bab ii kajian pustaka dan landasan teori 1.1 makna ... - …
TRANSCRIPT
22
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
1.1 Makna Sosial
1. Makna
Makna dipahami dalam berbagai bidang, makna pengertianya adalah sebuah arti,
gagasan, konsep, pernyataan, pesan, informasi, maksut, dan firasat, dari semua itu
makna pun paling dekat pengertianya dengan “arti”, sehingga makna adalah kehadiran
transcendental tentang segala sesuatu. Maka di artikan sebagai hal yang bersifat
mendalam dan sangat penting. Makna dimengerti sebagai hakikat yang muncul dari
sebuah objekakibat dari upaya pembaca mengungkapkannya. Makna tidak bisa
muncul dengan sendirinya karena makna berasal dari hubunganhubungan antarunsur
di dalam dan di luar dirinya. Kesatuan yang menunjuk dirinya sendiri tentulah tidak
memiliki makna karena tidak bisa diurai dalam hubungan unit per unitnya (Rohman,
2013: 12).
Makna keseluruhan menentukan fungsi dan makna bagian-bagian, dan makna
merupakan sesuatu yang bersifat historis, ia merupakan suatu hubungan keseluruhan
kepada bagian-bagiannya yang kita lihat dari sudut pandang tertentu, pada saat
tertentu, bagi kombinasi-kombinasi bagian-bagian tertentu (Palmer, 1969: 134).
Maka menurut pendapat di atas, bahwa makna tidak dapat dipisahkan dengan objek
yang membawanya. Untuk mengartikan sebuah makna, harus memahami peristiwa-
23
peristiwa yang menjadi tujuan objek tersebut diciptakan. Brodbeck mengungkapkan,
bahwa makna memiliki tiga corak, yaitu:
a. Makna pertama adalah makna inferensial, yaitu makna satu kata(lambang) adalah
objek,pikiran, gagasan, konsep yang ditunjukkan lambang (disebut rujukan atau
referen). Satu lambang dapat menunjukkan banyak rujukan.
b. Makna yang kedua menunjukkan arti (significance) atau suatu istilah dihubungkan
dengan konsep- konsep lain.
c. Makna yang ketiga adalah makna intensional, yaitu makna yang dimaksud oleh
seseorang pemakai lambang. Makna ini tidak dapat divalidasi secara empiris atau
dicarikan rujukannya. Makna ini terdapat pada pikiran orang, hanya dimiliki
dirinya saja. Dua makna intensional boleh jadi serupa tapi tidak sama (Sobur,
2004:262).
2. Sosial
Sosial adalah cara tentang bagaimana para individu saling berhubungan. Sosial
dalam arti masyarakat atau kemasyarakatan berarti segala sesuatu yang bertalian
dengan sistem hidup bersama atau hidup bermasyarakat dari orang atau sekelompok
orang yang didalamnya sudah tercakup struktur, organisasi, nilai-nilai Sosial, dan
aspirasi hidup serta cara mencapainya (Ranjabar, 2013). Namun jika di lihat dari asal
katanya, sosial berasal dari kata ”socius” yang berarti segala sesuatu yang lahir,
tumbuh dan berkembang dalam kehidupan secara bersama-sama.
24
Pada kehidupan sosial masyarakat terdapat sistem sosial dan sistem budaya,
(Parsons dalam Kistanto, 2006) Sistem sosial merupakan sistem interaksi yang
berlangsung antara 2 (dua) pelaku atau lebih, yang masing-masing mengandung
fungsi dalam suatu satuan masyarakat. Sistem sosial dapat dipahami sebagai suatu
sistem atau pemolaan dari hubunganhubungan sosial yang terdapat dan berkembang
dalam masyarakat tertentu, sebagai wahana fungsional dalam masyarakat tersebut.
Sistem sosial tak dapat dilepaskan dari pembahasan tentang kebudayaannya,
beserta unsur-unsur kebudayaannya, baik unsur-unsur yang tampak, nyata, kelihatan
atau berwujud (tangible elements) maupun unsur-unsur yang tak-tampak, tak-nyata,
tak-kelihatan atau tak-berujud (intangible elements; intangibles). Sistem budaya
merupakan sistem atau satuan yang merupakan hasil satuan kompleksitas yang
diciptakan dan diselenggarakan oleh manusia dalam masyarakat, dalam memenuhi
dan mengembangkan hajat hidupnya dan lingkungannya, yang bersifat kebendaan
dan bukan kebendaan, yang dilakukan manusia melalui pewarisan, pendidikan,
pengajaran, dan pembiasaan, yang berkelanjutan.
3. Kebudayaan
1. Pengertian kebudayaan
Menurut istilah antropologi, yang ditulis oleh koentjaraningrat kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Namun
disisi lain ke-budaya-an adalah suatu “hasil” manusia yang mempunyai dasar kata
25
“budaya”. Kata “budaya” ini sering dikupas sebagai suatu perkembangan dari
majemuk “budidaya”. Karena itu, sering terjadi pembedaan antara budaya dari
“kebudayaan”. Yang pertama adalah daya dari budi yang berupa cipta karsa, dan rasa.
Sedangkan yang kedua adalah hasil dari daya budi tersebut (Koentjaraningrat, 2009).
Pemahaman terhadap kebudayaan meliputi pengertian “sempit” dan “luas.”
Dalam pengertian “sempit,” kebudayaan dipahami sebagai “kesenian,” sehingga
seniman dianggapsebagai budayawan, pementasan kesenian sering disebut
sebagai acara budaya, misi kesenian yang melawat ke luar negeri sering
dikatakan sebagai misi kebudayaan. Pandangan dan praktek demikian tentu
mempersempit pengertian kebudayaan, terutama ditinjau dariunsur-unsur atau isi
kebudayaan sebagai strategi perluasan kebudayaan.Pengertian demikian tidak
sepenuhnya keliru karena kesenian pun merupakan unsur kebudayaan yang
penting. Sosiolog Inggris terkemuka, Anthony Giddens (dalam Kistanto, 2010)
mengenai kebudayaan dalam hubungannya dengan masyarakatmenerangkan sebagai
berikut.
Ketika kita menggunakan istilah tersebut dalam percakapan biasa sehari-
hari, kita sering berpikir tentang “kebudayaan‟ sama dengan karya-karya akal yang
lebih tinggi, seni, sastra, musik dan lukisan konsepnya meliputi kegiatan-kegiatan
tersebut, tapi juga jauh lebih banyak dari itu. Kebudayaan berkenaan dengan
keseluruhan cara hidup anggota-anggota masyarakat. Kebudayaan meliputi
bagaimana mereka berpakaian, adat kebiasaan perkawinan mereka dan kehidupan
keluarga, pola-pola kerja mereka, upacara-upacara keagamaan dan pencarian
26
kesenangan. Kebudayaan meliputi juga barang-barang yang mereka ciptakan dan
yang bermakna bagi mereka –busur dan anak panah, bajak, pabrik dan mesin,
komputer, buku, tempat kediaman. (Giddens dalam Kistanto, 2010).
Budaya merupakan hasil dari interaksi antara manusia dengan segala isi yang
ada di alam raya ini. Manusia di ciptakan oleh tuhan dengan di bekali oleh akal
pikirannya sehingga dia mampu untuk berkarya di muka bumi ini dan secara
hakikatnya menjadi khalifah di muka bumi ini (Rafael Raga Maran, 1999:36). Selain
itu manusia juga memiliki akal, intelegensiai, perasaan, emosi, keinginan, dan
perilaku. Semua kemampuan yang dimiliki oleh manusia maka manusia mampu
menciptakan suatu kebudayaan. Ada hubungan antara manusia dan kebudayaan.
Kebudayaan adalah produk manusia, namun manusia itu sendiri adalah produk
kebudayaan. Dengan kata lain, kebudayaan ada karena manusialah yang menciptakan
dan manusia dapat hidup di tengah kebudayaan yang telah diciptakannya.
Kebudayaan akan terus berjalan manakala ada manusia sebagai
pendudukungnya. Kebudayaan mempunyai kegunaan sangat besar bagi manusia.
Hasil karya manusia menimbulkan teknologi yang mempunyai kegunaan utama
dalam melindungi manusia terhadap lingkungan alamnya. Sehingga kebudayaan
memiliki peran sebagai berikut:
a. Suatu hubungan pedoman antarmanusia atau kelompoknya
b. Wadah untuk menyalurkan perasaan dan kemampuan-kemampuan lain.
c. Sebagai pembimbing kehidupan dan penghidupan manusia.
d. Pembeda manusia dan binatang.
27
e. Petunjuk-petunjuk tentang bagaimana manusia harus bertindak dan berprilaku di
dalam pergaulan.
f. Pengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat.
g. Sebagai modal dasar pembangunan.
Manusia merupkan makhluk yang berbudaya, melalui akalnya manusia dapat
mengembangkan kebudayaan, begitupula manusia hidup dan bergantung pada
kebudayaan sebagai hasil ciptaannya. Kebudayaan juga memberikan aturan bagi
manusiadalam mengelolah lingkungan dengan teknologi hasil ciptaannya. Berbagai
macam kekuatan manusia harus menhadapi kekuatan alam dan kekuata-kekuatan
yang lain. Selain itu manusia memerlukan kepuasan yang baik secara sipiritual
maupun material. Kebudayaan masyarakat sebagian besar dipengaruhi oleh
kebudayaan yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. Hasil karya masyarakat itu
sendiri melahirkan teknologi atau kebuyaan kebendaan yang memiliki kegunaan
utama dalam melindungi diri mereka sendiri terhadap lingkungan. Dalam tindakan
untuk melindungi diri dari lingkungan alam, pada taraf pemula manusia bersikap
menyerah dan semata-mata bertindak didalam batas-batas untuk melindungi dirinya.
Keadaan berbeda pada masyarakat yang kompleks, dimana taraf kebudayaannya
lebih tinggi. Hasil karya tersebut yaitu teknologi yang memberikan kemungkinan
luas untuk memanfaatkan hasil alam bahkan menguasai alam.
28
2. Kebudayaan Daerah
Kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di suatu daerah tertentu dan
merupakan suatu warisan budaya untuk daerah tersebut yang mempunyai ciri khas
tersendiri dan berbeda dari yang lainnya. Menurut Haviland (1999) Budaya tradisi
(daerah) juga dapat diartikan sebagai penentu norma dalam perilaku yang teratur,
serta merupakan kesenian verbal pada umumnya untuk meneruskan kebiasaan dan
nilai-nilai budaya daerah (bangsa).
Kebudayaan daerah yang ada di Indonesia ini semakin lama semakin tergerus
oleh arus globalisasi yang sudah merajalela di negara kita. Oleh karena itu, sebagai
generasi penerus bangsa, kita harus melestarikan dan mempertahankan budaya
daerah tersebut agar tidak hilang ditelan oleh zaman.
Budaya lokal yang hidup di tengah masyarakat biasanya lahir dari dorongan
spritual masyarakat dan situs-situs lokal yang secara rohani dan material sangat
penting bagi kehidupan sosial suatu lingkungan masyarakat desa. Budaya lokal
memiliki hubungan yang sangat erat dngan masyarakat di suatu lingkungan dengan
seluruh kondisi alam di lingkungan tersebut. Ia ditampilkan dalam berbagai upacara
adat suatu desa, bersih desa, misalnya dilakukan untuk menghormati roh nenek
moyang sebagai penunggu desa. Maksud upacara agar desa dilimpahi kesejahteraan
oleh penunggu tersebut. Terlepas dari kepercayaan tersebut, upacara yang dilakukan
dengan cara membersihkan desa menghasilkan dampak lingkungan yang baik.
Apabila desa bersih dari limbah apapun maka alirannya yang berfungsi mengaliri
persawahan akan lancar. Lingkungan desa akan menjadi bersih dan sehat sehingga
29
panen menjadi baik. Budaya lokal yang ditampilkan dalam upacara adat tersebut
mempunyai fungsi yang sangat penting. Memberi dorongan solidaritas kepada
masyarakat dalam rangka mempersatukan niat, kemauan dan perasaan mereka dalam
menjalankan upacara tersebut. Budaya lokal sebagaimana seni yang lain secara
historis selalu memiliki suasana kontekstual, dimana seni tidak bisa dilihat tanpa
fungsi tertentu bagi sebagian masyarakat masing-masing budaya (Setyaningrum,
2018)
Secara tradisional, bangsa-bangsa di wilayah Timur, pada umumnya memiliki
orientasi nilai budaya yang bersifat mistis, magis, kosmis dan religius. Bangsa yang
berorientasi pada nilai Budaya seperti ini, secara umum ingin hidup menyatu dengan
alam karena mereka menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari alam. Alam
sebagai sumber kehidupan memiliki kekuatan atau potensi tertentu yang memberi
atau mempengaruhi hidupnya (Kutha & Nyoman, 2007). Oleh karena itu segala
sesuatunya diarahkan untuk menuju kehidupan yang harmoni dengan alam dan
berusaha menghindari segala hal yang berakibat bertentangan dengan atau melawan
alam.
3. Kebudayaan Islam
Kebudayaan Islam adalah hasil olah, akal, budi, cipta, rasa, karsa, dan karya
manusia berlandaskan pada nilai-nilai tauhid. Islam sangat menghargai akal untuk
terseleksi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal berkembang menjadi
sebuah peradaban.
30
Kebudayaan Islam merupakan suatu sistem yang memiliki sifat-sifat ideal,
sempurna, praktis, aktual, diakui keberadaannya dan senantiasa diekspresikan.
Sistem yang ideal berdasarkan pada hal-hal yang biasa terjadi dan berkaitandengan
yang aktual (Picktchall & Marmaduke, 1993).
Kebudayaan Islam menurut pendapat Sidi Gazalba (dalam Mustopa, 2017)
adalah cara berfikir dan cara merasa taqwa yang menyatakan diri dalam seluruh segi
kehidupan sekumpulan manusia yang membentuk masyarakat”, atau dapat disarikan
sebagai “cara hidup taqwa”. Cara hidup taqwa yaitu menempuh jalan syariat,
menjalankan suruhan serta menghentikan larangan. Karena itu yang merupakan
karya manusia dalam kebudayaan Islam ialah cara pelaksanaan yang bersifat
dinamik, sedangkan prinsip-prinsipnya dari Allah dan bersifat serba tetap.
Banyak pandangan yang menyatakan agama merupakan bagian dari
kebudayaan, tetapi tak sedikit pula yang menyatakan kebudayaan merupakan hasil
dari agama (Gazalba, 1989). Hal ini seringkali membingungkan ketika kita harus
meletakan agama (Islam) dalam konteks kehidupan kita sehari-hari.
Koentjaraningrat (2009) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan gagasan dan
karya manusia, yang harus dibiasakan dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil
budi dan karya. Ia juga menyatakan bahwa terdapat unsur-unsur universal yang
terdapat dalam semua kebudayaan yaitu, salah satunya adalah sistem religi.
Pandangan di atas, menyatakan bahwa agama merupakan bagian dari kebudayaan.
Menurut Gazalba (1989) Islam mempunyai dua aspek, yakni segi agama dan
segi kebudayaan. Dengan demikian, ada agama Islam dan ada kebudayaan Islam.
31
Dalam pandangan ilmiah, antara keduanya dapat dibedakan, tetapi dalam pandangan
Islam sendiri tak mungkin dipisahkan. Antara yang kedua dan yang pertama
membentuk integrasi. Demikian eratnya jalinan integrasinya, sehingga sering sukar
mendudukkan suatu perkara, apakah agama atau kebudayaan. Misalnya nikah, talak,
rujuk, dan waris. Dipandang dari kacamata kebudayaan, perkara-perkara itu masuk
kebudayaan. Tetapi ketentuan-ketentuannya berasal dari Tuhan. Dalam hubungan
manusia dengan Tuhan, manusia menaati perintah dan larangan-Nya. Namun
hubungan manusia dengan manusia, ia masuk katagori kebudayaan (Gazalba, 1989)
Dalam Islam sendiri dikenal zona-zona kebudayaan, dan masing-masing zona
mempunyai ciri sendiri-sendiri. Di antaranya Afrika Utara, Afrika Tengah, Timur
Tengah, Turki, Iran, India, Timur Jauh, dan zona Asia Tenggara misalnya, kita
memiliki kebudayaan Islam Aceh, Jawa, Malaysia, Filipina, dan sebagainya
(Kuntowijoyo dalam Fitriyani, 2012). Namun hal yang disepakati oleh para ahli
terkait kebudayaan Islam (Muslim) yaitu bahwa berkembangnya kebudayaan
menurut Islam bukanlah value free (bebas nilai), tetapi justru value bound (terikat
nilai). Keterikatan terhadap nilai tersebut bukan hanya terbatas pada wilayah nilai
insani, tetapi menembus pada nilai Ilahi sebagai pusat nilai, yakni keimanan kepada
Allah SWT, dan iman mewarnai semua aspek kehidupan atau memengaruhi nilai-
nilai Islam (Muhaimin,2007) .
32
4. Shalawat
Pengertian shalawat menurut bahasa adalah doa, sedangkan menurut istilah,
shalawat adalah shalawat Allah kepada Rasulullah, berupa rahmat dan kemuliaan.
Shalawat dari malaikat kepada Nabi berupa permohonan rahmat dan kemuliaan
kepada Allah untuk Nabi Muhammad. Shalawat orang-orang beriman yakni
manusia dan jin adalah permohonan rahmat dan kemuliaan kepada Allah untuk
Nabi. (Kamaluddin, 2016:7)
Shawalat (Sholawat) Secara bahasa shalawat adalah bentuk jamak dari
kata shalla atau shalat yang berarti doa, keberkahan, kemuliaan, kesejahteraan, dan
ibadah.
Secara istilah shalawat adalah doa untuk Rasulullah Saw sebagai bukti rasa cinta
dan hormat kita kepadanya. Ucapan sholawat terpopuler adalah Alloohumma sholli
‘ala Muhammad wa’ala aali Muhammad artinya semoga Allah melimpahkan
rahmat dan kesejahteraan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Shalawat
terhadap Nabi Muhammad Saw memiliki kedudukan yang tinggi di dalam hati setiap
muslim. Menyapa Nabi Saw dengan shalawat bahkan juga dilakukan Allah SWT
dan para malaikat-Nya. (Yunus dalam Syahrul, 2006)
Kata “Shalawat” merupakan jamak dari kata shalat. Kata shalawat berasal dari
bahasa arab yang artinya doa, rahmat dari Tuhan atau memberi kebajikan. Shalawat
pada umumnya dilakukan oleh seorang hamba kepada Allah SWT, hal tersebut
berarti bahwa seorang hamba menunaikan ibadah kepada Allah dan berdoa
memohon kepada Allah. Namun apabila Allah bershalawat kepada hambanya,
33
berarti Allah melimpahkan kebaikan kepada hambanya. Makna shalawat kepada
seorang hamba, terbagi menjadi dua yakni khusus dan umum. Shalawat umum
adalah shalawat Allah kepada seorang hamba yang beriman dan beramal sholeh.
Sedangkan shalawat khusus adalah shalawat Allah kepada Rasul, para Nabi, dan
teristimewa shalawat-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Sedangkan menurut Al
Mubarrad dalam Usman berpendapat bahwa shalawat berasal dari kata shalat yang
memiliki arti merahmati. Selain itu, menurut Suryani shalawat merupakan bentuk
jamak dari kata Salla atau shalat yang artinya doa, keberkahan, kemuliaan,
kesejahteraan, dan ibadah. (Wisnu Khoir, 2007:12-13)
Shalawat juga berarti doa, baik untuk diri sendiri, orang lain, maupun
kepentingan bersama. Shalawat yang dinilai sebagai ibadah adalah pernyataan
seorang hamba kepada Allah atas ketundukannya serta pengharapan pahala dari
Allah SWT, sebagaimana yang dijanjikan oleh Nabi Muhammad SAW. 5 Shalawat
juga sebagai sarana untuk menambah keimanan kita kepada Allah Swt dan cinta kita
kepada Nabi Muhammad Saw, serta mengetahui tentang sunnah-sunnah Nabi
Muhammad agar seseorang dapat mengamalkan apa yang telah diajarkan oleh Nabi
Muhammad kepada seorang hamba untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
(Fahrurozi, 2013:11)
5. Terbangan (rebana)
Menurut bahasa Arab, Musik Rebana atau musik Shalawatan berasal dari kata
asholawat yang merupakan bentuk jamak dari kata asholat yang berarti do’a atau
34
sembahyang (Yunus dalam Syahrul, 2006). Sholawat adalah satu ungkapan yang
penuh dengan nuansa-nuansa sastra yang berisi puji-pujian terhadap Nabi
Muhammad SAW.
Terbang atau terbanganan adalah suatu alat musik jenis perkusi merupakan alat
musik yang dipukul (atau digoyangkan, ditumpuk, dsb) untuk membunyikannya
(Prier, 2011: 159). Selain itu pendapat yang sama dikemukakan oleh Banoe (2003:
311) yang menyatakan bahwa Perkusi adalah ragam alat yang cara
membunyikannya dengan cara dipukul, diguncang atau saling memukul sesamanya.
Rebana biasa di pakai oleh masyarakat banyak dibanding dengan nama asalnya,
yaitu terbang, terbangan atau Daff. Terdapat bermacam-macam ukuran rebana
dengan nama dan penggunaanya yang berbeda-beda. Di wilayah jawa biasa disebut
genjiring, jidor atau tambur, kempling, ketimpring dan lain-lain. Kesenian Rebana
atau terbangan yang hadir di tengah-tengan masyarakat dan pelestarianya juga
memiliki keunikan tersendiri yaitu terjadinya kontak budaya timur dan barat
maupun tradisi lokal sehingga menimbulkan akulturasi. Rebana adalah alat musik
perkusi yang di mainkan bersamaan oleh tiga sampai lima orang penbuh sebagai
alunan musik pengiring sholawatan. (Sopandi, 1992:56)
Terbang maupun rebana alat music yang terbuat dari kulit binatang seperti sapi
dan lain-lain. Bentuk dan ukuranya bermacam-macam, bingkai terbuat dari kayu
berbentuk lingkaran, satu sisi di tutup dengan kulit binatang yang sudah di samak
dan dipakukan pada pinggir bingkainya. Ada rebana yang pinggirnya di beri
kepingan-kepingan logam sehingga bila di mainkan akan berbunyi gemerincing dan
35
di sekitar pulau Pantura pulau Jawa biasa di sebut juga genjiring, maupun rebana
yang mirip dengan ketipung (Sopandi, 1992:56).
1.2 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu adalah upaya peneliti untuk mencari perbandingan dan
selanjutnya untuk menemukan inspirasi baru penelitian selanjutnya disamping itu
penelitian terdahulu membantu peneliti dalam memposisikan penelitian serta
menunjukan orisinalitas dari penelitian. Penelitian terdahulu yang memiliki
relevansi dengan penelitian ini antara lain adalah skripsi Bagas Prambudi (2015)
Fungsi Dan Bentuk Penyajian Musik Sholawat Dalam Kesenian Gajah-Gajahan Di
Desa Ngrukem Kabupaten Ponorogo Jawa Timur, jurnal Syahrul Syah (2006)
Fungsi dan Ciri Khas Kesenian Rebana di Pantura Jawa Tengah, jurnal Adrika
Fithrotul Aini (2014) “Living Hadis Dalam Tradisi Malam Kamis Majelis Shalawat
Diba’ Bil-Mustofa”, jurnal Roro Sri Rejeki Waluyajati dan Afghoni Syahuri (2019)
Budaya Pop Dalam Tradisi Shalawatan Pada Masyarakat Pedesaa, jurnal Mohdi
Yulianto, Prabowo (2013) Bentuk Musik Dan Fungsi Kesenian Terbang Bancahan
Di Desa Sukorejo Kecamatan Parengan Kabupaten Tuban, Agus Sunarya (2015)
Tradisi Shalawat Kuntulan di Kampung Nglanjaran,. Maka hasil dari penelitian
terdahulu dan relevansinya dengan penelitian yang akan dilakukan, di jelaskan pada
tabel berikut:
36
Tabel 1. Penelitihan Terdahulu
No.
Penulis
Hasil
Relevansi
1. Bagas Prambudi (2015)
Fungsi Dan Bentuk
Penyajian Musik
Sholawat Dalam
Kesenian Gajah-Gajahan
Di Desa Ngrukem
Kabupaten Ponorogo
Jawa Timur
1. Fungsi musik sholawat
dalam kesenian Gajah-
gajahan adalah sebagai
berikut : a) sebagai upacara
adat, b) sebagai sarana
komunikasi, c)
sebagai kontribusi integrasi
sosial, d) sebagai sarana
hiburan, e) sebagai
sarana pendidikan, f) sebagai
pengiring kesenian.
2. Bentuk Penyajian musik
sholawat dalam kesenian
Gajah-gajahan
dimainkan secara bersama
atau ansambel. Alat musik
yang digunakan
merupakan alat musik perkusi
yang terdiri dari alat musik
ritmik dan
melodis, yaitu : a) rebana, b)
kendhang, c) kenong, d)
saron, e) jedor.
Relevansinya memiliki
kesamaan berkaitan dengan
Shalawatan yang di lakukan
oleh suatu masyarakat dan
pengunaan alat musik sebagai
penggiringnya berupa jenis-
jenis alat music seperti
kendang, jedor, dan
rebana/terbang.
Perbedaanya pada penelitian
terdahulu memfokuskan
penelitianya dalam bentuk
kesenian musiknya,
sedangkan yang akan
dilakukan oleh peneliti
memfokuskan pada makna
sosial pada shalawatan
terbangan.
2. Syahrul Syah (2006)
Fungsi dan Ciri Khas
Kesenian Rebana di
Pantura Jawa Tengah
Shalawat sebagai ungkapan
kecintaan kepada Nabi
Muhammad SAW , shalawat
yang berisi syair-syair pujian
biasanya di iringi dengan alat
musik rebana. Kesenian
rebana adalah merupakan sala
satu jenis dari beberapa
kesenian tradisional yang
bernafaskan Islam yang
cukup pesat berkembang di
jawa tengah khususnya di
daerah pantura. Kesenian ini
Relevansinya adalah sama-
sama berfokus pada shalawat
yang berisi syair-syair pujian
dengan diiringi kesenian
music rebana/terbang.
Kebiasaan yang dilakukan
oleh masyarakat dalam
bershalawat dan ditunjukukan
untuk hari-hari besar tertentu
seperti memperingati hari ke
Nabian.
37
menurut fungsinya sangat
berarti bagi masyarakatnya di
samping itu sebagai media
dakwah, dzikir, berfungsi
juga sebagai sarana hiburan
masyarakat setempat.
3. Adrika Fithrotul Aini
(2014)
“Living Hadis Dalam
Tradisi Malam Kamis
Majelis Shalawat Diba’
Bil-Mustofa”
1. Secara khusus, shalawat
diba’ dapat bermanfaat
bagi individu. Tujuannya
adalah untuk memohon
syafaat melalui Nabi SAW
dengan alunan pujian
syair-syair dalam shalawat.
2. Bagi beberapa orang yang
memahami kadungan syair
shalawat diba’, mereka
selalu mencoba untuk
mencerminkan diri mereka
dalam akhlak rasul dan
kepribadian rasul,
sehingga dalam
beraktivitas sehari-sehari
seperti meneladani
perilaku Nabi SAW.
Relevansinya adalah memiliki
kesamaan pada masyarakatnya
melakukan tradisi keagamaan
pada hari tertentu yaitu ber
shalawat yang berupa alunan
syair-syair atau pujian.
Masyarakat memahami makna
shalawat sebagai pencerminan
diri dalam meneladani akhlah
mauoun perilaku Nabi SAW.
4. Roro Sri Rejeki
Waluyajati dan Afghoni
Syahuri (2019) Budaya
Pop Dalam Tradisi
Shalawatan Pada
Masyarakat Pedesaan
Penelitian ini hendak
menunjukkan perubahan pola
perilaku masyarakat
pedesaan dalam
mengekspresikan rasa
keberagamaan mereka,
sebagai akibat dari budaya
pop yang mereka lihat sehari-
hari lewat berbagai saluran
media masa terutama televisi.
Ekspresi religiusitas
masyarakat desa yang dahulu
terkesan tradisional dan
konvensional, telah berubah
menjadi modern dan
kontemporer, sebagaimana
yang terlihat dalam kegiatan
Relevansinya adalah
kesamaan pada masyarakat
yang masih melakukan tradisi
ber shalawat. Dimana
masyarakanya telah banyak
mengalami perubahan
perilaku dan budaya, akan
tetapi masyarakatnya masih
melakukan tradisi shalawatan
sebagai sarana keagamaan.
Perbedaanya dengan yang
akan dilakukan peneliti adalah
berfokus pada makna
sahalawatan bagi
masyarakatnya.
38
Shalawatan yang mereka
adakan. Dahulu mereka
melakukan Shalawatan di
mesjidmesjid atau di rumah-
rumah penduduk, dalam
suanana khidmat, sambil
duduk bersila. Sekarang
mereka melakukannya di
lapangan terbuka dengan
sebuah panggung besar di
depannya. Shalawat
dilantunkan dengan musik
pop atau dangdut yang
sedang popular. Suanana
hingar-bingar bak konser live
music ini mereka lakukan
semalam suntuk, diselingi
dakwah para kyai.
Shalawatan model ini telah
menggantikan popularitas
shalawatan konvensional
yang dulu biasa mereka
lalukan.
5. Mukhammad Zamzami
(2015) Nilai Sufistik
Pembudayaan Musik
Shalawat Emprak
Pesantren Kaliopak
Yogyakarta
Pertunjukan Shalawat
Emprak adalah mirip dengan
para sufi dengan tradisi
mendengarkan musik atau
samâ‘. Musik hanya sebagai
media saja, bukan dijadikan
sebagai yang utama. Sebagai
salah satu bentuk tasawuf
Jawa Emprak berbeda dengan
tasawuf klasik yang
mementingkan laku pribadi
dalam menuju Tuhan. Dalam
konteks pemikiran sufistik,
Emprak tampaknya lebih
mirip sebagai tarîqah, di
mana suatu aktivitas
dilakukan secara berjemaah.
Proses menuju Tuhan
berjemaah dalam Emprak
Relevansinya adanya
kesamaan penelitian terdahulu
dengan peneliti yang akan
dilakukan adalah pada
shalawatan dan iringan musik
sebagai sarana keagamaan.
Shalawat Emprak ini adalah
suatu kegiatan yang dilakukan
oleh para santri di pesantren
kaliopak Yogyakarta.
Perbedaanya adalah fokus
penelitian yang dilakukan.
Dalam penelitian terdahulu
berfokus pada nilai Sufistik
pada shalawatan, sedangkan
penelitian yang akan di
lakukan peneliti berfokus pada
makna sholawat bagi
masyarakat.
39
merupakan upaya saling
menguatkan dan membangun
resonansi, sehingga dapat
memperkuat masing-masing
pribadi dan mempercepat
proses menuju Tuhan. Setiap
jiwa sanggup mengaktualisir
jalan yang unik menuju
Tuhan, salah satunya lewat
tradisi shalawat Emprak.
6. Agus Sunarya (2015)
Tradisi Shalawat
Kuntulan di Kampung
Nglanjaran,
Sardonoharjo, Ngaglik,
Sleman, Yogyakarta
Makna dari Shalawatan
K/untulan berasal dari kata
konto yang berate olahraga,
gerakan yang tegas, iringan
yang digunakan dalam
Tradisi Shalawat Kuntulan ini
terbang, jidor, syair yang
digunakan adalah shalawatan
atau puji-pujian kepada Allah
SWT dan Nabi SAW. Melalui
unsur budaya yang saling
berbeda sehingga membentuk
keserasian fungsi yang terjadi
pada gerakan, syair dan
busana dalam tradisi
shalawatan kuntulan, yang
menghubungkan antara
agama dan ilmu sehari hari,
sehingga membentuk sebuah
fungsi dan nilai budaya jawa
dan islam. Diantaranya nilai
religious, nilai kebersamaan,
nilai kedisiplinan, nilai
estetika dan nilai agama.
Relevansinya pada penelitian
terdahulu ini memiliki
kesamaan di mana masyarakat
memiliki tradisi dan masih
melakukan kegiatan
shalawatan. Shalawatan yang
diiringi alat musik, terbang,
jidor dan pemain lainya.
Terdapat makna nilai-nilai dari
tradisi shalawatan ini bagi
masyarakatnya.
Adapun Perbedaan pada
penelitian ini yaitu fokus
penelitian mengenai
shalawatan kuntulan dan
shalawatan ternamgan.
40
2.3 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik Herbert Blumer,
Teori interaksi simbolik berangkat dari pemikiran bahwa realitas sosial merupakan
sebuah proses yang dinamis. Individu-individu berinteraksi melalui simbol, yang
maknanya dihasilkan dari proses negosiasi yang terusmenerus oleh mereka yang
terlibat dengan kepentingan masing-masing (Abdullah dalam Laksmi, 2017). Makna
suatu simbol bersifat dinamis dan variatif, tergantung pada perkembangan dan
kepentingan individu, yang dibingkai oleh ruang dan waktu. Seperti yang telah
disebutkan sebelumnya, individu diletakkan sebagai pelaku aktif, sehingga konsep
mengenai diri (self) menjadi penting. Konsep diri yang dikaitkan dengan emosi, nilai,
keyakinan, dan kebiasaan-kebiasaan, serta pertimbangan masa lalu dan masa depan,
turut mempengaruhi diri dalam pengambilan peran.
Namun demikian, diri tidak terisolasi, sebab ia bertindak dalam kelompok
individu. Diri tidak dapat memaknai suatu simbol tanpa adanya individu lain yang
berperan sebagai cermin untuk melihat diri sendiri (Arriane dalam Laksmi, 2017).
Dalam kehidupan sosial, manusia menggunakan simbol untuk mempresentasikan
maksud mereka, demikian juga sebaliknya. Proses penafsiran atas simbol-simbol ini
terhadap perilaku pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial pada dasarnya
adalah produk dari interpretasi mereka atas dunia di sekeliling mereka. Individu
memilih perilaku sebagai hal yang layak dilakukan, berdasarkan cara individu
mendefinisikan situasi yang ada. Makna muncul karena ada interaksi antar individu,
41
yang muncul dari hasil interpretasi pikiran manusia mengenai diri, serta hubungannya
di dalam masyarakat. Pemahaman terhadap simbol harus dipahami bahwa simbol
adalah objek sosial yang muncul dari hasil kesepakatan bersama dari individu-
individu yang menggunakannya. Individu-individu tersebut memberi arti,
menciptakan, dan mengubah objek di dalam interaksi. Simbol sosial tersebut dapat
mewujud dalam bentuk objek fisik, bahasa, serta tindakan.
Dalam interaksi manusia dengan menggunakan simbol, manusia menginterpretasi
situasi dengan pikiran (mind). Pikiran manusia melibatkan kegiatan mental di
dalamnya. Manusia menggunakan pikiran untuk dapat menempatkan diri di dalam
posisi orang lain dan kemampuan menggunakan simbol yang mempunyai makna
sosial yang sama, sehingga manusia mampu menafsirkan arti dari suatu pikiran
dengan tepat. Kemampuan tersebut diekspresikan melalui bahasa, baik bahasa verbal
maupun non-verbal, yang disebut sebagai simbol. Serupa dengan pikiran manusia, diri
(self) juga merupakan suatu proses sadar yang memiliki beberapa kemampuan yang
terus berkembang melalui interaksi dengan individu lain.
Pemikiran interaksionisme simbolik didasari oleh tiga premis Herbert Blumer
yang menyatakan bahwa, premis pertama, manusia bertindak terhadap sesuatu atas
dasar makna yang dimiliki benda-benda itu bagi mereka. Dengan kata lain, manusia
dianggap aktif dalam menentukan dan memaknai lingkungan atau situasi. Premis
kedua, makna-makna tersebut merupakan hasil interaksi sosial yang terus-menerus
dan terjadi berulang-ulang dalam suatu masyarakat. Makna pada suatu tanda, yaitu
42
objek, peristiwa, atau gagasan tidak melekat pada tanda tersebut, tetapi merupakan
hasil dari negosiasi. Premis ketiga, makna-makna tersebut diperbaharui melalui suatu
proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya dengan
objek yang dihadapinya. Berdasarkan premis tersebut, maka makna dapat berubah
sesuai dengan konteks dalam ruang dan waktu yang membingkai interaksi.
Herbert Blumer mengutarakan tentang tiga prinsip utama interaksi simbolik, yaitu
tentang pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought). Menurut
Craib (dalam Sarmini, 2002: 50), asumsi teori interaksi simbolik Blumer adalah
sebagai berikut.
Manusia bertindak terhadap sesuatu dasar asumsi internilai simbolik yang dimiliki
sesuatu itu (kata, benda, atau isyarat) dan bermakna bagi mereka. Makna-makna itu
merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat manusia.
Makna-makna yang muncul dari simbol-simbol yang dimodifikasi dan ditangani
melalui proses penafsiran yang digunakan oleh setiap individu dalam keterlibatannya
dengan benda-benda dan tanda-tanda yang dipergunakan. Sesuatu ini tidak
mempunyai makna yang intrinsik karena makna yang dikenakan pada sesuatu ini lebih
merupakan produk interaksi simbolis. Bagi Blumer, “sesuatu” itu bisa berupa
fenomena alam, fenomena artifisial, tindakan seseorang baik verbal maupun
nonverbal, dan apa saja yang patut “dimaknakan”.
43
Menurut Blumer, sebelum memberikan makna atas sesuatu, terlebih dahulu aktor
melakukan serangkaian kegiatan olah mental, seperti: memilih, memeriksa,
mengelompokkan, membandingkan, memprediksi, dan mentransformasi makna
dalam kaitannya dengan situasi, posisi, dan arah tindakannya. Pemberian makna tidak
didasarkan pada makna normatif, yang telah dibakukan sebelumnya, tetapi hasil dari
proses olah mental yang terus-menerus disempurnakan seiring dengan fungsi
instrumentalnya, yaitu sebagai pengarahan dan pembentukan tindakan dansikap aktor
atas sesuatu tersebut.
Tindakan manusia tidak disebabkan oleh “kekuatan luar”, tidak pula disebabkan
oleh “kekuatan dalam”, tetapi didasarkan pada pemaknaan atas sesuatu yang
dihadapinya lewat proses yang oleh Blumer disebut sebagai self-indication. Proses self-
indication adalah proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui
sesuatu, menilainya, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak
berdasarkan makna tersebut. Dengan demikian, proses self-indication terjadi dalam
konteks sosial di mana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan
menyesuaikan tindakannya sesuai dengan pemaknaan atas tindakan itu.
Blumer mengatakan bahwa interaksi manusia dijembatani oleh penggunaan
simbol-simbol, oleh penafsiran, dan oleh kepastian makna dari tindakan orang lain,
bukan hanya sekedar saling bereaksi sebagaimana model stimulus-respons (Kamanto,
2000: 185).
44
Makna memiliki peran penting pada kehidupan sosial, sebab ia menjadi dasar
interaksi sosial dan mengarahkan tindakan kita pada oang lain. Konsekuensinya, ia juga
bisa membentuk sifat interaksi tersebut, akankah bersahabat, bertentangan, atau
berkompetisi. Makna akan menjadi sumber konflik atau pertentangan ketika satu
makna dianggap biasa, sementara bagi kelompok lain justru dipandang sakral, bahkan
sering kali ekstrem dimaknai sebagai representasi harga diri.
Karena itu, dalam masyarakat, makna harus dipahami secara subjektif. Bahkan, jika
ingin menciptakan keteraturan, masing- masing pihak harus berempati atas masing-
masing makna subjektif tersebut. Kalaulah tidak sepakat dengan makna pihak lain,
tetapi tidak harus ditunjukkan dalam bentuk sikap atau tindakan yang justru
melecehkan atau merendahkan pihak lain. (Susilo, 2016:163)
Makna dari simbol-simbol merupakan hasil dari interaksi sosial dalam masyarakat.
Individu dan masyarakat merupakan aktor dalam interaksi simbolik yang tidak dapat
dipisahkan. Tindakan individu tidak ditentukan oleh individu itu sendiri, juga tidak
ditentukan oleh masyarakat, namun oleh pengaruh keduanya. Dengan kata lain,
tindakan seseorang adalah hasil dari “internal dan eksternal stimulasi” (Sarmini, 2002:
53).