bab ii kajian pustaka, konsep, landasan teori, dan … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan...

43
22 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN Dalam bab ini dibahas kajian pustaka yang diambil dari beberapa tulisan dan hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya, deskripsi konsep yang menyajikan konsep relevan dengan tema penelitian ini, landasan teori yang digunakan untuk menganalisis permassalahan yang ada, dan model penelitian yang merupakan gambaran alur penelitian atau kerangka berpikir dalam penelitian ini. Penjelasan selengkapnya dituangkan dalam sub-subbab berikut. 2.1 Kajian Pustaka Kajian mengenai pembangunan dan pengembangan pariwisata alternatif dari perspektif ilmu pariwisata sudah banyak dilakukan. Di pihak lain kajian mengenai perkembangan pariwisata alternatif dari perspektif kajian budaya menjadi fenomena yang sangat menarik karena belum banyak dilakukan. Beberapa tulisan dan hasil penelitian berikut dianggap relevan dengan penelitian ini khususnya mengenai pariwisata alternatif dan pengembangan desa wisata. Dieter K. Muller dan Robert Pettersson (2005) dalam tulisan berjudul What and Where is the Indigenous at an Indegenous Festival? Observation from the Winter Festival in Jokkmok, Sweden menyatakan bahwa festival musim dingin di Jokkmokk yang diadakan setiap tahun dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat luas untuk melihat langsung dan mempelajari suku Sami dan warisan budayanya sehingga pengetahuan wisatawan terhadap kebudayaan suku Sami akan meningkat. Festival

Upload: others

Post on 07-Nov-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

22

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

Dalam bab ini dibahas kajian pustaka yang diambil dari beberapa tulisan dan

hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan sebelumnya, deskripsi konsep yang

menyajikan konsep relevan dengan tema penelitian ini, landasan teori yang

digunakan untuk menganalisis permassalahan yang ada, dan model penelitian yang

merupakan gambaran alur penelitian atau kerangka berpikir dalam penelitian ini.

Penjelasan selengkapnya dituangkan dalam sub-subbab berikut.

2.1 Kajian Pustaka

Kajian mengenai pembangunan dan pengembangan pariwisata alternatif dari

perspektif ilmu pariwisata sudah banyak dilakukan. Di pihak lain kajian mengenai

perkembangan pariwisata alternatif dari perspektif kajian budaya menjadi fenomena

yang sangat menarik karena belum banyak dilakukan. Beberapa tulisan dan hasil

penelitian berikut dianggap relevan dengan penelitian ini khususnya mengenai

pariwisata alternatif dan pengembangan desa wisata.

Dieter K. Muller dan Robert Pettersson (2005) dalam tulisan berjudul What and

Where is the Indigenous at an Indegenous Festival? Observation from the Winter

Festival in Jokkmok, Sweden menyatakan bahwa festival musim dingin di Jokkmokk

yang diadakan setiap tahun dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat luas

untuk melihat langsung dan mempelajari suku Sami dan warisan budayanya sehingga

pengetahuan wisatawan terhadap kebudayaan suku Sami akan meningkat. Festival

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

23

ini merupakan atraksi wisata yang berbasiskan kebudayaan masyarakat lokal suku

Sami yang dikemas sedemikian menarik dengan menawarkan unsur habitat

(kebiasaan/tradisi masyarakat), history (sejarah), handicrafts (hasil kerajinan/cendera

mata), dan heritage (warisan budaya) suku Sami. Studi ini memberikan gambaran

bahwa unsur habitat, history, handicrafts, dan heritage merupakan faktor penting

sebagai modal pengembangan pariwisata alternatif di pedesaan.

Tulisan Dieter K. Muller dan Robert Pettersson (2005) di atas memberikan

inspirasi pada penelitian mengenai pengembangan pariwisata alternatif di Desa

Wisata Jasri, yang juga memanfaatkan kebudayaan masyarakat lokal dalam bentuk

potensi “4H” sebagai modal utamanya. Perbedaannya terletak pada waktu

pelaksanaannya. Festival musim dingin di Jokkmok, Swedia hanya dilaksanakan

setiap musim dingin (setahun sekali), sedangkan sebagian besar atraksi wisata

berbasis potensi “4H” di Desa Wisata Jasri bisa dinikmati setiap saat.

Penelitian Maribeth Erb (2005) yang berjudul Limiting Tourism and the Limits

of Tourism: The Production and Consumption of Tourist Attraction in Western

Flores menarik untuk disimak. Penelitian ini mengkaji massalah produksi lokal dan

konsumsi atraksi wisata di sebuah kota kecil Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai,

Flores Barat. Salah satu atraksi wisata yang menjadi primadona di kawasan wisata ini

adalah Taman Nasional Komodo, yaitu habitat Komodo di Indonesia hanya terdapat

di daerah ini. Dalam tulisan ini dinyatakan bahwa pariwisata tidak hanya merupakan

sekumpulan aktivitas komersial, tetapi juga secara ideologi mampu membingkai

sejarah, alam, dan tradisi. Di samping itu, pariwisata juga memiliki kekuatan untuk

menata ulang alam dan kebudayaan itu sendiri sesuai dengan kebutuhannya.

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

24

Berdasarkan pendapat Bruner (1995), Erb menyatakan bahwa dalam

pengembangan pariwisata budaya terdapat sebuah pertentangan ironis yang

fundamental antara harapan-harapan wisatawan dan harapan-harapan masyarakat

lokal. Wisatawan datang dari luar untuk mengetahui sesuatu yang eksotik. Artinya

sesuatu yang dari dalam pariwisata dipandang sebagai sebuah modernisasi. Pada saat

pariwisata dikembangkan sebagai alat pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah, maka

masyarakat lokal akan mengalami keadaan paradoks. Dikatakan demikian karena

pada saat yang bersamaan, wisatawan ingin melihat masyarakat primitif yang belum

berkembang.

Berawal dari kondisi tersebut, kemudian muncullah istilah zona perbatasan

wisatawan (tourist boarder zone) atau yang diistilahkan dengan empty meeting

ground (ruang pertemuan kosong). Istilah ini kemudian disarankan oleh MacCannell

(1992:2) dalam Erb (2005) sebagai “not really empty”, tetapi berisi pengekangan

terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73)

dan Bruner (1988, 1991) dalam Erb (2005: 156) mengambil contoh sebuah adegan

dalam film Cannibal Tours tentang kesalahpahaman yang terjadi dalam percakapan

antara wisatawan dan pramuwisata di Desa Sepik, Papua Nugini. Apa yang

diharapkan dan dibayangkan oleh wisatawan terhadap masyarakat lokal benar-benar

berbeda dengan keinginan-keinginan masyarakat lokal di sana. Para wisatawan

berharap akan mendapatkan “sesuatu yang berbeda” yang oleh masyarakat lokal

dianggap hanya sebuah fantasy yang tidak akan pernah didapatkan oleh wisatawan.

Dengan kata lain, apa yang dicari oleh wisatawan di antara kehidupan masyarakat

lokal tidak akan didapatkan. Dalam hal ini tampak jelas adanya perbedaan persepsi

yang dapat dihubungkan dengan ketimpangan relasi kuasa antara masyarakat lokal

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

25

sebagai salah satu unsur pengampu kepentingan pariwisata (tourism stakeholder) dan

wisatawan.

Selanjutnya, menurut Bruner (1996:159) dalam Erb (2005), tourist border zone

dipandang sebagai a creative space, sebuah tempat untuk menemukan budaya dalam

skala masif dengan harapan, yaitu pada satu sisi wisatawan akan memperoleh leisure

dan exsoticism, sedangkan di sisi lain masyarakat lokal mendapatkan work dan cash.

Dalam tulisan Erb ini juga dapat dilihat bahwa pemerintah melalui Dinas

Pariwisata sejak awal menginginkan pengembangan pariwisata di Flores bisa

berkembang seperti pariwisata Bali. Mereka ingin mem-photocopy pariwisata Bali

yang sudah berkembang sangat pesat dengan pendapatan di sektor ekonomi yang

sangat besar pula.

Masyarakat lokal dalam mengembangkan pariwisata di Flores sering tanpa

memperhatikan beberapa unsur kearifan lokal yang dimiliki masyarakat di daerah ini.

Salah satu contoh, dalam melayani wisatawan masyarakat lokal enggan menawarkan

makanan lokal khas Flores. Mereka cenderung menawarkan masakan Jawa, Chinese,

atau masakan ala negara barat. Masyarakat takut menawarkan sesuatu yang baru

kepada wisatawan tanpa mempertimbangkan bahwa sebagian besar wisatawan ingin

mencoba dan mendapatkan sesuatu yang khas dari masyarakat lokal. Tulisan Erb di

atas memberikan catatan penting dalam penelitian ini khususnya menyangkut

interaksi (relasi kuasa) stakeholder pariwisata di Desa Pakraman Jasri. Di samping

itu, juga dalam pengembangan pariwisata alternatif di desa ini perlu diantisipasi

sejak awal sehingga tidak terjadi kesalahpahaman persepsi antara harapan

masyarakat lokal dan keinginan para wisatawan yang berkunjung ke desa wisata ini.

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

26

Penelitian disertasi Madiun (2008) berjudul “Partisipasi Masyarakat Lokal dalam

Pengembangan Kawasan Pariwisata Nusa Dua (Perspektif Kajian Budaya)”.

Penelitian itu relevan dijadikan salah satu kajian pustaka dalam penelitian ini

terutama menyangkut makna yang muncul dari adanya pengembangan pariwisata

alternatif di Desa Pakraman Jasri. Persamaan penelitian Madiun dengan penelitian

ini, yaitu sama-sama mengeksplorasi masyarakat dan pariwisata sebagai subjek

penelitian dengan pendekatan teori-teori kritis kajian budaya. Perbedaannya, Madiun

menekankan model pengembangan kawasan wisata modern di kawasan mass tourism

Nusa Dua, sedangkan tulisan ini mengkaji pengembangan alternative tourism di

desa wisata Jasri, Kabupaten Karangasem.

Penelitian Madiun ini menggunakan beberapa teori kajian budaya, yaitu teori

hegemoni, teori dekonstruksi, teori kritis, teori kuasa/pengetahuan

(power/knowledge) Michel Foucault, dan teori konflik. Tulisan ini menekankan

pentingnya pengelolaan berbagai potensi untuk pengembangan pariwisata Bali. Hal

itu telah menempatkan posisi perencanaan sebagai salah satu yang sangat penting.

Implementasi perencanaan harus dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan berhati-

hati, agar mampu mengendalikan berbagai dampak lingkungan dan budaya yang

ditimbulkan dalam pengembangan sektor pariwisata.

Hasil penelitian Madiun tersebut menunjukkan tiga hal berikut. Pertama, adanya

berbagai bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat lokal Nusa Dua, yaitu

partisipasi karena paksaan (manipulative participation), partisipasi dengan

kekuasaan dan ancaman (coersive partisipation), partisipasi karena dorongan

(induced partisipation), dan partisipasi masyarakat secara spontan (spontaneous

partisipation). Kedua, tersedianya potensi sumber daya yang memenuhi syarat,

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

27

munculnya paradigma baru dalam pembangunan masyarakat lokal yang berorientasi

pariwisata, pengaruh wacana yang berkembanng di kalangan masyarakat lokal,

keinginan mendapatkan manfaat ekonomi, pengaruh modernisasi dalam kehidupan

masyarakat lokal, prospek usaha komplementer ke depan, keinginan mewujudkan

masyarakat yang mandiri. Ketiga, makna partisipasi yang muncul di antaranya

makna kepatuhan, makna ekonomi, makna pluralisme dan multikulturalisme, serta

makna persaingan.

Penelitian bertema partisipasi masyarakat juga telah dilakukan oleh Suarthana

(2015) dalam disertasinya berjudul “Dampak Partisipasi Masyarakat dalam

Pengelolaan Desa Wisata terhadap Sosial Budaya, Lingkungan, dan Ekonomi: Kajian

Komparatif antara Desa Wisata Bedulu, Bali dan Pentingsari, Yogyakarta.”

Penelitian yang dilaksanakan di dua desa wisata, yaitu Desa Wisata Bedulu, Gianyar,

bertujuan untuk mengkaji partisipasi masyarakat dan dampaknya terhadap sosial

budaya, lingkungan, dan ekonomi. Temuan penelitian itu, adalah bahwa kedua desa

wisata memberdayakan partisipasi masyarakat lokal dengan baik sehingga

masyarakat lokal memperoleh makna ekonomi. Kajian Suarthana ini memberikan

efek positif bagi penelitian ini karena sama-sama menjadikan desa wisata sebagai

subjek penelitian. Perbedaannya, kajian Suarthana murni merupakan kajian positivis

pariwisata, sedangkan penelitian ini menggunakan teori-teori kritis kajian budaya

(cultural study).

Purnaya (2015) dalam disertasinya berjudul “Relasi Kuasa dalam Pengelolaan

Resor Wisata Nusa Dua” menganalisis relasi kuasa tiga pengampu kepentingan

dalam pengelolaan Resor Wisata Nusa Dua, dalam era satu setengah dekade terakhir

ini, yaitu sejak reformasi (1998) sampai 2013 penting dijadikan sebagai salah satu

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

28

referensi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui ideologi yang mempengaruhi

relasi kuasa dalam pengelolaan Resor Nusa Dua dan pemaknaan relasi kuasa dalam

pengelolaan Resor Nusa Dua di kalangan tiga pengampu kepentingan, yaitu

pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal.

Tulisan Purnaya menggunakan teori hegemoni (Gramsci), teori diskursus

kuasa/pengetahuan (Foucault), dan tindakan komunikatif (Habermas) yang

diaplikasikan secara eklektik mengingat subtopik yang dibahas berkaitan satu dengan

lainnya. Hasil analisis Purnaya menunjukkan bahwa relasi kuasa antara BTDC dan

masyarakat mengalami perubahan drastis sejak era reformasi dari hubungan

hegemonik menjadi hubungan negosiatif dan kemudian oposisional (kontra

hegemonik). Dalam relasi hegemonik, masyarakat tidak memiliki kuasa untuk

menolak rencana pemerintah membangun Resor Wisata Nusa Dua. Masyarakat

menerima proyek top down pemerintah karena mereka dijanjikan akan mendapat

kesempatan kerja dan peluang usaha ekonomi pariwisata. Dalam perjalanan

berikutnya, masyarakat lokal yang awalnya dalam hegemoni penuh, mulai berani

melakukan negoisasi, bahkan melakukan protes atas pengembangan pengelolaan

Resor Nusa Dua oleh BTDC dan kalangan investor. Hasil kajian Purnaya ini

dianggap memiliki relevansi dengan salah satu masalah yang dikaji dalam penelitan

pariwisata alternatif di Desa Wisata Jasri, Kabupaten Karangasem ini, yaitu

mengenai peran ketiga pengampu kepentingan pariwisata (tourism stakeholder)

dalam penetapan Desa Pakraman Jasri sebagai desa wisata.

Amerta (2005) dalam penelitian tesis berjudul “Tinjauan Perkembangan Desa

Wisata Baha Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, dari Perspektif Pariwisata

Berbasis Masyarakat” memfokuskan tulisannya pada perkembangan pariwisata di

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

29

Desa Wisata Baha. Penelitian yang dilakukan oleh Amerta ini murni menggunakan

teori-teori positivistik pariwisata yang berbeda dengan kajian ini yang menggunakan

teori-teori kajian budaya. Persamaannya terletak pada subjek yang diteliti, yaitu

sama-sama meneliti desa wisata.

Hasil penelitian Amerta tersebut menunjukan bahwa Desa Wisata Baha belum

berkembang sesuai dengan harapan masyarakat. Terhambatnya perkembangan desa

Baha menjadi desa wisata dapat dilihat, baik dari aspek ekonomi, sosial budaya,

maupun secara fisik. Menurutnya, pengembangan kepariwisataan di desa ini

menjadi suatu kajian yang sangat menarik untuk diteliti karena memiliki dua fakta

yang bertolak belakang, yakni desa ini memiliki berbagai potensi pariwisata, baik

potensi sumber daya manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), maupun potensi

sumber daya budaya (SDB). Namun, kenyataannya pengembangan pariwisata di desa

wisata ini belum dapat dirasakan oleh masyarakat, baik dalam penyerapan tenaga

kerja, peningkatan pendapatan masyarakat, maupun tidak adanya kontribusi ke

lembaga Desa Pakraman Baha dan ke Pemerintah Kabupaten Badung. Belum

berkembangnya Desa Baha sebagai desa wisata disebabkan oleh beberapa faktor,

seperti (1) kurang adanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya pengembangan

pariwisata, hal ini terbukti tidak adanya lembaga pengelola pariwisata di desa wisata

ini; (2) belum dimanfaatkannya potensi sumber daya secara optimal, baik SDM,

SDA, maupun SDB; (3) belum adanya investor (penanam modal) yang mau

berinvestasi di desa ini; dan (4) masih kurangnya perhatian pemerintah, khususnya

pemerintah Kabupaten Badung dalam memberikan pembinaan secara kontinu dan

serius dalam rangka pengembangan Desa Wisata Baha. Dengan kata lain,

terhambatnya perkembangan pariwisata di Desa Baha juga disebabkan oleh

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

30

hubungan antar-stakeholder pariwisata di Desa Wisata Baha belum berjalan secara

sinergis dan harmonis.

Hasil penelitian yang dilakukan Pitana et al. (2000) tentang “Daya Dukung Bali

dalam Kepariwisataan (Kajian dari Aspek Lingkungan dan Sosial Budaya)”

menyatakan bahwa Bali memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas, terutama

ketersediaan lahan dan air bersih. Pertumbuhan penduduk dan kedatangan migran

yang tidak terkendali serta laju konversi lahan terbuka menjadi lahan terbangun

untuk kepentingan akomodasi pariwisata akan sangat menurunkan daya dukung Bali

terhadap kehadiran wisatawan karena kritis lahan dan air. Sarana akomodasi

pariwisata berupa kamar yang telah dibangun sampai dengan tahun 2005, baik yang

kelas melati maupun hotel berbintang lima sudah mencukupi, bahkan telah

melampaui kebutuhan. Kewenangan untuk melaksanakan otonomi daerah di tingkat

kabupaten yang diartikan secara sempit diperkirakan akan memperkuat ego sektoral

yang semata-mata didasarkan atas pertumbuhan ekonomi berupa peningkatan PAD.

Dengan demikian, persaingan yang tumbuh akan semakin menghalalkan segala cara,

khususnya dalam pemanfaatan sumber daya, yaitu lahan dan air.

Hasil penelitian yang ditunjukkan Pitana et al, di atas mengisyaratkan bahwa

pengembangan pariwisata konvensional (mass tourism) di Bali sudah jenuh. Untuk

itu, perlu dicarikan solusi pengembangan pariwisata alternatif (alternative tourism)

yang ramah lingkungan, bermanfaat secara ekonomi, sosial dan budaya, serta

berkelanjutan. Oleh karena itu, penelitian Pitana et al. di atas memberikan dukungan

terhadap kajian pariwisata alternatif di Desa Wisata Jasri, khususnya dalam usaha

pengembangan pariwisata yang konsisten dengan kelestarian alam lingkungan,

kehidupan sosial, dan budaya masyarakat.

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

31

2.2 Konsep

Sesuai dengan judul penelitian ini, yaitu “Pengembangan Pariwisata Alternatif

di Desa Pakraman Jasri, Kelurahan Subagan, Karangasem” secara substansial

konsep-konsep yang digunakan dalam kajian ini adalah konsep pengembangan,

pariwisata alternatif, konsep desa wisata, pengembangan pariwisata berbasis

masyarakat, dan konsep pariwisata berkelanjutan. Penjelasan konsep-konsep tersebut

secara lebih detail menjadi penting karena merupakan unsur pendukung penelitian

ini. Konsep-konsep tersebut diuraikan satu per satu sebagai berikut.

2.2.1 Pengembangan

Menurut Sugono dkk. (2008:679), kata pengembangan mengandung pengertian:

pembangunan secara bertahap dan teratur serta yang menjurus ke sasaran yang

dikehendaki. Selanjutnya Suwantoro (1997:120) menyatakan bahwa pengembangan

bertujuan untuk mengembangkan produk dan pelayanan yang berkualitas, seimbang,

dan bertahap. Di pihak lain Poerwadarminta (2002:474) lebih menekankan suatu

proses atau suatu cara menjadikan sesuatu menjadi maju, baik, sempurna maupun

berguna. Dengan kata lain, pengembangan berarti pembangunan yang dilakukan

secara terus-menerus sampai mendapatkan hasil yang diharapkan.

Terkait dengan pembangunan pariwisata, Paturusi (2001) memberikan definisi

yang berbeda dengan beberapa definisi sebelumnya. Ia menyatakan bahwa

pengembangan merupakan suatu strategi yang digunakan untuk memajukan,

memperbaiki, dan meningkatkan kondisi kepariwisataan suatu daya tarik wisata

sehingga dapat dikunjungi wisatawan. Di samping itu, mampu memberikan manfaat

dan keuntungan bagi wisatawan, industri pariwisata (investor), pemerintah, dan

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

32

masyarakat lokal di mana daerah tujuan wisata tersebut berada. Mill (2000:168)

menyatakan bahwa pada dasarnya pengembangan pariwisata dilakukan untuk

memaksimalkan keuntungan dan meminimalkan permasalahan.

Menurut Butler (1999:60), ada enam tahap pengembangan pariwisata yang

membawa implikasi serta dampak yang berbeda, secara teoretis, yaitu seperti di

bawah ini.

1. Tahap eksplorasi, pertumbuhan spontan dan penjajakan (exploration).

Pada tahap ini jumlah wisatawan petualang relatif kecil. Mereka cenderung

dihadapkan pada keindahan alam dan budaya yang masih alami di daerah

tujuan wisata. Fasilitas pariwisata dan kemudahan yang didapat wisatawan

juga kurang baik. Atraksi di daerah wisata belum berubah oleh pariwisata dan

kontak dengan masyarakat lokal relatif tinggi.

2. Tahap keterlibatan (involvement).

Pada tahap ini mulai adanya inisiatif masyarakat lokal menyediakan fasilitas

wisata, kemudian promosi daerah wisata dimulai dengan dibantu oleh

keterlibatan pemerintah. Hasilnya terjadinya peningkatan jumlah kunjungan

wisatawan.

3. Tahap pengembangan dan pembangunan (development).

Pada tahap ini jumlah wisatawan yang datang meningkat tajam. Pada musim

puncak wisatawan biasanya menyamai, bahkan melebihi jumlah penduduk

lokal. Investor luar berdatangan memperbarui fasilitas. Sejalan dengan

meningkatnya jumlah dan popularitas daerah pariwisata, masalah-masalah

rusaknya fasilitas mulai terjadi. Perencanaan dan kontrol secara nasional dan

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

33

regional menjadi dibutuhkan, bukan hanya untuk pemecahan masalah yang

terjadi, melainkan juga untuk pemasaran internasional.

4. Tahap konsolidasi (consolidation).

Pada tahap ini tingkat pertumbuhan sudah mulai menurun walaupun total

jumlah wisatawan masih relatif meningkat. Daerah pariwisata belum

berpengalaman mengatasi massalah dan kecenderungan terjadinya monopoli

yang sangat kuat

5. Tahap kestabilan (stagnation).

Pada tahap ini jumlah wisatawan yang datang berada pada puncaknya.

Artinya, wisatawan tidak mampu lagi dilayani oleh daerah tujuan wisata. Ini

disadari bahwa kunjungan ulangan wisatawan dan pemanfaatan bisnis dan

komponen-komponen lain pendukungnya dibutuhkan untuk mempertahankan

jumlah wisatawan yang berkunjung. Daerah tujuan wisata mungkin

mengalami massalah-massalah lingkungan, sosial, dan ekonomi.

6. Tahap penurunan kualitas (decline) dan kelahiran baru (rejuvenation).

Pada tahap decline, pengunjung kehilangan daerah tujuan wisata yang

diketahui semula dan menjadi ‘resort” baru. ‘Resort’ menjadi bergantung

pada sebuah daerah tangkapan secara geografi lebih kecil untuk perjalanan

harian dan kunjungan berakhir pekan. Kepemilikan berpeluang kuat untuk

berubah dan fasilitas-fasilitas pariwisata, seperti akomodasi akan berubah

pemanfaatannya. Akhirnya, pengambilan kebijakan mengakui tingkatan ini

dan memutuskan untuk dikembangkan sebagai „kelahiran baru‟. Selanjutnya

terjadi kebijaksanaan baru dalam berbagai bidang, seperti pemanfaatan,

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

34

pemasaran, saluran distribusi, dan meninjau kembali posisi daerah tujuan

wisata tersebut.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan

pengembangan dalam penelitian ini adalah suatu aktivitas memajukan Desa Wisata

Jasri dengan menggali berbagai potensi yang bisa dikembangkan menjadi suatu daya

tarik wisata alternatif. Aktivitas tersebut dikelola oleh masyarakat lokal, ramah

lingkungan, berkelanjutan, serta dapat meningkatkan kehidupan sosial budaya dan

kesejahteraan masyarakat sesuai dengan pendapat Paturusi (2001) di atas.

2.2.2 Pariwisata Alternatif

Secara umum pengembangan pariwisata dibedakan menjadi dua macam, yaitu

pariwisata massal/konvensional (mass tourism) dan pariwisata alternatif (alternative

tourism). Mass tourism bersifat konvensional, standar, dan berskala besar. Pariwisata

alternatif secara lebih luas didefinisikan sebagai bentuk kepariwisataan yang

konsisten terhadap nilai alam, sosial, dan masyarakat yang memungkinkan

masyarakat lokal dan wisatawan menikmati interaksi positif dan wajar. Selain itu,

juga menikmati indahnya berbagai pengalaman (William dan Valene, 1992:3 dalam

www.google.com, 15 Agustus 2015).

Pesatnya pembangunan dan pengembangan pariwisata massal (mass tourism) di

seluruh dunia di samping memberikan keuntungan juga telah terbukti turut secara

luas memberikan dampak negatif bagi destinasi wisata (Cooper dan Ozdil, 1992

dalam France, 1997:15). Untuk mengurangi dampak negatif yang terjadi, Wheeller

(1990) menyarankan untuk mengontrol volume pariwisata massal tersebut, terutama

di daerah-daerah yang memiliki kerawanan lingkungan, seperti di daerah

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

35

pegunungan dan daerah pesisir pantai (France, 1997:15). Menurut Kodhyat (1997:32;

Suwantoro, 2002) istilah pariwisata alternatif (alternative tourism) mempunyai dua

pengertian sebagai berikut.

1. Sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang timbul sebagai reaksi terhadap

dampak-dampak negatif dari pengembangan dan perkembangan pariwisata

konvensional.

2. Sebagai bentuk kepariwisataan yang berbeda (yang merupakan alternatif) dari

pariwisata konvensional untuk menunjang kelestarian lingkungan.

Selanjutnya, wacana pengembangan pariwisata alternatif (alternative tourism)

terus bergulir dan menarik perhatian banyak ahli di bidang pariwisata. Fennell dan

Smale dalam France (1997:15) menyatakan bahwa meningkatnya minat wisatawan

pada bentuk-bentuk pariwisata alternatif merupakan respons terhadap eksploitasi

lingkungan yang ditimbulkan oleh mass tourism, terutama yang terjadi di negara-

negara berkembang.

Pencarian pengalaman liburan wisata yang berbeda (alternatif) bukanlah

fenomena baru. Beberapa penulis, seperti Christaller (1964), Turner dan Ash (1975),

Cohen (1972), dan plog (1972) telah melakukan kodifikasi terhadap fenomena ini

(France, 1972: 15). Pariwisata alternatif muncul sebagai reaksi atas pariwisata massal

yang ada akibat adanya kecenderungan wisatawan untuk mencari sesuatu yang baru

di destinasi wisata yang pernah dikunjungi sebagai alternatif dari yang telah ada.

Selain itu, dari segi penawaran, disadari pula bahwa perlu sesuatu yang baru di

destinasi sebagai pilihan, terutama bagi wisatawan yang berkunjung ulang atau

repeater (Eadington dan Smith, 1992:3--4).

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

36

Pengembangan pariwisata massal (mass tourism) dengan skala besar diyakini

telah menimbulkan berbagai masalah lingkungan (polusi) dan keramain berlebihan

(overcrowded). Kondisi ini menimbulkan dampak ketidaknyamanan bagi wisatawan

sehingga mereka ingin mendapatkan dan menikmati sesuatu yang baru, berskala

kecil, berwawasan lingkungan, berinteraksi langsung dengan masyarakat lokal.

Dengan adanya pariwisata alternatif, wisatawan diharapkan mendapatkan

pengalaman yang baru. Dalam hal ini tampak jelas perbedaan antara pariwisata

massal (mass tourism) dan pariwisata alternatif (alternative tourism) sebagaimana

dikutip oleh Pearce (1992:23), bahwa konsep pariwisata alternatif kontras dengan

konsep pariwisata komersial/konvensional dengan skala besar, kapitalistik,

kepemilikan asing, ataupun hard tourism.

Hasslacher (1984), sebagaimana dikutip Pearce (1992:22--25) merangkum

beberapa variabel yang digunakan untuk membedakan mass (hard) tourism dengan

alternative (soft) tourism. Secara umum, perbedaan di antara kedua jenis pariwisata

tersebut dapat dilihat dari dari hal-hal berikut.

1. Karakteristik kontekstual dalam bentuk fisik, sosial, budaya, lingkungan, atau

ekonomi. Hal ini akan berkaitan dengan dampak yang akan ditimbulkan.

2. Fasilitas, baik jenis maupun skala. Bila pariwisata massal membangun

fasilitas akomodasi dengan skala besar, kualitas standar, dan harga standar,

pariwisata alternatif membangun fasilitas akomodasi dengan skala kecil

(terbatas), tetapi bervariasi dalam hal atraksi wisata dan fasilitas lainnya.

Umumnya, pariwisata alternatif cenderung mempunyai harga yang lebih

mahal dengan kualitas pelayanan yanag lebih baik.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

37

3. Lokasi, yaitu tempat fasilitas tersebut dibangun. Bila pariwisata massal

cenderung dibangun secara ekstensif, pariwisata alternatif cenderung

dibangun terlokalisasi.

4. Pengembang/kepemilikan (ownership). Fasilitas pariwisata massal cenderung

dimiliki oleh investor, terutama orang asing dengan operasional usaha

menggunakan jaringan (networking) internasional. Di pihak lain pariwisata

alternatif cenderung dikembangkan dan dimiliki oleh orang lokal yang

termotivasi untuk memanfaatkan kehadiran wisatawan demi keuntungan

masyarakat lokal.

5. Proses pembangunan. Dalam pembangunan pariwisata massal cenderung

diperlukan sumber daya yang sangat besar (listrik, air, tenaga kerja, modal,

dan sebagainya) serta waktu yang lama. Namun, dalam proses pembangunan

pariwisata alternatif, cenderung digunakan sumber daya yang terbatas.

6. Pasar dan pemasaran. Pariwisata massal biasanya dipasarkan untuk berbagai

segmen pasar yang berasal dari berbagai negara dengan karakteristik berbeda

serta dibuat dalam paket dan promosi yang beragam. Di pihak lain pariwisata

alternatif cenderung membidik segmen pasar tertentu dengan jalur promosi

dan paket yang terbatas, tetapi mengedepankan kualitas.

7. Dampak. Pariwisata massal telah banyak dikeluhkan memiliki dampak

negatif yang luas terhadap destinasi, sedangkan pariwisata alternatif karena

perkembangnnya relatif baru, peluang meminimalkan dampak negatif dan

memaksimalkan dampak positif akan lebih besar.

Lebih lanjut, dilihat dari jenisnya, menurut Mieczkowski (1995:459 dalam

www.google.com, diunduh 15 Agustus 2015), pariwisata alternatif dapat dibedakan

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

38

menjadi lima macam. Kelima bentuk pariwiswata alternatif tersebut, yaitu (1)

pariwisata budaya (cultural tourism), pengembangan pariwisata alternatif berbasis

budaya (culture) masyarakat lokal; (2) pariwisata pendidikan (educational tourism)

disediakan bagi mereka yang berwisata sambil mengikuti pendidikan dan pelatihan

tertentu; (3) pariwisata ilmu pengetahuan/science (scientific tourism); (4) pariwisata

petualangan (adventure tourism); dan (5) pariwisata pertanian (agritourism) yang

keseluruhannya merupakan pariwisata berwawasan lingkungan (ecotourism).

Dari keseluruhan bentuk pengembangan pariwisata alternatif sesuai dengan

pendapat Mieczkowski di atas, terdapat tiga bentuk pariwisata alternatif yang paling

sesuai dikembangkan di wilayah pedesaan. Bentuk-bentuk pariwisata alternatif

dimaksud adalah (1) pariwisata budaya (cultural tourism), yang memanfaatkan

budaya lokal masyarakat setempat; (2) pariwisata petualangan (adventure tourism),

biasanya memanfaatkan kawasan pegunungan; dan (3) pariwisata pertanian

(agritourism) memanfaatkan sebagian atau keseluruhan aktivitas pertanian

masyarakat.

Sejalan dengan beberapa pendapat sebelumnya, Burns dan Holden (1997:15)

menyatakan bahwa pesatnya perkembangan pariwisata massal yang tidak terkendali

bertanggung jawab besar terhadap dampak negatif yang ditimbulkan, terutama

terhadap kerusakan lingkungan. Lebih lanjut, Burns dan Holden merangkum dan

menunjukkan perbedaan karakteristik utama antara pariwisata massal dan pariwisata

alternatif yang ditunjukkan dalam tabel 2.1.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

39

Tabel 2.1 Perbedaan Karakteristik antara Pariwisata Massal dengn Alternatif

Pariwisata Massal Pariwisata Alternatif

Wisatawan disebut tourist

Melibatkan perusahaan besar

Berskala besar

Jaringan hotel multinasional

Perkembangan cepat sering tanpa

perencanaan

Pengambilan keputusan bersifat

multinasional

Dampak terabaikan

Berbentuk resort, bahan bakar

transportasi menjadi efektif

Wisatawan disebut traveller

Perusahaan kecil, pelakunya spesifik, dan

mandiri

Berskala kecil

Akomodasi berskala kecil

Perkembangan pelan dan terkontrol

Pengambilan keputusan bersifat lokal

Dampak negatif relatif kecil

Penggunaan bahan bakar untuk

transportasi sering tidak efektif

Sumber: Lane, 1990. Wheeler, 1990. Heritage Coast, 1992 dalam Burns dan Holden

(1997: 16)

Tabel 2.1 menunjukkan perbedaan pendekatan yang jelas antara pengembangan

pariwisata massal (mass tourism) dan pengembangan pariwisata alternatif

(alternative tourism). Tampak penggunaan istilah wisatawan berbeda, yaitu tourist

merupakan sebutan bagi wisatawan yang berwisata hanya ke satu tempat/destinasi),

sedangkan traveller biasanya akan mengunjungi beberapa lokasi/destinasi yang

berbeda-beda. Dari sisi skala pengembangan, kepemilikan, dan dampak yang

ditimbulkan juga tampak jelas perbedaannya.

Berkaitan dengan bentuk atau jenis pariwisata alternatif, Burns dan Holden

(1997: 16) membedakan bentuk atau jenis pariwisata alternatif menjadi tiga bagian.

Ketiga bentuk pariwisata alternatif tersebut serta karakteristiknya dijelaskan sebagai

berikut.

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

40

1. Pariwisata petualangan (adventure tourism): melibatkan tantangan secara

fisik, mengandung unsur pendidikan, dan kontak dengan alam.

2. Pariwisata alam (nature tourism): merupakan bagian dari aspek pariwisata

petualangan yang lebih fokus pada kegiatan studi dan/atau kegiatan

konservasi flora, fauna, dan lingkungan alam (lanscape).

3. Pariwisata masyarakat (community tourism): jenis pariwisata ini dikelola oleh

dan untuk masyarakat lokal (Burns dan Holden, 1997:16).

Terkait dengan ketiga bentuk pariwisata alternatif di atas, Burns dan Holden

mengutip pendapat Kallen (1990: 37) yang merujuk kepada definisi yang

dikeluarkan oleh The World Wild Fund for Nature (WWF) tentang ekowisata

(ecotourirm) sebagai pariwisata yang mengusung konsep perlindungan sumber daya

alam dan kelestarian lingkungan dan mampu memberikan keuntungan secara

ekonomi bagi masyarakat lokal. Di samping itu, Burns dan Holden juga memberikan

gambaran tentang cakupan atau scope wilayah antara pengembangan pariwisata

massal dan pariwisata alternatif seperti tampak dalam gambar 2.1.

Dalam gambar 2.1 tampak wilayah cakupan pariwisata alternatif lebih luas

dibandingkan dengan pariwisata massal. Pariwisata alternatif memiliki cakupan

keseluruhan pengembangan ekowisata (ecotourism), meliputi sebagian wilayah

pariwisata masyarakat (community tourism), pariwisata petualang (adventure

tourism), dan wilayah pariwisata alam (nature tourism).

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

41

Gambar 2.1 Jenis dan Cakupan Pariwisata

(Sumber: Burns dan Holden, 1997:17)

2.2.3 Desa Wisata

Pariwisata pedesaan dalam dekade terakhir telah menjadi wacana menarik dalam

mencari alternatif dari pengembangan pariwisata konvensional. Jenis pariwisata ini

menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keunikan pedesaan, baik dari

kehidupan sosial budaya, adat istiadat keseharian, aktivitas spiritual, arsitektur

bangunan, maupun struktur tata ruang desa yang khas atau kegiatan perekonomian

yang unik dan menarik. Di samping itu, juga memiliki potensi untuk dikembangkan

menjadi berbagai atraksi wisata.

Pariwisata pedesaan termasuk ke dalam jenis usaha berskala kecil, memerlukan

modal relatif lebih sedikit, memanfaatkan sumber daya setempat, dan dimiliki serta

dikelola oleh masyarakat lokal. Kunci utama pariwisata pedesaan adalah keunikan

dan orisinalitas adat istiadat, budaya, dan aktivitas daily life masyarakatnya. Keaslian

dipengaruhi oleh keadaan ekonomi, fisik, dan sosial daerah pedesaan tersebut,

misalnya tata ruang, warisan budaya, kegiatan pertanian, bentang alam, jasa

MASS

PAPPA

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

42

peristiwa sejarah dan budaya yang penting, serta pengalaman yang eksotik khas

daerah.

Secara khusus berkaitan dengan perilaku, integritas, keramah-tamahan, dan

kesungguhan penduduk yang tinggal di daerah tersebut. Oleh karena itu, pariwisata

pedesaan dapat djadikan media dalam pengembangan identitas dan ciri khas daerah

sesuai dengan prinsip dan tata cara adat setempat. Adapun caranya adalah dengan

mengembangkan mutu produk wisata pedesaan, mengembangkan kelompok usaha

lokal, dan memberikan kesempatan pada masyarakat setempat untuk ikut

mengendalikan strategi dan pelaksanaan kegiatan tersebut (Nasikun, 1997; Fagence,

1997). Salah satu bentuk realisasi pengembangan pariwisata pedesaan adalah desa

wisata.

Menurut Suwantoro (1997), desa wisata adalah suatu wilayah pedesaan yang

menawarkan keseluruhan suasana yang mencerminkan keaslian pedesaan, baik tata

ruang, arsitektur bangunan, maupun pola kehidupan sosial budaya masyarakat, adat

istiadat keseharian. Di samping itu, mampu menyediakan komponen-komponen

kebutuhan pokok wisatawan, seperti akomodasi, makanan dan minuman, cendera

mata, dan atraksi-atraksi wisata. Di pihak lain Edward Inskeep dalam Tourism

Planning An Integrated and Sustainable Development Approach memberikan

definisi desa wisata sebagai berikut.

Village Tourism, where small groups of tourist stay in or near traditional,

often remote villages and learn about village life and the local environment

(Wisata pedesaan, dimana sekelompok kecil wisatawan tinggal dalam atau

dekat dengan suasana tradisional, sering di desa-desa yang terpencil dan

belajar tentang kehidupan pedesaan dan lingkungan setempat) (Inskeep,

1991).

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

43

Berdasarkan definisi desa wisata di atas, diketahui bahwa substansi yang

terkandung dalam desa wisata adalah pengembangan suatu wilayah desa

memanfaatkan berbagai potensi dan kemampuan unsur-unsur yang ada dalam

masyarakat desa yang berfungsi sebagai atribut produk wisata, menjadi suatu

rangkaian aktivitas pariwisata yang terpadu. Selain itu, wisatawan akan mendapat

pengalaman baru mengenai kehidupan masyarakat pedesaan dan lingkungannya.

Sebagai landasan dasar dalam pengembangan desa wisata menurut definisi yang

dikemukakan di atas adalah pemahaman terhadap karakter dan kemampuan unsur-

unsur yang ada di desa tersebut termasuk pengetahuan dan kemampuan lokal

(indigeneous knowledge) dan kearifan lokal (local wisdom) yang dimiliki oleh

masyarakat. Adapun yang dimaksudkan pemahaman unsur-unsur desa adalah

menghimpun semua atribut-atribut potensial pembentuk produk sebagai dasar

perencanaan dan pengemasan desa. Unsur-unsur yang dimaksudkan mencakup

lingkungan makro yang terdiri atas aspek (1) lingkungan alam, (2) sosial ekonomi

dan budaya masyarakat, sedangkan lingkungan mikro yang mencakup (1) arsitektural

dan struktur tata ruang serta (2) aspek historis dan lain-lain (Disparda NTT, 2000).

Secara substansial, pengertian yang terkandung di sini adalah desa adat sebagai

produk wisata mampu menyediakan berbagai fasilitas untuk memenuhi berbagai

kebutuhan wisatawan. Kebutuhan tersebut menyangkut aspek daya tarik wisata

(attraction), baik yang bersifat tangible maupun intangible yang memberikan

kenikmatan kepada wisatawan, kemudahan aksesibilitas yang mencakup keseluruhan

infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke, dan selama di

daerah tujuan wisata, mulai dari darat, laut, sampai udara (accessibility). Selain itu,

juga berbagai fasilitas (amenity), yaitu infrastruktur yang tidak langsung terkait

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

44

dengan pariwisata, tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan dan

adanya faktor pendukung/tambahan sebagai pelengkap fasilitas penunjang

kepariwisataan (ancillary), baik berupa kelembagaan sebagai satu elemen

institusional maupun berbagai bentuk kegiatan yang berupa hiburan-hiburan yang

melengkapi berbagai kegiatan kepariwisataan. Dengan demikian, wisatawan dapat

menjalankan aktivitasnya dengan baik dan lancar serta menemukan kenyamanan dan

keamanan setelah berada di tempat tujuan (Inskeep, 1991:38).

Demikian halnya dengan pengembangan pariwisata alternatif dalam bentuk desa

wisata di Desa Pakraman Jasri. Pengembangannya diarahkan pada manfaat langsung

yang dapat dirasakan oleh masyarakat desa adat. Artinya, dalam pengelolaannya,

masyarakat adat tidak hanya dijadikan sebagai objek pariwisata, tetapi juga dijadikan

sebagai subjek pengembangan pariwisata di daerahnya, yang lebih dikenal dengan

istilah desa wisata terpadu.

Berkenaan dengan hal tersebut, pengembangan desa wisata benar-benar

diharapkan dapat mencerminkan suasana pedesaan. Artinya konsep penggalian

produk desa wisata ditujukan pada pengembangan interaksi budaya dari manusia ke

manusia dan dari manusia ke alam desa. (Disparda Bali, 2003). Di sisi lain

pengembangan desa wisata menjadi alternatif sensitif. Apabila salah, baik dalam

perencanaan maupun pengelolaannya, dapat menimbulkan dampak buruk terhadap

keberadaan desa pakraman tempat desa wisata itu dikembangkan (Pitana,1999:105).

Desa Pakraman Jasri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah salah satu desa

pakraman yang terletak di Kelurahan Subagan, Kecamatan Karangasem. Desa ini

telah dipilih dan ditetapkan oleh Pemerintah Kabupaten Karangasem sebagai lokasi

pengembangan desa wisata. Hal ini tertuanng dalam SK Bupati Karangasem nomor

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

45

658/HK/2014. Penetapan Desa Pakraman Jasri sebagai desa wisata tentunya

berdasarkan berbagai pertimbangan dan kajian yang mengarah pada potensi sumber

daya alam (SDA), kesiapan sumber daya manusia (SDM), dan sumber daya budaya

(SDB) yang dimiliki oleh Desa Pakraman Jasri. Di samping itu, pembangunan dan

pengembangan pariwisata pedesaan dewasa ini sedang menjadi trend sebagai bentuk

pengembangan pariwisata alternatif, khususnya di Kabupaten Karangasem.

Istilah desa pakraman mulai digunakan sejak dikeluarkannya Peraturan Daerah

Provinsi Bali Nomor 3, Tahun 2001 tentang Desa Pakraman. Dalam perda ini

diuraikan pengertian desa pakraman sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di

Provinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan

masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan kahyangan tiga atau

kahyangan desa yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta

berhak mengurus rumah tangganya sendiri. Sebelumnya, istilah yang digunakan

adalah desa adat sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 6, Tahun 1986 tentang

Kedudukan, Fungsi, dan Peranan Desa Adat sebagai kesatuan Masyarakat Hukum

Adat dalam wilayah Provinsi Bali.

2.2.4 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Pembangunan berbasis masyarakat merupakan wacana yang harus dikedepankan

dalam upaya mencapai keberhasilan pembangunan di berbagai sektor, termasuk pada

sektor pariwisata. Wacana pembangunan pariwisata berbasis masyarakat (community

based tourism development ) saat ini kerap kali dijadikan dasar pembangunan

pariwisata, baik secara nasional, regional, maupun internasional.

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

46

Pariwisata berbasis masyarakat identik dengan pembangunan pariwisata

berkelanjutan dan sering dikaitkan dengan pariwisata alternatif, ingin

menyeimbangkan antara sumber daya alam, sosial, dan nilai-nilai masyarakat

sehingga bermanfaat secara positif bagi masyarakat lokal dan wisatawan. “Forms of

tourism that are consistent with natural, social, and community values and which

allow both hosts and guests to enjoy positive and whorth while interaction and

shared experience” (Eadigton and Smith, 1992). Dalam pengembangan pariwisata

berbasis masyarakat, masyarakat lokal merupakan pelaku utama (actor)

pembangunan pariwisata berbasis masyarakat karena paling tahu potensi wilayah

atau karakter dan kemampuan unsur-unsur yang ada dalam desa termasuk indigenous

knowledge yang dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, pembangunan yang

direncakanan sesuai dengan keinginan masyarakat lokal dari, oleh, dan untuk rakyat

(Adhisakti, 2001).

Natori (2001) menambahkan bahwa pariwisata berbasis masyarakat ingin

menyeimbangkan (harmonis) antara sumber daya, masyarakat, dan wisatawan. Tolok

ukur pembangunan pariwisata berbasis masyarakat adalah terciptanya hubungan

yang harmonis antara masyarakat lokal, sumber daya alam/budaya, dan wisatawan,

yang dapat dilihat dari hal-hal berikut.

1. Adanya peningkatan antusiasme pembangunan masyarakat melalui pembentukan

suatu wadah organisasi untuk menampung segala aspirasi masyarakat melalui

sistem kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat lokal.

2. Adanya keberlanjutan lingkungan fisik yang ada di masyarakat. Caranya adalah

melalui konservasi, promosi, dan menciptakan tujuan hidup yang harmonis antara

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

47

sumber daya alam, sumber daya budaya, dan sumber daya manusia. Penemuan

kembali potensi sumber daya alam dan sumber daya budaya.

3. Adanya keberlanjutan ekonomi melalui pemerataan dan keadilan dalam

menikmati hasil-hasil pembangunan.

4. Membangun sistem yang menguntungkan masyarakat seperti sistem informasi

yang dapat digunakan bersama-sama.

5. Menjaga kepuasan wisatawan melalui pelayanan yang lebih baik, pengadaan

informasi yang efektif, efisien, tepat guna serta mengutamakan kenyamanan bagi

wisatawan (Natori, 2001).

Hubungan yang harmonis dan saling mendukung antara komponen

pembangunan pariwisata berbasis masyarakat dapat dilihat dalam gambar 2.2. Pada

gambar ini tampak ketiga unsur pariwisata berbasis masyarakat, yaitu sumber daya,

masyarakat lokal, dan wisatawan saling memberi dan menerima manfaat

pengembangan pariwisata.

Masyarakat

Lokal

Wisatawan

Sumber Daya

Sumber : Natori (2001)

Gambar 2.2 Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat

Regulasi

(aturan

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

48

Untuk menghasilkan pariwisata berbasis masyarakat yang berkelanjutan perlu

dilakukan pendekatan sistem yang utuh dan terpadu, bersifat interdisipliner,

participactory, dan holistik antarkomponen terkait. Bentuk-bentuk pengembangan

pariwisata berbasis masyarakat dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu (1) swadaya

(sepenuhnya dari masyarakat), (2) kemitraan (melalui pengusaha angkat), dan (3)

pendampingan oleh LSM atau pihak perguruan tinggi selama masyarakat dianggap

belum mampu untuk mandiri. Apabila mereka sudah dianggap mampu mandiri,

secara pelan-pelan ditinggalkan oleh pendamping (Ardika, 2001).

Pengembangan pariwisata pedesaan yang merupakan penjabaran dari

pengembangan pariwisata alternatif merupakan bentuk kegiataan pariwisata yang

sangat kental nuansanya pada pemberdayaan masyarakat, baik sebagai objek maupun

subjek kegiatan pariwisata itu sendiri. Oleh karena itu, sistem pariwisata berbasis

masyarakat dapat dijadikan acuan pengembangan pariwisata pada masa-masa

mendatang.

Sistem pariwisata yang berbasis masyarakat hendaknya dilandasi konsep hidup

masyarakat lokal secara berkesinambungan. Konsep harmonisasi unsur kehidupan

yang bersumber dari kearifan lokal masyarakat Bali dikenal dengan tri hita karana.

Konsep ini merupakan harmonisasi tiga unsur kehidupan, yaitu hubungan manusia

dengan sang pencipta, yaitu Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan

sesamanya, dan hubungan manusia dengan alam lingkungannya.

Dalam kegiatan pembangunan hendaknya digerakkan dan dikendalikan oleh

adanya keimanan yang kuat, ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai

nilai luhur yang menjadi landasan spiritual, moral, dan etika kepariwisataan nasional.

Dengan memanfaatkan lingkungan, baik berupa sumber daya alam maupun kondisi

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

49

geografis dan secara bersamaan melaksanakan pelestarian. Kepariwisataan berbasis

masyarakat bertumpu pada masyarakat sebagai kekuatan dasar, maka pembangunan

hendaknya mengacu pada semua aspek kehidupan masyarakat, yaitu berupa ideologi,

politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Konsep pembangunan berbasis masyarakat sangat berbeda dengan yang

dinamakan pembangunan konvensional. Model top-down dianggap telah melupakan

konsep dasar pembangunan itu sendiri sehingga kehidupan rakyat tidak semakin

meningkat, tetapi malah dirugikan, bahkan termarginalisasi di lingkungan miliknya

sendiri. Dalam model bottom-up, pembangunan sebagai social-learning yaitu

partisipasi masyarakat lokal itu sendiri sangat diperlukan. Dengan demikian,

pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan

kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut (Pitana, 1999).

Korten (1987) mengemukakan tiga alasan mengapa community based

management sangat penting dilaksanakan sebagai rancangan dasar dalam

pembangunan. Pertama, adanya sumber daya lokal yang secara tradisional dikuasai

dan dikelola oleh masyarakat lokal. Masyarakat lokal dianggap mampu mengelola

lingkungannya karena mereka telah mewarisi kearifan itu secara turun-temurun.

Kedua, adanya tanggung jawab lokal, artinya pengelolaan yang dilakukan oleh

masyarakat setempat biasanya lebih bertanggung jawab karena kegiatan yang

dilakukan secara langsung akan berpengaruh pada kehidupan mereka. Dengan

demikian, orang luar dianggap tidak memiliki kedekatan moral dengan masyarakat

lokal. Ketiga, adanya variasi antardaerah sehingga daerah yang satu dengan yang

lainnya tidak boleh diperlakukan sama dan menuntut adanya sistem pengelolaan

yang berbeda.

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

50

Community management (Pitana, 1999) disamakan dengan istilah community

based approach (pendekatan berbasis masyarakat). Hal ini didasarkan pada suatu

kenyataan bahwa masyarakat setempat sudah mempunyai kearifan lokal dalam

mengelola sumber daya alam yang ada di daerahnya dan hal itu diwariskan secara

turun-temurun. Kearifan lokal tersebut dikenal dengan istilah tradisional knowledge,

local knowledge, dan ethnoscience harus diperhatikan dalam rangka pembangunan

pariwisata yang berwawasan budaya dan lingkungan. Titik dasar aktivitas

pengelolaan dalam konsep community management dimulai dari masyarakat itu

sendiri, yaitu identifikasi kebutuhan, analisis kemampuan, dan kontrol terhadap

sumber-sumber daya yang ada.

Pitana (2002:101--102) menyatakan bahwa pembangunan pariwisata berbasis

masyarakat memiliki beberapa karakteristik ideal sebagai berikut.

1. Usaha yang dikembangkan berskala kecil, bukan skala raksasa.

2. Pemilikan dan pengelolaan dilakukan oleh masyarakaat lokal (locally owned

and managed).

3. Sesuai dengan skalanya yang kecil dan pengelolaannya oleh masyarakat

lokal, maka sebagian besar input yang digunakan, baik pada saat konstruksi

maupun operasi, berasal dari daerah setempat sehingga komponen impornya

kecil.

4. Aktivitas berantai (Spin-off activity) yang ditimbulkan banyak. Oleh karena

itu, adanya keterlibatan masyarakat lokal, baik secara individual maupun

secara melembaga, menjadi semakin besar.

5. Adanya aktivitas berantai tersebut memberikan manfaat langsung yang lebih

besar bagi masyarakat lokal.

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

51

6. Berbasiskan kebudayaan lokal karena pelakunya adalah masyarakat lokal.

7. Pengembangan ramah lingkungan (environmentally friendly), yang terkait

dengan adanya konversi lahan secara besar-besaran serta tiadanya

pengubahan bentuk bentang alam yang berarti.

8. Melekatnya kearifan lokal (local wisdom) karena masyarakat telah

beradaptasi dengan alam sekitarnya.

9. Penyebarannya tidak terkonsentrasi pada suatu kawasan, tetapi dapat

menyebar ke berbagai daerah.

Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat pada suatu wilayah diharapkan

mampu memberikan berbagai keuntungan bagi masyarakat. Keuntungan dimaksud,

di antaranya secara ekonomi sehingga pemeliharaan lingkungan bisa dilaksanakan

dengan baik oleh masyarakat setempat, adanya penyebaran penduduk, dan

menciptakan kawasan wisata alternatif. Keuntungan ekonomi yang diterima

langsung oleh masyarakat pedesaan adalah dengan menyediakan barang dan jasa

yang dibutuhkan oleh wisatawan. Penyediaan barang dan jasa dapat dilakukan oleh

kaum perempuan sementara laki-laki bekerja di ladang.

Winter (dalam Parining dkk., 2001:12) mengatakan bahwa pariwisata pedesaan

menciptakan lapangan pekerjaan bagi perempuan. Pendapat ini didukung oleh

Schneider bahwa insentif untuk petani lokal dan pemerataan dan perluasan produksi

pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan untuk wisatawan. Di samping itu,

dalam konsep pembangunan pariwisata yang berbasis masyarakat perlu pula

diperhatikan suatu konsep keseimbangan antara resources dan resident. Oleh karena

itu, pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, salah satu di antaranya dalam

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

52

bentuk desa wisata, ke depan dapat dijadikan acuan pengembangan pariwisata

alternatif, khususnya di Kabupaten Karangasem.

2.2.5 Pariwisata Berkelanjutan

WTO (1993) mengungkapkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus

menganut tiga prinsip dasar, yaitu ecological sustainability (berkelanjutan secara

ekologi), social and cultural sustainability (berkelanjutan dari aspek sosial budaya),

dan economic sustainability (berkelanjutan secara ekonomi), baik untuk generasi

sekarang maupun untuk generasi yang akan datang. Selain keberlanjutan sumber

daya alam dan ekonomi, keberlanjutan kebudayaan merupakan sumber daya yang

sangat penting dalam pembangunan kepariwisataan. Pariwisata berkelanjutan akan

tercapai bilamana ada kesinambungan pemanfaatan sumber daya alam, sumber daya

budaya, dan sumber daya manusia selain keberlanjutan ekonomi secara adil dan

merata.

Pembangunan pariwisata berkelanjutan dapat dicapai kalau tingkat pemanfaatan

berbagai sumber daya tidak melampaui kemampuan regenerasi sumber daya tersebut.

Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip-prinsip pembangunan pariwisata berkelanjutan

adalah (1) menjaga kualitas lingkungan, (2) memberikan keuntungan bagi

masyarakat lokal dan wisatawan, (3) menjaga hubungan antara pariwisata dan

lingkungan, (4) menjaga keharmonisan antara masyarakat lokal, kebutuhan

wisatawan, dan lingkungan, (5) menciptakan kondisi yang dinamis yang disesuaikan

dengan carrying capacity, dan (6) semua stakeholders harus bekerja sama didasari

oleh misi yang sama untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan (Burns and

Holden, 1997:26).

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

53

Pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata yang dikelola dalam

meningkatkan kesejahteraan, perekonomian, dan kesehatan masyarakat. Peningkatan

kualitas hidup dapat dicapai dengan meminimalkan dampak negatif sumber daya

alam yang tidak dapat diperbarui. Pembangunan dan pengembangan pariwisata

alternatif hendaknya mampu berkelanjutan dan dipertahankan pada masa depan.

Keberlanjutan pariwisata tidak mesti diwacanakan saja tanpa adanya suatu komitmen

dari berbagai pihak untuk mempertahankan keberlanjutan alam, sosial ekonomi, dan

budaya masyarakat sebagai modal dasar pariwisata. Menurut Bendesa, pembangunan

pariwisata dalam hal ini dapat dilihat dari tiga dimensi, yaitu lingkungan, ekonomi,

dan sosial. Ketiga dimensi tersebut harus mendapat perhatian yang serius dari

berbagai komponen masyarakat. Dari sisi lingkungan yang mencakup lingkungan

alam (natural environment), lingkungan pertanian (farmed environment), satwa liar

(wildlife), lingkungan yang sengaja dibangun (built environment), serta sumber daya

alam (natural resources) keberlanjutannya harus dapat dipertahankan dan

dilestarikan. Dari sisi ekonomi dan sosial budaya, pariwisata tersebut harus mampu

memberikan kontribusi terhadap perekonomian masyarakat, meningkatkan taraf

hidup, serta kelestarian budaya masyarakat sehingga masyarakat memiliki alasan

kuat untuk mempertahankan keberlanjutan (sustainability) pariwisata tersebut.

2.3 Landasan Teori

Untuk memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang permassalahan yang

dikaji dalam penelitian ini, digunakan beberapa teori sebagai alat analisisnya. Teori

adalah semacam generalisasi, terdiri atas proposisi yang menjadikan dua kelas

fenomena atau lebih yang saling berhubungan (Kaplan dan Manners, 2002:15). Teori

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

54

memiliki fungsi ganda, yaitu menjelaskan fakta yang telah diketahui dan membuka

celah yang dapat mengantarkan pada penemuan baru (Yuliana, 2010: 43).

Penelitian ini menggunakan tiga teori kritis sebagai landasan analisis permasalahan,

yaitu teori hegemoni dari Antonio Gramzi, teori diskursus kekuasaan dan

pengetahuan (power/knowledge) dari Michel Foucault, dan teori tindakan

komunikatif oleh Jurgen Habermas, yang bersifat eklektik, yaitu menggunakan

beberapa teori pokok yang pada dasarnya saling melengkapi satu sama lain.

2.3.1 Teori Hegemoni

Istilah hegemoni berasal dari istilah Yunani, yaitu hegeisthai (to lead). Konsep

hegemoni banyak digunakan oleh sisiolog untuk menjelaskan fenomena terjadinya

usaha untuk mempertahankan kekuasaan oleh pihak penguasa. Penguasa di sini

memiliki arti luas, tidak hanya terbatas pada penguasa negara (pemerintah).

Hegemoni bisa didefinisikan sebagai dominasi oleh suatu kelompok terhadap

kelompok lainnya dengan atau tanpa ancaman kekerasan sehingga ide-ide yang

didiktekan oleh kelompok dominan terhadap kelompok yang didomonasi diterima

sebagai sesuatu yang wajar (common sence).

Suatu penetapan makna yang bersifat sementara menyokong kelompok

penguasa. Proses penciptaan, pemeliharaan, dan reproduksi perangkat makna

pengatur dalam suatu kebudayaan. Bagi Gramsci, hegemoni berarti suatu situasi

yaitu sebuah “blok historis” faksi-faksi kelas penguasa menggunakan otoritas sosial

dan kepemimpinan pada kelas-kelas subordinat melalui kombinasi paksaan dan yang

lebih penting adalah persetujuan sadar (consent). Hegemoni bisa dipandang sebagai

strategi-strategi yang dipakai untuk melanggengkan pandangan-pandangan dunia dan

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

55

kekuasaan kelompok-kelompok sosial (baik yang tersusun berdasar kelas, kelamin,

maupun kebangsaan) yang tengah berkuasa (Barker, 2005: 513).

Hegemoni adalah dominasi sebuah kelas sosial terhadap kelas lainnya. Hal ini

terjadi lewat keberhasilannya menanamkan pandangan hidup, relasi sosial, dan

hubungan kemanusiaan sehingga diterima sebagai sesuatu yang dianggap benar atau

alamiah oleh orang-orang yang sebetulnya tersubordinasi (Piliang, 2004: 17).

Teori hegemoni dikembangkan oleh filsuf Marxis Italia, Antonio Gramsci

(1891--1937), yang disebut juga sebagai Bapak Hegemoni. Gagasannya yang

cemerlang tentang hegemoni dipengaruhi oleh filsafat hukum Hegel. Konsep

hegemoni dikembangkan atas dasar didekonstruksinya konsep-konsep Marxis

Ortodoks. Istilah hegemoni mulai digunakan pada tahun 1926 dalam tulisan Chantal

Mouffe (Bennet dkk. ed., 1983, Ratna, 2005: 181) yang berjudul “Notes on The

Southern Question”. Namun, Simon (2000:20) mengatakan bahwa istilah hegemoni

telah digunakan oleh Plekhanov dan para pengikut Marxis pada umumnya pada

tahun 1880-an.

Dalam teori hegemoni Gramsci, kelompok yang mendominasi berhasil

memengaruhi kelompok yang didominasi untuk menerima nilai-nilai moral, politik,

dan budaya kelompok dominan (the ruling party, kelompok yang berkuasa).

Hegemoni diterima sebagai sesuatu yang wajar sehingga ideologi kelompok dominan

dapat menyebar dan dipraktikkan. Nilai-nilai hegemoni ini diperjuangkan dan

dipertahankan oleh pihak dominan sedemikian rupa sehingga pihak yang didominasi

tetap diam dan taat terhadap kepemimpinan kelompok penguasa. Hegemoni dapat

dilihat sebagai strategi untuk mempertahankan kekuasaan. Jika dilihat sebagai

strategi, konsep hegemoni bukanlah strategi eksklusif milik penguasa. Kelompok

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

56

mana pun bisa menerapkan konsep hegemoni dan mejadi penguasa. Sebagai contoh

hegemoni adalah kekuasaan dolar Amerika terhadap ekonomi global. Kebanyakan

transaksi internasional dilakukan dengan dolar Amerika. Contoh lain, daripada

melakukan revolusi, kaum buruh malah berpikir untuk meningkatkan statusnya ke

kelas menengah, mampu mengikuti budaya populer, dan meniru perilaku atau gaya

hidup kelas borjuis. Ini adalah sebuah ilusi yang diciptakan kaum penguasa agar

kaum yang didominasi kehilangan ideologi dan jati diri sebagai manusia merdeka.

Teori hegemoni yang dicetuskan Antonio Gramsci merupakan “suatu proses

berkelanjutan dari pembentukan dan pergantian titik setimbang yang labil, antara

kepentingan kelompok fundamental dengan kelompok subordinatnya” (Gramsci,

1968:182 dalam Barker, 2005:81). Dalam tulisan ini teori hegemoni digunakan untuk

menganalisis potensi pariwisata alternatif yang dikembangkan di Desa Pakraman

Jasri, tampak pemerintah dan pelaku pariwisata (investor) telah memberikan

pengaruhnya pada pariwisata alternatif di Desa Pakraman Jasri. Dengan demikian,

teori ini relevan digunakan.

2.3.2 Teori Power/Knowledge (Kuasa/Pengetahuan) Michel Foucault

Berkaitan dengan kebenaran dan kekuasaan, Foucault (2002:136) dengan tegas

mengatakan bahwa hanya ada dua kata yang berperanan, yaitu kekuasaan dan

pengetahuan. Diilustrasikan apabila dikaitkan dengan ilmu pengetahuan seperti fisika

teoretis atau kimia organik, orang menghadapi masalah mengenai relasinya dengan

berbagai struktur politik dan ekonomi masyarakat, tidakkah mereka menghadapi

sebuah pertanyaan rumit yang berlebih-lebihan. Sebaliknya, jika orang mengambil

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

57

bentuk pengetahuan (savoir) seperti psikiatri, tidakkah pertanyaannya menjadi lebih

mudah karena profil epistemologis psikiatri merupakan sesuatu yang rendah dan

karena praktik psikiatri dihubungkan dengan seluruh institusi, pencapaian ekonomi,

dan masalah-masalah politik tentang regulasi sosial? Tidak dapatkan jalinan efek-

efek kekuasaan dan pengetahuan ditumbuhkan dengan kepastian yang lebih besar

dalam masalah yang pada dasarnya sama “meragukannya” dengan psikiatri?

Dalam masyarakat-masyarakat feodal, Foucault (2002:154) menegaskan

“kekuasaan secara esensial menjalankan fungsinya melalui tanda dan pemungutan

pajak”. Tanda-tanda kesetiaan kepada para tuan tanah, ritual, upacara, dan

sebagainya dalam bentuk pajak perampasan, perburuan, perang, dan sebagainya.

Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas, bentuk-bentuk kekuasaan mulai

menjalankan kekuasaannya melalui produksi dan pelayanan sosial. Ia mengaitkan

dirinya dengan masalah bagaimana mencapai pelayanan yang produktif dari

individu-individu dalam hidup konkret mereka. Konsekuensinya, sebuah

“penyatuan” nyata dan efektif dibutuhkan, dalam arti kekuasaan harus mampu

memperoleh akses pada tubuh-tubuh individual, tindakan, sikap, dan model-model

tingkah laku sehari-hari mereka.

Lebih lanjut Foucault (2002:158) menegaskan sangat mungkin mengatakan

bahwa para intelektual “universal” seperti fungsinya pada abad ke-19 dan awal abad

ke-20 dalam kenyataannya berasal dari gambaran historis yang cukup spesifik, yaitu

manusia keadilan dan manusia hukum menentang balik kekuasaan, depotisme,

penganiayaan, dan arogansi kesejahteraan unversalitas keadilan dan persamaan

hukum ideal.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

58

Berkaitan dengan kebenaran, menurut Foucault (2002:162), di dalam masyarakat

seperti kita “ekonomi politik” kebenaran dikarakterisasikan dengan lima ciri penting,

yaitu (1) kebenaran dipusatkan pada bentuk wacana ilmiah dan institusi yang

memproduksinya; (2) ia merupakan subjek utama yang mendorong ekonomi dan

politik secara konstan (tuntutan bagi kebenaran, yaitu produksi ekonominya sama

banyak dengan kekuasaan politis); (3) ia merupakan objek, dengan bentuk yang

berbeda-beda, penyebaran dan konsumsi yang besar sekali (sirkulasinya melalui

aparat-aparat pendidikan dan informasi yang perluasannya relatif cepat dalam

lembaga sosial karena tidak terlalu kaku mempertahankan pembatasan-pembatasan

yang ketat); (4) ia diproduksi dan dipancarkan di bawah kontrol yang dominan,

kecuali eksklusif oleh beberapa aparat politik dan ekonomi (universitas, angkatan

bersenjata, tulisan-tulisan, media massa); dan (5) ia merupakan masalah utama dari

seluruh perdebatan politis dan konfrontasi sosial (perlawanan-perlawanan

“ideologis”).

Terkait dengan pertanyaan pada siapa kekuasaan melayani dan apa yang

dilayaninya, Foucault (2002:175) menegaskan pendapatnya sebagai berikut. Pertama,

kekuasaan sama luasnya dengan lembaga-lembaga sosial; tidak ada ruang yang sama

sekali bebas di celah-celah jaringannya. Kedua, relasi-relasi kekuasaan saling terjalin

dengan jeini-jenis relasi lain (produksi, kekerabatan, keluarga, seksualitas), yaitu

mereka memainkan sekaligus peran pengondisian dan yang terkondisikan. Ketiga,

relasi-relasi ini tidak hanya berbentuk larangan dan hukuman, tetapi juga bentuk-

bentuk yang beragam. Keempat, kesalinghubungan di antara mereka

menggambarkan kondisi umum dominasi dan dominasi ini diatur ke dalam bentuk

strategi yang kurang lebih koheren dan tunggal. Kelima, relasi-relasi kekuasaan

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

59

benar-benar “melayani”, tetapi sama sekali bukan karena mereka memang

“melayani” kepentingan ekenomis sebagai sesuatu yang utama, melainkan karena

mereka memiliki potensi untuk dimanfaatkan dalam strategi-strategi yang ada.

Keenam, tidak ada relasi kekuasaan yang tanpa halangan; yang terakhir ini lebih

nyata dan efektif karena mereka dibentuk tepat pada titik di mana relasi-relasi

kekuasaan dijalankan. Halangan tersebut hadir di mana-mana bersamaan dengan

kekuasaan. Oleh karena itu, seperti kekuasaan, halangan bentuknya bermacam-

macam dan dapat diintergrasikan dalam strategi-strategi global.

Pemahaman substansi teori kuasa/pengetahuan (power/knowledge) dari Michel

Foucault sangat membantu proses analisis untuk mengetahui peran para pemangku

kepentingan pariwisata (tourism stakeholder). Pengampu kepentingan pariwisata

dimaksud, yaitu pihak pemerintah, industri pariwisata (investor), dan masyarakat

lokal. Dalam penelitian ini, dari ketiga pengampu kepentingan pariwisata di Desa

Wista Jasri, tampak kekuasaan pemerintah yang paling dominan. Kebijakan top-

down yang dilakukan pemerintah dalam penetapan Desa Pakraman Jasri telah sukses

menghegemoni masyarakat lokal karena dalam relasi hegemonik, masyarakat tidak

memiliki kuasa untuk menolak kebijakan pemerintah.

2.3.3 Teori Tindakan Komunikatif

Habermas mengemukakann teori tindakan komunikatif dengan tekanan pada

kesadaran subjek dan kompetensi komunikatif, yang jelas-jelas akan membawa

mainstream (arus utama) kajian pada berfungsinya kapasitas kognitif manusia yang

berperan sebagai subjek. Satu versi teori kritis Habermas yang melewati batas teori-

teori lain dari Mashab Frankfurt awal, yang belum membedakan kerangka filsafat

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

60

Yunani, idealisme Jerman, bahkan konsep Marx tentang hubungan subjek (orang)

dengan objek (orang lain dan alam ) (Agger, 2006:189). Habermas mengemukakan

bahwa perubahan dari “paradigma kesadaran”, menyetujui dualitas barat atas subjek

dan objek ke “paradigma komunikasi”. Paradigma komunikasi ini dalam hal dualitas

antara subjek dan objek, tetapi melalui rekonseptualisasi subjek sebagai

intersubjektif yang inheren. Subjek intersubjektif ini memiliki kapasitas primer bagi

komunikasi, bukan hanya kapasitas kerja.

Teori tindakan komunikatif yang dikemukakan oleh Habermas secara

komprehensif telah memperkenalkan ekletisisme aplikasi teori-teori sosial yang

harus bisa menangkap dan membedah permasalahan secara kritis, reflektif,

grounded, dan emansipatoris. Berdasarkan teori kritis, Habermas menyadari masih

tersisanya ruang dan fenomena yang belum bisa diselesaikan oleh teori kritis.

Fenomena modernitas yang terlihat secara emik belum bisa dimengerti dan

diikuti oleh masyarakat dan individu-individu yang diharapkan mampu sebagai

subjek di dalamnya sehingga dikatakan modernisasi belum selesai. Dalam usaha

perjuangan emansipatoris, Habermas mengonstruksi ulang teori tindakan

fenomenologi dan hermeneutika, menjadi teori tindakan komunikatif. Teori kritis ini,

baik sebagai teori maupun sebagai filsafat dan mainstream studi kognitif dan

kesadaran dilibatkan di dalamnya dengan menilik kembali “rasionalitas” yang

benyak menuai kritik, terlebih lagi penolakan Lyotard (Lubis, 2004: 221) terhadap

“rasionalitas universal” yang justru menutup pemikiran kritis. Melalui teori tindakan

komunikatif atau the theory of communicative action, Habermas menekankan

kembali “rasionalitas komunikatif” dan “kompetensi komunikatif” (Lubis, 2004).

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

61

Teori tindakan komunikatif dalam penelitian ini digunakan untuk mengkaji

makna pengembangan pariwisata alternatif bagi masyarakat di Desa Pakraman Jasri.

Kajian dilaksanakan dengan mencari dan mengontraskan kata-kata kunci yang

digunakan oleh masyarakat dalam merespons perkembangan pariwisata alternatif di

desa wisata ini.

Teori tindakan komunikatif menjadi relevan digunakan dalam penelitian ini

karena masyarakat Desa Pakraman Jasri yang direpresentasikan oleh pengelola Desa

Wisata Jasri ingin merajut kesepahaman melalui pengakuan intersubjektifnya

dengan mengusung sebuah harapan akan terjadinya sebuah konsensus bahwa dengan

berbagai keunikan yang dimiliki Desa Wisata Jasri dalam wujud berbagai atraksi

wisata alam dan budaya yang ditawarkan kepada wisatawan. Dengan demikian,

proses komunikatif akan sukses jika manfaat pengembangan pariwisata, terutama

secara ekonomi dapat diwujudkan.

2.4 Model Penelitian

Model penelitian merupakan kerangka pemikiran dalam melakukan sebuah

penelitian yang digunakan sebagai acuan untuk memudahkan proses penelitian. Di

samping itu, dalam menjelaskan suatu model penelitian terlihat hubungan variabel-

variabel yang ada untuk menjawab dan memecahkan permasalahan yang telah

dirumuskan.

Dalam kajian ini model penelitian diawali dengan adanya fenomena

perencanaan pembangunan dan pengembangan Desa Pakraman Jasri sebagai desa

wisata sejak tahun 2009 yang melibatkan ketiga pengampu kepentingan pariwisata,

yaitu masyarakat, pemerintah, dan pengusaha. Desa Wisata Jasri mulai dikenal luas

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

62

sejak tahun 2011 dan kemudian ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah Kabupaten

Karangasem tahun 2014. Hal ini didukung oleh berbagai potensi yang dimilki Desa

Pakraman Jasri, seperti potensi ”4 A‟ dan potensi ”4 H” yang bersumber dari potensi

SDA, SDM, SDB daerah ini.

Pengembangan desa wisata di daerah ini erat kaitannya dengan fenomena

pengembangan pariwisata alternatif di daerah-daerah lainnya di Bali. Oleh karena

itu, dalam kajian ini beberapa permasalahan yang diangkat, yaitu bentuk-bentuk

pariwisata alternatif di Desa Pakraman Jasri, hubungan relasi kuasa ketiga

stakeholder pariwisata, dan makna yang ditimbulkan akibat pengembangan

pariwisata alternatif di Desa Pakraman Jasri.

Beberapa konsep yang digunakan dalam kajian ini, di antaranya konsep

pariwisata alternatif, desa wisata, pembangunan pariwisata berbasis masyarakat, dan

pariwisata berkelanjutan. Di pihak lain untuk menganalisis berbagai fenomena dan

permasalahan di atas, digunakan tiga teori, yaitu teori hegemoni, teori

kuasa/pengetahuan (power/knowledge), dan teori tindakan komunikatif yang

diterapkan secara eklektik sesuai dengan kaidah kritis kajian budaya.

Temuan baru kajian ini digunakan sebagai dasar pijakan dalam memberikan

rekomendasi, baik kepada masyarakat lokal (host) sebagai tuan rumah, pemerintah

(government) sebagai pembuat kebijakan, maupun kepada pengusaha (investor). Di

samping itu, hasil kajian ini diharapkan dapat dijadikan dasar pedoman dalam

pembentukan desa wisata lainnya, khususnya di wilayah Kabupaten Karangasem.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka untuk memudahkan proses penelitian ini

sangat diperlukan sebuah model penelitian. Model penelitian dimaksud secara

skematis dapat dilihat dalam gambar 2.3.

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

63

Gambar 2.3 Model Penelitian

Pengembangan

Pariwisata Alternatif

di Desa Pakraman

Jasri, Kelurahan

Subagan, Kabupaten

Karangasem

Potensi pariwisata

alternatif berbasis

potensi (“4H”)

dan “4A”)

Peranan pengampu

kepentingan

pariwisata (tourism

stakeholder)

Makna

pengembangan

pariwisata

alternatif

Temuan Penelitian

Teori:

- Hegemoni

- Kuasa/pengetahuan (Power/Knowledge)

-Tindakan

Komunikatif

Konsep:

- Pengembangan

- Pariwisata Alternatif -Pembangunan

Pariwisata Berbasis

Masyarakat

- Desa Wisata

Rekomendasi

Pengembangan Desa Wisata

di Desa Pakraman Jasri

Pengusaha

(Investor)

Masyarakat

Lokal (Host)

Pemerintah

(Government)

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN … · 2017. 4. 20. · terhadap masyarakat dan potensi alam yang ada. MacCannell (1990, 1992:17--73) dan Bruner (1988, 1991) dalam

64