1 i pengantar 1.1 landasan konsep dan teori terjadinya kota

114
1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota Dalam sejarah, sebagian besar kota berasal dari komunitas bangsawan atau juga berkat adanya pasar sebagai tempat transaksi tukar menukar dan jual beli barang. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik di wilayah milik seorang bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan transaksi perdagangan guna memenuhi permintaan. Transaksi dagang hanya dapat terlaksana dengan bekerja ataupun dengan tukar menukar kemudian jual beli barang. Apabila kondisi demikian itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajar bila kota itu menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, bandanda, bhagawanta (keraton, puri) maupun tempat pasar, bencingah, wantilan, alun-alun dan lain-lainnya (Kartodirdjo, 1977). Landasan teori penemuan hari jadi kota Denpasar dan untuk memahaminya mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya dan unsur- unsur sosiokultural seperti yang terdapat di pelbagai negeri dan di pelbagai daerah di Nusantara (Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk mengidentifikasi, menemukan dan menyoroti sejarah kota Denpasar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kota- kota kuno di Asia termasuk munculnya kota-kota kuno atau kota-kota lama di Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia. Kota-kota di Asia banyak berpusat pada istana raja, keraton (pura atau puri) sedangkan pelbagai lembaga dan komunitas terletak di sekeliling kota itu. Ekotipe kota atau komunitas sosial yang berkembang di kota sangat ditentukan oleh pembagian pekerjaan antara lain pendeta, prajurit, pedagang, dan pengrajin. Mereka pada umumnya tinggal di lokasi yang terpisah-pisah. Di kota-kota kuno pada umumnya keraton (puri) menjadi pusat pemerintahan, perdagangan (pasar), kesenian dan kebudayaan. Pada masa lampau selama berabad-abad, permukaan kota hanya merupakan titik yang tidak berarti di tengah-tengah hutan rimba dan padang belantara. Kota kuno periode klasik Hindu/Budha di Nusantara pada umumnya didirikan dipedalaman dan dekat muara sungai-muara sungai besar

Upload: ngokiet

Post on 23-Dec-2016

238 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

1

I

PENGANTAR

1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

Dalam sejarah, sebagian besar kota berasal dari komunitas bangsawan atau

juga berkat adanya pasar sebagai tempat transaksi tukar menukar dan jual beli

barang. Kebutuhan ekonomi dan kebutuhan politik di wilayah milik seorang

bangsawan dapat mendorong orang untuk melakukan transaksi perdagangan guna

memenuhi permintaan. Transaksi dagang hanya dapat terlaksana dengan bekerja

ataupun dengan tukar menukar kemudian jual beli barang. Apabila kondisi demikian

itu merupakan konfigurasi yang berlainan dengan desa, maka wajar bila kota itu

menjadi tempat tinggal raja, para bangsawan, bandanda, bhagawanta (keraton, puri)

maupun tempat pasar, bencingah, wantilan, alun-alun dan lain-lainnya (Kartodirdjo,

1977).

Landasan teori penemuan hari jadi kota Denpasar dan untuk memahaminya

mengikuti sejarah perkembangan kota, lokasi serta ekotipenya, fungsinya dan unsur-

unsur sosiokultural seperti yang terdapat di pelbagai negeri dan di pelbagai daerah di

Nusantara (Kartodirdjo, 1977). Akan tetapi, untuk mengidentifikasi, menemukan dan

menyoroti sejarah kota Denpasar akan dipilih tipe kota yang relevan terutama kota-

kota kuno di Asia termasuk munculnya kota-kota kuno atau kota-kota lama di

Nusantara yang kemudian menjadi Indonesia. Kota-kota di Asia banyak berpusat

pada istana raja, keraton (pura atau puri) sedangkan pelbagai lembaga dan komunitas

terletak di sekeliling kota itu.

Ekotipe kota atau komunitas sosial yang berkembang di kota sangat

ditentukan oleh pembagian pekerjaan antara lain pendeta, prajurit, pedagang, dan

pengrajin. Mereka pada umumnya tinggal di lokasi yang terpisah-pisah. Di kota-kota

kuno pada umumnya keraton (puri) menjadi pusat pemerintahan, perdagangan

(pasar), kesenian dan kebudayaan. Pada masa lampau selama berabad-abad,

permukaan kota hanya merupakan titik yang tidak berarti di tengah-tengah hutan

rimba dan padang belantara. Kota kuno periode klasik Hindu/Budha di Nusantara

pada umumnya didirikan dipedalaman dan dekat muara sungai-muara sungai besar

Page 2: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

2

seperti Mataram, Kediri dan Majapahit di Jawa serta beberapa pulau besar lain

(Mahmud, 2003: 41; Rahman, dkk, 2000: 3). Wertheim (1959) memandang bahwa

semua aspek budaya yang lebih dahulu berakar di Indonesia berperan menentukan

konsep yang diterapkan pada kota kunonya. Kota kuno klasik Hindu/Budha

dikembangkan dan ditetapkan oleh raja sebagai wakil dewa (dewa raja).

Stuterheim menggambarkan mengenai aturan tempat tinggal di lingkungan

sekitar keraton Majapahit. Orang yang diijinkan mendirikan rumah disekitar keraton

hanyalah kerabat raja, abdi dalem (pelayan), sanak keluarga yang dipercayai, dan

pendeta yang memimpin upacara keagamaan. Sementara rakyat jelata bermukim di

luar pusat administrasi (Piagewd, 1962: 8-11). Dengan demikian dapat dikatakan

bahwa pusat kota kerajaan Hindu/Budha adalah keraton (puri). Di sekeliling keraton

(puri) terdapat tempat tinggal pembesar kerajaan dan kerabat raja di Bali dinamakan

jero, geriya, pasar, wantilan dan lain-lain. Dari aspek struktur ideologi kosmologi

kota keraton ditata menurut konsep keseimbangan utara-selatan, timur-barat, ciri

kosmologis itu mengaskan bahwa kota keraton klasik Hindu/Budha di Nusantara

juga bersifat religius-magis, yaitu selain berfungsi sebagai pusat politik dan

kebudayaan juga sebagai pusat keagamaan (Mahmud, 2003: 43). Sifat religius magis

kota keraton klasik Hindu/Budha berhubungan erat dengan pandangan orang Jawa

dan Bali bahwa raja (Dewa Agung, Cokor Dewa menjadi Cokorda) adalah wakil

Dewa dan keraton sebagai pusat dunianya (Mahmud, 2003: 43). Oleh Geertz (2000)

disebutnya suatu struktur halaman di dalam halaman berbentuk persegi yang

berdinding. Tata letaknya menirukan geometri yang dalam dari kosmos (buwana

agung dan buwana alit). Antara arah-arah utama dengan pusat yang tidak berarah

merupakan gabungan dari semua arah itu atau antara bentuk-bentuk maya dari mana

kekuasaan memancar dengan bentuk-bentuk nyata dalam mana kekuasaan itu

nampak. Keraton (puri) mengekspresikan secara arsitektural bahwa tempat duduk

raja adalah poros dunia (Geertz, 2000: 208-209).

Geertz (2000) juga menyatakan bahwa keraton (puri, puri agung) di Bali

sebenarnya hampir sama dengan kahyangan (pura). Jika kahyangan (pura) adalah

tempat persemayaman dewa dalam wujud yang abstrak, maka keraton (puri) adalah

tempat persemayaman raja yang merupakan penjelmaan dewa yang mengejawantah

pada diri manusia. Dengan demikian puri adalah “bangunan suci” dalam konsep

Page 3: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

3

religi (Geertz, 2000: ibid.; Munandar, 2005: 12). Kesimpulan Geertz ini didasarkan

kenyataan bahwa raja dalam sistem kerajaan di Bali adalah seorang yang dihormati

dan dimuliakan seluruh rakyatnya sehingga ia tidak boleh tampil sembarangan di

depan umum. Demikian pula keraton (puri) tempat tinggal sang raja dianggap

sebagai bangunan yang pantas dihormati atau bahkan disakralkan sesuai dengan

kedudukan raja tersebut. Sebab puri adalah bangunan tempat bertemunya dewa-dewa

dengan masyarakat, antara penguasa dengan bangsawan lainnya (Geertz, 2000;

Munandar, 2005: 13).

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa kemunculan kota Denpasar

berawal dari dibangun dan berfungsinya Puri Denpasar yang sejak semula menjadi

pusat pemerintahan, pusat kekuasaan raja Badung, kemudian termasuk pula pusat

aktivitas ekonomi yaitu pasar yang terletak disebelah selatannya (lihat Schets dalam

Gegevens, 1906). Demikian pula menjadi pusat kebudayaan dan aktivitas lainnya.

Teori terjadinya kota seperti melekat pada kota Denpasar yang berasal dari kota

keraton tidaklah sendirian. Akan tetapi beberapa kota di Nusantara muncul dan

berawal dari dibangunnya sebuah keraton atau pusat aktivitas lainnya, misalnya

pelabuhan, sungai. Beberapa contoh dapat disebutkan dari acuan pustaka.

1.2 Pustaka Acuan dan Pembanding

Beberapa pustaka dapat dijadikan acuan yang memberikan penjelasan tentang

dari jadi kota di Nusantara. Hal ini dapat dijadikan pembanding sekaligus landasan

bagi penemuan hari jadi dalam hal ini tanggal dan tahun kelahiran kota Denpasar

dalam proses waktu atau panggung pentas sejarah.

Dalam buku Jakarta Kota Perjuangan, Jakarta kota Proklamasi Januari

1945-Januari 1946, ditulis oleh Susantu Zuhdi, diterbitkan oleh Pemerintah DKI

Jakarta pada tahun 1995 dinyatakan bahwa hari jadi kota Jakarta jatuh pada tanggal

22 Juni 1527 (Susanto Zuhdi, 1995). Tentang jari jadi kota Jakarta, Susanto mengutip

pendapat dan temuan dari Soekanto dalam bukunya Dari Djakarta ke Djajakarta:

Sedjarah Ibukota Kita, terbit pada tahun 1954 (Soekanto, 1954: 60).

Dari segi ekotipe kota, Jakarta adalah tipe kota bandar atau pelabuhan di

Teluk Jakarta. Kota ini bermula dari sebuah komunitas pada masa kerajaan

Page 4: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

4

Tarumanegara dan kemudian menjadi bandar kerajaan Pajajaran dengan nama

Kalapa atau lebih dikenal sebagai Sunda Kalapa (Susanto Zuhdi, 1995: 5). Menurut

Soekanto, nama Sunda Kalapa diubah menjadi Jayakarta oleh Fatahillah pada tangal

22 Juni 1527 setelah pimpinan pasukan Demak ini mengalahkan tentara Portugis.

Nama Jayakarta yang dapat dilafalkan dengan beberapa nama: Jayakarta, Jakarta,

Jaketra atau Jacatra, Yacatra. Menurut sumber-sumber Portugis dan ekspedisi

Cornelius de Houtman (1596) sesungguhnya telah berumur lebih dari empat abad

(Susanto Zuhdi, 1995; A. Heuken SJ, 1999, I: 77; II: 13-17).

Ketika Belanda dengan VOC (kongsi dagang Hindia Timur) menancapkan

kukunya di bumi Nusantara, nama Jayakarta diganti menjadi Batavia, yaitu nama

benteng Belanda di Jayakarta pada tanggal 12 Maret 1619 (A. Heuken SJ, 1999, II:

144-145). Namun, ketika Jepang berhasil menggantikan kekuasaan kolonialisme

Belanda di Batavia, Pemerintah Jepang mengubah nama Batavia menjadi Jakarta

pada tanggal 8 Desember 1942 (Susanto Zuhdi, 1995: 5). Setelah Proklamasi

Kemerdekaan Indonesia, Pemerintah Republik Indonesia (RI) memutuskan Jakarta

menjadi ibukota Negara RI pada tanggal 18 Agustus 1945 (Risalah Sidang BPUPKI,

PPKI, 1945: 412). Meskipun telah terjadi beberapa kali perubahan nama namun

Pemerintah DKI Jakarta menetapkan bahwa hari jadi kotanya selalu mengacu pada

tanggal 22 Juni 1527, yaitu momentum kemenangan perang (Jayakarta) dan bukan

momentum pada tanggal lainnya seperti proses perubahan nama seperti yang pernah

terjadi pada kota Jakarta (Wirawan, dkk, 2004: 6).

Sebuah buku yang diberi judul Syarif Abdurrahman Alkadri Perspektif

Sejarah Berdirinya Kota Pontianak oleh penulisnya yang diterbitkan Pemerintah

Kota Pontianak pada tahun 2000 memberikan gambaran tentang proses lahirnya kota

Pontianak, Kalimantan Barat. Penulis menggambarkan kembali fenomena historis

kelahiran kota Pontianak dengan menggunakan momentum berdirinya kerajaan atau

Kasultanan Pontianak dan tokoh pendirinya yaitu Syarif Abdurrahman Alkadri.

Pengalamannya mengembara dan suksesnya berdagang mendorong dia untuk

mendirikan pusat perdagangan dan pusat kekuasaan Islam di Pontianak. Tokoh putra

asli Kalimantan Barat ini kemudian menjadi Sultan yang membangun dan

mendirikan Kasultanan Pontianak yang berdaulat penuh dan otonom pada tanggal 23

Oktober 1771 (Ansor Rahman, dkk, 2000). Dewasa ini, Pemerintah Kota Pontianak

Page 5: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

5

merayakan hari jadi kotanya pada tonggak sejarah peranan raja Islam (Sultan) Syarif

Abdurrahman Alkadri (1739-1808) membangun Kasultanan Pontianak pada tanggal

23 Oktober 1771.

Sebuah kajian penelitian yang dilakukan oleh tim dari Jurusan Sejarah

Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta tentang hari jadi kota Yogyakarta ditandai

oleh momentum dibangun dan difungsikannya Keraton Ngayogyakarta-Adiningrat

sebagai pusat pemerintahan Kasultanan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-

1792) pada tanggal 7 Oktober 1756, setahun setelah penobatannya. Temuan tim

sejarawan UGM menyimpulkan, apa yang diperingati sebagai hari jadi kota

Yogyakarta yang didasarkan pada keputusan Pemerintah RI tentang Kotapraja

Yogyakarta pada tanggal 7 Juni 1947 perlu ditinjau ulang. Alasannya ialah kota

Yogyakarta dengan segala kelengkapannya dan dinamikanya sudah ada jauh sebelum

tanggal 7 Juni 1947, yaitu pada tanggal 7 Oktober 1756. Oleh karena tanggal yang

disebut terakhir ini adalah sebuah momentum yang sangat monumental, yaitu saat Sri

Sultan Hamengku Buwono I masuk dan menempati Keraton Ngayogyakarta-

Adiningrat (Tim Pengkaji, 2003). Dari nama keraton itu, sebelumnya sudah pernah

diterbitkan sebuah buku yang berjudul Kota Jogjakarta 200 Tahun yang diterbitkan

panitia peringatan pada tanggal 7 Oktober 1956. Di dalam buku peringatan Kota

Jogjakarta 200 Tahun dijelaskan bahwa dari nama sebuah keraton pusat

pemerintahan dan ibukota Negara Ngayogyakarta-Adiningrat dijadikan nama ibukota

selanjutnya sesuai dengan perubahan statusnya.

Sejak 5 September 1945 menjadi ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kemudian sejak 4 Januari 1946 menjadi ibukota sementara Republik Indonesia.

Selanjutnya ibukota Yogyakarta termasuk lingkungan Kabupaten Kota. Dengan

dihapusnya Kabupaten Kota, ibukota Yogyakarta mendapat kedudukan daerah

otonom dengan nama Haminte Yogyakarta. Kemudian sejak tanggal 7 Juni 1947

diubah menjadi Kotapraja Yogyakarta (Panitya Penerbitan, 1956: 31, 33). Dari

gambaran proses perubahan status kota secara yuridis formal tidak mengurangi

peranan dari aspek historis kelahirannya untuk Yogyakarta dikembalikan pada

momentum berdirinya keraton sebagai cikal bakal kotanya.

Page 6: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

6

II

DENPASAR SEBAGAI KOTA KERAJAAN TRADISIONAL

2.1. Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Badung

Berdasarkan sumber-sumber sejarah yang berhubungan dengan bekas-bekas

atau bukti-bukti peninggalan masa lampau dapat diketahui, bahwa spasial yang

kemudian menjadi wilayah Kerajaan Badung adalah tempat produk artefak,

diantaranya: “Prasasti Blanjong” di Sanur berangka tahun 913 Masehi. Pura

Maospahit Grenceng dan Tonja, Sumerta abad ke-14. Bukti tinggalan artefak Pura

dengan langgam arsitekturnya, institusi dan lain-lainnya memberikan fenomena

kehidupan komunitas yang sudah teratur.

Dari sisi bentang alam, wilayah Badung bercirikan kawasan agraris dan

dikelilingi pantai yang cocok untuk pelabuhan. Oleh karena itu selain pertanian dapat

juga dikatakan aktivitas perdagangan laut cukup tua usianya (Kuta, Sanur).

Pelabuhan ini sering didatangi pedagang-pedagang dari luar, berinteraksi melalui

tukar-menukar barang dagangan dan unsur-unsur sosiokultural antar etnik. Fenomena

yang berlangsung selama 4 abad lebih sebelum dibangunnya institusi kerajaan sangat

menarik untuk direkonstruksi meskipun informasi yang ada belum memadai. Oleh

karena itu masih perlu digali sumber-sumbernya. Akan tetapi disepakati bahwa

institusi dan komunitas kuno telah terbentuk berupa desa dan subak sebagai wadah

berinteraksi para warganya. Artinya kehidupan masyarakatnya lebih menunjukkan

corak agraris yang didukung pula aktivitas bahari karena wilayahnya dikelilingi

lautan di sisi Barat, Selatan hingga di sisi Timur (Kuta, Kedonganan, Jimbaran dan

Sanur). Selain nelayan dikawasan pantai itu juga dikenal produksi garamnya.

Produksi kerajinan seperti gerabah (penyobekan) juga menunjukkan corak kuno

seperti yang masih dibuat di Desa Lumintang (Boon, 1938: 3-4).

Institusi di tingkat supra desa terbentuk berupa wilayah yang dikepalai oleh

Anglurah dan kemudian menjelma menjadi Raja. Proses demikian dapat dilacak

awalnya pada abad ke-14 ketika terjadi ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh

Mahapatih Gajah Mada bersama-sama para Arya pada tahun 1343. Salah seorang

Arya yang memegang peranan dalam membangun institusi kerajaan di badung dan

Page 7: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

7

Tabanan ialah Arya Kenceng. Dia adalah salah seorang Arya Ksatriyeng Kahuripan

yaitu keturunan Raja Kahuripan di Jawa Timur (Raja Purana Kenceng; K.M.

Suhardana, 2006: 44-45). Ketika ekspedisi Gajah Mada digelar, Arya Kenceng

menjadi Panglima untuk menyerang laskar Kerajaan Bedahulu Bali dari arah Selatan.

Setelah ekspedisi berhasil Arya Kenceng tinggal menetap di Desa Buahan, Tabanan

(Babad Tabanan, Usana Jawa, Gora Sirikan, II).

Di dalam Babad Tabanan dijelaskan bahwa Arya Kenceng yang

berkedudukan di Desa Pucangan atau Buahan penguasa Tabanan menurunkan empat

putra putri, buah perkawinannya dari dua ibu. Dua putra beribu seorang putri

Brahmanawangsa dari Ketepeng Reges Majapahit, yaitu Dewa Raka bergelar Sri

Magada Prabu dan adiknya bernama Dewa Made bergelar Sri Magada Nata. Putra

ketiga lahir dari lain ibu diberi nama Kyayi Tegeh atau Tegeh Kori dan adiknya

bungsu adalah seorang putri diberi nama Istri Tegeh Kori. Sri Magada Prabu

menggantikan kedudukan ayahnya berkuasa di Buahan Tabanan. Oleh karena tidak

berputra sampai meninggal, maka kedudukannya digantri oleh adiknya yaitu Sri

Magada Nata yang bergelar pula Sirarya Ngurah Tabanan. Adik Sri Magada Nata

yang bernama Kyayi Tegeh Kori diberi tugas oleh raja Bali (Dalem) di Samprangan

menjadi penguasa di Badung berkedudukan di Desa Tegal disebelah Selatan setra

Badung (Babad Tabanan: 11b-12b).

Kedudukan Sri Magada Nata semasih hidupnya digantikan oleh putranya

yaitu Kyayi Langwang berhak memakai gelar Sirarya Ngurah Tabanan. Kyayi

Langwang pindah dari Buahan membangun tempat tinggal baru di Tabanan. Setelah

kedudukan diserahkan kepada Kyayi Langwang, Sri Magada Nata pergi dari Buahan

membangun tempat peristirahatan di Kubon Tinggu. Disitu sempat menikah dengan

putri Bendesa Pucangan, melahirkan seorang putra diberi nama Kyayi Ketut Bendesa

atau Kyayi Ketut Pucangan. Menginjak dewasa kelihatan tanda-tanda kesaktiannya

yaitu dahinya memancarkan sinar. Pernah diuji kesaktian oleh kakaknya yang

bernama Kyayi Anglurah Langwang. Kepada adiknya (Kyayi Ketut Bendesa)

diminta untuk menebang dahan ranting pohon beringin yang angker tumbuh

disebelah Puri. Atas tugas yang sukses dilaksanakan, Kyayi Ketut Bendesa diberi

julukan Kyayi Notor Wandira.

Page 8: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

8

Kyayi Ketut Bendesa yang diberi gelar juga Notor Wandira mempunyai

kesukaan melakukan yoga semadi ke pura mengajak pengiring setia bernama Ki

Tambyak. Atas keteguhan hati melakukan yoga semadi di Pura Panorajon

memperoleh petunjuk melanjutkan perjalanan hingga ke Pura di Pelinggih Ida Batari

Danu. Disini yoga semadinya memperoleh berkah sabda agar Kyayi Ketut Bendesa

memandang daerah yang ditunjuk dan dilihatnya gelap (Badeng). Kyayi Ketut

Bendesa diberi anugrah pula berupa cambuk (pecut) dan sumpit (tulup). Semua

pengalaman yoga semadi yang memperoleh berkah dilaporkan kepada ayahnya Sri

Magada Nata kemudian menganugrahkan sebuah keris pusaka bernama “Ki Cekle”

kepada putranya.

Ketika terjadi kekosongongan penguasa di Puri Penatih maka atas titah

Dalem di Gelgel kepada Arya Magada Nata untuk memperkenankan adiknya yang

bernama Kyayi Tegeh menjadi penguasa. Dalem menyetujui Kyayi Tegeh menjadi

pengganti I Gusti Ngurah Penatih dengan gelar Kyayi Tegeh Kori, yang kemudian

menetap di Puri Tegeh Kori di daerah Tegal. Oleh karena itu Kyayi Tegeh Kori

menjadi penguasa di Badung.

Berdasarkan anugrah petunjuk Ida Batari Ulun Danu, Kyayi Ketut Bendesa

bersama seorang istri dan seorang putranya bernama Kyayi Gde Raka serta pengiring

setianya Ki Tambyak menuju Puri Tegeh Kori di Badung untuk mengabdikan

dirinya. Atas pengabdiannya yang setia, maka dia menjadi putra angkat diberi nama

Kyayi Nyoman Tegeh dipersaudarakan dengan kedua putra kandungnya yang

bernama Kyayi Gede Tegeh dan Kyayi Made Tegeh.

Kyayi Ketut Bendesa (Nyoman Tegeh) berputra Kyayi Gede Raka atau Kyayi

Pasak. Kyayi Gede Raka berputra Kyayi Bebed yang ditugaskan oleh Kyayi Tegeh

Kori atas perintah Dalem untuk menumpas pemberontakan Kyayi Ngurah Janggaran

dari Sidemen. Perang tanding antara Kyayi Ngurah Janggaran melawan Kyayi Bebed

berlangsung lama dan tidak ada yang kalah. Keduanya sama-sama menderita luka.

Akan tetapi setelah Kyayi Ngurah Janggaran mengetahui Kyayi Bebed mampu

menyembuhkan lukanya sendiri, maka Kyayi Ngurah Janggaran dengan jujur ksatria

menyatakan diri kalah. Pernyataan itu mengakhiri perang tanding dengan

kemenangan Kyayi Bebed. Namun bekas luka menyebabkan kulit Kyayi Bebed yang

Page 9: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

9

sembuh mengkerut seperti kayu pule maka Dalem member nama kehormatan kepada

Kyayi Bebed dengan gelar Kyayi Jambe Pule atau Kyayi Biket.

Kyayi Jambe Pule mempunyai tiga istri. Permaisuri pertama bernama Istri

Jambe Harum melahirkan seorang putra bernama Kyayi Ngurah Jambe Merik

membangun Puri Alang Badung dan seorang putri bernama Gusti Ayu Made Jambe

dengan Dalem Dimade melahirkan putra bernama Dewa Agung Jambe peletak dasar

Kerajaan Klungkung. Permaisuri kedua Istri Penataran melahirkan seorang putra

bernama Kyayi Ngurah Pemedilan atau Kyayi Ngurah Pemecutan membangun Puri

Pemecutan. Istri Penawing Wija dari Desa Tumbak Bayuh Badung bernama Niluh

Tameng (Jro Kame) melahirkan seorang putra yaitu Kyayi Ngurah Tumbak Bayuh

atau Kyayi Ngurah Gelogor, membangun Puri Gelogor.

Kehadiran tiga kekuasaan bersaudara yang baru ini, di Puri Alang Badung,

Puri Pemecutan dan Puri Gelogor mengkhawatirkan penguasa lama di daerah

Badung yaitu Kyayi tegeh Kori di Puri Tegal. Kyayi Tegeh Kori berkeyakinan

bahwa ketiga kekuatan itu lebih mendapat perhatian dan kepercayaan dari

pemerintah pusat di kerato Sweca Linggarsapura Gelgel. Hal ini beralasan karena

ketiga bersaudara itu adalah ipar dari penguasa Bali Dalem Dimade. Untuk

mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul maka Kyayi Tegeh Kori

mempertunangkan seorang putrinya dengan I Gusti Jambe Mihik (Merik) di Puri

Alang Badung. Akan tetapi sesudah pertunangan disahkan, Kyayi Tegeh Kori

berubah pikiran lantaran kehadiran lamaran penguasa Kyayi Ngurah Agung di Puri

Jero Gede Pupuan Mengwi (Raja Purana Kenceng, Gora Sirikan, II). Persetujuan

atas lamaran penguasa Puri Pupuan Mengwi itu membangkitkan amarah I Gusti

Jambe Mihik karena rasa malu dan dihinakan. I Gusti Jambe Pule bersama putra-

putranya berunding untuk menyerang Kyayi Tegeh Kori. Akan tetapi sebelum

gerakan laskar Jambe Pule sampai di Puri tegal, Kyayi Tegeh Kori sudah lebih dulu

meninggalkan Purinya mengungsi ke Mengwi. Dari Mengwi kemudian beralih dan

menetap di Desa Tegal Tamu. Akibat lebih jauh seluruh daerah Badung jatuh

dibawah kekuasaan Puri Alang Badung dan Puri Pemecutan.

Berkat kerjasama kedua raja kakak beradik maka dapat dikatakan Kerajaan

Badung mulai berdiri diatas kekuatannya sendiri. Kedaulatan Kerajaan Badung dapat

dibuktikan dari keberaniannya menentang kekuasaan Gelgel terutama setelah

Page 10: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

10

dikendalikan oleh Kyayi Agung Dimade atau Sagung Maruti (1651-1677).

Keberanian Kerajaan Badung menentang kekuasaan di Gelgel terbukti dari

kebebasannya bertindak mengadakan hubungan langsung dengan persekutuan

dagang kompeni (VOC) bangsa Belanda tanpa berunding terlebih dahulu dengan

kekuasaan di Gelgel. Kerajaan Badung sudah member ijin kepada kompeni (VOC)

Belanda mendirikan sebuah kantor dagang di pelabuhan Kuta pada tahun 1660.

Kantor dagang VOC itu berfungsi untuk menimbun hasil bumi yang dibeli dari Bali

dan juga untuk perdagangan budak yang banyak memberi keuntungan bagi kompeni

pada abad 17-18 (Gora Sirikan, II).

Ketika pangeran (Dewa Agung) Jambe putra Dalem Dimade menggulingkan

kekuasaan Kyayi Agung Dimade di Gelgel pada tahun 1677 ternyata laskar Kerajaan

Badung dibawah pimpinan I Gusti Jambe Pule (Pemedilan) ikut membantu

menyerang dari pantai Selatan. Perang tanding yang terjadi di pantai Batu Klotok

antara Jambe Pule melawan Dukut Kerta, keduanya tewas. Untuk memperingatinya

diberi gelar Dewata ring Batu Klotok. I Gusti Jambe Pule (Pemedilan) diganti oleh

putranya yang bernama I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Sejak kekuasaannya

kebesaran Puri Pemecutan menanjak dan wilayah Kerajaan Badung bertambah luas.

Keraton (Puri) Pemecutan dapat dipandang sebagai sumber pemusatan keluarga

Jambe Pule. Puri Pemecutan dapat dianggap sebagai modal perjuangan untuk

memperluas kekuasaan di Kerajaan Badung. Lebih-lebih sejak perkawinan agung

antara I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan dengan putri mahkota Kerajaan Mengwi yang

bernama I Gusti Ayu Bongan. Setelah pernikahan itu maka wilayah Kerajaan

Badung di Puri Pemecutan bertambah luas. Putri mahkota Mengwi Gusti Ayu

Bongan mendapat hadiah dari ayahnya sebagian wilayah Kerajaan Mengwi yaitu

Dalung, Gaji, Kuta, Jimbaran sampai Bukit Pecatu diserahkan kepada Raja Badung

di Puri Pemecutan I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan (Gora Sirikan, II)

Penguasa dan raja di Puri Pemecutan menggunakan kata “Sakti” untuk

memperingati kemenangannya atas serangan laskar (Panji Sakti) dan menggalkan

penyerangan Raja Panji Sakti dari Kerajaan Buleleng. Sebagai peringatan atas

kemenangan itu maka medan laga itu disebut “Taen Siat” dan sebuah gong milik

Kerajaan Buleleng dapat dirampas kemudian dijadikan pusaka Puri Pemecutan diberi

nama “Gagak Ora”. Maknanya ialah apabila ditabuh laksana suara burung gagak

Page 11: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

11

yang riuh rendah menakutkan sekalian musuh yang mendengarkan. Selain itu, raja

Panji Sakti mempersembahkan sebuah Bale Kulkul yang masih berdiri dipojok

perempatan Pemecutan saat ini.

Kemasyuran namanya ditandai pula dengan banyak punya istri yang menjadi

cikal bakal kerabat dan mereka masing-masing membangun puri-puri disekeliling

Puri Pemecutan. Upaya ini dilakukan untuk mendukung sakti kekuasaan Puri

Pemecutan. Salah seorang putranya lahir dari Istri Padmi I Gusti Ayu Bongan

bernama I Gusti Gde Oka pindah dari Puri Pemecutan membangun Puri Kaleran.

Kemudian putranya yang bernama I Gusti Ngurah Gde diangkat manca untuk

memperkuat kekuasaan raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan. Mereka telah

membawa tahta kekuasaan Kerajaan badung Puri Pemecutan mencapai puncak

kebesarannya (Gora Sirikan, II). Ketika Raja Mengwi wafat pada tahun 1722,

sumber VOC menyebut bahwa pembesar Kerajaan Badung adalah Raja Pemecutan.

Dapat diketahui pula bahwa Raja Pemecutan pada waktu itu telah mengadakan

hubungan perdagangan dengan orang-orang Belanda di Batavia. Bahkan para

pedagang dari badung sudah memiliki perahu dagang yang mampu mengangkut

barang dagangan dan penumpang para budak, jumlah mereka 60-70 orang sebagai

dagangan (Nordholt, 2006: 37).

Memuncaknya kebesaran Puri Pemecutan juga karena ditopang oleh raja di

Puri Alang Badung disebelah Timur Tukad badung sampai awal abad ke-18. Akan

tetapi setelah raja I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan wafat, maka cahaya kebesaran

Puri Pemecutan meredup maka kemudi Kerajaan Badung didominasi oleh kendali

Gusti Jambe Ketewel (Gora Sirikan, II). Pemegang kekuasaan di Puri Alang Badung

ialah I Gusti Jambe Ketewel putra I Gusti Jambe Tangkeban atau cucu I Gusti Jambe

Mihik (Merik) pendiri Puri Alang Badung. Pada masa itu pemegang kekuasaan di

Puri Pemecutan adalah I Gusti Gde Rai putra I Gusti Ngurah Sakti Pemecutan atau

cucu Kyayi Ngurah Pemedilan (Pemecutan). Oleh karena I Gusti Jambe Ketewel

yang bertahta di Puri Alang Badung lebih tua usianya dari pada I Gusti Gde Rai yang

bertahta di Puri Pemecutan. Sebaliknya cahaya kebesaran Puri Alng Badung

memuncak pada decade ketiga abad ke-18.

Ketika I Dewa Agung Anom putra I Dewa Agung Jambe Raja Klungkung

membangun keraton dan mendirikan Kerajaan Sukawati, ternyata I Gusti Jambe

Page 12: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

12

Ketewel bertindak atas nama Kerajaan Badung. Raja Jambe Ketewel ikut serta

menegakkan kerajaan itu bersama-sama dengan raja-raja di Kerajaan Mengwi dan

Tabanan. Atas dukungan itu, I Dewa Agung Anom raja Sukawati berkenan

menyrahkan sebuah desa bernama Batubulan untuk menjadi milik Kerajaan Badung.

Hubungan kekerabatan yang sangat akrab antara raja Badung di Puri Alang

Badung dengan I Dewea Agung Anom di Puri Sukawati menyangkut pula pewarisan

kekuasaan pewaris raja I Gusti Ngurah Jambe Ketewel. Seorang putra yang

merupakan titisan I Dewa Agung Anom di Puri Sukawati lahir bernama I Gusti

Jambe Aeng menjadi pewaris tahta di Puri Alang Badung. Sebagai pertanda titisan

Ksatria Dalem kepada I Gusti Jambe Aeng dan keturunannya maka secara turun-

temurun berhak menggunakan pengusung jenazah (bade) yang menggunakan dasar

Bedawangnala dan Nagabanda sebagai upakara dalam pitra yadnya (Babad Dalem

milik Puri Sukawati). I Gusti Jambe Aeng pewaris tahta di Puri Alang Badung

memindahkan keratonnya dan membangun keraton baru yang diberi nama Puri Satria

pada tahun 1750. Puri Satria adalah sebuah nama yang dikaitkan dengan raja I Dewa

Agung Anom di Puri Sukawati untuk mengabadikan nama wangsa atau trah Ksatria

Dalem (Gora Sirikan, II).

Pembangunan keraton baru di Puri Satria oleh I Gusti Jambe Aeng tidaklah

menambah kekuasaan baru namun ciri kekuasaan kembar ke dalam dan kekuasaan

tunggal Kerajaan Badung ke luar tetap berlangsung mengikuti jejak pendahulunya.

Dalam praktek nampak bahwa secara bergantian raja-raja di Puri yang ada

memegang kendali Kerajaan Badung. Pada masa raja I Gusti Gde Rai di Puri

Pemecutan dan Raja Gusti Jambe Aeng di Puri Satria secara bergantian memegang

kendali Kerajaan Badung. Keduanya mampu mengendalikan keamanan dan

ketentraman. Mereka senantiasa bersatu dan bekerjasama demi kebesaran dan

kesentosaan kehidupan di Kerajaan Badung.

2.2. Keraton (Puri) Denpasar Sebagai Pusat Pemerintahan Ibukota Kerajaan

Badung Tahun 1788

Raja I Gusti Jambe Aeng di Puri Satria (1750) wafat diganti oleh putranya

bernama I Gusti Ngurah Jambe Ksatria (sampai 1779) yang sangat lemah dalam

Page 13: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

13

mengendalikan pemerintahan. Kelemahan ini dipakai kesempatan oleh I Gusti

Ngurah Rai adik I Gusti Ngurah Made seorang manca di Puri Kaleran, bawahan dan

cucu raja di Puri Pemecutan. Niat dan ambisinya ditujukan kepada raja penguasa

yang sangat lemah di Puri Satria. I Gusti Ngurah Rai terlebih dahulu mengadakan

perundingan dengan Dewa Manggis raja di Kerajaan Gianyar. Raja Gianyar sanggup

membantu usaha I Gusti Ngurah Rai. Untuk melaksanakan niatnya, dia sengaja

mencari alasan perselisihan dengan raja di Puri Satria. Upaya ini berhasil

mengakibatkan Puri Satria dikepung oleh laskar I Gusti Ngurah Rai bersama

saudaranya dan I Gusti Ngurah Made yang dibantu laskar Gianyar. Serangan

gabungan ini berhasil dan Raja I Gusti Ngurah Jambe Ksatria tewas (1779) di tangan

I Gusti Ngurah Rai. Sebelum tewas tahta kekuasaan diserahkan kepada I Gusti

Ngurah Made. Sebaliknya I Gusti Ngurah Rai karena kecurangannya dikutuk.

Bekas kekuasaan Puri Satria jatuh dibawah genggaman I Gusti Ngurah Made

penerima tahta dari I Gusti Ngurah Jambe Ksatria. Sejak itu dia diakui oleh rakyat

Badung sebagai seorang raja yang mempunyai kekuasaan besar. Oleh karena Puri

Satria rusak, maka I Gusti Ngurah Made mendirikan keraton baru yang dijadikan

pusat untuk mengendalikan pemerintahannya. Keraton baru itu mengambil lokasi di

sebelah Selatan Puri Satria, dan karena didirikan dilokasi taman Denpasar yang

letaknya di sebelah Utara pasar maka setelah selesai diberi nama Puri Denpasar pada

tahun 1788 (lihat Schets). Setelah I Gusti Ngurah Made berkedudukan di Puri

Denpasar maka berhak menggunakan gelar seorang raja yaitu I Gusti Ngurah Made

Pemecutan (1788-1813) mengingat keturunannya dari Puri Pemecutan. Sebgaia

Bagawanta kerajaan yang tidak bisa dipisahkan sejak kehadiran Raja Denpasar I

ialah Ide Pedanda di Geriya Sanur kemudian lebih dikenal Geriya Jero Gde Sanur

hingga sekarang.

Dari pihak raja di Puri Pemecutan pun mengakui kekuasaan raja di Puri

Denpasar. Sementara itu untuk menepati janji I Gusti Ngurah Rai terhadap raja

Gianyar yang telah membantunya, maka Raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan

menyerahkan Desa Batubulan menjadi wilayah Kerajaan Gianyar. Janji lainnya ialah

wasiat yang diberikan oleh raja I Gusti Ngurah Jambe Ksatria di Puri Satria sebelum

tewas, yaitu menyerahkan permaisuri yang masih hamil kepada I Gusti Ngurah Made

Pemecutan disertai syarat. Syarat dan wasiat itu menyatakan bahwa kelak apabila

Page 14: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

14

lahir anak laki-laki maka dia yang berhak menduduki tahta kerajaan (Ida Cokorda

Denpasar IX; Gora Sirikan, II).

Gambar 1

SCHETS VAN DENPASAR EN PAMETJOETAN

Page 15: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

15

2.3. Raja-raja yang Berkuasa di Keraton (Puri) Denpasar hingga Hancurnya

Puri Denpasar

I Gusti Ngurah Made Pemecutan adalah raja pertama dari Puri Denpasar yang

memperluas hegemoni Kerajaan Badung. Pernah menyerang dan menguasai

Kerajaan Jembrana (1805-1818). Namun pada tahun 1818 direbut oleh raja Buleleng

dan ditempatkan di bawah hegemoni Buleleng (Utrecht, 1962: 101). Pada tahun

1810, I Gusti Ngurah Made Pemecutan membagi daerah kekuasaannya kepada dua

orang putranya yaitu I Gusti Gde Ngurah dan I Gusti Gde Kesiman sebelum dia

wafat pada tahun 1813. Tahta di Puri Denpasar diwariskan kepada I Gusti Gde

Ngurah setelah dinobatkan bergelar I Gusti Ngurah Jambe, Raja Denpasar II (1813-

1817). Sedangkan I Gusti Gde Kesiman mengalih dari Puri Denpasar dan mendirikan

Puri Kesiman. Dialah raja Kesiman I (1813-20 November 1865).

Oleh pemerintah Belanda I Gusti Gde Kesiman adalah seorang raja yang

terkemuka di Kerajaan Badung. Dia dapat mempengaruhi Dewa Agung raja

Klungkung karena seorang putrinya yang bernama I Gusti Ayu Jambe menjadi

permaisuri dari Raja Klungkung VIII yang bergelar Dewa Agung Putra III.

Perkawinan agung itu diselenggarakan pada tanggal 19 Agustus 1854. Raja I Gusti

Gde Kesiman cakap berdiplomasi baik dengan pemerintah Belanda maupun dengan

pihak kerajaan tetangga di Bali. Pengaruhnya semakin besar di Kerajaan Badung,

sesudah saudaranya yaitu I Gusti Ngurah Jambe raja Denpasar II wafat (1813-1817).

Penggantinya ialah I Gusti Made Ngurah, Raja Denpasar III (1817-1829). Karena

masih muda ternyata dapat dipengaruhi oleh pamannya di Puri Kesiman yang

semakin kuat pengaruhnya.

I Gusti Gde Kesiman dianggap cakap dan dapat menciptakan kerjasama atas

dasar saling pengertian antara tiga kekuasaan (Puri Pemecutan, Puri Denpasar, dan

Puri Kesiman) sehingga Kerajaan Badung merupakan kekuatan yang disegani oleh

kerajaan-kerajaan tetangga. Kemampuannya bebahasa Melayu, I Gusti Gde Kesiman

tidak canggung lagi berkomunikasi dengan orang-orang asing yang datang berniaga

di Kerajaan Badung (Gora Sirikan, II; ANRI, 1964).

Sejak kemudi dipegang oleh I Gusti Gde Kesiman tampak Kerajaan Badung

semakin ramai dikunjungi oleh pedagang-pedagang asing dari luar pulau Bali.

Bandar Kerajaan Badung yaitu Kuta, Benoa dan Sanur menarik minat pedagang-

Page 16: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

16

pedagang asing untuk berniaga di sana. Untuk memperlancar perdagangannya I Gusti

Gde Kesiman berusaha memperbaiki hubungan dagang yang menghubungkan

kerajaan disekitarnya antara lain jalan menuju Kerajaan Tabanan, Mengwi dan

Gianyar. Salah satu jalan perdagangan penting adalah jalan perdagangan dari

Kesiman menuju Kuta yang menurut laporan van Eck melalui Pagan, Tatasan, Tonja,

Denpasar, Titih, Alang Badung, Suci, Alang Kajeng, Celagi Gendong, Gelogor,

Tegal, Monang Maning, Tenten, Buagan, Abian Timbul dan akhirnya Kuta (van Eck,

TNI, I 1880: 214).

Di keraton (Puri) Denpasar, I Gusti Gde Ngurah naik tahta menjadi raja

Denpasar IV (1829-1848) bergelar pula “Cokorda Denpasar”. Dari gelar ini sudah

dapat dinyatakan bahwa dia adalah salah seorang raja terkemuka di Kerajaan badung

pada masa itu. Meskipun peranan raja I Gusti Gde Kesiman tetap penting. Peranan

ini dijalankan terus walau terjadi suksesi baik di Puri Denapsar maupun di Puri

Pemecutan. Akan tetapi setelah I Gusti Gde Kesiman wafat pada tahun 1865 maka

pucuk pimpinan Kerajaan badung mulai pindah ke Puri Denpasar.

Di Puri Denpasar ada tiga raja yang memerintah sebelum meletusnya Puputan

Badung yaitu I Gusti Gde Ngurah sebagai Raja Denpasar V (1863-1883), dan I Gusti

Alit Ngurah sebagai Raja Denpasar VI (1883-1902) yang menggunakan gelar I Gusti

Ngurah Jambe Pemecutan. Raja yang disebut terakhir diganti oleh I Gusti Ngurah

Made Agung menjadi Raja Denpasar VII (1902-20 September 1906). Raja Denpasar

VII, I Gusti Ngurah Made Agung dan Raja Pemecutan VIII, I Gusti Ngurah

Pemecutan (Desember 1890-20 September 1906) gugr dalam Puputan Badung. Raja

Kesiman IV, I Gusti Ngurah Agung (1890-1906) wafat terbunuh oleh “Dewata ring

Keris” pada awal September 1906 (Gora Sirikan, II).

Page 17: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

17

III

DENPASAR SEBAGAI KOTA MODERN

3.1. Menjadi Ibukota Modern Kolonial

Perkembangan kota-kota kolonial atau kota-kota Indies pada tahun 1900-

1940-an sejalan dengan meningkatnya perkembangan perekonomian pada sektor-

sektor tertentu, seperti pertambangan, perkebunan, perdagangan, dan perindustrian.

Perkembangan kota yang terjadi pada masa itu memiliki ciri khas yaitu menjadi basis

kelahiran kaum urban baru, yang terdiri dari kaum terpelajar, birokrat atau priyayi,

kaum profesional, kaum pengusaha dan pedagang dari kalangan Bumi putera atau

Pribumi di luar kelas menengah yang berasal dari kalangan orang asing Timur, yaitu

orang Cina. (Djoko Suryo, 2004: 1). Kelompok-kelompok masyarakat tersebut

merupakan pendukung berkembangnya suatu kota sehingga kota menjadi pusat

modernisasi. Di Indonesia pada masa kolonial berkembang kota-kota besar baik di

Jawa maupun di luar Jawa sebagai pusat pemerintahan kolonial.

Berkembangnya kota kolonial di Bali tidak lepas dari upaya pemerintah

kolonial Belanda dalam mewujudkan cita-cita Pax Neerlandica, yang menginginkan

agar keamanan dan ketertiban dapat diciptakan di seluruh wilayah Hindia Belanda di

bawah naungan alat-alat kekuasaan kolonial Belanda. Perhatian pemerintah kolonial

terhadap daerah luar Jawa termasuk Kerajaan Badung tidak bisa dilepaskan dari

perkembangan politik internasional pada saat itu dengan munculnya kekuatan Inggris

sebagai salah satu saingan kolonial Belanda di Nusantara terutama di kawasan timur

Nusantara.(Utrech, 1962: 176-179). Hal inilah yang mendorong pemerintah kolonial

Belanda untuk menjalin hubungan dan selanjutnya dapat menaklukkan kerajaan-

kerajaan di Bali. Dalam kurun waktu 1846-1868 pemerintah Belanda dengan susuah

payah dan pengorbanan yang cukup besar telah berhasil menaklukkan Bali Utara

(Nijpels, 1897).

Setelah berhasil menguasai Bali Utara, ekspedisi militer Belanda dilanjutkan

ke Bali Selatan, namun kematian Mayor Jenderal Michiels, seorang jenderal yang

sangat dikagumi oleh pemerintah Belanda tanggal 25 Mei 1849 menghentikan

ekspansi kolonial ke wilayah Bali Selatan untuk sementara waktu. Dalam waktu

Page 18: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

18

yang cukup lama akhirnya pemerintah kolonial Belanda melanjutkan lagi ekspasinya

ke Bali Selatan. Pada tahun 20 September 1906 dalam pertempuran yang sangat

heroik yang dikenal dengan peristiwa Puputan Badung, pemerintah kolonial Belanda

dapat mengalahkan Kerejaan Badung. Puri Denpasar sebagai salah satu istana di

Kerajaan Badung luluh lantak karena gempuran prajurit kolonial Belanda. Maka

sejak tahun 1906 Kerajaan Badung telah menjadi wilayah koloni Belanda.

Berdasarkan keputusan Gubernur Hindia Belanda tanggal 2 November 1907 nomor

3, maka sejak 11 November 1907 daerah Badung dijadikan onderafdeeling Badung

di bawah asisten residen afdeeling yang berkedudukan di Denpasar (Staatblad 1907

No. 449).

Dalam Lembara Negara No. 638 tahun 1910 pemerintah kolonial Belanda

kembali mengadakan penataan administrasi terhadap wilayah Keredidenan Bali dan

Lombok yang dikeluarkan pada tanggal 24 Desember 1910 (Staatblad 1910 No.

638). Afdeeling Bali Selatan di bawah pemerintahan seorang asisten residen yang

berkedudukan di Denpasar, dibagi menjadi lima onderafdeeling yaitu:

Onderafdeeling Karangasem, Klungkung, Gianyar, Tabanan, dan Badung.

Onderafdeeling Badung terdiri atas Distrik Denpasar, Pemecutan, Kuta, Panjer,

Sanur, Kesiman, Peguyangan, Gaji, Kapal, Mengwi, Sibang, Abiansemal, dan

Blahkiuh, termasuk juga onderdistrik Angantaka dan Carangsari. Semuanya dibawah

kontrolir yang berkedudukan di Denpasar.

Penataan administrasi yang dilakukan oleh pemerintah Belanda bertujuan

untuk memperkuat kekuasaannya; menanamkan dan mengembangkan pengaruhnya

di bekas wilayah Kerajaan Badung sehingga dapat menarik simpati masyarakat

Badung. Upaya yang dilakukan untuk merebut simpati masyarakat adalah menata

perkampungan masyarakat asli maupun para pendatang, membangun perkantoran,

pasar, sekolah, museum. Di samping itu pemerintah Belanda juga menata sarana

transportasi seperti pelabuhan, bandara, membangun jembatan dan jalan-jalan dalam

mewujudkan Denpasar sebagai kota modern (Cf. Surjomihardjo, 2000).

Nama Denpasar yang awalnya merupakan nama salah satu puri dijadikan

sebagai nama ibukota afdeeling Bali Selatan, sedangkan situs Puri Denpasar

digunakan sebagai kantor pusat pemerintahan Hindia Belanda setingkat afdeeling

dan onderafdeeling. Dari kantor itulah semua aktivitas pemerintahan dikendalikan

Page 19: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

19

dipimpin oleh asisten residen untuk wilayah afdeeling Bali Selatan dan oleh kontrilir

untuk wilayah onderafdeeling Badung. Di samping menjadi ibukota afdeeling dan

onderafdeeling, nama Denpasar juga digunakan sebagai nama distrik yakni Distrik

Denpasar. Sebagai salah satu distrik di wilayah onderafdeeling Badung, Distrik

Denpasar membawahi beberapa desa adat seperti: Desa Adat Yangbatu, Denpasar,

Padangsambian, Kerobokan; serta membawahi beberapa desa dinas diantaranya:

Dangin Puri, Dauh Puri, Pemecutan, Padangsambian, dan Kampung Jawa (Boon,

1938).

Kondisi jalan yang belum memadai pada awal pemerintah Bekanda

menguasai Badung, mulai mendapat perhatian agar arus lalu lintas manusia dan

barang menjadi lebih lancar. Pemerintah Belanda mulai mengadakan pelebaran,

perbaikan, dan pengaspalan jalan-jalan baik yang ada di sekitar kota Denpasar

maupun jalan-jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan daerah-daerah lain

di Bali. Pekerjaan dalam bidang pembangunan jalan, kantor, jembatan, dilaksanakan

dengan memobilisasi tenaga masyarakat dalam kerja wajib (rodi). Menurut catatan

L.U van Stenis (1919: 52-53), pemerintah kolonial Belanda telah melakukan

perbaikan jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan Sanur, Kuta dan jalan-

jalan yang menghubungkan Kota Denpasar dengan wilayah diluar daerah Badung

seperti: Tabanan, Gianyar, Mengwi, dan Buleleng. Secara lebih rinci disebutkan

bahwa jalan-jalan yang telah diaspal adalah: Denpasar- Sanur sepanjang tujuh

kilometer, Denpasar- Kuta sepanjang 11 kilometer, Denpasar- Gianyar sepanjang 27

Kilometer, Denpasar – Tabanan sepanjang 20 kilometer, dan Denpasar – Singaraja

sepanjang 87 kilometer.

Fasilitas jalan yang telah dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda

mendorong berkembangnya sarana transportasi. Disamping masih mempertahankan

sarana transportasi tradisional seperti dokar, gerobak, masyarakat di wilayah Badung

telah melirik dan menggunakan sarana transportasi modern seperti: sepeda, mobil

pribadi, truk, bus, dan kendaraan gandengan. Dalam catatan H.J. Hoekstra (1937: 59)

jumlah sarana angkutan yang ada di Denpasar adalah sebagai berikut: sepeda 3.000

buah, dokar 261 buah, gerobak 435 buah, mobil pribadi seperti sedan dan jeep 71

buah, mobil truk 44 buah, mobil bus 46 buah, dan kendaraan gandengan 44 buah.

Page 20: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

20

Dalam bidang kebudayaan pemerintah kolonial Belanda mengajukan gagasan

yang dikenal dengan Balisering, yang dicetuskan pada tahun 1920. Balisering yang

artinya pembalian terhadap Bali, mencoba untuk mempertahankan Bali dari semua

pengaruh luar khususnya dalam lapangan sosial budaya (Flierhaar, 1933: 3). Gagasan

ini sesungguhnya mempunyai kaitan erat dengan perkembangan pariwisata yang

didukung oleh golongan libral Belanda di Bali. Dengan tetap mempertahankan Bali

sebagai sedia kala (”museum hidup”), diharapkan Bali akan menarik bagi orang luar

untuk berkunjung ke Bali sehingga dapat menghasilkan banyak uang untuk

membiayai semua aktivitas pemerintah baik pembangunan fisik maupun dalam

meningkatkan pendidikan dan kesehatan masyarakat.

Pengembangan pariwisata sudah mulai dirintis oleh perusahaan pelayaran

Belanda yang bernama Nederlandsche Handel Maskapij (NHM) pada tahun 1839

dengan membuka kantor cabangnya di Kuta. Usaha ini dilakukan untuk mengalihkan

pandangan pemerintah kolonial dalam rangka mengelola Bali sehingga dapat

menghasilkan keuntungan ekonomi, mengingat Bali bukanlah daerah yang

mempunyai potensi sumber daya alam yang tinggi. Usaha dalam bidang pariwisata

cukup prospektif karena keunikan-keunikan budaya dan keindahan alam Bali yang

sudah mulai dikenal saat itu. Usaha untuk memperkenalkan Bali kepada orang luar

mulai menampkan hasil sejak tahun 1920 karena saat itu telah berdatangan

wisatawan dari luar seperti dari Belanda dan warga Eropa lainnya, walaupun

jumlahnya masih terbatas.

Sekitar tahun 1930 seorang warga negara Amerika yang dikenal dengan nama

Ketut Tantri datang ke Bali untuk berlibur. Keindahan panorama alam Bali yang

dikenal dengan sebutan ”Pulau Seribu Pura” serta keramah tamahan masyarakatnya

mengakibatkan Tantri betah tinggal di Bali dan selanjutnya menetap di Bali. Karena

terpanggil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Bali, maka Tantri ikut

merintis pendirian fasilitas akomodasi pariwisata seperti pendirian Kuta Beach Hotel

di kawasan pantai Kuta dan Hotel Bali di Denpasar. Pedirian hotel ini dalam rangka

mengantisifasi berkembangnya kunjungan wisatawan ke Bali karena Bali telah

menjadi pembicaraan di berbagai belahan dunia.

Peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali yang sudah mulai tampak sejak

tahun 1930 menuntut adanya peningkatan penyediaan fasilitas transportasi yang lebih

Page 21: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

21

memadai. Pada tahun 1933 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun lapangan

terbang di Desa Tuban sekitar 13 kilometer dari Kota Denpasar. Sejak 1 Mei 1937

jadwal penerbangan Denpasar – Surabaya telah dilakukan secara teratur dua kali

seminggu. Jumlah penerbangan dan lalu lintas manusia selama tiga tahun dapat

dilihat pada tabel berikut (Soenaryo, 1989: 48).

TABEL 1

JUMLAH PENERBANGAN ANTARA TAHUN 1935-1937

Tahun Berangkat Datang Jumlah Penumpang Banyaknya

Barang

1935 36 kali 36 kali 288 orang 51 kg

1936 52 kali 52 kali 468 orang 79 kg

1937 85 kali 85 kali 744 orang 172 kg

Sumber: Hoekstra, 1937, Soenaryo, 1989.

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa selama tiga tahun terjadi peningkatan

kedatangan wisatawan ke Bali yang cukup signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa

pemerintah Belanda telah cukup berhasil untuk memperkenalkan masyarakat Bali

kepada dunia luar. Hal ini akan memberikan keuntungan secara ekonomi kepada

pemerintah dan golongan pengusaha dan diharapkan akan memberi pengaruh positif

bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Bali khususnya bagi masyarakat Kota

Denpasar sebagai pusat pemerintahan wilayah Bali Selatan.

Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial merupakan perpaduan

antara konsep arsitektur modern dengan arsitektur tradisional. Sebagai contoh usaha

pemerintah kolonial memperkenalkan konsep waktu secara modern dengan

menempatkan sebuah jam besar (lonceng) tepat di tengah catuspatha Kota Denpasar

yang berfungsi sebagai titik ”O” kilometer. Pada saat itu masyarakat Bali belum

banyak yang memiliki jam dinding atau arloji dalam menentukan waktu, karena

masyarakat masih berpatokan pada tanda-tanda alam seperti matahari, bulan, bintang

dan juga tanda-tanda yang berasal dari suara binatang seperti kokok ayam.

Penempatan jam besar di pusat Kota Denpasar merupakan salah satu unsur modern

yang diperkenalkan pemerintah Belanda kepada masyarakat Denpasar.

Page 22: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

22

Pembangunan Kota Denpasar pada masa kolonial tidak lepas nilai-nilai

tradisi masyarakat Bali khususnya dalam bidang arsitektur. Hal ini tampak dari

pembangunan Museum Bali yang dirintis sejak tahun 1910 oleh Asisten Residen Bali

Selatan W.F. J. Kroon atas sumbangan pemikiran Ir. Th. A. Resink. Pembangunan

Museum Bali sangat menonjolkan arsitektur Bali baik dari segi bentuk bangunan,

konsep tata ruang, maupun bahan-bahan yang digunakan sehingga museum Bali

merupakan salah satu ikon Kota Denpasar pada saat itu. Dari segi langgam arsitektur

museum tampak bahwa para ahli bangunan dan arsitek Belanda mencoba

memformulasikan arsitektur tradisional Bali ke dalam suatu fungsi baru.

Pembangunan museum ini bertujuan untuk mencegah adanya usaha komodifikasi

benda-benda budaya Bali yang secara ekonomis sangat menguntungkan pihak-pihak

tertentu dan akan memiskinkan budaya Bali. Museum Bali dikelola oleh

Perkumpulan Bali Museum dibuka untuk umum pada tanggal 8 Desember 1932.

Usaha ini berhasil dan Museum Bali yang sekarang masih berdiri tegak di Jalan

Mayor Wisnu menjadi tempat pembelajaran budaya bagi masyarakat Bali dalam

usaha memahami sejarah dan budayanya.

Dalam menunjang aktivitas perekonomian terutama dalam sektor ekspor dan

import pemerintah Belanda mulai menata pelabuhan dengan memindahkan aktivitas

bongkar muat barang dari pelabuhan Kuta ke lokasi baru yaitu di kawasan Benoa.

Secara geografis letak pelabuhan Benoa lebih baik karena tidak langsung berhadapan

dengan Samudera Hindia. Pelabuhan Kuta yang pada jaman kebesaran Kerajaan

Badung menjadi pusat aktivitas perekonomian mengalami kemunduran sejak

jatuhnya Bali Utara ke tangan pemerintah kolonial. Pemerintah Belanda

memindahkan pusat aktivitas perekonomian ke pelabuhan Pabean Buleleng.

Pemindahan pelabuhan dari Kuta ke Benoa memberi dampak positif baik bagi

masyarakat Kuta maupun bagi masyarakat Benoa. Di satu sisi pindahnya aktivitas

pelabuhan dari Kuta memberi kesempatan untuk berkembangnya sektor pariwisata di

Pantai Kuta yang mulai menarik perhatian wisatawan karena pantainya yang berpasir

putih. Di sisi yang lain pelabuhan Benoa dapat berkembang karena letaknya yang

cukup memandai terlindung dari hempasan gelombang ombak besar sehingga

menjadi salah satu pelabuhan penting dalam menunjang aktivitas perdagangan

nasional maupun internasional. Di samping menjadi pusat perdagangan Benoa juga

Page 23: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

23

berkembang menjadi tempat berlabuhnya kapal-kapal wisata manca negara yang

telah mulai ramai mengunjungi Bali.

Pembangunan fasilitas fisik terus dilakukan oleh pemerintah Belanda dalam

membangun Kora Denpasar sebagai pusat pemerintahan. Pada tahun 1927 di jantung

Kota Denpasar berdekatan dengan kantor pusat pemerintahan dibangun sebuah

bangunan yang pada awalnya digunakan sebagai tempat tinggal bagi tentara Belanda

yang bertugas menjaga keamanan Kota Denpasar. Pada tahun 1928 bangunan ini

diserahkan oleh pemerintah Belanda kepada perusahan pelayaran milik pemerntah

Belanda yang bernama Koninkelijke Paketvaar Matschappij (KPM). Setalah dikelola

oleh KPM bangunan dikembangkan dengan penambahan fasilitas yang memadai dan

difungsikan sebagai tempat menginap bagi tamu pemerintah Belanda dan para

pegawai perusahaan KPM yang mengadakan kunjungan dinas ke Bali. Pada tahun

1942 bangunan tersebut telah difungsikan sebagai hotel dengan nama Bali Hotel,

disamping untuk tamu pemerintah juga untuk umum yang membutuhkan fasilitas

penginapan di Denpasar. Bali Hotel masih tetap dipertahankan sampai sekarang

masih tegak berdiri sebagai situs sejarah Kota Denpasar era kolonial yang berlokasi

di Jalan Veteran Denpasar.

Menjelang dekade ketiga abad XX pemerintah Belanda mulai

mengintensifkan penataan administrasi birokrasi pemerintahan di berbagai kawansan

jajahannya termasuk di onderafeeeling Badung. Hal ini dilakukan karena

perkembangan pembangunan membawa konskwensi meningkatnya tuntutan

masyarakat terhadap pelayan administrasi pemerintahan. Untuk itu pemerintah

Belanda memberikan jabatan kepada keturunan raja pada tingkat onderafdeeling. Hal

ini terbukti setelah kembalinya salah satu keturunan raja Badung dari Puri Denpasar

dari pengasingan (keselong) di Mataram, Lombok Barat yang bernama I Gusti

Ngurah Alit Ngurah. Setelah menjalani hukuman pengasingan selama sepuluh tahun

dan mendapat pendidikan model Barat, Alit Ngurah kembali ke Bali dan bekerja

sebagai pegawai di kantor Pekerjaan Umum selama dua tahun. Selanjutnya pekerjaan

yang pernah digeluti secara berturut-turut adalah sebagai juru tulis di kantor

Keresidenan Bali dan Lombok antara tahun 1920-1924; menjadi manteri polisi

(1925-1926), menjadi juru tulis di kantor pajak tanah (sedahan agung) tahun 1926-

1929. Pengalaman pekerjaan yang telah dimiliki mengantarkan Alit Ngurah

Page 24: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

24

menduduki posisi yang cukup strategis di daerah onderafdeeling Badung.

Berdasarkan keputusan Gubernemen No. 23 tanggal 8 Juli 1929 Alit Ngurah

diangkat menjadi kepala pemerintahan (besturder) untuk mengepalai daerah

(zelfbesturende landschap) Badung dan berhak menggunakan gelar ”cokorda”.

(Boon, 1938). Selanjutnya untuk memenuhi fasilitas sebagai seorang kepala daerah

akhirnya pada tahun 1930 mulai dibangun Puri Satrya yang posisinya berada di

sebelah utara bekas Puri Denpasar yang telah berubah fungsi menjadi pusat

pemerintahan.

Berkembangnya Kota Denpasar sebagai pusat pemerintahan kolonial di Bali

Selatan memerlukan tenaga-tenaga terampil yang telah menguasai pendidikan

modern. Oleh karena itulah pemerintah kolonial Belanda mulai memperkenalkan

sistem pendidikan modern di Kota Denpasar. Pada tahun 1907 untuk pertama kali

pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Kelas II (Tweede Inladsche School) di

Denpasar (Moolenburg, 1926: 79-80). Karena masyarakat belum memiliki kesadaran

tentang pentingnya pendidikan modern model Barat, maka pemerintah sangat sulit

untuk memperoleh siswa, bahkan untuk memperoleh siswa aparat desa harus turun

tangan ke rumah-rumah penduduk untuk membujuk bahkan memaksa agar orang tua

mau menyekolahkan anaknya. Usaha yang dilakukan oleh aparat desa berhasil

menyadarkan sebagian anggota masyarakat sehingga sekolah yang baru didirikan

memperoleh siswa walaupun jumlahnya sangat terbatas.

Persoalan lain yang dihadapai oleh pemerintah kolonial Belanda pada awal

berdirinya sekolah-sekolah modern adalah kurangnya tenaga pendidik dari kalangan

masyarakat pribumi. Untuk mengatasi persoalan ini pemerintah Belanda membuka

sekolah Normaal Cursus di Denpasar. Orang-orang yang telah menyelesaikan

pendidikan di Normaal Cursus inilah yang banyak memberi insprirasi kepada

masyarakat di sekitarnya sehingga meningkatkan kesadaran masyarakat akan

pentingnya pendidikan modern. Kondisi ini akhirnya yang mendorong pemerintah

kolonial untuk mendirikan Hollandsch Inlandsche School (HIS), Sekolah Bumi Putra

Belanda yang mengambil lokasi di sebelah timur museum Bali. Pendirian HIS

bertujuan untuk menampung anak-anak dari para pegawai pemerintah, tokoh

masyarakat, dan golongan bangsawan. Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS

pada siswa dapat melanjutnya ke sekolah yang lebih tinggi seperti Meer Uitgebreid

Page 25: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

25

Lager Onderwijs (MULO) atau ke Algemeene Middlebare School (AMS) yang

tentunya berlokasi di luar Bali.

Pendidikan modern yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial rupanya

belum memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi ini direspon

oleh kalangan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang pada waktu itu telah tumbuh

dan berkembang sampai ke daerah-daerah khususnya di Kota Denpasar. Atas inisiatif

pimpinan Komite Taman Siswa Denpasar yakni I Gusti Ngurah Pemecutan, I

Nyoman Pegeg, dan I Ketut Ceteg, pada tahun 1933 didirikan Sekolah Taman Siswa

yang berlokasi di belakang Bali Hotel. Dalam kurun waktu selanjutnya sekolah

Taman Siswa berkembang sampai di Kota Negara dan Karangasem. Para siswa yang

telah menyelesaikan pendidikan di Taman Siswa (kelas tujuh) dapat melanjutkan

pendidikannya ke Sekolah Taman Dewasa yang telah dibuka oleh Komite Taman

Siswa di sebelah selatan lokasi Puri Denpasar. (Soenaryo, 1989: 90).

Pendidikan modern yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial

menciptakan golongan intelektual yang memiliki kesadaran baru dalam upaya

membangun masyarakat yang masih terkebelakang. Upaya yang dilakukan adalah

mendirikan organisasi modern sebagai wadah baru untuk melakukan aktivitas di

bidang sosial budaya. Pada tahun 1908 di Kota Denpasar lahir organisasi pertama

yaitu Perkumpulan Budi Utomo Cabang Denpasar. Usaha yang dilakukan oleh

organisasi ini adalah mengadakan kursus-kursus pemberantasan buta huruf di

berbagai kawasan Kota Denpasar dan desa-desa sekitarnya agar meayarakat dapat

membaca dan menulis. Kegiatan yang dilakukan oleh anggota-anggota Budi Utomo

sangat membantu masyarakat terutama di kalangan masyarakat yang tidak mendapat

kesempatan untuk mengenyam pendidikan modern model barat. Walaupun aktivitas

yang dulakukan berhubungan dengan masalah sosial, tetap mendapat pengawasan

dari pihak pemerintah kolonial karena Budi Utomo adalah organisasi yang

menanamkan paham kebangsaaan bagi anggota-anggotanya. Di samping organisasi

Budi Utomo di Kota Denpasar juga lahir organisasi yang mempunyai orientasi di

bidang kebudayaan yaitu perkumpulan Eka Laksana pada tanggal 14 Juli 1935.

Perkumpulan ini mempunyai tujuan untuk mempelajari dan mengembangkan

kebudayaan Bali. Di samping itu perkumpulan juga mempunyai tujuan untuk

Page 26: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

26

mempererat persaudaraan di antara para anggota dan saling tolong menolong apabila

di antara pelajar-pelajar Bali ada yang mengalami kesusahan.

Di kalangan kaum perempuan Kota Denpasar khususnya istri guru-guru dan

pegawai kantor juga memiliki inisiatif untuk membentuk perkumpulan. Pada tahun

1934 berdiri perkumpulan perempuan yang bernama Perukunan Istri bertujuan untuk

meningkatkan kerukunan antar anggota yang berasal dari berbagai suku bangsa

terutama istri guru-guru dan pegawai negeri yang tinggal di Kota Denpasar. Dalam

pertemuan yang diadakan seminggu sekali para istri pegawai negeri ini berusaha

untuk meningkatkan ketrampilan para anggotanya dalam mengurus rumah tangga.

Kegiatan lain dari perkumpulan ini adalah membentuk usaha simpan pinjam

sehingga dapat membantu anggotanya yang mengalami kesulitan keuangan.

Pada tanggal 1 Oktober 1936 di Kota Denpasar lahir organisasi Putri Bali

Sadar, atas inisiatif dari kalangan remaja putri Kota Denpasar terutama yang bekerja

sebagai guru. Pengalaman yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Kota

Blitar Jawa Timur memberikan inspirasi untuk mendirikan organisasi sebagai wadah

untuk memperjuangkan hak-hak kaum perempuan. Di bawah pimpinan Gusti Ayu

Rapeg, Putri Bali Sadar mempunyai tujuan yang sangat mulia seperti: (1)

mempererat kerukunan putri-putri Bali; (2) mengusahakan untuk saling menolong

bila ada anggota yang mengalami kesusahan; (3) menambah pengetahuan para

anggota dengan jalan membaca dan belajar pada waktu-waktu lowong; (4)

membantu biaya sekolah murid-murid perempuan Bali yang ditimpa kesusahan; (5)

berusaha memberi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung kepada putri-putri

Bali yang tidak dapat mengenyam pendidikan formal. Untuk memperoleh dana

anggota perkumpulan Putri Bali Sadar diwajibkan membayar iuran sebesar £ 0,10

tiap bulan.

Pada bulan April 1937 di Kota Denpasar juga berdiri perkumpulan Bali

Darma Laksana. Tujuan perkumpulan Bali Darma Laksana adalah memberikan

bantuan keuangan kepada orang-orang Bali yang sedang belajar di sekolah

menengah atau sekolah tinggi yang nantinya akan ikut membangun masyarakat Bali.

Di samping itu perkumpulan ini juga bertujuan untuk memelihara dan memajukan

kebudayaan Bali secara luas. Aktivitas yang dilakukan oleh perkumpulan Bali Darma

Laksana adalah: membangun semangat kedermawanan di kalangan anggota-

Page 27: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

27

anggotanya, menggalang persatuan di kalangan anggota dan orang-orang Bali

lainnya, mengusahakan bahan-bahan bacaan untuk kalangan anggota, dan

menerbitkan majalah sebagai sarana komunikasi para anggota.

Pemerintah Belanda melalui raja dan aparat pribumi lainnya (punggawa,

perbekel, kelian dinas) mulai menata dan membangun sarana dan prasarana di

Daerah Swapraja Badung dan tetap menggunakan Kota Denpasar sebagai ibukota.

Sebagai ibukota daerah swapraja Badung Kota Denpasar dihuni oleh berbagai jenis

suku bangsa yang telah ada sejak jaman kerajaan Badung. Menurut cacatan penulis

Barat pada akhir abad XIX penduduk Kerajaan Badung berjumlah 71.800 jiwa

dengan rincian, Suku Bali Hindu: 60.000 jiwa, Bugis dan Arab 6.000 jiwa, Jawa

5.000 jiwa, dan Cina 600 jiwa (Soenaryo, 1989: 49). Penataan penduduk mulai

dilakukan pada tahun 1930 melalui sensus penduduk sehingga jumlah penduduk

Denpasar dapat diketahui dengan pasti. Berdasarkan sensus penduduk tahun 1930

penduduk Kota Denpasar berjumlah 62.329 jiwa teridiri atas orang Eropa 155 jiwa,

Cina 1.170 orang, orang Timur Asing lainnya berjumlah 250 orang, dan penduduk

pribumi jumlahnya 60.754 jiwa.

Memperhatikan perkembangan penduduk yang cukup signifikan sebagai

akibat dari pertumbuhan Denpasar sebagai kota modern, maka pemerintah kolonial

mengintensifkan kembali penataan pemukiman yang sesungguhnya sudah

menempati lokasi tertentu sejak jaman kerajaan. Orang-orang Bugis ditempatkan di

Pulau Sakenan, Tuban, dan daerah Tanjung, sedangkan orang-orang Sasak, Madura,

dan Jawa menempati lokasi di Kampung Wanasari (Kampung Jawa) dan Daerah

Kepaon.(Korn, 1932: 8). Pertumbuhan Kota Denpasar pada masa kolonial sejalan

dengan perbaikan dan pelebaran jalan-jalan yang mendorong tumbuhnya usaha

pertokoan. Sepanjang ruas jalan yang pada masa kerajaan menghubungkan Puri

Denpasar dengan Puri Pemecutan merupakan perkampungan orang-orang Cina dan

menjadi basis kegiatan ekonomi karena sepanjang jalan tersebut orang-orang Cina

mendirikan toko-toko yang menjual berbagai kebutuhan masyarakat. Jalan yang

menghubungkan Kampung Cina menuju ke selatan menjadi basis pemukiman orang-

orang Arab dan Timur Asing lainnya dikenal dengan Kampung Arab.

Penduduk Kota Denpasar pada masa kolonial teridiri atas berbagai suku

bangsa yang menganut agama yang berbeda-beda. Masuknya Misi dan Zending pada

Page 28: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

28

masa kolonial menambah kompleksitas penduduk Denpasar. Walaupun pada

awalnya mendapat banyak rintangan melalui proses yang cukup panjang akhirnya

pada tanggal 11 November 1931 terdapat tujuh orang Bali yang dibaptis dan

memeluk agama Kristen Protestan. Usaha orang-orang Bali yang telah masuk agama

Kristen ini cukup giat, terbukti setahun kemudian yakni pada bulan Mei 1932 di

Denpasar dibaptis 100 orang Bali, dan pada bulan Nopember tahun yang sama

bertambah lagi 113 orang. Berbeda dengan agama Kristen Protestan yang telah

dianut oleh orang Bali pada tahun 1931, agama Katolik mulai dianut oleh orang Bali

pada hari Paskah 1936 setelah dua orang Bali dibaptis oleh Pastur J. Kersten. Setelah

itu akhirnya agama Katolik berkembang di Denpasar dan sekitarnya bahkan sampai

kedaerah-daerah lain di Bali (Soenaryo, 1989: 73-74).

Kehidupan masyarakat Kota Denpasar yang memeluk agama berbeda pada

masa kolonial tidak menimbulkan konflik antar umat. Hal ini tidak terlepas dari

adanya toleransi yang tingga dari masyarakat Bali yang beragama Hindu sebagai

umat yang mempunyai jumlah paling banyak di Kota Denpasar. Toleransi beragama

sudah ada sejak jaman kerajaan-kerajaan di Bali, terbukti dengan adanya ungkapan

nyama slam, artinya orang-orang yang beragama Islam dianggap sebagai saudara

oleh orang Bali yang beragama Hindu.

Pergantian kekuasaan dari pemerintah kolonial Belanda kepada pemerintah

pendudukan Jepang membawa perubahan terhadap masyarakat Bali khususnya

masyarakat Kota Denpasar. Pada awalnya buat sementara segala undang-undang dan

peraturan pemerintah Hindia Belanda diakui sah oleh pemerintah Jepang asalkan

tidak bertentangan dengan keinginan pemerintah Jepang. Dalam perkembangan

selanjutnya pemerintah Jepang mulai menerapkan peraturan dan disiplin yang ketat

kepada para pegawai dan masyarakat. Untuk memikat hati rakyat dalam mendukung

perang Asia Timur Raya pemerintah Jepang memperkenalkan suatu gerakan yang

dikenal dengan ”A-Tiga” yang artinya: Dai Nippon pembela Asia, Dai Nippon

pemimpin Asia, dan Dai Nippon pahlawan Asia. Dengan mengobarkan semangat

perang suci, perang Asia Timur Raya di kalangan pemuda pemerintah mengganti

gerakan A-Tiga menjadi Putera artinya Pusat Tenaga Rakyat maksudnya pemerintah

Jepang memusatkan semua tenaga rakyat untuk membantu perang melawan musuh-

musuhnya.

Page 29: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

29

Karena masa pemerintahan yang sangat singkat, pemerintah Jepang tidak

banyak meninggalkan karya-karya arsitektur di Bali khususnya di Kota Denpasar.

Pemerintah Jepang lebih berorientasi kepada pertahanan dan persiapan perang,

sehingga pemerintah Jepang lebih banyak membangun dan mengembangkan sarana

pelabuhan seperti pelabuhan Benoa dan lapangan terbang di Tuban, membangun

goa-goa pertahanan yang terdapat di daerah Oongan Desa Tonja, Denpasar;

membangun gudang-gudang amunisi dan logistik. Hal yang tidak kalah pentingnya

yang ditanamkan oleh pemerintah Jepang adalah masalah kedisiplinan sebagai bekal

para pemuda untuk berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan pada masa

revolusi fisik di Bali.

3.2. Menjadi Ibukota Modern Republik.

Kemerdekaan bangsa Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17

Agustus 1945 merupakan mementum bagi bangsa Indonesia untuk menunjukkan diri

sebagai bangsa yang sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Berita proklamasi

disambut dengan penuh suka cita di berbagai daerah di Indonesia khususnya di Bali.

Kedatangan Mr. I Gusti Ketut Pudja di Bali membawa mandat pengangkatannya

sebagai Gubernur Sunda Kecil yang berkedudukan di Singaraja. Di samping itu Mr.

Pudja juga membawa mandat untuk Ida Bgus Putra Manuaba, yang juga telah

diangkat oleh Ir. Soekarno menjadi Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Provinsi

Sunda Kecil (Pendit, 2008: 77). Berita yang dibawa oleh Mr. Pudja disambut oleh

masyarakat khususnya para pemuda di berbagai kota Bali. Salah satu kota yang juga

menjadi basis perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan di Bali adalah Kota

Denpasar. Kota Denpasar yang telah tumbuh menjadi kota modern sejak pemerintah

kolonial menjadikan Kota Denpasar sebagai salah satu pusat pemerintahan di Bali

Selatan tumbuh menjadi kota perjuangan

Pada bulan Agustus 1945 di Kota Denpasar lahir sebuah organisasi pemuda

dengan nama Angkatan Muda Indonesia (AMI) di bawah pimpinan Gusti Ngurah

Sindhu, yang bertujuan untuk menegakkan dan mempertahankan Negara Republik

Indonesia yang baru diproklamasikan di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.

Dalam perkembangan selanjutnya di Denpasar lahir organisasi pemuda yang

Page 30: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

30

bertujuan untuk menyatukan semua unsur kepemudaan dengan nama Pemuda

Republik Indonesia (PRI) dengan susunan pengurus sebagai berikut:

Ketua : Made Widjakusuma

Wakil Ketua : Tjokorda Agung

Seksi Keamanan : Ida Bagus Tantra, Nyoman Mantik

Urusan Perlengkapan : Made Sugita, Gede Windia

Seksi Penerangan : Ida Bagus Sadnya, Suwetja.

Kelahiran PRI di Denpasar menunjukkan bahwa sikap pemuda dan

masyarakat Kota Denpasar secara tegas mendukung Proklamasi Kemerdekaan

Indonesia. Kehadiran organisasi Pemuda Republik Indonesia mempunyai pengaruh

yang cukup besar di kalangan pemuda pelajar dan masyarakat, bahkan PRI terbentuk

sampai ke desa-desa di sekitar Denpasar. Demikian juga para pelajar yang tergabung

dalam Ikatan Siswa Sekolah Menengah di Kota Denpasar turut serta melancarkan

rencana yang digariskan oleh pimpinan PRI Denpasar. Para pemuda di Denpasar ikut

menjaga keamanan di wilayahnya masing-masing, ada juga yang berbuat iseng untuk

mengekspresikan pikiran dan pandangannya dengan melakukan aksi corat-coret,

menulis di tembok-tembok yang berbunyi: Indonesia Sudah Merdeka, Merdeka Atau

Mati, Sekali Merdeka Tetap Merdeka, Go Home Straers, The War Is Over.

Ungkapan tersebut ditujukan kepada pemerintah pendudukan Jepang agar segera

meninggalkan Indonesia.

Untuk menjaga kemanan di Bali maka pada tanggal 31 Agustus 1945 lahirlah

Badan Kemanan Rakyat (BKR) di Kota Singaraja di bawah pimpinan I Made Putu,

mantan Daidanco dari Daedan Negara, Jembrana. Di Denpasar kegiatan BKR ada di

bawah kendali Nyoman Pegeg. Pada 1 Nopember 1945 BKR berubah menjadi

Tentara Keamanan Rakyat di bawah pimpinan Gusti Ngurah Rai. Lahirnya TKR

menjadikan suasana politik tambah hangat karena terjadi gesekan antara para

pemuda pejuang dengan tentara Jepang yang sering melakukan provokasi. Dalam

rangka mematangkan perjuangan maka diadakan pertemuan antara TKR, PRI di

Denpasar untuk melucuti senjata tentara Jepang. Rupanya apa yang direncana oleh

pihak pejuang sebelumnya telah tercium oleh tentara Jepang sehingga penyerbuan

yang dilakukan terhadap tangsi Jepang mengalami kegagalan.

Page 31: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

31

Kegagalan ini mengakibatkan pimpinan TKR dan organisasi pemuda yang

berjuang di Kota Denpasar memutuskan untuk mundur sampai di Puri Kesiman yang

letaknya di bagian timur Kota Denpasar. Dalam keadaan terdesak di Puri Kesiman

karena telah dikepung oleh tentara Jepang para pimpinan pemuda pejuang berusaha

mengatur siasat agar dapat keluar dari kepungan tentara Jepang yang memiliki

persenjataan jauh lebih lengkap. Dengan keyakinan yang tinggi dan bersumpah untuk

terus melanjutkan perjuangan para pemuda pejuang yang terkepung di Puri Kesiman

satu persatu meloloskan diri melalui rumah-rumah penduduk keluar ke arah utara dan

melanjutkan perjalanan menuju Desa Carangsari tempat kelahiran Gusti Ngurah Rai.

Gerakan ini merupakan strategi baru untuk menghindari pertempuran dengan tentara

Jepang, dan selanjutnya mereka menyebar ke desa-desa dan memberi penerangan

kepada masyarakat dan menyusun kekuatan massa.

Selama periode revolusi Denpasar menjadi tempat markas pasukan Sekutu

(Inggris) dan tentara NICA untuk mengamankan Pulau Bali. Oleh karena itu

Denpasar menjadi wilayah perebutan pengaruh antara pemerintah kolonial dengan

pemuda pejuang. Salah satu contoh upaya para pemuda pejuang untuk menunjukkan

pengaruhnya adalah dengan mengadakan serangan dadakan yang dikenal dengan

Serangan Umum Kota Denpasar pada bulan April 1946. Walaupun belum mencapai

hasil yang maksimal, serangan tersebut sebagai upaya dari kalangan pemuda untuk

menunjukkan eksistensinya kepada pemerintah asing yang tetap mengangkangi

wilayah Indonesia yang telah diprokamirkan. Setelah peristiwa perang habis-habisan

di Desa Marga yang dikenal dengan Puputan Margarana pada tanggal 20 Nopember

1946, para pemuda pejuang tetap melanjutkan perjuangan dan menggunakan Kota

Denpasar sebagai Markas Kota Pusat dalam upaya untuk terus menumbuhkan

semangat mempertahankan kemerdekaan.

Kebijakan pemerintah kolonial Belanda sesudah Perang Dunia II terhadap

kerajaan-kerajaan di Bali ditujukan untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih

demokratis, kerjasama yang lebih besar berdasarkan prinsip federal, maka

pemerintah dalam mempertahankan pengaruhnya mempelopori pembentukan suatu

negara federal. Salah satu negara bagian pertama yang dibentuk adalah Negara

Indonesia timur (NIT) melalui suatu konferensi bertempat di Bali Hotel Denpasar

Page 32: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

32

dikenal dengan nama Konferensi Denpasar, berlangsung pada tanggal 7-24

Desember 1946.

Pemerintahan di Bali menjadi bagian administrasi pemerintahan NIT yang

berlangsung selama tiga tahun, dari Desember 1946 samapi bulan Juni 1950. Daerah

Bali merupakan federasi atau gabungan dari delapan kerajaan yaitu: Badung,

Tabanan, Bangli, Buleleng, Jembrana, Gianyar, Klungkung, Karangasem. Gabungan

delapan kerajaan dibentuk berdasarkan Staatblad van Nederland Indie pada tanggal 4

Pebroari 1946, diperbaharui setahun kemudia yakni pada tanggal 15 Agustus 1947.

Susunan pemerintahan yang dibentuk memakai prinsip Bali yaitu sistem

pemerintahan yang terdiri atas Dewan Raja-Raja dan sebuah Paruman Agung,

semacam Dewan Perwakilan Rakyat. Dewan Raja-Raja terdiri atas delapan anggota

yakni raja-raja yang sedang memerintah, salah seorang dari raja-raja tersebut menjadi

Ketua Dewan Raja-Raja. Paruman Agung terdiri atas 40 orang anggota, 34

anggotanya dipilih dari kerajaan-kerajaan dan enam anggota diangkat oleh Dewan

Raja-Raja. Kekuasaan membuat peraturan daerah dan menetapkan anggaran

keuangan dilakukan oleh kedua badan tersebut.

Golongan elite tradisional yang berkuasa (raja-raja) pada waktu itu sangat

mendukung kebijakan pemerintahan NIT karena ingin tetap mempertahankan

kekuasaan tradisionalnya di Bali dan menyesuaikan dengan ide-ide demokrasi yang

dibawa oleh birokrat Belanda. Mereka ingin mempertahankan nilai-nilai sosial

tradisional beserta lambang-lambang tradisi dan disesuaikan dengan ide-ide

pembaharuan pada waktu itu.

Setelah berakhirnya Puputan Margarana dan sejak berdirinya kembali

pemerintahan kerajaan, tampak adanya dua kekuatan dalam masyarakat Bali yakni,

golongan republikein adalah kelompak masyarakat yang tetap teguh membela dan

mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesai; dan golongan federalis adalah

kelompok masyarakat yang mendukung Negara Indonesia Serikat. Raja Badung

Cokorda Alit Ngurah adalah raja yang menyatakan kesetiaannya kepada Negara

Kesatuan Republik Indonesia dan menggunakan purinya sebagai tempat pertemuan

para pejuang di Kota Denpasar. Perbedaan Kepentingan kedua golongan ini

menumbuhkan benih-benih perpecahan yang cukup lama antara periode tahun 1946

sampai tahun 1951.

Page 33: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

33

Menghadapi situasi politik yang terus bergolak terjadi kesepakatan antara

golongan republikein yang berjuang di kota Denpasar dengan pemuda pejuang yang

sedang bergrilya di gunung dan hutan untuk melahirkan partai politik. Pendirian

partai politik bertujuan agar dapat berjuang mempertahankan kemerdekaan secara

legal di kota, sedangkan para pemuda pejuang terus bertempur di hutan dan gunung

melawan tentara NICA. Usaha yang tak kenal lelah dari golongan republikein

akhirnya di Kota Denpasar pada tanggal 8 Desember 1946 melahirkan partai politik

yang diberi nama Partai Rakyat Indonesia (PARRINDO) yang bertujuan

memperjuangkan Indonesia meredeka dan menghap[uskan penjajahan atas bumi

Indonesia (Pendit, 2008: 272). Partai yang baru berdiri diketuai oleh Gusti putu

Merta dan wakil ketuanya adalah Dr. Suwarno.

Berdirinya Partai Rakyat Indonesia mendapat simpati yang luas dari golongan

republikein di wilayah Badung, Tabanan, Buleleng, dan Bangli karena partai ini

mendapat dukungan dari Markas Besdar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia

(MBU DPRI). Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya

pendidikan dalam mencapai tujuan, maka Parindo membentuk badan yang diberi

nama Majelis Pendidikan Rakyat (MPR) pada tanggal 8 Desember 1946. Majelis

Pendidikan Rayat mendirikan lembaga pendidikan yaitu Sekolah Lanjut Umum di

bawah pimpinan Gusti Made Tamba. Di samping itu Majelis Pendidikan Rakyat juga

melakukan usaha berupa kursus-kursus Pemberantasan Buta Huruf. Keberhasilan

Parindo bekerjasama dengan pemuda pejuang yang bergrilya di desa-desa merebut

simpati masyarakat menimbulkan rasa antipati dikalangan penguasa Belanda.

Berdasatkan surat keputusan Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook, maka

dilakukan penangkapan terhadap para pemimpin Parindo dengan tuduhan bekerja

sama dengan kaum ekstrimis dan pembrontak. Berdasarkan tuduhan tersebut

akhirnya para pemimpin Parindo dijebloskan ke dalam penjara dan Partai Rakyat

Indonesia dinyatakan sebagai partai terlarang pada tanggal 4 Juni 1947.

Dibubarkannya Parindo tidak menyurutkan usaha para pejuang untuk

membangun kesadaran masyarakat terutama melalui pendidikan. Melalui lembaga

pendidikan yang bernama Sekolah Lanjut Umum, I Gusti Putu Tamba dan kawan-

kawan terus menggalang kekuatan kebangsaan di kalangan masyarakat. Intimidasi

terhadap lembaga pendidikan kebangsaan terus dilakukan oleh pemerintah kolonial

Page 34: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

34

Belanda melalui topeng Negara Indonesia Timur. Terbakarnya gubuk darurat SLU

yang dibangun di Kaliungu Kelod dan penangkapan terhadap I Gusti Putu Tamba

merupakan tindakan sewenang-wenang, walaupun dengan alasan demi keamanan

dan ketertiban umum. Selanjutnya pemerintah NIT membubarkan Majelis

Pendidikan Rakyat dengan alasan majelis telah melakukan tindakan subversif,

melakukan usaha-usaha yang bertentangan dengan ketertiban umum,

menyembunyikan orang-orang revolusioner yang ingin menumbangkan NIT dan

menegakkan Republik Indonesoia di Bali.

Setelah keluar dari tahanan I Gusti Putu Tamba dan kawan-kawannya

bertekad untuk tetap meneruskan perguruan kebangsaan dengan segala macam

tantangan yang dihadapi. Dalam perkembangan selanjutnya terus diadakan

penyegaran kepengurusan dan pada tanggal 12 Pebruari 1949 perguruan kebangsaan

ini dipimpin oleh Ida Bagus Putra Manuaba. Sejak itu SLU mulai mebuka cabang-

cabangnya di beberapa tempat seperti di Karangasem, Tabanan, dan Negara. Pada

tahun 1949 juga dilaksanakan kongres pendidikan bertempat di Taensiat Denpasar.

Dalam kongres tersebut berhasil menghasilkan keputusan yang berubah nama

Majelis Pendidikan Rakyat menjadi Perguruan Rakyat Saraswati.

Dalam usaha memenuhi tuntutan masyarakat untuk memperoleh pendidikan

yang lebih tinggi, maka pada tahun 1952 didirikan Sekolah Lanjut Umum bagian

Atas (SLUA) yang dibagi menjadi dua bagian yakni bagian A dan B. Tahun 1953

didirikan Taman Guru Atas (TGA) yang bertujuan untuk menghasilkan tenaga-

tenaga pendidik yang pada saat itu sangat kurang. Pada tahun 1952 dibangun gedung

yang lebih represntatif di wilayah Kreneng (Jalan Kamboja sekarang).

3.3. Menjadi Ibukota Pusat Pemerintahan Dati II (Kabupaten) dan Dati I

(Provinsi)

Dalam upaya meningkatkan pelayanan kepada masyarakat yang terus

berkembang di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka

pemerintah membuat berbagai produk perundang-undangan. Pada tahun 1957

dikelurkan Undang-Undang Nomor I Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah, yang memuat ketentuan bahwa pemerintah daerah terdiri atas

Page 35: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

35

Dewan Pemerintah Daerah (DPD) dan Dewan Pertimbangan Rakyat Daerah

(DPRD). Implementasi dari UU No. I Tahun 1957 ialah dikeluarkannya Undang-

Undang Nomor 69 Tahun 1958 tentang pembentukan Daerah Swatantra Tingkat II.

Sesuai dengan ketentuan yang termaktub dalam undang-undang tersebut, maka sejak

bulan Desember 1958 nama daerah bagian/swapraja diganti menjadi Daerah

Swatantra Tingkat II. Pemerintah Daerah Swatantra Tingkat II terdiri atas DPRD dan

DPD daerah peralihan yang mengurus otonomi rumah tangga di daerah swatantra

tingkat II. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh seorang Kepala Dearah Swatantra

Tingkat II.

Pada masa kekuasaan Orde Lama ada upaya untuk memperbaharui Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang otonomi daerah. Sebagai kelanjutan dari

dikeluarkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, dikeluarkanlah Penetapan

Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 sebagai perubahan mendasar terhadap

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 khususnya mengenai kedudukan kepala

daerah. Menururt Penpres Nomor 6 Tahun 1959, pemerintah daerah terdiri dari

Kepala Daerah dan DPRD. DPD dihapuskan dan diganti dengan Badan Pemerintah

Harian (BPH) yang anggota-anggotanya hanya merupakan pembantu kepala daerah

dengan tugas sebagai Badan Penasehat Kepala Daerah. Pemerintahan kolegial

diganti dengan pemerintah tunggal yang diangkat dan diberhentikan oleh pemerintah

pusat. Kepala daerah mempunyai dua fungsi yakni sebagai pejabat negara adalah alat

pemerintah pusat di daerah (bupati) dan sebagai alat pemerintahan daerah (kepala

daerah).

Ketentuan-ketentuan dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 selanjutnya dimuat

dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan

Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957. Menurut Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 1965, seluruh wilayah Negara Republik Indonesia terbagi

atas daerah-daerah yang berhak menguasai rumah tangganya sendiri (otonomi darah)

yang tersusun dalam tiga tingkatan, yaitu Provinsi/Kotaraya sebagai Daerah Tingkat

I, Kabupaten/Kota Madya sebagai Daerah Tingkat II, dan Kecamatan/Kotapraja

sebagai Daerah Tingkat III (Wirawan dkk., 2004: 62). Berdasarkan Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 1965yang mulai dilaksanakan di delapan daerah Swatantra tingkat

Page 36: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

36

II seluruh Bali pada bulan Maret 1968, maka diubahlah sebutan Daerah Swatantra

Tingkat II menjadi Daerah Tingkat II.

Pelaksanaaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 pada masa Orde Baru

belum mampu mengimbangi perkembangan dan tuntutan terhadap pelayanan kepada

masyarakat yang terus meningkat sebagai dampak dari pembangunan yang

dilaksanakan dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat. Oleh karena itulah

diadakan penyempurnaan aturan perundang-undangan dengan mengeluarkan

undang-undang baru yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pokok-

Pokok Pemerintahan di daerah. Ketentuan yang ada di dalam undang-undang

tersebut lebih memperkokoh unsur dekonsentrasi di daerah-daerah demi pengamanan

keutuhan dan kesatuan Negara republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1974 disebutkan, bahwa pemerintah daerah terdiri atas Kepala Daerah dan

DPRD. Kepala daerah tidak didampingi lagi oleh BPH sebagai badan penasehat

dalam bidang eksekutif tetapi oleh Dinas-Dinas Daerah dan Sekretaris Daerah di

bidang pemerintahan daerah. Sesungguhnya menurut Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1974 diharapkan titik berat otonomi ada di Kabupaten Daerah Tingkat II.

Meskipun otonomi ditekankan pada daerah tingkat II, Provinsi Daerah Tingkat I

masih tetap diperlukan untuk mengatur hal-hal yang menyangkut lintas daerah

tingkat II.

Sesuai dengan perkembangan pemerintahan yang teah diatur dalam undang-

undang, proses pemekaran daerah telah terjadi di Nusa Tenggara sebagai salah satu

provinsi di wilayah Neraga Republik Indonesia. Pada tahun 1958 Provinsi Nusa

Tenggara yang pada saat itu ibukotanya Singaraja dimekarkan menjadi tiga provinsi

yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur yang masing-

masing berkedudukan di Singaraja, Mataram,dan Kupang. Untuk mengimbangi

perkembangan yang terjadi di Bali maka DPRD Tingkat I Bali mengajukan resolusi

kepada Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah untuk memindahkan kedudukan

ibukota Provinsi Bali. Atas dasar resolusi tersebut maka Menteri dalam Negeri dan

Otonomi Daerah memutuskan untuk memindahkan kedudukan ibukota Provinsi Bali

dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar sejak tanggal 23 Juni 1960 (Keddy Setiada,

2009: 68). Sejak itulah Kota Denpasar menjadi nama ibukota Pemerintah Daerah

Page 37: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

37

Tingkat I Bali dan ibukota Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Badung.

(Lembaran Negara Republik Indonesia No. 122, Tahun 1958).

Pemindahan ibukota provinsi dari dari Kota Singaraja ke Kota Denpasar

memberi dampak positif bagi perkembangan Kota Denpasar. Kota Denpasar mulai

ditata dan dibangun sarana dan prasarana baru untuk menunjang aktivitas

pemerintahan. Pada mulanya pusat ibukota provinsi dipenuhi bangunan-bangunan

hasil karya para teknokrat alumni Sekolah Teknik Menengah (STM). Langgam

arsitektur dari karya mereka secara umum masih mencerminkan arsitektur kolonial.

Dalam perkembangan selanjutnya peran mereka diambil alih oleh para insinyur dan

arsitek yang telah menyelesaikan pendidikan di berbagai universitas di luar Bali.

Perkembangan kota Denpasar memunculkan kelompok baru yang disebut

golongan intelektual. Kesadaran yang semakin tinggi dari para intelektual di Bali

betapa pentingnya peranan sastra klasik sebagai sumber untuk mempelajari budaya

Bali yang dijiwai oleh Agama Hindu memerlukan lembaga yang khusus sebagai

tempat untuk mendalami hal tersebut. Dibukanya kesempatan oleh pemerintah untuk

mendirikan lembaga pendidikan tinggi merupakan momentum untuk mendirikan

Fakultas Sastra di Bali. Sebagai persiapan awal maka dibentuklah suatu yayasan

yang diberi nama Yayasan Fakultas-Fakultas Nusa Tenggara diketuai oleh Letkol

Minggoe, Komandan Resimen Infanteri 26/VII Wirabuwana/kem N.T Raksabuwana.

Yayasan ini bertugas untuk mencari syarat-syarat untuk mendirikan sebuah fakultas

dan menghubungi orang-orang yang memiliki kopetensi di bidang sastra seperti R.

Goris, Ida Bagus Mantra, I Gusti Ketut Ranuh dan lain-lain. Hasil kerja keras yang

dilakukan oleh Yayasan Fakultas-Fakultas Nusa Tenggara akhirnya berhasil

membentuk suatu Panitia Persiapan Perguruan Tinggi Nusa Tenggara yang

menetapkan pendirian Fakultas Sastra di Bali dan diresmikan oleh Presiden Soekarno

pada tanggal 29 September 1958. Sesuai dengan isi pidato R. Ng. Poerbatjaraka

pembukaan Fakultas Sastra dianggap sebagai kunci wasiat untuk membuka

perbendaharaan sastra dan budaya lama secara ilmiah. Sedangkan Presiden Soekarno

dalam pidato peresmian Fakultas Sastra mengharapkan agar Fakultas Sastra yang

berdiri di Kota Denpasar dapat menjadi pewahyu (penerang dan penyuluh) bagi

kehidupan masyarakat dan menanamkan rasa cinta tanah air demi kemajuan bangsa

dan negara di masa yang akan datang.

Page 38: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

38

Masyarakat Bali sangat mendambakan adanya sebuah perguruan tinggi di

Bali telah mendorong pemerintah dan pejabat pemerintah daerah, tokoh-tokoh

masyarakat dan tokoh-tokoh pendidikan untuk mengadakan pertemuan membahas

langkah-langkah yang perlu diambil dalam persiapan mendirikan perguruan tinggi di

Bali. Usaha keras dari Panitia Persiapan Pendirian Universitas Udayana Bali

akhirnya melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 18 Tahun

1963 tertanggal 31 Januari 1963, menetapkan dan mengesahkan pendirian

Universitas Udayana di Denpasar yang terdiri atas Fakultas Sastra, Fakultas

Kedokteran, Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Fakultas Keguruan dan

Pendidikan. Pada tahun 1965 dibuka lagi Fakultas Teknik dengan Jurusan Arsitektur

dan Seni Rupa yang dilandasi pemikiran untuk melestarikan dan mengembangkan

arsitektur tradisional Bali supaya dapat mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

Di samping perguruan tinggi negeri di Denpasar juga berdiri perguruan tinggi

swasta. Pada tahun 1961 pembinaan umat khususnya yang beragama Hindu sangat

kurang. Hal ini tidak lepas dari kurangnya tenaga penyuluh yang menguasai bidang

Agama Hindu. Oleh karena itulah muncul gagasan dari tokoh umat Hindu untuk

mendirikan perguruan tinggi yang mempunyai missi khusus mendalami ajaran

Agama Hindu. Pada pertemuan yang diadakan di Campuhan, Ubud pada tanggal 23

Nopember 1961 dihadiri oleh tokoh-tokoh pemuda yang berasal dari berbagai

wilayah Nusantara dan juga para sulinggih dari Bali berhasil memutuskan untuk

mendirikan perguruan tinggi agama sebagai tempat pendidikan memperdalam

Agama Hindu. Pada tanggal 3 Oktober 1963 berdiri Institut Hindu Dharma di

Denpasar.

Masyarakat Bali dikenal memiliki nilai kebudayaan yang tidak ternilai

harganya dan sangat dikagumi oleh masyarakat manca negara. Salah satu unsur

kebudayaan Bali yang sangat menonjol adalah kesenian khas Bali yang tidak

ditemukan di daerah lain di Nusantara. Perkembangan kesenian modern

dikhawatirkan akan membawa pengaruh negatif terhadap perkembangan kesenian

tradisional Bali sehingga muncul gagasan untuk mempelajari dan melestarikan

kesenian Bali. Melalui Jawatan Kebudayaan Bali di Singaraja diajukan permohonan

kepada pemerintah pusat untuk mendirikan Kokar (Konser Karawitan) Bali pada

Page 39: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

39

tanggal 13 Maret 1957. Setelah melalui persiapan yang matang akhirnya pada

tanggal 30 September 1960 Kokar Bali secara resmi dibuka walaupun masih

berafiliasi kepada Kokar Solo. Berkat kerja keras panitia dibantu oleh pihak

Pemerintah Bali dan para seniman, akhirnya peresmian Kokar Bali dapat diadakan

pada tanggal 30 September 1960 di aula Perguruan Subsidi Saraswati Denpasar.

Untuk mewujudkan gedung baru Pemerintah Pusat dan Bupati Badung memberikan

bantuan dana untuk membeli tanah di Jalan Ratna sebagai lokasi yang cukup

strategis pada waktu itu.

Dalam perkembangan selanjutnya di Kota Denpasar berdiri Akademi Seni

Tari Indonesia (ASTI) pada tanggal 28 Januari 1967. Pendirian ASTI berdasarkan

Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali Nomor 2/Pem./5/a/1967

atas prakarsa Majelis Pertimbangan dan Pembinaan Kebudayaan (Listibya).

Pendirian ASTI Denpasar dilandasi oleh pola dasar pembinaan kebudayaan Daerah

Bali dengan memperhatikan sifat-sifat pertahanan, penggalian, pembinaan, dan

pengembangan kebudayaan Bali. Di samping itu para seniman yang menggeluti seni

tradisional sudah semakin langka karena faktor usia dan ada kekhawatiran di

sebagian pihak bahwa akan meninggalkan seni tradisional. Oleh karena itu sangatlah

mendesak untuk mendirikan lembaga pendidikan seni sebagai tempat untuk

mempelajari, menggali dan mengembangkan kesenian tradisional Bali.

Di samping lembaga pendidikan sebagai tempat untuk menggali, mengkaji

kesenian Bali, juga diperlukan tempat untuk pameran, pementasan dan dokumentasi

karya-karya seniman Bali. Pada tahun 1969 di Kota Denpasar mulai dibangun Pusat

Kesenian (Art Centre) atau Taman Budaya. Pengembangan Pusat Kesenian bertujuan

untuk mengembangkan seni budaya Bali. Taman Budaya yang lokasi di bagian timur

Kota Denpasar mempunyai luas 5 Ha mempunyai berbagai bangunan seperti: gedung

pameran, gedung kriya, gedung studio patung, balai panjang, panggung terbuka

(ardha candra), perpustakaan, balai pepaosan, panggung kecil, wantilan, dan

panggung tertutup. Fungsi dan tugas Taman Budaya Bali (Werdi Budaya) adalah:

a. Melaksanakan kegiatan kebudayaan, seperti rekreasi sehat bagi

masyarakat, pergelaran, pameran, pekan seni, dan ceramah.

b. Melaksanakan usaha penggalian dan peningkatan mutu seni.

Page 40: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

40

c. Melaksanakan dokumentasi data kebudayaan, menyediakan bahan-bahan,

serta memberi penerangan berbagai aspek kebudayaan.

d. Melaksanakan urusan tata usaha dan rumah tangga Taman Budaya

Denpasar (Rama, 1998: 199).

Taman Budaya Denpasar merupakan tempat untuk melaksanakan Pesta

Kesenian Bali (PKB) yang dilaksanakan setiap tahun sekali pada bulan Juni-Juli.

Berkembangnya Kota Denpasar menjadi kota modern dan semakin

bertambahnya kunjungan wisatawan baik domistik maupun manca negara

membutuhkan pembangunan fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel,

restoran, dan biro perjalanan wisata. Di samping Bali Hotel yang telah ada sejak

jaman pemerintah kolonial Belanda, pada tahun 1963 mulai dibangun Bali Beach

Hotel di Pantai Sanur. Pembangunan hotel bintang lima ini digagas oleh Presiden

Soekarno yang juga seorang insinnyur jebolan Sekolah Tinggi Teknik Belanda di

Bandung (kini Institut Teknologi Bandung) dan selesai dikerjakan pada tahun 1966

atas biaya pampasan perang dari pemerintah Jepang. Setelah diresmikan pada tahun

1966 oleh Presiden Soekarno, hotel yang kini bernama Inna Grand Bali Beach telah

mengalami beberapa kali perbaikan, salah satu karena kebakaran.

Secara geografis ketika menjadi ibukota Provinsi Bali dan ibukota Kabupaten

Badung, Kota Denpasar tetap merupakan sebuah wilayah kota kecamatan yaitu

Kecamatan Denpasar yang statusnya sama dengan kecamatan-kecamatan lain di

daerah Kabupaten Badung. Kecamatan Denpasar atau Distrik Denpasar membawahi

lima Desa Perbekelan yakni: Padangsambian, Pemecutan, Dangin Puri, Dauh Puri,

dan Kampung Jawa. Setelah ditingkatkannya Kecamatan menjadi Kota Administratif

(Kotif) pada tahun 1978, maka Kotif Denpasar dimekarkan menjadi tiga kecamatan

yaitu: Denpasar Barat, Denpasar Timur, dan Denpasar Selatan.

Page 41: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

41

IV

DENPASAR SEBAGAI IBU KOTA DAERAH TINGKAT II

4.1. Kota Administratif (28 Agustus 1978)

Sejak Kota Denpasar menjadi daerah sentra pengembangan wilayah di daerah

Bali Tengah setelah diresmikannya Denpasar sebagai ibu kota Provinsi Bali

bersamaan dengan terbentuknya Provinsi Bali pada tanggal 14 Agustus 1958, maka

Kota Denpasar tumbuh sebagai kota yang mengalami perkembangan pesat (Biro

Humas Setwilda Bali, 1989: 5). Secara administrasi, Denpasar yang juga merupakan

ibukota Daerah Tingkat II Badung merupakan satu wilayah kecamatan, yaitu

Kecamatan Denpasar yang membawahi lima buah desa. Kelima buah desa tersebut

adalah Desa Padangsambian, Desa Pemecutan, Desa Dauh Puri, Desa Dangin Puri,

dan Kampung Jawa (I Gusti Gde Raka, 1976: 6). Dalam perkembangan lebih lanjut,

Kota Denpasar sejak tahun 1958 mengalami laju perkembangan yang sangat pesat.

Hal ini disebabkan oleh adanya kepentingan dalam memenuhi kebutuhan kota

sebagai ibu kota provinsi, seperti fasilitas perkantoran, pertokoan (pasar),

pemukiman, pelayanan sehari-hari masyarakat, kesehatan, sekolah dan sebagainya.

Semua ini merupakan faktor semakin kompleksnya masalah yang harus dihadapi

oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung.

Sejak memasuki masa pembangunan lima tahun (pelita) I, upaya perbaikan

kota Denpasar mulai dilakukan dengan penyusunan program induk pengembangan

Kota Denpasar. Dalam rencana pengembangan Kota Denpasar ini ditetapkan bahwa

Denpasar yang merupakan ibukota Provinsi Bali, merupakan pusat pengembangan

di daerah Bali Tengah. Oleh karena itu segala fasilitas yang menunjang kegiatan-

kegiatan pemerintahan mulai dibangun, seperti perkantoran, perumahan, dan

sebagainya yang merupakan kebutuhan dasar dalam rangka memberikan pelayanan

yang efektif kepada masyarakat Kota Denpasar.

Pemerintah Daerah Tingkat II Badung dalam melaksanakan urusan

pemerintahannya tampak akan semakin berat dan beragam, sehingga sangat

diperlukan adanya pencarian jalan keluar untuk mengatasi masalah ini. Selain

masalah-masalah pemerintahan di tingkat provinsi maupun di tingkat nasional pada

Page 42: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

42

saat-saat tertentu, Pemda Tingkat II Badung juga menghadapi masalah lain yang

menyangkut masalah kependudukan. Oleh karena itu sejak tahun 1972, upaya

mengatasi masalah ini mulai diketengahkan oleh Pemda Tingkat II Badung untuk

dibahas dalam berbagai pertemuan, dan menjadi salah satu topik pembicaraan-

pembicaraan resmi. Demikian juga dalam surat-surat keputusan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Badung tanggal 15 Juni 1972 masalah kota Denpasar

mulai menjadi topik pembicaraan (Salinan Surat-surat Keputusan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah Kabupaten Badung Nomor 36/DPRD/1972 tanggal 15 Juni 1972

tentang Pengesahan Rencana Induk Pengembangan Kota Denpasar).

Upaya pertama yang dilakukan dalam rangka ini adalah proses perencanaan

kota administratif, yaitu dengan meneliti latar belakang historis dari keberadaan Kota

Denpasar. Dari perencanaan inilah disepakati oleh Pemda Tingkat II Badung beserta

jajarannya untuk sesegera mungkin mengusulkan kota menjadi kota administratif.

Selain alasan faktor historis tersebut di atas, apabila ditinjau dari segi kwalitas dan

kwantitas kota, perkembangan kota Denpasar yang sangat pesat baik fisik maupun

non fisik serta letak geografisnya yang sangat strategis baik dipandang dari segi

nasional maupun internasional. Dengan posisi yang strategis ini Kota Denpasar

dirasa penting untuk meningkatkan statusnya menjadi kota administratif (“Laporan

Panitia Khusus A Dewan Perwakilan Rakyat DaerahKabupaten Daerah Tingkat II

Badung tentang Proses Rencana Peningkatan Status Kota Denpasar”, Arsip

Perpustakaan Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung)

4.1.1. Terbentuknya Kota Administratif Denpasar

Dengan berbagai pertimbangan tersebut di atas, maka berdasarkan Surat

Keputusan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Bali pada tanggal 27 Juni 1974, segera

dilakukan pertemuan awal sebagai tindak lanjut dari rencana di atas. Selain itu,

pertemuan ini juga didasarkan atas surat keputusan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah Kabupaten Badung Nomor 36 tahun 1974 tentang rencana induk kota

Denpasar. Pertemuan yang dihadiri oleh beberapa instansi tersebut kemudian

menetapkan dibentuknya Team Konsultariat Provinsi Bali (Proses Pembentukan

Kotif Denpasar dan Rencana Pembentukan Kodya Denpasar, Arsip Koleksi

Perpustakaan Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung).

Page 43: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

43

Sejalan dengan itu pula maka pada tahun 1975 berdasarkan surat Menteri

Dalam Negeri tanggal 28 Pebruari 1975 Nomor: B.K.T. 3/1/12, pemerintah pusat

mengadakan penelitian terhadap Kota Denpasar dan beberapa kota lainnya di

Indonesia. Oleh karena itu Bupati Badung beberapa kali melakukan pertemuan-

pertemuan guna membahas perencanaan ini dengan jajarannya untuk

menindaklanjuti perencanaan menaikkan status kota Denpasar menjadi Kota

Administratif (Surat-surat Undangan dan Surat Kawat Kabupaten Daerah Tingkat II

Badung, kepada jajarannya, tanggal 3 Agustus 1976, 9 Agustus 1976, 22 Januari

1977, dan 7 Maret 1977 tentang pembahasan lebih lanjut Persiapan Kota Denpasar

sebagai Kota Administratif, Arsip Koleksi Kantor Bupati Kepala Daerah Tingkat II

Badung). Selain itu Team Konsultariat yang telah terbentuk juga beberapa kali

melakukan rapat guna mencari masukan-masukan perencanaan kota administratif

Denpasar (Hasil Rapat Team Konsultariat Tk I Bali tanggal 24-3-1975, Arsip

Koleksi Perpustakaan Kantor Bappeda Provinsi Bali).

Berdasarkan beberapa pertemuan rapat baik di tingkat Kabupaten Badung

maupun di tingkat Provinsi Bali dengan Team Konsultariat, maka diputuskan untuk

dengan segera mengirim surat usulan kepada pemerintah pusat melalui Pemerintah

Daerah Tingkat I Bali. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka pada tanggal 5 Maret

1977 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung mengirim usulan kepada Pemerintah

Dearah Tingkat I Bali untuk diteruskan kepada Menteri Dalam Negeri. Dengan

dikirimnya surat Bupati Badung dengan Nomor: Pemb.1/299/77 segera, tanggal 5

Maret 1977, tentang peningkatan status kota Denpasar, maka keluarlah Peraturan

Pemerintah Nomor: 20 Tahun 1978 tentang pembentukan Kota Administratif

Denpasar. Keluarnya Peraturan Pemerintah tersebut di atas, secara yuridis formal

Kota Denpasar telah menjadi sebuah wilayah Kota Administratif. Oleh karena itu, PP

Nomor: 20 tahun 1978 ini menjadi dasar hukum terbentuknya Kota Administratif

Denpasar (Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor: 16 Tahun 1978 tentang

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor: 20 Tahun 1978 tentang Pembentukan

Kota Administratif Denpasar. Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung).

Untuk melakukan pembagian wilayah, terutama dalam kaitannya dengan

pelaksanaan urusan kepemerintahan, maka berdasarkan Surat Keputusan Bupati

Kepala Daerah Tingkat II Badung Nomor: 167/Pem.15/166/79 tentang Pemekaran/

Page 44: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

44

Pembentukan Desa-desa Persiapan dalam wilayah Kota Administratif Denpasar,

dilakukan pemekaran wilayah di Kota Denpasar (Surat Keputusan Bupati Kepala

daerah Tingkat II Badung Nomor: 167/Pem.15/166/79 tentang

Pemekaran/Pembentukan Desa-desa Persipana dalam Wilayah Kota Administratif

Denpasar. Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung).

Berdasarkan hasil pemekaran wilayah tersebut di atas, maka Denpasar yang

semula merupakan satu wilayah kecamatan, menjadi tiga buah kecamatan, yaitu

Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan Denpasar

Selatan. Denpasar Barat dengan membawahi lima desa, yaitu Desa Padangsambian,

Desa Pemecutan, Desa Dauh Puri, Desa Ubung, dan Desa Peguyangan. Kecamatan

Denpasar Timur membawahi enam desa yaitu Desa Sumerta, Desa Kesiman, Desa

Penatih, Desa Tonja, Desa Dangin Puri, dan Kampung Jawa. Sementara Kecamatan

Denpasar Selatan membawahi tujuh desa yaitu Desa Pedungan,Desa Pemogan, Desa

Panjer, Desa Renon, Desa Sanur, Desa Sesetan, dan Desa Serangan. Berdasarkan

persetujuan dari Menteri Dalam Negeri, maka pada tanggal 28 Agustus 1978 kota

Denpasar diresmikan menjadi Kota Administratif (Surat Gubernur Bali No:

Pem/I.c/46/1978 tentang Tindak Lanjut Kota Administratif Denpasar, yang ditujukan

kepada Menteri Dalam Negeri. Arsip, koleksi Kantor Gubernur Provinsi Bali, 1-3).

Berdasarkan beberapa pertimbangan setelah diresmikannya Kota

Administratif Denpasar, maka desa-desa di wilayah Kota Administratif Denpasar

mulai diadakan penataan ulang, dimana Desa Pemogan di Kecamatan Denpasar

Selatan yang sebelumnya merupakan sebuah desa, dijadikan sebagai sebuah banjar

di bawah Desa Pedungan. Demikian pula Kampung Jawa yang sebelumnya

merupakan wilayah Kecamatan Denpasar Timur, kemudian diubah menjadi sebuah

banjar yang masuk wilayah Desa Dauh Puri, Kecamatan Denpasar Barat.

4.1.2. Perencanaan dan Perluasan Kota.

Perencanaan pembangunan kota memerlukan adanya suatu pemikiran yang

matang, karena jika dilihat dari fungsi kota yang sangat kompleks, yaitu sebagai

sentral kegiatan pemerintahan, pendidikan, perdagangan dan sebagainya, maka

sangat dibutuhkan adanya perencanaan yang mengikuti alur wilayah yang akan

menjadi perluasan kota itu sendiri. Selain itu, juga dibutuhkan seni pengaturan,

Page 45: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

45

sehingga perencanaan kota dapat tertata dengan rapi, penuh daya tarik sehingga

mendorong terjadinya perkembangan morfologis kota itu sendiri.

Oleh karena itu perencanaan kota Denpasar secara fisik perlu dilakukan

penataan kembali, karena berdasarkan hasil pemetaan wilayah Pemda Tingkat II

Badung, memperlihatkan belum tersusunnya perencanaan kota secara sempurna. Hal

ini disebabkan oleh terlalu cepatnya tingkat kepadatan wilayah perkotaan.

Pembangunan fisik yang paling menonjol adalah pemukiman yang kurang teratur,

bahkan cepatnya pembangun pemukiman ini terlihat dari banyaknya perumahan

kumuh, serta adanya pembangunan rumah yang tidak mengikuti aturan yang telah

ada.

Jumlah penduduk Kota Denpasar tampak semakin berlipatganda dengan

meningkatnya perkembangan Kota Denpasar, terutama dalam pembangunan di

sektor pariwisata, sehingga animo masyarakat pedesaan lebih tertarik untuk datang

ke kota dan menetap dengan mengontrak atau membuat rumah sendiri. Oleh karena

itu dalam upaya menata kembali Kota Denpasar, dilakukan berbagai studi banding

ke berbagai daerah lain di Indonesia. Dengan adanya studi banding ini diharapkan

keberhasilan-keberhasilan di daerah lain dapat diambil hikmahnya untuk dipakai

dasar dalam melakukan penataan Kota Denpasar. Selain itu tujuan studi banding ini

diharapkan dapat memudahkan dalam upaya penyusunan rencana kerja proyek,

sehingga bisa berfungsi memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam penyusunan

pembiayaan terhadap suatu rencana kerja dalam rangka pengembangan morfologi

Kota Denpasar.

Berdasarkan pola dasar pembangunan Kabupaten Badung, dalam upaya

pembangunan dan pengembangannya, Kabupaten Badung dibagi menjadi empat

wilayah pembangunan sesuai dengan Peraturan Daerah Tingkat II Badung Nomor 6

tahun 1984, tentang pola dasar Pembangunan Daerah Tingkat II Badung adalah:

wilayah pembangunan Badung Utara, dengan pusat pengembangannya adalah

Petang; wilayah pembangunan Badung Tengah, dengan pusat pengembangan adalah

Mengwi, wilayah pembangunan khusus Denpasar dengan sub regional

pengembangan meliputi Denpasar Timur, Denpasar Barat dan Denpasar Selatan,

wilayah pengembangan Badung Selatan dengan pusat pengembangan di Kecamatan

Kuta (Pemerintah Kota Administratif Denpasar, 1988: 9).

Page 46: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

46

Berdasarkan pola dasar pengembangan wilayah tersebut di atas, terlihat

pengembangan kota Denpasar merupakan daerah pengembangan khusus, sehingga

dalam pelaksanaan program pembangunan dilakukan secara berkesinambungan

antara berbagai sektoral. Khusus untuk perencanaan pembangunan Kota

Administratif Denpasar aktifitas pengembangan dilakukan dalam bidang

perdagangan dan jasa, industri kecil, kerajinan rakyat yang menunjang pembangunan

seni dan budaya untuk meningkatkan ekonomi masyarakat. Dalam bidang

pendidikan diarahkan pada peningkatan pendidikan non formal dalam rangka

menyiapkan tenaga siap pakai, selain melalui jalur pendidikan formal. Sektor

pariwisata diarahkan pada peningkatan dan terciptanya kondisi yang dapat memberi

kesan positif bagi wisatawan.

Dalam rangka perencanaan perluasan Kota Denpasar, Kota Administratif

Denpasar telah menggariskan bahwa dalam upaya melaksanakan program ini

berbagai usaha dilakukan diantaranya penetapan bentuk-bentuk perumahan serta

merangsang tumbuh dan bekembangnya usaha-usaha perdagangan di wilayah

Kecamatan Denpasar Barat. Selain itu dalam perencanaan perluasan kota juga telah

diupayakan untuk menentukan bentuk tata ruang pemukiman, sehingga

mencerminkan pola pemukiman yang tertib, nyaman, dan terkendali dan selalu

berorientasi pada kearifan lokal (Wardana, 1980: 32). Hal ini dilakukan karena sesuai

dengan tugas pokok pemerintah Kota Administratif Denpasar, yaitu

menyelenggarakan kegiatan pemerintah dalam rangka peningkatan dan mengarahkan

pembangunan guna perkembangan perkotaan secara terarah untuk merangsang

tumbuh dan berkembangnya pola perencanaan tata ruang pemukiman dalam rangka

perluasan kota Denpasar.

Untuk menciptakan suasana kota Denpasar yang bersih, maka

perencanaannya juga dilakukan dengan program prioritas pembuatan taman-taman

kota serta taman pada tanah telajakan di sepanjang jalan. Selain itu dengan program

prioritas di bidang pertamanan ini, pemerintah Kota Administratif Denpasar juga

telah berupaya untuk merangsang keikutsertaan lembaga-lembaga di tingkat desa dan

banjar, seperti sekehe teruna teruni, PKK, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa

(LKMD), maupun lembaga-lembaga swasta. Selain itu perencanaan pembangunan

drainase atau saluran air juga merupakan program dari Kota Administratif Denpasar.

Page 47: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

47

Hal ini dimaksudkan karena pada musim hujan dibeberapa wilayah sering

mengalami kebanjiran, sehingga perlu ditata kembali secara lebih cerdas demi

terciptanya lingkungan yang nyaman dan sehat (Suasih, 1992: 42-45).

Dalam penanganan masalah sampah pada umumnya pembuangan sampah di

wilayah Kota Administratif Denpasar telah ditangani oleh Dinas Kebersihan Kota,

akan tetapi karena terbatasnya sarana pengangkut sampah, maka diupayakan untuk

terus merangsang kesadran masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam penanganan

masalah sampah ini (Seksi Kebersihan Kotif Denpasar, 1991: II-4; Suasih, 1992: 74).

Denpasar yang menjadi pusat kepariwisataan, maka perencanaan

kepariwisataan di wilayah Kota Administratif Denpasar diarahkan pada terciptanya

daerah-daerah sentra pariwisata dengan pengembangan di Desa Sanur. Selain itu juga

diarahkan pada munculnya tempat-tempat rekreasi di dalam kota yang

memungkinkan menjadi daya tarik bagi para wisatawan mancanegara. Beberapa

lokasi yang menjadi upaya pengembangan dan penataan dalam hal ini adalah Pasar

Kumbasari dan Pasar Badung, sekitar Lapangan Puputan Badung termasuk Museum

Negeri Bali, Taman Budaya dan beberapa tempat lain yang mungkin untuk bisa

dikembangkan dalam upaya menunjang kepariwisataan (Bappeda Kota Denpasar,

2009: 38).

Dalam bidang transportasi yang mengandung makna sebagai alat

perhubungan, yang dapat berperan dalam menyampaikan atau menjadi sarana

penghubung yang bersifat alat-alat pengangkutan. Sedang jika dilihat dari segi

prasarana, transportasi mengandung makna sebagai jalur-jalur lalu lintas yang

menghubungkan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Bertolak dari

pengertian di atas, dimana transportasi dimaknai sebagai jalur lalu lintas yaitu jalan-

jalan menunjukkan bahwa perkembangannya di wilayah Kota ministratif Denpasar

mengalami perkembangan yang sangat pesat sejalan dengan kemajuan dibidang

lainnya. Pembangunannya dibiayai oleh Pemda Badung, Pemda Tingkat I Bali.

Dengan demikian dana pembangunan jalan-jalan itu sebagian besar berasal dari

Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja

Daerah (APBD), termasuk dalam pembiayaan saluran-saluran di kiri kanan jalan.

Saluran pada kiri kanan jalan di Kota Administratif Denpasar umumnya

hanya terdapat pada jalan utama sedangkan pada jalan kolektor dan jalan sekunder

Page 48: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

48

hanya sebagian kecil yang telah memiliki saluran. Mengingat pentingnya saluran di

kiri kanan jalan, maka sejak memasuki pertengahan tahun 1985 telah diupayakan

untuk terus membuat saluran. Bahkan upaya ini tidak hanya pada pembangunan

jalan-jalan protokol, tetapi juga pada jalan-jalan sekunder.

Sebagai akibat dari semakin padatnya arus lalu lintas, maka dalam rangka

pelebaran jalan kendaraan dengan tidak merugikan para pemakai jalan, maka

pemerintah Kota Administratif Denpasar berupaya untuk memanfaatkan saluran ini

sebagai tempat pejalan kaki dengan menutup saluran-saluran tersebut dengan beton,

sehingga memudahkan bagi pejalan kaki. Demikian pula kendaraan yang memakai

jalan dengan dimanfaatkannya saluran sebagai tempat pejalan kaki, tidak merasa

terganggu, paling kurang dapat meminimalisir kemacetan lalu lintas di Kota

Administratif Denpasar.

Untuk mengurangi kemacetan-kemacetan lalu lintas, maka di beberapa ruas

jalan juga dilakukan penetapan arus angkutan dalam kota, baik kendaraan roda tiga

maupun kendaraan roda empat. Selain itu juga dilakukan penentuan arus kendaraan

melalui jalur satu arah. Jalan-jalan di Kota Administratif Denpasar yang merupakan

jalan protokol dengan jalur searah seperti Jalan Diponegoro, Jalan Hasanuddin, Jalan

Setiabudi, Jalan Sutomo, Jalan Gajah Mada, Jalan Sutoyo, Jalan Patimura, Jalan

Sumatra dan beberapa jalan lainnya. Pada umumnya penentuan jalur satu arah ini

ditentukan oleh keadaan baik buruknya jalan, sehingga dengan demikian tidak

menimbulkan masalah baru bagi pemakai jalan.

Fasilitas pendukung terselenggaranya perhubungan di Kota Administratif

Denpasar mendapat penanganan serius. Hal ini dilakukan karena fasilitas ini

merupakan ujung tombak kelancaran lalu lintas. Terlebih lagi masalah terminal yang

merupakan tempat naik turunnya penumpang diperlukan pengaturan yang baik. Oleh

karena itu di wilayah Kota Administratif Denpasar telah dibangun sebanyak lima

buah terminal, yang merupakan sarana penting, seperti terminal Ubung, terminal

Kreneng, Terminal Tegal, Terminal Gunung Agung dan Wangaya. Selain kelima

terminal tersebut, juga dibangun sebuah terminal bongkar muat di Ubung Kaja guna

menghindari masuknya kendaraan truk ke dalam kota yang dapat mengganggu

kenyamanan lalu lintas di Denpasar.

Page 49: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

49

Berdasarkan fungsinya, terminal yang ada dibangun untuk melayani arus

angkutan ke luar kota. Ubung untuk angkutan provinsi, antar kota meliputi Singaraja,

Tabanan, dan Negara. Terminan Kreneng melayani angkutan antar kota

(Karangasem, Klungkung, Bangli, Gianyar, dan Singaraja).Terminal Tegal, melayani

angkutan wilayah Badung, Kuta, dan Tuban. Terminal Gunung Agung melayani

angkutan dalam kota menuju pinggiran yaitu Kerobokan dan Padangsambian.

Terminal Wangaya untuk melayani angkutan menuju Abiansemal dan Petang (Kotif

Denpasar, 1988: 11; Suasih,1992: 49).

Dalam bidang komunikasi, secara umum di wilayah Kotif Denpasar sudah

lancar. Hal ini sangat dimungkinkan oleh adanya status kota yang merupakan

prioritas utama dalam pelayanan sistem komunikasi di daerah Bali. Sarana

komunikasi yang paling dominan sebagai media komunikasi yang paling cepat

adalah telepon. Oleh karena itu dalam penyediaan dan pelayanan sarana

telekomunikasi ini pihak Perum Telekomunikasi (Perumtel) telah memperluas

sambungan dalam setiap tahunnya, dimana dalam permintaan sambungan pada tiap-

tiap tahun naik sekitar 10%. Pada tahun 1989 jumlah sambungan telepon yang ada di

Kota Administratif Denpasar adalah sebanyak 7.400 satuan sambungan, yang terdiri

atas 3.400 berada di wilayah Kecamatan Denpasar Barat; 1.927 berada di wilayah

Kecamatan Denpasar Selatan. Pemilikan sarana telekomunikasi telepon ini

sebelumnya hanya terpasang pada kantor-kantor instansi pemerintah, sedang

sambungan pada perumahan pribadi hanya terlihat pada beberapa rumah yang

tergolong abdi negara atau pengusaha besar, tetapi setelah tahun 1980, satuan

sambungan telepon sudah banyak dimiliki oleh masyarakat secara pribadi, bahkan

ada juga yang mengelola warung Telekomunikasi (Wartel).

Selain sarana telepon, berbagai sarana komunikasi penting lainnya juga

mengalami perkembangan yang sangat pesat, seperti radio amatir swasta. Bahkan

dengan semakin canggihnya sistem telekomunikasi ini muncul pula gelombang baru

Frekwensi Modulation (FM) yang sangat digemari oleh setiap lapisan masyarakat.

Demikian pula pemilikan sarana komunikasi televisi juga sudah meluas dikalangan

masyarakat, sehingga berbagai informasi yang ada dengan cepat dapat diketahui oleh

masyarakat umum. Terlebih lagi dengan berkembangnya barang-barang mewah

“Antena Parabola” juga menambah khasanah baru bagi pertelekomunikasian di

Page 50: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

50

wilayah Kota Administratif Denpasar dan semuanya ini akan membawa perubahan

besar bagi warga masyarakat di Kota Administratif Denpasar karena semua

informasi yang datang dari luar dengan cepat bisa diakses oleh warga.

Secara struktural dalam bidang pemerintahan, Kota Administratif Denpasar

tersusun menurut garis vertikal dan horisontal. Pelaksanaan pemerintahan bergerak

dari ketua kepada bawahannya menurut garis pemerintahan yang ada. Struktur

organisasi pemerintah Kota Administratif Denpasar yang ada sekarang ini

berpedoman pada beberapa kebijaksanaan antara lain: PP Menteri Dalam Negeri

Nomor 5 tahun 1978 tentang Pembentukan pola organisasi pemerintahan Kota

Administratif Denpasar dan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 16 tahun 1978

tentang penegasan terbentuknya Kota Administratif Denpasar (Mengenal Kota

Administratif Denpasar, 1988: 2; Suasih, 1992: 59-64).

Pola organisasi Kotif Denpasar sebagaimana digariskan dalam PP Nomor 20

tahun 1978 di atas, dinyatakan unsur pimpinan yang disebut sebagai walikota dibantu

oleh seorang sekretaris dan beberapa suku-suku dinas dan seksi sebagai pembantu

dalam pelaksanaan teknis. Dalam melaksanakan tugas kepemerintahannya, walikota

Denpasar menganut sistem asas dekonsentrasi pemerintahan. Jadi secara yuridis

formal Kota Administratif Denpasar merupakan bagian dari pemerintahan Kabupaten

Badung. Mengenai tujuan dibentuknya Kota Administratif Denpasar, sebagaimana

disebutkan dalam PP Nomor 20 tahun 1978 dinyatakan:

Tujuan pembentukan Kota Administratif Denpasar adalah untuk

meningkatkan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan secara berhasil guna

dan berdaya guna, serta merupakan unsur pendorong yang kuat bagi usaha

peningkatan laju pembangunan.

Jadi pengembangan status kota Denpasar menjadi Kota Administratif pada

dasarnya adalah agar kemampuan pengelolaannya meningkat, dengan pengelolaan

khusus untuk meningkatkan kelancaran perkembangan pembangunan Kota

Denpasar. Selain itu seara fungsional kota Administratif berfungsi:

a. Meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan pemerintahan dengan

perkembangan kehidupan politik, ekonomi, sosial budaya perkotaan.

b. Membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan perkembangan

sosial ekonomi serta fisik perkotaan.

Page 51: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

51

c. Mendukung dan merangsang secara timbal balik perkembangan wilayah

Provinsi Dati I Bali pada umumnya, dan Kabupaten Dati II Badung pada

khususnya.

Berdasarkan status fungsional Kota Administratif Denpasar tersebut di atas,

menunjukkan pemerintah Kota Denpasar tidak saja berfungsi untuk mengelola

kepentingan masyarakat kota sendiri, melainkan juga agar dapat mendukung dan

merangsang perkembangan Daerah Tingkat I Bali pada umumnya dan Kabupaten

Badung pada khususnya (Dit. Bang. Perkotaan, 1979: 101). Untuk melaksanakan

kepentingan pemerintahan, secara organisatoris, Kota Administratif Denpasar

dilengkapi dengan seperangkat staf kepengurusan yang dikepalai oleh seorang kepala

wilayah yang disebut walikota sebagai unsur pimpinan. Kemudian sekretariat yang

membawahi dua bidang meliputi staf pelaksana dengan sebutan seksi, dan staf

administrasi dengan sebutan sub bagian. Selanjutnya terdapat pelaksanaan teknis

dengan sebutan suku dinas dan beberapa pemerintahan kecamatan yang disebut

Pemerintah Kecamatan.

Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, walikota bertanggung jawab kepada

Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung. Oleh karena itu dalam pelaksanaan tugas

pemerintahan Kota Administratif Denpasar sepenuhnya menjalankan peraturan atau

keputusan daerah yang dikeluarkan oleh Bupati Badung. Demikian pula pengadaan

suku dinas Kota Administratif Denpasar, pada intinya tidak terlepas dari

desentralisasi pemerintahan Kabupaten Badung, dimana hal ini mengandung arti,

disamping kewenangan menyangkut administrasi pemerintahan, Kota Administratif

Denpasar juga berwenang mengelola pelaksanaan teknis perkotaan. Jadi pelaksanaan

pemerintahan Kota Administratif mengandung makna pemerintahan semi otonom

(Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah

dan Pemerintahan Desa, 1988: 56).

Sebagaimana ditegaskan dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, bentuk

susunan hirarki organisasi Kota Administratif bukan merupakan lembaga pemerintah

tingkat II, oleh karena itu pemerintahannya tidak dilengkapi dengan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Demikian pula dalam menganggarkan dana

pemerintahan, pengalokasian dananya juga menurut Rencana Anggaran Pendapatan

Belanja Daerah (RAPBD) Kabupaten Badung. Oleh karena itu Kota Administratif

Page 52: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

52

Denpasar anggaran keuangannya menggunakan RAPBD mini, yang merupakan

penjabaran dari RAPBD Kabupaten Dati II Badung.

Secara struktural Kota Administratif Denpasar terdiri atas seorang walikota

yang dibantu oleh sekretaris yang membawahi: seksi pemerintahan, seksi

pembangunan, seksi ekonomi. Sub bagian administrasi yang terdiri atas: sub bagian

hukum, sub bagian pegawai dan sub bagian keuangan. Sedangkan unit teknisnya

meliputi: suku dinas Pekerjaan Umum, suku dinas pertanian, suku dinas kesehatan

dan suku dinas pajak dan pendapatan (Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5

tahun 1978 tentang Pola Organisasi Pemerintahan Wilayah Kota Administratif

Denpasar. Arsip, koleksi Kantor Walikota Denpasar)

4.2. Dari Kota Madya Menjadi Kota (1980-1992)

Denpasar pada mulanya merupakan pusat Kerajaan Badung, akhirnya

menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan bahkan mulai

tahun 1958 Denpasar dijadikan pula pusat pemerintahan bagi Provinsi Daerah

TingkatI Bali. Dengan Denpasar dijadikan pusat pemerintahan bagi Tingkat II

Badung maupun Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan yang sangat cepat baik

dalam artian fisik, ekonomi, maupun sosial budaya. Keadaan fisik Kota Denpasar

menunjukkan ciri-ciri dan sifat perkotaan. Denpasar menjadi pusat pemerintahan,

pusat perdagangan, pusat pendidikan, pusat industri dan pusat pariwisata yang terdiri

dari 4 Kecamatan, yaitu Kecamatan Denpasar Barat, Denpasar Timur, Denpasar

Selatan dan Denpasar Utara.

Melihat perkembangan Kota Administratif Denpasar ini dari berbagai sektor

sangat pesat, maka tidak mungkin hanya ditangani oleh Pemerintah yang berstatus

Kota Administratif. Oleh karena itu sudah waktunya dibentuk pemerintahan kota

yang mempunyai wewenang otonomi untuk mengatur dan mengurus daerah

perkotaan sehingga permasalahan kota dapat ditangani lebihcepat dan tepat serta

pelayanan pada masyarakat perkotaan semakin cepat. Seperti halnya dengan kota-

kota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar merupakan Ibukota Propinsi mengalami

pertumbuhan dan perkembangan penduduk serta lajunya pembangunan di segala

bidang terus meningkat, memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap kota itu

Page 53: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

53

sendiri. Demikian pula dengan Kota Denpasar yang merupakan Ibukota Kabupaten

Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga merupakan Ibukota Propinsi Daerah

Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan demikian pesatnya. Pertumbuhan

penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan dibarengi pula lajunya pertumbuhan

pembangunan di berbagai sektor, sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar

terhadap Kota Denpasar, yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan

perkotaan yang harus diselesaikan dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif,

baik dalam memenuhi kebutuhan maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang

demikian terus meningkat.Berdasarkan kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan

antara Tingkat I dan TingkatII Badung telah dicapai kesepakatan untuk

meningkatkan status Kota Administratif Denpasar menjadi Kota Denpasar. Dan

akhirnya pada tanggal 15 Januari 1992,Undang-undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang

Pembentukan Kota Denpasar lahir dan telah diresmikan oleh Menteri Dalam Negeri

pada tanggal 27 Pebruari 1992 sehingga merupakan babak baru bagi

penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali.

Dengan semakin pesatnya perkembangan kota Denpasar, terlebih-lebih lagi

setelah menjadi ibu kota Provinsi Bali, maka berbagai permasalahan harus diatasi

oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung, dalam mengatasi perkembangan kota

Denpasar. Oleh karena semakin meningkat dan kompleksnya masalah yang harus

dihadapi, khususnya dalam urusan pemerintahan, perekonomian, pembangunan,

pendapatan, pekerjaan umum (PU), kesejahtraan sosial dan umum, maka pada

tanggal 24 Maret 1975 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung yang diwakili oleh

Kepala PU Kabupaten Badung menyampaikan pemikiran rencana peningkatan status

kota Denpasar menjadi kota Administratif pada rapat Team Konsultariat Tingkat I

Bali (Hasil Rapat tgl. 24/3-1975 di Kantor Bappeda Tk. I Bali tentang Membahas

Status Administratif Kota Denpasar, Arsip Koleksi Perpustakaan Kantor Bappeda

Propinsi Bali). Atas pertimbangan hasil rapat tersebut, disepakati untuk

meningkatkan status kota Denpasar.

Berdasarkan hasil keputusan rapat Team Konsultariat di atas, maka pada

tanggal2 Agustus 1976 Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung mengirim surat

kawat kepada jajaran Pemda Tingkat II Badung untuk membahas kelanjutan

persiapan peningkatan status kota Denpasar menjadi kota Administratif (“Surat

Page 54: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

54

Kawat Rapat Persiapan tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi Kota

Administratif pada tanggal 3 Agustus 1976 dan tanggal 22 Januari 1977”, Arsip,

koleksi Perpustakaan Kantor Bupati Badung). Berdasarkan beberapa hasil rapat yang

berlangsung untuk persiapan-persiapannya, maka diputuskan untuk mengirim surat

usulan oleh Pemerintah Daerah Tingkat II Badung kepada Pemda Tingat I Bali

melalui surat Nomor: Pem.1/299/77/ tertanggal5 Maret 1977. Atas dasar surat Pemda

Tingkat II Badung itu, Pemda Tingkat I Bali mengirim usulan kepada Menteri Dalam

negeri, dan atas persetujuan Menteri Dalam negeri dikeluarkanlah Peraturan

Pemerintah Nomor: 20 tahun 1978 pada tanggal 1 Juli yang menetapkan dibentuknya

kota Administratif Denpasar yang kemudian peresmiannya dilakukan pada tanggal

28 Agustus 1978 (Kotif Denpasar, 1990: 2-3).

Kota Administratif Denpasar meliputi tiga kecamatan sebagai hasil

pemekaran dari Kecamatan Denpasar dan Kecamatan Kesiman. Ketiga Kecamatan

itu adalah: Kecamatan Denpasar Barat, Kecamatan Denpasar Timur, dan Kecamatan

Denpasar Selatan. Pada saat diresmikannya, kota Adminitratif Denpasar

berpenduduk 206.059 jiwa dengan luas wilayah 123, 98 km2. Berdasarkan Peraturan

Mendagri Nomor: 5 tahun 1978, kota administratif adalah bagian dari wilayah

kabupaten yang dilengkapi dengan aparat pemerintahannya dengan dikepalai oleh

seorang wali kota (Depaertemen Dalam Negeri, 1978: 1-3). Wali Kota mempunyai

tugas pokok menyelenggarakan kegiatan pemerintah dalam rangka meningkatkan

dan mengarahkan pembangunan perkotaan, merangsang pertumbuhan dan

perkembangan wilayah sekitarnya (Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang

Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah, 1988: 37).

Kota Administratif Denpasar merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

dari wilayah Kabupaten Badung, karena antara Pemda Badung dengan Kota

Administratif Denpasar merupakan dua pemerintahan yang terkait erat meskipun

sudah ada pelimpahan wewenang beberapa bidang pemerintahan. Pada masa ini

keterkaitan urusan pemerintah dengan Kota Administratif Denpasar adalah

menyangkut masalah pendapatan asli daerah Kota Administratif Denpasar masih

menyatu dengan Pemda Badung.

Sejak diresmikannya Kota Denpasar menjadi Kota Administratif, upaya

pembangunan fasilitas perkotaan juga semakin meningkat. Hal ini terlihat dari

Page 55: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

55

semakin meningkatnya pelayanan pembangunan fisik meupun non fisik yang secara

langsung maupun tidak langsung memerlukan adanya strategi baru dalam upaya

memenuhi kebutuhan masyarakat, sehingga Kota Denpasar mampu menciptakan

suasana kota yang tertib, aman dan terkendali. Pembangunan fasilitas ini terlihat

lebih pesat lagi setelah memasuki tahun 1980, dimana Kota Denpasar mengalami

perubahan yang cukup pesat baik dalam bidang fisik kota, ekonomi, sosial maupun

dalam bidang sosial budaya.

Dalam program pembangunan perkotaan yang menjadi sentra pengembangan

aktifitas manusia, menyebabkan perkembangan kota lebih dituju pada pembangunan

fisik berupa pendirian gedung-gedung perkantoran, kesehatan, pasar dan sekolah.

Dengan demikian Kota Denpasar berkembang sebagai mata rantai kegiatan

masyarakat maupun aparat pemerintahan.Kota Denpasar yang ada sekarang ini

merupakan wilayah swapraja Badung sejak masa pemerintahan Sunda Kecil.

Demikian juga pada masa pemerintahan Nusa Tenggara, Denpasar masih merupakan

wilayah swapraja Badung.

Kota Denpasar adalah wilayah kota termuda di Bali, berusia 13 tahun sejak

diresmikan tanggal 27 Februari 1992. Penetapan Denpasar sebagai pemerintahan

kota dijalani secara bertahap melalui peningkatan status Kota Administratif dan

Kotamadya. Kendati demikian, dari sisi sejarah, Denpasar yang sebelumnya adalah

bagian dari Kabupaten Badung menyimpan peran amat penting bagi perjalanan Bali

kini. Puputan Badung tanggal 20 September 1906, yang melibatkan banyak

kalangan, bukan saja kalangan keluarga Puri, menunjukkan kegigihan warga Bali

dalam mempertahankan kehormatan. Mewilayahi sekitar 12.780 ha Denpasar

mulanya adalah pusat kota kerajaan kian pasti bergerak menjadi kota dagang.

Menerima warisan dari Kabupaten Badung sebagai daerah hunian wisata, Denpasar

mewilayahi daerah hunian wisata utama di kawasan Sanur. Dari sisi utara Sanur

dengan The Grand Bali Beach hingga Sanur Beach Hotel di sisi selatan Sanur

dipadati oleh hotel, restoran, dan berbagai sarana penunjang wisata yang padat.

Menyikapi agar perkembangan Denpasar tidak liar tanpa kendali, memasuki

milenium ketiga, Pemerintah Kota Denpasar menetapkan rambu Denpasar sebagai

Kota Budaya. Beberapa kawasan kota seperti misalnya kawasan Lapangan Puputan,

daerah aliran sungai Tukad Badung, dan beberapa kawasan terkait ditata untuk lebih

Page 56: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

56

pantas menyandang ciri sebagai kota budaya. Paket City Tour pun dikemas sebagai

rambu pendukung untuk menjaga kualitas ruang-ruang tersebut.

4.2.1. Proses Pembentukan Kota Denpasar

Kota administratif adalah sebuah wilayah administratif di Indonesia yang

dipimpin oleh walikota administratif. Keberadaan kota administratif diatur oleh

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok

Pemerintahan Daerah. Kota administratif bukanlah daerah otonom sebagaimana

kotamadya atau kota, dan karena itu tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah. Walikota administratif bertanggung jawab kepada bupati kabupaten

induknya. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22

Tahun 1999, diIndonesia tidak dikenal lagi istilah kota administratif karena

pembagian provinsi hanya terdiri atas kabupaten dan kota. Akibatnya kota

administratif harus berubah status menjadi kota atau bergabung kembali dengan

kabupaten induknya.

Seperti halnya dengan kota-kota lainnya di Indonesia, Kota Denpasar

merupakan Ibukota Provinsi mengalami pertumbuhan dan perkembangan penduduk

serta lajunya pembangunan di segala bidang terus meningkat, memberikan pengaruh

yang sangat besar terhadap kota itu sendiri. Demikian pula dengan Kota Denpasar

yang merupakan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Badung dan sekaligus juga

merupakan Ibukota Provinsi Daerah Tingkat I Bali mengalami pertumbuhan

demikian pesatnya. Pertumbuhan penduduknya rata-rata 4,05% per tahun dan

dibarengi pula dengan lajunya pertumbuhan pembangunan di berbagai sektor,

sehingga memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap Kota Denpasar, yang

akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan perkotaan yang harus diselesaikan

dan diatasi oleh Pemerintah Kota Administratif, baik dalam memenuhi kebutuhan

maupun tuntutan masyarakat perkotaan yang demikian terus meningkat. Berdasarkan

kondisi obyektif dan berbagai pertimbangan antara Tingkat I Bali dan Tingkat II

Badung telah dicapai kesepakatan untuk meningkatkan status Kota Administratif

Denpasar menjadi Kota Denpasar.

Kota Denpasar lahir tanggal 15 Januari 1992, berdasarkan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan Kota Denpasar dan telah diresmikan

Page 57: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

57

oleh Menteri Dalam Negeri pada tanggal 27 Pebruari 1992 sehingga merupakan

babak baru bagi penyelenggaraan Pemerintahan di Daerah Tingkat I Bali, Kabupaten

Daerah Tingkat II Badung dan juga bagi Kota Denpasar. Bagi Provinsi Daerah

Tingkat I Bali adalah merupakan pengembangan yang dulunya terdiri atas 8

(delapan) Daerah Tingkat II sekarang menjadi 9 (sembilan) Daerah Tingkat II.

Sedangkan bagi Kabupaten Badung telah kehilangan sebagian wilayah serta potensi

yang terkandung didalamnya. Sementara bagi Kota Denpasar merupakan babak baru

dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang walaupun merupakan

Daerah Tingkat II yang terbungsu di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Bali.

Denpasar, yang kini merupakan ibu kota pemerintahan kota, mengalami

perkembangan pesat baik secara fisik maupun non fisik Dijadikanannya Denpasar

sebagai ibu kota Provinsi Bali, berarti segala kegiatan kepemerintahan berlangsung

di wilayah kota Denpasar. Berdirinya Universitas Udayana pada tahun 1962 juga

menjadi penyebab semakin pesatnya perkembangan kota Denpasar, karena dengan

demikian Denpasar juga akan menjadi pusat pendidikan yang sudah barang tentu

akan menjadi penampung para pelajar yang akan melanjutkan pendidikan ke

perguruan tinggi. Selain itu, perkembangan arus kepariwisataan setelah dibukanya

penginapan-penginapan di daerah Sanur dan sekitarnya, juga menjadi penyebab

pesatnya perkembangan kota Denpasar.

Dengan melihat latar belakang perkembangan Kota Denpasar yang pada

mulanya sebagai pusat istana atau puri, kemudian dewasa ini berkembang sebagai

pusat kota modern dapat dilihat ciri perkembangannya sebagai berikut. Terdapat ciri

fisik kota yang dapat dianggapmenjadi ciri khusus Kota Denpasar yaitu adanya

bangunan-bangunan tradisional seperti pura (bangunan suci bagi umat Hindu di

Bali), puri (tempat kediaman bagi bangsawan Bali) dan bangunan-bangunan lain

yang berfungsi untuk kepentingan pemerintah, umum, maupun yang dimiliki oleh

tiap-tiap kelompok masyarakat. Terdapat beberapa pura di Kota Denpasar seperti

Pura Melanting, Pura Gaduh, Pura Ubung dan Pura Suci. Hal ini dapat dimengerti

karena mayoritas penduduk Kota Denpasar sebagai etnis Bali yang beragama Hindu.

Masyarakat Bali pada umumnya sebagai kolektif yang terikat oleh kesadaran akan

kesatuan kebudayaannya, yaitu kebudayaan Bali. Kesadaran ini diperkuat oleh

keberadaan bahasa yang sama yaitu bahasa Bali. Sebagai orang Bali mereka sangat

Page 58: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

58

terikat dengan keluarga, klen, banjar, desa, subak, dan sebagainya. Sebagaimana

diketahui bahwa orang Bali terikat pada beberapa hal dalam kehidupan sosialnya

yaitu: kewajiban dalam melakukan pemujaan terhadap pura tertentu, pada suatu

tempat tinggal bersama, pada pemilikan tanah pertanian dalam sistem subak tertentu,

pada suatu status sosial atas dasar kasta, pada ikatan kekerabatan atas hubungan

darah dan perkawinan, pada keanggotaan terhadap sekeha tertentu dan pada suatu

kesatuan administrasi tertentu (Soenaryo, 2003: 198; Ardhana, 2005: 412).

Keterikatan masyarakat dengan puri misalnya dapat kita lihat di Kota

Denpasar sebagai kota budaya, dimana masyarakat terikat dengan empat puri besar

yang berperan penting yaitu Puri Denpasar, Puri Pemecutan, Puri Satria, dan Puri

Kesiman. Di antara puri-puri itu, terdapat dua puri yang memainkan peranan penting

yaitu Puri Kesiman dan Puri Denpasar (Soenaryo, 2003: 198). Melalui sentra-sentra

kekuasaan itulah kemudian Denpasar berkembang baik dalam aspek ekonomi,

politik, sosial budaya atau pendidikan (Ardhana, 2005: 412).

Perkembangan Kota Denpasar sejak masa kerajaan, kolonial hingga masa

kemerdekaan telah meberikan kontribusi yang besar bagi perkembangan kota

Denpasar dewasa ini. Di samping terdapatnya pelabuhan Benoa, Kota Denpasar

berkembang sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di Bali secara keseluruhan. Hal ini

sangat berpengaruh terhadap dinamika politik, perdagangan di Kota Denpasar.

Sebagai kota yang memiliki pelabuhan Benoa, menyebabkan terjadinya persaingan-

persaingan di kalangan para pedagang luar dengan pedagang setempat. Hal ini tentu

menuntut adanya ketegasan dari pemerintah Kota Denpasar untuk mengatur sentra-

sentra perdagangan agar tidak terjadi persaingan yang tidak sehat yang pada akhirnya

bisa menimbulkan konflik kepentingan dari masing-masing pedagang yang pada

gilirannya bisa merusak citra Kota Denpasar sebagai kota budaya.

Sebagaimana halnya dengan perkembangan kota-kota di Indonesia pada

umumnya, perkembangan Kota Denpasar pada khususnya mengalami persoalan-

persoalan fisik kota yang sama. Hal ini terlihat dari sulitnya menata dengan baik

masalah infrastruktur kota. Tanpa adanya pembenahan yang maksimal terhadap tata

ruang, menyebabkan Kota Denpasar tampak belum siap menghadapi persoalan-

persoalan global. Hal ini dapat dimengerti karena pada awalnya Denpasar hanyalah

sebuah desa. Dengan demikian volume fisiknya tentu setara dengan sebuah desa.

Page 59: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

59

Kemajuan yang tidak terkendali tampak membuat semakin sulitnya melakukan

penataan terhadap masalah-masalah perkotaan, karena Kota Denpasar belum

memiliki urban design (Ardhana, 2005: 420).

Meskipun penataan kota sudah dilakukan,namun karena pemukiman dan

jalan-jalan sudah ada terlebih dahulu, menyebabkan penataan kota kurang bisa

dilakukan secara maksimal. Sebagai akibat pengaruh globalisasi, tampaknya secara

fisik budaya, Kota Denpasar tampak mengalami pergeseran yang kurang

mencerminkan kota budaya. Sebagai contoh dalam peraturan-peraturan daerah sudah

dijelaskan bahwa bangunan penduduk yang menghadap ke jalan raya mestinya

bernuansa khas Bali. Akan tetapi, hal ini baru dalam tingkat perbincangan wacana.

Adanya perkembangan “hutan” perkotaan seperti pembangunan mall, pertokoan dan

swalayan menyebabkan kota Denpasar identik dengan kota shopping centre. Adanya

pembangunan rumah dan toko (ruko) yang mengabaikan telajakan membuat wajah

Kota Denpasar menjadi berubah dan kurang mencerminkan “kebaliannya”.

Disadari bahwa Denpasar sebagai ibu kota provinsi, telah dirancang melalui

pembangunan civic centre dengan karakteristik arsitektur tradisionalnya di kawasan

renon, sebagai sebuah kawasan yang dapat mencerminkan ciri khas “kebalian” orang

Bali. Akan tetapi, di luar wilayah itu telah berdiri berbagai bangunan yang

mengganggu pembangunan tata ruang kota, berkaitan dengan kebijakan menerapkan

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dalam hal ini masih belum ditegaskan

secara pasti mana zonning untuk pelestarian budaya, pemukiman, pusat perbelanjaan

dan sebagainya.

Pengaturan tata kota sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah

kolonial Belanda sebenarnya dapat diambil sebagai pelajaran bagaimana sulitnya

melakukan penataan kota. Oleh karena itu, perlu ada rencana induk kota yang

direncanakan dengan baik berdasarkan potensi dan kepentingan jangka pendek

maupun jangka panjang. Di samping itu, perlu ada konsistensi dan kontrol yang ketat

agar masyarakat dapat terus menaati peraturan yang telah ditentukan oleh pemerintah

sebagai tolak ukur dalam melaksanakan pembangunan, sehingga Kota Denpasar

tidak kehilangan jati diri sebagai kota budaya (Soenaryo, 2003: 219; Ardhana, 2005:

422).

Page 60: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

60

4.3. Dari Kota Keraton Menjadi Kota Budaya

Perkembangan kota-kota modern yang muncul banyak dibentuk berdasarkan

warisan sejarah masa lalunya. Dalam dinamika sejarahnya, kota-kota itu lahir

sebagai akibat dari adanya pergeseran pusat-pusat politik tradisional seperti pusat-

pusat istana kerajaan, pusat-pusat perkembangan perdagangan di daerah pedalaman

atau wilayah pesisir pantai (pelabuhan). Pergeseran perpindahan itu sering kali

terjadi karena adanya dinamika politik, di pedalaman sebagai akibat perkembangan

politik di tingkat internal yang menyebabkan keinginan untuk memisahkan diri,

maupun serangan dari kerajaan-kerajaan lainnya. Pengalaman sejarah seperti itu

dapat dilihat dari tumbuh dan berkembangnya kota Badung yang kemudian menjadi

Denpasar sebagai pusat perkembangan politik, ekonomi dan budaya di Bali Selatan

(Ardhana, 2005: 405). Nama Badung juga sering kali dipergunakan untuk menyebut

nama wilayah kerajaan itu, yaitu Kerajaan Badung atau kemudian lebih dikenal

dengan sebutan Kerajaan Denpasar. Saat ini Badung, selain menjadi nama sungai di

wilayah itu, juga dipergunakan sebagai nama pasar, yakni Pasar Badung yang

merupakan salah satu pasar terbesar di kawasan itu. Nama Badung juga

dipergunakan untuk menyebutkan nama kabupaten yaitu Kabupaten Badung yang

kini beribukota di Mangupura.

Secara historis, kabupaten-kabupaten di Bali pada awalnya berasal dari pusat-

pusat kerajaan yang masing-masing masyarakat lokal di wilayah itu memiliki adat-

istiadat, sistem pengairan (subak) dan pemerintahan sendiri-sendiri. Struktur

masyarakat di tiap-tiap kabupaten yang berbasiskan desa-desa adat mempunyai

wilayah dengan karakteristiknya sendiri yang tidak hanya menentukan pelaksanaan

keagamaan, tetapi juga menyangkut persoalan sosial dan budaya.

Hal semacam ini dapat dilihat dari keadaan dan kondisi yang ada di

Denpasar. Denpasar ditetapkan sebagai pusat pemerintahan kabupaten Daerah

Tingkat II Badung. Semenjak tahun 1958, Denpasar dijadikan sebagai pusat

pemerintahan Provinsi Daerah Tingkat I Bali yang selanjutnya mengalami

pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat tidak hanya dalam arti fisik,

melainkan juga secara sosial budaya. Pada periode ini Kota Denpasar diusulkan

untuk menjadi kota Administratif yang bersamaan dengan pemekaran wilayah

Kecamatan Denpasar dan Kesiman. Hal ini dilakukan mengingat jumlah penduduk

Page 61: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

61

yang semula hanya memiliki enam (6) kecamatan, sekarang menjadi tujuh (7)

kecamatan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1978, Kota Denpasar

diubah statusnya menjadi Kota Administratif yang membawahi tiga kecamatan yaitu:

Kecamatan Denpasar Barat dengan luas 50,06 km2, Kecamatan Denpasar Timur

dengan luas 27,73 km2, dan Kecamatan Denpasar Selatan dengan luas wilayah 46,19

km2. Dilihat dari segi tipologi, Kecamatan Denpasar Selatan dari Timur memiliki

ketinggian antara 0 – 75 meter dari permukaan laut, sedangkan Kecamatan Denpasar

Barat memiliki ketinggian antara 12 – 75 meter dari atas permukaan laut. Apabila

dilihat dari segi letak strategis dengan daerah pusat kota, maka masing-masing

kecamatan memiliki jarak yang relatif sama ke pusat kota antara 4 terdapat 35 desa

adat, dimana desa adat ini bisa meliputi dua desa administrasi atau sebaliknya bisa

juga meliputi dua desa adat. Dengan demikian Kota Denpasar berperan sebagai ibu

kota kabupaten, provinsi dan pusat pengembangan industri pariwisata Indonesia

Bagian Timur.

Di era modern ini, jika dibandingkan dengan kota-kota lainnya yang ada di

Bali Selatan seperti Tabanan, atau Gianyar, tampak bahwa Denpasar mengalami

perkembangan yang menonjol terutama dalam aktifitas ekonomi. Perkembangan di

sektor perdagangan misalnya menyebabkan berkembangnya kota-kota baru sebagai

pusat pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi. Adanya mobilitas geografis telah

mengarah dengan semakin intensnya gerakan mobilitas penduduk seperti urbanisasi

(Sjoberg, 1960: 64). Bagi masyarakat pedesaan yang memiliki garapan tanah sangat

minim, telah mendorong untuk mengadakan imigrasi ke wilayah perkotaan seperti ke

Kota Denpasar di Bali Selatan atau ke Singaraja di wilayah Bali Utara dengan

maksud untuk mencari perbaikan nasib. Kondisi alam yang subur menjadi salah satu

faktor perkembangan perekonomian Denpasar. Selain kondisi alam yang demikian,

adanya sistem pengaturan air yang baik sebagaimana yang dilakukan oleh organisasi

tradisional seperti subak, telah memungkinkan pula terjadinya sistem pengaturan

pengairan yang lebih baik. Sistem aliran Sungai Ayung yang melintasi Kota

Denpasar bagian timur dan Sungai Badung yang melintas di Kota Denpasar bagian

barat telah memungkinkan wilayah ini dipilih sebagai pusat pemerintahan, baik pada

Page 62: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

62

masa kerajaan maupun pada masa pemerintahan kolonial Belanda (Soenaryo, 2003:

198).

Secara historis Kota Denpasar merupakan pusat kerajaan (Puri Denpasar).

Puri sebagai pusat kota ditunjang oleh sarana dan prasarana seperti: pasar, alun-alun,

serta komplek perumahan keluarga raja dengan menggunakan konsep catus pata.

Selain Puri Denpasar, di Kota Denpasar terdapat beberapa puri yang pada masa

lampau pernah memainkan peran penting. Puri-puri yang dimaksud adalah: Puri

Pemecutan, Puri Satria, Puri Gerenceng, Puri Kesiman, Puri Jero Kuta, Puri Gelogor,

dan Puri Alang Kajeng. Mengingat potensi dan variasi serta distribusi dari puri-puri

di Kota Denpasar, tampaknya warisan budaya puri yang adiluhung dapat dijadikan

salah satu icon kota sehingga Denpasar identik dengan Kota Puri (Geriya, 2010: 23).

Kota Denpasar memiliki jatidiri sebagai sebuah kota yang secara hakiki

merefleksikan citra kota yang berbasis budaya lokal Bali. Identifikasi diri masyarakat

Kota Denpasar tampak dalam komunitas kecil seperti menjadi anggota banjar

maupun sebagai krama Desa Pakraman.

Meskipun Kota Denpasar telah berkembang dalam dinamika interaksi yang

mengglobal, tetapi citra tradisi masih kental mewarnai penampilan Kota denpasar

sebagai kota budaya. Paling tidak hal ini dapat dilihat dari pilar-pilar warisan budaya

yang terdapat pada bangunan puri, pura, artefak kuno, dan pemeliharaan bangunan-

bangunan yang mengandung nilai historis, merupakan satu bukti bahwa masyarakat

Kota denpasar masih tetap mencintai tradisi-tradisi yang diwariskan oleh nenek

moyang pendahulunya.

Warisan budaya berupa institusi tradisional seperti banjar, desa adat, subak,

sekeha, merupakan kearifan lokal (local genius) yang telah diakui oleh dunia

internasional. Meskipun institusi-institusi itu mengalami pasang surut sebagai akibat

adanya faktor-faktor internal dan ekternal, tetapi hingga saat ini masih tetap

memainkan peran penting dalam pembangunan Kota Denpasar sebagai kota budaya.

Demikian juga halnya dengan filosofi Tri Hita Karana, desa, kala, patra, karma pala,

jengah, paras-paros, dan nilai keadaban lokal lainnya dipandang sebagai budaya

unggul dan menjadi inspirasi dan kreasi bagi masyarakat kota Denpasar yang

berwawasan budaya. Dengan demikian terlihat jelas bahwa Kota Denpasar

sesungguhnya secara historis merupakan perkembangan dari Kota Kerajaan (Puri)

Page 63: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

63

menjadi kota budaya yang dengan kental telah mengusung kearifan-kearifan lokal

dalam membangun Kota Denpasar.

Denpasar sudah sejak lama dibangun menjadi ‘kota budaya’ tetapi hal itu

dilaksanakan tanpa dibarengi usaha memadai membangun ‘budaya kota’. Pada saat

ini, Denpasar sudah kian padat dan heterogen penduduknya, kian padat lalu-

lintasnya, kian kompleks persoalan yang potensial muncul, maka tidaklah solid

membangun ‘kota budaya’ tanpa sekaligus membangun ‘budaya kota’.

Usaha menjadikan Denpasar sebagai kota budaya sudah tampak sejak

pemerintah kolonial Belanda. Hal itu berlanjut secara melompat-lompat sampai

dengan sekarang. Segera setelah menguasai keseluruhan Bali pasca-perang Puputan

Badung 1906 dan Puputan Klungkung 1908, Belanda mengambil kebijakan untuk

melestarikan kebudayaan Bali (Balisering), dan menjadikan Bali sebagai daerah

tujuan wisata.

Berbagai usaha ke arah itu diambil termasuk mendirikan Bali Hotel 1928 dan

Museum Bali 1932. Museum Bali menjadi ikon Denpasar sebagai kota budaya.

Konsep pembangunan museum Bali sebagai museum etnografi agak unik karena

inilah museum yang identitasnya tidak hanya bisa dilihat dari koleksi artefak yang

dipajang di dalam gedung tetapi juga sekaligus dari arsitektur bangunannya yang

merupakan campuran dari arsitektur puri dan pura. Pertimbangan Belanda ikut

‘memuseumkan’ arsitektur Bali berdasarkan perkiraan bahwa arsitektur itu kelak

akan lenyap antara lain ditenggelamkan bangunan atau gedung-gedung modern

menyerupai arsitektur Belanda. Bayangan tersebut ternyata meleset karena terbukti

arsitektur Bali tumbuh terus, entah lewat pura, puri atau hotel.

Tahun 1970-an, pemerintah Orde Baru kembali menambah ikon budaya kota

Denpasar dengan mengganti lonceng peninggalan Belanda di pusat kota dengan

Patung Catur Muka dan membangun Taman Budaya yang lebih dikenal dengan Art

Centre. Selain karena sudah tua, lonceng di ujung timur Jalan Gajah Mada itu

dianggap tidak cocok dengan spirit estetika kultural Bali. Patung Catur Muka

menggantikannya dengan pesona yang pas dengan spirit budaya Bali.

Kompleks Art Centre berisi beberapa panggung terutama Ardha Chandra dan

ruangan untuk memamerkan karya seniman Bali, baik lukisan maupun patung. Galeri

seni Art Centre pernah tampil berwibawa dan memikat, tetapi kini dalam usia tiga

Page 64: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

64

dekade redup karena berbagai faktor antara lain karena koleksinya tidak terjaga

dengan baik. Peran penting Art Centre sekarang tampaknya sebatas sebagai arena

pelaksanaan tahunan Pesta Kesenian Bali.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, event PKB memberikan

kontribusi penting mewujudkan Denpasar sebagai kota budaya. Ikon budaya lain

yang dimiliki Denpasar adalah Bhajra Sandhi, yang sesekali juga dijadikan latar

belakang pementasan, baik untuk seni tradisi Bali maupun musik modern. Selain

ikon ini, pemerintah Kota Denpasar secara reguler mementaskan kegiatan kesenian

di taman Puputan Badung sebagai usaha memperkuat langkah menciptakan Denpasar

sebagai kota budaya.

Dalam sebuah artikel di English Cornor Bali Post yang terbit tahun 1991,

Jean Couteau, menuliskan pengamatannya tentang sikap pemuda Kota Denpasar

terhadap seni pertunjukan Bali. Sosiolog asal Perancis yang sudah lama menetap di

Bali itu berpendapat bahwa: “The city youth feels increasingly ‘embarresed’ (lek), to

attend Balinese shows, except in relation to tourists, preferring the pounding

vulgarity of pop music as promoted on their TVs’ (Couteau 2008: 209). Artinya

bahwa ‘pemuda kota kian merasa malu atau ‘lek’ (bahasa Bali) menyaksikan

pertunjukan kesenian Bali kecuali yang berhubungan dengan turis, mereka lebih suka

hentakan vulgar musik pop yang ditayangkan di televisi’.

Penilaian di atas mungkin ada benarnya ketika ditulis hampir dua dekade lalu,

tetapi perkembangan mutakhir menunjukkan kebalikannya. Rasa bangga generasi

muda Bali terhadap keseniannya kian tumbuh dan ini bisa dilihat dari minat mereka

menonton seni pertunjukan Bali seperti tari-tarian, lagu pop Bali, dan wayang, juga

dalam minat mereka untuk belajar menari dan menembangkan gaguritan, kidung, dan

kakawin. Pelaksanaan PKB dan penggiatan pengenalan kesenian daerah di sekolah

termasuk yang dilaksanakan dan disponsori Pemkot Denpasar merupakan program

yang ikut memberikan andil pada munculnya rasa bangga generasi muda Bali

terhadap keseniannya.

Kini tidak keliru menyimpulkan bahwa kian banyak anak muda Bali yang

bisa makidung dan yang menggemari lagu pop Bali dibandingkan pada masa-masa

sebelumnya. Generasi muda Bali kian bangga menjadikan kesenian daerah sebagai

lambing identitasnya. Walaupun rasa bangga akan kesenian sudah tumbuh, belum

Page 65: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

65

berarti bahwa cita-cita menjadikan Denpasar sebagai kota berwawasan budaya sudah

tercapai final. Perintangnya banyak sekali, selain karena ikon budaya seperti Art

Centre dan Museum Bali kian pudar keberadaaannya secara fisik dan spiritual, juga

karena secara keseluruhan di Denpasar belum ditumbuhkan secara memadai apa

yang dinamakan sebagai budaya kota. Buktinya situasi lalu-lintas, kondisi

lingkungan, dan kepedulian sosial masyarakat kian mencemaskan dalam akselerasi

perubahan kota yang tidak bisa dibendung.

Tidak bisa disangkal lagi, Denpasar dari dulu hingga kini, sudah berubah,

dari kota kerajaan menjadi kota republik, dari daerah agraris menjadi daerah industri

(jasa). Pertumbuhan jumlah penduduk dengan segala kompleksitasnya telah

mengubah lanskap dan perangai Kota Denpasar. Salah satu ciri kota besar yang juga

tampak di Denpasar adalah jumlah penduduk yang kian padat, orang tinggal

berdekatan tetapi belum tentu saling mengenal. Sistem sosial budaya Bali yang

mengikat penduduk dalam ikatan banjar, desa, dadia, dan bentuk komunalitas lainnya

memang tidak membuat proses individualisasi manusia seperti di kota-kota besar di

dunia lainnya, tetapi perasaan individu dan ketidakpedualin juga mulai tumbuh

mewarnai budaya kota yang anomie.

Tahun 1971, sastrawan Made Sanggra dengan menarik melukiskan denyut

perubahan Kota Denpasar lewat sebuah sajak berbahasa Bali berjudul denpasar sanè

mangkin (denpasar dewasa ini):

denpasar sanè mangkin

katah umah nyujuh langit

makwèh sawah dados umah

umah dados sawah

denpasar sanè mangkin

pasliwer wong sunantara

solahnyanè solèh-solèh

payasnyanè melagèndah

melalung mekamen lambih

macukur mabok dawa

luh matingkah muani

muani maambek…..

Page 66: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

66

Sajak yang ditulis di awal perkembangan Bali menjadi daerah tujuan wisata

massal (mass tourism) bisa disimak lewat dua lapis pemaknaan. Lapis pertama, sajak

ini, mulai dari bagian awalnya melukiskan perubahan lanskap Denpasar dari suasana

agraris persawahan menjadi suasana perkotaan yang ditandai dengan berdirinya

gedung-gedung bertingkat yang menggapai langit (nyujuh langit), termasuk salah

satunya yaitu Hotel Bali Beach di Sanur.

Kebutuhan urbanisasi membuat banyak sawah disulap menjadi rumah dan

rumah-rumah dibangun bertingkat. Ungkapan ‘nyujuh langit’ agak hiperbolis karena

senyatanya Bali memberlakukan regulasi tinggi maksimal bangunan hanya 15 meter.

Meski demikian, hadirnya gedung-gedung bertingkat mewakili apa yang

digambarkan sajak di atas. Bagian berikutnya melukiskan Denpasar sebagai kota

wisata yang dikunjungi banyak orang asing (wong sunantara). Di mata penyair Made

Sanggra, perilaku dan perangai turis itu agak aneh.

Tahun 1970-an, Denpasar mulai banyak dikunjungi wisatawan dan mereka

biasanya mengenakan sarung dengan baju minim, terkadang singlet saja atau topless,

untuk menyesuaikan diri dengan udara kota yang tropis. Wisatawan yang muncul

biasanya berambut panjang, mirip dengan hippies.

Di mata penyair dan ukuran kesopanan saat itu, penampilan mereka dianggap

aneh untuk ukuran Denpasar saat itu. Tapi, wong sunantara bisa juga dianggap kaum

migran yang kemudian memperhebat urbanisasi di Denpasar, yang selanjutnya

membuat kian meningkatnya konversi sawah menjadi rumah.

Dalam lapis kedua, sajak Made Sanggra ini melukiskan dampak sosial dari

perubahan lanskap kota Denpasar. Ungkapan umah dados sawah menunjukkan

perubahan sumber mata pencaharian masyarakat. Kalau dulu ‘sawah’ sebagai sumber

pendapatan, kini ‘rumah’ menjadi sumber penghasilan khususnya bila mengacu pada

rumah-rumah kost yang bermuculan di Denpasar.

Banyak warga kota yang beruntung punya sawah lalu diubah menjadi rumah

kost dan hidup dengan hasil sewa rumah kost. Lukisan perilaku manusia yang aneh-

aneh adalah ekspresi kekhawatiran penyairnya tentang munculnya fenomena

kehidupan kota yang anomie ketika luh matingkah muani (wanita berperilaku seperti

laki-laki) dan merosotnya nilai moral. Dalam konteks sajak Made Sanggra, sumber

anomie ini seolah bersumber dari wong sunantara. Dampak negatif pariwisata bukan

Page 67: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

67

merupakan rahasia lagi, tetapi Denpasar dan Bali secara umum sudah tanpa ragu-

ragu menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian.

Akurasi penggambaran fenomena kota atau kehidupan urban (urban life)

sudah banyak diberikan oleh kalangan sosiolog. Keakuratan definisi mereka tentang

kota terletak pada kemampuannya untuk menunjukkan sisi positif dan negatif kota

sekaligus dalam oposisi biner. Durkheim berpendapat bahwa urban life merupakan

ruang kreativitas, kemajuan, dan tatanan moral baru (creativity, progress and a new

moral order) sekaligus sebagai arena pembusukan moral (moral decay) dan sirnanya

aturan-aturan sosial atau anomi (Barker 2000: 296).

Marx melihat urban life sebagai lambang kemajuan dan lompatan besar

produktivitas yang dibeli oleh kapitalisme, sebaliknya juga sebagai arena

kemiskinan, ketakpedulian, dan penderitaan. Walaupun batasan tentang kehidupan

urban di atas disusun berdasarkan apa yang terjadi di kota-kota di Barat yang berciri

industri yang kental, situasinya sedikit banyak juga tampak di kota-kota di Indonesia.

Pemerintah dan masyarakat pasti mendambakan perkembangan kota

Denpasar bisa menjadi arena produktivitas, kreativitas, dan memberikan kemajuan-

kemajuan serta tidak ingin melihat kota menjadi arena tumbuh suburnya

ketidakpedualian dan pembusukan moral sosial. Atau, setuju kota Denpasar menjadi

arena untuk memacu proses-proses produksi demi keberlanjutan perekonomian tetapi

tidak mau kemajuan itu menyuburkan proses pemiskinan atau kemiskinan. Dengan

kata lain, bagaimana menjadikan Denpasar sebagai kota yang berkembang dengan

ciri positif kehidupan urban sekaligus mencegah dampak negatifnya seperti yang

digariskan oleh Weber dan Marx di atas.

Yang dimaksud dengan budaya kota adalah gaya hidup manusiawi yang

diupayakan untuk memenuhi tuntutan kenyamanan warga kota secara berkelanjutan

dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Mengingat kota

merupakan arena perjuangan berbagai kepentingan dari orang, kelas, golongan untuk

mewujudkan angan-angan atau ambisinya yang tak jarang di luar rasio normal, maka

membangun budaya kota dengan tatanan dan aturan yang kuat merupakan hal yang

utama. Kota budaya akan semakin kuat dan menjadi ideal jika ditopang dengan

pembangunan budaya kota. Banyak hal yang bisa dilaksanakan untuk membangun

Page 68: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

68

budaya kota, tiga yang disarankan di sini untuk diadopsi adalah apa yang sudah

pernah digariskan oleh pemerintah-pemerintah sebelumnya adalah:

1. Membangun dan memperkuat kesadaran akan hukum (darkum).

2. Membangun dan memperkuat kesadaran akan lingkungan (darling).

3. Membangun dan memperkuat kesadaran akan kemanusiaan (darman).

Kesadaran warga akan hukum diperlukan untuk mengatur kehidupan sosial.

Persoalan yang dihadapi Denpasar sekarang ini adalah masih lemahnya kesadaran

masyarakah mematuhi hukum dan aturan sosial, termasuk misalnya dalam lalu-lintas.

Parkir sembarangan atau pemilik ruko sembarangan melarang orang parkir di depan

propertinya membuat Denpasar kehilangan pesona kota berwawasan budaya.

Untuk mencegah agar orang tidak memarkir kendaraan di halaman tokonya,

pemilik toko memasang memancang patok dan rantai. Pemandangan ini membuat

Denpasar sebagai kota yang egois dan gawat. Mengapa tidak dipasang tanda dilarang

parkir saja? Terbatasnya fasilitas parkir memang merupakan kendala yang perlu

dipecahkan tapi penghayatan dan pengalaman masyarakat agar tertib hukum sangat

perlu ditanamkan. Gagal membangun lalu-lintas yang baik tidak saja dapat

menimbulkan penyebab stress bagi warga kota dan menghambat kelancaran

perekonomian tetapi juga akan membuat citra Denpasar sebagai kota budaya akan

ambrol.

Citra Denpasar sebagai kota berwawasan budaya juga sangat ditentukan oleh

lanskap lingkungan yang ada, mulai dari estetika kota sampai dengan ihwal

kebersihan. Kota Denpasar tampak meniru kekeliruan kota-kota lain dengan

membiarkan dirinya terpolusi spanduk dan baliho hanya karena kemauan merebut

retribusi reklame. Pemasangan poster dengan paku-paku dan kawat di batang pohon

tak hanya menyiksa tanaman tetapi juga menodai estetika kota. Ini harus dicegah

untuk mewujudkan kota yang indah dan ramah lingkungan.

Lihatlah toko-toko di Jalan Gajah Mada, khususnya di daerah barat sungai,

semuanya tampak semrawut dengan barang dagangan yang bergelantungan meluber

ke luar merusak pesona kota. Pedestrian yang bermutu rendah juga menjadi noda

bagi pesona Denpasar. Ini juga harus diberikan perhatian serius. Masalah lain yang

berkaitan dengan lingkungan adalah sampah.

Page 69: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

69

Pemerintah memang sudah berusaha terus untuk memecahkan masalah

sampah, tetapi diperlukan usaha lebih keras lagi untuk membuat Denpasar kota yang

benar-benar bersih. Agar peran pemerintah lebih ringan, kesadaran masyarakat akan

kebersihan dan kelestarian lingkungan harus diperkuat. Faktor paling terakhir yang

tidak kalah pentingnya untuk membangun kota berwawasan budaya adalah

menumbuhkan kesadaran warga kota agar menjadi insan-insan yang sopan dan

ramah, menghargai manusia lain dengan ketulusan dan jiwa besar tanpa berarti

merendahkan martabat. Denpasar yang kian lama menjadi kota urban dengan

penduduk heterogen sungguh memerlukan warga yang ramah. Keramahan ini tidak

saja akan membuat warga kota merasa nyaman dalam berinteraksi atau

menyelesaikan urusan di kantor-kantor tetapi juga akan menyenangkan hati para

wisatawan. Kesan baik ini akan memperkuat citra Denpasar sebagai kota budaya.

Langkah pembinaan budaya kota ini harus dilakukan secara terencana,

strategis dan berlanjut. Kalau selama ini program kota Denpasar berwawasan budaya

merupakan program dari pemerintah ke masyarakat alias top down, maka program

pembinaan budaya kota harus dilakukan dari dua arah, yaitu top down dan bottom up,

dengan menggunakan lembaga pendidikan dan media massa serta lembaga-lembaga

pemerintahan desa sebagai arena untuk membangun budaya kota. Anak-anak sekolah

supaya diarahkan untuk ikut aktif mencari formula untuk membangun budaya kota di

jiwa masing-masing.

Manusia memiliki sifat-sifat lahir untuk mencari gampang, keuntungan

sendiri meski dengan melanggar aturan sekalipun, oleh karena itu tidaklah mungkin

mengharapkan kesadaran akan hukum, lingkungan, penghargaan kepada manusia

lain bisa tumbuh secara otomatis. Artinya, diperlukan rekayasa sosial yang

berkelanjutan untuk membangun insan-insan yang memiliki darkum, darling, dan

darman.

Syukurlah Pemkot Denpasar mempunyai media elektronik Radio Pemerintah

Kota Denpasar yang sudah dijadikan media untuk membangun budaya kota. Iklan-

iklan sosial atau layanan masyarakat Radio Pemkot sangat persuasif, mendorong

masyarakat untuk bersama membangun Denpasar menjadi kota budaya, kota yang

bersih, dan nyaman. Pesan-pesan jangan membuang sampah sembarangan, ketertiban

lalu-lintas, iklan yang melarang pengendara motor/mobil menggunakan handphone

Page 70: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

70

saat berkendaraan, iklan dilarang parkir sembarangan, dan sejenisnya muncul dalam

iklan layanan masyarakat. Iklan sosial ini sangat penting dalam upaya membentuk

pola pikir dan perilaku masyarakat mematuhi aturan dan terpanggil menjaga

kebersihan demi kepentingan bersama. Peran radio Pemkot dalam sosialisasi nilai-

nilai budaya kota untuk taat peraturan, hidup bersih seperti itu patut diteruskan. Agar

pesan-pesan yang mendukung terbentuknya budaya kota itu efektif dan menjangkau

lebih banyak pendengar, pengelola radio harus mampu membuat acara radio yang

menarik baik bagi anak muda maupun orang tua.

Pembangunan Denpasar sebagai kota (berwawasan) budaya tidaklah cukup

dengan menggelar pentas seni budaya atau festival serta membangun ikon fisik

budaya saja tetapi perlu dibarengi usaha strategis dan rekayasa sosial untuk

membangun budaya kota. Pembangunan budaya kota diarahkan pada peningkatan

kesadaran hukum, kesadaran lingkungan, dan kesadaran kemanusiaan alias sikap

ramah tamah menghormati sesama.

Kota Denpasar yang bercirikan sebuah kota dengan citra tradisi Bali,

tercermin dalam aspek fisik, sosial-budaya, dan spirit warga kota. Pendirian maupun

penataan terhadap bangunan fisik yang dilakukan masyarakat seperti pembangunan

rumah tinggal, bangunan tempat ibadah, dan bangunan untuk publik pada umumnya

tetap mengacu kepada ajaran agama Hindu. Mayoritas penduduk kota adalah warga

etnik Bali yang masih kental dengan aktivitas kesehariannya seperti pelaksanaan

upacara keagamaan, tradisi berkesenian, dan aktivitas sosial di banjar-banjar.

Spiritualitas warga kota dalam upaya pemertahanan nilai kesucian dan kesakralan

tetap menjadi pedoman umum bagi penduduk Kota Denpasar. Melestarikan tradisi

bukan berarti menutup arena relasi dan dialog lintas budaya. Perjalanan sejarah dan

pola interaksi sosial masyarakat Denpasar telah berlangsung sejak masa lampau

hingga sekarang yang senantiasa dihadapkan pada situasi hetrogenitas agama, suku,

bangsa, dan budaya. Dalam dialog tersebut warga Kota Denpasar mengindikasikan

adanya sikap keterbukaan, kerja sama dan kesetaraan sebagai bukti adanya

penghargaan terhadap masyarakat yang multikultural. Representasi masyarakat Kota

Denpasar yang multikultural ini selayaknya terus digelorakan sehingga Kota

Denpasar tetap mampu memainkan peran penting dalam menghadapi globalisasi

Page 71: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

71

dengan tetap mengusung Denpasar sebagai kota budaya sebagai aset bangsa yang

bisa mendatangkan devisa demi kepentingan untuk mensejahtrakan masyarakat.

Pembangunan Kota Denpasar telah menempatkan budaya sebagai pondasi

dasar dalam pelaksanaan pembangunan. Pembangunan dijalankan dengan selalu

berorientasi pada kesejahtraan, peradaban, dan dinamika dalam konteks lokal,

nasional, dan global dengan selalu mengedepankan segi-segi positif kebudayaan

Bali. Pembangunan yang dilandasi oleh pkebudayaan Bali sebagai satu sosok

kebudayaan yang hidup secara berkelanjutan (Geriya, 2010: 32). Pembangunan

komunitas kota mencakup upaya dinamik untuk merevitalisasi tiga kategori

kemampuan dasar manusia dan masyarakat agar mampu survive secara berkelanjutan

dalam konteks lingkungan yang berubah. Tiga kemampuan dasar tersebut adalah

kemampuan untuk tumbuh dan berkembang secara kreatif-inovatif, kemampuan

untuk tumbuh dan berkembang secara adaptif, dan kemampuan untuk tumbuh dan

berkembang secara akulturatif.

Kebudayaan akan dapat mengintegrasikan tiga wujud dengan tujuh unsur.

Tiga wujud tersebut adalah ide, perilaku, dan fisik; sedang tujuh unsur kebudayaan

terdiri atas sistem peralatan, sistem matapencaharian, sistem organisasi, bahasa,

kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi. Dalam kepentingan operasional,

substansi kebudayaan mencakup unsur tangible, intangible dan abstrak. Katagori

tangible meliputi unsur-unsur budaya fisik yang dapat diraba seperti: gedung, benda,

kerajinan, benda kesenian, tempat ibadah, patung, topeng, tekstil, dan sebagainya.

Katagori intangible meliputi: banjar, subak, desa adat, sekaa, arsitektur, upacara,

usada, teknologi tradisional, bercocok tanam, simbol-simbol dan sebagainya.

Sementara katagori abstrak mencakup sistem nilai, sistem norma, hukum adat,

filsafat hidup, ideologi. Pemaknaan terhadap berbagai unsur kebudayaan tersebut

mengacu pada paradigma keserasian lokal, nasional, dan global.

Sehubungan dengan pemaknaan tersebut, warga kota Denpasar yang

mayoritas etnik Bali yang beragama Hindu, maka kebudayaan yang tepat dipakai

acuan atau referensi adalah kebudayaan Bali yang dijiwai oleh agama Hindu.

Kebudayaan Hindu secara substansi memiliki keragaman, kekhasan, dan berbagai

keunggulan, baik pada tataran nilai, kelembagaan, fisik dan simbol. Berdasarkan hal

tersebut dalam rangka pembangunan Kota Denpasar yang menyejarah, humanis,

Page 72: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

72

beragam dan berkualitas yang patut dijadikan kerangka acuan adalah perpaduan

nilai-nilai ekpresif, progresif dan kokoh dalam aras bawah. Konfigurasi nilai terpadu

tersebut terinci atas sembilan nilai utama, yaitu: nilai religius, estetis, etis,

keseimbangan, harmoni, ekonomis, dan keadilan, iptek, supremasi hukum, serta

demokratis partisipatif (Geriya, 2010: 33).

Sebagai destinasi wisata internasional dan kota berwawasan budaya,

Denpasar wajib mengembangkan budaya tata ruang untuk memperkuat nilai

keharmonisan dan keseimbangan yang diamanatkan dalam Visi-Misi Denpasar.

Budaya tata ruang (Bali) mengandung 3 bagian pokok berkaitan dengan filosofi

luan/teben (sakral/profan) yang dijabarkan dalam konsep tri mandala (pembagian

zone jadi tiga): utama mandala (kawasan sakral) untuk tempat pemujaan; madya

mandala (antara/tengah) untuk bagunan hunian; nista mandala (profan/terluar) untuk

ruang terbuka hijau (di Bali biasa disebut jaba sisi/teba/lebuh/telajakan).

Krama Bali memaknai budaya tata ruang dengan perilaku dan tindakan.

Prilaku dan tindakan yang mendorong kebudayaan Bali lebih dinamis dan adaptif

menyikapi nilai luar atau baru yang sekarang makin kendor di Denpasar dan Bali.

Bahkan, cenderung memaksa tata ruang kota kehilangan roh di kawasan

pengembangan (permukiman baru, supermall, ruko, apartemen dan kondotel,

condominium) dan mendesak permukiman lama (desa/banjar tradisional) termasuk

sawah dan subak terancam musnah demi dan untuk pembangunan. Ini akan

berbahaya bila budaya tata ruang diabaikan, ruang horizontal dan vertikal (zone dan

struktur bangunan) tak keruan akibat pengawasan lemah, dasar hukum (legal based)

lembek, penegakkan hukum (law enforcement) kendor. Budaya tata ruang yang

bernarasi ‘di mana boleh ada apa dan di mana tidak boleh ada apa’ kini cenderung

beresonansi ‘di mana saja boleh ada apa saja’. Di kota ini sangat mudah menemukan

bangunan publik ‘tanpa kepala’ dan menafikan tempat suci (pura). Sebutlah

supermall, ruko dan apartemen bisa lepas dari budaya tata ruang (Bali) sehingga

spirit komunitas Hindu Bali tak terwadahi. Ketika sebuah supermall di Kota

Denpasar saat peluncuran perdana beberapa tahun lalu, jangankan pura, penunggun

karang pun tak ada. Hal yang sama pun terjadi di kawasan wisata belanja Teuku

Umar beberapa bulan lalu. Sebuah bangunan megah, untuk selular, elektronik dan

ruang pameran awalnya mengabaikan bangunan bercorak Bali.

Page 73: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

73

Di saat media dan legislatif gencar menyoroti, syukur pemegang otoritas Kota

Denpasar, tergugah dan meminta pengelola supermall dan bangunan IT dan selular

untuk mengamankan budaya tata ruang tradisional warisan leluhur yang adiluhung

itu. Pada era Gubernur IB. Mantra (1978-1988), budaya tata ruang dan zoning

diawasi ketat. Zone pemerintahan dan gerak sejarah perjuangan rakyat Bali

dipusatkan di Renon (Densel); industri di Ubung (Denut); pendidikan di Penatih

(Dentim); permukiman baru di Tulang Ampian (Denbar). Pengaturan zone ini sesuai

dengan rujukan budaya (Bali) yang sangat fundamental. Tapi semua itu kini seakan-

akan tenggelam di balik Ruko dan supermall dan bangunan-bangunan bertingkat

sejenisnya yang kurang mercerminkan ciri khas budaya Bali.

Kawasan khas yang mencitrakan budaya lokal, makin langka juga di kota ini.

Bypass Ngurah Rai, yang dulu jadi kebanggaan warga kota, kini disesaki pedagang

mebel, pasir dan batu padas, SPBU, restoran, biro perjalanan, pedagang tanaman

hias. Belum lagi ’serbuan’ rombong bakso, warung lalapan, soto dan sate mewarnai

sudut kota metro yang beraktivitas entah siang entah malam. Semua itu tidak tertata,

tidak disiplin dan tidak mencerminkan kebersihan dan keindahan Kota Denpasar

sebagai ibukota Provinsi Bali. Gatsu yang dirancang sebagai jalur khas (semasa

Bupati IDG. Oka, Pande Made Latra, dan Gusti Alit Putra, dan Walikota Komang

Arsana), kini apa saja ada di sana. Membangun disiplin, menciptakan kebersihan dan

keindahan. Denpasar telah mendeklarasi kota berwawasan budaya yang punya

program city tour, mestinya bergairah merawat kawasan khasnya. DKI yang

metropolis saja punya Monas, TMII, dll; Yogyakarta punya Malioboro; Malang

punya Slamet Riady-nya; Surabaya punya trading & service city berkultur harmoni.

Kawasan Renon, misalnya, banyak orang sedih melihatnya karena dikurung oleh

Ruko, restoran besar, sehingga karakter Niti Mandala sebagai pusat Pemerintahan

Propinsi Bali tenggelam. Rumah makan milik pelaku budaya (Nang Lecir, Pitik Bali,

dan sejenisnya) yang semula diizinkan beroperasi untuk memenuhi kebutuhan makan

siang pegawai Pemprop, kini ‘mati’ tertindih Cianjur, Renon, Pawon, Wong Solo,

dan lain-lain. Bahkan dua tahun terakhir sudah tidak kelihatan lagi, entah kemana

dan dimana warung makan Nang Lecir dan Pitik Bali. Keadaan Kota Denpasar hari

ini, sudah jauh dari keinginan almarhum I.B. Mantra yang sejak awal

kepemimpinannya mendesain dan menata ibukota provinsi ini dengan kearifan lokal.

Page 74: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

74

Di era kesejagatan mestinya Kota Denpasar tetap gigih mengawal budaya lokalnya.

Ibukota Propinsi Bali ini tidak boleh mengikuti semua kemauan pebisnis kecil/besar,

domestik/asing. Semua ini demi menempatkan kearifan lokal, kepribadian manusia

Bali (Hindu) untuk menghidupkan humanitas warga kota yang cenderung terus

meredup ditiup arus individualistik, konsumerisme, dan hedonis.

Page 75: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

75

V

PENUTUP

Berdasarkan gambaran historis yang dijelaskan di atas dan landasan teori

tentang terbentuknya kota serta didukung pustaka acuan sebagai pembanding, dapat

dikatakan bahwa kota Denpasar lahir dari sebuah keraton (Puri). Keraton Denpasar

dibangun kemudian berfungsi sebagai ibukota pusat pemerintahan pada tahun 1788.

Sejak itu kekuasaan kerajaan Badung memancar dari Puri Denpasar. Upaya ini tidak

bisa dipisahkan dari peranan raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan, raja pertama di

Puri Denpasar (1788-1813).

Hampir satu abad Puri Denpasar berdiri megah member corak kota kerajaan,

kota keraton di kerajaan Badung sebelum dibombardir oleh pasukan Marinir dan

Angkatan Darat Belanda pada tahun 1906 hingga hancur. Selanjutnya di atas puing

keraton (Puri) Denpasar dibangun gedung untuk pusat pemerintahan di Bali Selatan.

Selanjutnya Denpasar diabadikan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda

menjadi nama ibukota afdeling Bali Selatan pada akhir tahun 1907. Sejak itu

ditetapkan bahwa di Karesidenan Bali dan Lombok daerah-daerah Badung, Tabanan,

Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem membentuk sebuah afdeling Bali

Selatan dengan ibukotanya Denpasar. Setahap demi tahap Kota Denpasar senantiasa

member warna dan ciri sebagai ibukota Daerah Tingkat II (Dati II) Badung, Ibukota

Dati I Bali dan Ibukota Provinsi Bali sampai menjadi kota yang memiliki otonomi

karena perkembangan yang dialami selama usianya 222 tahun. Dari kota keraton

menjadi kota berproses selama 222 tahun (1788-2010) Denpasar tetap eksis menjadi

nama kota dan menjadi kebanggaan warga Kota Denpasar.

Saat ini ketika warga kota Denpasar menanyakan kapan sesungguhnya usia

kota Denpasar? Maka jawabannya berdasarkan penelitian ditemukan pada tahun

1788. Mengenai tanggal dan bulan tidak ditemukan. Berdasarkan atas kesepakatan

peserta seminar muncul tawaran tiga opsi, yaitu:

1. Menggunakan tanggal bulannya saja dari SK Menteri Dalam Negeri RI,

tanpa tahunnya (1992) namun diganti dengan mengacu tahun berdirinya

keraton Denpasar tahun 1788 sebagai pusat pemerintahan kerajaan

Page 76: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

76

Badung. Ditemukan 27 Pebruari (SK Mendagri) 1788 (Gora Sirikan).

Keduanya dilampirkan. Jadi, hari jadi kota Denpasar 27 Pebruari 1788.

2. Berdasarkan hari besar, upacara petoyaan, wedalan, petirtaan di

bangunan pemerajan agung yang saat sekarang sudah tidak ada lagi bekas

dan tradisinya karena keraton/puri Denpasar dan bagian-bagian puri

termasuk Merajan Agung hancur rata tanah.

3. Pandangan budaya lokal penganut agama Hindu di Bali tentang

melaksanakan karya Batara Turun Kabeh pada Purnama Kedasa. Tradisi

ini dianut di Pura Nambangan Badung bukan di Merajan Agung Puri

Denpasar.

Dari tiga opsi yang muncul dalam seminar, Tim Peneliti merekomendasikan

opsi 1 (satu) menjadi hari jadi kota Denpasar yaitu 27 Pebruari 1788. Atas

pertimbangan alasan masyarakat dan pemerintah kota telah biasa merayakannya

setiap 27 Pebruari, namun saat sekarang tahunnya ditarik ke masa lampau yaitu dari

tahun 1992 ke tahun 1788. Dengan kota Denpasar seperti juga kehadiran historis

kota-kota di Nusantara maupun Mancanegara, seperti: Jakarta, Yogyakarta, Paris,

Atena dan lain-lain. Dapat dilacak berdasarkan faktor historis yaitu dari kota

keraton/puri tahun 1788 menjadi kota saat ini dibatasi sampai tahun 2010 berusia 222

tahun.

Page 77: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

77

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I Ketut, “Denpasar: Perkembangan Dari Kota Kolonial Hingga kota

Wisata”, dalam Freek Colombijn et al., 2005. Kota Lama Kota Baru Sejarah

Kota-Kota di Indonesia. Jogjakarta: Ombak.

Ardhana, I Ketut. 1993. “Balinese Puri in Historical Perspective; The Role of the

Puri Satria and Puri Pamecutan in Social and Political Changes in Badung,

South Bali 1906-1950”. Thesis Australian National University.

Barker, Chris. 2000. Cultural Studies; Theory and Practice. London: Sage

Publication.

Bonn. 1937. Nota V. Tolichtingen Zelfkesturende Landschap Badoeng.

Couteau, Jean. 2008. Bali today 2. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Dharmawiajaya Mantra, IB Rai. 2009. “Denpasar Kota Kreatif Berbasis Budaya

Unggulan. Potensi Ekonomi Berbasis Budya Unggulan Kota Denpasar”,

makalah disampaikan dalam seminar tentang Peran Lembaga Keuangan

Mikro dalam Pembangunan Ekonomi Kreatif, di Fakultas Ekonomi

Universitas Udayana.

Flierhaar, H. Te. 1931. De Aanpassing van het Inlandsch Onderwijs op Bali aan de

Eigen Sfeer. Batavia.

Geertz, C., 1980. Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton,

NY: Princenton Univ. Press.

Geriya, I Wayan (ed.), 2010. Pusaka Budaya Representasi Ragam Pusaka dan

Tantangan Konservasi di Kota Denpasar, Bali. Denpasar: Bappeda Kota

Denpasar.

Geriya, I Wayan. 2001. “Sinergi Kebudayaan, Agama, dan Pendidikan dalam

Membangun Jati Diri dan Moral Komunitas Kota Denpasar yang

Berwawasan Budaya”, dalam Rumawan Salain (ed), Strategi Pembangunan

Kota Denpasar yang Berwawasan Budaya. Denpasar: Papedda Kota

Denpasar.

Page 78: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

78

Geriya, I Wayan. et al., 2010. Kebudayaan Unggul Inventori Unsur Unggulan

Sebagai Bassis Kota Denpasar Kreatif. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar.

Hoekstra, H.J. 1937. Nota van Toelichtingen Betreffende het in de Stellen

Zelfbesturende Landschap Badoeng.

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nonor: 16 Tahun 1970 Tentang Pelaksanaan

Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1970 Tentang Pembentukan Kota

Administratif Denpasar.

Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Badung Nomor: HOT.4/81/1980

Tentang Pelimpahan Tugas Wewenang Pemerintah Kabupaten Daerah

Tingkat II Badung Kepada Pemerintah Kota Administratif Denpasar.

Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Badung

Nomor: 3/DPRD/1977 Tentang Pembentukan Kota Administratif Denpasar.

Laporan Panitia Khusus A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Badung

Tentang Proses Rencana Peningkatan Status Kota Denpasar

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor: 122, Tahun 1958.

Moolenberg, P.E. 1926. Memorie van Overgave van het Gewest Bali en Lombok.

Nijpels, G. 1897. De Expedition naar Bali in 1846, 1848, 1849 en 1868. Haarlem.

Pemerintah Kota Denpasar, 2011. Event Management Kota Denpasar. Denpasar:

Bappeda Kota Denpasar.

Pemerintah Kota Denpasar, 2011. Event Management Kota Denpasar. Denpasar:

Bappeda Kota denpasar.

Pendit, Nyoman S. 2008. Bali Berjuang. Denpasar: Pustaka Larasan.

Penelusuran Sejarah Kota Denpasar. 2009. Denpasar: Bappeda Kota Denpasar.

Putra, I Nyoman Dharma. 2009 “Seputar langkah untuk membangun ‘budaya kota’

yang menjadi penopang kokohnya langkah strategis membangun Denpasar

sebagai ‘kota budaya’ atau kota berwawasan budaya”. Makalah disampaikan

pada Seminar Denpasar sebagai Kota Berwawasan Budaya, 29 Desember

2009, di Inna Bali Hotel, diselenggarakan serangkaian dengan Festival

Denpasar, Desember 2009.

Page 79: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

79

Raka, I Gusti Gde. 1955. Monografi Pulau Bali. Djakarta: Pusat Djawatan Pertanian

Rakjat RI.

Rama. Ida Bagus Dkk., 1998. Prof. Dr. Ida Bagus Mantra Biografi Seorang

Budayawan 1928-1995. Denpasar: Upada Sastra.

Sirikan, Gora. 1956. Sejarah Bali.

Sjoberg, Gedeon. 1960. The Preindustrial City; Past and Present. New York,

London: The Free Press.

Soenaryo, F.X. 1989. ”Sejarah Kota Denpasar 1906-1942”, Tesis. Yogyakarta:

Fakultas Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada.

Soenaryo, FX. 1989. “Sejarah Kota Denpasar 1906-1942”, Tesis S 2. Yogyakarta:

Fakultas Pasca Sarjana UGM.

Staatblad Tahun 1907 Nomor 449.

Staatblad Tahun 1910 Nomor 638.

Stenis, L.U. 1919. Memorie van Overgave van het Gewest Bali en Lombok.

Suasih, Ni Made. 1992. “Sejarah Kota Administratif Denpasar (1978 – 1989)”,

Skripsi S1 Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Surat Kawat Rapat Persiapan Tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi

Kota Administratif, Tanggal 3 Agustus 1976.

Surat Kawat Rapat Persiapan Tentang Peningkatan Status Kota Denpasar Menjadi

Kota Administratif, Tanggal 22 Januari 1977

Surjomihardjo, Abdurrachman 2000. Sejarah Perkembangan Sosial Kota

Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Suryo, Djoko. 2004. ”Penduduk dan Perkembangan Kota Yogyakarta 1900-1990”,

Paper pada The 1st International Conference on Urban History Surabaya.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di

Daerah. 1988. Jakarta: Pustaka Tinta Mas.

Utrecht, E. 1962. Sedjarah Hukum Internasional di Bali dan Lombok. Bandung.

Page 80: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

80

LAMPIRAN I

Schets van den platten grond van de poeri van Den Pasar

Page 81: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

81

LAMPIRAN II

Schetskaart van Midden Bali (Peta Bali)

Page 82: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

82

LAMPIRAN III

DATA ARSIP I

Page 83: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

83

Page 84: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

84

LAMPIRAN IV

DATA ARSIP II

Page 85: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

85

LAMPIRAN V

Lembaran Negara Hindia Belanda

(Staatsblad van Nederlandsch-Indie)

Page 86: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

86

Page 87: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

87

LAMPIRAN VI

Bali en Lombok: Ibukota Singaraja

(Bali en Lombok: Hoofdplaats Singaradja)

Page 88: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

88

Page 89: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

89

LAMPIRAN VII

Akten van Verband en van Bevestiging van de Radja’s van Badoeng

(Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1891-1892 No. 106-26)

Page 90: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

90

Page 91: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

91

Page 92: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

92

Page 93: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

93

LAMPIRAN VIII

Akten van Verband en van Bevestiging van de Radja’s van Badoeng

(Handelingen Staten Generaal Zitting 1902-1903 Bijlagen 174-2)

Page 94: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

94

Page 95: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

95

Page 96: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

96

Page 97: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

97

Page 98: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

98

LAMPIRAN IX

Overeenkomst tot Regeling der Grenzen met Gianjar 3/3-02 Goedgekeurd en

Bekrachhtigd

(Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1903-1904 No. 201-15)

Page 99: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

99

Page 100: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

100

Page 101: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

101

Page 102: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

102

Page 103: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

103

Page 104: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

104

LAMPIRAN X

Mesatia-Contract Badoeng 22 Desember 1904 (bt. 21/2-05)

Page 105: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

105

Page 106: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

106

Page 107: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

107

Page 108: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

108

PRAKATA

Untuk melaksanakan gagasan tentang penulisan sejarah lahirnya kota

Denpasar, telah dibentuk sebuah Tim yang bertugas meneliti dan menyusunnya.

Hasil temuan tim sudah diseminarkan. Melalui musyawarah mufakat hingga tercapai

kesepakatan dari aspek yuridis formal dan dari aspek historis. Temuan yang

direkomendasikan tim kiranya dapat dijadikan pertimbangan keputusan politik oleh

pemerintah Kota Denpasar. Temuan yang direkomendasikan ialah tanggal 27

Pebruari (dari aspek yuridis formal SK Mendagri tahun 1992), tahun 1788 (dari

aspek historis buku Gora Sirikan, II, 1956: 188). Jadi hari lahir kota Denpasar 27

Pebruari 1788.

Selama proses penelitian dan penyusunan menjadi sebuah buku, banyak

perorangan dan lembaga yang membantu. Baik bantuan material finansial maupun

motivasi spirit moral, utamanya Bapak Walikota Denpasar. Ucapan terimakasih

secara tulus dari Tim disampaikan kepada Bapak Ida Bagus Rai Dharmawijaya

Mantra, SE, M.Si, Walikota Denpasar yang mendorong Tim untuk menggali hari jadi

Kota Denpasar. Ucapan terimakasih yang tulus ditujukan kepada segenap wakil

rakyat yang duduk di DPRD Kota Denpasar dan pemuka Puri (Pemecutan, Denpasar,

dan Kesiman). Juga ucapan terimakasih tulus disampaikan kepada para informan,

narasumber, lembaga-lembaga penyimpanan arsip dokumen, Arsip Nasional RI dan

Perpustakaan Nasional RI di Jakarta, Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi

Yogyakarta, Badan Arsip dan Perpustakaan Daerah Propinsi Sulawesi Selatan,

Kantor Dokumentasi Kebudayaan Bali di Denpasar.

Semoga gagasan dan usaha Bapak Walikota Denpasar yang didukung oleh

tim penyusun kiranya dapat turut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui sejarah

lahirnya Kota Denpasar. Juga untuk lebih mengenal jati diri kita sebagai bangsa yang

ber-Bhineka Tunggal Ika dalam mewujudkan cita-cita bangsa melalui aktivitas kota

kreatif berwawasan budaya. Kota Denpasar yang menjalankan perjalanan sejarah dari

kota keraton (puri) tahun 1788 menjadi kota yang ada sekarang (2011) berusia dua

abad lebih. Pada hari jadinya yang akan datang genap berusia 224 tahun apabila

disepakati tanggal 27 Pebruari 1788 – 27 Pebruari 2012.

Denpasar, 28 Oktober 2011

Tim Penyusun

i

Page 109: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

109

SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR

“Om Swastiastu”

Puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa/Tuhan Yang

Maha Esa, atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya, Buku

“Sejarah Kota Denpasar: Dari Kota Keraton Menjadi Kota

(1788 – 2010)” dapat diterbitlan, sesuai yang telah direncanakan.

Pemerintah Kota Denpasar bekerjasama dengan

Universitas Udayana Denpasar melaksanakan penelitian ini,

sebagai salah satu upaya untuk mengetahui sejarah dan usia kota Denpasar, yang

lahir dan muncul dari kota keraton/puri yang memiliki ciri-ciri dan unsur budaya

keraton/puri yang bersinergi dengan budaya rakyatnya.

Harapan kami semoga buku ini dapat memberikan pemahaman yang utuh dan

menyeluruh untuk mempertebal kesadaran sejarah dari komunitas kota Denpasar

sehingga dapat memperkuat jati diri masyarakat kota Denpasar berlandaskan budaya

Bali.

Akhirnya pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Tim

Peneliti Bapak A.A. Bagus Wirawan, SU serta Tim Peneliti dari Universitas

Udayana atas dharma baktinya dalam mewujudkan Visi dan Misi Pemerintah Kota

Denpasar.

“Om Shanti, Shanti, Shanti Om”

Denpasar, Nopember 2011

KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR

Ir. I Gst. Putu Anindya Putra, MSP

Pembina Utama Muda

NIP: 19550413 198703 1 002

ii

Page 110: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

110

SAMBUTAN

WALIKOTA DENPASAR

“Om Swastiastu”

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa/Tuhan Yang Maha Esa, atas Asung Kertha Wara

Nugraha-Nya, buku “Sejarah Kota Denpasr: dari Kota

Keraton menjadi Kota (1788 – 2010)” dapat diterbitkan

tepat waktu sesuai dengan yang direncanakan. Untuk itu

Pemerintah Kota Denpasar menyambut baik dan

memberikan apresiasi terhadap usaha-usaha yang telah

dilakukan dalam menunjang dan merealisasikan visi

Pembangunan “Denpasar Kreatif Berwawasan Budaya

Dalam Keseimbangan Menuju Keharmonisan”.

Buku ini akan dapat memperkaya referensi, dan sekaligus sebagau bukti akan

komitmen Pemerintah Kota Denpasar, untuk mengetahui bagaimana proses

menjadinya, genesis dan perkembangannya yang menunjukkan keunikan identitas

Kota Denpasar dibandingkan dengan kota-kota lainnya.

Terbitnya buku ini tentunya akan dapat memberikan gambaran yang lebih

jelas untuk pengokohan jati diri masyarakat Kota Denpasar, pengembangan

pariwisata, pendidikan, penelitian dan pembentukan karakter bangsa. Apalagi

didalamnya diuraikan tahap-tahap perkembangan Kota Denpasar, dari Kota Kerajaan

Tradisional Keraton (Puri) Denpasar 1788, kemudian menjadi Kota Modern pada

jaman Kolonial dan akhirnya menjadi Pemerintah Kota Denpasar saat ini.

Buku yang merupakan sumbangan pemikiran dari Tim Peneliti A.A. Bagus

Wirawan, SU dan kawan-kawan, tentu sangat relevan dengan upaya Pemerintah Kota

Denpasar untuk merealisasikan misi pembangunan “Penguatan Jati Diri Masyarakat

Kota Denpasar Berlandaskan Budaya Bali”.

Sebagai akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada Tim Peneliti dari

Universitas Udayana Denpasar atas segala usaha yang telah dilakukan sehingga buku

ini bias diterbitkan. Semoga buku ini bermanfaat bagi masyarakat Kota Denpasar

sebagai pengemban pusaka budaya.

Sekian dan terima kasih.

“Om Shanti, Shanti, Shanti Om”

WALIKOTA DENPASAR

RAI DHARMAWIJAYA MANTRA

iii

Page 111: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

111

DAFTAR ISI

PRAKATA........................................................................................................... i

SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA KOTA DENPASAR ................................. ii

SAMBUTAN WALIKOTA DENPASAR .......................................................... iii

DAFTAR ISI........................................................................................................ iv

DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................ vi

I PENGANTAR

1.1. Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota ..................................... 1

1.2. Pustaka Acuan dan Pembanding ......................................................... 3

II DENPASAR SEBAGAI KOTA KERAJAAN TRADISIONAL

2.1. Berdiri dan Berkembangnya Kerajaan Badung ................................... 6

2.2. Keraton (Puri) Denpasar Sebagai Pusat Pemerintahan Ibukota

Kerajaan Badung Tahun 1788 ............................................................. 12

2.3. Raja-raja yang Berkuasa di Keraton (Puri) Denpasar Hingga

Hancurnya Puri Denpasar.................................................................... 15

III DENPASAR SEBAGAI KOTA MODERN

3.1. Menjadi Ibukota Modern Kolonial ....................................................... 17

3.2. Menjadi Ibukota Modern Republik....................................................... 29

3.3. Menjadi Ibukota Pemerintah Dati II (Kabupaten) dan Dati I

(Provinsi) .............................................................................................. 34

IV DENPASAR SEBAGAI IBUKOTA DAERAH TINGKAT II

4.1. Kota Administratif (28 Agustus 1978) ................................................. 41

4.1.1. Terbentuknya Kota Administratif Denpasar .............................. 42

4.1.2. Perencanaan dan Perluasan Kota ................................................ 44

4.2. Dari Kota Madya Menjadi Kota (1980-1992) ...................................... 52

4.2.2. Proses Pembentukan Kota Denpasar .......................................... 56

4.3. Dari Kota Keraton Menjadi Kota Budaya ............................................ 60

V PENUTUP........................................................................................................ 75

iv

Page 112: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

112

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 77

LAMPIRAN......................................................................................................... 80

v

Page 113: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

113

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

I Schets van den platten grond van de poeri van Den Pasar ...................... 80

II Schetskaart van Midden Bali (Peta Bali) .................................................. 81

III Data Arsip I ............................................................................................... 82

IV Data Arsip II .............................................................................................. 84

V Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch-Indie) 85

VI Bali en Lombok: Ibukota Singaraja (Bali en Lombok: Hoofdplaats

Singaradja) ................................................................................................ 87

VII Akten van Verband en van Bevestiging van de Radja’s van Badoeng

(Bijl. Handelingen Staten Generaal Zitting 1891-1892 No. 106-26) ........ 89

VIII Akten van Verband en van Bevestiging van de Radja’s van Badoeng

(Handelingen Staten Generaal Zitting 1902-1903 Bijlagen 174-2) .......... 93

IX Overeenkomst tot Regeling der Grenzen met Gianjar 3/3-02

Goedgekeurd en Bekrachhtigd (Bijl. Handelingen Staten Generaal

Zitting 1903-1904 No. 201-15) ................................................................. 98

X Mesatia-Contract Badoeng 22 Desember 1904 (bt. 21/2-05) ................... 104

vi

Page 114: 1 I PENGANTAR 1.1 Landasan Konsep dan Teori Terjadinya Kota

114

SEJARAH KOTA DENPASAR:

Dari Kota Keraton Menjadi Kota (1788-2010)

Tim Penulis

Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, SU.

Ir. IBG. Wirawibawa Mantra, MT.

Drs. I Wayan Tagel Eddy, MS.

Drs. I Wayan Sukiada, M. Hum.

Drs. Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada, M.Hum.

Kerjasama:

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota

Denpasar dan Universitas Udayana

2011