bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … 2.pdf · pada saβulinga ‘sekali’ dan...
TRANSCRIPT
1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Penelitian BW masih sangat perlu dilakukan karena minimnya penelitian yang
menjadikan BW sebagai objek kajian. Seperti yang telah disinggung sebelumnya
bahwa penelitian morfologi BW dengan menggunakan teori mofologi generatif
sudah ada, hanya ruang lingkup penelitiannya yang berbeda. Artinya, penelitian
sebelumnya membahas proses morfofonemik prefiks BW, sedangkan penelitian ini
mengkaji proses pembentukan verba baik derivasional maupun infleksional BW.
Oleh karena itu, diperlukan tinjauan beberapa karya tulis yang membahas masalah
morfologi BW serta sejumlah penelitian morfologi generatif di luar BW yang dapat
membantu penelitian ini. Selain itu, tinjauan ini dapat memberikan gambaran
bahwa apa yang dibahas pada penelitian ini tidak sama dengan penelitian-penelitian
yang sudah ada. Untuk itu, penjelasan hasil penelitian tersebut dipaparkan secara
ringkas sebagai berikut.
Abas dkk. (1983) menulis buku yang berjudul Struktur Bahasa Wolio.
Penelitian itu merupakan implementasi dari saran-saran Seminar Politik Bahasa
Nasional 1975 yang dilakukan melalui kerja sama dengan Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. Dengan menggunakan teori linguistik struktural, peneliti
membahas masalah yang muncul dalam BW dari bidang fonologi, morfologi, dan
2
sintaksis BW. Pada aspek morfologi, penelitian itu menyebutkan beberapa bentuk
afiks BW, yaitu (1) prefiks dalam bahasa Wolio, seperti {a-},{ka-},{po-}, {peka-
}: (2) infiks dalam bahasa Wolio adalah {-in-}, {-um-}; dan (3) sufiks dalam bahasa
Wolio, seperti {-i}, {-mo}, {-pea}, {-aka}. Penelitian itu menggambarkan bentuk-
bentuk afiks BW secara umum hanya dengan menampilkan jenis dan distribusi
afiks tanpa menyertakan kaidah pembentukan kata serta fungsi dan makna afiks. Ini
dapat dilihat pada contoh yang disajikan, yaitu ka+tutubi ‘tutup’ katubi
‘penutup’, ko+banua ‘rumah’ kobanua ‘mempunyai rumah’, -in- + poana
‘mengangkat anak’ pinoana ‘keponakan’, mangkilo + mo ‘bersih’
mangkilomo ‘telah bersih’, dan kande+mo ‘makan’ kandemo ‘makankanlah’.
Hasil penelitian di atas masih membutuhkan kelanjutan kajian agar terjadi
kesempurnaan ilmu pada BW, khususnya dalam bidang morfologi. Data penelitian
ini berkontribusi sebagai sumber data sekunder bagi peneliti dalam melengkapi data
yang didapat di lapangan.
Gani dkk. (1986) menulis buku Morfologi Kata Kerja Bahasa Wolio. Penelitian
itu adalah proyek yang dilakukan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
untuk berpartisipasi dalam REPELITA. Penelitian itu mengkaji ciri-ciri kata kerja
BW, sistem pembentukan kata kerja BW, dan perubahan bentuk kata kerja BW
dalam hubungannya dengan proses afiksasi. Hasil analisis penelitian ini
menyebutkan bahwa terdapat beberapa afiks BW yang dapat melekat pada bentuk
dasar, baik berupa verba, nomina, adjektiva, maupun numeralia, seperti prefiks {a-
} yang melekat pada bentuk dasar verba lagu ‘nyanyi’ alagu ‘menyanyi’, sufiks
{-aka} yang melekat pada bentuk dasar nomina dika ‘tempat’ dikaaka ‘supaya
3
ditempatkan’, ada juga sufiks {-iki} yang terdapat pada bentuk dasar adjektiva sapo
‘panas’ sapoiki ‘memanasi’ dan terakhir prefiks {po-} yang dapat dilekatkan
pada bentuk dasar numeralia saŋu ‘satu’ posaŋu ‘bersatu’. Teori yang digunakan
dalam penelitian itu adalah teori linguistik struktural. Oleh karena itu, hasil analisis
hanya dapat menjelaskan sistem morfologi verba BW dari segi permukaan bahasa
(surface) sehingga output penelitian ini masih bersifat umum. Walaupun demikian,
penelitian ini tetap memberikan kontribusi berupa data kebahasaan BW bagi
peneliti.
Gustaaf dkk (1998) melakukan penelitian tentang BW yang kemudian
didokumentasikan menjadi sebuah buku yang berjudul Kata Tugas Bahasa Wolio.
Sama seperti dua penelitian yang telah dijelaskan sebelumya, penelitian itu juga
merupakan proyek Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa yang dimaksudkan
untuk menjaga kelestarian bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia, dalam hal
ini khususnya BW. Penelitian itu mengkaji kata tugas BW yang dapat diperoleh
melalui tiga cara, yaitu (1) pengafiksasian, (2) pereduplikasian, dan (3)
penggabungan. Dengan menggunakan teori linguistik struktural, Gustaf dkk.
berhasil menjelaskan bentuk kata tugas BW melalui afiksasi, seperti prefiks sa-
pada saβulinga ‘sekali’ dan konfiks sa-…..-na pada sambulina ‘sepulangnya’.
Bentuk kata tugas yang dijelaskan dalam penelitian ini masih sangat umum dan
tidak diberikan penjelasan tentang kaidah pembentukan kata. Walaupun demikian,
penelitian ini tetap memberikan kontribusi bagi peneliti, yaitu sebagai sumber data
tulis yang melengkapi data lapangan.
4
Simpen (2008) menulis sebuah artikel berjudul ‘‘Afiksasi Bahasa Bali: Sebuah
Kajian Morfologi Generatif’’. Artikel itu dimuat pada Jurnal Linguistika. Melalui
artikel itu peneliti ingin menjawab sebuah fenomena kebahasaan yang terdapat
dalam bahasa Bali, khususnya bidang morfologi. Peneliti menggunakan teori
morfologi generatif yang dianggap relevan untuk menjawab fenomena yang muncul
dalam bahasa Bali, seperti mesepedaan ‘bersepeda’, memotoran ‘berkendaraan’,
mejaranan ‘berkuda’. Secara gramatikal bentuk-bentuk ini dapat diterima dan
digunakan oleh masyarakat. Sebaliknya, bentuk mebisan* ‘berbus’, meterekan*
‘bertruk’, dan mehondaan* ‘berhonda’ tidak pernah dijumpai dalam percakapan,
padahal bentuk-bentuk ini secara gramatikal harus muncul. Dalam artikel itu,
dijelaskan prinsip dasar teori morfologi generatif, yakni proses pembentukan kata
dapat menghasilkan bentuk wajar, bentuk potensial, dan bentuk aneh. Teori ini
mengakui adanya kemampuan intutitif seseorang dalam mengenal bahasanya dan
bagaimanana kata dalam bahasa itu dibentuk (Halle, 1973: 3). Pembentukan kata
dalam teori ini, dijelaskan melalui empat komponen, yaitu (1) daftar morfem, (2)
kaidah pembentukan kata, (3) saringan, dan (4) kamus. Dengan mengenal struktur
batin sebuah kata, teori ini dapat memberikan penjelasan (explanation adequance)
terhadap bentuk aneh yang muncul pada bahasa Bali sehingga tidak ada bias dalam
proses afiksasi. Walaupun objek penelitian itu berbeda dengan objek yang dikaji
oleh penulis, penelitian itu dapat menjadi kajian pustaka yang memberikan banyak
kontribusi bagi penelitian penulis. Hal ini berhubungan dengan teori morfologi
generatif yang digunakan pada penelitian ini.
5
La Ino (2009) menulis sebuah artikel dalam Jurnal Lingua berjudul
“Morfonologis Prefiks dalam Bahasa Wolio (Kajian Transformasi Generatif)”.
Dalam penelitian itu peneliti menggunakan teori transformasi generatif, yaitu
menggambungkan teori morfologi generatif dengan teori fonologi generatif untuk
menjelaskan proses morfofonologis BW. Teori ini memiliki perangkat kaidah untuk
membentuk kata baru yang dikenal dengan kaidah transformasi. Selain itu,
pembentukan kata melalui proses afiksasi dapat dijelaskan secara fonologis. Hal ini
didukung oleh pernyataan Schane (1992:50) bahwa morfem-morfem bergabung
untuk membentuk kata, segmen-segmen dari morfem yang berdekatan berjejer dan
kadang-kadang mengalami perubahan. Melalui teori ini peneliti dapat menjelaskan
variasi perubahan bentuk dan bunyi pada prefiks BW. Objek dan salah satu teori
yang digunakan pada penilitian itu sama dengan objek dan teori yang digunakan
oleh penulis, tetapi ruang lingkup penelitian itu berbeda dengan ruang lingkup
penelitian ini. Artinya, dalam artikel itu dibahas prefiks BW, sedangkan dalam
penelitian dibahas afiksasi verbal BW. Dengan kesamaan objek dan teori, penelitian
itu memberikan kontribusi berupa data yang dapat digunakan sebagai data
pelengkap dan teori yang digunakan untuk menganalisis data penulis. Adapun hasil
penelitian itu, yaitu peneliti mengungkapkan beberapa perubahan bunyi prefiks
nasal BW, seperti proses perubahan bunyi (N) menjadi /m/ yang sekaligus diikuti
perubahan bunyi /β/ menjadi /b/. Suatu segmen konsonan obstruen ingresif /β/
setelah mengikuti asimilasi progersif nasal (N) yang diikuti oleh perbatasan
morfem, maka segmen konsonan obstruen dimaksud berubah menjadi obstruen /b/
dan nasal (N) menjadi /m/.
6
Dari beberapa penelitian yang dijelaskan di atas, sangat jelas diketahui bahwa
penelitian BW masih sangat kurang. Jadi, untuk melengkapi penelitian-penelitian
yang sudah ada, penelitian ini sangat penting untuk dilaksanakan.
2.2 Konsep
Ada beberapa terminologis yang digunakan dalam penelitian ini. Batasan
terminologis tersebut dipapaarkan secara terperinci berikut ini.
2.2.1 Afiks
Kridalaksana (1999:3) mendefinisikan afiks sebagai bentuk terikat yang bila
ditambahkan pada bentuk lain, akan mengubah makna gramatikalnya. Kemudian
Fromkin dan Rodman (1998:519) menyebutkan bahwa afiks merupakan morfem
terikat yang melekat pada morfem dasar atau akar. Pengertian afiks yang dijelaskan
oleh para linguis tersebut memiliki garis besar atau pengertian yang sama, yaitu
afiks adalah elemen terikat. Akan tetapi, menggunakan terminologi yang berbeda,
yaitu ‘bentuk terikat’ oleh Kridalaksana, sedangkan ‘morfem terikat’ oleh Fromkin
dan Rodman. Definisi yang diberikan oleh Alwi (2003:31) dapat menjembatani
kedua konsep tersebut. Alwi menjelaskan bahwa afiks merupakan bentuk atau
morfem terikat yang dipakai untuk menurunkan kata. Pengelompokan afiks oleh
setiap linguis berbeda-beda, misalnya Matthew (1997:11) membagi afiks menjadi
lima jenis, yaitu prefiks, sufiks, infiks, sirkumfiks, dan superfiks. Secara umum
Katamba (1993:89) membagi afiks menjadi tiga jenis, yaitu prefiks, sufiks, dan
7
infiks. Perbedaan jumlah jenis afiks yang muncul dari para linguis tentunya didasari
dengan kebutuhan bahasa itu sendiri. Untuk penilitian ini, pengelompokan afiks
didasari atas pembagian Alwi (2003:32), yaitu prefiks, sufiks, infiks, dan konfiks.
Hal ini dilakukan karena pembagian yang dilakukan oleh Alwi dapat
mereprenstasikan bentuk-bentuk afiks dalam BW. Adapun penjelasan keempat
afiks tersebut dapat dilihat di bawah ini.
(1) Prefiks adalah afiks yang diletakkan di muka bentuk dasar, seperti me- pada
kata menyanyi, merasa, melihat dan pada kata BW ma- dalam maoge
‘menjadi besar’, magari ‘menjadi dingin’.
(2) Infiks adalah afiks yang diselipkan di tengah bentuk dasar, seperti -in- pada
kata kinerja dan pada kata BW -in- dalam pinoana ‘keponakan’, pinoina
‘bibi’ serta –um- dalam tuminda ‘mengira’, tiumba ‘muncul’.
(3) Sufiks adalah afiks yang dilekatkan pada akhir bentuk dasar, seperti –an pada
kata masakan, minuman, lalu –i pada kata pukuli dan pada kata BW -mo
dalam mbulimo ‘pulanglah’, mangkilomo ‘sudah bersih’ serta –pea dalam
adaripea ‘ajari dahulu dia’, samburepea ‘sapu dahulu dia’.
(4) Konfiks merupakan bentuk terbagi yang diimbuhkan sekaligus pada bentuk
dasar yang dianggap sebagai satu kesatuan, seperti per-/-an dalam
perhentian, ke-/-an dalam kepanjangan dan pada kata BW, a-/-iki dalam
apotawaiki ‘menertawai’, pa-/-mea dalam pakolema ‘tidurkanlah’.
Selanjutnya, dalam menentukan konfiks dibutuhkan ketelitian karena ada satu
afiks yang memiliki bentuk yang sama dengan konfiks, yaitu imbuhan gabung.
Bentuk ini adalah afiks yang dilekatkan di awal dan akhir bentuk dasar. Secara
8
bentuk imbuhan gabung ini memiliki kesamaan dengan konfiks, tetapi dalam proses
pembentukannya berbeda dengan konfiks. Contohnya afiks ber- dan –an pada kata
berdatangan merupakan konfiks, sedangkan pada kata berhalangan merupakan
imbuhan gabung.
Dari pemaparan yang telah dijelaskan oleh para ahli, dapat dikatakan bahwa
konsep dasar yang dipakai pada kajian ini adalah sebagai berikut. Pertama, afiks
adalah morfem terikat yang memiliki kemampuan melekat pada satuan-satuan lain
untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Namun, di dalam suatu kata ia
merupakan unsur yang bukan kata atau pokok kata. Afiks yang melekat pada bentuk
lain akan mengubah makna gramatikalnya. Kedua, afiks dikelompokkan menjadi
empat, yaitu prefiks (awalan), infiks (sisipan), sufiks (akhiran) dan konfiks.
2.2.2 Afiksasi
Arifin (2009:10) menyebutkan bahwa afiksasi atau pengimbuhan adalah proses
morfologis yang mengubah leksem menjadi kata setelah mendapat afiks.
Selanjutnya Kridalaksana (1992:28) menjelaskan bahwa afiksasi adalah proses
mengubah leksem menjadi bentuk kompleks. Dalam proses ini leksem berubah
bentuknya menjadi kategori tertentu sehingga berstatus kata atau sebaliknya bila
telah berstatus kata, maka berganti kategori dan sedikit banyak berubah maknanya.
Selain itu, Matthew (1991:130) dan Verhaar (2001:107) menyatakan bahwa
afiksasi adalah proses penambahan afiks pada bentuk dasar.
9
Berdasarkan pendapat para linguis tersebut, dapat diambil simpulan untuk
memberikan gambaran tentang konsep afiksasi yang digunakan dalam penilitian
ini. Afiksasi adalah proses pengimbuhan afiks pada sebuah dasar atau
penggabungan afiks dengan dasar atau bentuk dasar sehingga menjadi bentuk yang
lebih kompleks. Bentuk dasar, afiks, dan makna garmatikal yang dihasilkan
merupakan unsur-unsur yang terlibat dalam proses afiksasi.
2.2.3 Bentuk Dasar
Kridalaksana (1989:20) mengemukakan bahwa bentuk dasar adalah bentuk
terkecil dalam proses afiksasi. Bentuk dasar dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
bentuk dasar bebas dan bentuk dasar terikat. Ciri-ciri bentuk dasar adalah (1) bentuk
terkecil dalam sebuah kosakata, (2) satuan yang berperan sebagai masukan dalam
proses morfologis, (3) merupakan bahan baku dalam bahasa morfologis, dan (4)
sebagai unsur yang diketahui adanya dari bentuk yang setelah dianalisis dari bentuk
kompleks merupakan bentuk dasar yang lepas dari proses morfologis.
Bentuk dasar dalam teori morfologi generatif termasuk dalam komponen daftar
morfem (DM) yang membedakan morfem bebas dengan morfem terikat
(Dardjowidjojo, 1983). DM merupakan komponen tempat menampung unsur-unsur
pembentukan kata. Morfem bebas adalah kata yang mampu berdiri sendiri dalam
tataran lebih tinggi dan kata yang telah memiliki kategori tertentu, misalnya
kategori nomina, verba, adjektiva, dan numeralia. Morfem terikat adalah bentuk
yang tidak mampu berdiri sendiri dalam tataran lebih tinggi dan kata yang belum
memiliki makna tertentu serta belum memiliki kategori leksikal. Morfem terikat
10
akan menjadi kata yang memiliki makna dan kategori leksikal apabila dibubuhi
afiks. Dalam BW dapat dijumpai bentuk, seperti kosea ‘bersemut’, kobanua
‘mempunyai rumah’, dan kabebe ‘pemukul’. Bentuk-bentuk yang dicetak miring
adalah bentuk morfem bebas. Bentuk-bentuk ini dapat ditemukan berdiri sendiri
dalam tuturan seperti pada akaβa i banua ‘sesampainya di rumah’. Sebaliknya,
bentuk ko-, dan ka- adalah bentuk morfem terikat, bentuk-bentuk ini merupakan
afiks yang harus melekat pada bentuk dasar agar memiliki makna dan kategori
leksikal.
2.2.4 Verba
Klammer (2000:68) menjelaskan bahwa secara tradisional verba telah
didefinisikan sebagai kata yang menyatakan aksi. Di sisi lain, Frawley (1992:144)
dan Givon (1984: 52) meyatakan bahwa verba merupakan kategori gramatikal yang
menyatakan peristiwa. Artinya, kategori verba dimotivasi secara semantis dari
peristiwa. Berdasarkan beberapa pertanyaan ini dapat dirumuskan bahwa
pernyataan Klammer kurang tepat karena pada kenyataannya tidak semua verba
merefleksikan tindakan, misalnya pada kata mati dan tidur. Kedua kata tersebut
bukan sebuah tindakan, tetapi digolongkan ke dalam verba. Oleh sebab itu, konsep
yang tepat dalam mengenali verba dapat dilihat dari konsep yang dikemukakan
Frawley dan Givon. Kebenaran konsep ini juga diperkuat oleh pernyataan Sudipa
(2004:28) bahwa realisasi verba sebagai tindakan hanyalah satu kecenderungan dan
tidak mengungkapkan karakter verba secara keseluruhan. Selain itu, juga
Kridalaksana (1994:51) menjelaskan bahwa secara sintaksis, verba dapat dikenali
11
dalam tataran frasa dengan melihat perilakunya, seperti verba tidak dapat
didampingi dengan partikel ke, dari, dan di atau kemungkinan verba dapat
didampingi dengan partikel tidak.
Berlandaskan konsep yang diungkapkan Frawley dan Givon, maka Alwi dkk.
(2003:87--90) menyatakan bahwa konsep verba meliputi keadaan (state), proses
(process), dan tindakan (action). Sementara itu, Chafe (1970:94) membedakan
verba menjadi lima tipe dengan melihat ciri-ciri dasar verba. Lima tipe verba
tersebut adalah (1) verba keadaan, (2) verba proses, (3) verba aksi, (4) verba aksi-
proses, dan (5) verba ambien.
Penelitian ini menggunakan konsep yang diungkapkan oleh Frawley dan
Givon. Adapun untuk pembagian verba penelitian ini menerapkan gabungan tipe
yang dikemukakan oleh Alwi dan Chafe, tentunya berdasarkan penyesuaian
terhadap karakteristik BW.
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan teori morfologi generatif, seperti yang telah
disinggung pada bab sebelumnya bahwa penelitian yang mengkaji BW khususnya
bidang morfologi belum ada yang menerapkan teori ini. Selain itu, berdasarkan
hasil penelitian yang telah ada diketahui bahwa penelitian tersebut masih bersifat
struktural sehingga hanya dapat digambarkan bentuk tanpa ada penjelasan yang
lebih khusus.
12
2.3.1 Teori Morfologi Generatif
Morfologi yang umum dikenal dengan ilmu yang mempelajari pembentukan
kata menempatkan teori morfologi generatif sebagai hal yang penting. Hal ini
terlihat dari banyaknya linguis yang mulai mengembangkan teori ini dalam
penelitian mereka. Bermula dari artikel yang berjudul “Remarks on
Nominalization” Chomsky (1970) memulai langkah awal dalam memperkenalkan
teori morfologi generatif. Menurutnya, morfologi generatif merupakan sub bidang
tata bahasa generatif transformasi (TGT). Parera (1994: 27) menjelaskan bahwa
untuk dapat memahami teknik dan proses analisis morfologi generatif perlu diingat
kembali konsep kompetensi dan performansi, konsep struktur dalam dan struktur
luar, komponen sintaksis berupa subkomponen basis dan subkomponen
transformasi, komponen semantik, komponen fonologi, dan terakhir bahasa bersifat
kreatif. Berdasarkan penjelasan ini, dapat dikatakan bahwa morfologi dalam teori
generatif merupakan bidang yang tidak dapat berdiri sendiri karena bidang ini
merupakan interfasi dari fonologis, sintaksis, dan semantik.
Halle (1973) salah seorang linguis yang memiliki minat besar dalam morfologi
generatif menulis sebuah makalah yang berjudul “Morphology in A Generative
Grammer”. Makalah ini disajikan pada Congress of Linguistic di Bologna tahun
1972. Pada tahun berikunya makalah ini diterbitkan dalam bentuk artikel dengan
judul “Prologemena to a Theory of Word Formation”. Dalam tulisannya, Halle
menjelaskan bahwa tataran morfologi memiliki tiga komponen yang tidak dapat
dihilangkan salah satunya. Ketiga komponen tersebut adalah seperti berikut.
13
(1) Daftar morfem (DM)
(2) Kaidah pembentukan kata (KPK)
(3) Saringan
Komponen pertama adalah daftar morfem (DM). Komponen ini memiliki dua
anggota, yaitu akar kata dan bermacam-macam afiks, baik yang infleksional
maupun derivasional. Halle menganggap bahwa satuan-satuan dasar leksikon
adalah morfem. Dalam DM setiap morfem dinyatakan sebagai suatu gugus ruas
fonologis dan diberikan kurung berlabel. Representasi nomina, verba, dan sufiks,
misalnya, dapat dinyatakan sebagai berikut.
(a) [home]N (b) [discuss]V (c) [-ity]Suf B. Inggris
(a) [meja]N (b) [makan]V (c) [-an]Suf B. Indonesia
Komponen kedua adalah kaidah pembentukan kata (KPK). Komponen ini
memuat aturan pembentukan kata dari morfem-morfem yang termuat dalam DM.
Secara spesifik, KPK bertugas untuk membentuk kata-kata baru berdasarkan
satuan-satuan dasar leksikon (morpheme) yang terdapat dalam DM, yaitu kata-kata
yang benar ada (sinkronik) dan kata-kata yang bersifat potensial (potensial word)
yaitu bentuk satuan lingual yang belum ada dalam realitas, tetapi diprediksi dapat
muncul karena memenuhi proses KPK.
Komponen ketiga adalah saringan yang bertugas menyaring kata bentukan
yang diproses dalam komponen KPK melalui mekanisme idiosinkresi, baik berupa
idiosinkresi fonologis, idiosinkresi semantik, maupun idiosinkresi leksikal
sehingga tidak semua kata dapat diturunkan dengan menggunakan KPK. Misalnya
dalam idiosinkresi fonologis pada kata mempunyai. Sesuai dengan kaidah bahasa
14
Indonesia jika konsonan /p/ yang berada di awal kata mendapat prefiks [mǝN-],
maka konsonan /p/ seharusnya luluh bila dibandingakn dengan meminjam. Bentuk
dasar dari kedua kata itu adalah punya dan pukul. Untuk idiosinkresi semantik dapat
dilihat pada kata perjuangan yang bermakna suatu kegiatan yang bertaraf nasional
ataupun kehidupan. Kemudian contoh idiosinkresi leksikal dapat dilihat pada kata-
kata bentukan melalui KPK tidak menyalahi kaidah, tetapi dalam realitasnya kata-
kata ini tidak pernah muncul pada percakapan sehari-hari. Kata-kata ini masuk ke
bentuk potential, seperti mencantik*, memperbetuli*, dan sejenisnya. Dengan
demikian, komponen ini dapat menjelaskan dan memberikan informasi mengapa
bentuk tertentu dapat berterima dan mengapa bentuk lain tidak dapat berterima.
Tentunya ini merupakan sebuah langkah maju dalam analisis morfologi, yang
selama ini hanya dijelaskan sebagai perkecualian atau dihindari sama sekali.
Kemudian, untuk menampung kata-kata hasil dari komponen KPK yang telah
lolos dari komponen saringan, maka Halle menambahkan sebuah komponen, yaitu
komponen dictionary atau kamus. Halle tidak menganggap komponen ini
merupakan bagian integral dari morfologi generatif, sehingga di awal penjelasan
hanya disebutkan tiga komponen. Walaupun demikian, komponen ini memiliki
peranan dalam pembentukan kata karena leksikon yang terdapat dalam kamus dapat
digunakan oleh KPK untuk diproses lagi seperti proses afiksasi sehingga dapat
membentuk leksikon baru. Selain bentuk-bentuk yang lolos dari komponen
saringan ada juga bentuk-bentuk yang tertahan dalam saringan atau tidak lolos yang
disebut bentuk potensial. Halle tidak menjelaskan secara pasti di mana bentuk ini
akan ditampung. Berbeda dengan Halle, Darjowidjojo (1988:57) seorang linguis
15
Indonesia menjelaskan bahwa kamus masuk bagian integral dari morfologi
generatif. Dikatakan demikian karena seperti yang sudah dijelaskan di awal bahwa
KPK dapat menggunakan leksikon yang ada dalam kamus sebagai bentuk dasar
dalam proses pembentukan kata. Disamping itu, juga kamus menampung kata-kata
hasil saringan. Kemudian, Darjowidjojo juga menyarankan untuk menempatkan
bentuk potensial yang tertahan di saringan ke dalam kompenen kamus. Nantinya
bentuk-bentuk potensial ini diberikan tanda (*) untuk membedakannya dengan
bentuk-bentuk wajar. Alur pembentukan kata dalam teori morfologi generatif oleh
Halle dapat digambarkan pada diagram di bawah ini.
Diagram 1 Morfologi Generatif Model Halle
Aronoff (1976) seorang linguis yang juga memiliki ketertarikan dalam
morfologi generatif membicarakan teori ini dalam tulisan yang berjudul “Word
Formation in Generatif Grammar”. Terdapat perbedaan antara pendapat Aronoff
dan Halle dalam menjelaskan teori morfologi generatif, khususnya pada bagian
kaidah pembentukan kata. Halle menggunakan morfem sebagai bentuk minimal
yang digunakan sebagai landasan penurunan kata. Pernyataan ini dikenal dengan
List of
Morpheme
Word
Formation
Rules
filter Dictionary
Output Phonology Syntax
16
istilah ‘morpheme based approach’. Akan tetapi, Halle memiliki pandangan yang
sangat berbeda dengan pengertian morfem yang diketahui pada umumnya, seperti
kata ‘transformational’. Menurut Halle (1973:3), kata ini terdiri atas lima morfem,
yaitu trans- form- at- ion- al. Aronoff menolak pandangan Halle karena Aronoff
memiliki asumsi bahwa sebuah morfem tidak memiliki makna tetap, bahkan dalam
keadaan tertentu morfem tidak memiliki makna sama sekali. Dari situlah Aronoff
mengambil keputusan untuk menggunakan kata sebagai bentuk minimal yang
dipakai sebagai landasan pembentukan kata. Kata yang dimaksud dalam hal ini
diartikan sama dengan leksem. Oleh sebab itulah, teori yang dikenalkan oleh
Aronoff dikenal dengan istilah ‘lexem based approach’.
Selanjutnya, Aronoff (1976:40) menjelaskan bahwa kata merupakan bentuk
minimal penurunan kata dalam KPK harus memenuhi kriteria (1) dasar
pembentukan kata adalah kata, (2) kata yang dimaksud adalah kata yang benar-
benar ada dan bukan hanya merupakan bentuk potensial, (3) aturan pembentukan
kata (WFR’s) hanya berlaku pada kata tunggal dan bukan kata kompleks atau lebih
kecil daripada kata (bentuk terikat), (4) masukan dari KPK harus memiliki kategori
sintaksis, dan (5) begitu juga keluaran dari KPK harus memiliki kategori sintaksis.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa perbedaan pandangan Halle
dan Aronoff sangat jelas terlihat pada aspek KPK, yaitu perbedaan penggunaan
materi sebagai bentuk minimal. Halle menggunakan morfem, sedangkan Aronoff
menggunakan kata. Tentunya secara langsung Halle menempatkan kata dan afiks
dalam satu wadah, yaitu DM. Hal ini sangat tidak disetujui oleh Aronoff.
Menurutnya kata dapat memberikan informasi kategorial berupa nomina, verba,
17
adjektiva, dan sebagainya, sedangkan afiks hanya memberikan informasi relasional.
Selain itu, Halle menggunakan mekanisme idiosinkresi pada komponen
saringannya, sedangkan Aronoff (1976:43) menggunakan sistem blocking
(pembendungan). Sistem ini bertujuan untuk membendung munculnya suatu kata
karena telah ada kata lain yang mewakilinya. Oleh karena itu, KPK yang diajukan
oleh Aronoff sangat sensitif, baik terhadap ciri sintaksis maupun fonologi. Pada ciri
sintaksis fenomena ini dapat dilihat pada bahasa Inggris, seperti pembubuhan sufiks
{-ment} yang hanya dapat dibubuhi pada verba seperti government ‘pemerintah’,
treatment ‘pengobatan’. Kemudian untuk fenomena pada ciri fonologi dapat dilihat
dalam bahasa Indonesia, yaitu kata-kata yang berakhiran dengan vokal /i/ tidak
dapat dibubuhi oleh sufiks {-i}, seperti pada kata ‘pergi’ tidak akan pernah menjadi
‘pergii’.
Analisis morfologi generatif yang dikemukakan oleh Aronoff dapat dilihat
pada diagram yang dibuat oleh Scalise (1984:43), berikut ini.
Diagram 2 Organisasi dari Komponen Leksikal 1
Lexical Component
WFR’s
Dictionary
18
Analisis yang dilakukan oleh Aronoff ternyata tidak terhenti pada diagaram
tersebut karena Aronoff (1976:105) kemudian menambahkan sebuah kaidah atau
aturan yang diberikan nama adjusment rules ‘Kaidah Penyesuaian’ yang
selanjutnya disingkat AP. Tujuan kaidah ini adalah untuk memperlihatkan
bagaimana penyesuaian itu berinteraksi dengan KPK. Kaidah ini menyebabkan
semua kata dalam pembentukan kata tidak dapat secara langsung masuk ke
komponen kamus. Kaidah ini kemudian dibedakan menjadi dua jenis oleh Aronoff,
yaitu (1) kaidah pemenggalan dan (2) kaidah alomorfi.
Kaidah pemenggalan (truncation rules) bertugas untuk mengatur pelesapan
yang terjadi dalam sebuah morfem yang berwujud pada proses afiksasi. Aronoff
(1976:106) merumuskan kaidah pemenggalan dalam bahasa Inggris sebagai
berikut.
[[root + A] x + B] y
1 2 3 1Ø3
Dari rumus di atas dapat dinyatakan bahwa x dan y memiliki kategori leksikal
utama. Contohnya dapat dilihat pada pelekatan sufiks {-ee} pada verba nominate
sehingga menjadi nominee yang merupakan sebuah nominal. Perubahan ini dapat
dijelaskan melalui proses pelesapan di bawah ini:
[nomin + -ate] V + -ee] N nominee
1 2 3 1Ø3
‘mencalonkan’ ‘calon’
Contoh lain terdapat pada kata evacuate ‘mengungsikan’ berubah menjadi
evacuee ‘pengungsi’ ketika telah mengalami kaidah pemenggalan.
19
Kaidah alomorfi (allomorphy rules) merupakan kaidah yang mengatur
perubahan fonologis, yang diterapkan pada morfem tertentu dalam lingkungan
morfem tertentu (Aronoff, 1976:116). Kaidah ini terjadi akibat penggabungan
sebuah morfem dengan morfem yang lain dalam suatu proses afiksasi. Aronoff
memberikan contoh dalam bahasa Inggris tentang penambahan sufiks {-ation}
yang memiliki lima bentuk, yaitu {-a tion}, {-i tion}, {-u tion}, {ion}, dan {-tion}
yang dapat dijelaskan oleh contoh di bawah ini:
fascinate fascination
realize realization *relazion *realization
educate *educatation education *educatition
resolve *resolvation *resolvion resolution
Adanya penambahan AP pada analisis morfologi generatif model Aronoff
menyebabkan Scalise (1984: 168) menyempurnakan diagram sebelumnya dengan
menambahkan AP.
.
OUTPUT
Diagram 3 Organisasi dari Komponen Leksikal 2
Lexical Component
Dictionary
Adjusment Rules
WFR’s
20
DM KPK Saringan Kamus
Kata dasar
Bebas
Terikat
A
f
i
k
s
a b c d
i
e
f
g
h
j
k
Kedua teori morfologi generatif yang telah dijelaskan membutuhkan
pemodifikasian agar dapat digunakan dalam mengkaji afiksasi BW. Hal ini didasari
oleh pendapat Darjowidjojo (1988:56) bahwa untuk menampung bahasa seperti
bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah yang ada di Nusantara diperlukan
pemodifikasian terhadap teori morfologi generatif, baik model Halle maupun model
Aronoff. Kemudian, Darjowijojo merombak teori morfologi generatif model Halle
berdasarkan diagram yang dibuat oleh Scalise yang menurutnya belum sempurna.
Dengan demikian, Darjowijoyo dapat membuat bagan pembentukan kata yang
dapat menampung bahasa-bahasa khususnya bahasa-bahasa daerah yang ada di
Indonesia dengan sempurna. Bagan tersebut dapat dilihat di bawah ini.
\
Diagram 4 Model Bagan Dardjowijojo (1988:57) Modifikasi dari Scalise
21
Dardjowidjojo mengemukakan bahwa terdapat empat komponen integral
dalam morfologi generatif, yaitu daftar morfem (DM), kaidah pembentukan kata
(KPK), saringan dan kamus. Dalam komponen DM, Dardjowijojo memisahkan
bentuk bebas dan bentuk terikat. Hal itu, bertujuan untuk menampung bentuk terikat
seperti morfem prakategorial mengingat bahasa Indonesia dan bahasa daerah
memiliki kata dasar yang statusnya lebih kecil dari pada kata, tetapi bukan afiks.
Penerapan model ini bisa dilihat pada jalur (a) Jalur ini dapat dilewati oleh bentuk
bebas yang ada dalam DM, seperti bahasa Indonesia baju, makan, dan minum tanpa
mengalami hambatan pada komponen saringan. Lalu jalur (b) merupakan jalur bagi
bentuk bebas setelah mengalami proses afiksasi. Andaikata bentuk bebas tersebut
tidak mengalami idiosinkresi, maka bentuk tersebut dapat secara langsung masuk
ke komponen kamus. Sebaliknya, jika mengalami idiosinkresi maka bentuk tersebut
akan melewati jalur (c). Bentuk-bentuk potensial yang tidak muncul dalam tuturan
sehari-hari akan melalui jalur (d) dan (g) yang kemudian disimpan dalam komponen
kamus dengan memberikan tanda asterik (*). Untuk bentuk-bentuk mustahil, seperti
berjalani*, melukisan* melalui jalur (d) dan (h). Bentuk ini akan tertahan dalam
komponen saringan, artinya bentuk ini tidak dapat masuk ke komponen kamus.
Pada jalur (f) pecah menjadi dua jalur, yaitu jalur (j) untuk bentuk yang tidak
mendapatkan idiosinkresi dan jalur (k) untuk bentuk yang mengalami idiosinkresi.
Teori model Halle dan teori model Aronoff sama-sama memiliki kelemahan.
Pandangan Halle terhadap DM harus diisi dengan morfem yang oleh Halle memiliki
pengertian morfem yang berbeda dengan yang biasa dipahami oleh orang pada
umumnya. Kata transformational, misalnya, menurut Halle terdiri atas lima
22
morfem, yaitu trans-form-at-ion-al atau vacant dan believe yang terdiri dari dua
morfem, yakni va-cant dan be-lieve. Di pihak lain, pandangan Aronoff terhadap
KPK tidak dapat diterapkan pada kajian ini karena dalam BW bentuk dasar yang
dikriteriakan untuk dapat menjadi dasar pembentukan kata tidak terpenuhi. Oleh
karena itu, penelitian ini menggunakan teori morfologi generatif yang telah
dikembangkan oleh Darjowidjojo sebagai landasan teori.
2.3.2 Teori Proses dan Kaidah Fonologis
Proses pembentukan kata atau yang dikenal dengan istilah morfofonemik
merupakan kajian tentang fenomena-fenomena yang melibatkan bidang morfologi
dan fonologi (Katamba, 1993: 34). Artinya, proses pembentukan kata melalui
afiksasi akan menimbulkan proses fonologis. Pernyataan ini senada dengan Schane
(1992:50) yang menyatakan bahwa ketika suatu morfem bergabung untuk
membentuk kata, segmen morfem yang berdekatan berjejer dan kadang-kadang
mengalami perubahan atau penambahan. Oleh sebab itu, diperlukan teori
fononologi generatif dinamis untuk menjawab masalah yang muncul dalam proses
pembentukan kata.
Schane (1992:50) juga mengemukakan bahwa terdapat empat kaidah dan
proses dalam morfofonemik, yaitu (1) proses perubahan fonem, (2) proses
penambahan fonem, (3) proses peluluhan fonem, dan 4) proses hilangnya fonem.
Penambahan fonem misalnya sufiks {-an} yang melekat pada bentuk dasar /tari/
akan memunculkan bunyi semivokal [y] sehinga akan menjadi [hari] + [-an]
[hariyan]. Prefiks {meng-} akan luluh atau lesap menjadi bunyi nasal [ɲ] jika
23
bertemu dengan bunyi frikatif [s], seperti pada bentuk dasar /siram/ menjadi [meŋ-
] + [siram] [meɲiram].
Dalam teori fonologi generatif terdapat suatu konsep yang sangat penting,
yaitu fitur pembeda. Pastika (2005:13) menjelaskan bahwa jika fitur pembeda
merupakan unsur terkecil dari fonetik, leksikal dan suatu transkripsi fonologis yang
dibentuk oleh kombinasi dan rangkaian. Artinya, sebuah segmen dapat
dideskripsikan secara artikulatoris melalui fitur pembeda ini. Schane (1992:27)
mengemukakan bahwa secara ideal, fitur-fitur pembeda yang sesuai harus
memenuhi tiga fungsi, yaitu (1) fitur-fitur itu mampu memerikan fonetik sistematis
atau disebut fungsi fonetis, (2) pada tataran yang lebih abstrak, fitur-fitur itu dapat
digunakan untuk membedakan unsur-unsur leksikal atau disebut fungsi fonemis,
dan (3) fitur-fitur itu mampu menetapkan kelas wajar, yaitu segmen sebagai
kelompok yang mengalami proses fonologis yang sama. Selanjutnya, fitur-fitur
pembeda dalam penerapannya dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, fitur
yang berpasangan dengan menggunakan ciri biner yaitu tanda (+) dan (-), dan
kedua, fitur yang mewakili nilai pada skala, misalnya fitur untuk kelas konsonantal
adalah vokal adalah [+obstruen], [+nasal], dan [-silabis].
Penjelasan Schane mengenai teori fonologi generatif dinamis khususnya
kaidah dan proses pembentukan kata yang dipaparkan di atas menjadi acuan bagi
peneliti. Artinya, menjadi acuan dalam menjelaskan kaidah dan proses
pembentukan kata yang dihasilkan dari menggabungkan afiks BW.
24
2.3.3 Teori Fungsi dan Makna
Setiap kata yang mengalami proses pembentukan dalam hal ini penambahan
afiks pada bentuk dasar akan mengakibatkan munculnya sebuah makna. Pateda
(2010:103,119) menjelaskan bahwa semua kata memiliki makna leksikal, yaitu
makna yang tertera dalam kamus dan makna gramatikal, yaitu makna yang muncul
akibat berfungsinya makna sebuah leksem dalam kalimat. Leksem ‘otak’, misalnya,
dilihat makna leksikalnya adalah salah satu bagian tubuh manusia yang lunak
berada di dalam rongga tengkorak kepala yang menjadi pusat saraf. Di pihak lain
bila leksem ini ditempatkan pada sebuah kalimat ‘coba pakai otakmu’ maka leksem
ini tidak lagi menunjukkan makna leksikal, tetapi menunjuk pada makna gramatikal
yaitu pikiran, cara berpikir, dan pikiran.
Widdowson (1996:54) berpendapat lain tentang makna kata. Menurutnya,
proses gramatikal dapat menimbulkan munculnya makna gramatikal. Adapun
proses tersebut adalah proses afiksasi, proses reduplikasi, dan proses komposisi.
Kemudian, Saaed (1997:99) menjelaskan bahwa makna leksikal adalah makna
sebuah leksem atau kata yang sesuai dengan referensinya. Perhatikan contoh
kalimat di bawah ini.
(a) Peti-peti barang yang akan dikrim, semuanya terpaku dengan rapi
(b) Perhatiannya terpaku pada gadis cantik itu
Pada kalimat (a) kata yang dihasilkan oleh prefiks –ter pada kata paku menjadi
terpaku memiliki makna gramatikal ‘telah dilakukan’ atau ‘dalam keadaan’. Di
25
pihak lain dalam kalimat (b) kata ‘terpaku’ melahirkan makna gramatikal yang
berbeda, yaitu ‘menyatakan arah/tempat’.
Aronoff (1976:1--2) mengemukakan bahwa secara tradisional morfologi dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu morfologi derivasional dan morfologi infleksional.
Morfologi derivasioanal merupakan proses pembentukan bentuk turunan melalui
proses afiksasi yang dapat mengubah kategori bentuk asal yang digunakan sebagai
dasar pembentukan kata. Sebaliknya, morfologi infleksional juga merupakan proses
pembentukan bentuk turunan dengan proses afikasasi, tetapi dalam proses
infleksional tidak terjadi perubahan kategori bentuk turunan dari bentuk asal yang
menjadi dasar pembentukan kata. Senada dengan itu, Spencer (1993:9) menyatakan
bahwa fungsi infleksional tidak dapat mengubah kategori sintaktis sebuah kata,
sedangkan fungsi derivasional menyebabkan terjadinya perubahan kategori
sintaksis sebuah kata. Contoh proses derivasional dapat dilihat pada afiks {ber-}
dalam kata ‘bersepeda’. Afiks ini mengubah kategori kata dari ‘sepeda’ yang
tadinya nomina menjadi ‘berseda’ yang berkategori verba. Di pihak lain proses
infleksional dapat dilihat pada afiks {meng-} yang melekat pada bentuk verba,
seperti ‘ambil’ menjadi ‘mengambil’ yang masih berkategori verba. Artinya, afiks
ini tidak mengubah kategori kata kedua bentuk tersebut.
Pandangan Widdowson mengenai makna gramatikal tidak hanya terbatas pada
struktur sintaksis, tetapi juga struktur morfologis. Di samping itu, pendapat Aronoff
dan Spencer dalam menjelaskan fungsi afiks menjadi acuan bagi peneliti untuk
menganalisis fungsi dan makna yang terjadi dalam proses pembentukan verbal BW.
26
2.4 Model Penelitian
Diagram 5 Model Penelitian
Bahasa Wolio
Data
Verba BW
Hasil Penelitian
Morfologi Generatif
Teori Proses dan Kaidah
Pembentukan Kata
Teori Proses dan Kaidah
Fonologis
Teori Fungsi dan Makna
Proses Pembentukan Verba
BW
Proses dan Kaidah
Pembentukan Verba BW
Proses Morfofonemik BW
Fungsi dan Makna Afiks
Verbal BW
Metode
Deskriptif Kualitatif