bab ii kajian pustaka - abstrak.ta.uns.ac.id · dikuatkan dengan adanya bukti-bukti pada batu-batu...

21
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA Kajian ataupun penelitian tentang busana pada relief candi sudah dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Inda Citraninda Noerhadi meneliti busana pada relief Candi Borobudur pada tahun 1983. Dalam penelitiaannya Inda mengaitkan penggambaran busana dalam relief candi tersebut berhubungan dengan pembagian kasta pada masyarakat Jawa Kuno (Inda, 2012: 78). Tahun 1999 juga sudah dilakukan penelitian mengenai Pakaian dan Startifikasi Sosial Masa Klasik di Jawa Timur oleh T.M. Hari Lelono. Membahas kain bawah pada relief Candi Rimbi, Candi Jawi, Candi Kendalisodo dan beberapa relief pada Museum Trowulan. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan etnoarkeologi untuk mencari starata sosial sosial masa klasik Jawa pada relief melalui kain bawah dengan menggunakan analogi masyarakat masa sekarang. Penelitian yang dilakukan Erry Setya Nurma Wahyuni pada tahun 2009, dalam penelitiannya relief candi digunakan sebagai data pembanding dari motif- motif sanggul terakota figurin 4 masa Majapahit. Untuk penelitiannya itu Erry mengkhususkan data dari relief Candi Panataran. Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Widma Primordian Meisner pada tahun 2011 yang membahas Busana dan Perhiasan pada Relief Cerita Sri tanjung dan Sudamala di Candi- candi Jawa Timur masa Majapahit. Dari hasil penelitiannya Widma mengklasifikasi busana masa Majapahit dan kemudian dijadikan perbandingan dengan busana tradisional adat Bali. 4 Benda kesenian dari tanah liat yang dibakar dan berbentuk figur manusia (Erry, 2009).

Upload: lamnhi

Post on 02-Mar-2019

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Kajian ataupun penelitian tentang busana pada relief candi sudah

dilakukan oleh beberapa peneliti, di antaranya Inda Citraninda Noerhadi meneliti

busana pada relief Candi Borobudur pada tahun 1983. Dalam penelitiaannya Inda

mengaitkan penggambaran busana dalam relief candi tersebut berhubungan

dengan pembagian kasta pada masyarakat Jawa Kuno (Inda, 2012: 78). Tahun

1999 juga sudah dilakukan penelitian mengenai Pakaian dan Startifikasi Sosial

Masa Klasik di Jawa Timur oleh T.M. Hari Lelono. Membahas kain bawah pada

relief Candi Rimbi, Candi Jawi, Candi Kendalisodo dan beberapa relief pada

Museum Trowulan. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan etnoarkeologi

untuk mencari starata sosial sosial masa klasik Jawa pada relief melalui kain

bawah dengan menggunakan analogi masyarakat masa sekarang.

Penelitian yang dilakukan Erry Setya Nurma Wahyuni pada tahun 2009,

dalam penelitiannya relief candi digunakan sebagai data pembanding dari motif-

motif sanggul terakota figurin4 masa Majapahit. Untuk penelitiannya itu Erry

mengkhususkan data dari relief Candi Panataran. Kemudian penelitian yang

dilakukan oleh Widma Primordian Meisner pada tahun 2011 yang membahas

Busana dan Perhiasan pada Relief Cerita Sri tanjung dan Sudamala di Candi-

candi Jawa Timur masa Majapahit. Dari hasil penelitiannya Widma

mengklasifikasi busana masa Majapahit dan kemudian dijadikan perbandingan

dengan busana tradisional adat Bali.

4 Benda kesenian dari tanah liat yang dibakar dan berbentuk figur manusia (Erry, 2009).

10

Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya,

kajian yang dikhususkan pada busana hanya mngambil dari beberapa relief cerita

saja. Sedangkan untuk kajian mengenai busana di seluruh relief cerita khususnya

Candi Panataran masih jarang ditemukan. Maka dari itu kajian ini difokuskan

pada busana dan benda penyerta pada relief cerita Candi Panataran dengan

pendekatan yang berbeda yaitu Arkeologi Seni, yang mana busana pada relief

dipandang sebagai data artefak yang memiliki nilai-nilai seni.

A. Kajian Pustaka

Sejarah Kebudayaan Indonesia purba berlangsung sejak datangnya bangsa-

bangsa yang membawa pengaruh Hindu, berlangsung sekitar abad pertama sampai

akhir abad ke-15 Masehi. Hal ini berkaitan erat dengan perubahan kebudayaan

bangsa Indonesia yang mana merupakan pengaruh dari kebudayaan India,

dikuatkan dengan adanya bukti-bukti pada batu-batu yang bertuliskan5 huruf

pallawa dimana merupakan huruf yang lazim digunakan di India Selatan antara

abad ke-3 sampai abad ke-7 dan bahasa yang digunakan merupakan bahasa

Sansekerta (Soekmono, 1973: 7).

Candi merupakan salah satu karya dari hasil perubahan kebudayaan

tersebut, dan dimasa sekarang candi disebut sebagai bangunan peninggalan

Indonesia purba. Candi sendiri terbuat dari bahan batu maupun bata dan sangat

berkaitan dengan hubungan keagamaan dan bersifat suci (1973:81). Maka

demikian candi juga dihubungkan dengan Dewi Maut Durga6 yang memiliki

5 Disebut dengan prasasti (Ayatroehadi dkk, 1978 :98).

6 Perwujudan agresif Parwati yang populer dalam masyarakat Jawa Kuno, terutama pada masa

Jawa tengah (2009:59).

11

nama lain Candika, sedangkan untuk istilah candi sebagai bangunan sendiri

diambil dari kata Candika Graha yang berarti rumah Candika.

Dalam Kamus Istilah Arkeologi disebutkan bahwa candi merupakan

peninggalan Hindu dan Buddha di Indonesia, bangunan ini mencakup berbagai

macam bangunan mulai dari pemandian kuna, gapura, gerbang dan juga berbagai

bangunan suci keagamaan. Sedangkan suatu kelompok arca yang menjadi punden,

di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga disebut sebagai candi. Dalam bahasa Jawa

Kuno, candi dimaksudkan kedalam arti dimakamkan yang mengambil arti dari

cinandi. Sedangkan secara harfiah bisa saja dimaksudkan dengan dicandikan

(Ayatroehadi dkk, 1978 :28).

Hal ini dapat dikaitkan dengan pendapat Raffles yang mana mengangap

candi dan cungkup sebagai makam, meskipun dibedakan antara keduanya.

Sedangkan khusus di Jawa Timur candi lebih lazim dinamakan dengan istilah

cungkup, kecuali yang berbentuk gapura (Soekmono, 1977:1). Berdasarkan data

di atas, kata candi sulit diartikan secara jelas dan memiliki makna yang meluas.

Maka dari itu dapat ditarik kesimpulan bahwa candi khususnya di Indonesia

berdasarkan fungsinya digunakan sebagai tempat pemujaan sekaligus pemakaman

dan juga sebagai pusat penyebaran agama yang diusung pada masa candi tersebut

difungsikan.

Dalam penerapannya, candi memang digunakan sebagai tempat untuk

memuliakan orang-orang terkemuka ataupun khususnya para raja yang telah

wafat. Mereka dimakamkan dengan cara menguburkan benda-benda yang

melambangkan zat-zat jasmaniahnya seperti potongan-potongan berbagai jenis

12

logam, batu akik dan dengan disertai sajian-sajian7. Sedangkan untuk jenazahnya

sendiri dibakar dan abunya dibuang ke laut, kemudian melalui proses yang

panjang hingga sampai pada pengarcaan seorang raja yang sudah menyatu dengan

dewa penitisnya8. Arca tersebut kemudian disembah oleh anak cucu

keturunannya. Hal ini dikuatkan dengan adanya bukti-bukti arca yang terdapat di

sekitar bangunan candi tersebut.

Penyimpanan pripih pada umumnya diletakkan pada bagian kaki candi.

Pripih tersebut ditutupi dengan arca perwujudan raja yang kemudian disembah.

Meskipun demikian banyak temuan-temuan yang menyebutkan bahwa dalam

pripih tersebut terdapat abu jenazah. Seperti halnya pada temuan Wardenaar

mengenai adanya sisa-sisa tulang dalam pripih Candi Perthirtaan Jolotundho.

Selain itu juga dikaitkan dengan pengamatan Brumund mengenai candi-candi di

Jawa yang banyak ditemukannya pripih dan menurutnya sebagai tempat abu

jenasah. Hal yang sama dilakukan oleh ajaran agama Buddha dalam kebiasaan

menyimpan abu jenasah di bawah stupa (Ngadino dkk, 2003:2).

Akan tetapi mengacu pada pendapat dari Soekmono yang berhasil

membuktikan bahwa abu-abu dan tulang dari jenasah yang diketemukan bukanlah

berasal dari sisa pembakaran manusia melainkan sisa-sisa dari binatang. Maka

dapat dipastikan bahwa candi digunakan sebagai tempat pemujaan dan

pemakaman memang benar adanya, hanya saja dengan prosesi yang berbeda.

Bangunan candi di Indonesia sendiri pada awalnya mengikuti pedoman-pedoman

kitab India, namun lama-kelamaan pedoman tersebut tidak digunakan lagi dan

7 Dinamakan sebagai pripih (Soekmono 1973:81-82).

8 Pendharmaan merupakan proses memuliakan seorang raja. Dalam prosesnya seorang raja

dibuatkan patung yang mewujudkannya sebagai dewa.

13

lebih mengedepankan unsur-unsur Indonesia dengan mengakulturasi kebudayaan

asli.

Candi merupakan perlambangan dari Gunung Mahameru dan merupakan

Gunung Kosmos bagi bangsa India, terbagi menjadi tiga bagian bangunan. Antara

lain berupa kaki candi yang merupakan perlambangan dari dunia bawah.

Selanjutnya tubuh candi merupakan perlambangan dari dunia tengah yang

menghubungkan antara dunia bawah dengan dunia atas. Sedangkan pada bagian

atas merupakan bangunan yang digunakan sebagai perlambangan dunia atas,

tempat para Dewa atau dunia keabadian. Untuk bagian atas atau mahkota candi

Hindu pada umumnya berbentuk ratna atau buah keben, dan untuk candi Buddha

berbentuk stupa (Ratnawati, 2000:30-31).

Tidak lepas dari bentuk fungsi dan pola bangunan, Candi Panataran

memiliki pola komplek percandian. Dalam pola tersebut juga digambarkan

dengan pola yang sama dengan 3 pokok pola bangunan candi pada umumnya. Hal

ini dikuatkan dengan keterangan Jonathan Rigg dalam The Journal of the Indian

Archipelago and Eastern Asia Vol III. No. V. May 1849 yang dikutip pada buku

Peninggalan Sejarah Kepurbakalaan Candi Panataran, bahwa kata Panataran

berasal dari bahasa Sansekerta pa-natha-ayrya-an. Apabila dijabarkan

pengertiannya natha merupakan pemimpin atau raja, sedangkan ayrya berarti

menggambarkan sesuatu yang tinggi dan dipersonifikasikan pada orang yang

berkedudukan tinggi. Dengan demikian candi panataran dapat dikatakan sebagai

bangunan suci (kuil) tempat pendharmaan raja atau orang yang berkedudukan

tinggi (Ngadino dkk, 2003:4-6).

14

Gambaran-gambaran mengenai pendharmaan seorang raja dikutakan

dengan adanaya keterangan mengenai upacara çraddha dalam kitab

Negarakertagama. Upacara ini merupakan prosesi rangkaian terakhir dari upacara

penyucian dan penyempurnaan roh setelah jenasah dibakar dan kemudian di

dharmakan, selain itu upacara ini juga berlangsung setelah 12 tahun pembakaran

sang raja. Sedangkan untuk pengarcaan dilakukan bersamaan dengan upacara

pendharmaan, dan dapat dilakukan pada tempat yang berbeda (Ratnawati,

2003:4).

Candi Panataran yang berlatar belakang agama Hindu (Siwaitis) pada

dasarnya tidak hanya digunakan sebagai tempat pemakaman saja, melainkan juga

sebagai tempat pemujaan kepada para dewa. Berdasarkan data-data yang

dijabarkan sebelumnya, hal ini terkait dengan adanya perbedaan kepercayaan

yang dianut. Sedangkan pada masa kerajaan Majapahit kepercayaan yang dianut

merupakan agama Siwa-Buddha dan juga kepercayaan dalam menyembah roh

para leluhur terdahulu.

Meskipun Candi Panataran digunakan oleh 3 kepercayaan sekaligus,

namun pada dasarnya, candi digunakan sebagai kuil layaknya bangunan suci yang

ada di India. Hal ini di dukung dengan adanya prasasti Palah yang digunakan

sebagai penetapan sima, yang ditujukan kepada empat orang pejabat lurah guna

menjaga keberlangsungan peribadatan di tempat suci tersebut. Dalam

Negarakertagama juga disebutkan bahwa pada masa Majapahit candi Panataran

dimasukkan kedalam kategori bangunan suci dharma lpas, bangunan ini

diperuntukkan bagi para rsi-saiwa-sugata yang mana lebih dikhususkan kepada

15

para penganut agama Hindu. Mekipun demikian Bhatara9 Palah disebutkan

sebagai sosok yang dipuja, apabila difahami secara lebih detailnya merupakan

leluhur dari Raja Kertajaya. Hal ini dikuatkan dengan adanya kata Bhatara dalam

masyarakat Jawa Kuno digunakan sebagai pnyebutan dari nenek moyang yang

telah di Dewakan (Ngadino dkk, 2003:83-84).

Selain digunakan oleh 3 kepercayaan sekaligus, komplek Candi Panataran

juga dikaitkan dengan gambaran tingkatan kehidupan manusia, seperti halnya

yang tergambar pada relief-relief yang terpahatkan di dalamnya. Pada bagian

depan10 digambarkan dengan pahatan relief yang menceritakan kehidupan

manusia pada umumnya dan kebanyakan digambarkan dengan adanya tokoh

panji. Kemudian pada tingkat selanjutnya sampai pada candi Induk11 banyak

digambarkan cerita-cerita yang tidak umum pada kehidupan manusia, seperti

halnya penggambaran Rahwana sebagai raja para raksasa.

Relief candi pada dasarnya merupakan hasil dari seni pahat yang erat

hubungannya dengan fungsi candi secara keseluruhan. Hal ini dikuatkan dengan

letak relief yang ada pada dinding candi tepatnya terdapat pada bagian tubuh atau

badan candi, dimana pada bagian ini melambangkan dunia tengah yang

menghubungkan antara dunia bawah dengan dunia atas. Tubuh candi ini biasanya

berbentuk lebih kecil dari pada kaki candi atau disebut juga sebagai soubasement.

9 Gelar yang dipakai oleh raja-raja daerah pada masa kerajaan Majapahit, dan biasa disertai dengan

nama tempat atau daerah kekuasaannya (Ayatroehadi dkk, 1978 :20). Dalam hal ini dikaitkan

dengan kata Bhatara Palah.

10 Batur pendopo atau pendopo teras.

11 Candi utama dalam suatau komplek percandian, dapat diketahui melalui besar dan megahnya

suatu bangunan, terdapat arca dewa tertinggi dan terletak di tengah halaman kmplek. Di Indonesia

umumnya candi tidak berdiri sendiri melainkan suatu kelompok bangunan yang dibatasi oleh

pagar (Ayatroehadi dkk, 1978:29).

16

Untuk penggambaran relief sendiri diurutkan jalan ceritanya dengan arahan

pradaksina maupun prasawya. Dalam penelitian Ratnawati yang juga membahas

Candi Panataran, disebutkan bahwa menurut Brandes hiasan candi di Indonesia

purba terbagi menjadi dua golongan hiasan kostruktif dan hiasan ornamen. Hiasan

konstruktif merupakan bagian daripada skema umum dan yang tergolong di

dalamnya adalah pylaster-pylaster, pelipid, simbar atau antefix, plamet, relung-

relung, bentuk-bentuk genta dan lain sebagainya. Sedangkan yang dimaksud

dengan ornamen tidak lain adalah relief-relief dalam bentuk motif (2000:30-37).

Dapat dikatakan bahwa relief pada umumnya digunakan sebagai penghias

isi bidang. Namun selain berfungsi sebagai pengisi bidang, relief juga ada yang

memuat cerita di dalamnya. Cerita pada setiap relief sudah barang tentu berbeda

antara satu dengan yang lainnya, hal ini tidak hanya dikarenakan jalan ceritanya

saja, akan tetapi juga dipengaruhi oleh candi yang dihiasinya. Maka dari itu sifat

keagamaan dan kepercayaan dari setiap candi juga dipengaruhi oleh masyarakat

pendukung yang menggunakan candi tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan

perbedaan gaya candi periode Jawa Tengah dan Jawa Timur (Ngadino dkk, 2003:

41).

Adapun demikian, relief cerita disini tidak jarang juga yang berasal dari

kesusastraan Jawa Kuno, latar belakang timbulnya gagasan ini dikarenakan

kepopuleran dari cerita-cerita Ramayana dan Mahabarata, yang mana juga

merupakan cerita-cerita pewayangan yang populer dalam budaya masyarakat

Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Slamet Mulyana bahwa :

Pemilihan epik sebagai hiasan relief candi dikenal pertama kali pada candi

Prambanan yang dibangun pada permulaan abad 10. Kaki utama candi

Prambanan dihias dengan relief cerita Rama. Ceria Rama sebagai titisan

Wisnu pasti ada hubungannya dengan ke-Siwa-an candi Prambanan, jika

17

dilihat dari Panteon hinduisme. Hiasan relief itu dimaksudkan semata untuk

keagungan agama. Kebiasaan itu dilanjutkan pada jaman Kediri berupa

hiasan relief Kresnayana pada teras kedua candi Panataran di karisidenan

Kediri. Cerita Kresnayana merupakan bagian dari Mahabarata (Mulyana,

1979:219).

Pada setiap relief cerita ini memiliki nilai-nilai tersendiri dalam kehidupan

manusia dan kemudian dijadikan sebagai teladan. Nilai-nilai tersebut meliputi

nilai filosofis dan religius, nilai etis dan estetis, nilai paedagogis dan sosiologis

(Ratnawati, 2000:41).

Untuk periode Jawa Tengah relief digambarkan dengan gaya yang lebih

naturalis dengan pahatan-pahatan timbul. Sedangkan Pada periode Jawa Timur

penggambaran relief lebih bergaya wayang atau bas relief, seperti halnya pada

Candi Panataran. Relief yang di usung banyak mengandung cerita yang berasal

dari susastra Jawa yang kemudian ditransformasikan kedalam bentuk visual relief.

Setiap penggambaran relief tersebut menggambarkan peragaan busana yang

dikenakan oleh manusia.

Busana sendiri merupakan hasil karya dari sebuah kebudayaan, dimana

kebudayaan Jawa asli merupakan kebudayaan yang lebih cenderung pada

pemahaman animisme dan dinamisme, hal ini bersifat transendental. Perubahan-

perubahan yang terjadi di tanah Jawa tidak luput dari pengaruh kebudayaan yang

masuk, peranan terbesar terjadi pada saat masuknya kebudayaan India yang

membawa agama Hindu-Budha. Fenomena dari silang budaya ini mengakibatkan

terjadinya perubahan besar pada berbagai aspek seperti kepercayaan, kesenian,

kesusastraan, astronomi, mitologi maupun pengetahuan umum (Purwadi, 2009:1).

Bagian yang sangat terkait pada busana di sini kerap ditampilkan dalam

aspek kepercayaan, kesenian dan kesusastraan. Kepercayaan pada umumnya

18

tersebar melalui peran kesusastraan bahasa sansekerta, yang mana bahasa ini

merupakan bahasa dari ilmu pengetahuan. Seperti halnya yang dapat dilihat dari

sastra-sastra Jawa Kuno yang berbentuk kakawin maupun kidung dan juga kerap

ditampilkan pada kitab Negarakertagama yang berkembang pada masa Kerajaan

Majapahit, dengan karya-karya berbahasa Jawa Tengahan yang berkembang

pesat. Sama halnya dengan kesenian, kesusastaan juga sedikit banyak

menyumbangkan penggambaran mengenai busana yang diperagakan pada

masanya.

Pada dasarnya kata busana sendiri merupakan asal mula dari kata bahasa

Sansekerta yaitu bhusana dengan arti hiasan, ragam hias dan dekorasi. Kemudian

kata itu diserap dalam bahasa Jawa Kuno dan dalam bahasa Jawa baru bhusana

diartikan sebagai pakaian begitu juga dalam penggunaan bahasa Indonesia saat ini

(Esti, 1998:11). Pada makalah penataan tubuh dalam kebudayaan Jawa, dijelaskan

bahwa busana merupakan satu dari tiga pranata pengupayaan keindahan tubuh

(Edy, 2012:242). Hal ini sudah barang tentu tidak lepas dari kebudayaan

masyarakat pendukungnya, dengan demikian dapat pula dikatakan bahwa busana

merupakan hasil dari suatu sistem kebudayaan.

Busana merupakan benda yang paling dekat dengan tubuh manusia, seperti

yang dikatakan Henk Schulte Nordholt, pakaian merupakan cermin dari identitas,

status, hirarki, gender, memiliki nilai simbolik, dan merupakan ekspresi cara

hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta

perbedaan pandangan sosial, politik dan religi (Nordholt, 2005:1). Majapahit

sendiri merupakan kerajaan Hindu-Budha terakhir yang mampu mempersatukan

wilayah Nusantara. Besarnya wilayah kekuasaan menunjukan betapa makmur dan

19

majunya peradaban Majapahit. Hal ini tidak lepas dari besarnya pengaruh Seorang

Raja dalam menjalin hubungan antar bangsa dan budaya yang saling

bersinggungan, salah satunya melalui perdagangan. Busana atau pakaian

merupakan salah satu aspek penting yang dihasilkan dari pergumulan kebudayaan

tersebut. Perkembangan suatu kebudayaan dapat dilihat dari perkembangan

busananya, hal ini dijelaskan dalam buku Pakaian Adat Tradisional Bali yang

menjelaskan bahwa perkembangan busana bukan hanya untuk memenuhi

kebutuhan biologis, namun juga kebutuhan budaya (Dhamika, 1988: iii-xi).

Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia busana merupakan pakaian lengkap

(yang indah-indah) (2008:242). Dalam pengertiannya, pakaian mencakup segala

seusuatu yang melekat pada tubuh baik berupa baju, celana, kain maupun

perhiasan yang digunakan sebagai penghias maupun pelengkap bagi tubuh.

Menurut Inda dalam bukunya yang berjudul Busana Jawa Kuna, manusia itu

berpakaian dan dapat diterima sebagai sesuatu yang universal. Dalam hal ini

manusia sebagai mahluk sosial memfungsikan pakaian bukan hanya sekedar

untuk melindungi tubuh semata, namun pakaian juga dapat berfungsi sebagai

pembeda dan estetika dalam proporsi secara keseluruhan dan fungsi etika dengan

melindugi bagian-bagian badan tertentu (Inda, 2012:9-10).

Dalam hal ini busana termasuk kedalam pranata pemeliharaan dan

pengupayaan keindahan tubuh. Meskipun demikian busana merupakan bagian

yang berada diposisi paling luar pada tubuh, dapat ditinggalkan dan tidak

meninggalkan bekas. Keindahan tubuh dalam budaya Jawa dilihat secara holistik,

menciptakan keserasian yang harmoni dan terdapat konsep-konsep yang

mendasarinya, maka dari itulah dalam kesenian Jawa tidak digambarkan tubuh

20

yang telanjang. Konsep tersebut dilihat dari keindahan seseorang dalam satu

kesatuan dari ciri fisik, watak dan pembawaannya. Hal ini dapat diperhatikan pada

penggambaran dari tokoh-tokoh pewayangan, yang mana sesungguhnya wayang

bukanlah sekedar sebuah hiburan semata, melainkan sebagai proyeksi diri bagi

manusia (Edy, 2012:241-243).

Dalam perkembangannya busana sendiri memiliki berbagai macam model,

gaya bahkan sampai pada fungsinya. Inda dalam bukunya Busana Jawa kuno

membagi fungsi dari busana kedalam 6 bagian (2012: 10), diantaranya:

1. Busana sebagai pelindung tubuh dari udara luar

2. Busana sebagai menyembunyikan kekurangan

3. Busana sebagai penampil kelebihan

4. Busana sebagai penunjang maupun pembentuk kepribadian

5. Busana sebagai penghias diri

6. Busana sebagai perbedaan status sosial

Berdasarkan fungsi yang dijabarkan di atas, sudah barang tentu busana merupakan

segala sesuatu yang menempel pada bagian tubuh. Hal ini tidak hanya dikaitkan

dengan busana hanya sekedar kain ataupun perhiasan saja, akan tetapi dapat juga

dikaitkan dengan benda-benda penyerta dari busana itu sendiri. Bahkan kaitannya

dengan fungsi, bentuk tubuh maupun gaya rambut dari si pemakai sendiri kerap

dikaitkan dengan busana.

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa busana bukanlah

merupakan suatu hal yang baru bagi manusia, busana sudah dikenakan sejak awal

peradaban manusia hingga saat ini dengan berbagai macam gaya dan bahan yang

berbeda. Dalam hal ini busana sendiri pada umumnya dibuat dengan bahan yang

21

mudah lapuk, namun sebagai penunjang komunikasi, busana kerap ditampilkan

dalam dalam penggambarannya yang dimuat dalam data-data arkeologi berupa

artefak. Data-data tersebut mencakup segala sesuatu yang pernah hadir dalam

kehidupan manusia dulu dengan periode tertentu, di antaranya seperti benda-

benda, alat-alat yang masih sangat sederhana bentuknya, lukisan-lukisan goa dan

semua yang dipakai pada zaman batu. Kemudian berlanjut hingga zaman sejarah

dan dapat dilihat pada bangunan-bangunan purba seperti candi, arca, relief sampai

pada pernaskahan kuno yang dapat juga ditemui pada tulisan-tulisan yang tergores

dipermukaan prasasti maupun bangunan-bangunan purba lainnya.

Kajian busana pada umumnya mengacu pada data-data berupa arca yang

mana dalam hal penggambaran busana dapat diperhatikan lebih jelas ketimbang

yang ada pada relief. Penelitian mengenai arca sendiri sudah dilakukan dari

berbagai pihak yang menekankan pada disiplin ilmu Arkeologi. Dalam hal

penggambaran busana sendiri selain pada data filologi, penggunaan busana pada

arca tidaklah dapat dihindari keberadaannya yang kemudian dapat dijadikan acuan

dalam hal penggambaran busana pada relief-relief yang semasa.

B. Teori dan Kerangka Pikir

1. Pendekatan Arkeologi Seni

Arkeologi merupakan disiplin ilmu yang mempelajari tinggalan atau sisa-

sisa peninggalan budaya masa lalu yang berbentuk benda untuk diungkapkan

kehidapan manusianya (Edy, 2012:18), yang dimaksud dengan kehidupan

manusianya di sini adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan kebudayaan

ataupun bisa juga sisebut dengan kebiasaan manusia. Dalam hal ini kebiasaan

tersebut dapat berupa apa saja, dalam hal berbusana misalnya.

22

Arkeologi sendiri sebagai sebuah bidang ilmu tidak boleh menyalahi

kaidah dari keilmuan modern. Subjektivitas yang dimungkinkan hanyalah dalam

hal pemilihan teori yang digunakan sebagai dasar dari interprestasi dan

pengambilan keputusan dalam hal perioritas penelitian. Hal ini menentukan

pemanfaatan dari hasil penelitian yang diusung, dalam kaitannya dengan masalah

kepentingan pendidikan maupun rasa kebangsaan. Sebagaimana objek kajian yang

mengusung kebudayaan Indonesia masa lalu, maka arkeologi di sini dipisahkan

dengan pembatasan wilayah. Arkeologi Indonesia, yang merupakan pengetahuan

arkeologi tentang Indonesia. Pembatasan wilayah indonesia di sini lebih di

utamakan kepada apa-apa yang telah ataupun pernah menjadi wilayah Indonesia.

Meskipun cakupan negara Indonesia saat ini hanya sebagain kecil dari cakupan

wilayah di masa lalu, namun hal itu sudah dapat dikategorikan ke dalam cakupan

penelitian “Arkeologi Indonesia”. Dalam hal ini dapat dicintohkan pada cakupan

wilayah kepemerintahan kerajaan Majapahit, Sriwijaya, ataupun Melayu Kuno

(Edy, 2012:3-4).

Apabila dilihat dari temuannya, atau artifact (artefak) yang menjadi

kerangka utama guna mengungkap kebudayaan masa lalu. Adapun pokok

bahasannya lebih ditentukan oleh ciri-ciri bentuk ataupun teknologi yang

menandakan budaya atau yang dibuat di wilayah Indonesia sekarang ini,

meskipun ditemukan di luar Indonesia. Namun, di samping itu, ada juga temuan

yang dibuat di luar Indonesia dan ditemukan di Indonesia. Dalam hal ini temuan-

temuan tersebut termasuk ke dalam objek studi arkeologi Indonesia, karena

benda-benda tersebut, meskipun bukan bikinan Indonesia, tapi pernah digunakan

atau mempunyai arti bagi manusia sezaman yang tinggal di Indonesia.

23

Dalam hal ini candi selain sebagai tempat peribadatan ataupun

pemakaman, juga merupakan karya seni bangsa Indonesia masa lalu. Tinjauan

atas arah dan minat dari penelitian arkeologi, bagi sejumlah peneliti arkeologi

mencoba untuk mencari relevansi pengetahuan arkeologi dengan permasalahan

bangsa Indonesia saat ini. Kejadian-kejadian ataupun cara-cara penanganan

terhadap keadaan-keadaan tertentu di masa lalu dijadikan cermin untuk melihat

persoalan-persoalan masa kini (Edy, 2012:7). Hal ini akan sangat bermanfaat

apabila data yang digunakan benar-benar mendukung dan dapat diandalkan,

bukan hanya sekedar spekulasi. Kajian dengan arahan ini dapat dilandasi

berdasarkan persamaan maupun perbedaannya. Perbedaan-perbedaan tersebut

dapat dilihat dari perkembangan tekhnologi, kerangka acuan pada zaman masing-

masing, maupun sosial-polotik-ekonomiknya.

Kesenian merupakan salah satu unsur dari kebudayaan. Keberadaan seni

sendiri sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan manusia. Seni

adalah ide, gagasan, suara hati, dan gejolak jiwa yang disampaikan melalui

aplikasi yang berbeda-beda. Dari keseniaan ini kemudian mucul melalui benda-

benda arkeologi seperti arca-arca maupun relief pada candi. Dalam cakupan

wilayah arkeologi Indonesia, kerajaan Majapahit merupakan kerajaan terbesar dan

mencakup hampir seluruh wilayah nusantara.

Dalam hal ini interpretasi terhadap pola-pola sisa peninggalan kerajaan

Majapahit pada relief candi Panataran sebagai penggambaran tentang seni visual

dan representasinya secara arkeologis. Hal ini dapat mengidentifikasi asal dan

pengaruh asing yang mempengaruhi perkembangan seni visual di Indonesia, serta

dapat melakukan interpretasi mengenai simbolnya. Dengan demikian diperlukan

24

kajian dengan inter-disiplin arkeologi dan seni, dalam hal ini dapat diketahui

sampai batas mana diperlukan kerja sama antar disiplin ilmu satu dengan yang

lainnya. Sering kali pertemuan dengan ilmu lain itu memang lebih bersifat

‘kemitraan’ dalam kesetaraan, daripada yang satu melayani yang lain (2012:21).

Dengan demikian arkeologi seni yaitu sebuah kajian yang membahas tentang

benda-benda peninggalan di masa lampau yang memiliki unsur dan nilai seni pada

bentuk dan wujudnya.

Arkeologi-Seni dalam pemahamannya merupakan sebuah proses analisis

pada sebuah tinggalan arkeologi atau artefak. Dari benda tinggalan tersebut

kemudian dilihat nilai-nilai estetik yang terkandung di dalamnya. Dalam teori ini

erat kaitannya dengan permasalahan sejarah kesenian, dikarenakan setiap zaman

era dari kesenian itu berbeda dan suatu gaya seni memiliki masanya sendiri.

Sehingga dalam kurun waktu yang lama dengan sendirinya gaya seni itu semakin

menyusut dan kemudian digantikan dengan gaya seni yang lainnya. Menurut

Hauser dalam makalah pertemuan arkeologi yang dibahas oleh Edy Sedyawati,

dijelaskan bahwa suatu perkembangan seni di tentukan oleh corak masyarakatnya.

Ekspresi dari kesenian itu sendiri ditentukan oleh 4 hal, yaitu:

a) Tradisi terdahulu, baik yang berkaitan dengan tekhnik maupun konsep

yang mengakar.

b) Kebutuhan

c) Keadaan lingkungan

d) Taraf dan identitas komunikasi dengan lingkungan atau masyarakat lain.

25

Dengan demikian keempat hal ini bisa dijadikan faktor-faktor penentu dalam

masalah pendeskripsian dari benda kesenian, selain itu juga digunakan teori

mengenai unsur-unsur dasar estetik (Edy, 1984:7-9).

Seni disini merupakan suatu hal yang tidak dapat dijelaskan dengan pasti,

pada dasarnya seni mengarah kepada sebuah rasa dalam diri manusia. Rasa yang

ditimbulkan berbeda-beda, belum tentu suatu hal yang indah menurut seseorang

indah juga menurut yang lain. Seni menurut Ratnaesih Maulana merupakan

sebuah hasil getaran jiwa dan juga sebuah keserasian dan keselarasan fikiran dan

menghasilkan karya yang indah (1997:5).

Pendekatan inter-disiplin ilmu arkeologi-seni di sini tidak dapat dilepaskan

dalam kaitannya dengan ilmu lain yang mana dapat dijadikan sebagai sarana

dalam hal menginterpretasikan sebuah data yang ada. Berdasarkan teori gabungan

antara idealistik dan materialistik yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka dalam

hal ini digunakan ilmu ikonografi dan dibantu dengan data-data dari disiplin ilmu

filologi.

Ikonografi pada dasarnya merupakan cabang dari sejarah seni, yang

mempelajari identifikasi, deskripsi dan interpretasi yang terkandung dalam suatu

gambar. Istilah ikonografi sendiri bersumber dari kata ikon (icon) yang berasal

dari bahasa Yunani eikoon yang berarti bayangan, potret atau gambar dan

graphoo yang berarti menulis atau merinci. Dalam hal ini ikonografi berbeda

dengan ikonologi yang mana meskipun keduanya dalam hal pemaknaan dasar

memiliki maksud yang sama yaitu dengan melihat suatu benda dalam

hubungannya dengan benda lain guna mengetahui arti sesungguhnya. Akan tetapi

ikonografi dalam arti sempit digunakan untuk mengetahui makna yang

26

melatarbelakangi pembuatan dari motif-motif seni yang meliputi arca dan relief.

Sedangkan ikonologi digunakan untuk mengetahui prinsip-prinsip nilai

simbolisnya (Ratnaesih, 1997:1).

Dalam hal ini ikonografi difokuskan ke dalam ikonografi Hindu, dimana

ikon tidak ditujukan kepada materi gambar saja melainkan ditujukan kepada tokoh

yang digambarkan (1997:1). Dalam hal ini ditjukkan dengan penggambaran dewa

yang berupa patung, atau yang sering disebut dengan arca. Arca sendiri dalam

bahasa sansekerta diartikan sebagai gambaran, atau gambaran dari perwujudan

seorang dewa yang divisualisasikan kedalam bentuk tiga dimensi yaitu patung.

Hal ini dilakukan untuk mencapai hubungan antara dewa dengan manusia. Seperti

halnya hubugan antara seorang seniman pembuat patung dengan patung itu

sendiri. Sama halnya dengan yang terjadi pada relief seperti yang dikatakan

Wirjosuparto, bahwa relief merupakan seni drama yang mempertunjukkan cerita

dewata yang diperankan oleh tokoh manusia (Ratnaesih, 1997:3).

Maka demikian mengacu pada pendekatan Ikonografis yang mana pada

setiap benda-benda seni mengandung pesan-pesan atau konsep yang dapat

diartikan secara luas ataupun beragam. Namun, keragaman tersebut dapat dibatasi

apabila simbol-simbol secara teratur diasosiasikan dengan bentuk-bentuk seni

khusus (1997:4). Hal tersebut akan dapat membedakan dimana yang benar dan

yang salah dalam masalah pesan yang disampaikan pada gambaran tersebut.

Dalam hal ini menurut Cassirer, gambaran dihubungkan dengan unsur-unsur suatu

bentuk dan digunakan sebagai simbol-simbol yang mana dalam sebuah simbol

meneydiakan sarana konseptual demi mencapai sebuah realitas atau dibaca

sebagai realitas sosial.

27

Realitas sosial tersebut dihubungkan dengan data-data filologi yang

menyertai benda-benda kesenian tersebut. Arkelogi dan filologi pada dasarnya

dipisahkan satu sama lainnya, dikarenakan keduanya memiliki data utama yang

berbeda untuk dikaji. Filologi sendiri merupakan ilmu yang mempelajari bahasa

dalam sumber-sumber sejarah yang tertulis, merupakan kombinasi dari kritik

sastra, sejarah dan linguistik. Filologi sendiri juga merupakan ilmu yang

mempelajari naskah-naskah manuskrip dari zaman kuno. Sedangkan untuk

arkeologi sendiri mempelajari artefak, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Namun, dikarenakan suatu teks kerap dituliskan pada suatu benda tertentu, maka

dalam hal ini dapat terjadi pertemuan pada kedua bidang ilmu tersebut. Karena

dalam sebuah teks tersebut sering kali tertulis lebih dari satu, maka ilmu ini telah

mengembangkan metode penelitiannya guna memperoleh bacaan yang terbaik.

Dalam hal ini pembacaan teks yang terkait dengan arkeologi adalah epigrafi, yang

mana ilmu ini mempelajari prasasti/inskripsi yang pada umumnya merupakan

terbitan tunggal (Edy, 2012:210). Dalam kajian ini yang dimaksudkan kedalam

ilmu pernaskahan filologi diantaranya seperti naskah-naskah kesusastraan

Negarakertagama, Pararaton, maupun Kakawin dan lain sebagainya.

2. Kerangka Pikir

Untuk menjawab penelitian ini, maka kerangka pikir yang digunakan

adalah dengan melihat Relief candi sebagai acuan dari busana masyarakat pada

jaman kerajaan Majapahit. Merupakan kerajaan terbesar dan berpengaruh pada

masyarakat Indonesia dulu. Konsep representasi ini menjadi penting dalam kajian

budaya karena representasi menghubungkan makna dan bahasa dengan budaya

28

(Hall, 1997:15-21). Visual relief yang diteliti bukan sekedar relief hias semata,

tetapi juga sebagai representasi dari individu atau komunitas yang melekatkan

sistem keyakinan dan nilai tertentu. Sebagai karya seni, relief candi yang

mengandung cerita merupakan transformasi dari karya sastra ke betuk visual.

Maka dari itu diperlukan data-data tertulis yang bersumber dari data filologi yang

sudah melalui garapan para ahli.

Busana sering muncul dalam karya sastra Jawa Kuno berbentuk puisi

(kakawin dan kidung) ataupun yang berbentuk prosa. Dalam hal ini busana sering

dideskripsikan sekedar pendukung dari tokoh yang diceritakan. Untuk lebih

terperincinya tidak ada dan lebih menggambarkan dari jenis pakaian yang

dikenakn maupun pola ragam hiasnya saja (Esti, 1998:16).

Berdasarkan hal tersebut di atas diperlukan arkeologi seni dengan tujuan

untuk merekonstruksikan konsep dan makna yang terkandung dalam relief yang

menggambarkan bagaimana busana yang diperagakan pada setiap relief.

Mempertimbangkan relief candi sebagai representasi dari kebudayaan masyarakat

dalam berbusana maka landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah

pendekatan arkeologi seni seperti yang digagas Edy Sedyawati dengan

menggunakan teori gabungan yang menyatakan bahwa dalam situasi tertentu

gagasan bisa menentukan sosok kebudayaan, namun pada situasi lain kondisi fisik

material juga bisa menentukan arahan dari pembentukan maupun pengembangan

kebudayaannya (2012:12).

Melalui pendekatan ini relief candi dipandang sebagai representasi tingkah

laku masyarakat dan bagaimana perubahan kebudayaannya (Hasanuddin, 2010).

29

Dalam hal ini diguanakan pemaknaan bentuk berdasarkan ilmu ikonografi dan

lebih difokuskan pada ikonografi hindu. Lewat kajian arkeologi seni ini juga relief

candi akan dikaji dari sisi cerita/legenda maupun mitos masyarakat, dimana mitos

merupakan sebuah cerita yang memberi pedoman dan arah tertentu kepada

kelompok manusia. Menurut Rosalind Coward dan John Ellis, mekanisme suatu

mitos adalah cara gambaran-gambaran biasa terikat pada objek dan penerapannya

sehingga makna-makna ideologis menjadi tampak alami dapat diterima akal sehat

(Berger, 2005:55).

Skema kerangka pikir.

Visual busana pada

Relief Candi

Panataran

Konsep atau Gagasan

yang Terkandung pada

Relief Candi

Arkeologi seni

(Edy Sedyawati)

Deskripsi

busana

Kondisi Fisik Material

Relief Candi

Sejarah yang

Berkembang pada

Candi Panataran