bab ii kajian pustaka dan kerangka teori a. …eprints.uny.ac.id/53700/3/bab ii 13413244007.pdf ·...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORI
A. Kajian Pustaka dan Kerangka Teori
1. Make Up dan Gaya Hidup
Penggunaan make up dikalangan mahasiswi Universitas Negeri
Yogyakarta memiliki sebuah makna tersendiri bagi mereka. Makna sendiri
mengandung pengertian tentang arti atau maksud tertentu. Semua makna
budaya diciptakan dengan mengunakan simbol-simbol. Makna diciptakan
dalam interaksi antar manusia dalam kehidupan manusia. Simbol adalah
objek atau peristiwa apapun yang menunjuk pada sesuatu. Semua simbol
melibatkan tiga unsur simbol itu sendiri, satu rujukan atau lebih, dan
hubungan antara simbol dengan rujukan. Ketiga hal tersebut merupakan dasar
bagi semua makna simbolik. Dalam kehidupan sehari-hari makna ada yang
bersifat sangat individual dan makna yang bersifat sosial (Geertz, 1973).
Makna kolektif terbentuk ketika hasil pemaknaan individu satu dengan
yang lainnya mempunyai banyak kesamaan karena hasil pemaknaan individu
tersebut telah disampaikan kepada yang lain dan kemudian diterima. Disini
makna tersebut menjadi bersifat intersubyektif, ini berbeda dengan makna
individual, yang dimiliki oleh individu tertentu saja. makna-makna atau
pengetahuan individu inilah yang oleh beberapa ahli antropologi disebut
sebagai “pengetahuan budaya” (Spradley, 1972). Berdasarkan berbagai
13
penjelasan tersebut bisa disimpulkan bahwa makna adalah arti atau maksud
dari sebuah hal.
Makna penggunaan make up bagi mahasiswi tentunya untuk
menunjang penampilan dan kecantikan mereka. Penampilan cantik adalah hal
yang selalu diinginkan oleh setiap wanita. Fenomena gaya hidup seorang
mahasisiwi yang menginginkan suatu jati diri baru dengan cara selalu
mempercantik diri mereka dengan berbagai cara, perawatan wajah, tubuh,
penggunaan produk-produk kecantikan dan kosmetika untuk menunjang
kecantikan mereka adalah salah satu cara mereka untuk menunjukan
identitasnya. Gaya hidup mahasiswi yang semakin modern membuat mereka
mengikuti segala perkembangan yang ada diberbagai penjuru dunia, salah
satunya adalah dengan mengikuti perkembangan yang ada di Indonesia yang
mengkontruksi kecantikan wanita sebagai suatu kewajiban yang harus
dipenuhi dan harus dirawat oleh setiap wanita.
Sebenarnya kata cantik sendiri berasal dari Bahasa latin, bellus.
Menurut Kamus besar Bahasa Indonesia, kata cantik memiliki arti indah,
jelita, elok, dan molek (KBBI, 2005). Meskipun demikian, pemaknaan
seseorang terhadap kecantikan itu berbeda beda dan bahkan selalu berubah-
ubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan zaman dan tren. Konsep
cantik menurut seseorang di suatu daerah, bisa jadi berbeda dengan konsep
cantik menurut seseorang di daerah lain.
14
Kecantikan sesungguhnya bukan hal yang universal ataupun tidak bisa
diubah, meskipun orang Barat percaya bahwa segenap kecantikan perempuan
yang ideal berawal dari sosok yang platonis. Orang-orang suku Maori
mengagumi tubuh yang gemuk. Dan orang-orang Padang menyukai buah
dada yang montok. Kecantikan juga bukan bagian dari fungsi evolusi.
Ukuran-ukuran idealnya berubah lebih cepat dari pada proses evolusi spesies.
Charles Darwin sendiri tidak meyakini pernyataan bahwa kecantikan
dihasilkan dari “seleksi seksual” yang punya aturan-aturan berbeda dengan
seleksi alam. Bagi perempuan, bersaing dengan sesamanya melalui
kecantikan merupakan pembalikan dari cara-cara dimana seleksi alam
mempengaruhi mamalia lainnya (Wolf, 2004: 29-30).
Sebenarnya ada dua hal mengenai kecantikan, ada kecantikan luar
(outer beauty) yang menyangkut fisik berupa kulit, wajah, bentuk tubuh,
rambut, dan bentuk fisik lainya, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah
kecantikan yang berasal dari dalam (inner beauty) yang berhubungan dengan
seluruh kepribadian dan dimensi psikis dan rohani yang bersifat lebih kekal
dan abadi. Meskipun begitu, baik kecantikan luar (outer beauty) dan
kecantikan yang berasal dari dalam (inner beauty) memiliki nilainya masing
masing yang tentunya menjadi pemaknaan masing masing orang.
Penampilan mahasiswi yang ingin terlihat cantik baik kecantikan dari
dalam maupun dari luar, mendorong mahasiswi untuk menggunakan cara-
cara guna mendapatkan kecantikan yang diinginkan. Make up adalah sebuah
15
usaha yang dilakukan oleh mahasiswi untuk mendapatkan kecantikan seperti
apa yang diinginkan. Bermunculannya berbagai produk-produk kecantikan
atau kosmetik kecantikan, mempermudah usaha mahasiswi guna
mendapatakan sebuah kecantikan yang mereka dambakan.
Make up sendiri adalah seni merias wajah atau mengubah bentuk asli
dengan bantuan alat dan bahan kosmetik yang bertujuan untuk memperindah
serta menutupi kekurangan sehingga wajah terlihat ideal. Make up sendiri
hampir memiliki arti yang sama dengan berdandan. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI, 2005) kata dandan diartikan sebagai mengenakan
pakaian dan hiasan serta alat-lat rias, memperbaiki, menjadikan baik (rapi).
Penggunaan make up dikalangan mahasiswi digunakan untuk
membuat mereka lebih percaya diri dengan penampilannya dan untuk
membuatnya merasa percaya diri dengan kecantikan yang dimilikinya.
Meskipun setiap orang punya definisi sendiri tentang cantik. Tetapi industri
kecantikan yang tumbuh subur dengan memanfaatkan kebutuhan orang untuk
tampil cantik, membuat industri tersebut membentuk sebuah kontruksi baru
mengenai definisi cantik. Kecantikan menjadi aspek yang sangat
dipentingkan oleh para kaum perempuan. Memang kecantikan selalu dikejar
oleh wanita dan menjadi permasalahan psikologis bagi banyak wanita yang
kurang percaya diri. Hal ini terjadi karena kecantikan tidak lepas dari
konstruksi sosial. Majalah, film, televisi, dan periklanan, sering menyajikan
perempuan dengan bentuk tubuh yang dikonstruksikan ideal, karenanya
16
industri kecantikan seperti pelangsingan tubuh dan perawatan awet muda
tumbuh menjadi industri yang sangat berkembang pesat. Kesemua hal itu
termasuk imbas dari gaya hidup kaum wanita di zaman modern ini,
khususnya bagi mahasiswi yang sangat rentan terkena imbas dari
modernisasi.
Hasil penelitian terdahulu memaparkan bahwa kecantikan adalah
atribut wajah yang simetris, dimana hidung memiliki jarak mata, bibir berada
di tempat yang tepat antara hidung dan dagu, standar-standar hanya
diperuntukan untuk wajah perempuan saja. Make up memainkan fitur wajah
wanita: eyeliner dan mascara membuat mata kecil menjadi lebih besar, blush
on menekankan tulang pipi, dan lipstik menunjukkan bibir terlihat lebih
gemuk. Beberapa hal yang digunakan untuk make up mahasiswi yang telah
dijelaskan tadi merupakan contoh dari jenis kosmetik.
Kosmetik adalah bahan atau campuran bahan untuk digosokkan,
dilekatkan, dituangkan, dipercikkan atau disemprotkan pada, dimasukkan
dalam, dipergunakan pada badan atau bagian badan manusia dengan maksud
untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah
rupa, melindungi supaya tetap dalam keadaan baik memperbaiki bau badan
tetapi tidak dimaksudkan untuk mengobati atau menyembuhkan suatu
penyakit. (Depkes RI, Undang-undang tentang Kosmetika dan Alat
Kesehatan).
17
Definisi kosmetik dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
445/MenKes/Permenkes/1998 adalah sediaan atau paduan bahan yang siap
untuk digunakan pada bagian luar badan (epidermis, rambut, kuku, bibir dan
organ kelamin bagian luar), gigi dan rongga mulut untuk membersihkan,
menambah daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap
dalam keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk
mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit (Retno, 2007).Kosmetik saat
ini telah menjadi kebutuhan manusia yang tidak bisa dianggap sebelah mata
lagi. Dan sekarang semakin terasa bahwa kebutuhan adanya kosmetik yang
beraneka bentuk dengan ragam warna dan keunikan kemasan serta
keunggulan dalam memberikan fungsi bagi konsumen menuntut industri
kosmetik untuk semakin terpicu mengembangkan teknologi yang tidak saja
mencakup peruntukkannya dari kosmetik itu sendiri namun juga
kepraktisannya didalam penggunaannya (Djajadisastra, 2005).
Menurut Retno, tujuan utama penggunaan kosmetik pada masyarakat
modern adalah untuk kebersihan pribadi, meningkatkan daya tarik melalui
make up, meningkatkan rasa percaya diri dan perasaan tenang, melindungi
kulit dan rambut dari kerusakan sinar ultra violet, polusi dan faktor
lingkungan yang lain, mencegah penuaan, dan secara umum membantu
seseorang lebih menikmati dan menghargai hidup. (Retno, 2007:7).
Make up banyak dipilih karena dengan menggunakan make up dapat
memberikan dampak positif terhadap daya tarik fisik perempuan, daya tarik
18
yang dimaksud di sini yaitu bahwa make up merupakan alat bantu
mempercantik atau menunjang penampilan dari bentuk asli ke bentuk yang
diinginkan. Penggunaan Make up kebanyakan adalah pada bagian wajah, hal
ini karena wajah perempuan merupakan aspek penting dalam konstruksi
kecantikan yang ada.
Selain itu wajah juga menjadi penentu dasar bagi persepsi mengenai
kecantikan atau kejelekan individu, dan semua persepsi ini secara tidak
langsung membuka penghargaan diri dan kesempatan hidup kita. Wajah
sungguh-sungguh menyimbolkan diri dan menandai banyak hal dari bagian
diri yang berbeda. Lebih dari bagian tubuh lainnya, kita mengidentifikasikan
wajah sebagai aku dan kamu (Synnott, 2007: 116).
Banyak perempuan yang mendambakan kecantikan yang alami tetapi
seiring perkembangan zaman kebanyakan dari perempuan sekarang
menggunakan produk make up yang terjual bebas di pasaran. Seseorang
menggunakan make up berharap agar wajahnya terlihat ideal dan tambak
lebih cantik, dengan begitu rasa percaya diri pun akan muncul. Karena make
up bertujuan untuk menutupi kekurangan yang ada pada wajah dan
memunculkan rasa percaya diri, maka orang yang menggunakan make up
mencerminkan pada penerimaan diri yang rendah.
Penggunaan kosmetik untuk make up yang diperlukan bagi perempuan
khususnya untuk menambah rasa percaya diri mereka mengenai penampilan
mereka, selain itu juga dapat memperbaiki emosi, mengurangi stress, dan
19
juga tentunya dapat mempengaruhi sistem imun, kosmetik yang pada
awalnya hanya dipakai untuk membersihkan kemudian dipakai untuk
mengganti atau memperbaiki sebuah penampilan wajah, sehingga tentu
memiliki efek samping kosmetik, karena kosmetik sendiri merupakah bahan
kimiawi.
Seseorang yang menggunakan produk kosmetik tentulah karena
adanya daya tarik kosmetik yang dibelinya tersebut, misalnya ketertarikan
terhadap fungsi dari kosmetik tersebut, kepraktisan dari pemakaian, dan
dampak yang ditimbulkan oleh pemakaian kosmetik itu. Konsumen haruslah
selektif dalam memilih produk kosmetik sehingga dampak negatif dari
pemakaian kosmetik seperti, kulit wajah menjadi kusam, pucat, kering,
pecah-pecah, dan dampak lain dapat dihindari (Djajadisastra, 2005).
Penggunaan kosmetik harus disesuaikan dengan aturan pakainya.
Misalnya harus sesuai jenis kulit, warna kulit, iklim, cuaca, waktu
penggunaan, umur, dan jumlah pemakaiannya sehingga tidak menimbulkan
efek yang tidak diinginkan. Sebelum mempergunakan kosmetik, sangatlah
penting untuk mengetahui lebih dulu apa yang dimaksud dengan kosmetik,
manfaat dan pemakaian yang benar. Maka dari itu perlu penjelasan lebih
detail mengenai kosmetik (Djajadisastra, 2005).
Efek samping kosmetik ini sebagaian besar bersifat ringan seperti
iritasi dan alergi, maka penderita sebagian besar tidak menyadarinya dan
apabila menyadarinya mereka juga beranggapan bahwa mereka tidak perlu
20
berobat karena tidak terlalu parah. Efek samping kosmetik terutama dapat
timbul dari kulit yang mengalami kontak langsung, akan tetapi reaksi dapat
pula terjadi pada organ lain dan bahkan dapat menimbulkan gangguan
sistemik tergantung pada bahan aktif yang digunakan oleh produk kosmetik
tersebut.
Ada berbagai reaksi negatif yang disebabkan oleh kosmetik yang tidak
aman pada kulit maupun sistem tubuh, antara lain:
a. Iritasi: reaksi langsung timbul pada pemakaian pertama kosmetik karena
salah satu atau lebih bahan yang dikandungnya bersifat iritan. Sejumlah
deodorant, kosmetik pemutih kulit (misalnya kosmetik impor Pearl
Cream yang mengandung merkuri) dapat langsung menimbulkan reaksi
iritasi.
b. Alergi: reaksi negatif pada kulit muncul setelah dipakai beberapa kali,
kadang-kadang setelah bertahun-tahun, karena kosmetik itu mengandung
bahan yang bersifat alergenik bagi seseorang meskipun tidak bagi yang
lain.
c. Fotosensitisasi: reaksi negatif muncul setelah kulit yang ditempeli
kosmetik terkena sinar matahari karena salah satu atau lebih dari bahan,
zat pewarna, zat pewangi yang dikandung oleh zat kosmetik itu bersifat
photosensitizer.
d. Jerawat (acne): beberapa kosmetik pelembap kulit yang sangat berminyak
dan lengket pada kulit, seperti yang diperuntukkan bagi kulit kering di
21
iklim dingin, dapat menimbulkan jerawat bila digunakan pada kulit yang
berminyak. Terutama di negara-negara tropis seperti di Indonesia karena
kosmetik demikian cenderung menyumbat pori-pori kulit bersama
kotoran dan bakteri.
e. Intoksikasi: keracunan dapat terjadi secara local maupun sistemik melalui
penghirupan lewat melalui hidung dan hidung, atau penyerapan lewat
kulit. Terutama jika salah satu atau lebih bahan yang dikandung kosmetik
itu bersifat toksik.
f. Penyumbatan fisik: penyumbatan oleh bahan-bahan berminyak dan
lengket yang ada dalam kosmetik tertentu, seperti pelembab atau dasar
bedak terhadap pori-pori kulit atau pori-pori kecil pada bagian tubuh yang
lain. Ada dua efek atau pengaruh kosmetik terhadap kulit, yaitu efek
positif dan efek negatif. Tentu saja yang diharapkan adalah efek
positifnya, sedangkan efek negatifnya tidak diinginkan karena dapat
menyebabkan kelainan-kelainan kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).
Selain dampak negatif mengenai kesehatan, adapula dampak lain bagi
mahasiswi. Mahasiswi sangat konsumtif untuk membeli berbagai produk
make up yang mereka inginkan tanpa melihat berapa besar pengeluaran
yang mereka keluarkan semua itu hanya agar mereka lebih terlihat cantik
dan menarik. Mengingat mereka adalah mahasiswi yang masih di berikan
uang saku oleh orang tuanya tidak menutup kemungkinan para mahasiswi
yang membeli produk make up tersebut baik yang bermerek dengan harga
22
mahal maupun yang dibeli dengan harga standar hanya untuk terlihat
cantik, menarik, lebih percaya diri dan juga untuk memperlihatkan
identitas diri mereka, mereka seringkali membeli berbagai produk
tersebut tanpa mereka harus memikirkan besar biaya yang akan mereka
keluarkan demi membeli produk make up tersebut.
Pengaruh penggunaan make up dalam kehidupan sehari-hari
mahasiswi merupakan salah satu dampak dari berbagai dampak yang
terjadi karena penggunaan make up bagi mahasiswi. Tentunya ada
banyak dampak dari yang positif sampai yang negatif, dalam sebuah
tindakan hal itu merupakan sebuah konsekuensi yang harus di ambil dari
sebuah tindakan. Ada beberapa dampak positif dan negatif dari
penggunaan make up diantaranya, dampak positif: membuat kulit wajah
menjadi lebih halus, cerah, cantik, dan lebih terlihat percaya diri, dampak
negatif: mengandung bahan kimia yang berbahaya yang bisa membuat
kulit wajah menjadi rusak, membuat mahasiswi semakin konsumtif
(boros).
Berdasarkan deskripsi diatas, ada beberapa manfaat dan dampak
negatif dari penggunaan produk kosmetik sebagai bahan dasar untuk
make up yang digunakan oleh mahasiswi UNY. Meskipun demikian,
karena tuntutan untuk dapat tampil cantik, dan juga tuntutan untuk
pemenuhan kebutuhan yang sudah mengarah kepada gaya hidup, maka
banyak mahasiswi yang menggunakan produk kosmetik sebagai bagian
23
dari kehidupan mereka yang tidak bisa terpisahkan, dan sudah menjadi
gaya hidup mereka.
2. Make Up dan Identitas Diri
Make up diperlukan oleh mahasiswi untuk membuat dirinya menjadi
lebih tampil cantik dan menarik perhatian serta membuatnya merasa percaya
diri dengan penampilannya. Mahasiswi menyadari bahwa mereka yang
menarik biasanya diperlakukan lebih istimewa dari pada yang biasa saja,
mereka yang tampil cantik dan menarik bisa mejadi pusat perhatian banyak
orang dan membuat para kaum adam terpikat akan pesonanya. Tidak heran
jika sekarang semakin banyak para pengguna make up khususnya mahasiswi
yang menggunakan make up karena alasan untuk terlihat menarik, modis,
trendi dan untuk mempercantik penampilan. Menurut (Erikson, 1989) hal ini
disebut sebagai salah satu proses dalam pembentukan identitas diri bagi para
remaja, dimana mereka cenderung berusaha untuk melepaskan diri sendiri
dari ikatan psikis orang tuanya dan berusaha untuk mencari jati dirinya
sendiri dengan berekspresi dan melakukan apa yang mereka sukai.
Tokoh yang dianggap sebagai penemu dan penggagas istilah
pembentukan identitas diri adalah Erikson (1989), menurutnya identitas diri
adalah kesadaran individu untuk menempatkan diri dan memberikan arti pada
dirinya dengan tepat di dalam konteks kehidupan yang akan datang menjadi
sebuah kesatuan gambaran diri yang utuh dan berkesinambungan untuk
menemukan jati dirinya. Teori Erikson dikenal juga sebagai “ego
24
psychology” yang menekankan pada konsep bahwa “diri (self)” diatur oleh
ego bawah sadar (unconcious ego) serta pengaruh yang besar dari kekuatan
sosial dan budaya di sekitar individu
Menurut Erikson (1989) pembentukan identitas (identity formation)
merupakan tugas psikososial yang utama pada masa remaja, identitas diri
adalah merupakan potret diri yang disusun dari macam-macam tipe identitas,
meliputi identitas karir, identitas politik, identitas agama,identitas hubungan
dengan orang lain, identitas intelektual, identitas seksual, identitas etnik,
identitas minat, identitas kepribadian, dan identitas fisik.
Erickson (1989) juga menyebutkan, bahwa pembentukan identitas diri
juga memerlukan dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen.
Istilah “eksplorasi” menunjuk pada suatu masa dimana seseorang berusaha
menjelajahi berbagai alternatif tertentu dan memberikan perhatian yang besar
terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang diperlukan dalam pemilihan alternatif
tersebut. Sedangkan “komitmen” menunjuk pada usaha membuat keputusan
mengenai pekerjaan atau ideologi, serta menentukan berbagai strategi untuk
merealisasikan keputusan tersebut. Berdasarkan dua elemen diatas, maka
dalam pembentukan identitas diri, seorang remaja akan mengalami suatu
krisis identitas untuk menuju pada suatu komitmen yang merupakan
keputusan akan masa depan yang akan dijalani.
Menurut Erikson (1989) terdapat beberapa Sumber yang
mempengaruhi pembentukan identitas diri yaitu :
25
a. Lingkungan sosial, dimana remaja tumbuh dan berkembang seperti
keluarga, tetangga dan kelompok teman sebaya.
b. Kelompok acuan (reference group), yaitu kelompok yang terbentuk pada
remaja misalnya kelompok agama atau kelompok yang memiliki minat
yang sama dimana melalui kelompok tersebut remaja dapat memperoleh
nilai-nilai dan peran yang dapat menjadi acuan bagi dirinya.
c. Tokoh idola, yaitu seseorang yang sangat berarti seperti sahabat, guru,
kakak, atau orang yang mereka kagumi.
Menurut Erikson (1989), remaja yang berhasil mencapai suatu
identitas diri yang stabil bercirikan :
a. Memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya.
b. Memahami perbedaan dan persamaan dengan orang lain.
c. Menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya.
d. Penuh percaya diri.
e. Tanggap terhadap berbagai situasi.
f. Mampu mengambil keputusan penting.
g. Mampu mengantisipasi tantangan masa depan.
h. Mengenal perannya dalam masyarakat
Mahasiswi mencoba memberikan gambaran tentang dirinya kepada
orang lain dengan sebaik-baiknya agar orang lain memandang dirinya seperti
apa yang dia mau. Ada beberapa tokoh yang mendefinisikan mengenai
gambaran diri, diantaranya adalah menurut Duffy dan Atwater (dalam
26
Hasanah, 2013) Gambaran diri (self body image) adalah suatu cara pada diri
individu dalam memandang dirinya, bagaimana perasaan seseorang tentang
tubuhnya dan bagaimana kepuasan dan ketidakpuasan seseorang terhadap
tubuhnya. Bukan hanya apa yang tampak dalam cermin tapi juga bagaimana
kita mempersepsikan apa yang ada pada tubuh individu. Selain itu defenisi
lain diberikan Thompson (dalam Hasanah, 2013), bahwa gambaran diri
merupakan gambaran yang dimiliki seseorang mengenai tubuhnya dalam
bentuk kepuasan dan ketidakpuasan yang merupakan hasil dari pengalaman
subjektif individu.
Atwater (dalam Hasanah, 2013), mengatakan bahwa cara seseorang
menerima gambaran diri (self body image) yang ia miliki tergantung pada dua
hal yaitu :
a. Kebudayaan
Gambaran diri (self body image) dipengaruhi oleh budaya disekitar
individu dan cara bagaimana budaya mengkomunikasikan norma yang ada
tentang berat badan, ukuran tubuh, bentuk badan dan daya tarik fisik.
b. Faktor sosial
Faktor sosial diantaranya adalah media massa, bahwa media massa
telah melakukan manipulasi dengan memberikan gambaran yang
stereotipe yangmenitik beratkan pada pesona daya tarik tanpa
memperlihatkan kekurangan-kekurangan yang ada. Hal ini dapat
berakibat buruk bagi individu.
27
Identitas diri, gambaran diri, dan juga konsep diri, merupakan sebuah
istilah yang mirip yang merujuk kepada bagaimana seseorang
menggambarkan tentang dirinya dan tentang apa yang ingin dia tuju
sebagai pedoman hidupnya agar orang lain memandangnya seperti yang
dia inginkan. Oleh karennya tiga hal tadi sangat berkaitan erat karena
saling melengkapi dan saling menjelaskan satu sama lain. Setelah kita
membahas mengenai identitas diri, dan gambaran diri, maka sekarang kita
akan membahas mengenai konsep diri.
Teori konsep diri menurut Goffman disebutnya sebagai
“ketidaksesuaian antara diri manusiawi kita dan diri kita sebagai hasil
proses sosialisasi”. Ketegangan ini disebabkan perbedaan antara apa yang
ingin kita lakukan secara spontan dan apa yang diharapkan orang lain
untuk kita lakukan. Kita berhadapan dengan tuntutan untuk melakukan
tindakan yang diharapkan orang lain kepada kita, selain itu kita
diharapkan untuk tidak ragu-ragu. Seperti dinyatakan Goffman (Ritzer,
2005), “kita tak boleh tunduk pada kestabilan”. Untuk mempertahankan
kestabilan citra diri, orang melakukan audiensi sosial dengan dirinya
sendiri.
Teori konsep diri (self concept theory) menyatakan bahwa manusia
mempunyai pandangan dan persepsi atas dirinya sendiri. Dengan
demikian setiap individu berfungsi sebagai subyek dan obyek persepsi.
28
Konsep diri yang dimiliki oleh seorang individu adalah berupa penilaian-
penilaian terhadap dirinya sendiri.
Teori konsep diri Goffmann mengusulkan perluasan paham
interaksionisme simbolis ke dalam suatu metafor dramatugis dengan
menyatakan bahwa: individu itu mengadakan pertunjukan (show) bagi
orang lain dengan mengatur kesan-kesan yang dia berikan kepada orang
lain tentang dirinya sendiri. Dia meneliti dengan cermat dan tenang
teknik-teknik yang digunakan setiap hari oleh diri kita masing-masing
agar cipta individu terlihat. Analisis dramaturgi Goffmann terhadap
masyarakat menawarkan cara berguna untuk menguji masyarakat dimana
orang tidak mencoba untuk berbuat tetapi menjadi sesuatu. Mungkin akan
lebih tepat dinamakan “pencitraan diri” sebagai bagian proses sosialisasi,
hal ini berkaitan untuk menunjukan siapa saya, dan siapa dia dalam
waktu-waktu tertentu.
Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri
sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi
subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial, komunikasi antar
manusia. Binatang dan bayi yang baru lahir tak mempunyai diri. Diri
muncul dan berkembang melalui aktivitas antara hubungan sosial ( Ritzer
& Goodman, 2005: 280).
Sementara itu, Cooley (1922) (dalam Saliyo, 2012) memperkenalkan
’teori cermin diri’ (looking-glass self) dengan pemikiran bahwa konsep
29
diri seseorang dipengaruhi oleh apa yang diyakini individu-individu,
bahwa orang berpendapat mengenai dia. Cermin memantulkan evaluasi
yang dibayangkan orang lain tentang seseorang. Cermin diri muncul dari
interaksi simbolis antara individu dengan macam-macam kelompok.
Kelompok bercirikan tatap muka (face-to-face-association), ketetapan
yang relatif dan keeratan hubungan dengan tingkatan tinggi di antara
sejumlah kecil anggota menghasilkan interaksi individu dan kelompok.
Hal tersebut dilakukan dengan trial and eror. Coley melaporkan
bagaimana perasaan diri berkembang dalam hubungannya dengan
interpretasi individu tentang kenyataan fisik dan sosial. Hal yang
diperhatikan objek yang diambil dalam diri sendiri oleh perasaan diri dan
sosial dalam dua pengertian. Pertama arti dilengkapi dengan Bahasa dan
budaya yang umum, kedua pembentukan konsep diri dan evaluasi yang
subjektif.
Cooley (dalam Sutisna, 2003) menyebut gejala seperti itu sebagai
looking glass self (cermin diri). Seakan-akan individu itu menaruh cermin
di depannya. Selanjutnya individu (konsumen) menilai bagaimana diri
mereka memandang mereka sendiri, konsep diri yang ada pada konsumen
bisa berhubungan dengan sifat-sifat seperti bahagia, kebergantungan,
modern, praktis, energetic, serius, pengendalian diri, kesuksesan, sensitif
dan agresif.
30
Ide mengenai cermin diri dapat dipecah menjadi tiga komponen
(Ritzer, 2012: 633-635).
a. Pertama, kita membayangkan bagaiman kita tampak pada orang lain.
b. Kedua, kita membayangkan apa yang mereka pertimbangkan atas
penampilan kita yang seharusnya.
c. Ketiga, kita mengembangkan suatu perasaan diri, seperti kebanggaan
atau rasa malu, sebagai hasil dari imajinasi kita atas pertimbangan-
pertimbangan orang lain.
Tampil cantik secara fisik menjadi bagian yang sangat penting bagi
perempuan modern. Pernyataan tersebut sudah sering di dengar dalam
berbagai tempat, waktu dan kesempatan, oleh seorang perempuan dan laki-
laki. Bagi seorang perempuan, kecantikan merupakan anugerah terindah yang
dipercaya dapat menambah keyakinan, percaya diri, dan energi kehidupan.
Konsep tentang cantik memang relatif, artinya cantik bagi satu orang belum
tentu cantik bagi orang lain. Demikian juga sebaliknya, tidak cantik bagi
seseorang, belum tentu tidak cantik bagi orang lain.
Dalam pergaulan di masyarakat, penampilan fisik perempuan menjadi
standar ideal untuk menilai seorang wanita. Kecantikan berhubungan erat
dengan bagaimana cara berpakaian yang baik, berperilaku baik,
berpenampilan sesuai dengan nilai dan norma. Bagi Plato kecantikan
diartikan secara sederhana yakni kebaikan, sedangkan kejelekan adalah jahat.
31
Seseorang dengan moral yang baik berarti cantik secara fisik atau sedap
dipandang, dan yang jahat berarti jelek (Synnott, 2007).
Kecantikan bukanlah kualitas di dalam dirinya sendiri, ia eksis
hampir-hampir dalam pikiran yang memikirkannya dan masing-masing
pikiran menerima satu kecantikan yang berbeda. Seseorang mungkin
menerima satu kecantikan yang berbeda. Seseorang mungkin menerima
sesuatu sebagai kelemahan, sementara yang lain melihatnya sebagai
keindahan. Mencari kecantikan yang real, atau kelemahan yang real,
merupakan sebuah pencarian yang sia-sia, sama seperti memaksakan diri
untuk memastikan rasa manis yang real atau rasa pahit yang real (Synnott,
2007: 142).
Kualitas yang disebut dengan cantik benar-benar ada, secara objektif
dan universal. Perempuan pastilah ingin memiliki kecantikan, dan laki-laki
pastilah ingin memiliki perempuan yang cantik. Tekanan yang muncul akibat
perasaan ingin memiliki ini dirasakan oleh perempuan, bukan laki-laki.
Situasi ini menjelma menjadi sesuatu yang alamiah dan diperlukan karena hal
itu bersifat biologis, seksual, evolusioner. Lihat saja, para laki-laki perkasa
selalu berperang demi perempuan cantik. Perempuan yang cantik selalu di
hubungkan dengan kesuburan, dan sejak sistem yang berbasis seleksi seksual
ini diterapkan, kecantikan menjadi sesuatu yang bisa niscahya dan baku
(Wolf, 2004: 29).
32
Akan tetapi, hal-hal itu tidak sepenuhnya benar. Kecantikan adalah
sistem pertukaran seperti halnya standar emas. Seperti semua yang ada dalam
lingkaran ekonomi, kecantikan juga ditentukan oleh sistem politik. Pada abad
modern, di negara-negara Barat kecantikan menjadi “agama” terakhir dan
terbaik, yang meneguhkan dominasi kaum laki-laki. Dalam upaya
memercikan api perlawanan kaum prempuan dalam hirarki vertikal sesuai
dengan standar fisik, kecantikan merupakan ekspresi dari relasi-relasi
kekuasaan, di mana perempuan harus bersaing secara tidak alamiah demi
sumber daya yang diberi hak oleh laki-laki (Wolf, 2004: 29).
Oleh karena itu banyak mahasiswi yang memilih dirinya untuk
menggunakan make up hanya karena untuk memperlihatkan siapa dirinya
terkadang mereka tidak memperdulikan berapa besar biaya yang harus
mereka keluarkan demi membeli produk make up untuk membuat
penampilannya menjadi cantik dan menarik. Dari kebiasaan mereka
menggunakan produk make up itulah mereka merasa diri mereka paling
“WOW” karena mereka selalu menjaga penampilannya terutama wajah dan
paras cantiknya, terbukti dari cara mereka berdandan tak jarang mahasiswi
seringkali berdandan di depan umum ketika make up yang digunakan sudah
mulai luntur. Misalnya saja ketika setelah mereka makan di sebuah tempat
makan pastilah mereka mengeluarkan make up mereka untuk digunakan
kembali. Terbukti dengan cara mereka menjaga penampilannya dengan selalu
menggunakan produk make up demi menjaga kecantikan dan rasa percaya
33
diri menunjukkan bahwa identitas diri mereka selalu ingin terjaga dan ingin
terlihat.
Pertambahan umur bagi perempuan adalah hal yang “tidak cantik”
karena perempuan telah menjadi lebih berkuasa bersama waktu dan juga
karena relasi antar generasi perempuan harus senantiasa dipatahkan.
Perempuan yang lebih tua takut pada perempuan muda, sebaliknya
perempuan muda merasa takut tua, dan mitos kecantikan memotong
kesuluruh siklus kehidupan perempuan. Yang terpenting, identitas perempuan
dianggap melekat pada “kecantikan”, sehingga kita akan merasa perlu
berhati-hati untuk menunjukkan pada dunia luar, menampakkan harga diri
yang vital dan sensitif (Wolf, 2004: 32).
Daya tarik memang memainkan peranan tertentu sehingga
mengharuskan perempuan untuk tampil cantik dengan alasan yang
bermacam-macam, misalnya saja seorang perempuan ingin melamar
pekerjaan pasti yang dilihat pertama adalah wajah dan penampilannya,
sehingga para perempuan dituntut untuk menggunakan make up agar mereka
lebih percaya diri. Karena wanita dikondisikan untuk selalu tampil cantik dan
menarik.
Tidak selamanya merias wajah akan membuat perempuan terlihat
lebih cantik atau menarik dari wajah aslinya. Tidak jarang hasil dari make up
justru membuat wajah akan terlihat lucu dan kurang menarik. Kesan lucu
yang dihasilkan dari make up terkadang diciptakan oleh diri sendiri. Pada
34
umumnya seseorang cenderung memikirkan bagaimana persepsi orang lain
mengenai dirinya. Sehingga intensi untuk “menciptakan diri” sebagaimana
yang diinginkan oleh orang lain lebih tinggi dari pada “menerima diri” tanpa
memikirkan apa yang dipikirkan oleh orang lain terhadap dirinya. (Hurlock,
1980).
Menurut Barker “kulit hitam” ditempatkan sisi alam, keliaran, dan
kejelekannya dan menempatkan “kulit putih” pada sisi kebudayaan,
peradaban, dan keindahan. Maka tidak heran sebagai pelarian untuk
membentuk kecantikan “palsu” tersebut adalah dengan menggunakan make
up. Kecantikan tersebut membuat adanya identitas ganda dalam artian adanya
perubahan identitas. Adanya perbedaan antara identitas pribadi dengan
isyarat realitas dimana hal tersebut menjadi persoalan identifikasi yang
menimbulkan pertanyaan subjek (Barker, 2004).
Inilah kontradiksi yang terdapat dalam penggambaran massal atas
perempuan modern sebagai sesuatu yang cantik, ketika perempuan modern
tumbuh, berubah, dan mengekspresikan individualitasnya, sebagaimana yang
disebutkan oleh mitos itu, definisi kecantikan justru statis, tak lekang oleh
waktu dan bersifat umum halusinasi ini penting dan berguna untuk membawa
kecantikan dalam posisi yang bertentangan langsung dengan realitas kaum
perempuan (Wolf, 2004: 37).
35
B. Penelitian Relevan
Penelitian yang relevan dengan topik yang akan diteliti peneliti adalah
sebagai berikut:
1. Penelitian relevan pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Wahyu
Kusuma Ningrum jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri
Yogyakarta pada tahun 2013 dengan judul “Penggunaan Produk Distro
Sebagai Bentuk Penegasan Identitas Diri Di Kalangan Siswa SMA Daerah
Istimewa Yogyakarta”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
maraknya gerai distro bermunculan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang
menjadi pola konsumsi terhadap kebutuhan berpakaian di kalangan remaja
khususnya pelajar SMA di Daerah Istimewa Yogyakarta. Tindakan konsumsi
akan barang-barang distro dikalangan siswa SMA di Yogyakarta lebih
bersifat gaya hidup dan juga membentuk identitas diri. Penelitian ini
menggunakan metode kualitatif deskriptif. Hasil penelitian ini menyimpulkan
distro di Daerah Istimewa Yogyakarta saat ini hanya sebuah outlet untuk
sebuah komunitas, namun distro saat ini memenuhi persoalan dan kebutuhan
fashion remaja SMA. Distro menjadi sebuah life style baru bagi remaja SMA.
Gaya bagi remaja adalah segala-galanya dan setiap individu ingin tampil
beda dengan harapan mendapatkan identitas diri dan pengakuan akan dirinya.
Dalam proses pencapaian identitas diri dan pengakuan akan dirinya, faktor
yang mempengaruhi bentuk identitas diri remaja SMA yaitu kreativitas,
ideologi kelompok, status sosial, media massa, dan kesenangan. Selain
36
faktor-faktor pembentuk tersebut faktor imitasi atau contoh figure juga
mempengaruhi remaja SMA dalam pembentukan identitas diri mereka. Untuk
memenuhi kebutuhan fashion remaja SMA menggunakan produk distro
sebagai bentukan identitas diri, prestise dan membuat mereka merasa percaya
diri. Produk dari distro memiliki logo, merk, dan simbol tersendiri yang
membedakan distro dengan outlet lainnya. Produk dan merk sendiri
ditempatkan sebagai simbol status untuk pemakaiannnya. Produk distro juga
simbol anak muda modern, simbol suatu kelompok, sarana untuk
mengekspresikan perasaan. Serta sebagai alat untuk mencitrakan dan
menguatkan eksistensi mereka di lingkungan mereka. Pakaian distro
dikalangan remaja tidak hanya sekedar berfungsi sebagai pakian penutup
badan, melainkan juga sebagai simbol terhadap kelompok dan status dirinya
sebagai manusia modern. Perbedaan dan persamaan antara penelitian ini
dengan penelitian yang akan dilakukan peneliti adalah, dalam penelitian ini
mengambil fokus penelitian pada pembentukan identitas diri, begitu juga
penelitian yang akan dilakukan yang menitik beratkan pada identitas diri
yang dibangun dengan penggunaan make up, perbedaannya jika dalam
penelitian ini faktor pembentuk identitas diri adalah penggunaan barang-
barang distro, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan adalah
mengenai makna penggunaan make up sebagai identitas diri.
2. Penelitian yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Trigita
Ardikawati Java Tresna jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri
37
Yogyakarta pada tahun 2013 yang berjudul “Perilaku Konsumtif Di Kalangan
Mahasiswa FIS UNY Pada Klinik Kecantikan”. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui perilaku konsumtif di mahasiswa FIS UNY pada klinik
kecantikan, mengetahui faktor pendorong perilaku konsumtif di kalangan
mahasiswa FIS UNY pada klinik kecantikan, serta untuk mengetahui dampak
yang ditimbulkan dari perilaku konsumtif mahasiswa FIS UNY pada klinik
kecantikan. Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan analisis
deskriptif. Hasil penelitian adanya kriteria kecantikan serta keinginan untuk
tampil cantik merupakan alasan kuat para mahasiswa untuk melakukan
perawatan wajah di klinik kecantikan. Seiring berjalannya waktu keinginan
untuk tampil cantik dipahami sebagai pemenuh kebutuhan sehingga perilaku
konsumtif di kalangan mahasiwa pada klinik kecantikan pun tanpa terasa
telah ada di pola pikir mahasiswa yang melakukan perawatan wajah di klinik
kecantikan. Faktor pendorong perilaku konsumtif mahasiswa dibedakan
menjadi dua yaitu: faktor pendorong internal dan faktor pendorong eksternal.
Faktor pendorong internal antara lain pengalaman belajar, gaya hidup, dan
motivasi. Faktor pendorong eksternal antara lain kebudayaan, kelas sosial,
kelompok referensi, keluarga dan situasi. Dampak perilaku konsumtif
dibedakan menjadi dua yaitu: dampak posif dan dampak negatif. Dampak
positif antara lain menambah rasa percaya diri, terlihat lebih cantik, menjaga
kualitas kulit wajah pada masa tua, menunjang untuk mencari pekerjaan,
serta mengobati penyakit dan merawat kesehatan wajah, dampak negatifnya
38
yaitu ketergantungan, tambah boros, lebih mudah terbujuk rayuan iklan dan
tidak pernah merasa puas dengan hasil yang dicapai. Perbedaan dan
persamaan antara penelitian ini dengan penelitian yang akan dilakukan
peneliti adalah, dalam penelitian ini peneliti menitik beratkan pada perilaku
konsumtif mahasiswi, sedangkan dalam penelitian yang akan dilakukan lebih
kepada ingin mencari tau makna dari penggunaan make up bagi mahasiswi.
3. Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Esti Rahayu
Styaningtias jurusan Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Yogyakarta
pada tahun 2016 yang berjudul “Rias Alis Sebagai Tren Kecantikan (Studi
Pada Mahasiswi Universitas Yogyakarta)”. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui penggunaan rias alis sebagai wujud tren kecantikan dan
mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan banyaknya penggunaan rias alis
di kalangan mahasiswi UNY. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif
dengan desain deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan
rias alis di kalangan mahasiswi UNY dimulai dari proses identifikasi
terhadap tokoh, karakter, sifat, atau gaya yang ingin mereka tiru. Proses
identifikasi pada penggunaan rias alis. Terjadi pada saat mereka mengenal
tutorial kecantikan yang banyak di unggah di Youtube sejak masuk kuliah.
Berikutnya mahasiswi mencari informasi dari foto-foto artis di Instagram.
Kemudian mereka mulai menggunakan rias alis serta merasa nyaman dan hal
tersebut dirasa menambah kepercayaan diri mereka. Mereka mengakui lebih
cantik setelah menggunakan rias alis sehingga hal itu menjadi budaya baru
39
dalam dunia kecantikan. Walaupun rias alis dianggap menambah kecantikan
wajah namun mereka mengungkapkan bahwa kecantikan sejatinya tidak
hanya dilihat dari fisik saja melainkan dari dalam dirinya pula. Beberapa
faktor yang menyebabkan mahasiswi tertarik untuk menggunakan rias alis
diantaranya meliputi konsep diri, perubahan psikologis, lingkungan
pergaulan, pengaruh kebudayaan Korea Selatan, keterbukaan mahasiswi
terhadap lapisan sosial, serta kemajuan media informasi dan media
komunikasi. Perbedaan dan persamaan antara penelitian ini dengan penelitian
yang akan dilakukan peneliti adalah, dalam penelitian ini menitik beratkan
pada tren rias alis dikalangan mahasiswa sedangkan dalam penelitian yang
akan dilakukan lebih kepada makna identitas diri dari penggunaan make up
bukan pada tren nya, persamaan dalam penelitian ini adalah dilakukan di
kalangan mahasiswi, dengan beberapa pokok pembahasan yang sama yaitu
kecantikan, dan konsep diri.
C. Kerangka Pikir
Kosmetik merupakan salah satu kebutuhan yang terpenting bagi wanita
saat ini. terutama kosmetik yang dapat membuat wanita tampak lebih putih dan
berkilau. Terutama pada bagian wajah. Kecantikan identik dengan wanita. Masih
banyak wanita yang merasa kurang puas atas karunia kecantikan yang diberikan
Tuhan padanya. Selalu ada saja yang mereka anggap kurang estetik. Gejala
mempercantik diri yang sebenarnya sudah berlangsung lama, jika diamati secara
kejiwaan sesungguhnya adalah erosi kepercayaan diri. Sehingga mahasiswi
40
menggunaan make up agar terlihat cantik, menarik, dan untuk meningkatkan rasa
percaya diri mereka.
Mahasiswi menggunakan make up bukan atas dasar ingin terlihat cantik
saja tetapi ingin menunjukan identitas diri mereka dengan cara mereka
menggunakan produk make up untuk menunjang penampilan dan rasa percaya
dirinya. Karena make up menurut mereka sudah menjadi kebutuhan yang tidak
bisa terpisahkan dari dirinya yang mengharuskan mereka untuk membelinya jadi
mau tidak mau mereka akan membeli produk make up yang mereka inginkan.
Mahasiswi yang masih dalam tahap perkembangan ingin menunjukan identitas
diri mereka kepada orang-orang disekitarnya, ada sebuah makna yang ingin dia
tunjukan dari penggunaan make up tersebut.
Penggunaan make up tidak selalu tanpa adanya dampak karena setiap
produk ada yang baik dikonsumsi dan tidak baik dikonsumsi bagi para wanita
yang suka menggunakan make up sebaikanya harus lebih berhari-hati dalam
memebeli ataupun menggunakan make up sebaiknya diperhatikan dulu dari
tanggal kedarluarsanya produk tersebut dan cocok tidaknya di kulit wajah.
Dampak tesebut tidak selalu mengarah pada hal negatif saja tetapi juga dalam hal
positif yaitu bisa membuat wanita menjadi lebih cantik, terlihat lebih cerah, dan
terlihat lebih percaya diri.
41
Make Up
Bagan 1. Kerangka Berpikir
Faktor penggunaan
Eksternal
Internal
Mahasiswi
Dampak