bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2011-1-00350-jp 2.pdfberikut di...

26
15 Bab 2 Landasan Teori 2.1 Teori Semantik Sebelum memahami lebih mendalam lagi tentang makna-makna motif yang tekandung dalam furoshiki yang digunakan sebagai kain pembungkus hadiah pernikahan di Jepang yaitu motif burung bangau dan motif pohon cemara, penulis akan menjelaskan pengertian dari makna itu sendiri sebagai dasar analisis. Teori dasar yang dapat membantu untuk memahami dalam penelitian makna-makna dari motif-motif dalam kain furoshiki ini adalah teori semantik. M enurut Hiejima (1991 : 1 - 3), semantik adalah suatu ilmu yang mempelajari makna dari kata-kata, frase dan kalimat. Ia juga menyatakan bahwa, jika melihat sebuah makna dengan sudut pandang yang objektif ataupun secara fisik, banyak hal berbeda dan tidak sesuai. Bila melihat sebuah makna dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan sudut pandang secara subjektif. Hal ini dikarenakan kata atau kalimat merupakan sesuatu yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dari setiap individu akan lahir makna-makna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Untuk pembagian semantik dalam ilmu bahasa, ahli semantik Ikegami (1991 : 19) juga mengatakan bahwa : 言語における意味の問題は、当然言語学の一部門として意味論の対象にな る。意味論は、特に区別されるときは「言語学的な意味論」 (linguistic semantics), 「哲学的な意味論」 (philosophical semantics), 「一般意味論」 (general semantics) というふうにそれぞれ呼ばれるが、多くはいずれの場合に対し ても「意味論」 (semantics) という名称が使われる。 Terjemahan : Makna bahasa menjadi objek semantik yang merupakan salah satu bagian dalam

Upload: dinhdan

Post on 24-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

15

Bab 2

Landasan Teori

2.1 Teori Semantik

Sebelum memahami lebih mendalam lagi tentang makna-makna motif yang tekandung

dalam furoshiki yang digunakan sebagai kain pembungkus hadiah pernikahan di Jepang

yaitu motif burung bangau dan motif pohon cemara, penulis akan menjelaskan pengertian

dari makna itu sendiri sebagai dasar analisis. Teori dasar yang dapat membantu untuk

memahami dalam penelitian makna-makna dari motif-motif dalam kain furoshiki ini

adalah teori semantik.

Menurut Hiejima (1991 : 1 - 3), semantik adalah suatu ilmu yang mempelajari makna

dari kata-kata, frase dan kalimat. Ia juga menyatakan bahwa, jika melihat sebuah makna

dengan sudut pandang yang objektif ataupun secara fisik, banyak hal berbeda dan tidak

sesuai. Bila melihat sebuah makna dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan

sudut pandang secara subjektif. Hal ini dikarenakan kata atau kalimat merupakan sesuatu

yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dari setiap individu akan

lahir makna-makna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Untuk pembagian semantik dalam ilmu bahasa, ahli semantik Ikegami (1991 : 19) juga

mengatakan bahwa :

言語における意味の問題は、当然言語学の一部門として意味論の対象にな

る。意味論は、特に区別されるときは「言語学的な意味論」(linguistic semantics),「哲学的な意味論」(philosophical semantics), 「一般意味論」(general semantics) というふうにそれぞれ呼ばれるが、多くはいずれの場合に対し

ても「意味論」 (semantics) という名称が使われる。 Terjemahan :

Makna bahasa menjadi objek semantik yang merupakan salah satu bagian dalam

Page 2: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

16

linguistik. Semantik terbagi menjadi semantik linguistik, semantik filosofis, semantik umum, tetapi secara keseluruhan sering digunakan nama semantik.

Semantik adalah sebuah studi tentang makna, karena itu untuk memahami suatu ujaran

dalam konteks yang tepat, seseorang harus memahami makna dalam komunikasi (Keraf,

2007 : 25). Menurut Kramsch (1998 : 23), semantik menetapkan dua makna yaitu makna

denotatif dan makna konotatif yang menjadi makna umum di dunia ini. Berger (2010 : 65),

mengatakan bahwa makna konotasi dan makna denotasi memegang peranan penting jika

dibandingkan dengan peranannya dalam ilmu linguistik. Makna denotatif bersifat

langsung dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda sedangkan makna

konotatif disebut dengan penanda. Berikut di bawah ini adalah pengertian dari makna

denotatif dan makna konotatif, yaitu :

1. Makna denotatif adalah makna dari sebuah frase atau kata yang tidak mengandung arti

atau perasaan tambahan. Dalam hal ini, seorang penulis hanya menyampaikan

informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, biasanya akan cenderung untuk

mempergunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Tujuan utamanya adalah untuk

memberi pengenalan yang jelas terhadap fakta. Ia tidak menginginkan interpretasi

tambahan dari tiap pembaca.

2. Makna konotatif adalah makna yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu

atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Makna tersebut sebagian

terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang

atau tidak senang pada pihak pendengar dengan orang lain. Sebab bahasa manusia

tidak hanya menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sebagainya

(Keraf, 2007 : 28 - 29).

Page 3: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

17

2.2 Teori Analisis Medan Makna

Pada awal analisis linguistik struktural, para linguis sangat dipengaruhi oleh psikologi

asosianistik dalam pendekatan terhadap makna. Para linguis dengan intuisi mereka sendiri

yang menyimpulkan hubungan diantara seperangkat kata. Misalnya, dengan kata baik,

kebaikan, memperbaiki, pembaikan, perbaikan atau satu, satuan, penyatu, persatuan,

penyatuan, bersatu, pemersatu memberikan simpulan bahwa kata-kata tersebut memiliki

asosiasi antar sesamanya. Berdasarkan hal tersebut, Ferdinand de Saussure memulai

konsep asosiasi makna (Parera, 1990 : 67).

Bally, seorang murid Saussure dalam Parera (1990 : 68) memasukkan konsep medan

asosiatif dan menganalisisnya secara mendetail dan terperinci. Ia melihat medan asosiatif

sebagai satu lingkaran yang mengelilingi satu tanda dan muncul ke dalam lingkungan

leksikalnya. Pemikiran tersebut kemudian berkembang menjadi medan makna. Jadi,

medan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similaritas atau

kesamaan, kontak atau hubungan dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan

satu kata. Dengan penjelasan tersebut, Parera memberikan contoh medan makna dengan

kata kerbau dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata kerbau tersebut orang mungkin akan

berpikir tentang kekuatan atau kebodohan.

Medan makna ini kemudian dikembangkan oleh J. Trier. Trier dalam Parera (1990 :

69) yang melukiskan vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan-medan dan

dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas

sehingga tidak ada tumpang tindih antar sesama makna. Setiap medan makna akan selalu

tercocokkan antar sesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa. Pendekatan

medan makna memandang bahasa sebagai satu keseluruhan yang tertata dan dapat

dipenggal-penggal atas beberapa bagian yang saling berhubungan secara teratur. Perlu

Page 4: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

18

diketahui bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa, misalnya

dalam bahasa Indonesia medan makna kata melihat yang dapat dibedakan menjadi melirik,

mengintip, memandang, menatap, meninjau, melotot dan sebagainya (Parera, 1990 : 69).

2.3 Teori Semiotik

Tujuan dari menganalisa karya tulis, khususnya karya sastra adalah untuk memahami

berbagai macam makna apa saja yang terkandung di dalamnya. Karya sastra merupakan

struktur dan dari sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium

bahasa. Teori dasar yang dapat membantu untuk memahami dalam penelitian

makna-makna dari motif furoshiki ini selain teori semantik adalah teori semiotik.

Janz dalam Ratna (2004 : 97) menjelaskan bahwa, secara definitif semiotik berasal dari

kata bahasa Yunani, yakni seme yang berarti penafsiran tanda. Kemudian literatur lain

menjelaskan bahwa, semiotik atau semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda.

Dalam pengertian yang lebih luas, semiotik adalah studi sistematis mengenai produksi

dan interpretasi tanda, bagaimana caranya bekerja dan pemanfaatannya terhadap

kehidupan manusia. Pengertian semiotik atau semiotika berhubungan dengan pengertian

semantik karena dua pengertian tersebut meliputi makna dan kemaknaan dalam

komunikasi antarmanusia. Charles Morris mengemukakan bahwa bahasa sebagai satu

sistem sign dibedakan atas signal dan symbol. Akan tetapi, semiotik bukan hanya

berhubungan dengan isyarat bahasa melainkan juga semiotik berhubungan dengan

isyarat-isyarat nonbahasa dalam komunikasi antarmanusia (Keraf, 2007 : 13).

Bagi Peirce dalam Hoed (2008 : 18 - 19), tanda adalah “sesuatu yang mewakili sesuatu

yang lain”. Inti dari pemikiran Peirce adalah bahwa jagat raya ini terdiri atas berbagai

macam dan bentuk tanda-tanda atau signs. Dalam teori semiotik ada yang disebut proses

Page 5: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

19

semiotik, yakni proses pemaknaan dan penafsiran berdasarkan pengalaman budaya

seseorang. Dalam buku yang berbeda menurut Peirce dalam Christomy (2004 : 117),

tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera

manusia. Tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan dalam proses

itu dapat terjadi jika ada representamen, acuan dan interpretan. Dengan kata lain, sebuah

tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling terkait : Representamen (R) sesuatu

yang dapat dipersepsikan (perceptible), Objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain

(referential), dan Interpretan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretable).

Menurut Ratna (2004 : 97), manusia adalah sejenis homo semioticus, karena dengan

perantara tanda-tanda tersebut proses kehidupan manusia menjadi lebih mudah atau

efisien, lebih teratur dan dapat berkomunikasi dengan sesamanya satu sama lain. Selain

itu dengan perantara tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya sekaligus

pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.

Gambar 2.1 Tiga Dimensi Tanda

Sumber : Christomy (2004 : 117)

Sedangkan menurut Kramsch (1998 : 15), yang sesuai dengan pemikiran dari teori

Interpretan (I) Representamen (R)

Objek (O)

Page 6: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

20

Saussure adalah tanda yang terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar yang disebut dengan

signifier (yang menandai), lalu konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar disebut

dengan signified (yang ditandai). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda

(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah

"bunyi yang bermakna" atau "coretan yang bermakna". Jadi, penanda adalah aspek

material dari bahasa yaitu pada apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau

dibaca.

Menurut Peirce dalam Christomy (2004 : 121 - 122), sebuah tanda (representamen)

mengacu kepada objeknya (denotatum) melalui tiga cara utama yaitu :

1. Ikon adalah tanda hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan

(tanda yang muncul dari perwakilan fisik).

2. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan

petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat atau tanda yang langsung

mengacu pada kenyataan.

3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan

petandanya (tanda yang muncul dari kesepakatan).

Arti lain dari simbol menurut Sobur (2009 : 177) adalah suatu objek atau peristiwa apa

pun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol meliputi apa pun yang dapat dirasakan atau

dialami. Pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-istilah

rakyat maupun jenis-jenis simbol lain. Semua simbol, baik kata-kata yang terucapkan,

sebuah objek seperti sebuah bendera, suatu gerak tubuh seperti melambaikan tangan,

sebuah tempat seperti tempat suci, atau suatu peristiwa seperti pernikahan merupakan

bagian-bagian dari suatu sistem simbol. Sedangkan Spradley dalam Sobur (2009 : 177)

mengatakan bahwa “Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan

Page 7: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

21

simbol-simbol”. Selain itu pernyataan yang dikatakan oleh Geertz yang juga dikutip

dalam Sobur adalah “Makna hanya dapat disimpan di dalam simbol”. Hal ini seperti yang

dikatakan secara singkat oleh Emerson dalam Ullman (2007 : 16) bahwa manusia adalah

lambang dan menghuni lambang. Menurut Ratna (2009 : 170 - 174), simbol yang berasal

dari bahasa Yunani yaitu symballein secara harafiah berarti memasukkan, mencampurkan

dan membandingkan secara bersama-sama, sehingga terjadi analogi antara benda dengan

objeknya. Dalam kehidupan sehari-hari simbol, tanda dan lambang dianggap memiliki

pengertian yang sama, benda atau hal apa saja yang berfungsi untuk mewakili sesuatu

yang lain. Sebagai akibatnya terjadilah pernyataan-pernyataan secara tidak langsung,

implisit, konotatif dan ambigu. Akan tetapi pada dasarnya simbol itu sendiri mengandung

unsur kata kerja. Sebaiknya sistem simbol mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Kesederhanaan pilihan kata dalam kaitannya dengan sistem simbol secara

keseluruhan,

2. Elegan, halus dan luwes sehingga dengan mudah menimbulkan dan mempengaruhi

sikap pembaca,

3. Mudah diproduksi dan direproduksi,

4. Memiliki kesesuaian dengan isi dalam berbagai dimensinya,

5. Ada keseimbangan antara jumlah simbol dengan kompleksitas muatan simbol,

6. Ada kejernihan hubungan antara simbol dengan objek,

7. Ada relevansi antara kompleksitas struktur simbol terhadap struktur objek,

8. Ada perbedaan yang jelas di antara simbol-simbol yang terkandung dalam suatu

karya,

9. Ada kesesuaian sinonim secara operasional,

10. Memiliki nilai-nilai universalitas.

Page 8: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

22

Hubungan dalam representamen, objek, interpretan menurut Peirce dalam Christomy

(2004 : 127 - 128) mengajukan tiga kategori, yaitu terdiri dari :

1. Term, sebagai representasi dari suatu kemungkinan denotatum.

2. Proposisi, sebagai tanda informatif

3. Argumen, sebagai proses berpikir yang memungkinkan untuk percaya tentang

sesuatu.

Bahasa yang merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra menjadi

mediumnya adalah sistem tanda tingkat pertama. Dalam semiotik, arti bahasa sebagai

sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning atau arti dalam bahasa Indonesia. Karya

sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Karena karya

sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya dari bahasa, maka disebut

sistem semiotik tingkat kedua. Dalam karya sastra, arti kata-kata ditemukan oleh konvensi

sastra. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti atau meaning of meaning (Pradopo,

1990 : 122 - 124). Untuk membedakan dari arti bahasa, arti sastra itu disebut makna

significance yang terbagi menjadi significant atau nouki「 能記 」atau disebut den gan

kigou hyougen「 記号表現 」dan signifie atau shoki「 所記 」atau disebut juga dengan

kigou naiyou「 記号内容 」(Kazama dkk, 1993 : 2).

2.4 Teori Shinto

Ada beberapa agama yang dianut oleh masyarakat Jepang hingga saat ini, yakni

Budha, Kristen dan Shinto. Akan tetapi agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat

Jepang adalah agama Shinto「 神道 」. Menurut Ono (1998 : 2), Shinto berasal dari dua

huruf kanji, yakni kanji shin「 神 」yang berarti kami atau dewa, sedangkan tou atau dou

Page 9: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

23

「 道 」berarti michi atau jalan, maka secara harafiah Shinto dapat diartikan sebagai “jalan

para dewa”.

Menurut Befu dalam Danandjaja (1997 : 164), walaupun mempunyai satu nama,

kepercayaan ini sebenarnya merupakan gabungan kepercayaan primitif yang sulit untuk

digolongkan menjadi satu agama, bahkan sebagai satu sistem kepercayaan. Maka

kepercayaan ini lebih tepat dianggap sebagai suatu gabungan dari kepercayaan primitif

dan praktek-praktek yang berkaitan dengan jiwa, roh, hantu, dan sebagainya. Agama

Shinto adalah salah satu agama yang tertua dan dapat dianggap sebagai kepercayaan

pribumi masyarakat Jepang. Kuroda (1993 : 7), menyatakan bahwa pandangan

masyarakat Jepang terhadap Shinto meliputi :

Shinto bears the unmistakable characteristics of a primitive religion, including nature worship and taboos against kegare (impurities), but it has no system of doctrine; it exists in diverse forms as folk belief. Terjemahan : Shinto memiliki karakteristik yang paling benar dari kepercayaan kuno, termasuk menyembah alam dan tabu terhadap kegare atau ketidaksucian, akan tetapi Shinto tidak memiliki sistem doktrin; Shinto muncul dari kepercayaan rakyat dalam bentuk yang bermacam-macam.

Tanaka (1997 : 298), menyatakan bahwa Shinto didefinisikan sebagai berikut, yaitu :

一般に「神道」と言った場合、「日本民族に固有の神、神霊に基づいて発

生し、展開してきた宗教の総称」であるとされているが、神や神霊につい

ての信念や伝統的な際祀ばかりでなく、広く生活習俗や伝承されている考

え方などもその中に含まれる。 Terjemahan : Secara umum Shinto adalah sebuah kata yang digunakan untuk mewakili kepercayaan tradisional masyarakat Jepang yang berdasarkan pada kepercayaan terhadap dewa dan roh. Lalu secara luas ajaran Shinto juga menjadi pedoman bagi masyarakat Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.

Menurut Ono (1998 : 7), diantara objek dan fenomena yang telah ada pada zaman

Page 10: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

24

dahulu, yang disebut sebagai kami adalah kualitas pertumbuhan, kesuburan dan

produktivitas, fenomena alam (angin dan guntur), objek alam (matahari, gunung, sungai,

pohon, batu karang), beberapa binatang dan roh-roh leluhur (roh kaisar, roh keluarga,

bangsawan, roh pahlawan nasional). Dalam hal ini kami adalah gunung, sungai, batu

karang, pohon, burung dan manusia yang mempunyai kualitas yang luar biasa. Manusia

yang mempunyai kualitas yang luar biasa tersebut, yaitu seperti kaisar, pahlawan dan

keluarga leluhur pun juga dikenal sebagai kami.

Konsep dasar Shinto adalah kepercayaan terhadap kedewaan, maka dalam agama

Shinto juga terdapat dunia para dewa-dewa. Dewa-dewa yang berada di dunia tersebut

adalah dewa-dewa yang dipuja oleh para pengikut Shinto. Menurut Honda (2006 : 148),

beberapa diantara dewa-dewa Shinto adalah shichifukujin yang berarti tujuh dewa

keberuntungan. Shichifukujin terdiri dari :

1. Ebisu「 恵比寿 」, ialah dewa kemakmuran

2. Daikokuten「 大黒天 」, ialah dewa kekayaan

3. Benzaiten「 弁財天 」, ialah dewa kesusastraan, kesenian dan ilmu pengetahuan

4. Bishamonten「 毘沙門天 」, ialah dewa keberuntungan

5. Hotei「 布袋 」, ialah dewa kebahagiaan

6. Fukurokuju「 福禄寿 」, ialah dewa umur panjang

7. Juroujin「 寿老人 」, ialah dewa kebijaksanaan

Pada umumnya adat dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat Jepang biasanya

didasari pada kepercayaan Shinto seperti halnya upacara pernikahan, kelahiran dan

lain-lain (Tsuruoka, 1990 : 275 - 277). Oleh karena alasan itulah, penulis akan

menggunakan konsep pernikahan Shinto atau shinzen kekkonshiki pada penelitian ini

Page 11: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

25

karena pernikahan dengan agama Shinto adalah pernikahan yang sudah umum

dilaksanakan oleh masyarakat Jepang, selain itu agama Shinto juga merupakan agama

yang utama dan banyak dianut oleh masyarakat Jepang.

2.5 Konsep Pernikahan Shinto (Shinzen Kekkonsiki)

Tsuruoka (1990 : 179 - 181) menjelaskan bahwa beberapa pasangan muda di Jepang

melaksanakan upacara pernikahan mereka sesuai dengan agama Budha, Kristen dan

Shinto. Tetapi pada umumnya pernikahan para masyarakat muda di Jepang dilaksanakan

secara Shinto atau shinzen kekkonshiki ditempat suci Shinto yaitu kuil atau jinja 「 神社 」.

Berikut di bawah ini adalah gambar ruangan upacara pernikahan Shinto yang

dilaksanakan di jinja yang dilengkapi dengan altar Shinto.

Gambar 2.2 Ruangan Upacara Shinto dan Altar Shinto

Sumber : http://mantenkaku-sunmarry.jp/wedding.php

Pernikahan Shinto atau shinzen kekkonshiki「 神前結婚式 」merupakan suatu tradisi

upacara pernikahan tradisional secara Shinto di Jepang. Sumiarta (2009), mengatakan

Page 12: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

26

bahwa upacara pernikahan Shinto bersifat sangat pribadi, karena hanya dapat dihadiri

oleh anggota keluarga dan kerabat dekat. Biasanya diselenggarakan di gedung resepsi

pernikahan tetapi ada juga sebagian masyarakat yang menyelenggarakan atau

melaksanakan pernikahannya di kuil atau jinja. Akan tetapi saat ini sudah banyak

pasangan muda di Jepang yang menyelenggarakan hari pernikahannya di hotel atau di

aula khusus pernikahan. Pada biasanya hari pernikahan hanya dirayakan satu hari pada

saat yang bersamaan dengan upacara dan resepsi atau pesta pernikahan pada hari-hari baik

tertentu menurut kepercayaan.

Dalam pernikahan Shinto, pengantin wanita mengenakan pakaian kimono pengantin

yang semuanya berwarna putih yang disebut dengan nama shiromuku atau pakaian

pengantin wanita yang semuanya berwarna putih dan terbuat dari sutra dan penutup

kepala yang dikenakan di atas kepala pengantin wanita. Pakaian pengantin tradisional dan

penutup kepala yang digunakan oleh pengantin wanita ini seluruhnya berwarna putih

karena warna putih adalah simbol kesucian sang pengantin wanita dan keteguhan niatnya

untuk masuk ke dalam keluarga calon suaminya nanti. Lebih jauh lagi warna putih pada

pengantin wanita adalah sebagai simbol kematian dari sang pengantin. Maksud dari

kematian sang pengantin wanita, ialah sekali ia masuk ke dalam rumah tangga keluarga

suaminya nanti sebagai seorang istri dan sebagai seorang menantu, maka sang pengantin

wanita tidak akan pernah bisa kembali lagi ke rumah tempat kelahirannya (Kawakami,

1993 : 18 - 23). Sumiarta (2009) menjelaskan bahwa, penutup kepala pengantin wanita

terdiri dari dua macam yaitu tsunokakushi (yang dipenuhi dengan hiasan kepala yang

terbuat dari kain kemudian dilipat-lipat dan dijahit dengan tangan yang disebut kanzashi)

dan wataboshi. Pengantin wanita dapat memilih dua macam penutup kepala tersebut

untuk digunakan saat upacara nanti. Secara harafiah penutup kepala tsunokakushi

Page 13: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

27

memiliki makna ’menyembunyikan tanduk’ yang berguna untuk

menyembunyikan ”tanduk kecemburuan”, yaitu keakuan dan egoisme pengantin wanita

dari ibu mertua. Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter dari pengantin wanita

perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai laki-laki dan keluarganya.

Makna lain dari tsunokakushi ialah sebagai lambang ketetapan hati untuk menjadi istri

yang patuh, lembut dan kesediaannya untuk melaksanakan tugas atau perannya sebagai

seorang istri dengan penuh kesabaran serta ketenangan. Sedangkan makna dari wataboshi

adalah sebagai penunjuk kesopanan dari pengantin wanita yang sekaligus mencerminkan

kualitas yang paling dihargai dalam pribadi wanita. Menurut adat istiadat, dengan

menggunakan penutup kepala ini wajah pengantin wanita benar-benar tersembunyi dari

siapapun kecuali pengantin pria. Selain menggunakan penutup kepala, kulit pengantin

wanita akan dicat hingga berwarna sangat putih mulai dari wajah hingga ujung kaki

sebagai perlambang sekaligus pernyataan kesucian di depan para dewa-dewi.

Kemudian Kawakami (1993 : 18) mengatakan bahwa, pengantin pria mengenakan

pakaian pengantin berwarna hitam dengan motif lambang keluarga pada pakaian

pengantinnya, pakaian pengantin pria terdiri dari haori atau pakaian luar bagian atas dan

hakama atau celana khas Jepang yang sangat lebar sehingga dari luar terlihat seperti rok.

Di bawah ini adalah gambar pakaian pengantin pria dan pengantin wanita. Pada dua buah

gambar di bawah ini, yaitu pengantin wanita menggunakan penutup kepala yang disebut

dengan tsunokakushi, kemudian pada gambar yang berikutnya adalah gambar pengantin

wanita menggunakan penutup kepala yang disebut wataboshi.

Page 14: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

28

Gambar 2.3 Pakaian Pengantin Pria dan Pengantin Wanita (Menggunakan Tsunokakushi dan Shiromuku)

Sumber : http://www.wedding-resource.com

Gambar 2.4 Pengantin Wanita yang Menggunakan Tsunokakushi

Sumber : http://the-jacob-black.blogspot.com

Page 15: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

29

Gambar 2.5 Pakaian Pengantin Pria dan Pengantin Wanita (Menggunakan Wataboshi dan Shiromuku)

Sumber : http://brideseverywhere.blogspot.com

Urutan upacara pernikahan dilaksanakan dengan kedua keluarga dan kedua belah

pihak pengantin berada bersama-sama di ruangan terpisah lalu mereka akan disuguhkan

secangkir teh saat mereka menunggu. Setelah semuanya sudah siap, kedua pihak keluarga

akan masuk ke dalam ruang upacara. Di ujung ruangan itu ada altar Shinto yang di atasnya

terdapat persembahan yang sudah disiapkan dan cincin kawin yang juga diletakkan di atas

meja persembahan tersebut, kemudian ada tiga cangkir sake beserta dua wadah yang

dibedakan, yaitu satu cangkir untuk pengantin pria dan satu cangkir untuk pengantin

wanita dengan warna merah dan merah muda. Persembahan yang berada di atas meja

persembahan tersebut terdiri dari nasi, air, garam, buah-buahan, sayur-sayuran, sake serta

beberapa surume atau cumi-cumi kering dan konbu atau ganggang rumput laut. Dua ekor

ikan tai yaitu sejenis ikan kakap berwarna putih keperakan yang juga dipersembahkan,

ikan ini melambangkan kesuburan atau shison han ei, selain itu ikan ini juga

melambangkan kebahagiaan dan kemakmuran. Ikan tai biasanya digunakan hanya pada

saat acara-acara yang bahagia saja, yakni seperti hari pernikahan (Tanaka, 1997 : 325).

Page 16: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

30

Di sebelah kanan altar, berdirilah seorang kanmushi yaitu pendeta Shinto dan di

sebelah kirinya miko, yakni para penolong untuk membantu jalannya upacara yang

berpakaian merah dan putih. Kadang-kadang juga disediakan radio kaset untuk

memberikan latar belakang alunan musik yang sesuai dengan suasana saat itu, tapi ada

juga yang memakai kelompok peniup suling dan kuil Shinto yang berdiri di belakang para

miko. Selain itu pelayanan ini juga disertai dengan para penari.

Kedua pasangan pengantin duduk di tengah ruangan, dengan posisi pengantin pria di

sebelah kanan pengantin wanita, sedangkan nakoodo atau orang yang memperkenalkan

pasangan pengantin pria dan pengantin wanita sebagai comblang berada di belakang

mereka, sanak saudara dari kedua belah pihak pengantin sesuai dengan kedekatan

hubungan dan urutan umur. Berikut di bawah ini adalah gambar kedua pasangan

pengantin yang sedang duduk di tengah ruangan.

Gambar 2.6 Pasangan Pengantin yang Sedang Duduk di Tengah Ruangan Upacara Pernikahan

Sumber : http://wedding.en-japan.com

Page 17: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

31

Biasanya ada satu meja pendek di depan masing-masing orang dengan secangkir sake

dan satu paket makanan yang berisi irisan kecil surume dan konbu yang terlebih dahulu

dipersembahkan kepada dewa.

Pendeta Shinto pertama kali menyambut para rombongan dengan mengucapkan

selamat, kemudian mengumumkan bahwa upacara akan segera dimulai. Upacara ini

dimulai dengan acara penyucian. Selama acara berlangsung, pendeta akan menyanyi

kemudian menggoyangkan tongkat berhias di atas altar, selanjutnya ke atas para miko,

kedua pasangan pengantin dan semua yang hadir. Setelah itu diikuti dengan doa Shinto

atau norito yang dinyanyikan dan sebuah gulungan kertas yang dibawa pendeta untuk

memanggil dewa.

Tsuruoka (1990 : 179 - 181), mengatakan bahwa upacara meminum sake sebanyak tiga

kali lalu saling bertukar minum sake satu sama lain yang dilaksanakan oleh kedua belah

pihak pasangan pengantin atau san san ku do kemudian diumumkan oleh pendeta, sebagai

seiin no gi atau upacara sumpah dengan meminum bersama-sama, kemudian sake dibawa

oleh para gadis miko kepada kedua pasangan pengantin. Terkadang para gadis miko ini

akan berpindah ke kedua sisi pengantin untuk membantunya jika diperlukan. Setelah itu

pasangan pengantin membuat perjanjian dengan menuangkan sake tiga kali, cangkir

terkecil diisi oleh penuang pengantin pria lalu disuguhkan pertama kali kepada pengantin

wanita, cangkir kedua diisi oleh penuang pengantin wanita lalu diberikan kepada

pengantin pria dan cangkir yang ketiga adalah mengulang kembali cara yang pertama.

Pasangan pengantin kemudian maju ke depan altar, lalu pengantin pria akan membacakan

ikrar dari sebuah gulungan kertas yang diucapkan di depan para dewa yang isinya adalah

janji untuk melewati kehidupan pernikahan dalam keharmonisan dan saling menghormati,

berbagi suka dan duka serta hidup damai, mengusahakan kemakmuran bagi keturunan

Page 18: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

32

mereka dan semuanya akan dijalankan sampai mereka meninggal. Setelah pengantin pria

selesai mengucapkan ikrar di depan para dewa, pengantin wanita akan menambahkan

dengan menyebutkan namanya di akhir ikrar itu, kemudian pada akhirnya mereka akan

saling bertukar cincin.

Sesudah kedua pasangan pengantin dipersatukan, kembali disuguhkan untuk

menyatukan kedua keluarga pertama, sake akan diberikan kepada ayah dan pengantin

pria, setelah ia minum diberikan kepada pengantin wanita, kemudian ibu dan pengantin

pria dan kembali kepada pengantin wanita kemudian mereka akan melaksanakan upacara

oyako sakazuki「 親子杯 」. Oyako sakazuki adalah suatu upacara yang terdiri dari ibu dan

ayah pengantin wanita yang akan berganti-ganti minum dengan pengantin pria sebagai

suatu lambang ikatan dalam keluarga. Biasanya setelah itu akan dilanjutkan dengan

suguhan pada tiap sanak keluarga dengan secangkir sake yang diminum bersama setelah

mereka berdiri dan mengucapkan kanpai, hal ini disebut dengan shinseki sakazuki「 親戚

杯 」 . Oyako sakazuki dapat disederhanakan dengan melakukan kanpai dan minum

bersama. Nakoodo sering minum bersama sanak saudara dan kedua pihak, tapi ada juga

yang minum setelah kedua pengantin dan sebelum kedua belah pihak orang tua. Dalam

hal ini cangkir sake yang telah dipertukarkan oleh kedua pihak orang tua dari pengantin

pria dan pengantin wanita ini ialah sebagai perlambang persatuan atau ikatan baru

diantara mereka sebagai suatu keluarga (Kawakami, 1993 : 24).

Pada bagian akhir upacara adalah setelah beberapa nyanyian dinyanyikan oleh pendeta

dan membawa suatu pemberian berupa ranting kecil sakaki yang sudah dihias yaitu

disebut dengan tamagushi ke depan altar. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan terima

kasih kepada dewa. Ranting-ranting tersebut biasanya pertama diberikan kepada kedua

Page 19: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

33

pasangan pengantin kemudian nakoodo dan kepada kedua ayah dari pihak keluarga

pengantin pria dan pengantin wanita. Pemberian ranting-ranting ini disertai dengan tepuk

tangan dan menunduk yang dilakukan oleh semua hadirin, setelah kedua ayah menunduk,

diikuti oleh para sanak saudara mereka.

Pertukaran cincin dilaksanakan pada acara puncak lalu setelah itu para sanak saudara

memberikan tepuk tangan. Perkenalan para sanak saudara juga dilakukan setelah pendeta

meninggalkan ruangan atau juga dilakukan di ruangan sebelahnya.

Setelah upacara pernikahan telah selesai maka akan diadakan pesta atau resepsi

pernikahan. Pesta pernikahan ini diselenggarakan untuk dirayakan bersama dengan para

teman-teman dan atasan di kantor, guru yang paling dihormati serta teman-teman dari

kedua pihak pasangan pengantin juga turut diundang (Tsuruoka, 1990 : 181). Dalam

pernikahan yang dilaksanakan secara Shinto, pengantin membutuhkan beberapa peralatan

penting yang akan digunakan, yaitu salah satunya yang paling penting adalah kimono

untuk pengantin wanita. Menurut Kawakami (1993 : 24), dalam acara pernikahan pada

zaman modern saat ini, pengantin diperbolehkan mengenakan tiga jenis pakaian kimono

pengantin. Kimono pengantin tradisional terbuat dari sutra putih yang berat dan sangat

berkualitas tinggi, kimono ini disulam dengan motif-motif yang melambangkan

keberuntungan (Gilhooly, 2004 : 121). Oleh karena itu pada saat perayaan pesta

pernikahan di Jepang, pengantin pria dan pengantin wanita akan berganti pakaian.

Pengantin pria akan menggunakan pakaian pengantin untuk pagi hari atau morning dress

dan pengantin wanita selalu mengenakan kimono yang khusus digunakan untuk

pernikahan, tetapi warna yang digunakan berbeda. Salah satu bagian dari acara pesta

pernikahan di Jepang adalah pada saat sebelum pengantin wanita memasuki ruang acara

pesta pernikahan untuk mengganti pakaian pengantinnya dengan kimono khusus pesta

Page 20: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

34

pernikahan dan setelah itu memasuki ruang acara dengan kimono tersebut. Perubahan

pakaian dan penampilan pengantin wanita secara keseluruhan yang digunakan untuk

upacara pernikahan ini dilakukan untuk memperlihatkan bentuk dari variasi pakaian

pengantin yang dikenakan dan mengutamakan keindahan dari sang pengantin wanita

(Tsuruoka, 1990 : 181). Berikut di bawah ini adalah gambar pengantin wanita yang telah

berganti pakaian pengantin shiromuku dengan pakaian kimono pengantin untuk acara

pesta.

Gambar 2.7 Pakaian Kimono Pengantin Untuk Acara Pesta

Sumber : Britton (1993 : 12)

Setiawan (2010) mengatakan bahwa, pada saat acara pesta pernikahan inilah hadiah

diberikan kepada pasangan pengantin dari pihak orang tua pasangan pengantin. Hadiah

yang diberikan tersebut dibungkus dengan kain furoshiki dengan motif-motif khusus yaitu

motif burung bangau, motif kipas, motif ombak dan motif pohon cemara. Motif-motif

tersebut dipercaya oleh masyarakat Jepang sebagai pembawa berkah serta kebahagiaan

abadi dimasa depan bagi penggunanya yaitu pasangan pengantin pria dan pengantin

wanita.

Page 21: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

35

2.6 Konsep Furoshiki

Menurut Ekiguchi (1997 : 113), kain furoshiki「 風呂敷 」terdiri dari kata furo dan

shiki. Dalam bahasa Jepang, kata furo berarti mandi dan kata shiki berarti alas. Sedangkan

menurut Relache (2011), dalam bahasa Inggris kain furoshiki disebut bath spread, bila

kain furoshiki diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harafiah berarti kain yang

dibentangkan yang digunakan saat akan pergi mandi ke pemandian umum atau sentou「 銭

湯 」untuk membawa berbagai macam perlengkapan mandi dan pakaian bersih.

Gambar 2.8 Kain Furoshiki

Sumber : http://areamagz.com

Setiawan (2010) mengatakan bahwa, kain furoshiki adalah kain yang berbentuk segi

empat untuk membungkus barang-barang yang akan dibawa bepergian atau digunakan

untuk menyimpan barang-barang yang diletakkan dalam suatu tempat. Furoshiki sudah

sejak lama digunakan di Jepang sejak zaman Edo sekitar tahun 1600-an. Selanjutnya,

penggunaan kain furoshiki sebagai kain pembungkus tersebar seiring meningkatnya

aktivitas masyarakat pada saat itu. Tsuruoka (1990 : 301) menyatakan bahwa, nama dari

Page 22: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

36

kain furoshiki sendiri datang dari penggunaannya yang pertama kali oleh masyarakat

Jepang untuk membawa pakaian ganti beserta perlengkapan mandi lainnya ke pemandian

umum atau sentou. Furoshiki merupakan salah satu barang yang sudah menjadi

kebutuhan sehari-hari di Jepang karena saat mereka akan pergi ke pemandian umum

untuk mandi, maka mereka akan membawa kain furoshiki bersama dengan yukata (Grilli,

1990 : 102).

Pengertian lain dari furoshiki menurut Dumas (2004 : 53) adalah :

風呂敷は、布を折りたたんだもので、物品などを包んで持ち運びやすくす

るために用いられるものです。人に贈り物を持っていくとき、風呂敷に包

んでいき、贈り物を受け取る人に手渡す直前に、風呂敷を解くのが普通で

す。 Terjemahan :

Furoshiki adalah kain pembungkus atau kain yang digunakan untuk membungkus suatu barang sehingga barang tersebut dapat dengan mudah dibawa kemana-mana. Furoshiki biasanya digunakan ketika memberikan hadiah kepada seseorang lalu hadiah tersebut dibungkus dengan furoshiki dan membukanya sebelum memberikan hadiah tersebut kepada penerima hadiah.

Kain furoshiki dibuat dengan berbagai macam ukuran dan bahan utama yang terbuat

dari kain katun dengan ukuran yang sangat besar untuk membungkus barang yang juga

besar atau barang yang banyak jumlahnya, selain itu kain ini terbuat dari sutera

berkualitas baik yang memiliki cetakan lambang keluarga atau dengan gambar-gambar

atau motif-motif bunga dan burung (Tsuruoka, 1990 : 301). Menurut Grilli (1990 : 104),

kain ini diciptakan dengan warna yang berbeda-beda atau juga dibuat dengan motif

cetakan lambang keluarga sang pemilik kain.

Akan tetapi menurut Relache (2011) kepopuleran furoshiki sedikit demi sedikit

menjadi berkurang seiring berlalunya waktu sejak pertumbuhan ekonomi Jepang paska

Perang Dunia kedua. Ditambah lagi sejak pusat perbelanjaan mulai memperkenalkan

Page 23: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

37

penggunaan kantung plastik dan kertas sebagai pembungkus pada tahun 1960-an dan

sangat populer hingga sekarang.

Berbeda dengan zaman dahulu, menurut Setiawan (2010), kini penggunaan kain

furoshiki juga dapat digunakan sebagai pembungkus seserahan atau hadiah saat pesta

pernikahan di Jepang dengan motif-motif khusus yang memiliki makna tertentu dan

masyarakat Jepang percaya bahwa motif-motif tersebut akan membawa berkah serta

kebahagiaan abadi dimasa depan bagi penggunanya. Motif yang digunakan saat pesta

pernikahan atau kekkonshiki sebagai pembungkus seserahan atau hadiah pada furoshiki

tersebut, yaitu motif burung bangau, motif kipas, motif pohon cemara dan motif ombak.

Di bawah ini adalah beberapa gambar kain furoshiki dengan motif-motif yang digunakan

sebagai kain pembungkus seserahan saat pesta pernikahan.

Gambar 2.9 Kain Furoshiki dengan Motif Burung Bangau

Sumber : http://www.etsy.com

Page 24: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

38

Gambar 2.10 Kain Furoshiki dengan Motif Kipas

Sumber : http://www.sohya-tas.com

Ada beberapa jenis motif pohon cemara dan motif ombak yang digunakan dalam kain

furoshiki, mulai dari motif yang digambar secara detail atau seperti gambar nyata hingga

gambar abstrak. Beberapa motif pohon cemara digambarkan di dalam kain furoshiki

sesuai dengan pohon cemara jenis Japanese Black Pine, Japanese Red Pine dan Japanese

White Pine. Gambar motif pohon cemara yang terdapat di dalam kain furoshiki ada yang

digambar dengan lengkap dan ada juga yang hanya daunnya saja. Sedangkan beberapa

motif ombak yang digambarkan di dalam kain furoshiki secara mendetail yakni

menggunakan lukisan Jepang terkenal karya Katsushika Hokusai. Lukisan ombak karya

Hokusai merupakan lukisan terkenal di Jepang yang dilukis oleh pelukis ukiyo-e terkenal.

Gambar 2.11 Kain Furoshiki dengan Motif Pohon Cemara

Sumber : http://item.rakuten.co.jp

Page 25: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

39

Gambar 2.12 Kain Furoshiki dengan Motif Daun Pohon Cemara

Sumber : http://furudougunosasaya.blog120.fc2.com

Gambar 2.13 Kain Furoshiki dengan Motif Ombak (Detail)

Sumber : http://en.item.rakuten.com

Gambar 2.14 Kain Furoshiki dengan Motif Ombak (Abstrak)

Sumber : http://en.item.rakuten.com

Page 26: Bab 2 Landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2011-1-00350-JP 2.pdfBerikut di bawah ini adalah pengertian dari makna denotatif dan makna konotatif, yaitu : 1

40

Agar saat acara pesta pernikahan dapat berlangsung dengan lancar dan baik maka

dibutuhkanlah berbagai macam perlengkapan yang merupakan suatu keharusan hingga

saat ini, salah satu barang yang digunakan saat pesta pernikahan Jepang yang sudah

menjadi budaya bagi masyarakat Jepang tersebut adalah kain furoshiki dengan

motif-motif khusus. Kain furoshiki berfungsi sebagai salah satu perhiasan berharga yang

menarik perhatian dan sengaja diberikan sebagai pembungkus hadiah dengan diiringi

doa-doa dari orang tua mempelai pengantin wanita yang dapat membawa kebanggaan,

status, bentuk ungkapan cinta dan dukungan dari keluarga pengantin wanita untuk

kehidupan barunya memikul tanggung jawab sebagai seorang istri. Sehingga saat hari

pernikahan yang diselenggarakan secara Shinto yaitu shinzen kekkonshiki motif burung

bangau, motif kipas, motif pohon cemara dan motif ombak digunakan dalam kain

furoshiki sebagai pembungkus hadiah pemberian orang tua mempelai wanita kepada

pengantin wanita dan juga kepada pengantin pria (Brandon 1989 : 12 - 15).

Thwaites (1994 : 1) menjelaskan bahwa hasil dari seni budaya atau suatu masyarakat

berasal dari hasil pemikiran masyarakat yang mempengaruhi budaya masyarakat tersebut,

karena itulah hasil dari pemikiran dan kepercayaan tersebut dituangkan ke dalam kain

furoshiki dalam bentuk motif-motif tertentu yaitu motif burung bangau, motif kipas, motif

pohon cemara dan motif ombak.