bab ii kajian pustaka, konsep, landasan … ii.pdfdan biasanya dilaksanakan pada acara pesta...

21
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Penelitian mengenai Kabhanti telah banyak dilakukan dari berbagai kajian, seperti: kajian budaya, linguistik murni, dan wacana sastra. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya, perlu dipaparkan beberapa penelitian yang terkait dengan penelitian ini. Berikut ini, beberapa inti sari penelitian terdahulu. Sudu (2010) Menulis Kabhanti Gambusu, Telaah Bentuk, Makna, dan Fungsi (Skripsi Unhalu). Penelitian Sudu merupakan tinjauan pewarisan mengenai Kabhanti Gambusu, yang bertujuan mengungkapkan model pewarisan Kabhanti Gambusu pada masyarakat Muna. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pewarisan, teori formula dengan memaparkan konsep kelisanan, lantunan, dan penciptaan tradisi lisan. Sumber penelitian berupa data langsung dari lapangan dan didukung oleh studi pustaka. Penelitian Sudu menganalisis model baru pewarisan tradisi lisan Kabhanti Gambusu pada masyarakat Muna. Pewarisan dilakukan baik secara formal maupun informal. Hasil pewarisan secara formal berupa tindakan pemerintah Kabupaten Muna melalui pembuatan kurikulum muatan lokal, namun tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, hasil pewarisan informal dilakukan melalui lantunan, keluarga, sanggar, dan industri rekaman yang dilakukan sendiri oleh masyarakat setempat. Hal ini mampu berjalan dengan baik. Penelitian ini memiliki persamaan dengan penelitian Sudu yaitu menjelaskan bagaimana bentuk, fungsi, dan makna sebagai pokok permasalahan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah jenis Kabhantinya. Sudu menggunakan

Upload: nguyennhan

Post on 21-Aug-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian mengenai Kabhanti telah banyak dilakukan dari berbagai kajian, seperti: kajian

budaya, linguistik murni, dan wacana sastra. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan

dengan penelitian sebelumnya, perlu dipaparkan beberapa penelitian yang terkait dengan

penelitian ini. Berikut ini, beberapa inti sari penelitian terdahulu.

Sudu (2010) Menulis “Kabhanti Gambusu, Telaah Bentuk, Makna, dan Fungsi (Skripsi

Unhalu). Penelitian Sudu merupakan tinjauan pewarisan mengenai Kabhanti Gambusu, yang

bertujuan mengungkapkan model pewarisan Kabhanti Gambusu pada masyarakat Muna. Teori

yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori pewarisan, teori formula dengan memaparkan

konsep kelisanan, lantunan, dan penciptaan tradisi lisan. Sumber penelitian berupa data langsung

dari lapangan dan didukung oleh studi pustaka.

Penelitian Sudu menganalisis model baru pewarisan tradisi lisan Kabhanti Gambusu pada

masyarakat Muna. Pewarisan dilakukan baik secara formal maupun informal. Hasil pewarisan

secara formal berupa tindakan pemerintah Kabupaten Muna melalui pembuatan kurikulum

muatan lokal, namun tidak berjalan dengan baik. Sementara itu, hasil pewarisan informal

dilakukan melalui lantunan, keluarga, sanggar, dan industri rekaman yang dilakukan sendiri oleh

masyarakat setempat. Hal ini mampu berjalan dengan baik. Penelitian ini memiliki persamaan

dengan penelitian Sudu yaitu menjelaskan bagaimana bentuk, fungsi, dan makna sebagai pokok

permasalahan. Namun, yang menjadi perbedaan adalah jenis Kabhantinya. Sudu menggunakan

objek penelitian Kabhanti Gambusu, sedangkan penelitian ini menggunakan objek penelitian

Kabhanti Watulea. Singkatnya, berbeda pada lokasi namun memilik dasar penelitian yang sama

yaitu Kabhanti.

Aderalepe dkk (2006) dengan karya tulis berjudul “Analisis Semiotik Sastra Lisan

Kantola: Sastra Lisan Daerah Buton Tengah, Kendari, Kantor Bahasa Propinsi Sulawesi

Tenggara Departemen Pendidikan Nasional” menjelaskan karya lisan Kabhanti Kantola. Peneliti

menjabarkan permasalahan Kabhanti Kantola dalam bentuk pola budaya masyarakat setempat.

Lokasi penelitian pada lima Kecamatan, yakni: Kecamatan Kabawo, Kecamatan Napabalano,

Kecamatan Tiworo Kepulauan, Kecamatan Tongkuno, dan Kecamatan Kusambi, Sulawesi

Tenggara. Struktur bentuk Kabhanti Kantola tidak terikat, baik sajak maupun baris. Kabhanti

Kantola sarat makna multidimensional. Di samping itu, penelitian Sudu fokus pada peninjauan

bentuk, fungsi, dan makna dengan menggunakan teori semiotik untuk menjawab ketiga

permasalahannya.

Perbedaannya dengan penelitian ini yaitu tidak menggunakan teori tunggal semiotik.

Penelitian ini mengkaji bentuk, fungsi, dan makna wacana Kabhanti Watulea dengan

menggunakan tiga teori, yakni: teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik. Penelitian ini

mengungkapkan kritik sosial pada masyarakat setempat. Lokasi penelitian ini adalah Kelurahan

Watulea, Kecamatan Gu, Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara didasarkan pada

lantunan Kabhanti Watulea yang hanya ada di Kelurahan Watulea. Referensi dari penulis

sebelumnya, menjadi acuan dalam menganalisis makna wacana kritik sosial Kabhanti Watulea.

Banara (2012) dalam skripsi “Tradisi Lisan Kabhanti Kusapi (Analisis Fungsi dan

Makna) Pada Masyarakat Etnik Muna Tengah di Kecamatan Lawa Kabupaten Muna Sulawesi

Tenggara”, memaparkan Kabhanti Kusapi. Kabhanti Kusapi yang merupakan salah satu tradisi

lisan kebudayaan masyarakat Muna diturunkan secara turun temurun dan mengandung nilai-nilai

budaya. Dalam pementasan Kabhanti Kusapi dinyanyikan dan diiringi oleh alat musik kusapi

dan biasanya dilaksanakan pada acara pesta kampung, misalnya pesta panen.

Kabhanti Kusapi di daerah Muna menunjukkan bentuk Kabhanti Kusapi yang meliputi:

jumlah baris, suku kata, dan persamaan bunyi. Jumlah baris Kabhanti Kusapi dalam masyarakat

Muna terdiri atas dua baris, seperti: Adhetani sitani lado ganda tendo-tendo. Suku kata kabhanti

kusapi berjumlah 8-20 suku kata. Ditinjau dari hasil analisis data ditemukan makna nasihat,

makna percintaan, makna sindiran, curahan hati, dan makna kegembiraan. Banara meneliti

permasalahan bentuk dan makna Kabhanti Kusapi dengan menggunakan teori semiotik.

Sementara, penelitian ini menggunakan teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik yang

menentukan bentuk, fungsi dan makna dalam wacana Kabhanti Watulea. Perbedaan terletak

pada objek penelitian dan Banara belum mengkritisi isu kritik sosial yang menjadi tujuan

seseorang melantunkan Kabhanti.

Ketiga penelitian di atas mengungkapkan sastra lisan Kabhanti yang memiliki persamaan

dan perbedaan dengan penelitian ini. Persamaan berupa penggunaan teori semiotik dan teori

formula. Perbedaan pada objek kajian yakni ketiga peneliti belum menyinggung objek Kabhanti

Watulea serta belum membahas masalah kritik sosial. Penelitian Kabhanti Watulea memberi

gambaran kritik sosial berupa penyampaian nilai-nilai moral, estetika, religi, dan kebenaran.

Data sejarah dalam penelitian ini menginspirasi pembaca mengenai wacana kritik sosial yang

membangun jati diri dan mewujudkan kualitas manusia yang lebih baik.

2.2 Konsep

Konsep adalah bagian penting dari penelitian yang berfungsi untuk mengklasifikasikan

data, sehingga mendapatkan ide, definisi, dan pengertian menyeluruh. Bungin (2009:73)

berpendapat bahwa konsep merupakan hal terpenting dalam suatu penelitian sebagai generalisasi

suatu fenomena yang muncul dari permasalahan. Konsep digunakan sebagai penjelasan dari

fenomena yang ada. Terdapat dua konsep yang dipaparkan yakni konsep wacana kritik sosial dan

konsep sastra lisan Kabhanti Watulea.

2.2.1 Wacana Kritik Sosial

Wacana biasanya ditemukan dalam bentuk teks narasi maupun bentuk yang lain.

Pengertian wacana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:1621) adalah ucapan,

percakapan, tutur, dan keseluruhan ucapan merupakan suatu kesatuan. Tradisi lisan Kabhanti

Watulea merupakan teks narasi yang memiliki wacana. Hal ini sejalan dengan Badudu (Badara,

2012:16) yang menerangkan bahwa wacana merupakan untaian kalimat yang berkaitan dan

menghubungkan dan membentuk suatu kesatuan makna yang utuh yang disampaikan baik secara

lisan maupun tertulis.

Webster menjelaskan bahwa kata kritik berasal dari bahasa Yunani kritikos yang berarti a

judge atau dari kata kinnea yang berarti to judge (Webster, 1983:432). Sementara itu, sosial

mengandung pengertian having to do with human beings living together as a group in a situation

that they have dealing with another (Webster, 1983:1723).

Kritik sosial adalah penilaian dan tanggapan seseorang mengenai sesuatu yang

berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat. Penilaian atau tanggapan tersebut bisa

bernuansa ejekean, cemooh, sindiran, dan sejenisnya Sudewa (2011:4). Kritik sosial adalah

salah satu media komunikasi yang bertujuan sebagai kontrol terhadap keberlangsungan suatu

sistem sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan dua definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan pengertian kritik sosial.

Kritik sosial yang dimaksudkan adalah peniliaian dan tanggapan keadaan sosial masyarakat

Watulea yang terdapat dalam tradisi lisan Kabhanti Watuela. Dengan kata lain, kritik sosial

sebagai tindakan untuk membandingkan serta mengamati secara teliti dan melihat perkembangan

secara cermat tentang baik atau buruknya kualitas suatu masyarakat.

Kritik sosial dalam karya sastra bersifat universal, sehingga perlu adanya pembatasan

definisi agar tidak terjadi ambiguitas makna. Kritik sosial dalam penelitian ini adalah kritik sosial

mengenai isu yang muncul karena adanya ketimpangan, ketidakpuasan, kekecewaan, dan

pertentangan visi. Hal tersebut lahir sebagai bentuk nyata keadaan masyarakat Watulea, sehingga

yang mendorong pelantun untuk mengekspresikan perasaannya melalui kritik yang hadir dalam

Kabhanti Watulea. Sementara itu, isu-isu yang muncul dalam masyarakat Watulea adalah kritik

perkawinan poliandri, kritik kepercayaan hukum karma, kritik kepercayaan takdir Tuhan, dan

kritik pengingkaran ajaran Tuhan.

Tindakan mengritik dapat dilakukan oleh siapa pun termasuk sastrawan dalam

menanggapi suatu permasalahan yang terjadi dalam lingkungan sosial. Kritik sosial merupakan

suatu variabel penting dalam memelihara sistem sosial yang ada. Kritik adalah penilaian ilmiah

ataupun pengujian terhadap situasi masyarakat pada suatu saat, sehingga dengan adanya kritik

sosial mampu mengedepankan bukti-bukti objektif dan bobot ilmiah dari masalah yang terjadi.

Kritik sosial adalah respon yang terdiri atas sindiran dan tanggapan terhadap kenyataan

yang terjadi di dalam masyarakat, manakala terdapat konfrontasi dengan realitas berupa

ketidaksesuaian dan kebobrokan. Kritik sosial diungkapkan ketika nilai kehidupan tidak selaras

dan tidak harmonis, masalah-masalah sosial tidak mampu diatasi, dan terjadi perubahan sosial

yang berdampak negatif.

Masalah yang terjadi dalam masyarakat dapat disampaikan baik secara langsung maupun

tidak langsung, seperti: kemiskinan, kemelaratan, penderitaan, keputusasaan, dan kesedihan.

Terdapat beberapa media penyampaian kritik sosial. Salah satu media yang digunakan untuk

penyampaian kritik sosial tersebut adalah Kabhanti Watulea. Singkatnya, Kabhanti Watulea

muncul dalam masyarakat jika terjadi hal-hal yang kurang beres dalam kehidupan sosial

masyarakat bersangkutan.

2.2.2 Sastra Lisan Kabhanti Watulea

Sastra lisan merupakan bentuk sastra pertama sebelum sastra tulis. Penyebaran sastra

lisan dilakukan secara lisan. Zaman dahulu belum dikenal aksara atau tulisan jadi proses

penyampaiannya dilakukan secara lisan. Istilah sastra lisan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (Alwi, dkk. 2001:1002) dibatasi sebagai hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat

tradisional yang isinya dapat disesuaikan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern.

Sastra lisan menurut Santosa (1995:19) adalah hasil kebudayaan lisan dalam masyarakat

tradisional yang isinya disejajarkan dengan sastra tulis dalam masyarakat modern. Sastra lisan

diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya dalam wujud lisan.

Sampai sekarang, sastra lisan masih hidup di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian besar

sastra lisan dibukukan dan ditulis kembali dalam bentuk gubahan, saduran, diceritakan kembali,

atau dialihbahasakan dari bahasa daerah ke bahasa Indonesia.

Finnegan, (1992:9) menjelaskan bahwa sastra lisan berangkat dari konsep hubungan

antara kesusastraan dan tradisi tulis-menulis. Hubungan tersebut adalah hubungan asidental yang

merupakan tahap kedua dalam sejarah kesusastraan. merupakan hubungan asidental dan

merupakan tahap kedua dalam sejarah kesusateraan. Dengan demikian, kegiatan sastra yang

paling awal adalah kegiatan sastra lisan. Banyak masyarakat yang tidak memiliki tradisi menulis,

namun sudah memiliki tradisi sastra lisan, contohnya di Kelurahan Watulea, Kecamatan Gu,

Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara yang merupakan lokasi penelitian ini.

Bentuk sastra lisan berupa prosa, syair, pepatah, cerita rakyat, dan lain sebagainya. Sastra

lisan tidak hanya digunakan sebagai media hiburan namun dijadikan juga sebagai alat mendidik,

memberi petunjuk kehidupan, aturan hukum, dan lain-lain. Teks yang dipertunjukkan oleh

anggota masyarakat (seniman) untuk masyarakatnya (khalayak) akan tetap ada dan hidup selama

masyarakat masih menikmatinya. Artinya, sastra lisan hadir dan diapresiasi oleh masyarakatnya

membentuk hubungan segitiga antara seniman, karya, dan penikmat. Endraswara (2008:151)

menyatakan bahwa sastra lisan hadir secara turun-temurun dalam penyebarannya. Cara

penyampaian tradisi lisan ini tidak hanya berupa kata-kata, tetapi juga gabungan antara kata-kata

dan perbuatan tertentu yang menyertai kata-kata. Ada beberapa bentuk sastra lisan sebagai

bagian dari tradisi lisan yang disebut verbal arts, folktale, oral narrative, folk narrative dan

folklore). Kabhanti Watulea digolongkan sebagai oral narrative/narasi lisan karena dilantunkan

secara oral dalam menyampaikan pesan.

Kabhanti Watulea adalah tradisi lisan yang dituturkan, didengar, dan dihayati bersama-

sama pada peristiwa dan tujuan tertentu. Taylor dalam Daud, (2008:258), mendefinisikan tradisi

lisan sebagai bahan-bahan yang dihasilkan oleh masyarakat tradisional, yang berbentuk

pertuturan, adat, tradisi, ritual, upacara adat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, tarian, dan

permainan. Misalnya pada saat acara pernikahan, khitanan, pesta rakyat, upacara menanam dan

menuai padi, upacara yang bertujuan magis dan sebagainya.

Kabhanti Watulea didefinisikan sebagai karya sastra lama yang terikat oleh bentuk yang

khas. Kekhasan bentuk Kabhanti Watulea yang disimpulkan oleh peneliti adalah (1) terdiri atas

dua hingga tiga baris dalam satu bait. Kabhanti Watulea tidak terikat jumlah larik dalam satu

bagian; (2) Kabhanti Watulea tidak memiliki sampiran, seperti: pantun. Teks Kabhanti Watulea

memuat isi pesan tanpa ada sampiran; (3) Kabhanti Watulea memiliki alur cerita dalam bentuk

narasi. Kabhanti Watulea memuat cerita di setiap bagian Kabhanti Watulea. Isi narasi

antarbagian berbeda; (4) terdapat pengulangan kata dan frasa; dan (5) Kabhanti Watulea

menggunakan bahasa daerah Muna

Kabhanti Watulea disampaikan dari mulut ke mulut. Hal ini disebabkan masyarakat

Buton Tengah pada umumnya tidak mengenal aksara pada zaman dahulu. Hasil wawancara

dengan informan La Tani pada 12 Mei 2015, diketahui bahwa masyarakat Buton Tengah hidup

berpindah-pindah dan tidak mengenal membaca dan menulis pada zaman dahulu. Kabhanti

Watulea biasa dilantunkan pada saat bercocok tanam dan mereka mewariskan Kabhanti Watulea

secara lisan. Amir (2013:10) menyatakan sastra lisan hidup di tengah masyarakat tradisional

yang hidup dalam suasana lisan, tidak mengenal membaca, bahkan tidak mengenal huruf.

Kabhanti Watulea dikategorikan ke dalam sastra lisan karena berwujud dan dinikmati secara

lisan di tengah masyarakat Watulea, dan diwariskan secara lisan. Kabhanti Watulea

menggunakan ungkapan yang berulang-ulang, ungkapan yang sama antar satu pelantun dengan

pelantun lainnya. Hal ini terjadi karena masyarakat Watulea tidak membaca, hanya mengulang

apa yang sudah dipakai pendahulunya.

Kabhanti Watulea mengandung gagasan, pokok pikiran, harapan, pesan, ajaran tertentu,

dan nasihat. Pelaksanaanya dilakukan dengan kebersamaan, ikatan sosial tersendiri yang

mengeyampingkan fungsi individual masyarakat. Sastra lisan Kabhanti Watulea mempererat

hubungan di antara masyarakat dan memiliki pesan tertentu. Wellek dan Waren (1995:109-111)

mengemukakan bahwa sastra adalah cara untuk mengungkapkan perasaan manusia sebagai

masyarakat sosial berdasarkan apa yang dirasakan dalam bentuk pengalaman hidup, sudut

pandang, dan lain lain.

Endraswara (2003:145) menjelaskan bahwa suatu karya sastra dapat digolongkan sebagai

suatu sastra lisan jika memiliki beberapa persyaratan sebagai berikut: (1) karya sastra tersebut

merupakan hasil dari masyarakat; (2) menggambarkan kebudayaan tertentu; (3) penulis anonim

yang diturunkan dari mulut ke mulut; (4) biasanya mengandung hal-hal yang bersifat mendidik,

seperti: norma-norma agama, adat istiadat dan lain sebagianya; dan (5) kata-kata yang digunakan

biasanya menggunakan kata-kata yang mengandung nasihat dengan perumpaan yang klise.

Kabhanti Watulea merupakan pencerminan kehidupan masyarakat Watulea, Buton

Tengah. Tradisi lisan ini memiliki makna persatuan serta padu menaati aturan-aturan nenek

moyang dengan metafora yang penuh makna. Kabhanti Watulea menggunakan metafora yang

digunakan sebagai strategi retoris untuk memperkuat serta memperindah ucapan. Danesi

(2012:134) menyatakan metafora dapat dilihat sebagai sesuatu yang bisa menghasilkan sebuah

tanda yang kompleks.

Kabhanti Watulea merupakan salah satu kebudayaan masyarakat Buton Tengah sebagai

podoman hidup yang mengandung nilai-nilai budaya, norma-norma sosial dan nilai moral.

Kabhanti Watulea dilakukan sambil bernyanyi bersama dengan irama Watulea ataupun seorang

diri. Biasanya, dilantunkan pada saat berkebun dan menebas hutan. Kabhanti Watulea

dilantunkan agar tidak kesepian di tempat yang sunyi, difungsikan sebagai pelipur lara pada saat

kesepian dan jenis kegiatan lain yang ada di daerah Buton Tengah. Perlu digarisbawahi bahwa

dalam penelitian ini, peneliti menggunakan Kabhanti Watulea yang dilantunkan pada saat

berkebun seorang diri sebagai bentuk curahan hati tanpa disaksikan oleh banyak orang.

Penelitian Kabhanti Watulea dengan pelantun yang melantunkan Kabhanti Watulea

seorang diri dipilih mengingat minimnya masyarakat yang melantunkan Kabhanti Watulea pada

saat panen raya. Menurut hasil wawancara dengan informan, La Ode Ma’naf (Kelurahan

Watulea, 21 Mei 2015), lahan pertanian, seperti: ubi, jagung, dan lain-lain sudah beralih fungsi

menjadi lahan perkebunan jambu mete, sehingga menyebabkan kurangnya pelaksanaan Kabhanti

Watulea yang dilantunkan secara berkelompok.

Kenyataan tersebut memprihatinkan, mengingat masyarakat Watulea adalah masyarakat

pertanian. Sementara itu, masyarakat telah disibukkan oleh banyak kegiatan perekonomian lain,

seperti: niaga, kegiatan perkantoran, dan sebagainya yang menyebabkan lunturnya nilai gotong

royong. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi peneliti untuk mengetahui perbedaan dan

persamaan antara melantunkan Kabhanti Watulea yang dilakukan secara individual dengan

secara berkelompok untuk keberlanjutan penelitian.

Dalam teks Kabhanti Watulea terdapat beberapa pengulangan yang berfungsi sebagai

penekanan pesan dengan tujuan tertentu kepada pendengar. Kabhanti Watulea memiliki

keterkaitan dengan jenis Kabhanti lain, serta berbeda dari ketiga Kabhanti di bawah ini.

Tiga jenis Kabhanti selain Kabhanti Watulea dalam Mokui (1991:6-8).

1) Kabhanti Kantola sesuai dengan namanya, jenis Kabhanti ini merupakan jenis pantun dengan

menggunakan alat musik kantola (gambus dalam ukuran kecil dengan dua tali senar). Dalam

pergelarannya pemain berdiri berhadap - hadapan antara wanita dan pria. Mereka berbalas

pantun dengan irama ruuruunte atau ruuruuntete, paling tinggi lima nada. Pergelaran ini

biasanya dipentaskan saat malam hari setelah panen tiba. Struktur Kabhanti sebagai prosa

liris yakni prosa yang lebih mementingkan irama. Kabhanti ini disebut talibun atau pantun

dengan empat baris dan jumlahnya genap.

2) Kabhanti Gambusu adalah jenis Kabhanti yang menggunakan alat musik gambus dan

dilengkapi dengan biola, kecapi atau botol kosong. Kabhanti ini biasa dilakukan dalam

pementasan pesta rakyat daerah Buton Tengah, seperti: sunatan, khitanan, dan lain-lain.

3) Kabhanti modero adalah jenis Kabhanti dengan latar tarian lulo, tari khas Sulawesi tenggara.

Pementas Kabhanti membentuk lingkaran sambil berpegangan tangan serirama dalam

nyanyian dan langkah tarian.

2.3 Landasan Teori

Suatu teori dibaratkan sebagai pisau yang bertujuan mengupas permasalahan yang ada.

Menurut Djojosuroto Kinayati & M.L.A Sumaryati (2004:16), teori merupakan rangkaian

beberapa asumsi, konsep dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara

sistematis dengan merumuskan hubungan antarkonsep. Begitu pula dengan penelitian ini, ada

tiga teori yang digunakan dalam analisis ini yaitu teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik.

2.3.1 Teori Formula

Kabhanti Watulea disampaikan penutur secara spontanitas yang dilakukan tanpa adanya

teks terikat. Aktivitas ini membentuk formula. Formula merupakan dasar atau pedoman dalam

tradisi lisan berupa baris, kata, atau kalimat yang membuka dan memperlancar sebuah cerita. Hal

ini didukung oleh pernyataan Lord yang mendefinisikan formula as a group of world which is

regularly employed under the same metrical condition to express a given essensial idea, (Lord

1964:30).

Menurut Lord, sastra lisan bersifat mekanis dan paralelistis. Penggunaan teori formula

berdasarkan frase-frase, klausa-klausa, dan kalimat-kalimat yang khas. Menurut Lord (1964:5),

konsep kelisanan tidak hanya diartikan sebagai objek kelisanan. Hal tersebut dimaknai sebagai

komposisi lisan selama terjadinya penyampaian secara lisan. Teori formula menggarisbawahi

prinsip kelisanan yang berorientasi pada proses pembelajaran tertentu. Sebagai contoh, unsur

pembelajaran lisan, komposisi lisan, dan transmisi lisan yang muncul secara bersamaan, tampak

sebagai sisi sisi yang berbeda dari proses yang sama.

Teori formula mampu menjelaskan hubungan kata dengan bangunan struktur sebuah

penyajian tradisi lisan atau perumusan pokok dalam tradisi lisan. Pola dan sistem bahasa satra

lisan Kabhanti Watulea pada umumnya dengan menggunakan tata bahasa puisi yakni tata bahasa

berlapis. Di samping itu, juga menggunakan tata bahasa puitik yang merupakan tata bahasa

prakaksis yakni konstruksi kalimat, klausa atau frase koordinatif, yang tidak menggunakan kata

penghubung. Tata bahasa tersebut sering memanfaatkan frase-frase yang membentuk formula

(Lord, 1964:41). Kabhanti Watulea menggunakan bahasa pantun dengan tata bahasa berlapis

yang membutuhkan cara kerja teori formula Lord untuk menganalisis bentuknya.

Formula berulang-ulang muncul dalam sastra lisan yang terdiri atas larik atau baris,

klausa dan frasa. Menganalisis struktur bentuk wacana dengan beberapa pengulangan dalam

puisi atau pantun lisan membutuhkan analisis dengan menggunakan teori formula. Formula

adalah kelompok kata yang secara teratur dimanfaatkan dalam kondisi mantra yang sama dan

mengungkapkan satu ide hakiki. Formula sebagai ciri utama kelisanan diawali dengan

pengamatan awal terhadap frase-frase yang mengalami pengulangan (Lord, 1964:45).

Pengulangan tersebut sering ditemukan dalam sastra lisan Kabhanti Watulea.

Menganalisis formula teks Kabhanti Watulea, diawali dengan pengamatan terhadap frasa

yang berulang dalam Kabhanti Watulea. Hal ini dilakukan untuk menganalisis formula dari

variasi pola, sehingga dalam setiap larik maupun baris Kabhanti Watulea membentuk pola

formulaik. Pola ini mengilustrasikan dan menunjukkan pola tersendiri dari sistem puisi lisan.

Benang merah dari analisis bentuk Kabhanti Watulea dengan menggunakan teori formula

Lord adalah semua larik membentuk pola formula yang dapat mengilustrasikan pola-polanya

sendiri. Kabhanti Watulea tersusun oleh sistem formulik.

2.3.2 Teori Fungsi

Mitologi pada hakikatnya merupakan salah satu akar budaya. Di dalam mitologi

terkandung muatan lokal genius atau kearifan lokal setempat yang sering kali melandasi sikap

dan perilaku hidup. Dengan kata lain, mitologi telah menjadi ideologi bagi kehidupan. Dundes

(1984:272) meyebutkan bahwa mitos dan cerita rakyat selalu mencerminkan konflik tidak sadar

generasi sekarang yang dibentuk oleh tekanan untuk menanggung kondisi sosial yang ada.

Mitologi merupakan hasil kontak budaya dengan lingkungan alam dan budaya yang lebih

besar. Berhadapan dengan kebudayaan yang terkait dengan masyarakat sosial, berbagai bentuk

sastra telah berhasil ditulis, misalnya hikayat, cerita yang mengandung kepercayaan (legenda,

dongeng, dan fabel), pantun berkait atau syair keagamaan dalam bahasa Melayu. Penggalian

aspek mitologi dalam Kabhanti Watulea menunjukkan sikap dan pandangan hidup ketika

menghadapi problem dasar kehidupan, seperti: maut, cinta, tragedi, loyalitas, kekuasaan, makna

dan tujuan hidup, serta hal yang transendental dalam kehidupan manusia.

Hasil penghayatan atas realitas kehidupan dalam sastra, menampilkan aktualisasi diri,

antara lain aktualisasi dan reinterpretasi terhadap mitologi. Aktualisasi terhadap mitologi akan

mengungkapkan nilai mitologi dalam konteks zaman, pengukuhan nilai mitos, dan sebagai

jembatan penghubung antara dunia tradisi dan dunia modernitas. Dundes (1984:271) menyatakan

bahwa sebuah kesulitan teoretis yang penting sehubungan dengan interpretasi psikoanalisis mitos

berasal dari fakta bahwa pada dasarnya ada dua cara bagaimana teori psikoanalitik dapat

diterapkan. Sebuah mitos dapat dianalisis dengan pengetahuan tentang mitos-maker tertentu, atau

mitos dapat dianalisis tanpa pengetahuan tersebut.

Reinterprestasi terhadap mitologi, akan mengungkapkan penafsiran kembali berupa

pengingkaran atau pembalikan atas nilai mitologi itu dihadapkan dengan persoalan zaman dan

realitas. Kabhanti Watulea menjadi produk dari pikiran manusia (misalnya mitos) bahwa

seseorang harus tahu sesuatu tentang mekanisme pikiran manusia. Mereka mungkin mendorong

penafsiran simbolik terhadap mitos dan terhadap penemuan universal dalam mitos, sehingga

pertunjukkan Kabhanti Watulea sebagai produk pikiran mampu menunjukkan jati diri bangsa

yang berakar pada tradisi sosial budaya masyarakat Indonesia.

Dundes (1984:270) menjelaskan dua pelopor dalam memahami fungsi mitos. Mereka

adalah Boas dan Malinowski. Kedua pelopor ini berpendapat bahwa mitos pada dasarnya non

simbolik. Boas sering berbicara tentang mitologi yang mencerminkan budaya, menyiratkan

sesuatu dari hubungan antarpersonal. Dengan pandangan ini, data yang murni deskriptif

etnografis dapat diambil dari bahan mitologis budaya tertentu. Malinowski berpendapat

sepanjang garis yang sama yaitu pembelajaran hidup dan mitos tidak simbolik, tetapi ekspresi

langsung dari subyek.

Teori fungsional adalah sebuah teori mengenai operasi mental, mempelajari fungsi

kesadaran, menjembatani kebutuhan manusia beserta lingkungannya, dan menekankan totalitas

dalam hubungan tindakan maupun perilaku, sehingga hal ini memberikan dampak manifestasi

dari tindakan (Koenjaraningrat, 1987:162). Malinowski menjadikan teori fungsi sebagai alat

menganalisa fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sebagai suatu teori fungsional

tentang kebudayaan atau a functional theory of culture.

Menurut Koenjaraningrat (1987:160), kata fungsionalisme berasal dari kata fungsi dan –

isme, yang berarti paham. Secara menyeluruh berarti paham atau aliran cara berpikir mengenai

fungsi sesuatu. Setiap benda pasti memiliki fungsi, begitu pula dengan produk budaya, misalnya

sastra lisan Kabhanti Watulea. Setiap hal yang terjadi memiliki sebuah fungsi. Kegunaan dari

fungsional ini lebih menekankan fungsi-fungsi yang diterapkan dari hal-hal yang sifatnya kecil

hingga hal-hal yang sifatnya kompleks. Kaberry (1957:82) membedakan antara fungsi sosial

dalam tiga tingkat abstraksi.

1) Pada tingkat abstraksi pertama, fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial mengenai efeknya

terhadap adat, tingkah laku mausia, dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat.

2) Pada tingkat abstraksi kedua, fungsi sosial mengenai efeknya terhadap kebutuhan suatu adat

atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti: yang dikonsepsikan oleh warga

masyarakat yang bersangkutan.

3) Tingkat abstraksi yang ketiga, fungsi sosial mengenai efeknya terhadap kebutuhan mutlak

keberlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.

Pada prinsipnya, Kabhanti Watulea memiliki fungsi dalam setiap lariknya. Bukti yang

tersedia dari Kabhanti Watulea menunjukkan bahwa ada stabilitas yang luar biasa dalam narasi

lisan. Mitos dan cerita kembali dikumpulkan dari budaya yang sama. Hal itu menunjukkan

kesamaan yang cukup besar dalam pola struktur, meskipun, fakta bahwa mitos dan cerita berasal

dari informan yang berbeda yang mungkin dipisahkan oleh banyak generasi.

2.3.3 Teori Semiotik

Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik atau ketandaan,

yaitu sistem ketandaan yang memiliki arti. Medium karya sastra bukanlah bahan yang bebas

(netral), seperti: bunyi pada seni musik ataupun warna pada lukisan. Warna sebelum

dipergunakan dalam lukisan masih bersifat netral, belum mempunyai arti apa-apa, sedangkan

bahasa sebelum digunakan dalam karya sastra sudah merupakan lambang yang mempunyai arti

yang ditentukan oleh perjanjian masyarakat (bahasa). Pradopo (2005:121) menyatakan lambang-

lambang atau tanda-tanda kebahasaan itu berupa satuan-satuan bunyi yang mempunyai arti oleh

konvensi masyarakat. Sistem ketandaan itu disebut itu disebut semiotik .

Ratna (2004:97) menjelaskan bahwa semiotika berasal dari kata semeion atau berarti

tanda. Semiotika dalam pengertian luas merupakan studi sistematis mengenai produksi dan

intepretasi tanda, cara kerja, serta manfaat bagi kehidupan. Kehidupan dipenuhi oleh serangkaian

tanda. Dasar filosofis teori semiotika adalah manusia sebagai animal symbolicum atau homo

semiotikus. Semiotika adalah teori dan analisis berbagai tanda (signs) dan pemaknaan

(signification). Teori semiotika mengungkapkan kebudayaan manusia bersandar pada pemikiran

dan tingkah laku simbolis, yang melaluinya memungkinkan manusia menciptakan dan

merefleksikan ulang entitas dan praksis kebudayaannya.

Teori semiotik lahir oleh dua pencetus yakni Charles Sanders Pierce dan Ferdinand de

Sausure. Penelitian ini menggunakan teori semiotika Peirce. Menurut Charles Sanders Pierce,

tanda diproduksi dan dipahami serta berkembang dalam masyarakat melalui dua sistem yaitu

sistem primer dan sekunder. Sistem primer adalah sistem yang merupakan hasil konvensi yang

mendasar sedangkan sistem sekunder adalah pengembangan pengenalan tanda yang masing-

masing memiliki makna yang disebut meta bahasa. Dalam hal ini, yang berkembang pada tanda

adalah segi bentuk atau ekspresi sedangkan makna berkisar pada isi, conten pada sistem primer.

Perkembangan tanda secara meta bahasa dilihat dari segi bahasa disebut intelektualisasi

(pencendikiawan).

Semiotik Pierce terdiri atas tiga karakter tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda

dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda

hubungan antara petanda dan penanda bersifat persamaan bentuk alamiah. Indeks adalah tanda

yang menunjukkan hubungan penanda dan petanda, hubungan alamiah yang bersifat kausal atau

hubungan sebab akibat. Simbol adalah tanda, yang hubungan petanda dan petanda tidak bersifat

alamiah (Pradopo, 2007:121-122). Hubungan terjadi adalah semau-maunya, hubungan terjadi

berdasarkan perjanjian (konvensi) dalam masyarakat.

Peirce dikenal dengan konsep triadik dan trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik

tersebut bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi wakil yang menjelaskan

sesuatu. Teori makna Pierce (Teeuw, 1984:42) menekankan pada bentuk tripihak (triadik).

Setiap gejala secara fenomologis mencakup (1) bagaimana sesuatu menggejala tanpa harus

mengacu pada sesuatu yang lain; (2) bagaimana hubungan gejala tersebut dengan realitas di luar

dirinya yang hadir dalam ruang dan waktu; dan (3) bagaimana gejala tersebut dimediasi,

direpresentasi, dikomunikasikan, dan ditandai. Rumusan ini mengimplikasikan bahwa makna

sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial, atau bergantung pada konteks khusus tertentu.

Simbol

Ikon Index

Sistem tanda mencakup simbol, indeks, dan ikon. Simbol yang dikatakan juga thirdness

ditunjuk dengan aturan, hukum atau kebiasaan, karena representamen yang tidak dapat terlepas

dari konteks sejarah atau sosial suatu masyarakat. Simbol dan

tanda terbentuk berdasarkan kesepakatan di masyarakat. Tingkat keberlakuan tanda dan

pemahaman penafsir bersifat sebagai aturan, hukum, atau yang sudah berlaku umum. Misalnya

kata-kata dalam suatu bahasa (kecuali onomatope), benda atau gambar, misalnya bendera merah

putih (Indonesia), bendera kuning (orang meninggal).

Objek

Representatif Interpretan

Dalam kaitanya dengan sastra lisan Kabhanti Watulea, teori ini menjawab, memaparkan,

menggambarkan makna yang terkandung dalam karya sastra. Kabhanti Watulea terdapat banyak

tanda. Tanda yang mengacu kepada objek satu ke objek yang lain, yang disebut dengan

denotatum. Tanda baru berfungsi apabila diinterpretasikan oleh interpretan. Interpretan adalah

pemahaman makna dari penerima tanda terhadap pengetahuan tentang sistem tanda dalam

masyarakat sosial.

2.4 Model Penelitian

Keterangan model penelitian

Kebudayaan masyarakat Watulea

Objek Penelitian

Temuan wacana

Kabhanti Watulea

Tradisi Lisan Masyarakat Watulea

Kabupaten Buton Tengah, Sulawesi Tenggara

Hasil Temuan

Makna Wacana

Fungsi Wacana

Bentuk Wacana

Wacana

Kritik Sosial

Teori Formula

Teori Fungsi

Teori Semiotik

Metode Deskriptif

Analitik

Pendekatan Sosiologi

Sastra

Teori yang digunakan dalam penelitian

Analisis Penelitian

Garis yang menghubungkan hasil penelitian

Hasil temuan penelitian

Garis yang menghubungkan tradisi lisan

kepada objek penelitian dan dari objek

penelitian terhubung dengan hasil penelitian

Penjelasan:

Bagan di atas menjelaskan kerangka penelitian ini. Masyarakat Watulea Kabupaten

Buton Tengah, Sulawesi Tenggara adalah masyarakat yang memiliki tradisi lisan. Tradisi lisan

lahir dalam kaitannya dengan lingkungan sosial budaya masyarakat Watulea. Kebiasaan yang

muncul dari lingkungan tersebut melahirkan tradisi lisan Kabhanti Watulea. Oleh karena itu,

Kabhanti Watulea merupakan pencerminan keadaan sosial bagi mayarakat Watulea.

Kabhanti Watulea adalah sastra lama terikat yang terdiri atas dua hingga tiga baris dalam

satu bait. Kabhanti Watulea memuat pesan yang disampaikan. Pesan tersebut adalah kritik

terhadap keadaan sosial sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap ketimpangan yang terjadi.

Wacana kritik sosial adalah wacana yang merepresentasikan tradisi lisan Kabhanti Watulea bagi

mayarakat Watulea.

Kabhanti Watulea dianalisis untuk menemukan jawaban dari rumusan masalah. Kabhanti

Watulea dianalsis dengan menggunakan teori formula, teori fungsi, dan teori semiotik. Kabhanti

Watulea dianalisis dengan dukungan metode deskriptif analitik dan pendekatan sosiologi sastra,

sehingga rumusan masalah, seperti: bentuk formal, fungsi, dan makna Kabhanti Watulea dapat

terjawab. Jawaban tersebut ditemukan dalam hasil dan temuan penelitian.