bab ii kajian pustaka, kerangka pemikiran, dan … · ... kerangka pemikiran, ... dalam membuat...
TRANSCRIPT
16
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN,
DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Penelitian Terdahulu
Dalam membuat rancangan penelitian ini, penulis telah melakukan studi
dan analisis terhadap penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan oleh beberapa
peneliti serta dapat menjadi referensi bagi disertasi yang peneliti tulis saat ini.
Penelitian yang berkaitan dengan kebijakan publik dan pelayanan publik telah
banyak dilakukan, tetapi penelitian-penelitian sebelumnya memiliki perbedaan
dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Beberapa penelitian
sebelumnya akan dianalisis oleh penulis dan dideskripsikan di bawah ini.
Penelitian mengenai implementasi kebijakan pertanahan pernah dilakukan
oleh Sintaningrum (2009) yang berfokus pada persoalan ketimpangan struktur
penguasaan tanah pertanian di Kabupaten Subang dan Kabupaten Garut Provinsi
Jawa Barat. Muncul dugaan faktor penyebab adalah pada tataran implementasi
kebijakan. Artinya, implementasi kebijakan pertanahan belum terselenggara
sebagaimana diharapkan. Analisis dilakukan terhadap pengaruh implementasi
kebijakan dilihat dari konten maupun konteks terhadap struktur penguasaan tanah
serta dampaknya terhadap kesejahteraan petani. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa implementasi kebijakan pertanahan berpengaruh signifikan terhadap
penguasaan tanah, dan berdampak pada kesejahteraan petani. Ditemukan juga,
17
bahwa dimensi konten kebijakan berpengaruh lebih besar daripada dimensi
konteks. Ditemukan konsep baru yaitu keberhasilan implementasi kebijakan,
selain dipengaruhi oleh dimensi konten kebijakan dan konteks implementasinya,
juga ditentukan oleh proses administrasi sebagaimana suatau desain program pada
saat dihantarkan pada berbagai level institusi.
Kajian ini menekankan pada tahapan implementasi di dalam suatu proses
kebijakan publik. Peneropongan terhadap implementasi kebijakan pertanahan
telah menghasilkan kesimpulan berkaitan dengan signifikansi antara konsep teori
yang dipergunakan terhadap fakta di lapangan. Tergambar adanya beberapa
kecocokan antara konsep implementasi kebijakan dan tingkat kesejahteraan
petani. Mengingat persoalan pertanahan di Indonesia yang multikompleks, maka
kajian implementasi kebijakan pertanahan oleh Sintaningrum, harus ditempatkan
secara proporsional sebagai bagian dari keragaman persoalan pertanahan. Oleh
karena itu masih diperlukan kajian-kajian tentang pertanahan sebagai kelanjutan
atau komplemen kajian dari Sintaningrum. Hasil kajian Sintaningrum
menyimpulkan kecenderungan absennya surplus sosial dan kemakmuran rakyat
petani. Kenyataan ini terlihat dari adanya pola penguasaan tanah ke arah bentuk-
bentuk monopoli tertentu. Dengan demikian dapat disimpulkan perlu dilakukan
kembali proses perumusan masalah dan perumusan kebijakan berkaitan dengan
masalah pertanahan.
Penelitian terdahulu yang penulis pelajari selanjutnya berjudul Peran
Kantor Pertanahan Dalam Mengatasi Kepemilikan Tanah “Absentee/Guntai” Di
Kabupaten Banyumas oleh Ariska Dewi, di Program Pascasarjana, Universitas
18
Diponegoro, Semarang. Hasil penelitian menjelaskan bahwa tanah merupakan
sumber daya yang penting bagi masyarakat, baik sebagai media tumbuh tanaman,
maupun sebagai ruang atau wadah tempat melakukan berbagai kegiatan. Sebagai
pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA) pemerintah mengeluarkan UU No. 56 Prp Tahun
1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dengan Pelaksanaan PP No 224
Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti
Kerugian, dalam Pasal 3 ayat (1) PP No. 224 Tahun 1961 jo Pasal 1 PP No. 41
Tahun 1964 diatur adanya Larangan Pemilikan Tanah Secara Absentee/guntai,
yang menyatakan bahwa pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat
tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya dilarang yaitu agar petani bisa
aktif dan efektif dalam mengerjakan tanah pertanian miliknya, sehingga
produktivitasnya bisa lebih optimal. Dan dalam kenyataannya masih banyak
terdapat orang yang memiliki tanah pertanian secara absentee/guntai di
Kabupaten Banyumas, sehingga dalam prakteknya adanya peraturan mengenai
larangan tanah absentee/guntai belum bisa diterapkan secara efektif, sehingga
penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya pemilikan tanah secara absentee/guntai di Kabupaten
Banyumas dan untuk mengetahui peran Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas
dalam mengatasi atau menyelesaikan masalah tanah-tanah absentee/guntai
Penelitian ini menggunakan metode Yuridis Sosiologis, dengan menggunakan
data primer dan data sekunder yang kemudian dianalisis dengan menggunakan
teknik analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor penyebab
19
terjadinya kepemilikan tanah absentee/guntai adalah kurangnya kesadaran hukum
masyarakat, faktor aparat penegak hukumnya, faktor sarana dan prasarana dan
faktor ekonomi. Untuk itu Kantor Pertanahan telah melakukan upaya untuk
mengatasi terjadinya pemilikan tanah absentee/guntai di Kabupaten Banyumas
yaitu dengan melakukan penertiban administrasi dan penertiban hukum.
Selanjutnya untuk mencegah terjadinya pemilikan tanah absentee/guntai baru
perlu diadakan kordinasi antara Kantor Pertanahan dengan instansi yang terkait
yaitu Camat, Kepala Desa dan PPAT/Notaris. Selain itu ketentuan-ketentuan
larangan pemilikan tanah absentee/guntai yang ada pada saat ini masih perlu
ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan
masyarakat saat ini.
Penelitian terdahulu yang penulis pelajari kemudian berjudul Peranan
Kantor Pertanahan Kabupaten Demak Dalam Upaya Meningkatkan Pendaftaran
Hak Atas Tanah, yang dilakukan oleh Amin Handoko di Program Pascasarjana,
Universitas Diponegoro, Semarang. Hasil penelitian menjelaskan bahwa
pendaftaran hak atas tanah pada prinsipnya merupakan tugas Pemerintah yang
dalam pelaksanannya dilakukan oleh Kantor Pertanahan untuk menjamin
kepastian hukum di bidang pertanahan sebagaimana yang diamanatkan dalam
UUPA, khususnya Pasal 19 UUPA. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui : 1) peranan Kantor Pertanahan Kabupaten Demak dalam upaya
meningkatkan pendaftaran hak atas tanah; 2) menemukan penyebab rendahnya
tingkat pendaftaran hak atas tanah di Wilayah Kabupaten Demak; dan 3) upaya
yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan untuk mengatasi minimnya pendaftaran
20
tanah di Kabupaten Demak. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan
yuridis empiris dengan teknik pengumpulan data melalui data primer dan data
sekunder. Untuk menghimpun data primer dilakukan dengan penetitian lapangan
dengan menggunakan wawancara dan quesioner. Sedangkan data sekunder
diperoleh dengan mengkaji bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teknik analisis kualitatif dan
ditafsirkan secara logis dan sistematis yang kemudian ditarik kesimpulan. Hasil
penelitian diperoleh bahwa : 1) peranan Kantor Pertanahan yaitu sebagai garda
terdepan dalam pelaksanaan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar
umum pendaftaran tanah dan upaya yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak dalam upaya meningkatkan pendaftaran hak atas tanah, yaitu
dengan meningkatkan pelayanan secara optimal di bidang pertanahan kepada
masyarakat guna mendorong dan membangkitkan minat masyarakat, selain itu
juga untuk mempercepat pensertipikatan dikeluarkan kebijakan melalui program
pensertipikatan secara massal, seperti Prona, Proda, PSM atau SMS, dan PPAN,
sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah R.I. Nomor 24 Tahun 1997, Jo.
Peraturan Menteri Agraria Nomor 3 Tahun 1997; 2) penyebab minimnya
pendaftaran hak atas tanah yaitu rendahnya kesadaran hukum masyarakat, masih
mahalnya biaya pengurusan sertipikat, prosedur birokrasi yang berbelit-belit dan
memerlukan waktu lama; 3) upaya yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Demak dalam upaya mengatasi minimnya pendaftaran tanah
komputerisasi Kantor Pertanahan, program Larasita dan penyuluhan hukum.
Kesimpulan kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah dalam hal ini Kantor
21
Pertanahan belum mampu untuk mengatasi minimnya pendaftaran hak atas tanah
secara keseluruhan untuk menjamin kepastian hukum di bidang pertanahan.
Setelah penulis memaparkan penelitian-penelitian sebelumnya yang
berkaitan dengan kebijakan publik dan pelayanan publik, ternyata penelitian-
penelitian terdahulu memiliki beberapa perbedaan dengan penelitian yang saat ini
akan dilakukan oleh penulis. Perbedaan terletak pada subjek dan objek penelitian,
sehingga penelitian yang penulis ajukan merupakan penelitian yang mengkaji
kebijakan publik dan pelayanan publik yang berbeda. Selain itu metode penelitian
dan teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan juga berbeda,
sehingga pendekatan yang dilakukan untuk memahami masalah juga berbeda.
Dengan demikian persamaan dan perbedaan dari penelitian-penelitian sebelumnya
yang dipelajari penulis dapat menjadi referensi dalam penelitian yang akan
dilakukan penulis selanjutnya.
2.1.2 Implementasi Kebijakan Publik
Studi implemetasi kebijakan publik mulai mendapat perhatian serius
dikalangan ilmuwan ketika ditemukannya bukti-bukti yang mengungkapkan tidak
efektifnya kebijakan publik yang ditempuh oleh Pemerintah Amerika Serikat pada
tahun 1960-an dalam mengupayakan perubahan-perubahan yang fundamental
dalam masyarakat. Selain itu, menurut Hoogwood dan Gunn sebagaimana dikutip
oleh Wahab (2002:60) studi ini muncul disebabkan dengan diterbitkannya buku
Pressman dan Wildavsky yang berjudul implementation pada tahun 1973. Sejak
itu mulailah timbul perhatian yang besar terhadap implementasi kebijakan publik.
22
Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata “implementation”,
berasal dari kata kerja “to implement”. Sehubungan dengan kata implementasi ini,
Pressman dan Wildavsky (1973:xxi) mengemukakan bahwa : “implementation as
to carry out, accomplish, fulfill, produce, complete.” Maksudnya implementasi
yaitu untuk membawa, menyelesaikan, mengisi, menghasilkan, dan melengkapi.
Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai suatu aktivitas
yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan penggunaan sarana
(alat) untuk memperoleh hasil.
Implementasi kebijakan merupakan suatu tahapan yang krusial,
sebagaimana pendapat Asep Kartiwa yang menyatakan bahwa:
Implementasi kebijakan merupakan tahapan yang sering dianggap paling
krusial dalam pelaksanaan kebijakan publik. Jika suatu policy sudah
diputus, policy tersebut tidak berhasil dan terwujud kalau tidak
dilaksanakan. Pejabat politik harus memikirkan bagaimana memilih dan
membuat policy. Mengenai bagaimana policy itu dilaksanakan bukan lagi
menjadi pemikirannya. Usaha untuk melaksanakan policy itu
membutuhkan keahlian dan keterampilan menguasai persoalan yang
dikerjakan. Itulah sebabnya kedudukan birokrasi dalam hal ini sangat
strategis. Jadi keberhasilan suatu kebijakan sangat dipengaruhi oleh
keberhasilan implementasi kebijakan itu sendiri. Sementara itu pihak yang
paling menentukan keberhasilan implementasi kebijakan publik adalah
aparatur birokrasi di samping sistem yang melingkupinya. (Kartiwa, 2012:
119-120)
Selanjutnya Anderson (1978:25) mengemukakan mengenai implementasi
kebijakan, bahwa : “Policy implementation is the application of the policy by the
government’s administrative machinery to the problem”. Mengacu pada pendapat
Van Meter dan Van Horn, Wibawa mengemukakan pengertian implementasi
kebijakan sebagai berikut :
“Implementasi kebijakan sebagai tindakan yang dilakukan oleh
pemerintah maupun swasta baik secara individual maupun kelompok yang
23
dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam
kebijakan” (Wibawa, 1994:15)
Jones (1996:166) mengemukakan mengenai implementasi kebijakan,
yaitu: implementation is that set of activities directed toward putting a program
into effect (implementasi adalah serangkaian aktivitas atau kegiatan untuk
melaksanakan sebuah program yang dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
tertentu)
Pengertian yang lebih jelas mengenai implementasi kebijakan
dikemukakan oleh Mazmanian dan Sabatier sebagaimana dikutip oleh Wahab
sebagai berikut :
Implementation is the carrying out of basic policy decision, usually
incorporated in a statute but which can also take important executive ordess
or court decision. Ideally that decision identifies the problem to be
addressed, stipulates the objective to be pursued, and in a variety ways,
“tructures” the implementation process. The process normally runs through
a number of stages beginning with passage of basic statute, followed by the
policy outputs (decision) of the implementing agencies, the compliance of
target groups with those outputs, the perceived impacts of agency decisions,
and finally, important revision (or attempted revisions in the basic statute).
(Wahab, 2002:65)
Dengan demikian dalam pandangan Mazmanian dan Sabatier,
implementasi kebijakan adalah pelaksanaan keputusan kebijakan dasar, biasanya
dalam bentuk undang-undang, namun dapat pula berbentuk perintah-perintah atau
keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau keputusan badan peradilan.
Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan sasaran yang ingin dicapai, dan berbagai cara
untuk menstrukturkan/mengatur proses implementasinya. Proses ini berlangsung
setelah melalui sejumlah tahapan tersebut, biasanya diawali dengan tahapan
24
pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk
pelaksanaan kebijakan oleh badan (instansi) pelaksana, kesediaan
dilaksanakannya keputusan-keputusan tersebut oleh kelompok-kelompok sasaran,
dampak nyata baik yang dikehendaki atau yang tidak dikehendaki dari output
tersebut, dampak keputusan, dan akhirnya perbaikan-perbaikan penting (atau
upaya untuk melakukan perbaikan-perbaikan) terhadap undang-undang/peraturan
tersebut.
Hal penting lainnya dalam implementasi kebijakan publik adalah: (a)
harus berorentasi pada kepentingan umum, (b) dipahami oleh aparatur
administrasi negara yang melaksanakan kebijakan, (c) diterima oleh masyarakat
yang menjadi sasaran kebijakan publik. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan
oleh Saefullah sebagai berikut:
Kebijakan publik merupakan dasar untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang dilakukan pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahannya.
Sebagai pemegang mandat dari rakyat, setiap kebijakan yang dikeluarkan
pemerintah harus berorentasi pada kepentingan umum. Oleh karena itu
pembuatan kebijakan harus didasarkan pada penelitian tentang dunia nyata
yang berkembang dalam kehidupan masyarakat umum. Selain itu
penelitian inipun dapat memberikan informasi untuk melakukan
forecasting terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dihadapi sehingga
dapat mempersiapkan antisipasinya.
Keberhasilan suatu kebijakan akan bergantung pada berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Tetapi yang terpenting adalah pemahaman oleh semua
pihak yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan dan penerimaan dengan
penuh kesadaran oleh lingkungan masyarakat yang menjadi sasaran.
Dengan demikian perlu diupayakan adanya saling pengertian antara aparat
pelaksana dengan masyarakat sasaran. Saling pengertian ini merupakan
realisasi dari keterikatan antara pembuat kebijakan sebagai pemegang
mandat dengan publik sebagai pemberi mandat. (Saefullah, 2007:46)
Dalam studi kebijakan publik, terdapat banyak model mengenai proses
implementasi kebijakan (a model of the policy process). Menurut Edwards III
25
(1980:1), policy implementation is the stage of policymaking between
establishment of policy…and the consequences of the policy for the people whom
it affects Selanjutnya George Edwards III berpendapat agar implementasi
kebijakan dapat sukses dilaksanakan maka ada empat faktor kritis yang harus
diperhatikan, yaitu :
There are four critical factors or variables in implementing public policy :
1. Communication.
2. Resources.
3. Dispositions.
4. Bureaucratic Structure.
(Edwards III, 1980:10)
Syarat-syarat tersebut harus dipenuhi dalam implementasi suatu kebijakan,
karena kekuranglengkapan salah satu syarat akan berpengaruh pada implementasi
suatu kebijakan. Charles O. Jones mengemukakan teori implementasi kebijakan
yang terdiri dari tiga aktivitas utama yang sangat penting dalam implementasi
kebijakan publik, yaitu organization, interpretation, and application.
Selengkapnya Jones mengemukakan bahwa:
Implementation is that set of activities directed toward putting a program
into effect. three activities, in particular, are significant :
1. Organization: the establishment or rearrangement of resources, unit
and methods for putting a policy into effect
2. Interpretation: the translation of program language (often contaned in a
statute) into acceptable and feasible plans and directives
3. Application: the routine provision of service, paymens, or other agree
upon objectives of instruments.
(Jones, 1984:166)
Berdasarkan teori tersebut maka dalam implementasi kebijakan publik
terdapat tiga aktivitas utama yang sangat penting. Aktivitas yang pertama adalah
organisasi pelaksana kebijakan, yang mencakup pembentukan atau penataan
kembali sumber daya, unit-unit serta metode untuk menjadikan program berjalan.
26
Kemudian aktivitas yang kedua adalah interpretasi para pelaksana kebijakan, yaitu
aktivitas pelaksana kebijakan yang menafsirkan agar program (seringkali dalam
hal status) menjadi rencana dan pengarahan yang tepat dan dapat diterima serta
dilaksanakan. Terakhir, aktivitas yang ketiga adalah aplikasi atau penerapan oleh
para pelaksana kebijakan yang mencakup ketentuan rutin dari pelayanan,
pembayaran, atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan dan perengkapan
program dari kebijakan publik yang telah ditentukan.
Bertumpu pada apa yang dikemukakan Jones tersebut, maka masalah
implementasi kebijakan publik semakin lebih jelas dan luas, dimana implementasi
itu merupakan proses yang memerlukan tindakan-tindakan sistematis yang terdiri
dari organisasi, interpretasi dan aplikasi.
2.1.2.1. Dimensi Organisasi
Organisasi dalam konteks implentasi kebijakan merupakan aktivitas untuk
membentuk badan-badan, unit-unit, beserta metode-metode yang diperlukan guna
mencapai tujuan-tujuan yang terkandung di dalam kebijakan. Organisasi
merupakan kesatuan orang-orang yang melakukan pekerjaan dalam ruang lingkup
administrasi. Hal ini juga dinyatakan oleh Stephen P. Robbins sebagai berikut:
Organisasi adalah kesatuan (entity) sosial yang dikoordinasikan secara
sadar, dengan sebuah batasan yang relatif dapat diidentifikasi, yang bekerja
atas dasar yang relatif terus menerus untuk mencapai suatu tujuan bersama
atau sekelompok tujuan. (Robbins, 1994:4)
Mengenai ketersediaan sumber daya, Edwards III mengemukakan sumber-
sumber daya yang penting dalam implementasi kebijakan antara lain mencakup:
27
1. Staff
One consequence of personnel shortages in ineffectiveness in directly
carrying out policies. Insufficient staff is especially critical to
implementation when the policy involved is one which imposes on
people unwelcome constraints wheter they be the requirements of grant
policies, regulatory policies or criminal law. Skill as well as numbers is
an important characteristic of staff implementation.
2. Authority
Authority varies from program to program and comes in many different
form. Policies that requires government oversight or regulation of
others in the public or private sectors are those for which authority is
most likely to be inadequate. It is in regulating others where sufficient
authority is most often lacking, sometimes it does not exist even on
paper. Lack of effective authority leads officials to adopt a service
rather than a regulatory orientation toward those who are involved in
regulation.
3. Facilities
Physical facilities may also be critical resources in implementation. A
lack of essential buildings, equipment, supplies, or land can hinder
policy implementation as much as can inadequacies in the other
resources that have examine.
(Edwards III, 1980:79-82)
Implementasi kebijakan memerlukan perintah atasan yang jelas dan tegas,
dan perlu memberikan sanksi bagi aparat yang melanggar, sebagaimana Jones
mengemukakan sebagai berikut:
Pemimpin untuk memberikan perintah yang diperlukan untuk
mempertanggungjawabkan kewajiban-kewajiban tersebut dan kemudian
dibagikan dalam cara yang tetap serta dibatasi secara ketat oleh aturan-
aturan yang berhubungan dengan cara-cara paksaan dan sejenisnya, yang
akan dikenakan sanksi berupa pemecatan atau pembuangan bagi para
pejabat yang melakukannya. (Jones, 1994:306)
Ada beberapa hal penting mengenai konsep birokrasi. Pertama, sistem ideal
birokrasi Weber dalam kenyataannya jarang terealisasi sehingga perlu ditekankan
dalam implementasi. Kedua, implementasi adalah sebuah proses yang sifatnya
dinamis yang dapat bervariasi pada berbagai permasalahan. Pelaksanaan
kebijakan sangat bervariasi dan tergantung pada badan atau institusi pelaksana.
28
Charles O. Jones (1984:176) mengemukakan bahwa “the point is that
implementation of policy may very depending on the particular stage of agency
development.” Setiap kegiatan memerlukan birokrasi yang mampu berkomunikasi
dengan pihak yang membuat kebijakan dan juga dengan pihak yang
melaksanakan kebijakan. Tujuan organisasi adalah menjalankan program-
program yang telah dirancang.
2.1.2.2. Dimensi Interpretasi
Interpretasi ialah usaha untuk mengerti apa yang dimaksud oleh pembentuk
kebijakan dan mengetahui betul apa dan bagaimana tujuan akhir itu harus
diwujudkan atau direalisasikan. Dimensi interpretasi ini hampir sama dengan yang
dikemukakan oleh Edwards III dalam dimensi komunikasi. Jones mengutip
pendapat Edwards III sebagai berikut :
“The first requirement for effective policy implementation is that those who
are to implement a decision must knom what they are supposed to do…
If policies are to be implemented properly, implementation directives must
not only be received, but they must also be clear. If they are not,
implementers will be confused about what they should do, and they will
have discretion to impose their own views on the implementation of policies,
views that may be different from those of their superiors” (Jones, 1984:178)
Agar tidak terjadi kebingungan apa yang akan dilakukan oleh para
pelaksana kebijakan, maka mereka yang menerapkan keputusan haruslah tahu apa
yang seharusnya mereka lakukan, sehingga para pelaksana dapat mengetahui
dengan pasti tujuan apa yang hendak dicapai dalam implementasi kebijakan
tersebut.
29
Dalam buku yang ditulisnya, George Edwards III mengemukakan
karakteristik komunikasi dalam implementasi kebijakan terdiri dari tiga bagian
utama, yaitu transmisi, kejelasan, dan konsistensi, sebagaimana dijelaskan pada
bagian berikut ini:
1. Transmission Transmission lapses are prime causes of implementation failure. High level
policymaker must rely upon others to transmit and carry out their decisions
and orders. Implementation instructions are more likely to be transmitted
accurately if a relative small and cohesive group of people is responsible for
implementation. The better develop the channel of communication for
transmitting implementation instructions, the higher the probability of these
instructions being transmitted correctly.
2. Clarity Implementation directives must not only be received, but must also be clear.
Implementation instructions that do not specify the goals of a policy and how
to achieve them are common if communication are not clear, implementor will
have more discretion to exercise in interpreting policy requirements. This
discretion will make a conscious effort to exploit the ambiguity.
3. Consistency Related to but conceptually distinct from the clarity of communications is their
consistency. When implementors receive inconsistent instructions, they will
inevitably be unable to meet all the demands made upon them. Inconsistency,
like ambiguity, result from a desire not to alinate interest, and the greater the
number of computing interest that seek to influence a policy’s implementation,
the greater the chance of inconsistence implementation instruction.
(Edwards III, 1980:43-46)
Sementara itu, Charles O. Jones mengemukakan lebih lanjut bahwa selain
patokannya harus jelas, langkah selanjutnya adalah mengembangkan sarana untuk
menerapkannya. Bagaimana para pelaksana akan melaksanakan tugasnya
tergantung pada sejumlah keadaan, dimana hal terpenting pada masalah ini adalah
perkiraan para pelaksana tersebut tentang proses yang harus dipelajari dan
estimasi ketersediaan sumber daya. Berikut penjelasan menurut Charles O. Jones:
“A clear standard must also be applied, which involes, at a minimum, a
process by which implementers learn that the standard is and develop
means for appliying it. Where the standard is not clear, however
implementers are faced with havier responsibilities. Wheter and how they
assume these responsibilities depends on a multitude of conditions. Surely,
30
among the most important of these is the implementors’ estimate of the
available resources” (Jones, 1984:178)
Berdasarkan pada penjelasan mengenai dimensi interpretasi yang telah
dipaparkan, selanjutnya Charles O. Jones (1986:178) menegaskan mengenai
interpretasi oleh para pelaksana kebijakan sebagai berikut :
That the implementer must respond to the question, What do I do now?
disturbs many people. it guarantees frustration for the tidy mind seeking
Closure in the policy process. It is not surprising, therefore, that formulas
for good administration or effective implementation are developed.
Typically these formulas emphasize clarity, precision, consistency,
priority setting, adequate resources and the like. The study of public
administration is replete with these guides to efficient management.
(Jones, 1984:178)
Dengan demikian jelaslah bahwa interpretasi dari para pelaksana kebijakan
harus mengetahui dengan baik mengenai substansi kebijakan, makna kebijakan,
dan tujuan kebijakan agar penfsiran ini tidak menyimpang dari kebijakan tersebut.
2.1.2.3. Dimensi Aplikasi
Aplikasi ialah penerapan secara rutin dari segala keputusan dan peraturan-
peraturan dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk tercapainya tujuan
kebijakan. Jones (1984:180) menyatakan bahwa Application simply refers to
doing the job. It includes “providing goods and services” as well as other
programmatic objectives (for examples, regulation and defense).
Penerapan seringkali merupakan suatu proses dinamis dimana para
pelaksananya ataupun para petugas diarahkan oleh pedoman program maupun
patokan-patokannya, ataupun secara khusus diarahkan oleh kondisi yang aktual.
Berikut ini penjelasan menurut Charles O. Jones:
31
“Adjustments in either organization or interpretation during program
application are not at all unusual. A political feasible interpretation of
authority may turn out in to be impractical in the field. Application is often
a dynamic process in which the implementor are enforcer is guided
generally by program directives or standards and specifically by actual
circumstances” (Jones, 1984:180)
Penentuan tarif pembayaran merupakan bagian dari kegiatan dalam
aplikasi kebijakan. Charles O. Jones (1994:296) mengemukakan bahwa: “aplikasi
terdiri dari kegiatan yang melakukan ketentuan rutin dari pelayanan, pembayaran,
atau lainnya yang disesuaikan dengan tujuan atau perlengkapan program.”
Selanjutnya, dalam melaksanakan kebijakan, para pelaksana diarahkan
oleh pedoman-pedoman program maupun patokan-patokannya. Selain itu
pelaksanaan pun bersifat dinamis. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Jones:
Suatu penafsiran politis dari yang berwenang mungkin tak akan dapat
dipraktekkan di lapangan, dan sebaliknya penerapan seringkali merupakan
suatu proses dinamis di mana para pelaksananya ataupun para petugas
diarahkan oleh pedoman program maupun patokan-patokannya. (Jones,
1994:325)
Dalam aplikasi kebijakan, pelaksanaan harus juga memperhatikan aspek
efektivitas, efisiensi, dan objektivitas. Mengenai hal ini, Jones mengemukakan:
Aplikasi pelaksanaan kebijakan publik merupakan suatu proses aktif dan
selalu berubah. Hal ini tidak hanya menunjuk pada sebuah kemungkinan
kecil terhadap penerapan harfiah suatu peraturan, tetapi juga menunjukkan
bahwa mereka yang membuat upaya semacam itu akan menghadapi
permasalahan dalam organisasinya. Aplikasi ini adalah suatu varian
dengan konsep administrasi serta ilmu manajemen yang menekankan pada
terciptanya tujuan kebijakan yang efektif dan efisien serta dilaksanakan
oleh suatu pelayanan sipil yang objektif. (Jones, 1994: 328)
Dalam aplikasi kebijakan, pelaksana dituntut pula untuk memiliki strategi
yang tepat dalam melaksanakan kebijakan, disertai dengan pengelolaan terhadap
32
pendukung kebijakan, serta antisipasi terhadap pihak yang dirugikan. Mengenai
hal ini, Jones menjelaskan:
Eugene Bardach menggunakan gagasan "permainan" sebagai "metafor
utama yang mengarahkan perhatian serta merangsang pandangan" di
dalam pengkajian pelaksanaan. Dalam bentuknya "games atau permainan"
melibatkan peraturan, pemain, strategi, pihak yang menang, serta pihak
yang kalah; penggunaan mereka sebagai metafora menghapuskan
pemikiran bahwa hanya terdapat satu cara dalam mencapai tujuan tersebut
Penulis sadar betul bahwa tidak satu pun permainan atau pertandingan
dapat dimenangkan dengan hanya bermodalkan strategi. (Jones, 1994:
324-325)
Aplikasi juga harus mempertimbangkan aspek politik, dimana politik selalu
melibatkan kepentingan berbagai pihak dan juga rawan konflik. Charles O. Jones
kemudian menyatakan conflict means ambivalence dengan pernyataan berikut :
Politics always involve conflicts. For the Individual decision maker group
conflict means ambivalence, and ambivalence can be described In
behavioral terms as the concomitant of taking of Incompatible roles,
Enforcers and "en· forced" alike assume both the role of the potential
violator and the role of his victim. Out of their responses to such mutual
role taking come the rules as actualy acted out; the specification of the
loopholes, penalties, and rewards that reflect an acceptable adjustment of
these incompatible roles. (Jones, 1984:181)
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka aplikasi kebijakan publik ini
merupakan upaya yang menekankan the establishment of policy goals, agar tujuan
kebijakan tersebut dapat tercapai secara efektif dan efisien (to be effectively and
efficiently) dalam sebuah pelayanan di bidang sertipikasi pertanahan yang
sesungguhnya kepada masyarakat (objective civil service).
Implementasi kebijakan dalam program penerbitan sertipikat tanah di Kota
Bandung Larasita dilakukan untuk menjaga penyelenggaraan sertipikasi tanah
agar tepat sasaran dan tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak
33
bertanggung jawab. Sertipikasi tanah merupakan program pemerintah yang
ditujukan untuk menjamin hak-hak rakyat atas tanahnya sehingga masyarakat
dapat diberdayakan dalam konteks reforma agraria.
Kegiatan implementasi kebijakan Larasita pada Kantor Pertanahan Kota
Bandung ini pada dasarnya dilakukan dalam rangka mencapai memberikan
layanan sertipikasi tanah, khususnya di Kota Bandung sehingga tanah-tanah yang
belum terdaftar dapat dengan segera dijamin hak-haknya oleh pemerintah. Tujuan
kebijakan Larasita akan tercapai apabila tujuan dari kegiatan implementasi
kebijakan tersebut dapat dilaksanakan sesuai dengan langkah-langkah dalam
implementasi kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan proses untuk mencapai tujuan yang
telah digariskan sebelumnya. Mengacu pada pendapat Van Meter dan Van Horn,
Wibawa (1994:15) mengemukakan pengertian implementasi kebijakan sebagai
tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara individual
maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana
dirumuskan di dalam kebijakan.
Dari definisi implementasi kebijakan dan komponennya tersebut dapat
disimpulkan bahwa implementasi kebijakan merupakan upaya untuk mencapai
tujuan yang telah ditentukan sebelumnya.
Jones (1984:178) mengungkapkan ”effective program implementation is
likely to be rare if clarity is a preguiresite. It appears to be unwritten law that the
more complex the social issue, the more ambiguous the cocial policy”. Pendapat
Jones tersebut menunjukan bahwa implementasi kebijakan jarang dijadikan
34
sebagai penilaian dan hanya menjadi suatu yang tidak tertulis. Jones mengutip
pendapat Edward III “ the first requirement for effective implementation is that
those who are to implement a decision must knaow what they are supposed to
do…” (Jones, 1984:178). Hal ini menunjukkan Edward III melihat adanya
hubungan antara implementasi kebijakan dengan implementor, dan bagaimana
kebijakan tersebut dapat terimplementasikan tergantung kepada sejauh mana
implementor memahami apa yang harus mereka kerjakan.
2.2.3 Pelaksanaan Kebijakan Larasita
Mekanisme pelayanan Larasita oleh Kantor Pertanahan Kota Bandung
dilakukan dengan cara jemput bola menggunakan kendaraan Larasita (roda empat
dan roda dua) sebagai sarana kantor berjalan dalam upaya mendekatkan pusat
pelayanan pertanahan kepada masyarakat. Adapun mekanisme pelayanan tersebut
dapat dilihat pada bagan berikut ini.
35
Bagan 2.1
Mekanisme Pelayanan Larasita
1
2 5 4
7 6 3
8
Keterangan :
1. Kantor Pertanahan menetapkan pelaksana Larasita
2. Penanggungjawab melaporkan hasil kegiatan
3. Kegiatan sosialisasi/penyuluhan BPN / Camat / Lurah / LSM / LPM /
Tokoh Masyarakat
4. Penyerahan/penerimaan berkas lengkap, biaya, pemberian tanda terima
(SPS) dan penyerahan sertipikat
5. Entri data online
6. Pengukuran dan pemeriksaan tanah panitia „A‟
7. Penyerahan berkas, hasil ukur dan risalah
8. Penyerahan sertipikat
(Sumber: Kantor Pertanahan Kota Bandung, 2011)
KANTOR PERTANAHAN
Pelaksana Larasita
Mobile Front Office
(Mobil Larasita)
() )
Masyarakat
Back Office
(di Kantor Pertanahan)
Petugas Ukur
Panitia „A‟
Sosialisasi
36
Dari bagan di atas dapat dilihat mekanisme pelayanan larasita oleh Kantor
Pertanahan Kota Bandung. Fungsi kendaraan Larasita selain sebagai front office,
juga sebagai sarana sosialisasi kepada masyarakat mengenai informasi
pertanahan. Adapun tugas pokok dan fungsi Larasita adalah sama dengan tugas
pokok kantor pertanahan. Untuk Kota Bandung, pelaksanaan layanan Larasita
dilakukan secara offline, dikarenakan koneksi dari modem GPRS sering
mengalami ganggugan dengan aplikasi Larasita yang ada di server Kantor
Pertanahan, dan juga terdapat kendala dari jaringan telkom yaitu pada RJ
konektor. Data pelayanan permohonan pendaftaran tanah dicatat di lokasi pada
mobil Larasita, kemudian data dan berkas permohonan ditransformasi di Kantor
Pertanahan Kota Bandung.
Dalam rangka pelaksanaan kegiatan Larsita, Kantor Pertanahan Kota
Bandung telah membentuk tim pelaksana berdasarkan:
1. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung No. 120.32.73-1397
tanggal 31 Desember 2008 tentang Pembentukan Sekertariat Bersama
Pendaftaran Tanah Pertama Kali (Pengakuan Hak) pada Kantor
Pertanahan Kota Bandung Tahun 2009 s.d. 2011.
2. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung No. 120-32.73-02
tanggal 5 Januari 2009 tentang Penunjukkan Pelaksana Kebijakan Larasita
Kantor Pertanahan Kota Bandung Tahun 2009.
3. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung No. 120.32.73-39
tanggal 8 Januari 2009 tentang Penunjukkan Pemegang/Penanggung
37
Jawab Kendaraan Dinas Larasita Roda 4 dan Roda 2 pada Kantor
Pertanahan Kota Bandung Tahun 2009.
4. Keputusan Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung No. 110.32-73-124
tanggal 13 Februari 2009 tentang Penunjukkan Pembantu Bendahara
Penerima Kebijakan Larasita pada Kantor Pertanahan Kota Bandung
Tahun 2009.
Adapun rencana kerja dalam pelaksanaan kegiatan kebijakan Larasita oleh
Kantor Pertanahan Kota Bandung pada tahun 2009 s.d. 2011 akan menargetkan
peserta Larasita sebanyak 2.000 bidang dengan prioritas utama penerima layanan
adalah pada layanan pendaftaran tanah pertama kali, dan yang jauh jaraknya dari
Kantor Pertanahan Kota Bandung. Pelaksanaan Larasita diawali dengan
melakukan:
1. Penyuluhan yang meliputi 70 kelurahan, dimana sasaran penyuluhan
adalah:
a. Para lurah dan perangkat kelurahan
b. LPM, LSM, tokoh masyarakat, pemuka agama
c. Masyarakat
2. Tempat penyuluhan meliputi:
a. Kantor Pertanahan
b. Kantor kelurahan
c. Balai pertemuan tingkat RW
d. Tempat ibadah
e. Lapangan terbuka
3. Sosialisasi yang dilakukan melalui:
a. Penyuluhan langsung b. Pemasangan billboard dan spanduk
c. Penyebaran brosur/leaftlet
38
d. Media cetak: Koran Pikiran Rakyat, Swara Jabar, Koran Bom,
Swara Nasional, PI News, Parahyangan, Kompas Pendidikan dan
Majalah Renvoi
e. Media elektronik: TVRI Jabar, Bandung TV, STV dan PJTV.
Adapun pola layanan Larasita melalui prosedur pendaftaran tanah secara
sporadis yaitu :
1. Pendaftaran tanah pertama kali (melalui pengajuan dari kelurahan dengan
dilampiri daftar nominatif calon peserta).
2. Jumlah peserta minimal 25 bidang, tidak dibatasi jumlahnya akan tetapi
dibatasi dengan batas waktu pendaftaran di lapangan.
3. Bidang-bidang tanah tidak harus mengelompok dalam satu hamparan.
4. Masyarakat peserta tidak perlu datang ke Kantor Pertanahan selama
proses berlangsung, cukup menunggu di rumah saja dan petugas yang
mendatangi serta menyerahkan sertipikat tanah.
5. Panitia pemeriksaan tanah 'A' Larasita dengan petugas ukur secara
bersama-sama mendatangi lokasi peserta .
6. Penggunaan tanah untuk tempat tinggal dan tidak sengketa.
Adapun teknis penetapan lokasi bagi pelayanan Larasita yaitu:
1. Pembentukan Panitia 'A' dan Tim Kerja Larasita.
2. Penentuan Lokasi (Surat Tugas).
3. Pembuatan rencana kerja dan penyiapan peta kerja sebagai orientasi
lapangan.
4. Penyuluhan di lokasi kegiatan oleh Kepala Kantor Pertanahan bersama
Panitia 'A'.
5. Pengumpulan dan Penelitian Data Yuridis. Surat bukti kepemilikan
tertulis maupun tidak tertulis dari pemilik tanah/pemohon/kuasa.
6. Pengumpulan Data Fisik. Pengukuran dan pemetaan bidang tanah yang
dituangkan dalam Gambar Ukur.
7. Sidang Panitia 'A'. Dilaksanakan di tempat.
8. Pengumuman Data Yuridis dan Data Fisik. Diumumkan selama 60 hari.
9. Berita Acara Pengesahan Data Fisik dan Data Yuridis.
10. Pembuatan dan Penerbitan Sertipikat.
11. Penyerahan Sertipikat. Penyerahan kepada masyarakat pemilik
tanah/kuasa.
39
Adapun persyaratan data yuridis bagi pelayanan Larasita adalah:
1. Surat permohonan.
2. Identitas diri pemilik tanah/pemohon.
3. Bukti kepemilikan tertulis:
- Surat tanda bukti hak milik yang diterbitkan berdasarkan peraturan
Swapraja, atau
- Sertipikat Hak Milik yang diterbitkan berdasarkan PMA No. 9/1959,
atau
- SK. Pemberian hak Milik. Tidak disertai kewajiban untuk
mendaftarkan hak yang diberikan, tetapi telah dipenuhi semua
kewajiban di dalamnya, atau
- Petuk, Pajak Bumi/Landrente, girik, pipil, kikitir,dan Verponding
Indonesia sebelum berlakunya PP 10/1961, atau
- Akta pemindahan hak yang dibuat dibawah tangan*), atau
- Akta pemindahan hak yang dibuat oleh PPAT*), atau
- Akta ikrar wakaf/Akta pengganti ikrar wakaf/Surat ikrar wakaf dibuat
sejak PP 28/1977*), atau
- Risalah lelang*), atau
- Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor
Pelayanan PBB*), atau
- Surat penunjukan atau pembelian kaveling tanah pengganti yang
diambil oleh Pemerintah Daerah, atau
- Lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis. *) disertai alas hak yang
dialihkan.
4. Bukti lainya, apabila tidak ada surat bukti kepemilikan, dengan "Surat
Pernyataan Penguasaan Fisik" lebih dari 20 tahun secara terus menerus dan
"Surat Keterangan Kades/Lurah" disaksikan oleh 2 orang tetua adat/penduduk
setempat.
5. Foto Copy SPPT PBB Tahun berjalan.
Adapun besarnya biaya untuk layanan pendaftaran tanah pertama kali
diatur sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2002
tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
40
Badan Pertanahan Nasional dan Surat Keputusan Kakanwil BPN Provinsi Jawa
Barat Nomor: 200-05-2009 tanggal 5 januari 2009 adalah sebagai berikut:
1. Biaya pengukuran tanah sampai dengan 500 M2 : Rp. 211.800,-
2. Biaya panitia pemeriksaan tanah : Rp. 522.320,-
3. Biaya transportasi petugas ukur dan panitia A : Rp. 200.000,-
4. Biaya pendaftaran hak : Rp. 25.000,-
Jumlah : Rp. 959.120 ,-
Untuk informasi mengenai besarnya biaya layanan pendaftaran tanah
pertama kali ini, Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung telah menyurati para
lurah se Kota Bandung melalui Surat Nomor: 400.32.73. – 332 tanggal 17 Maret
2009.
Evaluasi kegiatan dilakukan untuk menilai pelaksanaan kebijakan Larasita
pada Kantor Pertanahan Kota Bandung yang dilakukan secara triwulan. Evaluasi
dilakukan untuk menilai seberapa besar tingkat pencapaian keberhasilan yang
telah dilakukan sesuai dengan rencana awal implementasi kebijakan Layanan
Rakyat Untuk Sertipikat Tanah (Larasita) di Kota Bandung
.
2.2 Kerangka Pemikiran
Ada tiga fungsi hakiki dari pemerintahan, menurut Rasyid (1997:13) yaitu
“pelayanan (service), pemberdayaan (empowerment), dan pembangunan
(development). Dikatakan lebih lanjut bahwa pelayanan akan membuahkan
kearifan dalam masyarakat, pemberdayaan akan mendorong kemandirian
masyarakat, dan pembangunan akan menciptakan kemakmuran dalam
masyarakat, inilah yang sekaligus menjadi misi pemerintahan”. Sementara itu,
Ndraha (2005:79) mengatakan “pemerintah mengemban dua fungsi yaitu
41
pelayanan dan pemberdayaan. Melalui otonomi daerah, pemerintah daerah
dituntut untuk ekstra tanggap terhadap setiap permasalahan yang berkembang dan
memberikan pelayanan dengan sebaik-baiknya secara cepat, tepat, dan cermat
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Otonomi memberikan kewenangan kepada daerah untuk melakukan
pemberdayaan secara maksimal baik dalam mengembangkan kreativitas daerah
maupun dalam mewujudkan pelayanan yang baik dan maksimal kepada
masyarakat. Kebijakan Pemerintah Daerah Kota Bandung Nomor 8 Tahun 2004
tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan dari Bupati kepada Camat merupakan
salah satu kebijakan yang diambil pemerintah untuk memberikan pelayanan yang
terbaik bagi masyarakat.
Berkaitan dengan itu, Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier
menyatakan definisi implementasi kebijakan yaitu :
Definition of implementation as the carrying out a policy decision made by
public authority, …in the separate function of legislatures as enactors and
administrative agencies as executors of public policy. …Policies are
continuously transformed by implementing actions that simultaneously
after resources and objectives. (Mazmanian and Sabatier, 1983:7)
Pandangan ini memberi syarat bahwa aspek implementasi kebijakan inilah
yang merealisasikan kebijakan publik menjadi upaya yang nyata untuk memenuhi
kebutuhan publik. Menurut Maarse (dalam Hoogerwerf, 1982:157),
“implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan tertentu
dan dalam waktu tertentu.”
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, agar implementasi kebijakan
berjalan efektif, menurut Jones (2001:166), ada tiga kegiatan yang perlu dilakukan
42
dalam proses impIementasi kebijakan yaitu “organization, interpretation, and
appIication”.
Implementation is that set of activities directed toward putting a program
into effect. three activities, in particular, are significant :
1. Organization : the establishment or rearrangement of resources, unit
and methods for putting a policy into effect
2. Interpretation : the translation of program language (often contaned in
a statute) into acceptable and feasible plans and directives
3. Application : the routine provision of service, paymens, or other agree
upon objectives of instruments. (Jones, 1984:166)
Organisasi pelaksana kebijakan berkaitan dengan pembentukan atau
penataan kembali sumber daya, unit dan metoda yang diperlukan untuk
menjalankan program. Organisasi juga berkaitan dengan koordinasi dan arah
pencapaian tujuan. Pada aspek organization (organisasi), meliputi beberapa hal-
hal berupa: komitmen pada sasaran, penataan sumberdaya, perintah atasan, sanksi
bagi pelanggar, standar prosedur operasi, kesatuan antar pelaksana, pembatasan
kewenangan, pengetahuan informasi, tanpa tekanan tertentu, dan perubahan yang
dilakukan.
Interpretasi adalah penafsiran oleh para pelaksana agar kebijakan menjadi
jelas dan dapat diterima serta dapat dilaksanakan. Interpretasi memuat rencana
yang matang, dukungan dana yang memadai, dan sesuai dengan tujuan perumus
kebijakan. Pada aspek interpretation (interpretasi), meliputi beberapa hal-hal yang
berupa: isi dan tujuan dipahami, petunjuk pelaksanaan jelas, perkiraan sumber
daya, teliti dan konsisten, penyusunan prioritas, memahami tanggung jawab,
kreativitas yang besar, dukungan masyarakat, sikap masyarakat, dan sumber daya
masyarakat.
43
Aplikasi adalah pelaksanaan kegiatan yang meliputi penyediaan barang
dan jasa. Aplikasi adalah penerapan segala keputusan dan peraturan dengan
berpedoman pada programmed implementation (ketentuan dan prosedur) dan
adapted implementation adalah perubahan dan penyesuaian terhadap keadaan agar
tercapainya suatu kebijakan.” Pada aspek application (aplikasi), meliputi hal-hal
berupa: menentukan tarif pembayaran, diarahkan pedoman program, pelaksanaan
bersifat dinamis, kompromi hal-hal tertentu, memperhatikan efektivitas,
memperhatikan efisiensi, memperhatikan objektivitas, memiliki strategi yang
tepat, mengelola pendukung kebijakan, dan mengantisipasi pihak dirugikan.
Berdasarkan kepada uraian konsep itu, penulis merumuskan implementasi
kebijakan Larasita dilakukan melalui tiga aktivitas penting, yaitu: organisasi,
interpretasi, dan aplikasi oleh Kantor Pertanahan Kota Bandung dalam melakukan
Larasita di wilayah Kota Bandung.
Implementasi kebijakan Larasita memiliki tujuan yang diharapkan, yaitu
berupa tercapainya penerbitan sertipikat tanah di Kota Bandung dari aparatur
Kantor Pertanahan Kota Bandung kepada masyarakat. Salah satu fungsi dari
organisasi pemerintah adalah pelayanan masyarakat (public service). Pelayanan
tersebut diberikan untuk memenuhi hak masyarakat, baik layanan sipil maupun
layanan publik. Artinya kegiatan pelayanan pada dasarnya menyangkut
pemenuhan suatu hak, melekat pada setiap orang, baik secara pribadi maupun
berkelompok (organisasi), dan dilakukan secara universal.
Tercapainya penerbitan sertipikat tanah di Kota Bandung dari aparatur
kepada masyarakat merupakan fungsi pelayanan oleh Kantor Pertanahan Kota
44
Bandung yang selalu berkaitan dengan kepentingan umum dan bukan
dikonsepsikan untuk orang perorangan. Hal ini Sebagaimana disebutkan Waluyo
(2007:128), ”kepentingan umum adalah suatu bentuk kepentingan yang
menyangkut orang banyak atau masyarakat, tidak bertentangan dengan norma dan
aturan, yang kepentingan tersebut bersumber pada kebutuhan (hajat) hidup orang
banyak/masyarakat.”
Wahab mengemukakan bahwa implementasi kebijakan ditujukan untuk
memberikan pelayanan atau merubah perilaku masyarakat atau kelompok sasaran.
Hal tersebut dapat dilihat pada pendapat berikut ini:
Fokus analisis implementasi kebijakan itu akan mencakup usaha-usaha
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga di tingkat
pusat untuk mendapatkan kepatuhan dari lembaga-lembaga atau pejabat-
pejabat di tingkat yang lebih rendah atau daerah dalam upaya mereka
untuk memberikan pelayanan atau merubah perilaku masyarakat atau
kelompok sasaran dari program yang bersangkutan. (Wahab, 2004:63)
Menurut Sharkansky: “Policies are the goals and action of administration
under taken in an effort to shape the quantity or quality of the public service”
(Sharkansky, 1975:9). Selain itu, Sharkansky juga mengungkapkan bahwa:
“Public service include some of the most tangible outputs of administrative
agencies.” (Sharkansky, 1975:334).
Selain itu Jones mengatakan bahwa proses kebijakan yang meliputi
organisasi, interpretasi, dan implementasi memegang peranan penting dalam
mewujudkan produk kebijakan. Lengkapnya Jones menyatakan bahwa:
The policy process: a recapitulation on functional activities of program
implementation are organization, interpretation, and application, and categorized in government is government to problem with a potential policy
product varies (service, payments, facilities, controls) (Jones, 1984:252)
45
Berlandaskan pada pengertian dan uraian tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa implementasi kebijakan publik memberikan upaya memenuhi
kebutuhan dan menyalurkan kepentingan masyarakat.
2.3. Hipotesis Kerja
Implementasi kebijakan Larasita di Kota Bandung meliputi aspek-aspek
organisasi, interpretasi, dan aplikasi.