bab 2 landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2011-1-00350-jp 2.pdfberikut di...
TRANSCRIPT
15
Bab 2
Landasan Teori
2.1 Teori Semantik
Sebelum memahami lebih mendalam lagi tentang makna-makna motif yang tekandung
dalam furoshiki yang digunakan sebagai kain pembungkus hadiah pernikahan di Jepang
yaitu motif burung bangau dan motif pohon cemara, penulis akan menjelaskan pengertian
dari makna itu sendiri sebagai dasar analisis. Teori dasar yang dapat membantu untuk
memahami dalam penelitian makna-makna dari motif-motif dalam kain furoshiki ini
adalah teori semantik.
Menurut Hiejima (1991 : 1 - 3), semantik adalah suatu ilmu yang mempelajari makna
dari kata-kata, frase dan kalimat. Ia juga menyatakan bahwa, jika melihat sebuah makna
dengan sudut pandang yang objektif ataupun secara fisik, banyak hal berbeda dan tidak
sesuai. Bila melihat sebuah makna dalam kondisi seperti itu, lebih baik menggunakan
sudut pandang secara subjektif. Hal ini dikarenakan kata atau kalimat merupakan sesuatu
yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-hari dan dari setiap individu akan
lahir makna-makna yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.
Untuk pembagian semantik dalam ilmu bahasa, ahli semantik Ikegami (1991 : 19) juga
mengatakan bahwa :
言語における意味の問題は、当然言語学の一部門として意味論の対象にな
る。意味論は、特に区別されるときは「言語学的な意味論」(linguistic semantics),「哲学的な意味論」(philosophical semantics), 「一般意味論」(general semantics) というふうにそれぞれ呼ばれるが、多くはいずれの場合に対し
ても「意味論」 (semantics) という名称が使われる。 Terjemahan :
Makna bahasa menjadi objek semantik yang merupakan salah satu bagian dalam
16
linguistik. Semantik terbagi menjadi semantik linguistik, semantik filosofis, semantik umum, tetapi secara keseluruhan sering digunakan nama semantik.
Semantik adalah sebuah studi tentang makna, karena itu untuk memahami suatu ujaran
dalam konteks yang tepat, seseorang harus memahami makna dalam komunikasi (Keraf,
2007 : 25). Menurut Kramsch (1998 : 23), semantik menetapkan dua makna yaitu makna
denotatif dan makna konotatif yang menjadi makna umum di dunia ini. Berger (2010 : 65),
mengatakan bahwa makna konotasi dan makna denotasi memegang peranan penting jika
dibandingkan dengan peranannya dalam ilmu linguistik. Makna denotatif bersifat
langsung dan dapat disebut sebagai gambaran dari suatu petanda sedangkan makna
konotatif disebut dengan penanda. Berikut di bawah ini adalah pengertian dari makna
denotatif dan makna konotatif, yaitu :
1. Makna denotatif adalah makna dari sebuah frase atau kata yang tidak mengandung arti
atau perasaan tambahan. Dalam hal ini, seorang penulis hanya menyampaikan
informasi, khususnya dalam bidang ilmiah, biasanya akan cenderung untuk
mempergunakan kata-kata yang bermakna denotatif. Tujuan utamanya adalah untuk
memberi pengenalan yang jelas terhadap fakta. Ia tidak menginginkan interpretasi
tambahan dari tiap pembaca.
2. Makna konotatif adalah makna yang mengandung arti tambahan, perasaan tertentu
atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar yang umum. Makna tersebut sebagian
terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju atau tidak setuju, senang
atau tidak senang pada pihak pendengar dengan orang lain. Sebab bahasa manusia
tidak hanya menyangkut masalah makna denotatif atau ideasional dan sebagainya
(Keraf, 2007 : 28 - 29).
17
2.2 Teori Analisis Medan Makna
Pada awal analisis linguistik struktural, para linguis sangat dipengaruhi oleh psikologi
asosianistik dalam pendekatan terhadap makna. Para linguis dengan intuisi mereka sendiri
yang menyimpulkan hubungan diantara seperangkat kata. Misalnya, dengan kata baik,
kebaikan, memperbaiki, pembaikan, perbaikan atau satu, satuan, penyatu, persatuan,
penyatuan, bersatu, pemersatu memberikan simpulan bahwa kata-kata tersebut memiliki
asosiasi antar sesamanya. Berdasarkan hal tersebut, Ferdinand de Saussure memulai
konsep asosiasi makna (Parera, 1990 : 67).
Bally, seorang murid Saussure dalam Parera (1990 : 68) memasukkan konsep medan
asosiatif dan menganalisisnya secara mendetail dan terperinci. Ia melihat medan asosiatif
sebagai satu lingkaran yang mengelilingi satu tanda dan muncul ke dalam lingkungan
leksikalnya. Pemikiran tersebut kemudian berkembang menjadi medan makna. Jadi,
medan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada similaritas atau
kesamaan, kontak atau hubungan dan hubungan-hubungan asosiatif dengan penyebutan
satu kata. Dengan penjelasan tersebut, Parera memberikan contoh medan makna dengan
kata kerbau dalam Bahasa Indonesia. Dengan kata kerbau tersebut orang mungkin akan
berpikir tentang kekuatan atau kebodohan.
Medan makna ini kemudian dikembangkan oleh J. Trier. Trier dalam Parera (1990 :
69) yang melukiskan vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan-medan dan
dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas
sehingga tidak ada tumpang tindih antar sesama makna. Setiap medan makna akan selalu
tercocokkan antar sesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa. Pendekatan
medan makna memandang bahasa sebagai satu keseluruhan yang tertata dan dapat
dipenggal-penggal atas beberapa bagian yang saling berhubungan secara teratur. Perlu
18
diketahui bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa, misalnya
dalam bahasa Indonesia medan makna kata melihat yang dapat dibedakan menjadi melirik,
mengintip, memandang, menatap, meninjau, melotot dan sebagainya (Parera, 1990 : 69).
2.3 Teori Semiotik
Tujuan dari menganalisa karya tulis, khususnya karya sastra adalah untuk memahami
berbagai macam makna apa saja yang terkandung di dalamnya. Karya sastra merupakan
struktur dan dari sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium
bahasa. Teori dasar yang dapat membantu untuk memahami dalam penelitian
makna-makna dari motif furoshiki ini selain teori semantik adalah teori semiotik.
Janz dalam Ratna (2004 : 97) menjelaskan bahwa, secara definitif semiotik berasal dari
kata bahasa Yunani, yakni seme yang berarti penafsiran tanda. Kemudian literatur lain
menjelaskan bahwa, semiotik atau semiotika berasal dari kata semeion yang berarti tanda.
Dalam pengertian yang lebih luas, semiotik adalah studi sistematis mengenai produksi
dan interpretasi tanda, bagaimana caranya bekerja dan pemanfaatannya terhadap
kehidupan manusia. Pengertian semiotik atau semiotika berhubungan dengan pengertian
semantik karena dua pengertian tersebut meliputi makna dan kemaknaan dalam
komunikasi antarmanusia. Charles Morris mengemukakan bahwa bahasa sebagai satu
sistem sign dibedakan atas signal dan symbol. Akan tetapi, semiotik bukan hanya
berhubungan dengan isyarat bahasa melainkan juga semiotik berhubungan dengan
isyarat-isyarat nonbahasa dalam komunikasi antarmanusia (Keraf, 2007 : 13).
Bagi Peirce dalam Hoed (2008 : 18 - 19), tanda adalah “sesuatu yang mewakili sesuatu
yang lain”. Inti dari pemikiran Peirce adalah bahwa jagat raya ini terdiri atas berbagai
macam dan bentuk tanda-tanda atau signs. Dalam teori semiotik ada yang disebut proses
19
semiotik, yakni proses pemaknaan dan penafsiran berdasarkan pengalaman budaya
seseorang. Dalam buku yang berbeda menurut Peirce dalam Christomy (2004 : 117),
tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera
manusia. Tanda melibatkan proses kognitif di dalam kepala seseorang dan dalam proses
itu dapat terjadi jika ada representamen, acuan dan interpretan. Dengan kata lain, sebuah
tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling terkait : Representamen (R) sesuatu
yang dapat dipersepsikan (perceptible), Objek (O) sesuatu yang mengacu kepada hal lain
(referential), dan Interpretan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretable).
Menurut Ratna (2004 : 97), manusia adalah sejenis homo semioticus, karena dengan
perantara tanda-tanda tersebut proses kehidupan manusia menjadi lebih mudah atau
efisien, lebih teratur dan dapat berkomunikasi dengan sesamanya satu sama lain. Selain
itu dengan perantara tanda, manusia dapat berkomunikasi dengan sesamanya sekaligus
pemahaman yang lebih baik terhadap dunia.
Gambar 2.1 Tiga Dimensi Tanda
Sumber : Christomy (2004 : 117)
Sedangkan menurut Kramsch (1998 : 15), yang sesuai dengan pemikiran dari teori
Interpretan (I) Representamen (R)
Objek (O)
20
Saussure adalah tanda yang terdiri dari bunyi-bunyian dan gambar yang disebut dengan
signifier (yang menandai), lalu konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar disebut
dengan signified (yang ditandai). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda
(signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Dengan kata lain, penanda adalah
"bunyi yang bermakna" atau "coretan yang bermakna". Jadi, penanda adalah aspek
material dari bahasa yaitu pada apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau
dibaca.
Menurut Peirce dalam Christomy (2004 : 121 - 122), sebuah tanda (representamen)
mengacu kepada objeknya (denotatum) melalui tiga cara utama yaitu :
1. Ikon adalah tanda hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan
(tanda yang muncul dari perwakilan fisik).
2. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan
petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat atau tanda yang langsung
mengacu pada kenyataan.
3. Simbol adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dengan
petandanya (tanda yang muncul dari kesepakatan).
Arti lain dari simbol menurut Sobur (2009 : 177) adalah suatu objek atau peristiwa apa
pun yang menunjuk pada sesuatu. Simbol meliputi apa pun yang dapat dirasakan atau
dialami. Pengetahuan kebudayaan lebih dari suatu kumpulan simbol, baik istilah-istilah
rakyat maupun jenis-jenis simbol lain. Semua simbol, baik kata-kata yang terucapkan,
sebuah objek seperti sebuah bendera, suatu gerak tubuh seperti melambaikan tangan,
sebuah tempat seperti tempat suci, atau suatu peristiwa seperti pernikahan merupakan
bagian-bagian dari suatu sistem simbol. Sedangkan Spradley dalam Sobur (2009 : 177)
mengatakan bahwa “Semua makna budaya diciptakan dengan menggunakan
21
simbol-simbol”. Selain itu pernyataan yang dikatakan oleh Geertz yang juga dikutip
dalam Sobur adalah “Makna hanya dapat disimpan di dalam simbol”. Hal ini seperti yang
dikatakan secara singkat oleh Emerson dalam Ullman (2007 : 16) bahwa manusia adalah
lambang dan menghuni lambang. Menurut Ratna (2009 : 170 - 174), simbol yang berasal
dari bahasa Yunani yaitu symballein secara harafiah berarti memasukkan, mencampurkan
dan membandingkan secara bersama-sama, sehingga terjadi analogi antara benda dengan
objeknya. Dalam kehidupan sehari-hari simbol, tanda dan lambang dianggap memiliki
pengertian yang sama, benda atau hal apa saja yang berfungsi untuk mewakili sesuatu
yang lain. Sebagai akibatnya terjadilah pernyataan-pernyataan secara tidak langsung,
implisit, konotatif dan ambigu. Akan tetapi pada dasarnya simbol itu sendiri mengandung
unsur kata kerja. Sebaiknya sistem simbol mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. Kesederhanaan pilihan kata dalam kaitannya dengan sistem simbol secara
keseluruhan,
2. Elegan, halus dan luwes sehingga dengan mudah menimbulkan dan mempengaruhi
sikap pembaca,
3. Mudah diproduksi dan direproduksi,
4. Memiliki kesesuaian dengan isi dalam berbagai dimensinya,
5. Ada keseimbangan antara jumlah simbol dengan kompleksitas muatan simbol,
6. Ada kejernihan hubungan antara simbol dengan objek,
7. Ada relevansi antara kompleksitas struktur simbol terhadap struktur objek,
8. Ada perbedaan yang jelas di antara simbol-simbol yang terkandung dalam suatu
karya,
9. Ada kesesuaian sinonim secara operasional,
10. Memiliki nilai-nilai universalitas.
22
Hubungan dalam representamen, objek, interpretan menurut Peirce dalam Christomy
(2004 : 127 - 128) mengajukan tiga kategori, yaitu terdiri dari :
1. Term, sebagai representasi dari suatu kemungkinan denotatum.
2. Proposisi, sebagai tanda informatif
3. Argumen, sebagai proses berpikir yang memungkinkan untuk percaya tentang
sesuatu.
Bahasa yang merupakan sistem tanda yang kemudian dalam karya sastra menjadi
mediumnya adalah sistem tanda tingkat pertama. Dalam semiotik, arti bahasa sebagai
sistem tanda tingkat pertama itu disebut meaning atau arti dalam bahasa Indonesia. Karya
sastra juga merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi masyarakat. Karena karya
sastra merupakan sistem tanda yang lebih tinggi kedudukannya dari bahasa, maka disebut
sistem semiotik tingkat kedua. Dalam karya sastra, arti kata-kata ditemukan oleh konvensi
sastra. Jadi, arti sastra itu merupakan arti dari arti atau meaning of meaning (Pradopo,
1990 : 122 - 124). Untuk membedakan dari arti bahasa, arti sastra itu disebut makna
significance yang terbagi menjadi significant atau nouki「 能記 」atau disebut den gan
kigou hyougen「 記号表現 」dan signifie atau shoki「 所記 」atau disebut juga dengan
kigou naiyou「 記号内容 」(Kazama dkk, 1993 : 2).
2.4 Teori Shinto
Ada beberapa agama yang dianut oleh masyarakat Jepang hingga saat ini, yakni
Budha, Kristen dan Shinto. Akan tetapi agama yang paling banyak dianut oleh masyarakat
Jepang adalah agama Shinto「 神道 」. Menurut Ono (1998 : 2), Shinto berasal dari dua
huruf kanji, yakni kanji shin「 神 」yang berarti kami atau dewa, sedangkan tou atau dou
23
「 道 」berarti michi atau jalan, maka secara harafiah Shinto dapat diartikan sebagai “jalan
para dewa”.
Menurut Befu dalam Danandjaja (1997 : 164), walaupun mempunyai satu nama,
kepercayaan ini sebenarnya merupakan gabungan kepercayaan primitif yang sulit untuk
digolongkan menjadi satu agama, bahkan sebagai satu sistem kepercayaan. Maka
kepercayaan ini lebih tepat dianggap sebagai suatu gabungan dari kepercayaan primitif
dan praktek-praktek yang berkaitan dengan jiwa, roh, hantu, dan sebagainya. Agama
Shinto adalah salah satu agama yang tertua dan dapat dianggap sebagai kepercayaan
pribumi masyarakat Jepang. Kuroda (1993 : 7), menyatakan bahwa pandangan
masyarakat Jepang terhadap Shinto meliputi :
Shinto bears the unmistakable characteristics of a primitive religion, including nature worship and taboos against kegare (impurities), but it has no system of doctrine; it exists in diverse forms as folk belief. Terjemahan : Shinto memiliki karakteristik yang paling benar dari kepercayaan kuno, termasuk menyembah alam dan tabu terhadap kegare atau ketidaksucian, akan tetapi Shinto tidak memiliki sistem doktrin; Shinto muncul dari kepercayaan rakyat dalam bentuk yang bermacam-macam.
Tanaka (1997 : 298), menyatakan bahwa Shinto didefinisikan sebagai berikut, yaitu :
一般に「神道」と言った場合、「日本民族に固有の神、神霊に基づいて発
生し、展開してきた宗教の総称」であるとされているが、神や神霊につい
ての信念や伝統的な際祀ばかりでなく、広く生活習俗や伝承されている考
え方などもその中に含まれる。 Terjemahan : Secara umum Shinto adalah sebuah kata yang digunakan untuk mewakili kepercayaan tradisional masyarakat Jepang yang berdasarkan pada kepercayaan terhadap dewa dan roh. Lalu secara luas ajaran Shinto juga menjadi pedoman bagi masyarakat Jepang dalam menjalankan kehidupan sehari-harinya.
Menurut Ono (1998 : 7), diantara objek dan fenomena yang telah ada pada zaman
24
dahulu, yang disebut sebagai kami adalah kualitas pertumbuhan, kesuburan dan
produktivitas, fenomena alam (angin dan guntur), objek alam (matahari, gunung, sungai,
pohon, batu karang), beberapa binatang dan roh-roh leluhur (roh kaisar, roh keluarga,
bangsawan, roh pahlawan nasional). Dalam hal ini kami adalah gunung, sungai, batu
karang, pohon, burung dan manusia yang mempunyai kualitas yang luar biasa. Manusia
yang mempunyai kualitas yang luar biasa tersebut, yaitu seperti kaisar, pahlawan dan
keluarga leluhur pun juga dikenal sebagai kami.
Konsep dasar Shinto adalah kepercayaan terhadap kedewaan, maka dalam agama
Shinto juga terdapat dunia para dewa-dewa. Dewa-dewa yang berada di dunia tersebut
adalah dewa-dewa yang dipuja oleh para pengikut Shinto. Menurut Honda (2006 : 148),
beberapa diantara dewa-dewa Shinto adalah shichifukujin yang berarti tujuh dewa
keberuntungan. Shichifukujin terdiri dari :
1. Ebisu「 恵比寿 」, ialah dewa kemakmuran
2. Daikokuten「 大黒天 」, ialah dewa kekayaan
3. Benzaiten「 弁財天 」, ialah dewa kesusastraan, kesenian dan ilmu pengetahuan
4. Bishamonten「 毘沙門天 」, ialah dewa keberuntungan
5. Hotei「 布袋 」, ialah dewa kebahagiaan
6. Fukurokuju「 福禄寿 」, ialah dewa umur panjang
7. Juroujin「 寿老人 」, ialah dewa kebijaksanaan
Pada umumnya adat dan kebiasaan yang ada dalam masyarakat Jepang biasanya
didasari pada kepercayaan Shinto seperti halnya upacara pernikahan, kelahiran dan
lain-lain (Tsuruoka, 1990 : 275 - 277). Oleh karena alasan itulah, penulis akan
menggunakan konsep pernikahan Shinto atau shinzen kekkonshiki pada penelitian ini
25
karena pernikahan dengan agama Shinto adalah pernikahan yang sudah umum
dilaksanakan oleh masyarakat Jepang, selain itu agama Shinto juga merupakan agama
yang utama dan banyak dianut oleh masyarakat Jepang.
2.5 Konsep Pernikahan Shinto (Shinzen Kekkonsiki)
Tsuruoka (1990 : 179 - 181) menjelaskan bahwa beberapa pasangan muda di Jepang
melaksanakan upacara pernikahan mereka sesuai dengan agama Budha, Kristen dan
Shinto. Tetapi pada umumnya pernikahan para masyarakat muda di Jepang dilaksanakan
secara Shinto atau shinzen kekkonshiki ditempat suci Shinto yaitu kuil atau jinja 「 神社 」.
Berikut di bawah ini adalah gambar ruangan upacara pernikahan Shinto yang
dilaksanakan di jinja yang dilengkapi dengan altar Shinto.
Gambar 2.2 Ruangan Upacara Shinto dan Altar Shinto
Sumber : http://mantenkaku-sunmarry.jp/wedding.php
Pernikahan Shinto atau shinzen kekkonshiki「 神前結婚式 」merupakan suatu tradisi
upacara pernikahan tradisional secara Shinto di Jepang. Sumiarta (2009), mengatakan
26
bahwa upacara pernikahan Shinto bersifat sangat pribadi, karena hanya dapat dihadiri
oleh anggota keluarga dan kerabat dekat. Biasanya diselenggarakan di gedung resepsi
pernikahan tetapi ada juga sebagian masyarakat yang menyelenggarakan atau
melaksanakan pernikahannya di kuil atau jinja. Akan tetapi saat ini sudah banyak
pasangan muda di Jepang yang menyelenggarakan hari pernikahannya di hotel atau di
aula khusus pernikahan. Pada biasanya hari pernikahan hanya dirayakan satu hari pada
saat yang bersamaan dengan upacara dan resepsi atau pesta pernikahan pada hari-hari baik
tertentu menurut kepercayaan.
Dalam pernikahan Shinto, pengantin wanita mengenakan pakaian kimono pengantin
yang semuanya berwarna putih yang disebut dengan nama shiromuku atau pakaian
pengantin wanita yang semuanya berwarna putih dan terbuat dari sutra dan penutup
kepala yang dikenakan di atas kepala pengantin wanita. Pakaian pengantin tradisional dan
penutup kepala yang digunakan oleh pengantin wanita ini seluruhnya berwarna putih
karena warna putih adalah simbol kesucian sang pengantin wanita dan keteguhan niatnya
untuk masuk ke dalam keluarga calon suaminya nanti. Lebih jauh lagi warna putih pada
pengantin wanita adalah sebagai simbol kematian dari sang pengantin. Maksud dari
kematian sang pengantin wanita, ialah sekali ia masuk ke dalam rumah tangga keluarga
suaminya nanti sebagai seorang istri dan sebagai seorang menantu, maka sang pengantin
wanita tidak akan pernah bisa kembali lagi ke rumah tempat kelahirannya (Kawakami,
1993 : 18 - 23). Sumiarta (2009) menjelaskan bahwa, penutup kepala pengantin wanita
terdiri dari dua macam yaitu tsunokakushi (yang dipenuhi dengan hiasan kepala yang
terbuat dari kain kemudian dilipat-lipat dan dijahit dengan tangan yang disebut kanzashi)
dan wataboshi. Pengantin wanita dapat memilih dua macam penutup kepala tersebut
untuk digunakan saat upacara nanti. Secara harafiah penutup kepala tsunokakushi
27
memiliki makna ’menyembunyikan tanduk’ yang berguna untuk
menyembunyikan ”tanduk kecemburuan”, yaitu keakuan dan egoisme pengantin wanita
dari ibu mertua. Masyarakat Jepang percaya bahwa cacat karakter dari pengantin wanita
perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai laki-laki dan keluarganya.
Makna lain dari tsunokakushi ialah sebagai lambang ketetapan hati untuk menjadi istri
yang patuh, lembut dan kesediaannya untuk melaksanakan tugas atau perannya sebagai
seorang istri dengan penuh kesabaran serta ketenangan. Sedangkan makna dari wataboshi
adalah sebagai penunjuk kesopanan dari pengantin wanita yang sekaligus mencerminkan
kualitas yang paling dihargai dalam pribadi wanita. Menurut adat istiadat, dengan
menggunakan penutup kepala ini wajah pengantin wanita benar-benar tersembunyi dari
siapapun kecuali pengantin pria. Selain menggunakan penutup kepala, kulit pengantin
wanita akan dicat hingga berwarna sangat putih mulai dari wajah hingga ujung kaki
sebagai perlambang sekaligus pernyataan kesucian di depan para dewa-dewi.
Kemudian Kawakami (1993 : 18) mengatakan bahwa, pengantin pria mengenakan
pakaian pengantin berwarna hitam dengan motif lambang keluarga pada pakaian
pengantinnya, pakaian pengantin pria terdiri dari haori atau pakaian luar bagian atas dan
hakama atau celana khas Jepang yang sangat lebar sehingga dari luar terlihat seperti rok.
Di bawah ini adalah gambar pakaian pengantin pria dan pengantin wanita. Pada dua buah
gambar di bawah ini, yaitu pengantin wanita menggunakan penutup kepala yang disebut
dengan tsunokakushi, kemudian pada gambar yang berikutnya adalah gambar pengantin
wanita menggunakan penutup kepala yang disebut wataboshi.
28
Gambar 2.3 Pakaian Pengantin Pria dan Pengantin Wanita (Menggunakan Tsunokakushi dan Shiromuku)
Sumber : http://www.wedding-resource.com
Gambar 2.4 Pengantin Wanita yang Menggunakan Tsunokakushi
Sumber : http://the-jacob-black.blogspot.com
29
Gambar 2.5 Pakaian Pengantin Pria dan Pengantin Wanita (Menggunakan Wataboshi dan Shiromuku)
Sumber : http://brideseverywhere.blogspot.com
Urutan upacara pernikahan dilaksanakan dengan kedua keluarga dan kedua belah
pihak pengantin berada bersama-sama di ruangan terpisah lalu mereka akan disuguhkan
secangkir teh saat mereka menunggu. Setelah semuanya sudah siap, kedua pihak keluarga
akan masuk ke dalam ruang upacara. Di ujung ruangan itu ada altar Shinto yang di atasnya
terdapat persembahan yang sudah disiapkan dan cincin kawin yang juga diletakkan di atas
meja persembahan tersebut, kemudian ada tiga cangkir sake beserta dua wadah yang
dibedakan, yaitu satu cangkir untuk pengantin pria dan satu cangkir untuk pengantin
wanita dengan warna merah dan merah muda. Persembahan yang berada di atas meja
persembahan tersebut terdiri dari nasi, air, garam, buah-buahan, sayur-sayuran, sake serta
beberapa surume atau cumi-cumi kering dan konbu atau ganggang rumput laut. Dua ekor
ikan tai yaitu sejenis ikan kakap berwarna putih keperakan yang juga dipersembahkan,
ikan ini melambangkan kesuburan atau shison han ei, selain itu ikan ini juga
melambangkan kebahagiaan dan kemakmuran. Ikan tai biasanya digunakan hanya pada
saat acara-acara yang bahagia saja, yakni seperti hari pernikahan (Tanaka, 1997 : 325).
30
Di sebelah kanan altar, berdirilah seorang kanmushi yaitu pendeta Shinto dan di
sebelah kirinya miko, yakni para penolong untuk membantu jalannya upacara yang
berpakaian merah dan putih. Kadang-kadang juga disediakan radio kaset untuk
memberikan latar belakang alunan musik yang sesuai dengan suasana saat itu, tapi ada
juga yang memakai kelompok peniup suling dan kuil Shinto yang berdiri di belakang para
miko. Selain itu pelayanan ini juga disertai dengan para penari.
Kedua pasangan pengantin duduk di tengah ruangan, dengan posisi pengantin pria di
sebelah kanan pengantin wanita, sedangkan nakoodo atau orang yang memperkenalkan
pasangan pengantin pria dan pengantin wanita sebagai comblang berada di belakang
mereka, sanak saudara dari kedua belah pihak pengantin sesuai dengan kedekatan
hubungan dan urutan umur. Berikut di bawah ini adalah gambar kedua pasangan
pengantin yang sedang duduk di tengah ruangan.
Gambar 2.6 Pasangan Pengantin yang Sedang Duduk di Tengah Ruangan Upacara Pernikahan
Sumber : http://wedding.en-japan.com
31
Biasanya ada satu meja pendek di depan masing-masing orang dengan secangkir sake
dan satu paket makanan yang berisi irisan kecil surume dan konbu yang terlebih dahulu
dipersembahkan kepada dewa.
Pendeta Shinto pertama kali menyambut para rombongan dengan mengucapkan
selamat, kemudian mengumumkan bahwa upacara akan segera dimulai. Upacara ini
dimulai dengan acara penyucian. Selama acara berlangsung, pendeta akan menyanyi
kemudian menggoyangkan tongkat berhias di atas altar, selanjutnya ke atas para miko,
kedua pasangan pengantin dan semua yang hadir. Setelah itu diikuti dengan doa Shinto
atau norito yang dinyanyikan dan sebuah gulungan kertas yang dibawa pendeta untuk
memanggil dewa.
Tsuruoka (1990 : 179 - 181), mengatakan bahwa upacara meminum sake sebanyak tiga
kali lalu saling bertukar minum sake satu sama lain yang dilaksanakan oleh kedua belah
pihak pasangan pengantin atau san san ku do kemudian diumumkan oleh pendeta, sebagai
seiin no gi atau upacara sumpah dengan meminum bersama-sama, kemudian sake dibawa
oleh para gadis miko kepada kedua pasangan pengantin. Terkadang para gadis miko ini
akan berpindah ke kedua sisi pengantin untuk membantunya jika diperlukan. Setelah itu
pasangan pengantin membuat perjanjian dengan menuangkan sake tiga kali, cangkir
terkecil diisi oleh penuang pengantin pria lalu disuguhkan pertama kali kepada pengantin
wanita, cangkir kedua diisi oleh penuang pengantin wanita lalu diberikan kepada
pengantin pria dan cangkir yang ketiga adalah mengulang kembali cara yang pertama.
Pasangan pengantin kemudian maju ke depan altar, lalu pengantin pria akan membacakan
ikrar dari sebuah gulungan kertas yang diucapkan di depan para dewa yang isinya adalah
janji untuk melewati kehidupan pernikahan dalam keharmonisan dan saling menghormati,
berbagi suka dan duka serta hidup damai, mengusahakan kemakmuran bagi keturunan
32
mereka dan semuanya akan dijalankan sampai mereka meninggal. Setelah pengantin pria
selesai mengucapkan ikrar di depan para dewa, pengantin wanita akan menambahkan
dengan menyebutkan namanya di akhir ikrar itu, kemudian pada akhirnya mereka akan
saling bertukar cincin.
Sesudah kedua pasangan pengantin dipersatukan, kembali disuguhkan untuk
menyatukan kedua keluarga pertama, sake akan diberikan kepada ayah dan pengantin
pria, setelah ia minum diberikan kepada pengantin wanita, kemudian ibu dan pengantin
pria dan kembali kepada pengantin wanita kemudian mereka akan melaksanakan upacara
oyako sakazuki「 親子杯 」. Oyako sakazuki adalah suatu upacara yang terdiri dari ibu dan
ayah pengantin wanita yang akan berganti-ganti minum dengan pengantin pria sebagai
suatu lambang ikatan dalam keluarga. Biasanya setelah itu akan dilanjutkan dengan
suguhan pada tiap sanak keluarga dengan secangkir sake yang diminum bersama setelah
mereka berdiri dan mengucapkan kanpai, hal ini disebut dengan shinseki sakazuki「 親戚
杯 」 . Oyako sakazuki dapat disederhanakan dengan melakukan kanpai dan minum
bersama. Nakoodo sering minum bersama sanak saudara dan kedua pihak, tapi ada juga
yang minum setelah kedua pengantin dan sebelum kedua belah pihak orang tua. Dalam
hal ini cangkir sake yang telah dipertukarkan oleh kedua pihak orang tua dari pengantin
pria dan pengantin wanita ini ialah sebagai perlambang persatuan atau ikatan baru
diantara mereka sebagai suatu keluarga (Kawakami, 1993 : 24).
Pada bagian akhir upacara adalah setelah beberapa nyanyian dinyanyikan oleh pendeta
dan membawa suatu pemberian berupa ranting kecil sakaki yang sudah dihias yaitu
disebut dengan tamagushi ke depan altar. Hal ini dilakukan sebagai ungkapan terima
kasih kepada dewa. Ranting-ranting tersebut biasanya pertama diberikan kepada kedua
33
pasangan pengantin kemudian nakoodo dan kepada kedua ayah dari pihak keluarga
pengantin pria dan pengantin wanita. Pemberian ranting-ranting ini disertai dengan tepuk
tangan dan menunduk yang dilakukan oleh semua hadirin, setelah kedua ayah menunduk,
diikuti oleh para sanak saudara mereka.
Pertukaran cincin dilaksanakan pada acara puncak lalu setelah itu para sanak saudara
memberikan tepuk tangan. Perkenalan para sanak saudara juga dilakukan setelah pendeta
meninggalkan ruangan atau juga dilakukan di ruangan sebelahnya.
Setelah upacara pernikahan telah selesai maka akan diadakan pesta atau resepsi
pernikahan. Pesta pernikahan ini diselenggarakan untuk dirayakan bersama dengan para
teman-teman dan atasan di kantor, guru yang paling dihormati serta teman-teman dari
kedua pihak pasangan pengantin juga turut diundang (Tsuruoka, 1990 : 181). Dalam
pernikahan yang dilaksanakan secara Shinto, pengantin membutuhkan beberapa peralatan
penting yang akan digunakan, yaitu salah satunya yang paling penting adalah kimono
untuk pengantin wanita. Menurut Kawakami (1993 : 24), dalam acara pernikahan pada
zaman modern saat ini, pengantin diperbolehkan mengenakan tiga jenis pakaian kimono
pengantin. Kimono pengantin tradisional terbuat dari sutra putih yang berat dan sangat
berkualitas tinggi, kimono ini disulam dengan motif-motif yang melambangkan
keberuntungan (Gilhooly, 2004 : 121). Oleh karena itu pada saat perayaan pesta
pernikahan di Jepang, pengantin pria dan pengantin wanita akan berganti pakaian.
Pengantin pria akan menggunakan pakaian pengantin untuk pagi hari atau morning dress
dan pengantin wanita selalu mengenakan kimono yang khusus digunakan untuk
pernikahan, tetapi warna yang digunakan berbeda. Salah satu bagian dari acara pesta
pernikahan di Jepang adalah pada saat sebelum pengantin wanita memasuki ruang acara
pesta pernikahan untuk mengganti pakaian pengantinnya dengan kimono khusus pesta
34
pernikahan dan setelah itu memasuki ruang acara dengan kimono tersebut. Perubahan
pakaian dan penampilan pengantin wanita secara keseluruhan yang digunakan untuk
upacara pernikahan ini dilakukan untuk memperlihatkan bentuk dari variasi pakaian
pengantin yang dikenakan dan mengutamakan keindahan dari sang pengantin wanita
(Tsuruoka, 1990 : 181). Berikut di bawah ini adalah gambar pengantin wanita yang telah
berganti pakaian pengantin shiromuku dengan pakaian kimono pengantin untuk acara
pesta.
Gambar 2.7 Pakaian Kimono Pengantin Untuk Acara Pesta
Sumber : Britton (1993 : 12)
Setiawan (2010) mengatakan bahwa, pada saat acara pesta pernikahan inilah hadiah
diberikan kepada pasangan pengantin dari pihak orang tua pasangan pengantin. Hadiah
yang diberikan tersebut dibungkus dengan kain furoshiki dengan motif-motif khusus yaitu
motif burung bangau, motif kipas, motif ombak dan motif pohon cemara. Motif-motif
tersebut dipercaya oleh masyarakat Jepang sebagai pembawa berkah serta kebahagiaan
abadi dimasa depan bagi penggunanya yaitu pasangan pengantin pria dan pengantin
wanita.
35
2.6 Konsep Furoshiki
Menurut Ekiguchi (1997 : 113), kain furoshiki「 風呂敷 」terdiri dari kata furo dan
shiki. Dalam bahasa Jepang, kata furo berarti mandi dan kata shiki berarti alas. Sedangkan
menurut Relache (2011), dalam bahasa Inggris kain furoshiki disebut bath spread, bila
kain furoshiki diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara harafiah berarti kain yang
dibentangkan yang digunakan saat akan pergi mandi ke pemandian umum atau sentou「 銭
湯 」untuk membawa berbagai macam perlengkapan mandi dan pakaian bersih.
Gambar 2.8 Kain Furoshiki
Sumber : http://areamagz.com
Setiawan (2010) mengatakan bahwa, kain furoshiki adalah kain yang berbentuk segi
empat untuk membungkus barang-barang yang akan dibawa bepergian atau digunakan
untuk menyimpan barang-barang yang diletakkan dalam suatu tempat. Furoshiki sudah
sejak lama digunakan di Jepang sejak zaman Edo sekitar tahun 1600-an. Selanjutnya,
penggunaan kain furoshiki sebagai kain pembungkus tersebar seiring meningkatnya
aktivitas masyarakat pada saat itu. Tsuruoka (1990 : 301) menyatakan bahwa, nama dari
36
kain furoshiki sendiri datang dari penggunaannya yang pertama kali oleh masyarakat
Jepang untuk membawa pakaian ganti beserta perlengkapan mandi lainnya ke pemandian
umum atau sentou. Furoshiki merupakan salah satu barang yang sudah menjadi
kebutuhan sehari-hari di Jepang karena saat mereka akan pergi ke pemandian umum
untuk mandi, maka mereka akan membawa kain furoshiki bersama dengan yukata (Grilli,
1990 : 102).
Pengertian lain dari furoshiki menurut Dumas (2004 : 53) adalah :
風呂敷は、布を折りたたんだもので、物品などを包んで持ち運びやすくす
るために用いられるものです。人に贈り物を持っていくとき、風呂敷に包
んでいき、贈り物を受け取る人に手渡す直前に、風呂敷を解くのが普通で
す。 Terjemahan :
Furoshiki adalah kain pembungkus atau kain yang digunakan untuk membungkus suatu barang sehingga barang tersebut dapat dengan mudah dibawa kemana-mana. Furoshiki biasanya digunakan ketika memberikan hadiah kepada seseorang lalu hadiah tersebut dibungkus dengan furoshiki dan membukanya sebelum memberikan hadiah tersebut kepada penerima hadiah.
Kain furoshiki dibuat dengan berbagai macam ukuran dan bahan utama yang terbuat
dari kain katun dengan ukuran yang sangat besar untuk membungkus barang yang juga
besar atau barang yang banyak jumlahnya, selain itu kain ini terbuat dari sutera
berkualitas baik yang memiliki cetakan lambang keluarga atau dengan gambar-gambar
atau motif-motif bunga dan burung (Tsuruoka, 1990 : 301). Menurut Grilli (1990 : 104),
kain ini diciptakan dengan warna yang berbeda-beda atau juga dibuat dengan motif
cetakan lambang keluarga sang pemilik kain.
Akan tetapi menurut Relache (2011) kepopuleran furoshiki sedikit demi sedikit
menjadi berkurang seiring berlalunya waktu sejak pertumbuhan ekonomi Jepang paska
Perang Dunia kedua. Ditambah lagi sejak pusat perbelanjaan mulai memperkenalkan
37
penggunaan kantung plastik dan kertas sebagai pembungkus pada tahun 1960-an dan
sangat populer hingga sekarang.
Berbeda dengan zaman dahulu, menurut Setiawan (2010), kini penggunaan kain
furoshiki juga dapat digunakan sebagai pembungkus seserahan atau hadiah saat pesta
pernikahan di Jepang dengan motif-motif khusus yang memiliki makna tertentu dan
masyarakat Jepang percaya bahwa motif-motif tersebut akan membawa berkah serta
kebahagiaan abadi dimasa depan bagi penggunanya. Motif yang digunakan saat pesta
pernikahan atau kekkonshiki sebagai pembungkus seserahan atau hadiah pada furoshiki
tersebut, yaitu motif burung bangau, motif kipas, motif pohon cemara dan motif ombak.
Di bawah ini adalah beberapa gambar kain furoshiki dengan motif-motif yang digunakan
sebagai kain pembungkus seserahan saat pesta pernikahan.
Gambar 2.9 Kain Furoshiki dengan Motif Burung Bangau
Sumber : http://www.etsy.com
38
Gambar 2.10 Kain Furoshiki dengan Motif Kipas
Sumber : http://www.sohya-tas.com
Ada beberapa jenis motif pohon cemara dan motif ombak yang digunakan dalam kain
furoshiki, mulai dari motif yang digambar secara detail atau seperti gambar nyata hingga
gambar abstrak. Beberapa motif pohon cemara digambarkan di dalam kain furoshiki
sesuai dengan pohon cemara jenis Japanese Black Pine, Japanese Red Pine dan Japanese
White Pine. Gambar motif pohon cemara yang terdapat di dalam kain furoshiki ada yang
digambar dengan lengkap dan ada juga yang hanya daunnya saja. Sedangkan beberapa
motif ombak yang digambarkan di dalam kain furoshiki secara mendetail yakni
menggunakan lukisan Jepang terkenal karya Katsushika Hokusai. Lukisan ombak karya
Hokusai merupakan lukisan terkenal di Jepang yang dilukis oleh pelukis ukiyo-e terkenal.
Gambar 2.11 Kain Furoshiki dengan Motif Pohon Cemara
Sumber : http://item.rakuten.co.jp
39
Gambar 2.12 Kain Furoshiki dengan Motif Daun Pohon Cemara
Sumber : http://furudougunosasaya.blog120.fc2.com
Gambar 2.13 Kain Furoshiki dengan Motif Ombak (Detail)
Sumber : http://en.item.rakuten.com
Gambar 2.14 Kain Furoshiki dengan Motif Ombak (Abstrak)
Sumber : http://en.item.rakuten.com
40
Agar saat acara pesta pernikahan dapat berlangsung dengan lancar dan baik maka
dibutuhkanlah berbagai macam perlengkapan yang merupakan suatu keharusan hingga
saat ini, salah satu barang yang digunakan saat pesta pernikahan Jepang yang sudah
menjadi budaya bagi masyarakat Jepang tersebut adalah kain furoshiki dengan
motif-motif khusus. Kain furoshiki berfungsi sebagai salah satu perhiasan berharga yang
menarik perhatian dan sengaja diberikan sebagai pembungkus hadiah dengan diiringi
doa-doa dari orang tua mempelai pengantin wanita yang dapat membawa kebanggaan,
status, bentuk ungkapan cinta dan dukungan dari keluarga pengantin wanita untuk
kehidupan barunya memikul tanggung jawab sebagai seorang istri. Sehingga saat hari
pernikahan yang diselenggarakan secara Shinto yaitu shinzen kekkonshiki motif burung
bangau, motif kipas, motif pohon cemara dan motif ombak digunakan dalam kain
furoshiki sebagai pembungkus hadiah pemberian orang tua mempelai wanita kepada
pengantin wanita dan juga kepada pengantin pria (Brandon 1989 : 12 - 15).
Thwaites (1994 : 1) menjelaskan bahwa hasil dari seni budaya atau suatu masyarakat
berasal dari hasil pemikiran masyarakat yang mempengaruhi budaya masyarakat tersebut,
karena itulah hasil dari pemikiran dan kepercayaan tersebut dituangkan ke dalam kain
furoshiki dalam bentuk motif-motif tertentu yaitu motif burung bangau, motif kipas, motif
pohon cemara dan motif ombak.