bab ii kajian pustaka dan hipotesis - sinta.unud.ac.id ii.pdf1) kepuasan kerja pada tingkat...

22
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS 2. 1 Kajian Pustaka 2. 1.1 Turnover Intention Harnoto (2002:2) menyatakan, turnover intention adalah keinginan karyawan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan timbulnya turnover intention dan di antaranya adalah keinginan untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Turnover intention pada dasarnya adalah keinginan untuk meninggalkan atau keluar dari perusahaan. Turnover karyawan adalah pengunduran diri permanen secara sukarela ( voluntary) maupun tidak sukarela (involuntary) dari suatu organisasi (Robbins dan Judge, 2008: 38). Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain, sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan pemberi kerja untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable bagi karyawan yang mengalaminya (Shaw et al. 1998). Voluntary turnover dapat dibedakan menjadi dua : a. Avoidable turnover (yang dapat dihindari). Hal ini disebabkan oleh upah yang lebih baik di tempat lain, kondisi kerja yang lebih baik di perusahaan lain, masalah dengan kepemimpinan / administrasi yang ada, serta adanya perusahaan lain yang lebih baik. b. Unavoidable turnover (yang tidak dapat dihindari). Hal ini disebabkan oleh pindah kerja ke daerah lain karena mengikuti pasangan, perubahan arah karir individu, harus tinggal di rumah untuk

Upload: others

Post on 30-Aug-2019

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS

2. 1 Kajian Pustaka

2. 1.1 Turnover Intention

Harnoto (2002:2) menyatakan, turnover intention adalah keinginan

karyawan untuk keluar dari perusahaan, banyak alasan yang menyebabkan

timbulnya turnover intention dan di antaranya adalah keinginan untuk

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Turnover intention pada dasarnya adalah

keinginan untuk meninggalkan atau keluar dari perusahaan. Turnover karyawan

adalah pengunduran diri permanen secara sukarela (voluntary) maupun tidak

sukarela (involuntary) dari suatu organisasi (Robbins dan Judge, 2008: 38).

Voluntary turnover atau quit merupakan keputusan karyawan untuk

meninggalkan organisasi secara sukarela yang disebabkan oleh faktor seberapa

menarik pekerjaan yang ada saat ini, dan tersedianya alternatif pekerjaan lain,

sebaliknya, involuntary turnover atau pemecatan menggambarkan keputusan

pemberi kerja untuk menghentikan hubungan kerja dan bersifat uncontrollable

bagi karyawan yang mengalaminya (Shaw et al. 1998). Voluntary turnover dapat

dibedakan menjadi dua : a. Avoidable turnover (yang dapat dihindari). Hal ini

disebabkan oleh upah yang lebih baik di tempat lain, kondisi kerja yang lebih baik

di perusahaan lain, masalah dengan kepemimpinan / administrasi yang ada, serta

adanya perusahaan lain yang lebih baik. b. Unavoidable turnover (yang tidak

dapat dihindari). Hal ini disebabkan oleh pindah kerja ke daerah lain karena

mengikuti pasangan, perubahan arah karir individu, harus tinggal di rumah untuk

11

menjaga pasangan atau anak, dan kehamilan. Involuntary turnover diakibatkan

oleh tindakan pendisiplinan yang dilakukan oleh perusahaan atau karena lay off.

2. 1.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi Turnover Intention

Faktor – faktor yang mempengaruhi terjadinya turnover intention

(Novliadi, 2007).

1) Usia

Tingkat turnover yang cenderung lebih tinggi pada karyawan berusia muda

disebabkan karena mereka memiliki keinginan untuk mencoba-coba pekerjaan

atau organisasi kerja serta ingin mendapatkan keyakinan diri lebih besar melalui

cara coba-coba tersebut.

2) Lama Kerja

Semakin lama masa kerja semakin rendah kecenderungan turnovernya. Turnover

lebih banyak terjadi pada karyawan dengan masa kerja lebih singkat. Interaksi

dengan usia, kurangnya sosialisasi awal merupakan keadaan-keadaan yang

memungkinkan turnover tersebut.

3) Tingkat pendidikan dan intellegensi

Dikatakan bahwa mereka yang mempunyai tingkat intellegensi tidak terlalu tinggi

akan memandang tugas-tugas yang sulit sebagai tekanan dan sumber kecemasan.

Ia mudah merasa gelisah akan tanggung jawab yang diberikan padanya dan

merasa tidak aman. Sebaliknya mereka yang mempunyai tingkat intellegensi yang

lebih tinggi akan merasa cepat bosan dengan pekerjaan-pekerjaan yang monoton.

Mereka akan lebih berani keluar dan mencari pekerjaan baru daripada mereka

12

yang tingkat pendidikannya terbatas, karena kemampuan intelegensinya yang

terbatas pula.

4) Keterikatan terhadap perusahaan

Pekerja yang mempunyai rasa keterikatan yang kuat terhadap perusahaan tempat

ia bekerja berarti mempunyai dan membentuk perasaan memiliki (sense of

belonging), rasa aman, efikasi, tujuan dan arti hidup serta gambaran diri positif.

Akibat secara langsung adalah menurunnya dorongan diri untuk berpindah

pekerjaan dan perusahaan.

Almigo et.al (2014) menyatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan

karyawan berpindah dari tempat kerjanya namun faktor determinan keinginan

berpindah diantaranya adalah :

1) Kepuasan Kerja

Pada tingkat individual, kepuasan merupakan variabel psikologi yang paling

sering diteliti dalam suatu model intention to leave. Aspke kepuasan yang

ditemukan berhubungan dengan keinginan individu untuk meninggalkan

organisasi meliputi kepuasan akan upah dan promosi, kepuasan atas supervise

yang diterima, kepuasan dengan rekan kerja dan kepuasan akan pekerjaan dan isi

kerja.

2) Komitmen organisasional

Karena hubungan kepuasan kerja dan keinginan menginggalkan tempat kerja

hanya menerangkan sebagian kecil varian maka jelas model proses intention to

13

leave karyawan harus menggunakan variabel lain di luar kepuasan kerja sebagai

satu-satunya variabel penjelas. Perkembangan selanjutnya dalam studi intention to

leave memasukkan konstruk komitmen organisasional sebagai konsep yang turut

menjelaskan proses tersebut sebagai bentuk perilaku, komitmen organisasional

dapat dibedakan dari kepuasan kerja. Komitmen mengacu pada respon emosional

(affective) individu kepada keseluruhan organisasi, sedangkan kepuasan mengarah

pada respon emosional atas aspek khusus dari pekerjaan.

2. 1.3 Jenis Turnover

Jenis turnover menurut Mathis dan Jackson (2000: 125):

1) Turnover secara tidak sukarela dan Turnover secara sukarela

a) Turnover secara tidak sukarela

Pemecatan karena kinerja yang buruk dan pelanggaran peraturan kerja. Turnover

secara tidak sukarela dipicu oleh kebijakan organisasional, peraturan kerja dan

standar kinerja yang tidak dipenuhi oleh karyawan.

b) Turnover secara sukarela

Karyawan meninggalkan perusahaan karena keinginannya sendiri. Turnover

secara sukarela dapat disebabkan oleh banyak faktor, termasuk peluang karier,

gaji, pengawasan, geografi dan alasan pribadi ataukeluarga.

2) Turnover fungsional dan turnover disfungsional

a) Turnover fungsional

Karyawan yang memiliki kinerja lebih rendah, individu yang kurang dapat

diandalkan, atau mereka yang mengganggu rekan kerja meninggalkan organisasi.

14

b) Turnover disfungsional

Karyawan penting dan memiliki kinerja tinggi meninggalkan organisasi pada saat

yang genting.

3) Turnover yang tidak dapat dikendalikan dan Turnover yang dapat dikendalikan

1) Turnover yang tidak dapat dikendalikan

Muncul karena alasan diluar pengaruh pemberi kerja. Banyak alasan karyawan

yang berhenti tidak dapat dikendalikan oleh organisasi, contohnya sebagai

berikut:

a) Karyawan pindah dari daerah geografis

b) Karyawan memutuskan untuk tinggal didaerah karena alasan keluarga

c) Suami atau istri dipindahkan

d) Karyawan adalah mahasiswa yang baru lulus dari perguruan tinggi.

2) Turnover yang dapat dikendalikan

Muncul karena faktor yang dapat dipengaruhi oleh pemberi kerja. Dalam turnover

yang dapat dikendalikan, organisasi lebih mampu memelihara karyawan apabila

mereka menangani persoalan karyawan yang dapat menimbulkan turnover.

2. 2.4 Indikator Terjadinya Turnover Intention

Turnover intention dilakukan kebanyakkan karyawan pada suatu organisasi

atau perusahaan disebabkan oleh banyak hal, ketidakadilan mengenai sistem

penggajian yang diterapkan perusahaan, sistem promosi jabatan dalam

perusahaan yang dirasa karyawan tidak adil maupun optimal, rendahnya

15

komitmen karyawan pada organisasi, lingkungan kerja yang tidak kondusif,

dan masih banyak lainnya. Hasrat untuk keluar juga dapat pula disebabkan

karena adanya tawaran pekerjaan yang lebih baik dari persahaan atau

organisasi yang lain Maryanto (2006). Widodo (2010) menyatakan bahwa ada

tiga indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tinggi-rendahnya

keinginan karyawan untuk keluar dari organisasi. Ketiga indikator tesebut

adalah sebagai berikut:

1) Pikiran untuk keluar dari organisasi yaitu saat karyawan merasa diperlakukan

tidak adil, maka terlintas dalam pikiran mereka untuk keluar dari organisasi. Hal

ini mengindikasikan bahwa perlakukan yang tidak adil akan menstimuli

karyawan berpikir keluar dari organisasi.

2) Keinginan untuk mencari pekerjaan baru yaitu ketidakmampuan suatu

organisasi untuk memenuhi kebutuhan karyawan dapat memicu karyawan

untuk berpikir mencari alternatif pekerjaan pada organisasi yang lain. Hal ini

merupakan suatu konsekuensi logis saat suatu perusahaan tidak mampu

memberikan/memenuhi kebutuhan karyawan seperti kemampuan perusahaan

lain memiliki kemampuan yang baik dalam memenuhi kebutuhan karyawan.

3) Keinginan untuk meningalkan organisasi dalam beberapa bulan mendatang yaitu .

karyawan memiliki motiavsi untuk mencari pekerjaan baru pada organisasi

lain dalam beberapa bulan mendatang yang dianggap mampu memenuhi

kebutuhan mereka (adil terhadap karyawan).

16

2. 1.5 Work-Family Conflict

Kopelman et al. (1983) mendefinisikan work conflict (konflik pekerjaan)

sebagai suatu tingkat di mana seseorang mengalami tekanan ketidak-seimbangan

dalam bidang pekerjaan. Konflik ini terjadi jika seseorang mengalami stres dalam

melakukan pekerjaannya sehari-hari. Sedangkan family conflict (konflik keluarga)

merupakan tingkat di mana seseorang mengalami tekanan ketidakseimbangan

dalam bidang keluarga. Frone et al. (1992) menjelaskan lebih lanjut bahwa work-

family conflict terjadi karena karyawan berusaha untuk menyeimbangkan antara

permintaan dan tekanan yang timbul, baik dari keluarga maupun dari

pekerjaannya. Cinamon et al. (2002) dalam penelitiannya pada profesi guru

menjelaskan bahwa jumlah anak, jumlah waktu yang dihabiskan untuk mengurus

rumah tangga dan pekerjaan serta tidak adanya dukungan dari pasangan dan

keluarga merupakan pemicu terjadinya konflik pekerjaan-keluarga.

Susanto (2010) menjelaskan work-family conflict dalam penelitiannya

adalah sebagai bentuk interrole conflict, peran yang dituntut dalam pekerjaan dan

keluarga akan saling mempengaruhi, mempunyai dua dimensi: pertama, work

interfering with family (work‐family conflict‐WIF), yaitu pemenuhan peran dalam

pekerjaan dapat menimbulkan kesulitan pemenuhan peran dalam keluarga dan

kedua, family interfering with work (family-work conflict‐FIW), yaitu pemenuhan

peran dalam keluarga dapat menimbulkan kesulitan pemenuhan peran dalam

pekerjaan, Seperti yang diungkapkan Ghayyur dan Jamal (2012) Work to Family

Conflict adalah jenis resistensi tekanan peran yang muncul dari tempat kerja dan

mempengaruhi lingkup keluarga dan saling bertentangan. Orang-orang

17

menghabiskan lebih banyak waktu pada tugas-tugas penting dan kurang pada

tugas-tugas penting lainnya yang meningkatkan work family conflict. Sedangkan

Family to work conflict adalah konflik peran antara keterlibatan individu dalam

peran keluarga yang membuat sulit untuk berpartisipasi dalam peran kerja.

Peningkatan tanggung jawab karir ganda membuat sulit bagi seorang individu

untuk menjaga keseimbangan antara tanggung jawab keluarga dan bekerja seperti

memenuhi komitmen keluarga , dan memenuhi kriteria di tempat kerja.

2. 1.6 Sumber-Sumber Work-Family Conflict

Greenhaus dan Beutell (1985) mengidentifikasikan tiga jenis Work-family

conflict yaitu:

1) Konflik Berdasarkan Waktu (Time-Based Conflict)

Waktu yang dibutuhkan untuk menjalankan salah satu tuntutan (keluarga atau

pekerjaan) dapat mengurangi waktu menjalankan tuntutan yang lainnya

(pekerjaan atau keluarga). Konflik ini secara positif berkaitan dengan : a. Jumlah

jam kerja b. Lembur c. Tingkat kehadiran d. Ketidak aturan shif e. Kontrol jadwal

kerja

2) Konflik Berdasarkan Tekanan (Strain-Based Conflict)

Terjadi tekanan dari salah satu peran mempengaruhi kinerja peran lainnya. Gejala

tekanan, seperti : a. Ketegangan. b. Kecemasan. c. Kelelahan. d. Karakter peran

kerja. e. Kehadiran anak baru. f. Ketersediaan dukungan social dari anggota

keluarga.

18

3) Konflik Berdasarkan Perilaku (Behavior-Based Conflict)

Bentuk terakhir dari work-family conflict adalah Behavior-Based Conflict, di

mana pola-pola tertentu dalam peran-perilaku yang tidak sesuai dengan harapan

mengenai perilaku dalam peran lainnya. Misalnya, stereotip manajerial

menekankan agresivitas, kepercayaan diri, kestabilan emosi, dan objektivitas. Hal

ini kontras dengan harapan citra dan perilaku seorang istri dalam keluarga, yang

seharusnya menjadi pemberi perhatian, simpatik, nurturant, dan emosional.

Dengan demikian seseorang dapat mengharapkan bahwa para eksekutif

perempuan lebih mungkin untuk mengalami bentuk konflik daripada eksekutif

laki-laki, sebagai perempuan harus berusaha keras untuk memenuhi harapan peran

yang berbeda di tempat kerja maupun dalam keluarga.

Studi yang dilakukan oleh Amstad et al. (2011) menunjukkan bahwa work-family

conflict bersumber pada hal - hal yang terjadi dalam lingkungan pekerjaan

(work-related outcomes), seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi dan

performa kerja. Sedangkan konflik keluarga akan bersumber pada hal-hal

yang terjadi dalam lingkungan keluarga (family-related conflict) seperti

kepuasan pernikahan, ketegangan dalam rumah tangga dan kepuasan

keluarga.

2. 1.7 Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja adalah perasaan positif seorang karyawan yang merupakan

hasil dari evaluasi karakteristik pribadi karyawan, seorang karyawan dengan

kepuasan kerja yang tinggi memiliki perasaan-perasaan positif tentang pekerjaan

19

tersebut, sementara seorang karyawan yang merasakan ketidakpuasan dengan

pekerjaan mereka memiliki perasaan-perasaan yang negatif pada pekerjaannya

(Robbins & Judge, 2009 : 99). Dampak positif dari seorang karyawan yang

merasakan kepuasan kerja salah satunya adalah menurunnya keinginan dari

karyawan untuk berhenti dari perusahaan (Suhanto, 2009). Indikator untuk

mengukur kepuasan kerja Boles et al. (2007) meliputi :

1) Penilaian dan sikap terhadap beban kerja, merupakan sekumpulan atau sejumlah

kegiatan yang harus diselesaikan oleh karyawan.

2) Penilaian dan sikap terhadap gaji, merupakan pemberian imbalan terhadap hasil

kerja karyawan.

3) Penilaian dan sikap terhadap kenaikan jabatan, merupakan kesempatan bagi

karyawan untuk terus maju dan berkembang sebagai bentuk aktualisasi diri.

4) Penilaian dan sikap terhadap pengawas, merupakan kemampuan atasan untuk

menunjukkan perhatian dan memberikan bantuan ketika karyawan mengalami

kesulitan bekerja.

5) Penilaian dan sikap terhadap rekan kerja, merupakan sejauh mana karyawan

mampu menjalin persahabatan dan saling mendukung dalam lingkungan kerja.

2. 1.8 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Kreitner dan Kinicki (2005) terdapat lima faktor yang dapat

mempengaruhi timbulnya kepuasan yaitu:

20

1) Need fulfillment (pemenuhan kebutuhan). Model ini mengajukan bahwa kepuasan

ditentukan tingkatan karakteristik pekerjaan yang memungkinkan kesempatan

pada individu untuk memenuhi kebutuhannya.

2) Discrepancies (perbedaan). Model ini menyatakan bahwa kepuasan merupakan

suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan

antara apa yang diharapkan dan yang diperoleh individu dari pekerjaan. Apabila

harapan lebih besar daripada apa yang diterima, orang akan tidak puas.

Sebaliknya diperkirakan individu akan puas apabila mereka menerima manfaat

diatas harapan.

3) Value attainment (pencapaian nilai). Gagasan value attainment adalah bahwa

kepuasan meru­pakan hasil dari persepsi pekerjaan memberikan peme­nuhan nilai

kerja individual yang penting.

4) Equity (keadilan). Dalam model ini dimaksudkan bahwa kepuasan meru­pakan

fungsi dari seberapa adil individu diperlakukan di tempat kerja. Kepuasan

merupakan hasil dari persepsi orang bahwa perbandingan antara hasil kerja dan

inputnya relatif lebih menguntungkan dibandingkan dengan perbandingan antara

keluaran dan masukkan pekerjaan lainnya.

5) Dispositional/genetic components (komponen genetik). Beberapa rekan kerja

atau teman tampak puas terhadap variasi lingkungan kerja, sedangkan lainnya

kelihatan tidak puas. Model ini didasarkan pada keyakinan bahwa kepuasan kerja

sebagian merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetik. Model menyiratkan

perbedaan indi­vidu hanya mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan

kerja seperti halnya karakteristik lingkungan pekerjaan.

21

Pendapat berbeda dikatakan oleh Mangkunegara (2007: 120) bahwa ada 2

faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu:

1) Faktor Pegawai, yaitu, kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, umur, jenis kelamin,

kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja, kepribadian, emosi, cara

berpikir, persepsi, dan sikap kerja.

2) Faktor Pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat (golongan),

kedudukan, mutu pengawasan, jaminan financial, kesempatan promosi jabatan,

interaksi sosial dan hubungan kerja.

2. 1.9 Pedoman meningkatkan Kepuasan Kerja

Menurut Riggio (2005), peningkatan kepuasan kerja dapat dilakukan

dengan cara sebagai berikut:

1) Melakukan perubahan struktur kerja, misalnya dengan melakukan perputaran

pekerjaan (job rotation), yaitu sebuah sistem perubahan pekerjaan dari salah satu

tipe tugas ke tugas yang lainnya (yang disesuaikan dengan job description). Cara

kedua yang harus dilakukan adalah dengan pemekaran (job enlargement), atau

perluasan satu pekerjaan sebagai tambahan dan bermacam-macam tugas

pekerjaan. Praktik untuk para pekerja yang menerima tugastugas tambahan dan

bervariasi dalam usaha untuk membuat mereka merasakan bahwa mereka adalah

lebih dari sekedar anggota dari organisasi.

2) Melakukan perubahan struktur pembayaran, perubahan sistem pembayaran ini

dilakukan dengan berdasarkan pada keahliannya (skill-based pay), yaitu

pembayaran dimana para pekerja digaji berdasarkan pengetahuan dan

keterampilannya daripada posisinya di perusahaan. Pembayaran kedua dilakukan

22

berdasarkan jasanya (merit pay), sistem pembayaran dimana pekerja digaji

berdasarkan performancenya, pencapaian finansial pekerja berdasarkan pada hasil

yang dicapai oleh individu itu sendiri. Pembayaran yang ketiga adalah

Gainsharing atau pembayaran berdasarkan pada keberhasilan kelompok

(keuntungan dibagi kepada seluruh anggota kelompok).

3) Pemberian jadwal kerja yang fleksibel, dengan memberikan kontrol pada para

pekerja mengenai pekerjaan sehari-hari mereka, yang sangat penting untuk

mereka yang bekerja di daerah padat, dimana pekerja tidak bisa bekerja tepat

waktu atau untuk mereka yang mempunyai tanggung jawab pada anak-anak.

4) Mengadakan program yang mendukung, perusahaan mengadakan program-

program yang dirasakan dapat meningkatkan kepuasan kerja para karyawan,

seperti; health center, profit sharing, dan employee sponsored child care.

Rivai (2011) menambahkan pedoman dalam meningkatkan kepuasan kerja

karyawan perusahaan dapat melakukan penempatan karyawan sesuai dengan

bakat&keahlian, perusahaan menyediakan perlengkapan yang cukup, perusahaan

menyediakan informasi yang lengkap tentang pekerjaan, pimpinan yang lebih

banyak mendorong tercapainya suatu hasil tidak terlalu banyak/ketat melakukan

pengawasan, perusahaan memberikan penghasilan yang cukup memadai,

perusahaan memberikan tantangan yang lebih pada karyawan untuk

mengembangkan diri, perusahaan memberikan rasa aman & ketenangan dalam

bekerja.

23

2. 1.10 Komitmen Organisasional

Komitmen organisasional didefinisikan sebagai ikatan psikologis individu

dengan organisasi, yang dapat ditunjukan oleh berbagai indikator, seperti

memiliki loyalitas terhadap organisasi, internalisasi tujuan organisasi, dan

mendedikasikan diri pada tujuan organisasi (Crow et al. 2012). Komitmen

organisasional adalah sikap kerja yang penting karena orang-orang yang memiliki

komitmen diharapkan bisa menunjukkan kesediaan untuk bekerja lebih keras

demi mencapai tujuan organisasi dan memiliki hasrat yang lebih besar untuk tetap

bekerja di suatu perusahaan (Kreitner dan Kinicki, 2014: 165). Definisi komitmen

organisasional dalam penelitian ini mengarah kepada teori dari Allen dan Meyer

(1990) yang mengatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen akan bekerja

penuh dedikasi, yang membuat karyawan memiliki keinginan untuk memberikan

tenaga dan tanggung jawab yang lebih untuk menyokong kesejahteraan dan

keberhasilan organisasi tempatnya bekerja. Tiga Komponen Komitmen

Organisasional :

a) Komitmen Afektif

Komitmen afektif berkaitan dengan emosional, identifikasi, dan keterlibatan

karyawan di dalam suatu organisasional. Karyawan dengan afektif tinggi masih

bergabung dengan organisasi karena keinginan untuk tetap menjadi anggota

organisasi.

24

(a) Emosional

Komitmen afektif menyatakan bahwa organisasi akan membuat karyawan

memiliki keyakinan yang kuat untuk mengikuti segala nilai-nilai organisasi, dan

berusaha unutk mewujudkan tujuan organisasi sebagai prioritas utama.

(b) Identifikasi

Komitmen afektif muncul karena kebutuhan, dan memandang bahwa komitmen

terjadi karena adanya ketergantungan terhadap aktivitas-aktivitas yang telah

dilakukan dalam organisasi pada masa lalu dan hal ini tidak dapat ditinggalkan

karena akan merugikan.

(c) Keterlibatan karyawan dalam organisasional

b) Komitmen normatif

Komitmen normatif merupakan perasaan karyawan tentang kewajiban yang harus

diberikan kepada organisasional. Komponen normatif berkembang sebagai hasil

dari pengalaman sosialisasi, tergantung dari sejauh apa perasaan kewajiban yang

dimiliki karyawan.

(a) Kesetiaan yang harus diberikan karena pengaruh orang lain

Komitmen yang terjadi apabila karyawan terus bekerja untuk organisasi

disebabkan oleh tekanan dari pihak lain untuk terus bekerja dalam organisasi

tersebut. Karyawan yang mempunyai tahap komitmen normatif yang tinggi sangat

mementingkan pandangan orang lain terhadap dirinya jika karyawan

meninggalkan organisasi.

25

(b) Kewajiban yang harus diberikan kepada organisasi

Komitmen ini mengacu kepada refleksi perasaan akan kewajibanya untuk menjadi

karyawan perusahaan. Karyawan dengan komitmen normatif yang tinggi merasa

bahwa karyawan tersebut memang seharusnya tetap bekerja pada organisasi

tempat bekerja sekarang. Dengan kata lain komitmen yang ada dalam diri

karyawan

desebabkan oleh kewajiban-kewajiban pekerjaan karyawan terhadap organisasi.

c) Komitmen Berkelanjutan

Komponen berkelanjutan berarti komponen yang berdasarkan persepsi karyawan

tentang kerugian yang akan dihadapinya jika meninggalkan organisasi. Karyawan

dengan dasar organisasional tersebut disebabkan karena karyawan tersebut

membutuhkan organisasi.

(a) Kerugian bila meninggalkan organisasi

Komitmen berkelanjutan merujuk pada kekuatan kecenderungan seseorang untuk

tetap bekerja di suatu organisasi karena tidak ada alternatif lain. Komitmen

berkelanjutan yang tinggi meliputi waktu dan usaha yang dilakukan dalam

mendapatkan keterampilan yang tidak dapat ditransfer dan hilangnya manfaat

yang

menarik atau hak-hak istimewa sebagai senior.

(b) Karyawan membutuhkan organisasi

Karyawan yang tetap bekerja dalam organisasi karena karyawan

mengakumulasikan manfaat yang lebih yang akan mencegah karyawan mencari

pekerjaan lain.

26

2. 1.11 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Komitmen Organisasional

Menurut John dan Taylor (1999), faktor–faktor yang mempengaruhi

komitmen organisasional antara lain :

1) Karakteristik pribadi yang berkaitan dengan usia dan masa kerja, tingkat

pendidikan,status perkawinan, dan jenis kelamin.

2) Karakteristik pekerjaan yang berkaitan dengan peran, self employment,

otonomi, jam kerja, tantangan dalam pekerjaan, serta tingkat kesulitan dalam

pekerjaan.

3) Pengalaman kerja dipandang sebagai suatu kekuatan sosialisasi utama yang

mempunyai pengaruh penting dalam pembentukan ikatan psikologis dengan

organisasi.

4) Karakteristik struktural yang meliputi kemajuan karier dan peluang promosi,

besar atau kecilnya organisasi, dan tingkat pengendalian yang dilakukan

organisasi terhadap karyawan.

Sopiah (2008:163) mengemukakan empat faktor yang mempengaruhi

komitmen organisasional antara lain:

1) Faktor personal, misalnya usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pengalaman

kerja dan kepribadian.

2) Karakteristik pekerjaan, misalnya lingkup jabatan, tantangan dalam pekerjaan,

konflik peran, tingkat kesulitan dalam pekerjaan.

3) Karakteristik struktur, misalnya besar kecilnya organisasi, bentuk organisasi,

kehadiran serikat pekerjan, dan tingkat pengendalian yang dilakukan organisasi

terhadap karyawan.

27

4) Pengalaman kerja. Pengalaman kerja seorang karyawan sangat berpengaruh

terhadap tingkat komitmen karyawan pada organisasi. Karyawan yang baru

beberapa tahun bekerja dan karyawan yang sudah puluhan tahun bekerja dalam

organisasi tentu memiliki tingkat komitmen yang berlainan.

2.2 Kerangka Konseptual Penelitian

Berdasarkan definisi dan kajian teori dari beberapa para ahli yang ada,

maka dapat disusun suatu kerangka konseptual penelitian sebagai dasar penentu

hipotesis pengaruh work-family conflict dan kepuasan kerja terhadap komitmen

organisasional dan turnover intention seperti gambar berikut :

Gambar 2.1Kerangka Konseptual Penelitian

Pengaruh Work-family Conflict dan Kepuasan Kerja Terhadap KomitmenOrganisasional dan Turnover Intention Karyawan Bank Mandiri Kantor

Cabang Veteran Denpasar

H1 (-)

H2 (+)

H3 (+)

H4 (-)

H5 (-)

Work-family Conflict

(X1)

KomitmenOrganisasional

(Y1)

Turnover Intention

(Y2)

Kepuasan Kerja

(X2)

28

2. 3 Rumusan Hipotesis

2. 3.1 Hubungan antara Work-Family Conflict dengan Komitmen

Organisasional

Rehman & Waheed, (2012) dalam penelitiannya pada perguruan tinggi

negeri dan swasta di Pakistan menunjukan dampak negatif antara work-family

conflict dengan komitmen organisasional dimana anggota fakultas yang sudah

menikah memliki tingkat work-family conflict yang lebih tinggi dibandingan

dengan yang berstatus lajang, anggota fakultas yang sudah menikah memiliki

work-family conflict yang tinggi dapat menurunkan komitmen organisasional. Hal

senada juga diungkapkan oleh Boles et al. (2001) dimana work-family conflict

menurunkan prestasi kerja karyawan, menurunnya prestasi kerja karyawan dapat

memberi dampak pada menurunnya komitmen organisasional. Hal ini diperkuat

oleh Balmforth & Gardner, (2006) menunjukkan bahwa work-family conflict

memiliki hubungan negatif dengan komitmen organisasional. Hubungan negatif

antara work-family conflict dan komitmen organisasional nampak pada karyawan

yang mengalami kesulitan dalam menyelaraskan peranannya di keluarga maupun

di pekerjaan akan merasa kurang berkomitmen kepada organisasinya.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut

H1 : Work - Family Conflict memiliki pengaruh negatif terhadap Komitmen

Organisasional

29

2. 3.2 Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasional

Penelitian terdahulu yang dilakukan Clugston (2000) menunjukkan bahwa

terdapat hubungan yang positif antara kepuasan kerja dengan komitmen

karyawan. Kepuasan kerja yang tinggi akan mempengaruhi terjadinya komitmen

karyawan yang efektif. Hal ini juga di diperkuat oleh penelitian Azeem, (2010)

pada 128 karyawan perusahaan industri Oman yang dipilih secara acak

menunjukan hubungan positif antara kepuasan kerja dengan komitmen

organisasional, para karyawan yang puas terhadap gaji dan promosi yang diterima

akan meningkatkan komitmen organisasional pada diri karyawan. Senada dengan

dua penelitian sebelumnya penelitian yang dilakukan Tania dan Sutanto (2013)

pada 25 karyawan di PT. DAI KNIFE Surabaya menemukan bahwa pemberian

motivasi pada karyawan dapat meningkatkan kepuasan kerja dan memperkuat

komitmen organisasional pada diri karyawan. Berdasarkan hasil penelitian

tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut :

H2 : Kepuasan Kerja memiliki pengaruh positif terhadap Komitmen

Organisasional

2. 3.3 Hubungan antara Work-family Conflict dengan Turnover Intention

Work-family conflict dapat mempengaruhi turnover intention bergantung

pada dimensi work-family conflict itu sendiri. Netemeyer et al. (1996)

menemukan bahwa work-family conflict terkait langsung dengan turnover

intention. Penelitian yang dilakukan Ghayyur & Jamal (2012) pada karyawan

sektor perbankan dan farmasi dengan 200 responden tercatat tingkat respon

30

64,145% menunjukan work-family conflict memiliki pengaruh positif terhadap

turnover intention. Hal ini diperkuat oleh Blomme et al. (2010) dalam

penelitiannya pada sejumlah besar karyawan yang berpendidikan tinggi tentang

niat karyawan untuk meninggalkan organisasi menemukan bahwa work-family

conflict memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention. Untuk pria dapat

dijelaskan oleh kurangnya dukungan organisasi, sedangkan work-family conflict

bagi perempuan dapat dijelaskan baik oleh ketidakpuasan dengan fleksibilitas

tempat kerja dan kurangnya dukungan organisasi.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut

H3 : Work-family conflict memiliki pengaruh positif terhadap turnover intention.

2. 3.4 Hubungan antara Kepuasan Kerja dengan Turnover Intention

Turnover intention mencerminkan niat karyawan untuk meninggalkan

organisasi dan mencari alternatif pekerjaan lain. Robbins (2003) menjelaskan

bahwa kepuasan kerja dihubungkan negatif dengan keluarnya karyawan, tetapi

faktor-faktor lain seperti pasar kerja, kesempatan kerja alternatif dan panjangnya

masa kerja merupakan kendala penting untuk meninggalkan pekerjaan yang ada.

Hal ini senada dengan Salleh et al. (2012) dalam penelitiannya menemukan aspek

kepuasan kerja yang meliputi promosi, pekerjaan itu sendiri, serta supervisi

kecuali rekan kerja terbukti berpengaruh negatif pada turnover intention. Hal ini

diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Susiani (2014) pada perusahaan The

Stones Entertainment Center yang berlokasi di Kuta, Bali menyatakan bahwa,

kepuasan kerja berpengaruh negatif pada turnover intention. Aspek kepuasan

kerja seperti pembentukan suasana kekeluargaan serta kesempatan memperoleh

31

kenaikan jabatan meningkatkan kepuasan kerja yang membuat karyawan untuk

tetap bekerja pada perusahaan.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan hipotesis sebagai berikut

H4 : Kepuasan Kerja memiliki pengaruh negatif terhadap turnover intention.

2. 3.5 Hubungan antara Komitmen Organisasional dengan Turnover Intention

Jehanzeb et al. (2013) dalam penelitiannya pada 251 responden dari

organisasi swasta terkemuka di Saudi Arabia menunjukan adanya pengaruh

negatif antara komitmen organisasional terhadap turnover intention. Memberikan

wawasan tentang dampak komitmen organisasional pada turnover intention bagi

para manajer untuk lebih mengakrabkan para karyawannya dengan tujuan dari

perusahaan untuk meningkatkan komitmen organisasional pada diri karyawan.

Hal senada diungkapkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Safitri dan

Nursalim (2013) komitmen organisasional tidak berhubungan signifikan dengan

turnover intention. Semakin diperhatikannya kesejahteraan para guru membuat

komitmen organisasional meningkat dan turnover intention dapat ditekan. Hal ini

diperkuat oleh penelitian Indraprasti (2011) pada karyawan alih daya BRI Cabang

Sleman dan BRI Cabang Muntilan menunjukkan bahwa variabel komitmen

organisasional seperti kepercayaan dan penerimaan terhadap tujuan-tujuan dan

nilai-nilai dari organisasi memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap

turnover intention. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan

hipotesis sebagai berikut

H5 : Komitmen Organisasional memiliki pengaruh negatif terhadap turnover

intention.