bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan...
TRANSCRIPT
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
Dalam bab ini dibahas kajian pustaka yang diambil dari beberapa tulisan dan
hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya, deskripsi konsep yang
menyajikan konsep relevan dengan tema penelitian ini, landasan teori yang
digunakan untuk menganalisis permassalahan yang ada, dan model penelitian yang
merupakan gambaran alur penelitian atau kerangka berpikir dalam penelitian ini.
Penjelasan selengkapnya dituangkan dalam sub-subbab berikut.
2.1 Kajian Pustaka
Kajian mengenai pembangunan dan pengembangan pariwisata alternatif dari
perspektif ilmu pariwisata sudah banyak dilakukan. Di pihak lain kajian mengenai
perkembangan pariwisata alternatif dari perspektif kajian budaya menjadi fenomena
yang sangat menarik karena belum banyak dilakukan. Beberapa tulisan dan hasil
penelitian berikut dianggap relevan dengan penelitian ini khususnya mengenai
pariwisata alternatif dan pengembangan desa wisata.
Dieter K. Muller dan Robert Pettersson (2005) dalam tulisan berjudul What and
Where is the Indigenous at an Indegenous Festival? Observation from the Winter
Festival in Jokkmok, Sweden menyatakan bahwa festival musim dingin di Jokkmokk
yang diadakan setiap tahun dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat luas
untuk melihat langsung dan mempelajari suku Sami dan warisan budayanya sehingga
pengetahuan wisatawan terhadap kebudayaan suku Sami akan meningkat. Festival
23
ini merupakan atraksi wisata yang berbasiskan kebudayaan masyarakat lokal suku
Sami yang dikemas sedemikian menarik dengan menawarkan unsur habitat
(kebiasaan/tradisi masyarakat), history (sejarah), handicrafts (hasil kerajinan/cendera
mata), dan heritage (warisan budaya) suku Sami. Studi ini memberikan gambaran
bahwa unsur habitat, history, handicrafts, dan heritage merupakan faktor penting
sebagai modal pengembangan pariwisata alternatif di pedesaan.
Tulisan Dieter K. Muller dan Robert Pettersson (2005) di atas memberikan
inspirasi pada penelitian mengenai pengembangan pariwisata alternatif di Desa
Wisata Jasri, yang juga memanfaatkan kebudayaan masyarakat lokal dalam bentuk
potensi “4H” sebagai modal utamanya. Perbedaannya terletak pada waktu
pelaksanaannya. Festival musim dingin di Jokkmok, Swedia hanya dilaksanakan
setiap musim dingin (setahun sekali), sedangkan sebagian besar atraksi wisata
berbasis potensi “4H” di Desa Wisata Jasri bisa dinikmati setiap saat.
Penelitian Maribeth Erb (2005) yang berjudul Limiting Tourism and the Limits
of Tourism: The Production and Consumption of Tourist Attraction in Western
Flores menarik untuk disimak. Penelitian ini mengkaji massalah produksi lokal dan
konsumsi atraksi wisata di sebuah kota kecil Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai,
Flores Barat. Salah satu atraksi wisata yang menjadi primadona di kawasan wisata ini
adalah Taman Nasional Komodo, yaitu habitat Komodo di Indonesia hanya terdapat
di daerah ini. Dalam tulisan ini dinyatakan bahwa pariwisata tidak hanya merupakan
sekumpulan aktivitas komersial, tetapi juga secara ideologi mampu membingkai
sejarah, alam, dan tradisi. Di samping itu, pariwisata juga memiliki kekuatan untuk
menata ulang alam dan kebudayaan itu sendiri sesuai dengan kebutuhannya.
24
Berdasarkan pendapat Bruner (1995), Erb menyatakan bahwa dalam
pengembangan pariwisata budaya terdapat sebuah pertentangan ironis yang
fundamental antara harapan-harapan wisatawan dan harapan-harapan masyarakat
lokal. Wisatawan datang dari luar untuk mengetahui sesuatu yang eksotik. Artinya
sesuatu yang dari dalam pariwisata dipandang sebagai sebuah modernisasi. Pada saat
pariwisata dikembangkan sebagai alat pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, maka
masyarakat lokal akan mengalami keadaan paradoks. Dikatakan demikian karena
pada saat yang bersamaan, wisatawan ingin melihat masyarakat primitif yang belum
berkembang.
Berawal dari kondisi tersebut, kemudian muncullah istilah zona perbatasan
wisatawan (tourist boarder zone) atau yang diistilahkan dengan empty meeting
ground (ruang pertemuan kosong). Istilah ini kemudian disarankan oleh MacCannell
(1992:2) dalam Erb (2005) sebagai “not really empty”, tetapi berisi pengekangan
terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73)
dan Bruner (1988, 1991) dalam Erb (2005: 156) mengambil contoh sebuah adegan
dalam film Cannibal Tours tentang kesalahpahaman yang terjadi dalam percakapan
antara wisatawan dan pramuwisata di Desa Sepik, Papua Nugini. Apa yang
diharapkan dan dibayangkan oleh wisatawan terhadap masyarakat lokal benar-benar
berbeda dengan keinginan-keinginan masyarakat lokal di sana. Para wisatawan
berharap akan mendapatkan “sesuatu yang berbeda” yang oleh masyarakat lokal
dianggap hanya sebuah fantasy yang tidak akan pernah didapatkan oleh wisatawan.
Dengan kata lain, apa yang dicari oleh wisatawan di antara kehidupan masyarakat
lokal tidak akan didapatkan. Dalam hal ini tampak jelas adanya perbedaan persepsi
yang dapat dihubungkan dengan ketimpangan relasi kuasa antara masyarakat lokal
25
sebagai salah satu unsur pengampu kepentingan pariwisata (tourism stakeholder) dan
wisatawan.
Selanjutnya, menurut Bruner (1996:159) dalam Erb (2005), tourist border zone
dipandang sebagai a creative space, sebuah tempat untuk menemukan budaya dalam
skala masif dengan harapan, yaitu pada satu sisi wisatawan akan memperoleh leisure
dan exsoticism, sedangkan di sisi lain masyarakat lokal mendapatkan work dan cash.
Dalam tulisan Erb ini juga dapat dilihat bahwa pemerintah melalui Dinas
Pariwisata sejak awal menginginkan pengembangan pariwisata di Flores bisa
berkembang seperti pariwisata Bali. Mereka ingin mem-photocopy pariwisata Bali
yang sudah berkembang sangat pesat dengan pendapatan di sektor ekonomi yang
sangat besar pula.
Masyarakat lokal dalam mengembangkan pariwisata di Flores sering tanpa
memperhatikan beberapa unsur kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di daerah ini.
Salah satu contoh, dalam melayani wisatawan masyarakat lokal enggan menawarkan
makanan lokal khas Flores. Mereka cenderung menawarkan masakan Jawa, Chinese,
atau masakan ala negara barat. Masyarakat takut menawarkan sesuatu yang baru
kepada wisatawan tanpa mempertimbangkan bahwa sebagian besar wisatawan ingin
mencoba dan mendapatkan sesuatu yang khas dari masyarakat lokal. Tulisan Erb di
atas memberikan catatan penting dalam penelitian ini khususnya menyangkut
interaksi (relasi kuasa) stakeholder pariwisata di Desa Pakraman Jasri. Di samping
itu, juga dalam pengembangan pariwisata alternatif di desa ini perlu diantisipasi
sejak awal sehingga tidak terjadi kesalahpahaman persepsi antara harapan
masyarakat lokal dan keinginan para wisatawan yang berkunjung ke desa wisata ini.
26
Penelitian disertasi Madiun (2008) berjudul “Partisipasi Masyarakat Lokal dalam
Pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua (Perspektif Kajian Budaya)”.
Penelitian itu relevan dijadikan salah satu kajian pustaka dalam penelitian ini
terutama menyangkut makna yang muncul dari adanya pengembangan pariwisata
alternatif di Desa Pakraman Jasri. Persamaan penelitian Madiun dengan penelitian
ini, yaitu sama-sama mengeksplorasi masyarakat dan pariwisata sebagai subjek
penelitian dengan pendekatan teori-teori kritis kajian budaya. Perbedaannya, Madiun
menekankan model pengembangan kawasan wisata modern di kawasan mass tourism
Nusa Dua, sedangkan tulisan ini mengkaji pengembangan alternative tourism di
desa wisata Jasri, Kabupaten Karangasem.
Penelitian Madiun ini menggunakan beberapa teori kajian budaya, yaitu teori
hegemoni, teori dekonstruksi, teori kritis, teori kuasa/pengetahuan
(power/knowledge) Michel Foucault, dan teori konflik. Tulisan ini menekankan
pentingnya pengelolaan berbagai potensi untuk pengembangan pariwisata Bali. Hal
itu telah menempatkan posisi perencanaan sebagai salah satu yang sangat penting.
Implementasi perencanaan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan berhati-
hati, agar mampu mengendalikan berbagai dampak lingkungan dan budaya yang
ditimbulkan dalam pengembangan sektor pariwisata.
Hasil penelitian Madiun tersebut menunjukkan tiga hal berikut. Pertama, adanya
berbagai bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal Nusa Dua, yaitu
partisipasi karena paksaan (manipulative participation), partisipasi dengan
kekuasaan dan ancaman (coersive partisipation), partisipasi karena dorongan
(induced partisipation), dan partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous
partisipation). Kedua, tersedianya potensi sumber daya yang memenuhi syarat,
27
munculnya paradigma baru dalam pembangunan masyarakat lokal yang berorientasi
pariwisata, pengaruh wacana yang berkembanng di kalangan masyarakat lokal,
keinginan mendapatkan manfaat ekonomi, pengaruh modernisasi dalam kehidupan
masyarakat lokal, prospek usaha komplementer ke depan, keinginan mewujudkan
masyarakat yang mandiri. Ketiga, makna partisipasi yang muncul di antaranya
makna kepatuhan, makna ekonomi, makna pluralisme dan multikulturalisme, serta
makna persaingan.
Penelitian bertema partisipasi masyarakat juga telah dilakukan oleh Suarthana
(2015) dalam disertasinya berjudul “Dampak Partisipasi Masyarakat dalam
Pengelolaan Desa Wisata terhadap Sosial Budaya, Lingkungan, dan Ekonomi: Kajian
Komparatif antara Desa Wisata Bedulu, Bali dan Pentingsari, Yogyakarta.”
Penelitian yang dilaksanakan di dua desa wisata, yaitu Desa Wisata Bedulu, Gianyar,
bertujuan untuk mengkaji partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap sosial
budaya, lingkungan, dan ekonomi. Temuan penelitian itu, adalah bahwa kedua desa
wisata memberdayakan partisipasi masyarakat lokal dengan baik sehingga
masyarakat lokal memperoleh makna ekonomi. Kajian Suarthana ini memberikan
efek positif bagi penelitian ini karena sama-sama menjadikan desa wisata sebagai
subjek penelitian. Perbedaannya, kajian Suarthana murni merupakan kajian positivis
pariwisata, sedangkan penelitian ini menggunakan teori-teori kritis kajian budaya
(cultural study).
Purnaya (2015) dalam disertasinya berjudul “Relasi Kuasa dalam Pengelolaan
Resor Wisata Nusa Dua” menganalisis relasi kuasa tiga pengampu kepentingan
dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, dalam era satu setengah dekade terakhir
ini, yaitu sejak reformasi (1998) sampai 2013 penting dijadikan sebagai salah satu
28
referensi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui ideologi yang mempengaruhi
relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Nusa Dua dan pemaknaan relasi kuasa dalam
pengelolaan Resor Nusa Dua di kalangan tiga pengampu kepentingan, yaitu
pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal.
Tulisan Purnaya menggunakan teori hegemoni (Gramsci), teori diskursus
kuasa/pengetahuan (Foucault), dan tindakan komunikatif (Habermas) yang
diaplikasikan secara eklektik mengingat subtopik yang dibahas berkaitan satu dengan
lainnya. Hasil analisis Purnaya menunjukkan bahwa relasi kuasa antara BTDC dan
masyarakat mengalami perubahan drastis sejak era reformasi dari hubungan
hegemonik menjadi hubungan negosiatif dan kemudian oposisional (kontra
hegemonik). Dalam relasi hegemonik, masyarakat tidak memiliki kuasa untuk
menolak rencana pemerintah membangun Resor Wisata Nusa Dua. Masyarakat
menerima proyek top down pemerintah karena mereka dijanjikan akan mendapat
kesempatan kerja dan peluang usaha ekonomi pariwisata. Dalam perjalanan
berikutnya, masyarakat lokal yang awalnya dalam hegemoni penuh, mulai berani
melakukan negoisasi, bahkan melakukan protes atas pengembangan pengelolaan
Resor Nusa Dua oleh BTDC dan kalangan investor. Hasil kajian Purnaya ini
dianggap memiliki relevansi dengan salah satu masalah yang dikaji dalam penelitan
pariwisata alternatif di Desa Wisata Jasri, Kabupaten Karangasem ini, yaitu
mengenai peran ketiga pengampu kepentingan pariwisata (tourism stakeholder)
dalam penetapan Desa Pakraman Jasri sebagai desa wisata.
Amerta (2005) dalam penelitian tesis berjudul “Tinjauan Perkembangan Desa
Wisata Baha Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, dari Perspektif Pariwisata
Berbasis Masyarakat” memfokuskan tulisannya pada perkembangan pariwisata di
29
Desa Wisata Baha. Penelitian yang dilakukan oleh Amerta ini murni menggunakan
teori-teori positivistik pariwisata yang berbeda dengan kajian ini yang menggunakan
teori-teori kajian budaya. Persamaannya terletak pada subjek yang diteliti, yaitu
sama-sama meneliti desa wisata.
Hasil penelitian Amerta tersebut menunjukan bahwa Desa Wisata Baha belum
berkembang sesuai dengan harapan masyarakat. Terhambatnya perkembangan desa
Baha menjadi desa wisata dapat dilihat, baik dari aspek ekonomi, sosial budaya,
maupun secara fisik. Menurutnya, pengembangan kepariwisataan di desa ini
menjadi suatu kajian yang sangat menarik untuk diteliti karena memiliki dua fakta
yang bertolak belakang, yakni desa ini memiliki berbagai potensi pariwisata, baik
potensi sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), maupun potensi
sumber daya budaya (SDB). Namun, kenyataannya pengembangan pariwisata di desa
wisata ini belum dapat dirasakan oleh masyarakat, baik dalam penyerapan tenaga
kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, maupun tidak adanya kontribusi ke
lembaga Desa Pakraman Baha dan ke Pemerintah Kabupaten Badung. Belum
berkembangnya Desa Baha sebagai desa wisata disebabkan oleh beberapa faktor,
seperti (1) kurang adanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengembangan
pariwisata, hal ini terbukti tidak adanya lembaga pengelola pariwisata di desa wisata
ini; (2) belum dimanfaatkannya potensi sumber daya secara optimal, baik SDM,
SDA, maupun SDB; (3) belum adanya investor (penanam modal) yang mau
berinvestasi di desa ini; dan (4) masih kurangnya perhatian pemerintah, khususnya
pemerintah Kabupaten Badung dalam memberikan pembinaan secara kontinu dan
serius dalam rangka pengembangan Desa Wisata Baha. Dengan kata lain,
terhambatnya perkembangan pariwisata di Desa Baha juga disebabkan oleh
30
hubungan antar-stakeholder pariwisata di Desa Wisata Baha belum berjalan secara
sinergis dan harmonis.
Hasil penelitian yang dilakukan Pitana et al. (2000) tentang “Daya Dukung Bali
dalam Kepariwisataan (Kajian dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya)”
menyatakan bahwa Bali memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas, terutama
ketersediaan lahan dan air bersih. Pertumbuhan penduduk dan kedatangan migran
yang tidak terkendali serta laju konversi lahan terbuka menjadi lahan terbangun
untuk kepentingan akomodasi pariwisata akan sangat menurunkan daya dukung Bali
terhadap kehadiran wisatawan karena kritis lahan dan air. Sarana akomodasi
pariwisata berupa kamar yang telah dibangun sampai dengan tahun 2005, baik yang
kelas melati maupun hotel berbintang lima sudah mencukupi, bahkan telah
melampaui kebutuhan. Kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah di tingkat
kabupaten yang diartikan secara sempit diperkirakan akan memperkuat ego sektoral
yang semata-mata didasarkan atas pertumbuhan ekonomi berupa peningkatan PAD.
Dengan demikian, persaingan yang tumbuh akan semakin menghalalkan segala cara,
khususnya dalam pemanfaatan sumber daya, yaitu lahan dan air.
Hasil penelitian yang ditunjukkan Pitana et al, di atas mengisyaratkan bahwa
pengembangan pariwisata konvensional (mass tourism) di Bali sudah jenuh. Untuk
itu, perlu dicarikan solusi pengembangan pariwisata alternatif (alternative tourism)
yang ramah lingkungan, bermanfaat secara ekonomi, sosial dan budaya, serta
berkelanjutan. Oleh karena itu, penelitian Pitana et al. di atas memberikan dukungan
terhadap kajian pariwisata alternatif di Desa Wisata Jasri, khususnya dalam usaha
pengembangan pariwisata yang konsisten dengan kelestarian alam lingkungan,
kehidupan sosial, dan budaya masyarakat.
31
2.2 Konsep
Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu “Pengembangan Pariwisata Alternatif
di Desa Pakraman Jasri, Kelurahan Subagan, Karangasem” secara substansial
konsep-konsep yang digunakan dalam kajian ini adalah konsep pengembangan,
pariwisata alternatif, konsep desa wisata, pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat, dan konsep pariwisata berkelanjutan. Penjelasan konsep-konsep tersebut
secara lebih detail menjadi penting karena merupakan unsur pendukung penelitian
ini. Konsep-konsep tersebut diuraikan satu per satu sebagai berikut.
2.2.1 Pengembangan
Menurut Sugono dkk. (2008:679), kata pengembangan mengandung pengertian:
pembangunan secara bertahap dan teratur serta yang menjurus ke sasaran yang
dikehendaki. Selanjutnya Suwantoro (1997:120) menyatakan bahwa pengembangan
bertujuan untuk mengembangkan produk dan pelayanan yang berkualitas, seimbang,
dan bertahap. Di pihak lain Poerwadarminta (2002:474) lebih menekankan suatu
proses atau suatu cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna maupun
berguna. Dengan kata lain, pengembangan berarti pembangunan yang dilakukan
secara terus-menerus sampai mendapatkan hasil yang diharapkan.
Terkait dengan pembangunan pariwisata, Paturusi (2001) memberikan definisi
yang berbeda dengan beberapa definisi sebelumnya. Ia menyatakan bahwa
pengembangan merupakan suatu strategi yang digunakan untuk memajukan,
memperbaiki, dan meningkatkan kondisi kepariwisataan suatu daya tarik wisata
sehingga dapat dikunjungi wisatawan. Di samping itu, mampu memberikan manfaat
dan keuntungan bagi wisatawan, industri pariwisata (investor), pemerintah, dan
32
masyarakat lokal di mana daerah tujuan wisata tersebut berada. Mill (2000:168)
menyatakan bahwa pada dasarnya pengembangan pariwisata dilakukan untuk
memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan permasalahan.
Menurut Butler (1999:60), ada enam tahap pengembangan pariwisata yang
membawa implikasi serta dampak yang berbeda, secara teoretis, yaitu seperti di
bawah ini.
1. Tahap eksplorasi, pertumbuhan spontan dan penjajakan (exploration).
Pada tahap ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka cenderung
dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah
tujuan wisata. Fasilitas pariwisata dan kemudahan yang didapat wisatawan
juga kurang baik. Atraksi di daerah wisata belum berubah oleh pariwisata dan
kontak dengan masyarakat lokal relatif tinggi.
2. Tahap keterlibatan (involvement).
Pada tahap ini mulai adanya inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas
wisata, kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu oleh
keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadinya peningkatan jumlah kunjungan
wisatawan.
3. Tahap pengembangan dan pembangunan (development).
Pada tahap ini jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim
puncak wisatawan biasanya menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk
lokal. Investor luar berdatangan memperbarui fasilitas. Sejalan dengan
meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah
rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara nasional dan
33
regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk pemecahan masalah yang
terjadi, melainkan juga untuk pemasaran internasional.
4. Tahap konsolidasi (consolidation).
Pada tahap ini tingkat pertumbuhan sudah mulai menurun walaupun total
jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum
berpengalaman mengatasi massalah dan kecenderungan terjadinya monopoli
yang sangat kuat
5. Tahap kestabilan (stagnation).
Pada tahap ini jumlah wisatawan yang datang berada pada puncaknya.
Artinya, wisatawan tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan wisata. Ini
disadari bahwa kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan
komponen-komponen lain pendukungnya dibutuhkan untuk mempertahankan
jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin
mengalami massalah-massalah lingkungan, sosial, dan ekonomi.
6. Tahap penurunan kualitas (decline) dan kelahiran baru (rejuvenation).
Pada tahap decline, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang
diketahui semula dan menjadi ‘resort” baru. ‘Resort’ menjadi bergantung
pada sebuah daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan
harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan berpeluang kuat untuk
berubah dan fasilitas-fasilitas pariwisata, seperti akomodasi akan berubah
pemanfaatannya. Akhirnya, pengambilan kebijakan mengakui tingkatan ini
dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai „kelahiran baru‟. Selanjutnya
terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang, seperti pemanfaatan,
34
pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan
wisata tersebut.
Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
pengembangan dalam penelitian ini adalah suatu aktivitas memajukan Desa Wisata
Jasri dengan menggali berbagai potensi yang bisa dikembangkan menjadi suatu daya
tarik wisata alternatif. Aktivitas tersebut dikelola oleh masyarakat lokal, ramah
lingkungan, berkelanjutan, serta dapat meningkatkan kehidupan sosial budaya dan
kesejahteraan masyarakat sesuai dengan pendapat Paturusi (2001) di atas.
2.2.2 Pariwisata Alternatif
Secara umum pengembangan pariwisata dibedakan menjadi dua macam, yaitu
pariwisata massal/konvensional (mass tourism) dan pariwisata alternatif (alternative
tourism). Mass tourism bersifat konvensional, standar, dan berskala besar. Pariwisata
alternatif secara lebih luas didefinisikan sebagai bentuk kepariwisataan yang
konsisten terhadap nilai alam, sosial, dan masyarakat yang memungkinkan
masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi positif dan wajar. Selain itu,
juga menikmati indahnya berbagai pengalaman (William dan Valene, 1992:3 dalam
www.google.com, 15 Agustus 2015).
Pesatnya pembangunan dan pengembangan pariwisata massal (mass tourism) di
seluruh dunia di samping memberikan keuntungan juga telah terbukti turut secara
luas memberikan dampak negatif bagi destinasi wisata (Cooper dan Ozdil, 1992
dalam France, 1997:15). Untuk mengurangi dampak negatif yang terjadi, Wheeller
(1990) menyarankan untuk mengontrol volume pariwisata massal tersebut, terutama
di daerah-daerah yang memiliki kerawanan lingkungan, seperti di daerah
35
pegunungan dan daerah pesisir pantai (France, 1997:15). Menurut Kodhyat (1997:32;
Suwantoro, 2002) istilah pariwisata alternatif (alternative tourism) mempunyai dua
pengertian sebagai berikut.
1. Sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang timbul sebagai reaksi terhadap
dampak-dampak negatif dari pengembangan dan perkembangan pariwisata
konvensional.
2. Sebagai bentuk kepariwisataan yang berbeda (yang merupakan alternatif) dari
pariwisata konvensional untuk menunjang kelestarian lingkungan.
Selanjutnya, wacana pengembangan pariwisata alternatif (alternative tourism)
terus bergulir dan menarik perhatian banyak ahli di bidang pariwisata. Fennell dan
Smale dalam France (1997:15) menyatakan bahwa meningkatnya minat wisatawan
pada bentuk-bentuk pariwisata alternatif merupakan respons terhadap eksploitasi
lingkungan yang ditimbulkan oleh mass tourism, terutama yang terjadi di negara-
negara berkembang.
Pencarian pengalaman liburan wisata yang berbeda (alternatif) bukanlah
fenomena baru. Beberapa penulis, seperti Christaller (1964), Turner dan Ash (1975),
Cohen (1972), dan plog (1972) telah melakukan kodifikasi terhadap fenomena ini
(France, 1972: 15). Pariwisata alternatif muncul sebagai reaksi atas pariwisata massal
yang ada akibat adanya kecenderungan wisatawan untuk mencari sesuatu yang baru
di destinasi wisata yang pernah dikunjungi sebagai alternatif dari yang telah ada.
Selain itu, dari segi penawaran, disadari pula bahwa perlu sesuatu yang baru di
destinasi sebagai pilihan, terutama bagi wisatawan yang berkunjung ulang atau
repeater (Eadington dan Smith, 1992:3--4).
36
Pengembangan pariwisata massal (mass tourism) dengan skala besar diyakini
telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan (polusi) dan keramain berlebihan
(overcrowded). Kondisi ini menimbulkan dampak ketidaknyamanan bagi wisatawan
sehingga mereka ingin mendapatkan dan menikmati sesuatu yang baru, berskala
kecil, berwawasan lingkungan, berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal.
Dengan adanya pariwisata alternatif, wisatawan diharapkan mendapatkan
pengalaman yang baru. Dalam hal ini tampak jelas perbedaan antara pariwisata
massal (mass tourism) dan pariwisata alternatif (alternative tourism) sebagaimana
dikutip oleh Pearce (1992:23), bahwa konsep pariwisata alternatif kontras dengan
konsep pariwisata komersial/konvensional dengan skala besar, kapitalistik,
kepemilikan asing, ataupun hard tourism.
Hasslacher (1984), sebagaimana dikutip Pearce (1992:22--25) merangkum
beberapa variabel yang digunakan untuk membedakan mass (hard) tourism dengan
alternative (soft) tourism. Secara umum, perbedaan di antara kedua jenis pariwisata
tersebut dapat dilihat dari dari hal-hal berikut.
1. Karakteristik kontekstual dalam bentuk fisik, sosial, budaya, lingkungan, atau
ekonomi. Hal ini akan berkaitan dengan dampak yang akan ditimbulkan.
2. Fasilitas, baik jenis maupun skala. Bila pariwisata massal membangun
fasilitas akomodasi dengan skala besar, kualitas standar, dan harga standar,
pariwisata alternatif membangun fasilitas akomodasi dengan skala kecil
(terbatas), tetapi bervariasi dalam hal atraksi wisata dan fasilitas lainnya.
Umumnya, pariwisata alternatif cenderung mempunyai harga yang lebih
mahal dengan kualitas pelayanan yanag lebih baik.
37
3. Lokasi, yaitu tempat fasilitas tersebut dibangun. Bila pariwisata massal
cenderung dibangun secara ekstensif, pariwisata alternatif cenderung
dibangun terlokalisasi.
4. Pengembang/kepemilikan (ownership). Fasilitas pariwisata massal cenderung
dimiliki oleh investor, terutama orang asing dengan operasional usaha
menggunakan jaringan (networking) internasional. Di pihak lain pariwisata
alternatif cenderung dikembangkan dan dimiliki oleh orang lokal yang
termotivasi untuk memanfaatkan kehadiran wisatawan demi keuntungan
masyarakat lokal.
5. Proses pembangunan. Dalam pembangunan pariwisata massal cenderung
diperlukan sumber daya yang sangat besar (listrik, air, tenaga kerja, modal,
dan sebagainya) serta waktu yang lama. Namun, dalam proses pembangunan
pariwisata alternatif, cenderung digunakan sumber daya yang terbatas.
6. Pasar dan pemasaran. Pariwisata massal biasanya dipasarkan untuk berbagai
segmen pasar yang berasal dari berbagai negara dengan karakteristik berbeda
serta dibuat dalam paket dan promosi yang beragam. Di pihak lain pariwisata
alternatif cenderung membidik segmen pasar tertentu dengan jalur promosi
dan paket yang terbatas, tetapi mengedepankan kualitas.
7. Dampak. Pariwisata massal telah banyak dikeluhkan memiliki dampak
negatif yang luas terhadap destinasi, sedangkan pariwisata alternatif karena
perkembangnnya relatif baru, peluang meminimalkan dampak negatif dan
memaksimalkan dampak positif akan lebih besar.
Lebih lanjut, dilihat dari jenisnya, menurut Mieczkowski (1995:459 dalam
www.google.com, diunduh 15 Agustus 2015), pariwisata alternatif dapat dibedakan
38
menjadi lima macam. Kelima bentuk pariwiswata alternatif tersebut, yaitu (1)
pariwisata budaya (cultural tourism), pengembangan pariwisata alternatif berbasis
budaya (culture) masyarakat lokal; (2) pariwisata pendidikan (educational tourism)
disediakan bagi mereka yang berwisata sambil mengikuti pendidikan dan pelatihan
tertentu; (3) pariwisata ilmu pengetahuan/science (scientific tourism); (4) pariwisata
petualangan (adventure tourism); dan (5) pariwisata pertanian (agritourism) yang
keseluruhannya merupakan pariwisata berwawasan lingkungan (ecotourism).
Dari keseluruhan bentuk pengembangan pariwisata alternatif sesuai dengan
pendapat Mieczkowski di atas, terdapat tiga bentuk pariwisata alternatif yang paling
sesuai dikembangkan di wilayah pedesaan. Bentuk-bentuk pariwisata alternatif
dimaksud adalah (1) pariwisata budaya (cultural tourism), yang memanfaatkan
budaya lokal masyarakat setempat; (2) pariwisata petualangan (adventure tourism),
biasanya memanfaatkan kawasan pegunungan; dan (3) pariwisata pertanian
(agritourism) memanfaatkan sebagian atau keseluruhan aktivitas pertanian
masyarakat.
Sejalan dengan beberapa pendapat sebelumnya, Burns dan Holden (1997:15)
menyatakan bahwa pesatnya perkembangan pariwisata massal yang tidak terkendali
bertanggung jawab besar terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, terutama
terhadap kerusakan lingkungan. Lebih lanjut, Burns dan Holden merangkum dan
menunjukkan perbedaan karakteristik utama antara pariwisata massal dan pariwisata
alternatif yang ditunjukkan dalam tabel 2.1.
39
Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik antara Pariwisata Massal dengn Alternatif
Pariwisata Massal Pariwisata Alternatif
Wisatawan disebut tourist
Melibatkan perusahaan besar
Berskala besar
Jaringan hotel multinasional
Perkembangan cepat sering tanpa
perencanaan
Pengambilan keputusan bersifat
multinasional
Dampak terabaikan
Berbentuk resort, bahan bakar
transportasi menjadi efektif
Wisatawan disebut traveller
Perusahaan kecil, pelakunya spesifik, dan
mandiri
Berskala kecil
Akomodasi berskala kecil
Perkembangan pelan dan terkontrol
Pengambilan keputusan bersifat lokal
Dampak negatif relatif kecil
Penggunaan bahan bakar untuk
transportasi sering tidak efektif
Sumber: Lane, 1990. Wheeler, 1990. Heritage Coast, 1992 dalam Burns dan Holden
(1997: 16)
Tabel 2.1 menunjukkan perbedaan pendekatan yang jelas antara pengembangan
pariwisata massal (mass tourism) dan pengembangan pariwisata alternatif
(alternative tourism). Tampak penggunaan istilah wisatawan berbeda, yaitu tourist
merupakan sebutan bagi wisatawan yang berwisata hanya ke satu tempat/destinasi),
sedangkan traveller biasanya akan mengunjungi beberapa lokasi/destinasi yang
berbeda-beda. Dari sisi skala pengembangan, kepemilikan, dan dampak yang
ditimbulkan juga tampak jelas perbedaannya.
Berkaitan dengan bentuk atau jenis pariwisata alternatif, Burns dan Holden
(1997: 16) membedakan bentuk atau jenis pariwisata alternatif menjadi tiga bagian.
Ketiga bentuk pariwisata alternatif tersebut serta karakteristiknya dijelaskan sebagai
berikut.
40
1. Pariwisata petualangan (adventure tourism): melibatkan tantangan secara
fisik, mengandung unsur pendidikan, dan kontak dengan alam.
2. Pariwisata alam (nature tourism): merupakan bagian dari aspek pariwisata
petualangan yang lebih fokus pada kegiatan studi dan/atau kegiatan
konservasi flora, fauna, dan lingkungan alam (lanscape).
3. Pariwisata masyarakat (community tourism): jenis pariwisata ini dikelola oleh
dan untuk masyarakat lokal (Burns dan Holden, 1997:16).
Terkait dengan ketiga bentuk pariwisata alternatif di atas, Burns dan Holden
mengutip pendapat Kallen (1990: 37) yang merujuk kepada definisi yang
dikeluarkan oleh The World Wild Fund for Nature (WWF) tentang ekowisata
(ecotourirm) sebagai pariwisata yang mengusung konsep perlindungan sumber daya
alam dan kelestarian lingkungan dan mampu memberikan keuntungan secara
ekonomi bagi masyarakat lokal. Di samping itu, Burns dan Holden juga memberikan
gambaran tentang cakupan atau scope wilayah antara pengembangan pariwisata
massal dan pariwisata alternatif seperti tampak dalam gambar 2.1.
Dalam gambar 2.1 tampak wilayah cakupan pariwisata alternatif lebih luas
dibandingkan dengan pariwisata massal. Pariwisata alternatif memiliki cakupan
keseluruhan pengembangan ekowisata (ecotourism), meliputi sebagian wilayah
pariwisata masyarakat (community tourism), pariwisata petualang (adventure
tourism), dan wilayah pariwisata alam (nature tourism).
41
Gambar 2.1 Jenis dan Cakupan Pariwisata
(Sumber: Burns dan Holden, 1997:17)
2.2.3 Desa Wisata
Pariwisata pedesaan dalam dekade terakhir telah menjadi wacana menarik dalam
mencari alternatif dari pengembangan pariwisata konvensional. Jenis pariwisata ini
menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keunikan pedesaan, baik dari
kehidupan sosial budaya, adat istiadat keseharian, aktivitas spiritual, arsitektur
bangunan, maupun struktur tata ruang desa yang khas atau kegiatan perekonomian
yang unik dan menarik. Di samping itu, juga memiliki potensi untuk dikembangkan
menjadi berbagai atraksi wisata.
Pariwisata pedesaan termasuk ke dalam jenis usaha berskala kecil, memerlukan
modal relatif lebih sedikit, memanfaatkan sumber daya setempat, dan dimiliki serta
dikelola oleh masyarakat lokal. Kunci utama pariwisata pedesaan adalah keunikan
dan orisinalitas adat istiadat, budaya, dan aktivitas daily life masyarakatnya. Keaslian
dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, fisik, dan sosial daerah pedesaan tersebut,
misalnya tata ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentang alam, jasa
MASS
PAPPA
42
peristiwa sejarah dan budaya yang penting, serta pengalaman yang eksotik khas
daerah.
Secara khusus berkaitan dengan perilaku, integritas, keramah-tamahan, dan
kesungguhan penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Oleh karena itu, pariwisata
pedesaan dapat djadikan media dalam pengembangan identitas dan ciri khas daerah
sesuai dengan prinsip dan tata cara adat setempat. Adapun caranya adalah dengan
mengembangkan mutu produk wisata pedesaan, mengembangkan kelompok usaha
lokal, dan memberikan kesempatan pada masyarakat setempat untuk ikut
mengendalikan strategi dan pelaksanaan kegiatan tersebut (Nasikun, 1997; Fagence,
1997). Salah satu bentuk realisasi pengembangan pariwisata pedesaan adalah desa
wisata.
Menurut Suwantoro (1997), desa wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang
menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik tata
ruang, arsitektur bangunan, maupun pola kehidupan sosial budaya masyarakat, adat
istiadat keseharian. Di samping itu, mampu menyediakan komponen-komponen
kebutuhan pokok wisatawan, seperti akomodasi, makanan dan minuman, cendera
mata, dan atraksi-atraksi wisata. Di pihak lain Edward Inskeep dalam Tourism
Planning An Integrated and Sustainable Development Approach memberikan
definisi desa wisata sebagai berikut.
Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional,
often remote villages and learn about village life and the local environment
(Wisata pedesaan, dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau
dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan
belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat) (Inskeep,
1991).
43
Berdasarkan definisi desa wisata di atas, diketahui bahwa substansi yang
terkandung dalam desa wisata adalah pengembangan suatu wilayah desa
memanfaatkan berbagai potensi dan kemampuan unsur-unsur yang ada dalam
masyarakat desa yang berfungsi sebagai atribut produk wisata, menjadi suatu
rangkaian aktivitas pariwisata yang terpadu. Selain itu, wisatawan akan mendapat
pengalaman baru mengenai kehidupan masyarakat pedesaan dan lingkungannya.
Sebagai landasan dasar dalam pengembangan desa wisata menurut definisi yang
dikemukakan di atas adalah pemahaman terhadap karakter dan kemampuan unsur-
unsur yang ada di desa tersebut termasuk pengetahuan dan kemampuan lokal
(indigeneous knowledge) dan kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki oleh
masyarakat. Adapun yang dimaksudkan pemahaman unsur-unsur desa adalah
menghimpun semua atribut-atribut potensial pembentuk produk sebagai dasar
perencanaan dan pengemasan desa. Unsur-unsur yang dimaksudkan mencakup
lingkungan makro yang terdiri atas aspek (1) lingkungan alam, (2) sosial ekonomi
dan budaya masyarakat, sedangkan lingkungan mikro yang mencakup (1) arsitektural
dan struktur tata ruang serta (2) aspek historis dan lain-lain (Disparda NTT, 2000).
Secara substansial, pengertian yang terkandung di sini adalah desa adat sebagai
produk wisata mampu menyediakan berbagai fasilitas untuk memenuhi berbagai
kebutuhan wisatawan. Kebutuhan tersebut menyangkut aspek daya tarik wisata
(attraction), baik yang bersifat tangible maupun intangible yang memberikan
kenikmatan kepada wisatawan, kemudahan aksesibilitas yang mencakup keseluruhan
infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke, dan selama di
daerah tujuan wisata, mulai dari darat, laut, sampai udara (accessibility). Selain itu,
juga berbagai fasilitas (amenity), yaitu infrastruktur yang tidak langsung terkait
44
dengan pariwisata, tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan dan
adanya faktor pendukung/tambahan sebagai pelengkap fasilitas penunjang
kepariwisataan (ancillary), baik berupa kelembagaan sebagai satu elemen
institusional maupun berbagai bentuk kegiatan yang berupa hiburan-hiburan yang
melengkapi berbagai kegiatan kepariwisataan. Dengan demikian, wisatawan dapat
menjalankan aktivitasnya dengan baik dan lancar serta menemukan kenyamanan dan
keamanan setelah berada di tempat tujuan (Inskeep, 1991:38).
Demikian halnya dengan pengembangan pariwisata alternatif dalam bentuk desa
wisata di Desa Pakraman Jasri. Pengembangannya diarahkan pada manfaat langsung
yang dapat dirasakan oleh masyarakat desa adat. Artinya, dalam pengelolaannya,
masyarakat adat tidak hanya dijadikan sebagai objek pariwisata, tetapi juga dijadikan
sebagai subjek pengembangan pariwisata di daerahnya, yang lebih dikenal dengan
istilah desa wisata terpadu.
Berkenaan dengan hal tersebut, pengembangan desa wisata benar-benar
diharapkan dapat mencerminkan suasana pedesaan. Artinya konsep penggalian
produk desa wisata ditujukan pada pengembangan interaksi budaya dari manusia ke
manusia dan dari manusia ke alam desa. (Disparda Bali, 2003). Di sisi lain
pengembangan desa wisata menjadi alternatif sensitif. Apabila salah, baik dalam
perencanaan maupun pengelolaannya, dapat menimbulkan dampak buruk terhadap
keberadaan desa pakraman tempat desa wisata itu dikembangkan (Pitana,1999:105).
Desa Pakraman Jasri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah salah satu desa
pakraman yang terletak di Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem. Desa ini
telah dipilih dan ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Karangasem sebagai lokasi
pengembangan desa wisata. Hal ini tertuanng dalam SK Bupati Karangasem nomor
45
658/HK/2014. Penetapan Desa Pakraman Jasri sebagai desa wisata tentunya
berdasarkan berbagai pertimbangan dan kajian yang mengarah pada potensi sumber
daya alam (SDA), kesiapan sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya budaya
(SDB) yang dimiliki oleh Desa Pakraman Jasri. Di samping itu, pembangunan dan
pengembangan pariwisata pedesaan dewasa ini sedang menjadi trend sebagai bentuk
pengembangan pariwisata alternatif, khususnya di Kabupaten Karangasem.
Istilah desa pakraman mulai digunakan sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam perda ini
diuraikan pengertian desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di
Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan
masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau
kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta
berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sebelumnya, istilah yang digunakan
adalah desa adat sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 6, Tahun 1986 tentang
Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai kesatuan Masyarakat Hukum
Adat dalam wilayah Provinsi Bali.
2.2.4 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Pembangunan berbasis masyarakat merupakan wacana yang harus dikedepankan
dalam upaya mencapai keberhasilan pembangunan di berbagai sektor, termasuk pada
sektor pariwisata. Wacana pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community
based tourism development ) saat ini kerap kali dijadikan dasar pembangunan
pariwisata, baik secara nasional, regional, maupun internasional.
46
Pariwisata berbasis masyarakat identik dengan pembangunan pariwisata
berkelanjutan dan sering dikaitkan dengan pariwisata alternatif, ingin
menyeimbangkan antara sumber daya alam, sosial, dan nilai-nilai masyarakat
sehingga bermanfaat secara positif bagi masyarakat lokal dan wisatawan. “Forms of
tourism that are consistent with natural, social, and community values and which
allow both hosts and guests to enjoy positive and whorth while interaction and
shared experience” (Eadigton and Smith, 1992). Dalam pengembangan pariwisata
berbasis masyarakat, masyarakat lokal merupakan pelaku utama (actor)
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat karena paling tahu potensi wilayah
atau karakter dan kemampuan unsur-unsur yang ada dalam desa termasuk indigenous
knowledge yang dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan yang
direncakanan sesuai dengan keinginan masyarakat lokal dari, oleh, dan untuk rakyat
(Adhisakti, 2001).
Natori (2001) menambahkan bahwa pariwisata berbasis masyarakat ingin
menyeimbangkan (harmonis) antara sumber daya, masyarakat, dan wisatawan. Tolok
ukur pembangunan pariwisata berbasis masyarakat adalah terciptanya hubungan
yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber daya alam/budaya, dan wisatawan,
yang dapat dilihat dari hal-hal berikut.
1. Adanya peningkatan antusiasme pembangunan masyarakat melalui pembentukan
suatu wadah organisasi untuk menampung segala aspirasi masyarakat melalui
sistem kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat lokal.
2. Adanya keberlanjutan lingkungan fisik yang ada di masyarakat. Caranya adalah
melalui konservasi, promosi, dan menciptakan tujuan hidup yang harmonis antara
47
sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia. Penemuan
kembali potensi sumber daya alam dan sumber daya budaya.
3. Adanya keberlanjutan ekonomi melalui pemerataan dan keadilan dalam
menikmati hasil-hasil pembangunan.
4. Membangun sistem yang menguntungkan masyarakat seperti sistem informasi
yang dapat digunakan bersama-sama.
5. Menjaga kepuasan wisatawan melalui pelayanan yang lebih baik, pengadaan
informasi yang efektif, efisien, tepat guna serta mengutamakan kenyamanan bagi
wisatawan (Natori, 2001).
Hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara komponen
pembangunan pariwisata berbasis masyarakat dapat dilihat dalam gambar 2.2. Pada
gambar ini tampak ketiga unsur pariwisata berbasis masyarakat, yaitu sumber daya,
masyarakat lokal, dan wisatawan saling memberi dan menerima manfaat
pengembangan pariwisata.
Masyarakat
Lokal
Wisatawan
Sumber Daya
Sumber : Natori (2001)
Gambar 2.2 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat
Regulasi
(aturan
48
Untuk menghasilkan pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan perlu
dilakukan pendekatan sistem yang utuh dan terpadu, bersifat interdisipliner,
participactory, dan holistik antarkomponen terkait. Bentuk-bentuk pengembangan
pariwisata berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) swadaya
(sepenuhnya dari masyarakat), (2) kemitraan (melalui pengusaha angkat), dan (3)
pendampingan oleh LSM atau pihak perguruan tinggi selama masyarakat dianggap
belum mampu untuk mandiri. Apabila mereka sudah dianggap mampu mandiri,
secara pelan-pelan ditinggalkan oleh pendamping (Ardika, 2001).
Pengembangan pariwisata pedesaan yang merupakan penjabaran dari
pengembangan pariwisata alternatif merupakan bentuk kegiataan pariwisata yang
sangat kental nuansanya pada pemberdayaan masyarakat, baik sebagai objek maupun
subjek kegiatan pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu, sistem pariwisata berbasis
masyarakat dapat dijadikan acuan pengembangan pariwisata pada masa-masa
mendatang.
Sistem pariwisata yang berbasis masyarakat hendaknya dilandasi konsep hidup
masyarakat lokal secara berkesinambungan. Konsep harmonisasi unsur kehidupan
yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat Bali dikenal dengan tri hita karana.
Konsep ini merupakan harmonisasi tiga unsur kehidupan, yaitu hubungan manusia
dengan sang pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan
sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.
Dalam kegiatan pembangunan hendaknya digerakkan dan dikendalikan oleh
adanya keimanan yang kuat, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai
nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral, dan etika kepariwisataan nasional.
Dengan memanfaatkan lingkungan, baik berupa sumber daya alam maupun kondisi
49
geografis dan secara bersamaan melaksanakan pelestarian. Kepariwisataan berbasis
masyarakat bertumpu pada masyarakat sebagai kekuatan dasar, maka pembangunan
hendaknya mengacu pada semua aspek kehidupan masyarakat, yaitu berupa ideologi,
politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
Konsep pembangunan berbasis masyarakat sangat berbeda dengan yang
dinamakan pembangunan konvensional. Model top-down dianggap telah melupakan
konsep dasar pembangunan itu sendiri sehingga kehidupan rakyat tidak semakin
meningkat, tetapi malah dirugikan, bahkan termarginalisasi di lingkungan miliknya
sendiri. Dalam model bottom-up, pembangunan sebagai social-learning yaitu
partisipasi masyarakat lokal itu sendiri sangat diperlukan. Dengan demikian,
pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan
kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut (Pitana, 1999).
Korten (1987) mengemukakan tiga alasan mengapa community based
management sangat penting dilaksanakan sebagai rancangan dasar dalam
pembangunan. Pertama, adanya sumber daya lokal yang secara tradisional dikuasai
dan dikelola oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal dianggap mampu mengelola
lingkungannya karena mereka telah mewarisi kearifan itu secara turun-temurun.
Kedua, adanya tanggung jawab lokal, artinya pengelolaan yang dilakukan oleh
masyarakat setempat biasanya lebih bertanggung jawab karena kegiatan yang
dilakukan secara langsung akan berpengaruh pada kehidupan mereka. Dengan
demikian, orang luar dianggap tidak memiliki kedekatan moral dengan masyarakat
lokal. Ketiga, adanya variasi antardaerah sehingga daerah yang satu dengan yang
lainnya tidak boleh diperlakukan sama dan menuntut adanya sistem pengelolaan
yang berbeda.
50
Community management (Pitana, 1999) disamakan dengan istilah community
based approach (pendekatan berbasis masyarakat). Hal ini didasarkan pada suatu
kenyataan bahwa masyarakat setempat sudah mempunyai kearifan lokal dalam
mengelola sumber daya alam yang ada di daerahnya dan hal itu diwariskan secara
turun-temurun. Kearifan lokal tersebut dikenal dengan istilah tradisional knowledge,
local knowledge, dan ethnoscience harus diperhatikan dalam rangka pembangunan
pariwisata yang berwawasan budaya dan lingkungan. Titik dasar aktivitas
pengelolaan dalam konsep community management dimulai dari masyarakat itu
sendiri, yaitu identifikasi kebutuhan, analisis kemampuan, dan kontrol terhadap
sumber-sumber daya yang ada.
Pitana (2002:101--102) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat memiliki beberapa karakteristik ideal sebagai berikut.
1. Usaha yang dikembangkan berskala kecil, bukan skala raksasa.
2. Pemilikan dan pengelolaan dilakukan oleh masyarakaat lokal (locally owned
and managed).
3. Sesuai dengan skalanya yang kecil dan pengelolaannya oleh masyarakat
lokal, maka sebagian besar input yang digunakan, baik pada saat konstruksi
maupun operasi, berasal dari daerah setempat sehingga komponen impornya
kecil.
4. Aktivitas berantai (Spin-off activity) yang ditimbulkan banyak. Oleh karena
itu, adanya keterlibatan masyarakat lokal, baik secara individual maupun
secara melembaga, menjadi semakin besar.
5. Adanya aktivitas berantai tersebut memberikan manfaat langsung yang lebih
besar bagi masyarakat lokal.
51
6. Berbasiskan kebudayaan lokal karena pelakunya adalah masyarakat lokal.
7. Pengembangan ramah lingkungan (environmentally friendly), yang terkait
dengan adanya konversi lahan secara besar-besaran serta tiadanya
pengubahan bentuk bentang alam yang berarti.
8. Melekatnya kearifan lokal (local wisdom) karena masyarakat telah
beradaptasi dengan alam sekitarnya.
9. Penyebarannya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan, tetapi dapat
menyebar ke berbagai daerah.
Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat pada suatu wilayah diharapkan
mampu memberikan berbagai keuntungan bagi masyarakat. Keuntungan dimaksud,
di antaranya secara ekonomi sehingga pemeliharaan lingkungan bisa dilaksanakan
dengan baik oleh masyarakat setempat, adanya penyebaran penduduk, dan
menciptakan kawasan wisata alternatif. Keuntungan ekonomi yang diterima
langsung oleh masyarakat pedesaan adalah dengan menyediakan barang dan jasa
yang dibutuhkan oleh wisatawan. Penyediaan barang dan jasa dapat dilakukan oleh
kaum perempuan sementara laki-laki bekerja di ladang.
Winter (dalam Parining dkk., 2001:12) mengatakan bahwa pariwisata pedesaan
menciptakan lapangan pekerjaan bagi perempuan. Pendapat ini didukung oleh
Schneider bahwa insentif untuk petani lokal dan pemerataan dan perluasan produksi
pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan untuk wisatawan. Di samping itu,
dalam konsep pembangunan pariwisata yang berbasis masyarakat perlu pula
diperhatikan suatu konsep keseimbangan antara resources dan resident. Oleh karena
itu, pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, salah satu di antaranya dalam
52
bentuk desa wisata, ke depan dapat dijadikan acuan pengembangan pariwisata
alternatif, khususnya di Kabupaten Karangasem.
2.2.5 Pariwisata Berkelanjutan
WTO (1993) mengungkapkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus
menganut tiga prinsip dasar, yaitu ecological sustainability (berkelanjutan secara
ekologi), social and cultural sustainability (berkelanjutan dari aspek sosial budaya),
dan economic sustainability (berkelanjutan secara ekonomi), baik untuk generasi
sekarang maupun untuk generasi yang akan datang. Selain keberlanjutan sumber
daya alam dan ekonomi, keberlanjutan kebudayaan merupakan sumber daya yang
sangat penting dalam pembangunan kepariwisataan. Pariwisata berkelanjutan akan
tercapai bilamana ada kesinambungan pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya
budaya, dan sumber daya manusia selain keberlanjutan ekonomi secara adil dan
merata.
Pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat dicapai kalau tingkat pemanfaatan
berbagai sumber daya tidak melampaui kemampuan regenerasi sumber daya tersebut.
Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan
adalah (1) menjaga kualitas lingkungan, (2) memberikan keuntungan bagi
masyarakat lokal dan wisatawan, (3) menjaga hubungan antara pariwisata dan
lingkungan, (4) menjaga keharmonisan antara masyarakat lokal, kebutuhan
wisatawan, dan lingkungan, (5) menciptakan kondisi yang dinamis yang disesuaikan
dengan carrying capacity, dan (6) semua stakeholders harus bekerja sama didasari
oleh misi yang sama untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan (Burns and
Holden, 1997:26).
53
Pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata yang dikelola dalam
meningkatkan kesejahteraan, perekonomian, dan kesehatan masyarakat. Peningkatan
kualitas hidup dapat dicapai dengan meminimalkan dampak negatif sumber daya
alam yang tidak dapat diperbarui. Pembangunan dan pengembangan pariwisata
alternatif hendaknya mampu berkelanjutan dan dipertahankan pada masa depan.
Keberlanjutan pariwisata tidak mesti diwacanakan saja tanpa adanya suatu komitmen
dari berbagai pihak untuk mempertahankan keberlanjutan alam, sosial ekonomi, dan
budaya masyarakat sebagai modal dasar pariwisata. Menurut Bendesa, pembangunan
pariwisata dalam hal ini dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu lingkungan, ekonomi,
dan sosial. Ketiga dimensi tersebut harus mendapat perhatian yang serius dari
berbagai komponen masyarakat. Dari sisi lingkungan yang mencakup lingkungan
alam (natural environment), lingkungan pertanian (farmed environment), satwa liar
(wildlife), lingkungan yang sengaja dibangun (built environment), serta sumber daya
alam (natural resources) keberlanjutannya harus dapat dipertahankan dan
dilestarikan. Dari sisi ekonomi dan sosial budaya, pariwisata tersebut harus mampu
memberikan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat, meningkatkan taraf
hidup, serta kelestarian budaya masyarakat sehingga masyarakat memiliki alasan
kuat untuk mempertahankan keberlanjutan (sustainability) pariwisata tersebut.
2.3 Landasan Teori
Untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang permassalahan yang
dikaji dalam penelitian ini, digunakan beberapa teori sebagai alat analisisnya. Teori
adalah semacam generalisasi, terdiri atas proposisi yang menjadikan dua kelas
fenomena atau lebih yang saling berhubungan (Kaplan dan Manners, 2002:15). Teori
54
memiliki fungsi ganda, yaitu menjelaskan fakta yang telah diketahui dan membuka
celah yang dapat mengantarkan pada penemuan baru (Yuliana, 2010: 43).
Penelitian ini menggunakan tiga teori kritis sebagai landasan analisis permasalahan,
yaitu teori hegemoni dari Antonio Gramzi, teori diskursus kekuasaan dan
pengetahuan (power/knowledge) dari Michel Foucault, dan teori tindakan
komunikatif oleh Jurgen Habermas, yang bersifat eklektik, yaitu menggunakan
beberapa teori pokok yang pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain.
2.3.1 Teori Hegemoni
Istilah hegemoni berasal dari istilah Yunani, yaitu hegeisthai (to lead). Konsep
hegemoni banyak digunakan oleh sisiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya
usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa di sini
memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah).
Hegemoni bisa didefinisikan sebagai dominasi oleh suatu kelompok terhadap
kelompok lainnya dengan atau tanpa ancaman kekerasan sehingga ide-ide yang
didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didomonasi diterima
sebagai sesuatu yang wajar (common sence).
Suatu penetapan makna yang bersifat sementara menyokong kelompok
penguasa. Proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna
pengatur dalam suatu kebudayaan. Bagi Gramsci, hegemoni berarti suatu situasi
yaitu sebuah “blok historis” faksi-faksi kelas penguasa menggunakan otoritas sosial
dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan yang
lebih penting adalah persetujuan sadar (consent). Hegemoni bisa dipandang sebagai
strategi-strategi yang dipakai untuk melanggengkan pandangan-pandangan dunia dan
55
kekuasaan kelompok-kelompok sosial (baik yang tersusun berdasar kelas, kelamin,
maupun kebangsaan) yang tengah berkuasa (Barker, 2005: 513).
Hegemoni adalah dominasi sebuah kelas sosial terhadap kelas lainnya. Hal ini
terjadi lewat keberhasilannya menanamkan pandangan hidup, relasi sosial, dan
hubungan kemanusiaan sehingga diterima sebagai sesuatu yang dianggap benar atau
alamiah oleh orang-orang yang sebetulnya tersubordinasi (Piliang, 2004: 17).
Teori hegemoni dikembangkan oleh filsuf Marxis Italia, Antonio Gramsci
(1891--1937), yang disebut juga sebagai Bapak Hegemoni. Gagasannya yang
cemerlang tentang hegemoni dipengaruhi oleh filsafat hukum Hegel. Konsep
hegemoni dikembangkan atas dasar didekonstruksinya konsep-konsep Marxis
Ortodoks. Istilah hegemoni mulai digunakan pada tahun 1926 dalam tulisan Chantal
Mouffe (Bennet dkk. ed., 1983, Ratna, 2005: 181) yang berjudul “Notes on The
Southern Question”. Namun, Simon (2000:20) mengatakan bahwa istilah hegemoni
telah digunakan oleh Plekhanov dan para pengikut Marxis pada umumnya pada
tahun 1880-an.
Dalam teori hegemoni Gramsci, kelompok yang mendominasi berhasil
memengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik,
dan budaya kelompok dominan (the ruling party, kelompok yang berkuasa).
Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar sehingga ideologi kelompok dominan
dapat menyebar dan dipraktikkan. Nilai-nilai hegemoni ini diperjuangkan dan
dipertahankan oleh pihak dominan sedemikian rupa sehingga pihak yang didominasi
tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan kelompok penguasa. Hegemoni dapat
dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan. Jika dilihat sebagai
strategi, konsep hegemoni bukanlah strategi eksklusif milik penguasa. Kelompok
56
mana pun bisa menerapkan konsep hegemoni dan mejadi penguasa. Sebagai contoh
hegemoni adalah kekuasaan dolar Amerika terhadap ekonomi global. Kebanyakan
transaksi internasional dilakukan dengan dolar Amerika. Contoh lain, daripada
melakukan revolusi, kaum buruh malah berpikir untuk meningkatkan statusnya ke
kelas menengah, mampu mengikuti budaya populer, dan meniru perilaku atau gaya
hidup kelas borjuis. Ini adalah sebuah ilusi yang diciptakan kaum penguasa agar
kaum yang didominasi kehilangan ideologi dan jati diri sebagai manusia merdeka.
Teori hegemoni yang dicetuskan Antonio Gramsci merupakan “suatu proses
berkelanjutan dari pembentukan dan pergantian titik setimbang yang labil, antara
kepentingan kelompok fundamental dengan kelompok subordinatnya” (Gramsci,
1968:182 dalam Barker, 2005:81). Dalam tulisan ini teori hegemoni digunakan untuk
menganalisis potensi pariwisata alternatif yang dikembangkan di Desa Pakraman
Jasri, tampak pemerintah dan pelaku pariwisata (investor) telah memberikan
pengaruhnya pada pariwisata alternatif di Desa Pakraman Jasri. Dengan demikian,
teori ini relevan digunakan.
2.3.2 Teori Power/Knowledge (Kuasa/Pengetahuan) Michel Foucault
Berkaitan dengan kebenaran dan kekuasaan, Foucault (2002:136) dengan tegas
mengatakan bahwa hanya ada dua kata yang berperanan, yaitu kekuasaan dan
pengetahuan. Diilustrasikan apabila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan seperti fisika
teoretis atau kimia organik, orang menghadapi masalah mengenai relasinya dengan
berbagai struktur politik dan ekonomi masyarakat, tidakkah mereka menghadapi
sebuah pertanyaan rumit yang berlebih-lebihan. Sebaliknya, jika orang mengambil
57
bentuk pengetahuan (savoir) seperti psikiatri, tidakkah pertanyaannya menjadi lebih
mudah karena profil epistemologis psikiatri merupakan sesuatu yang rendah dan
karena praktik psikiatri dihubungkan dengan seluruh institusi, pencapaian ekonomi,
dan masalah-masalah politik tentang regulasi sosial? Tidak dapatkan jalinan efek-
efek kekuasaan dan pengetahuan ditumbuhkan dengan kepastian yang lebih besar
dalam masalah yang pada dasarnya sama “meragukannya” dengan psikiatri?
Dalam masyarakat-masyarakat feodal, Foucault (2002:154) menegaskan
“kekuasaan secara esensial menjalankan fungsinya melalui tanda dan pemungutan
pajak”. Tanda-tanda kesetiaan kepada para tuan tanah, ritual, upacara, dan
sebagainya dalam bentuk pajak perampasan, perburuan, perang, dan sebagainya.
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, bentuk-bentuk kekuasaan mulai
menjalankan kekuasaannya melalui produksi dan pelayanan sosial. Ia mengaitkan
dirinya dengan masalah bagaimana mencapai pelayanan yang produktif dari
individu-individu dalam hidup konkret mereka. Konsekuensinya, sebuah
“penyatuan” nyata dan efektif dibutuhkan, dalam arti kekuasaan harus mampu
memperoleh akses pada tubuh-tubuh individual, tindakan, sikap, dan model-model
tingkah laku sehari-hari mereka.
Lebih lanjut Foucault (2002:158) menegaskan sangat mungkin mengatakan
bahwa para intelektual “universal” seperti fungsinya pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20 dalam kenyataannya berasal dari gambaran historis yang cukup spesifik, yaitu
manusia keadilan dan manusia hukum menentang balik kekuasaan, depotisme,
penganiayaan, dan arogansi kesejahteraan unversalitas keadilan dan persamaan
hukum ideal.
58
Berkaitan dengan kebenaran, menurut Foucault (2002:162), di dalam masyarakat
seperti kita “ekonomi politik” kebenaran dikarakterisasikan dengan lima ciri penting,
yaitu (1) kebenaran dipusatkan pada bentuk wacana ilmiah dan institusi yang
memproduksinya; (2) ia merupakan subjek utama yang mendorong ekonomi dan
politik secara konstan (tuntutan bagi kebenaran, yaitu produksi ekonominya sama
banyak dengan kekuasaan politis); (3) ia merupakan objek, dengan bentuk yang
berbeda-beda, penyebaran dan konsumsi yang besar sekali (sirkulasinya melalui
aparat-aparat pendidikan dan informasi yang perluasannya relatif cepat dalam
lembaga sosial karena tidak terlalu kaku mempertahankan pembatasan-pembatasan
yang ketat); (4) ia diproduksi dan dipancarkan di bawah kontrol yang dominan,
kecuali eksklusif oleh beberapa aparat politik dan ekonomi (universitas, angkatan
bersenjata, tulisan-tulisan, media massa); dan (5) ia merupakan masalah utama dari
seluruh perdebatan politis dan konfrontasi sosial (perlawanan-perlawanan
“ideologis”).
Terkait dengan pertanyaan pada siapa kekuasaan melayani dan apa yang
dilayaninya, Foucault (2002:175) menegaskan pendapatnya sebagai berikut. Pertama,
kekuasaan sama luasnya dengan lembaga-lembaga sosial; tidak ada ruang yang sama
sekali bebas di celah-celah jaringannya. Kedua, relasi-relasi kekuasaan saling terjalin
dengan jeini-jenis relasi lain (produksi, kekerabatan, keluarga, seksualitas), yaitu
mereka memainkan sekaligus peran pengondisian dan yang terkondisikan. Ketiga,
relasi-relasi ini tidak hanya berbentuk larangan dan hukuman, tetapi juga bentuk-
bentuk yang beragam. Keempat, kesalinghubungan di antara mereka
menggambarkan kondisi umum dominasi dan dominasi ini diatur ke dalam bentuk
strategi yang kurang lebih koheren dan tunggal. Kelima, relasi-relasi kekuasaan
59
benar-benar “melayani”, tetapi sama sekali bukan karena mereka memang
“melayani” kepentingan ekenomis sebagai sesuatu yang utama, melainkan karena
mereka memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam strategi-strategi yang ada.
Keenam, tidak ada relasi kekuasaan yang tanpa halangan; yang terakhir ini lebih
nyata dan efektif karena mereka dibentuk tepat pada titik di mana relasi-relasi
kekuasaan dijalankan. Halangan tersebut hadir di mana-mana bersamaan dengan
kekuasaan. Oleh karena itu, seperti kekuasaan, halangan bentuknya bermacam-
macam dan dapat diintergrasikan dalam strategi-strategi global.
Pemahaman substansi teori kuasa/pengetahuan (power/knowledge) dari Michel
Foucault sangat membantu proses analisis untuk mengetahui peran para pemangku
kepentingan pariwisata (tourism stakeholder). Pengampu kepentingan pariwisata
dimaksud, yaitu pihak pemerintah, industri pariwisata (investor), dan masyarakat
lokal. Dalam penelitian ini, dari ketiga pengampu kepentingan pariwisata di Desa
Wista Jasri, tampak kekuasaan pemerintah yang paling dominan. Kebijakan top-
down yang dilakukan pemerintah dalam penetapan Desa Pakraman Jasri telah sukses
menghegemoni masyarakat lokal karena dalam relasi hegemonik, masyarakat tidak
memiliki kuasa untuk menolak kebijakan pemerintah.
2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif
Habermas mengemukakann teori tindakan komunikatif dengan tekanan pada
kesadaran subjek dan kompetensi komunikatif, yang jelas-jelas akan membawa
mainstream (arus utama) kajian pada berfungsinya kapasitas kognitif manusia yang
berperan sebagai subjek. Satu versi teori kritis Habermas yang melewati batas teori-
teori lain dari Mashab Frankfurt awal, yang belum membedakan kerangka filsafat
60
Yunani, idealisme Jerman, bahkan konsep Marx tentang hubungan subjek (orang)
dengan objek (orang lain dan alam ) (Agger, 2006:189). Habermas mengemukakan
bahwa perubahan dari “paradigma kesadaran”, menyetujui dualitas barat atas subjek
dan objek ke “paradigma komunikasi”. Paradigma komunikasi ini dalam hal dualitas
antara subjek dan objek, tetapi melalui rekonseptualisasi subjek sebagai
intersubjektif yang inheren. Subjek intersubjektif ini memiliki kapasitas primer bagi
komunikasi, bukan hanya kapasitas kerja.
Teori tindakan komunikatif yang dikemukakan oleh Habermas secara
komprehensif telah memperkenalkan ekletisisme aplikasi teori-teori sosial yang
harus bisa menangkap dan membedah permasalahan secara kritis, reflektif,
grounded, dan emansipatoris. Berdasarkan teori kritis, Habermas menyadari masih
tersisanya ruang dan fenomena yang belum bisa diselesaikan oleh teori kritis.
Fenomena modernitas yang terlihat secara emik belum bisa dimengerti dan
diikuti oleh masyarakat dan individu-individu yang diharapkan mampu sebagai
subjek di dalamnya sehingga dikatakan modernisasi belum selesai. Dalam usaha
perjuangan emansipatoris, Habermas mengonstruksi ulang teori tindakan
fenomenologi dan hermeneutika, menjadi teori tindakan komunikatif. Teori kritis ini,
baik sebagai teori maupun sebagai filsafat dan mainstream studi kognitif dan
kesadaran dilibatkan di dalamnya dengan menilik kembali “rasionalitas” yang
benyak menuai kritik, terlebih lagi penolakan Lyotard (Lubis, 2004: 221) terhadap
“rasionalitas universal” yang justru menutup pemikiran kritis. Melalui teori tindakan
komunikatif atau the theory of communicative action, Habermas menekankan
kembali “rasionalitas komunikatif” dan “kompetensi komunikatif” (Lubis, 2004).
61
Teori tindakan komunikatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji
makna pengembangan pariwisata alternatif bagi masyarakat di Desa Pakraman Jasri.
Kajian dilaksanakan dengan mencari dan mengontraskan kata-kata kunci yang
digunakan oleh masyarakat dalam merespons perkembangan pariwisata alternatif di
desa wisata ini.
Teori tindakan komunikatif menjadi relevan digunakan dalam penelitian ini
karena masyarakat Desa Pakraman Jasri yang direpresentasikan oleh pengelola Desa
Wisata Jasri ingin merajut kesepahaman melalui pengakuan intersubjektifnya
dengan mengusung sebuah harapan akan terjadinya sebuah konsensus bahwa dengan
berbagai keunikan yang dimiliki Desa Wisata Jasri dalam wujud berbagai atraksi
wisata alam dan budaya yang ditawarkan kepada wisatawan. Dengan demikian,
proses komunikatif akan sukses jika manfaat pengembangan pariwisata, terutama
secara ekonomi dapat diwujudkan.
2.4 Model Penelitian
Model penelitian merupakan kerangka pemikiran dalam melakukan sebuah
penelitian yang digunakan sebagai acuan untuk memudahkan proses penelitian. Di
samping itu, dalam menjelaskan suatu model penelitian terlihat hubungan variabel-
variabel yang ada untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah
dirumuskan.
Dalam kajian ini model penelitian diawali dengan adanya fenomena
perencanaan pembangunan dan pengembangan Desa Pakraman Jasri sebagai desa
wisata sejak tahun 2009 yang melibatkan ketiga pengampu kepentingan pariwisata,
yaitu masyarakat, pemerintah, dan pengusaha. Desa Wisata Jasri mulai dikenal luas
62
sejak tahun 2011 dan kemudian ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah Kabupaten
Karangasem tahun 2014. Hal ini didukung oleh berbagai potensi yang dimilki Desa
Pakraman Jasri, seperti potensi ”4 A‟ dan potensi ”4 H” yang bersumber dari potensi
SDA, SDM, SDB daerah ini.
Pengembangan desa wisata di daerah ini erat kaitannya dengan fenomena
pengembangan pariwisata alternatif di daerah-daerah lainnya di Bali. Oleh karena
itu, dalam kajian ini beberapa permasalahan yang diangkat, yaitu bentuk-bentuk
pariwisata alternatif di Desa Pakraman Jasri, hubungan relasi kuasa ketiga
stakeholder pariwisata, dan makna yang ditimbulkan akibat pengembangan
pariwisata alternatif di Desa Pakraman Jasri.
Beberapa konsep yang digunakan dalam kajian ini, di antaranya konsep
pariwisata alternatif, desa wisata, pembangunan pariwisata berbasis masyarakat, dan
pariwisata berkelanjutan. Di pihak lain untuk menganalisis berbagai fenomena dan
permasalahan di atas, digunakan tiga teori, yaitu teori hegemoni, teori
kuasa/pengetahuan (power/knowledge), dan teori tindakan komunikatif yang
diterapkan secara eklektik sesuai dengan kaidah kritis kajian budaya.
Temuan baru kajian ini digunakan sebagai dasar pijakan dalam memberikan
rekomendasi, baik kepada masyarakat lokal (host) sebagai tuan rumah, pemerintah
(government) sebagai pembuat kebijakan, maupun kepada pengusaha (investor). Di
samping itu, hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan dasar pedoman dalam
pembentukan desa wisata lainnya, khususnya di wilayah Kabupaten Karangasem.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka untuk memudahkan proses penelitian ini
sangat diperlukan sebuah model penelitian. Model penelitian dimaksud secara
skematis dapat dilihat dalam gambar 2.3.
63
Gambar 2.3 Model Penelitian
Pengembangan
Pariwisata Alternatif
di Desa Pakraman
Jasri, Kelurahan
Subagan, Kabupaten
Karangasem
Potensi pariwisata
alternatif berbasis
potensi (“4H”)
dan “4A”)
Peranan pengampu
kepentingan
pariwisata (tourism
stakeholder)
Makna
pengembangan
pariwisata
alternatif
Temuan Penelitian
Teori:
- Hegemoni
- Kuasa/pengetahuan (Power/Knowledge)
-Tindakan
Komunikatif
Konsep:
- Pengembangan
- Pariwisata Alternatif -Pembangunan
Pariwisata Berbasis
Masyarakat
- Desa Wisata
Rekomendasi
Pengembangan Desa Wisata
di Desa Pakraman Jasri
Pengusaha
(Investor)
Masyarakat
Lokal (Host)
Pemerintah
(Government)
64