi tidak bergerak. Cell dan
32
network dalam morfologi kota merupakan bangunan (private space) dan ruang
terbuka (public space) yang berupa jalan (memanjang) untuk alur ruang
komunikasi pergerakan panjang (jalur transport maupun pejalan kaki) dan ruang
publik untuk kpmunikasi diam (pergerakan pendek) seperti square di indonesia
kita sebut alun-alun.
2.5.2 Dari Urbanisasi Ke Morfologi Kota
Urbanisasi sebagai proses pembentukan kehidupan kota menghasilkan
produk fisik berupa morfologi kota. Pemahaman ini dapat dijelaskan dengan
pengertian urbanisasi (Friedman dalam Soetomo, 2009) yang menjelaskan ada dua
macam urbanisasi:
a) Konsentrasi geografis penduduk dan aktivitas non pertanian pada
milieu (lingkungan kehidupan) kota dalam bentuk dan ukuran yang
bervariasi.
b) Difusi geografis nilai-nilai, prilaku, organisasi dan institusi perkiraan.
Yang pertama menciptakan investasi fisik yang membentuk morfologi
kota dan yang kedua merupakan bentuk nilai-nilai perubahan sosial dalam proses
modernisasi.
Proses kemajuan dan berkembang pada sektor pertanian menciptakan
surplus wilayah dan selanjutnya surplus wilayah tersebut menciptakan kehidupan
pelayanan yang bersifat kegiatan non pertanian menjadi kehidupan perkotaan.
Demikian juga dari permukiman-permukiman (settlements) pedesaan yang
terisolasi hidup untuk kepentingan mereka sendiri (subsistence) kemudian proses
komunikasi berkembang dan terjadi keterhubungan antar settlement maka
33
berkembanglah suatu pusat kegiatan non pertanian dan bersifat kekotaan. Proses
tersebut dikenal dengan proses synoicsm (Kostof dalam Soetomo, 2009)
Proses terbentuknya morfologi kota (Urban Morphology) merupakan
proses terbentuknya kehidupan kota (non pertanian). Kota akhirnya merupakan
pusat kekuasaan maupun pusat ekonomi wilayah yang menyedot pencari kerja,
menciptakan kehidupan yang heterogen hingga kesenjangan dan permasalahan
sosial pun terjadi.
Hasil proses urbanisasi dan tingkat keberhasilannya dapat dilihat dalam
wajah ruang dan morfologi kekotaan. Ruang perkotaan yang terjadi di kota-kota
diindonessia atau di negara sedang berkembang umumnya mempunyai karakter
yang beragam, dari ruang perkotaan yang masih semi perkotaan (semi urban),
ruang perkotaan yang kumuh hingga ruang perkotaan yang rapi.
2.5.3 Dari Planned Ke Unplanned Settlement
Kostof dalam Soetomo (2009) mengatakan hasil suatu ruang kota
terbentuk oleh dua proses: hasilperencanaan disebut sebagai planned settlement
dan urban process yang menghasilkan suatu unplanned settlement. Sejarah
perkembangan planned settlement terjadi sejak 6000 tahun SM. Kota kota yang
terencana sebelum Revolusi Industri merupakan hasil puncak perencanaan kota.
Terbentuknya suatu lingkungan buatan terencana pada jaman dahulu
mudah dilakukan oleh seorang penguasa atau kepala suku yang dibantu pembantu
teknis (undagi bagi masyarakat bali tradisional) dan dibangun oleh penguasa
tersebut, hal tersebut karena tanah dan kekuasaan ada kepala suku (adat). Dapat
dikatakan bahwa stakeholder pada saat itu sangat terbatas. Sedang pada jaman
modern kekuasaan sudah tersebar dan pemilikan tanah dan fungsi-fungsi sudah
34
sangat heterogen dan stakeholder sudah bervariasi. Maka perencanaan kota
(lingkungan) dan implementasi pembangunannya memerlukan manajemen yang
lebih kompleks. Prinsip-prinsip mengkonsolidasi dan mengkoordinir stakeholder
mealui organisasi adlah untuk menyederhanakan ( meredusir) fungsi atau aktivitas
stakeholder agar proses perencanaan kota dapat mudah di implementasikan
(pembangunan skala besar).
Desain kota merupakan bentuk akhir dari perencanaan dan setelah terjadi
perkembangan urbanisasi yang kompleks seperti sekarang ini maka perencanaan
kota makin tidak mudah direalisir. Dan paradigma perencanaan akhirnya berada di
dalam kedekatan dengan manajemen pembangunan. Peran perencana berubah dari
penentu menjadi fasilitator terhadap semua stakeholder.
Terbentuknya Morfologi Settlement selain terencana juga terjadi secara
tidak terencana, bahkan yang ini lebih banyak. Kekuatan individual bergerak
menjadi kekuatan komunal, inilah proses unplanned settlement yang terbentuk
secara organis, tumbuh dan berkembang sesuai dengan urban proses. Kostof
dalam Soetomo (2009) mengatakan bahwa apapun initial kota waktu
direncanakan dalam perkembangannya selalu tidak bisa tetap dan terdorong
berubah karena urban proses yang membentuk unplanned settlement.
2.5.4 Planned Settlement dan Modernisasi
Perkembangan suatu settlement yaitu tempat manusia bermukim telah
terjadi sejak adanya manusia itu sendiri. Sejak manusia tinggal di goa-goa sebagai
tempat menetap hingga membentuk suatu permukiman sebagai bentuk kekuatan
komunitas telah mneghasilkan suatu ruang bentukan manusia. Ruang tersebut
yang dibuat sesuai dengan kebutuhannya baik kebutuhan individu maupun sosial
35
dan baik fisik maupun non fisk dalam keterbatasan kemampuan teknologi dan
alam baik sebagai sumber daya maupun sebagai ancaman (Soetomo, 2009).
Teori urbanisasi disampaikan melalui model pembentukan the first city
oleh Robert Potter dengan teori social surplus yang menjelaskan bahwa adanya
perkembangan masyarakat akan menciptakan kelompok elit seperti kelompok
bangsawan, pedagang, golongan agama, militer, sebagai kelompok dominan yang
mendorong terbentuknya masyarakat kota dan kelompok elit itulah yang
menentukan bentuknya ruang perkotaan.
Planned settlement merupakan karya manusia yang mengatur manusia
berkehidupan didalam ruang alam ini dan mengatur hubungan antar manusia, dan
mengatur hubungan manusia dengan alam (dalam menggunakan atau
memanfaatkan atau memperlakukan alam) dalam rangka mencapai kemajuan
kehidupannya. Dengan demikian planned settlement adalah usaha manusia
memodernisasikan kehidupannya.
2.5.4.1 Grid Pattern
Bentuk planned settlement pertama adalah grid pattern, sebagai bentuk
pola usaha pertama manusia mengatur ruang dibumi ini. Garis lurus merupakan
man made bukan natural, manusia menggoreskan batas area sesuai dengan
kehendaknya untuk mengatur pembagian sumber daya alam yaitu tanah (land).
Manusia diatur dalam ruang alam melalui norma-norma yang berlaku pada
budayanya. Bentuk tertua dalam membagi area, mengatur lokasi manusia untuk
settle adalah dalam bentuk grid yaitu bentuk ruang persegi yang dilakukan dengan
persimpangan garis lurus atau rectangular (rectus yaitu lurus).
36
Bentuk grid dengan skala besar dan mengikuti topografi dilakukan dalam
konsep kota Milton Keynes dan Candigragh, di dalam blok-blok besar memberi
kemungkinan isi didalamnya dengan bentuk bentuk struktur yang berbeda-beda.
Terjadi kombinasi antara strukturisasi makro dengan blok besar dan keberagaman
yang dinamis didalam setiap blok (Soetomo, 2009).
2.5.4.2 Diagram Pattern
2.5.4.2 Diagram Pattern
Seperti telah kita uraikan diatas kota-kota kerajaan, militer,
terbentuksebagai pusat-pusat wilayah (ekonomi maupun politik). Terutama pada
kota-kota pusat politik dan keagamaan serta militer dibentuk melalui perencanaan
atau kemauan dari atas. Kota-kota kerajaan seperti yogyakarta dan solo sebagai
kota cosmik merupakan lambang,manunggaling kawula dan gusti (bersatunya
rakyat dan pemerintah) sebagai kesatuan manusia dan kekuasaan alam (kosmik)
dimana raja sebagai pemersatunya yang digambarkan dengan sumbu kota
Gambar 2.2
Greek city: miletus (turkey)
Sumber Kostof dalam
Soetomo 2009
Gambar 2.3
Map of grid roads and land contours of
Milton Keynes (England)
Sumber Kostof dalam Soetomo, 2009
37
yogyakarta memanjang mengarah ke gunung merapi dan laut selatan dimana
kraton teretak pada struktur kota tersebut merupakan diagram city, dimana pola
kota dibuat untuk mengatur atau mendiagram tatanan kehidupan yang diinginkan.
Diagram city merupakan kelompok planned settlement yang paling
komplek, merupakan puncak the role of planner yang menterjemahkan kemauan
penguasa membentuk pola ruang bagi kehidupan masyarakatnya. Diagram
modern dijelaskan dengan bentuk diagram fungsional antara lain adalah pola
jaringan transport (pola konsentrik radial) dari kota modern. Contoh diagram
utopia yang digolongkan kostof misalya : socialis diagram city dari Ebenzer
Howard yang akhirnya dikenal dengan The Garden City (sugiono soetomo 2009).
Gambar 2.4
Diagram of social cities form ebenezer
howard to morrow
(Sumber: Kostof dalam Soetomo, 2009)
Gambar 2.5
Nahlah (israel) : moshav founded in 1921
(Sumber: Kostof dalam Soetomo, 2009)
38
2.5.4.3 Organic Pattern
Golongan pertama bentuk settlement (unplanned settlement) digolongkan
oleh Kostof dalam Type Organic Pattern, merupakan settlement bentukan
kehidupan dan alam, di sini the passage of time yang menentukan, bukan man
order. Bentuk organik mementingkan proses daripada produknya, bagaimana
settlement ini terbentuk lekat dengan proses terbentuknya masyarakat, adanya
kesatuan antara individual need and common will. Soetomo (2009) Organic
settlement sebagai wujud dari biological poces menempatkan proses pembentukan
ruang kota sebagai mahluk hidup yang never at rest. Bentuk organik settlement
terjadi pada kota-kota perdagangan yang terbentuk akibat proses interaksi suply
demand, dari suatu lokasi strategis dan manusia membentuk aktivitas pembelian
dan penjualan. Kota kota tersebut sebagai mercantile city tumbuh secara spontan
di muara sungai sebagai simpul jaringan transportasi. Kota semarang sebagai
Coastal City terbentuk oleh prularitas, dari organic settlement etnik-etnik
Cina,Arab,Jawa,dll, settlement terencana colonial city belanda dan kota kosmik
bupati semarang dengan pola diagram kota jawa (alun-alun,kanjengan,masjid,
pasar).
Fenomena pembentukan ruang kota terjadi dari kedua macam proses:
planned dan unplanned, yang silih bersambung. Kekuatan planned settlement
tidaklah langgeng, apapun initialnya kota dibentuk maka selalu akan berubah,
demikian kata Kostof. Kota Bagdad dibuat dengan bentuk cosentric sebagai
diagram city namun akhirnya berubah membentuk settlement organic Kota Arab
medina yang berpola rabirint (Soetomo, 2009).
39
Kita melihat Kota Yogyakarta yang bermula dari keraton teah tertelan
dalam aglomerasi Kota Yogya yang berpola fungsional tertarik oleh sumbu
regional pariwisata kearah Solo dan Magelang. Sedang di dalam kota berkembang
dengan proses urbanisasi yang beragam, menghasilkan berbagai ragam pattern
yang terencana dan tak terencana (spontan). Walaupun secara formal telah ada
rencana tata ruang (Master Plan), namun proses realisasinya baik sebagai
perangkat pengendali maupun sebagai program pembangunan tidak mudah
terealisir dan Urban Process berkembang terus dan bagian ruang kota yang tidak
terencana terbentuk paling luas. Urban Procces ternyata jauh ebih cepat
ketimbang perencanaan kota dan realisasinya (Soetomo, 2009).
Gambar 2.6
Organic pattern permukiman pedesaan
(Near Yazd, Iran)
Sumber Kostof dalam Soetomo, 2009
Gambar 2.7
Vezelay (France)
Sumber Kostof dalam
Soetomo, 2009
40
2.5.8 Morfologi dan Keberlanjutan Kota Dalam Lintasan Sejarah
Landskap dan Arsitektur Kota
Kota, baik kehidupan dan lingkungan fisiknya telah terjadi ribuan tahun
yang lalu. Kehidupan kota dalam sejarahnya merumakan puncak budaya suatu
bangsa. Terutama pada kota-kota yang direncanakan, hal tersebut telah
menunjukan suatu hasil peradaban manusia yang tinggi (Soetomo 2009).
Pada lembah-lembah sungai Eufrat dan Tigris suatu lokasi pertanian yang
subur telah menjado tempat bermukim manusia pada 4000-5000 tahun sebelum
Masehi. Kemakmuran tersebut melahirkan kehidupan kota sebagai pusat
pemerintahan dan kebudayaan dan agama dan perdagangan. Kota-kota kerajaan
(the city stated) merupakan karya kota terencana yang menampilkan lambang-
lambang kekuasaan dan ruang-ruang kehidupan yang nikmat. Kota pada jaman
keemasan suatu masyarakat pada jaman dahulu dirancang untuk menciptakan
suatu “ideal world”.
Taman menjadi konsep lingkungan kota untuk menciptakan ideal world
tersebut. Maka istilah garden adalah dari kata garde of eden, suatu taman eden
(surga) yang berpagar atau dijaga. Kota-kota pertama yang merupakan pusat-pusat
budaya tinggi pada ribuan tahun yang lalu banyak muncul di wilayah tropis
kering. Maka keinginan menciptakan ruang yang sejuk, sehat dan indah serta
aman merupakan dambaan para raja-raja.
Sejarah arsitektur kota lahir dari model-model taman yang terjadi di eropa
sejak abad pertengahan, dimana kekuatan budidaya pada abad tersebut terlindung
atau tersisa di dalam kompleks gereja yang di kelilingi tembok. Pada ruang
terbuka kompleks tersebut berkembang ilmu taman dengan vegetasinya baik
41
vegetasi yang menciptakan keindahan, kesejukan hingga vegetasi obat-obatan
yang dipelihara di taman taman tersebut (Zucker dalam Soetomo, 2009)
Setelah akhir abad kegelapan di eropa kondisi mulai aman dan
perkembangan ekonomi membaik maka pada the Late Medieval berkembang
kota-kota yang bernuansa agamis. Gereja menjadi simbol kota-kota abad
pertengahan, perkembangan kota organik yang tumbuh atas kekuatan masyarakat
tumbuh secara spontan namun berada dalam kebersamaan. Perkembangan kota
organik tersebut mempunyai karakteristik keindahan yang disebut Oleh Paul
Zucker sebagai the best picturesque, suatu keindahan yang diciptakan oleh
keberagam morfologi kota yang irregular (organik, tidak teratur seperti lukisan
harmonis dengan kondisi alam yang selalu tidak geometris. Lukisan adalah hasil
goresan yang tercipta oleh kehalusan perasaan, tidak beraturan tetapi berpola,
warna-warni bercampur namun menunjukan keharmonisan. Organic pattern
terbentuk oleh sentuhan manusia yang melakukan keharmonisan antara private
need dan common will berkembang secara organis tumbuh dan beradaptasi dalam
the passage of time dengan kekuatan serta sifat alam yang non geometris.
Sifat-sifat Cosmic City dengan pola irregular maupun yang regular juga
terjadi pada hampir semua settlement tradisional di dunia ini, kota-kota arab
madina dengan pola organik membentuk labyrinth, settlement pedesaan di jawa
dengan keharmonisan terhadap topograpi, rumah-rumah pedesaan berebaran di
perbukitan tawangmangu namun tetap mempunyai arah atap yang sama, demikian
juga pola grid pemusatan permukiman pedesaan dikelilingi sawah-sawah
mempunyai landmark Masjid sebagai simbol kesatuan sosial dan kekuatan
42
religius. Pola regular planned settlement juga terjadi dan berkembang menjelang
Renaisannce di Eropa (Soetomo,2009)
Pada era Renaissance yang mana kekuatan raja telah menggeser kekuatan
gereja, design lingkungan secara regular (diagram) menciptakan taman-taman
yang dilakukan dari Chateau (atau puteri dalam bahasa jawa, rumah bangsawan
atau kaum borjuasi) hingga pada skala kota dan alam seperti istana Raja Louis 14
Chateau de Versailles. Aspek lambang, estetika, kesehatan lingkungan,
sustainabilitas dan monumental menjadi kesatuan ide dalam kota-kota taman yang
menyatukan peradaban manusia dan alam. Kota Yogya dan Solo dibangun melalui
planned settlement keraton yang bersifat lambang kosmologis seperti diuraikan
sebelumnya sebagai kota yang mengagungkan alam dan tuhan. Dalam sitem
aristokrasi inilah peradaban dan morfologi kota-kota pra industri yang penuh
sentuhan rasa dan keagungan kosmos telah mewariskan sejarah citra budaya
menjadi sumber desain kota (Design Quarry).
2.6 Pola Tata Guna Lahan
Tata guna lahan (Land Use) adalah pengaturan penggunaan lahan yang
mencakup penggunaan bumi baik di daratan maupun peruntukan bumi di lautan.
Sedangkan penggunaan lahan adalah suatu proses yang berkelanjutan dalam
pemanfaatan lahan bagi maksud-maksud pembangunan secara optimal dan efisien.
Penggunaan lahan merupakan cerminan hubungan keterkaitan antara sirkulasi dan
kepadatan aktivitas/fungsi dalam kawasan. Setiap kawasan memiliki karakteristik
penggunaan lahan yang berbeda, sesuai dengan daya tampungnya, kemudahan
pencapaian, kondisi fisik alam, sistem transportasi dan kebutuhan penggunaan
lahan individual (Jayadinata dalam Hamzah, 2010).
43
Bila dilihat dari bentuk fisik ruang perkotaan atau disebut juga morfologi
kota adalah merupakan hasil bentukan kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan
politik (Soetomo, 2009). Hal ini dapat diartikan bahwa bentuk fisik ruang kota
menggambarkan susunan ruang yang dipengaruhi oleh berbagai elemen
pembentuknya seperti sosial-budaya kemasyarakatannya, pertumbuhan ekonomi
serta keputusan politik suatu daerah. Sehingga secara keseluruhan akan
membentuk strutur ruang yang sistematik terarah dan berkaitan secara fungsional
sebagai refleksi spasial dari perkembangan atau pertumbuhan suatu wilayah.
2.6.1 Pola-Pola Kawasan dan Ekspresi Spasial Perkotaan
Suatu pola dapat membantu menangani masalah mengenai ketepatan
(constancy) dan perubahan (change) dalam perancangan kota serta membantu
menentukan pedoman-pedoman dasar untuk menentukan sebuah perancangan
lingkungan kota yang konkret sesuai tekstur konteksnya. Teori figure ground
dalam tata kota merupakan suatu hubungan tekstural antara bentuk yang dibangun
(building mass) dan ruang terbuka (open space). Metoda ini dapat
mangidentifikasi sebuah tekstur dan pola-pola sebuah tata ruang perkotaan (urban
fabric), serta mengidentifikasi masalah keteraturan massa/ruang perkotaan (Zahnd
dalam Hamzah, 2010).
Berdasarkan terminologinya, figure merupakan istilah massa yang
dibangun (biasanya di dalam gambar-gambar ditunjukkan dengan warna hitam)
dan ground merupakan istilah untuk semua ruang yang berada di luar massa itu
(biasanya ditunjukkan dengan warna putih). Namun kadang sebuah figure ground
juga digambarkan dengan warna sebaliknya supaya dapat mengekspresikan efek
44
tertentu. Dari gambar figure ground tersebut dapat diketahui keadaan tekstur
kota/kawasan seperti yang diilustrasikan pada Tabel 2.3.
Pola-pola tekstur kawasan perkotaan dapat sangat berbeda, karena
perbedaan tekstur pola-pola tersebut mengungkapkan perbedaan rupa kehidupan
dan kegiatan masyrakat perkotaan secara arsitektural. Menganalisis pola-pola
tekstur kawasan perkotaan dan menemukan perbedaan data pada pola tersebut,
akan didapatkan informasi yang menunjukkan ciri khas tatanan kawasan itu dan
lingkungannya (Zahnd dalam Hamzah 2010). Pola-pola kawasan secara tekstural
dapat diklasifikasi menjadi tiga kelompok, meliputi: (Zahnd dalam Hamzah,
2010):
Gambar 2.8 pola kawasan perkotaan
a) Pola Kawasan yang Homogen
Susunan kawasan yang bersifat homogen yang jelas,dimana hanya ada
satu pola penataan. Dalam pola ini, elemen solid dan void yang membentuk
kawasan terdiri atas bentuk-bentuk yang cenderung sama, dan biasanya
memperlihatkan suatu tingkat kepadatan yang tinggi.
b) Pola Kawasan Heterogen
Susunan kawasan yang bersifat heterogen, dimana terdapat dua atau lebih
pola berbenturan. Pola ini biasanya mempunyai lebih banyak bentuk elemen solid
dan void, sehingga membentuk komposisi yang cukup bervariasi.
45
c) Pola Kawasan Menyebar
Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau.
Kawasan ini biasanya terbentuk atas sebab-sebab tertentu. Terlihat bahwa
kawasan ini tidak terintegrasi antara fungsi yang satu dengan yang lain, sehingga
tampak seperti kawasan yang tidak terencana. Sistem hubungan dalam tekstur figure
ground mengenal dua kelompok elemen yaitu solid yang merupakan blok-blok dari massa
bangunan dan void yang merupakan ruang luar yang terbentuk di antara blok-blok
tersebut. Ada tiga elemen dasar yang bersifat solid dan empat elemen yang bersifat void
yaitu (Zahnd dalam Hamzah, 2010) :
Table 2.3 Elemen Figure Ground
Elemen Elemen Dasar Uraian Gambar
Solid Blok tunggal Elemen tunggal bersifat agak
individual. Elemen ini dapat
dilihat sebagai bagian dari satu
unit yang lebih besar, yang
biasanya memiliki sifat penting,
misalnya sebagai penentu sudut,
hierarki, atau penyambung
Blok pendefinisi
sisi
Elemen ini dapat berfungsi
sebagai pembatas secara linier
yang dibentuk oleh elemen ini
dari satu, dua atau tiga sisi.
Blok medan Blok ini memiliki bermacam
macam massa dan bentuk namun
masing-masing tidak dilihat
sebagai individu individu
melainkan hanya dilihat
keseluruhan massanya
secara bersama.
Void Sistem tertutup
yang linier
Elemen ini memperhatikan ruang
yang bersifat linier, tetapi
kesannya tertutup. Elemen sistem
ini paling sering dijumpai di kota
46
Elemen Elemen Dasar Uraian Gambar
Sistem tertutup
yang
Memusat
Elemen ini memiliki pola ruang
yang berkesan terfokus dan
tertutup. Ruang tersebut dapat
diamati di pusat kota maupun di
berbagai kawasan.
Sistem terbuka
yang sentral
Elemen ini memiliki kesan ruang
yang bersifat terbuka namun
masih tampak focus. Elemen ini
nampak pada alun alun besar,
taman kota dan sebagainnya.
Sistem terbuka
yang linier
Elemen ini merupakan pola
ruang yang terkesan terbuka dan
linier. Elemen ini Nampak
misalnya pada kawasan sungai.
Sumber : Zahnd dalam Hamzah, 2010
Pendekatan morfologi kota merupakan salah satu pendekatan yang
berkaitan langsung dengan aspek penggunaan lahan kekotaan maupun kedesaan
yang menyoroti eksistensi keruangan pada bentuk-bentuk wujud dari ciri-ciri atau
karakteristiknya (Yunus,2001).
2.6.2 Ekspresi Keruangan Morfologi Kota
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan kota adalah
bentuk dan pola kota. Pola suatu kota tersebut dapat menggambarkan arah
perkembangan dan bentuk fisik kota. Ekspresi keruangan morfologi kota secara
umum dapat dibagi menjadi dua, yaitu bentuk kompak dan bentuk tidak kompak
(Yunus,2000).
a. Bentuk-Bentuk Kompak
Yunus (2001) mengemukakan bahwa beberapa ahli mencoba untuk
menunjukkan berbagai variasi ekspresi keruangan dari morfologi kota antara lain,
bentuk bujur sangkar (Nelson dalam Yunus, 2001), bentuk empat persegi
47
panjang, bentuk kipas, bentuk bulat (Nelson dalam Yunus, 2001), bentuk pita,
bentuk gurita, bentuk tidak berpola (Northam dalam Yunus, 2001). Hal ini dapat
dilihat pada Tabel 2.4 dibawah ini:
Tabel 2.4 Ekspresi Keruangan Dari Morfologi Kota
Gambar Bentuk Kota Kompak Uraian
Kota berbentuk bujur sangkar
menunjukkan adanya kesempatan
perluasan kota ke segala arah yang relatif
seimbang dan kendala fisikal relatif tidak
begitu berarti. Hanya saja adanya jalur
transportasi pada sisi-sisi memungkinkan
terjadinya percepatan pertumbuhan areal
kota paarah jalur tersebut.
Dengan melihat bentuk ini mengesankan
bahwa dimensi memanjang sedikit lebih
besar daripada dimensi melebar. Hal ini
dimungkinkan karena adanya
hambatanhambatan pada salah satu
sisinya. Hambatanhambatan tersebut
berupa lereng yang terjal, perairan, gurun
pasir, hutan.
Bentuk semacam ini sebenarnya
merupakan bentuk sebagian lingkaran.
Dalam hal ini kea rah luar lingkaran kota
mempunyai kesempatan berkembang
yang relative seimbang namun
dibeberapa bagian atau sisinya akan
mengalami hambatan berupa hambatan
alami sepeti perairan, pegunungan dan
hambatan artificial berupa saluran
buatan, zoning, ring roads.
Bentuk kota seperti ini merupakan bentuk
yang paling ideal daripada suatu kota,
karena kesempatan perkembangan areal
kearah luar dapat dikatakan seimbang.
Jarak dari pusat kota kea rah bagian
luarnya sama dan tidak ada kendala-
kendala fisik yang berarti pada pada sisi-
sisi luar kotanya.
48
Gambar Bentuk Kota Kompak Uraian
(5) Bentuk Pita
Bentuk ini sebenarnya mirip dengan
bentuk empat persegi panjang namun
karena dimensi memanjangnya jauh lebih
besar dari pada dimensi melebar, maka
dimensi ini menempati klasifikasi
tersendiri dan menggambarkan bentuk
pita. Jelas terlihat nahwa peranan jalur
memanjang sangat dominan dalam
mempengaruhi perkembangan areal
kekotaannya, serta terhambatnya
perluasan areal ke samping. Biasanya
bentuk semacam ini berada pada
sepanjang lembah pegunungan atau
sepanjang jalur transportasi darat utama.
Peran jalur transportasi pada bentuk ini
sangat dominan sebagaimana bentuk pita,
namun pada bentuk gurita jalur
transportasi tidak hanya satu jalur saja
tetapi terdapat beberapa jalur ke luar kota.
Hal ini bisa terjadi menerus apabila tdk
ada hambatan yang berarti pada jalur
tersebut.
Sumber : Yunus (2001)
b. Bentuk-Bentuk Tidak Kompak
Bentuk-bentuk areal kekotaan yang tidak kompak pada pokoknya
merupakan satu daerah kekotaan yang mempunyai areal kekotaan terpisah-pisah
oleh kenampakan bukan kekotaan. Pemisahan dapat merupakan kenampakan
topografis maupun kemampuan agraris. Beberapa contoh dapat dikemukakan di
sini antara lain :
1) Linier Bermanik
Kota ini sebenarnya juga merupakan bentuk terpecah, namun karena
terjadinya hanya disepanjang rute tertentu, kota ini seolah-olah merupakan mata
rantai yang dihubungkan oleh rute transportasi. Oleh karena jarak antara kota
induk dengan kenampakan-kenampakan kota yang baru tidak jauh, beberapa
49
bagian tersebut membentuk kesatuan fungsional yang sama, khususnya dibidang
ekonomi. Jalur transportasi mempunyai peranan dominan dalam perkembangan
areal kekotaannya. Dalam perkembangan selanjutnya mungkin sekali bagian-
bagian tersebut dapat membentuk “ribbon city” yang besar
Gambar 2.9 linier bermanik Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus (2001)
2) Bentuk Terpecah (fragment cities)
Kota jenis ini pada awal pertumbuhannya mempunyai bentuk yang
kompak dalam skala wilayah yang kecil. Dalam perkembangan selanjutnya
perluasan areal kekotaan baru yang tercipta ternyata tidak langsung menyatu
dengan kota induknya, tetapi cenderung membentuk “exclaves” pada daerah-
daerah pertanian sekitarnya. Kenampakan-kenampakan kekotaan yang baru ini
dikelilingi oleh areal pertanian dan dihubungkan dengan kota induk serta
“exclaves” yang lain dengan jalur transportasi yang memadai.
Tersedianya lahan di luar kota induk yang cukup memungkinkan
terciptanya keadaan ini. “Privat Developers” mempunyai andil yang sangat besar
dalam penciptaan tipe ini. Untuk negara-negara berkembang “exclaves” ini
kebanyakan merupakan daerah permukiman, baik permukiman baru maupun lama
yang telah berubah dari sifat perdesaan menjadi sifat kekotaan. Lama-kelamaan
daerah-daerah kekotaan yang terpisah-pisah tersebut dapat menyatu membentuk
kota yang lebih besar dan kompak
50
Gambar 2.10 Bentuk terpecah
Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus (2001)
3) Bentuk Terbelah (split cities)
Sebenarnya, jenis kota ini merupakan kota yang kompak, namun
berhubung ada perairan yang cukup lebar membelah kotanya, maka seolah-olah
kota tersebut terdiri dari dua bagian yang terpisah. Dua bagian ini dihubungkan
oleh jembatan serta “ferry”. Biasanya masing-masing bagian mempunyai nama
yang berbeda dengan bagian yang lain
Gambar 2.11. Bentuk terbelah
Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus (2001)
4) Satelit (stellar cities)
Kondisi morfologi kota ini biasanya terdapat pada kota-kota besar yang
dikelilingi oleh kota-kota satelit. Dalam hal ini terjadi penggambungan antara kota
besar utama dengan kota-kota satelit di sekitarnya, sehingga kenampakan
51
morfologi kotanya mirip “telapak katak pohon” dimana pada ujung-ujung jarinya
terdapat bulatan-bulatan. Majunya sarana transportasi dan telekomunikasi,
mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan kenampakan ini. Proses
kontribusi yang terus-menerus akan menciptakan bentuk megapolitan .
Gambar 2.12 Bentuk Satelit
Sumber: Nelson, 1908 dalam Yunus (2001)
2.6.3 Pola-Pola Jaringan Jalan
Salah satu pembentuk unsur morfologi kota adalah pola jalan (Yunus,
2001). Dimana terdapat 3 (tiga) tipe sistem pola jalan yang dikenal yakni: (1)
sistem pola jalan tidak teratur (irrengular system); (2) sistem pola jalan radial
konsentris (radial concentric system); (3) sistem pola jalan bersudut siku atau grid
(rectangular or grid system) (Northam dalam Yunus, 2001).
Tabel 2.5 Pola Jaringan Jalan I
Pola Jalan Gambar Uraian
Sistem pola jalan tidak
teratur (irregular system)
Adanya ketidakteraturan
sistem jalan, baik ditinjau
dari segi lebar maupun
arah jalannya.
Ketidakteraturan ini
terlihat dari pola jalannya
yang melingkar lingkar,
lebarnya bervariasi dengan
cabang-cabang 'culdesac'
yang banyak. Kondisi
topografi kota yang tidak
datar juga mempengaruhi
terbentuknya sistem pola
52
Pola Jalan Gambar Uraian
jalan seperti ini.
Sistem pola jalan radial
konsentris (radial
concentric system)
Terdapat ciri-ciri yaitu
pola jalan konsentris,
artinya terdapat pemusatan
area pada jaringan jalan.
Selain itu terdapat sistem
yang berpola radial dengan
jalan yang melingkar
lingkar, dari pusat hingga
ke pinggiran. Pada bagian
pusat sistem pola jalan
merupakan daerah
kegiatan utama dan
sekaligus tempat
penahanan terakhir dari
suatu kekuasaan. Daerah
pusat dapat berupa pasar,
kompleks perbentengan,
ataupun kompleks
bangunan peribadatan.
Sistem pola jalan bersudut
siku atau grid (the
rectangular or grid
system)
Kota terbagi sedemikian
rupa menjadi blok-blok
empat persegi panjang
dengan jalan-jalan yang
paralel longitudinal dan
transversal membentuk
sudut siku-siku. Sistem ini
memudahkan dalam
pengembangan kota
sehingga kota akan
nampak teratur dengan
mengikuti pola yang telah
terbentuk.
Sumber : Northam dalam Yunus, (2001).
Pola jaringan jalan merupakan kumpulan jaringan jalan yang berhubungan
dan membentuk suatu model. Ada 6 pola jaringan jalan yaitu pola grid, pola
radial, pola cincin radial, pola spinal, pola heksagonal, dan pola delta. Morlok
dalam dalam Putri, M. A; Rahayu, M. J; Putri, R. A, (2016).
53
Tabel 2.6 Pola Jaringan Jalan II
Pola Jalan Gambar Uraian
Jaringan Jalan Grid
Jaringan jalan grid merupakan
bentuk jaringan jalan pada
sebagian besar kota yang
mempunyai jaringan jalan
yang telah direncanakan.
Jaringan ini terutama cocok
untuk situasi di mana pola
perjalanan sangat terpencar
dan untuk layanan transportasi
yang sama pada semua area.
Jaringan jalan radial
Jenis jaringan
radial difokuskan pada daerah
inti tertentu seperti CBD. Pola
jalan seperti menunjukkan
pentingnya CBD
dibandingkan dengan berbagai
pusat kegiatan lainnya di
wilayah kota tersebut.
Jaringan jalan cincin
radial
Jaringan jalan cincin radial
Merupakan kombinasi
bentuk-bentuk radial dan
cincin Jaringan jalan ini tidak
saja memberikan akses yang
baik menuju pusat kota, tetapi
juga cocok untuk lalu lintas
dari dan ke pusat-pusat kota
lainnya dengan memutar
pusat-pusat kemacetan.
Jaringan jalan spinal
Bentuk lain adalah jaringan
jalan spinal yang biasa
terdapat pada jaringan
transportasi antar kota pada
banyak koridor perkotaan
yang telah berkembang pesat,
seperti pada bagian timur laut
Amerika Serikat.
54
Pola Jalan Gambar Uraian
Jaringan jalan hexagonal
Keuntungan jaringan jalan ini
adalah adanya persimpangan-
persimpangan jalan yang
berpencar dan mengumpul
tetapi tanpa melintang satu
sama lain secara langsung.
Jaringan jalan delta
Jaringan ini hampir sama
dengan jaringan jalan
hexagonal dengan perbedaan
pada bentuknya
Sumber: Morlok dalam Putri, M. A; Rahayu, M. J; Putri, R. A, 2016
2.7 Komponen Tiap Bentuk Morfologi
Morfologi sendiri berasal dari kata morf yang berarti bentuk, sehingga
morfologi juga diartikan sebagai bentuk kenampakan fisik kawasan (James &
Bound, dalam Putri, M. A; Rahayu, M. J; Putri, R. A, 2016). Seiring berkembangnya
waktu memunculkan perubahan sosial, perubahan tersebut terwujud dalam bentuk
fisik kawasan. Produk perubahan sosial dalam fisik kawasan dikenal dengan
morfologi. Morfologi merupakan kenampakan fisik kawasan yang ditinjau dari
stuktur yang membentuk bentuk kenampakan tertentu. Kenampakan fisik
morfologi bukan hanya bentuk melainkan adanya hubungan antar kawasan.
Morfologi memiliki tiga komponen dalam mencermati kondisi fisik
kawasan. Komponen tersebut ditinjau dari penggunaan lahan kawasan yang
mencerminkan aktivitas kawasan, pola sirkulasi atau pola jaringan jalan yang
menghubungkan antar kawasan, dan pola bangunan beserta fungsinya (Soetomo,
55
2009). Komponen morfologi secara struktural dibedakan menjadi jaringan jalan,
kapling, dan bangunan. Ketiganya memiliki hubungan atau keterkaitan satu
dengan yang lain Bentuk morfologi dibedakan menjadi bentuk kompak dan
bentuk tidak kompak. Bentuk kompak meliputi bentuk bujur sangkar, empat
persegi panjang, bulat, kipas, pita, dan gurita. Bentuk tidak kompak meliputi
bentuk terpecah, berantai, terbelah, dan stellar (Yunus, 2005).
Penggunaan lahan merupakan salah satu komponen dalam morfologi.
Karakteristik kenampakan penggunaan lahan pada wilayah pinggiran berupa lahan
terbangun dengan fungsi permukiman, jasa, dan industri (Yunus, 2008).
Penggunaan lahan dalam morfologi ditinjau dari komposisi penggunaan lahan
yang mencerminkan penggunaan lahan campuran atau tidak (Burton dalam Putri,
M. A; Rahayu, M. J; Putri, R. A,2016).
Pola jaringan jalan merupakan kumpulan jaringan jalan yang berhubungan
dan membentuk suatu model. Ada 6 pola jaringan jalan yaitu pola grid, pola
radial, pola cincin radial, pola spinal, pola heksagonal, dan pola delta (Morlok
dalam Putri, M. A; Rahayu, M. J; Putri, R. A, 2016). Bangunan merupakan salah satu
komponen morfologi, ada 3 pola bangunan yaitu pola homogen, heterogen, dan
menyebar (Zahnd Bound dalam Putri, M. A; Rahayu, M. J; Putri, R. A, 2016). Pola
bangunan tidak terlepas dari kepadatan bangunan. Kepadatan bangunan dibedakan
menjadi tiga menurut Tyas dalam Putri, M. A; Rahayu, M. J; Putri, R. A. (2016),
kepadatan tinggi (BCR > 70%), kepadatan sedang (50% <BCR< 70%), dan
kepadatan rendah (BCR < 50%). Perpaduan ketiga karakteristik komponen dapat
membentuk bentuk morfologi kawasan. Bentuk morfologi kawasan tidak dapat
hanya ditentukan dari satu komponen, melainkan ketiganya. Karakteristik
56
komponen tiap bentuk morfologi dapat dilihat lebih lanjut dalam Tabel. 2.7
berikut :
Tabel 2.7 Komponen Tiap Bentuk Morfologi
No Bentuk Morfologi Penggunaan
Lahan Pola Jaringan Jalan
Bangunan
(Kepadatan &
Pola)
1 Konsentris Campuran, Pusat
kawasan Satu
(Tengah)
Radial Konsentris,Spinal,
Radial Cincin
Kepadatan Tinggi di
Pusat, Homogen
2 Memanjang Campuran, Pusat
kawasan Satu
(Sepanjang Jalan)
Grid, Spinal
Kepadaan Tinggi di
Sepanjang Jalan,
Heterogen
3 Gurita Campuran, Pusat
kawasan Satu
(Sepanjang Jalan
Atau Tengah)
Radia Konsentris, Radial
Cincin, Spinal
Kepadatan Tinggi Di
Pusat dan Sepanjang
Jalan, Heterogen
4 Tidak Berpola Campuran, Pusat
kawasan Tersebar
Tidak Berpola Kepadatan Sedang,
Heterogen
5 Linier Bermanik Campuran, Pusat
kawasan Beberapa
(Sepanjang Jalan)
Grid, Spinal Kepadatan Sedang
Berselang,
Heterogen
6 Satelit Campuran, Pusat
kawasan Beberapa
(Sepanjang Jalan
Dan Tengah)
Radial Konsentris, Radial
Cincin, Spinal
Kepadatan Tinggi
Pada Pusat
Kawasan, Heterogen
7 Terbelah Campuran Tidak Berpola Kepadatan Sedang
Sumber : Tyas, (2013), Zahnd (2008), Yunus (2005), Burton (2002), Morlok (1991) dalam Putri,
M. A; Rahayu, M. J; Putri, R. A. (2016)
2.8. Rangkuman Kajian Teori
Beberapa hal yang terkait dengan penelitian dalam kajian teori di atas
dapat di lihat pada Tabel 2.8 yakni rangkuman kajian teori, ini dimaksudkan untuk
menjustifikasi dalam pembahasan selanjutnya.
57
Tabel 2.8 Rangkuman Kajian Teori
No Teori Sumber Keterangan
1 Definisi Kota Daljoeni dalam
Rini (2014)
Dengan „Central Place Theori’
menunjukan bahwa kota adalah
sebagai pusat pelayanan bukan sebagai
tempat permukiman yang dilihat dari
sejauh manakah kota menjadi pusat
pelayanan yang tergantung pada sejauh
mana pedesaan sekitarnya
memanfaatkan jasa-jasa kota.
2 Pinggiran kota Kurtz dan Eicher
dalam Muhlisin
(2008)
1. Kawasan dimana tata guna
lahan rural dan urban bertemu
dan mendesak, di periferi kota
modern
2. Suatu kawasan yang letaknya
terletak diluar perbatasan kota
yang resmi, tetapi masih dalam
jarak melaju (commuting
distance)
3. Kawasan di luar kota yang
pendduknya berkiblat ko kota
(urban oriented residents)
4. Suatu kawasan pedesaan yang
terbuka yang dihuni oleh
orang- orang yang bekerja di
dalam kota.
5. Suatu daerah tempat pertemuan
orang-orang yang memerlukan
kehidupan di kota dan di desa.
3
Teori
Perkembangan
Fisik Ruang
Kota
Koestoer (2001) Komunitas secara fisik adalah daerah
binaan di perkotaan yang terletak
saling berdekatan, meluas dari
pusatnya hingga ke daerah pinggiran
kota. Kota secara fisik terdiri atas
tiga tingkatan, yaitu bangunan-
bangunan dan kegiatannya yang
berada di atas atau dekat permukaan
tanah; instalasi-instalasi ibawah
tanah, termasuk beberapa utilitas
dibawah permukaan tanah; dan
kegiatan-kegiatan dalam ruang
58
No Teori Sumber Keterangan
4
Permukiman UU Nomor 4
tahun 1992
tentang
Perumahan dan
Permukiman,
Bab I, Pasal 1 (5)
Permukiman adalah bagian dari lingkungan
hidup di luar kawasan lindung, baik yang
berupa kawasan perkotaan maupun
perdesaan yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan
hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan
penghidupan
6 Morfologi
dan
Pertumbuhan
Kota
Gilliland &
Gauthier (2006).
Morfologi Kota adalah studi tentang
permukiman penduduk dan proses
pembentukan serta perubahannya, dengan
melihat struktur ruang perkotaan yang
terbentuk. Analisis morfologi perkotaan
meliputi beberapa skala dan pola yang
menyangkut pola pergerakan (movement),
tata guna lahan (land use), dan kepemilikan
lahan. Studi ini menitik beratkan pada pola
jaringan jalan yang terbentuk, susunan
(layout) tata guna lahan dan plot perumahan.
7 Dari
Urbanisasi
Ke Morfologi
Kota
J.Friedman
dalam Soetomo
(2009)
Urbanisasi sebagai proses pembentukan
kehidupan kota menghasilkan produk fisik
berupa morfologi kota.:
8 Proses
Pemekaran
Kota
Yunus, 2001. Suatu kota mengalami perkembangan dri
waktu ke waktu. Perkembangan ini
menyangkut aspek politik, sosial, budaya,
teknologi, ekonomi dan fisik. Khususnya
mengenai aspek yang berkaitan langsung
dengan penggunaan lahan perkotaan maupun
penggunaan lahan pedesaan adalah
perkembangan fisik, khususnya perubahan
arealnya yg disebut pendekatan morfologi
kota atau “Urban Morphological Approach”
9 Pola Tata
Guna Lahan
Jayadinata dalam
Hamzah, 2010
Setiap kawasan memiliki karakteristik
penggunaan lahan yang berbeda, sesuai
dengan daya tampungnya, kemudahan
pencapaian, kondisi fisik alam, sistem
transportasi dan kebutuhan penggunaan lahan
individual
10 Komponen
Tiap Bentuk
Morfologi
Soetomo, 2009 Morfologi memiliki tiga komponen dalam
mencermati kondisi fisik kawasan.
Komponen tersebut ditinjau dari penggunaan
lahan kawasan yang mencerminkan aktivitas
kawasan, pola sirkulasi atau pola jaringan
jalan yang menghubungkan antar kawasan,
dan pola bangunan beserta fungsinya
59
Tabel 2.9 Sintesa Variabel Penelitian
No Pembahasan Indikator Variabel Keterangan Hasil
1 Bagaimana
perkembangan
fisik ruang
permukiman di
Kecamatan Siak
Hulu
Peta time series
perkembangan fisik
2007
2012
2017
Data aspek fisik
ruang keselruhan
Penggunaan
lahan
Data aspek fisik dasar
Topografi
Iklim Lokal
Teridentifikasinya
perkembangan fisik
ruang permukiman
di Kecamatan Siak
Hulu pada tahun
2007 -2017
2 Bagaimana pola
morfologi
kawasan
permukiman di
Kecamatan Siak
Hulu
Bentuk morfologi
Konsentris
Memanjang
Gurita
Tidak berpola
Linier bermanik
Satelit
terbelah
Teridentifikasinya
Pola morfologi
kawasan
permukiman di
Kecamatan Siak
Hulu
60
No Pembahasan Indikator Variabel Keterangan Hasil
Pola jaringan
jalan
Bangunan
(kepadatan&pola)
Grid
Radial konsentris
cincin radial
spinal
Tidak teratur
kepadatan
- Kepadatan Tinggi
- Kepadatan Sedang
pola
- Homogen
- Heterogen
Teridentifikasinya
Pola morfologi
kawasan
permukiman di
Kecamatan Siak
Hulu
3
Merumuskan
arahan penataan
kota yang tepat
berdasarkan
bentuk
morfologi
kawasan
permukiman di
Kecamatan
Siak Hulu
Arahan penataan
morfologi Perkembangan
time series
Penggunaan lahan
Pola jaringan jalan
Kepadatan
bangunan
Bentuk morfologi
Mengetahui arahan
kebijakan tentang
pengaturan
permukiman
Sumber : Hasil Analisis, 2018