bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 ... ii.pdfartinya, dalam menghitung return total,...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Dividen
Dividen merupakan distribusi dari income yang diperoleh perusahaan kepada para
pemegang saham (Syamsuddin, 2011:30). Pengertian dividen menurut Brigham dan Houston
(2009:172), dividen adalah distribusi laba kepada pemegang investasi ekuitas sesuai dengan
proporsi mereka dan jenis modal tertentu. Abdul Halim (2003:17) mendefinisikan dividen
sebagai sebagian dari laba yang dibagikan kepada pemegang saham. Sedangkan menurut
Sugiono (2009:173), dividen merupakan pendapatan perusahaan yang dibagikan kepada
pemegang saham.
Ada sejumlah cara untuk membedakan dividen. Pertama, dividen dapat dibayarkan
dalam bentuk tunai (cash dividend) atau dalam bentuk tambahan saham atau dividen saham
(stock dividend). Kedua, dividen tunai seringkali disebut sebagai dividen reguler (regular
dividend), adalah dividen dalam bentuk uang tunai yang besarannya ditentukan oleh
manajemen perusahaan. Dividen reguler biasanya dibayarkan empat kali setahun (kuartalan),
dua kali setahun (tengah-tahunan) dan sekali setahun. Adakalanya perusahaan membagi
dividen khusus (special dividend), yaitu dividen yang dibayarkan sebagai tambahan dari
dividen reguler. Terakhir, perusahaan kadangkala membayar dividen yang merupakan
kelebihan dari laba ditahan atau sisa laba yang ditunjukkan dalam nilai bukunya, dividen ini
disebut sebagai dividen likuidasi (liquidating dividend). Sehingga dapat disimpulkan bahwa
dividen adalah alokasi laba perusahaan kepada para pemegang saham (investor) yang
dibagikan baik secara tunai maupun dalam bentuk saham (Gumanti, 2013:21).
2.1.2 Kebijakan Dividen
Kebijakan dividen adalah keputusan mengenai seberapa banyak laba saat ini yang akan
dibayarkan sebagai dividen pengganti dari investasi yang ditanamkan dan berapa banyak
yang dipertahankan untuk investasi kembali di dalam perusahaan (Brigham dan Houston,
2010:32). Keputusan dividen merupakan bagian dari keputusan pembelanjaan perusahaan,
khususnya berkaitan dengan pembelanjaan internal perusahaan. Hal ini karena besar kecilnya
dividen yang dibagikan akan mempengaruhi besar kecilnya laba yang ditahan. Laba ditahan
merupakan salah satu sumber dana internal perusahaan (Sudana, 2011:167). Maka kebijakan
dividen ini sangat penting bagi perusahaan, karena pembayaran dividen mungkin
mempengaruhi nilai perusahaan dan laba ditahan yang biasanya merupakan sumber dana
internal yang terbesar dan terpenting bagi pertumbuhan perusahaan.
2.1.3 Ukuran Kebijakan Dividen
Menurut Gumanti (2013: 22-23), pengukuran dividen yang dibayarkan oleh perusahaan
biasanya diukur dengan salah satu dari dua ukuran yang umum dikenal.
1) Dividend yield
Ukuran yang pertama disebut sebagai imbal hasil dividen (dividend yield), yang
mengkaitkan besaran dividen dengan harga saham perusahaan.
Dividend yield menjadi penting untuk dipahami karena menyiratkan ukuran bahwa
komponen dari return total disumbang oleh dividen. Artinya, dalam menghitung
returntotal, investor harus memasukkan unsur besarnya dividen yang diterima selain
selisih harga saham antara awal dan akhir kepemilikan.
2) Rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio=DPR)
Rasio pembayaran dividen diukur dengan cara membagi besarnya dividen per lembar
saham dengan laba bersih per lembar saham.
Rasio pembayaran dividen digunakan dalam berbagai situasi. Misalnya, rasio
tersebut digunakan dalam penilaian sebagai suatu cara untuk menduga besarnya dividen
di tahun mendatang.
2.1.4 Teori Kebijakan Dividen
Dari kajian literatur dan empris sejauh ini, terdapat banyak sekali teori tentang kebijakan
dividen yang selama ini diungkap dalam manajemen keuangan modern. Kenyataannya yang
ada sejauh ini sudah mulai muncul teori-teori baru, walaupun masih dalam tahap awal
pengembangan model. Teori dividen yang secara umum dikenal adalah sebagai berikut
(Gumanti, 2013:41-62):
1) Teori ketidakrelevanan dividen (irrelevant dividend proposition)
Teori ini dikemukan oleh Miller-Modigliani (MM) yang menyatakan bahwa dalam
suatu pasar yang sempurna, nilai perusahaan tidak tergantung dari keputusan dividen.
Miller dan Modigliani (1961) memulai analisis kebijakan dividen mereka dengan
mengasumsikan suatu dunia yang bercirikan pasarnya sempurna, perilaku pelaku
pasarnya rasional, dan pasar dalam kondisi kepastian sempurna. Asumsi-asumsi
selengkapnya adalah sebagai berikut:
a) Tidak ada pembeli atau penjual (atau issuers) sekuritas yang cukup besar yang dapat
mempengaruhi harga pasar;
b) Semua pelaku pasar memiliki akses yang sama dan tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk memperoleh informasi;
c) Tidak ada biaya transaksi, seperti biaya broker atau biaya transfer yang terkait
dengan perdagangan sekuritas;
d) Tidak ada perbedaan pajak antara dividen dan capital gain atau antara laba yang
terdistribusi atau tidak terdistribusi.
e) Investor lebih menyukai tingkat kemakmuran yang lebih daripada yang rendah;
f) Investor adalah tidak acuh (indifferernt) apakah kemakmurannya meningkat karena
dividen atau karena capital gain;
g) Setiap investor memiliki jaminan penuh seperti halnya program investasi dan
keuntungan masa depan setiap perusahaan; dan
h) Karena adanya kepastian (nomor 7), setiap perusahaan menerbitkan satu jenis kelas
sekuritas yang disebut sebagai saham biasa (common stock).
Miller dan Modigliani (1961) berargumen bahwa dengan adanya asumsi-asumsi
tersebut kebijakan dividen suatu perusahaan seharusnya tidak memiliki efek terhadap
nilai pasar perusahaan tersebut. Asumsi penting dalam pendapat tersebut menyebutkan
bahwa kebijakan investasi perusahaan tidak memiliki keterkaitan dengan kebijakan
dividennya. Jika perusahaan memiliki kebijakan investasi, maka kebijakan dividen
hanya akan mempengaruhi besar kecilnya pendanaan dari luar (disamping dana dari
laba ditahan) yang diperlukan untuk mendanai investasi baru dan membayar dividen.
Hal ini berarti bahwa setiap satu rupiah dividen mencerminkan setiap rupiah kerugian
yang dialami dari investasi. Menurut Miller dan Modigliani (1961), satu-satunya
pembatas dari nilai pasar perusahaan adalah kebijakan investasinya karena kebijakan
investasi bertanggung jawab terhadap keuntungan masa depan perusahaan.
Konsekuensinya, kebijakan investasi tidak berpengaruh apakah perusahaan membayar
atau tidak membayar dividen. Implikasi dasar dari proposisi Miller dan Modigliani
adalah manajer seharusnya menempatkan kebijakan dividen setelah kebijakan investasi.
2) Teori perataan (smoothing theory)
Teori perataan (smoothing theory) ini dikemukan oleh Lintner (1956). Hasil penelitian
Lintner secara umum menyimpulkan empat hal.
Pertama, perusahaan memiliki target rasio pembayaran dividen (payout ratio)
jangka panjang. Perusahaan yang sudah mapan (mature companies) dengan tingkat
yang stabil akan cenderung untuk membayar dividen sebagai bagian dari laba yang
lebih tinggi karena kebutuhan akan uang tunai tidak terlalu tinggi bahkan dalam banyak
hal perusahaan mengalami kelebihan kas (excess cash). Sedangkan perusahaan yang
sedang dalam masa pertumbuhan memiliki rasio pembayaran dividen cenderung lebih
rendah.
Kedua, para manajer lebih condong untuk menekankan pada perubahan besar
kecilnya dividen daripada pada tingkatan absolutnya. Ketiga dalam jangka panjang,
perubahan-perubahan dividen yang terjadi mengikuti pola pergerakan yang stabil jika
laba perusahaan bertahan pada level tertentu. Dengan kata lain, manajer melakukan
upaya untuk meratakan (smoothing) dividennya. Artinya, jika perubahan laba
perusahaan yang terjadi tidak besar, maka laba yang diperoleh tidak akan
mempengaruhi besar kecilnya rasio pembayaran dividen.
Keempat, manajer enggan untuk melakukan perubahan dividen yang mungkin akan
menyebabkan perusahaan melakukan perubahan dividen yang mungkin akan
menyebabkan perusahaan melakukan pencadangan dan karena adanya kekhawatiran
bahwa di tahun mendatang perusahaan tidak mampu membayar dividen dengan besaran
yang tidak jauh berbeda yang akan diberikan menjadi jauh lebih tinggi atau lebih
rendah daripada periode-periode sebelumnya. Artinya, bagi manajemen perusahaan
yang menjaga kestabilan dividen menjadi lebih penting daripada menaikkan atau
menurunkan dividen secara drastis. Teori Lintner (1956) menyiratkan bahwa dividen
tergantung sebagian pada laba perusahaan tahun ini dan sebagian pada dividen tahun
kemarin.
3) Teori burung di tangan (bird in the hand theory)
Gordon (1959) merupakan individu yang mendukung teori burung di tangan dengan
berpendapat bahwa aliran dividen di masa mendatang akan disikontokan pada tingkat
yang lebih rendah daripada keuntungan modal harapan. Anggapan tersebut
diformulasikan dalam model penilaian saham Gordon (Gordon Valuation Model) yang
menyatakan bahwa saham perusahaan akan dihargai lebih tinggi jika dividen
harapannya (expected dividend) lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang
dividennya lebih rendah.
Dalam dunia penuh ketidakpastian dan ketidaksempurnaan informasi, dividen
dinilai secara berbeda dari laba ditahan atau sisa laba (capital gains). Investor lebih
menyukai burung di tangan atau kepastian (bird in the hand) dalam bentuk dividen
tunai daripada dijanjikan keuntungan yang belum pasti (bird in the bush), yaitu selisih
postif harga saham dengan menghasilkan capital gains. Menaikkan pembayaran
dividen, hal-hal lain dianggap konstan, akan dapat menaikkan nilai perusahaan.
Karena dividen yang diberikan saat ini lebih menjanjikan dalam mengurangi
ketidakpastian atas arus kas mendatang, rasio pembayaran yang tinggi akan
mengurangi biaya modal dan karenanya akan menaikkan nilai saham perusahaan.
Artinya rasio pembayaran dividen yang tinggi akan memaksimalkan nilai perusahaan.
4) Teori efek pajak (tax effect theory)
Memasuki era tahun 1970-an, isu yang mencuat ke permukaan dari dunia empiris
(riset) adalah efek pajak pada dividen terhadap harga saham. Menurut teori ini, yang
dikenal dengan teori preferensi pajak (tax preference theory), semakin tinggi pajak
yang dikenakan pada dividen relatif terhadap capital gain dan adanya kemungkinan
untuk menunda pajak pada capital gain, maka efeknya akan negatif pada perusahaan
yang membayar dividen tinggi. Tidak menariknya pajak di atas capital gain telah
membuat sebagian akademisi (peneliti) menyimpulkan bahwa investor mungkin akan
berbalik untuk tidak mengharapkan dividen yang tinggi. Sebagai konsekuensinya,
kemunculan argumentasi pajak ini seakan mendorong perusahaan untuk tidak
membayar dividen.
5) Teori efek biaya transaksi dan pajak (taxes and transaction cost theory) yang dikenal
juga dengan sebutan clientele effect theory
Dalam praktiknya, investor seringkali menghadapi perlakuan pajak yang berbeda
untuk pendapatan dividen atau capital gains, dan dibebani biaya manakala mereka
memperdagangkan sekuritas dalam bentuk biaya transaksi dan ketidaknyamanan.
Artinya, investor berada dalam posisi tawar yang kurang menguntungkan. Mengacu
pada kondisi ini dan berdasarkan pada situasi investor yang berbeda, pajak dan biaya
transaksi memaksa terjadinya minimisasi klien dan biaya transaksi. Perusahaan
mungkin akan cenderung menarik klien lain dengan kebijakan dividen yang mereka
tetapkan.
6) Teori sinyal (signaling theory) menyatakan bahwa dividen akan mengurangi
ketimpangan informasi (asymmetric of information) antara manajemen dan pemegang
saham dengan menyiratkan informasi privat tentang prospek masa depan perusahaan.
(Bhattaracharya, 1979; John dan William, 1985).
7) Teori siklus hidup (life cycle theory) menyatakan bahwa dividen cenderung untuk
mengikuti pola siklus hidup perusahaan dan dividen yang dibagikan mencerminkan
analisis manajemen atas pentingnya ketidaksempurnaan pasar termasuk didalamnya
aspek-aspek yang berkaitan dengan pemegang ekuitas dan biaya transaksi. (Fama dan
French, 2001; DeAngelo dan DeAngelo, 2006).
8) Teori Katering (cattering theory) menyatakan bahwa manajer memberi investor apa
yang sebenarnya diinginkan oleh investor, yaitu manajer menyenangkan investor
dengan membayar dividen manakala investor berani memberi premi harga saham yang
tinggi tetapi manajer tidak akan membagi dividen manakala investor lebih menyukai
perusahaan yang tidak membayar dividen. (Baker dan Wurgler, 2004).
9) Teori keagenan (agency theory) menyatakan bahwa dividen membantu mengurangi
biaya keagenan terkait dengan pemisahan kepemilikan dan kendali atas perusahaan.
(Jensen dan Meckling, 1976; Easterbrook, 1984). Teori keagaenan adalah teori yang
menjelaskan agency relationship dan masalah-masalah yang ditimbulkannya.Teori
keagenan menjelaskan bahwa kepentingan manajemen dan pemegang saham
seringkali bertentangan, sehingga dapat terjadi konflik diantara keduanya (Jensen dan
Meckling, 1976).
Menurut Sartono (2012:xxi), konflik kepentingan antar agen sering disebut dengan
agency problem. Hubungan antar agen terjadi pada saat satu orang atau lebih – disebut
principals – mengangkat satu atau lebih orang lain –disebut agen- untuk bertindak atas
nama pemberi wewenang dan memberikan kekuasaan dalam pengambilan keputusan.
Agency problem biasanya terjadi antara manajer dan pemegang saham atau antara
debtholder dan stockholders. Agency problem potensial untuk terjadi dalam perusahaan
dimana manajer memiliki kurang dari 100 persen saham perusahaan. Dalam
perusahaan perseorangan, pemilik sekaligus sebagai manajer akan selalu
memaksimumkan kemakmuran mereka dan meminimumkan pengeluaran yang tidak
diperlukan. Tetapi jika pemilik perusahaan kemudian menjual sebagian saham kepada
investor lain maka munculah agency problem.
Agency problem adalah konflik yang timbul antara pemilik, karyawan, dan
manajer di perusahaan dimana ada kecenderungan manajer lebih mementingkan tujuan
individu dari pada tujuan perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa
hal ini merupakan konsekuensi dari pemisahan fungsi pengelolaan dengan fungsi
kepemilikan. Agency problem muncul terutama apabila perusahaan menghasilkan free
cash flow yang sangat besar. Selain itu konflik antara manajemen dan pemegang
saham sering timbul dalam transaksi pembelian sebuah perusahaan oleh perusahaan
besar dengan menggunakan utang yang sering disebut dengan leveraged buyout
(LBO). Agency conflict yang lain dapat terjadi antara stockholders dengan debtholders
(Jensen dan Meckling, 1976).
Menurut Sudana (2011:11) agar pihak manajemen bertindak sejalan dengan
kepentingan pemilik perusahaan, dapat dilakukan upaya sebagaimana dikemukakan
oleh Jensen dan Meckling bahwa pemilik dapat menjamin pihak manajemen akan
membuat keputusan yang optimal hanya jika diberikan insentif yang cukup memadai
dan manajemen merupakan pihak yang minoritas, insentif dapat berupa opsi saham,
bonus, mobil, dan lain-lain yang besarnya sangat tergantung pada seberapa dekat
keputusan yang diambil oleh pihak manajemen dengan kepentingan pemilik.
Disamping itu dapat juga dilakukan monitoring, dengan mengaudit laporan keuangan
perusahaan secara periodik, penunjukkan komisaris independen dan sebagainya.
Implikasi dari berbagai upaya untuk mengurangi konflik kegaenan tersebut adalah
biaya keagenan (agency cost).
Agency cost mencakup (1) biaya untuk membuat sistem informasi keuangan yang
baik, (2) biaya akuntan publik untuk mengaudit laporan keuangan agar tidak terjadi
penyelewengan, (3) pengangkatan anggota komisaris dari luar perusahaan agar netral,
(4) biaya pengawasan manajemen, (5) pengeluaran untuk menata organisasi agar tidak
terjadi penyimpangan dan opportunities cost yang harus ditanggung karena adanya
batasan baik dari pemegang saham maupun kreditur (Sartono, 2012:12).
Selain itu diperlukan suatu usaha untuk mensejajarkan kepentingan pemegang
saham, manajemen dan kreditur agar tidak terjadi konflik keagenan. Adapun usaha
yang dapat dilakukan guna meminimumkan keagenan tersebut, sebagai berikut
(Sartono, 2012:13):
a) Pemberian kompensasi yang cukup baik berupa kompensasi minimum, kompensasi
tambahan dan pemberian stock option – hak untuk membeli saham perusahaan di
masa datang dengan jumlah dan harga yang telah ditentukan di muka. Pemberian
stock option ini diyakini menurunkan konflik keagenan, karena semakin baik
kinerja perusahaan, maka harga saham akan semakin tinggi. Hal ini tidak saja akan
meningkatkan kemakmuran pemegang saham tetapi juga meningkatkan nilai opsi
bagi manajemen.
b) Intervensi langsung oleh pemegang saham. Akhir-akhir ini kepemilikan saham
cenderung semakin terkonsentrasi di tangan investor institusional hal ini tentu
memudahkan bagi investor untuk melakukan intervensi langsung. Karena investor
institusional tersebut dapat dengan mudah menempatkan orang-orangnya di jajaran
direksi.
c) Ancaman untuk dipecat atau threat of firing. Banyak contoh direksi perusahaaan
yang harus berhenti karena kinerja yang jelek. Selain itu market mechanism
diyakini dapat mendisiplinkan manajemen karena manajer yang tidak profesional,
kinerjanya jelek tentu akan mendapat tempat dan penghargaan yang cukup.
d) Ancaman untuk diambil alih atau threat of takeovers. Perusahaan yang kinerjanya
jelek maka harga sahamnya akan jatuh, dan konsekuensinya menjadi sasaran untuk
diambil alih oleh perusahaan lain. Manajer menyadari hal itu yang akan berakibat
jika direksi tetap menginginkan jabatannya, jangan biarkan harga saham perusahaan
mengalami penurunan.
Gumanti (2013:66-67) menyatakan bahwa pembayaran dividen dapat menjadi
perwujudan minat dan mengurangi masalah keagenan antara manajer dengan mengurangi
penggunaan biaya atas kewenangam manajer (Rozeff, 1982; Easterbrook 1984; Jensen, 1986;
Alli et al., 1993).
2.1.5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kebijakan Dividen
Berbagai macam faktor dapat mempengaruhi perusahaan dalam menetapkan kebijakan
dividen. Weston dan Copeland (1992) mengidentifikasi setidaknya ada 11 faktor yang dapat
mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan yaitu undang-undang (peraturan), posisi
likuiditas, kebutuhan untuk pelunasan utang, batasan dalam perjanjian utang, potensi
ekspansi aktiva, perolehan laba, stabilitas laba, peluang penerbitan saham di pasar modal,
kendali kepemilikan, posisi pemegang saham, dan kesalahan akumulasi pajak atas laba.
Namun dalam penelitian ini hanya akan membahas beberapa diantara faktor-faktor
tersebut yang terkait dengan variabel penelitian yakni posisi pemegang saham yang akan
diukur dengan banyaknya jumlah kepemilikan institusional, perolehan dan stabilitas laba
(profitabilitas), serta kebutuhan untuk pelunasan utang yang akan digambarkan dengan
melihat leverage perusahaan.
1) Kepemilikan Institusional
Kepemilikan institusional adalah persentase saham yang dimiliki oleh institusi, seperti
perusahaan investasi, bank, perusahaan asuransi, maupun perusahaan lain. Maftukah
(2013) menjelaskan kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang
memonitor perusahaan. Kepemilikan saham institusional ini biasanya saham yang
dimiliki oleh perusahaan lain yang berada di dalam maupun di luar negeri serta saham
pemerintah dalam maupun luar negeri.
Jika pemegang saham institusi jumlahnya banyak, baik dalam hal persentase saham
yang dimiliki maupun jumlah institusinya, akan besar kemungkinan bahwa rasio
pembayaran dividen menjadi lebih rendah. Pemegang saham institusi, dalam banyak
hal, tidak menyukai dividen tunai yang tinggi karena akan meningkatkan golongan
pengenaan pajak (Gumanti, 2013: 88).
JensendanMeckling (1976)mengemukakanteorikeagenanyang menjelaskan bahwa
kepentingan manajemen dan pemegang saham
seringkalibertentangan,sehinggadapatterjadikonflik diantarakeduanya.
Konflikkepentinganantaramanajer dan pemegang saham dapat diminimumkan dengan
suatu mekanismepengawasan (monitoring) yang dapat menyejajarkan kepentingan
yang terkait tersebut.Namundenganmunculnyamekanismepengawasanini
menyebabkantimbulnyasuatubiayayangdisebutagencycost. Kepemilikan institusional
dapat digunakan sebagai cara untuk mengurangi agency cost antara pemegang saham
dengan manajer.Peningkatan aktivitas investor dalam melakukan pengawasan terjadi
karena adanyasuatu kenyataan bahwa kepemilikan saham oleh institusional yang
signifikan telah meningkatkan kemampuan mereka untuk melakukan tindakan secara
kolektif.
Easterbrook (1984) berpendapat bahwa pembayarandividen
akanmembantumengurangikonflik keagenan dengan mengkondisikan perusahaan
untuk lebih seringdipantauoleh pasarmodal,karenameningkatkanpembayarandividen
maka kemungkinan diterbitkannya saham biasa yang baru harus
menjadilebihsering.Kondisiini, padagilirannyaakanmengarahkan pada
suatupenyelidikanatas manajemenolehinvestorinstitusional
khususnyaperbankan,komisisekuritasdan para pemasokmodal. Pentingnya pemantauan
oleh institusi perbankan sebagai investor sudahdikenalpadaliteratur–
literaturkeuangan,danmekanisme pengawasanini
menyebabkanmanajerbertindaksesuaidengan
kepentinganpemegangsahammelaluimengurangi biaya-biaya keagenan. Hal ini berarti
bahwa pembayaran dividen menaikkan pengawasan manajemen oleh pihak luar dan
mengurangi peluang bagi manajer untuk bertindak demi kepentingan pribadinya.
2) Profitabilitas
Profitabilitas merupakan suatu alat yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja
manajemen.Profitabilitas perusahaan yang tinggi dapat menunjukkan kemampuan
perusahaan untuk memenuhi kewajibannya.Profitabilitas perusahaan biasanya diukur
dengan menggunakan rasio keuangan yang diambil dari informasi akuntansi yang
tedapat dalam laporan keuangan.
Rasio profitabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam menghasilkan laba dan juga untuk mengetahui efektifitas perusahaan
dalam mengelola sumber-sumber daya yang dimiliki (Sartono, 2012:122). Profitability
ratio mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dengan
menggunakan sumber-sumber yang dimiliki oleh perusahaan, seperti aktiva, modal,
atau penjualan perusahaan (Sudana, 2011:22).
Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan kestabilan tingkat laba yang
diperoleh sangat menentukan berapa besarnya dividen yang dapat dibagikan kepada
pemegang saham. Keyakinan manajemen akan prospek pencapaian laba di tahun depan
juga menjadi faktor kunci atas berapa besarnya dividen yang akan dibayarkan tahun ini
(tahun berjalan). Jika keyakinan manajemen bahwa prospek laba tahun depan dapat
diraih, dan dalam upaya untuk memberikan jaminan atas prospek usaha, dividen dapat
dipastikan akan mengalami peningkatan. Walaupun ada kemungkinan munculnya
upaya perataan dividen (dividend smoothing), hal-hal lain dianggap konstan,
manajemen tetap akan menjaga kestabilan dan berusaha untuk menunjukkan kepada
pemegang saham (dalam bentuk sinyal, yaitu dividen), bahwa perusahaan mampu
memberi dividen sesuai dengan harapan pasar. (Gumanti, 2013: 85).
Laba yang stabil dari waktu ke waktu sangat menentukan besar kecilnya dividen
yang akan dibagikan kepada pemegang saham. Jika perusahaan memiliki tingkat
kestabilan laba yang baik, ada kecenderungan untuk berusaha mempertahankan bahkan
menaikkan dividen yang dibayarkan (Gumanti, 2013: 8).
3) Leverage
Perusahaan menggunakan operating dan financial leverage dengan tujuan agar
keuntungan yang diperoleh lebih besar daripada biaya assets dan sumber dananya,
dengan demikian akan meningkatkan keuntungan pemegang saham (Sartono,
2012:257). Leverage perusahaan biasanya diukur dengan menggunakan rasio keuangan
yang diambil dari informasi akuntansi yang terdapat dalam laporan keuangan.
Rasio leverage mengukur berapa besar penggunaan utang dalam pembelanjaan
perusahan (Sudana, 2011:20). Financial leverage menunjukkan proporsi atas
penggunaan utang untuk membiayai investasinya (Sartono, 2012:120).
Jika perusahaan memiliki kewajiban (utang) yang besar dan harus segera dibayar,
maka sangat mungkin bahwa pemegang saham harus dikorbankan, yaitu menunda atau
mengurangi pembayaran dividen. Kebutuhan dana untuk pemenuhan investasi memang
tidak selamanya dapat dipenuhi dari sumber dana internal. Pembiayaan dengan utang
merupakan salah satu alternatif dalam mendukung kebutuhan dana untuk menjaminn
keberhasilan keputusan investasi perusahaan. Namun demikian, manajemen harus dapat
memperkirakan dengan baik kapan dan berapa besar kewajiban yang harus dilunasi,
karena berani berutang berarti juga harus berani dan dapat membayar kembali.
Membayar utang berarti harus menyisihkan sebagian dari arus kas perusahaan dan
konsekuensinya mengorbankan kebutuhan yang lain atas arus kas (Gumanti, 2013: 83).
Pemenuhan pembayaran utang dapat dilakukan dengan beberapa cara. Misalnya
dengan menambah utang baru, menjual aset, atau tidak membagi atau mengurangi
dividen. Jika menambah utang atau menjual aset tidak memungkinkan lagi dilakukan,
maka mau tidak mau alternatif dengan mengambil sebagian besar porsi laba harus
dilakukan. Dengan demikian, keberadaan utang di dalam neraca perusahaan akan
berbanding terbalik dengan rasio pembayaran dividen. Artinya, semakin tinggi beban
utang yang harus ditanggung, semakin besar pula porsi laba yang harus dialihkan
kepada pelunasan utang yang sekaligus berarti mengurangi porsi dividen termasuk juga
sisa dana yang masuk kembali ke perusahaan (Gumanti, 2013: 83-84).
Selain faktor-faktor tersebut free cash flowjugadianggap dapat mempengaruhi besarnya
pembayaran dividen. Aliran kas bebas atau free cash flow adalah cash flow yang tersedia
untuk dibagikan kepada para investor setelah perusahaan melakukan investasi pada fixed
asset dan working capital yang diperlukan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya.
Dengan kata lain aliran kas bebas adalah kas yang tersedia di atas kebutuhan investasi yang
profitable (Sartono, 2012:101). Hanya perusahaan yang memiliki free cash flow yang baik
yang mampu membayar dividen secara koniniu (Asnawi,dkk., 2005:49).
Free cash flow adalah kelebihan kas yang diperlukan untuk mendanai semua proyek
yang memiliki net present value positif setelah membagi dividen. Jensen berpendapat bahwa
perusahaan dengan kelebihan aliran kas akan membuat manajer lebih fleksibel guna
menggunakan dana yang dapat memakmurkan diri mereka tetapi tidak bagi kepentingan
pemegang saham. Free cash flow inilah yang terkadang menjadi pemicu munculnyakonflik
keagenan antara pemegang saham dan manajer (Jensen, 1986)
Pawlina dan Renneboog (2005) menjelaskan bahwa konflik ini terjadi dalam
perusahaan dengan free cash flow yang besar karena manajer akan melakukan investasi atas
kelebihan kas yang diperoleh dari sumber dana internal ini untuk mengoptimalkan
keuntungan pribadinya dengan tidak melakukan pembayaran dividen tunai kepada pemegang
saham karena adanya informasi asimetris antara pemegang saham dan manajer, yaitu ketika
salah satu pihak memiliki informasi yang tidak dimiliki oleh pihak lainnya. Informasi
asimetris terdiri dari dua tipe yakni adverse selection dan moral hazard. Pada tipe adverse
selection pihak yang merasa memiliki informasi lebih sedikit dibandingkan pihak lain tidak
akan mau melakukan perjanjian, sedangkan pada tipe moral hazard terjadi kapanpun
manajer melakukan tindakan tanpa sepengetahuan pemilik demi keuntungan pribadinya dan
menurunkan kesejahteraan pemilik.
2.1.6 Analisis Rasio Keuangan
Analisis laporan keuangan penting unttuk mengetahui kekuatan dan kelemahan suatu
perusahaan. Infomasi ini diperlukan untuk mengevaluasi kinerja yang dicapai manajemen
perusahaan di masa yang lalu, dan juga untuk bahan pertimbangan menyusun rencana
perusahaan ke depan. Salah satu cara memperoleh informasi yang bermanfaat dari laporan
keuangan perusahaan adalah dengan melakukan analisis rasio keuangan (Sudana, 2011:20).
Menurut Wiagustini (2010:75), rasio keuangan adalah petunjuk yang menuntun
manajemen sebuah perusahaan menetapkan berbagai target serta standar. Analisis rasio
adalah suatu teknik analisis yang menghubungkan antara satu pos dengan pos lainnya baik
dalam neraca atau rugi laba maupun kombinasi dari kedua laporan keuangan untuk
mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Tujuan dilakukannya analisis ini adalah untuk
memberi informasi atas hasil interpretasi mengenai kinerja yang dicapai perusahaan.
Kondisi keuangan dapat dilihat dalam berbagai aspek (Wiagustini, 2010:75-77) antara
lain:
1) Aspek likuiditas
Likuiditas merupakan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka
pendek dengan dana lancar yang dimiliki perusahaan. Agar perusahaan selalu likuid,
perusahaan harus memiliki dana lancar yang lebih besar daripada utang lancarnya.
Untuk mengukur aspek likuiditas dapat menggunakan rasio likuiditas, seperti: current
ratio, quick ratio, cash ratio, net working capital to sales, dan current assets to sales.
2) Aspek solvabilitas/leverage
Solvabilitas/leverage adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
finansialnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, atau mengukur sejauh
mana perusahaan dibiayai dengan hutang. Untuk mengukur aspek solvabilitas/leverage
dapat menggunakan rasio solvabilitas/leverage, seperti: debt ratio atau total debt to
total assets, debt to equity ratio, timed interest earned, dan fixed charged coverage.
3) Aspek profitabilitas/rentabilitas
Profitabilitas atau rentabilitas menunjukkan kemampuan perusahaan memperoleh laba
atau ukuran efektivitas pengelolaan manajemen perusahaan. Untuk mengukur aspek
profitabilitas dan rentabilitas dapat menggunakan rasio profitabilitas, seperti: return on
investment, return on equity, return on assets, operating ratio, dan profit margin.
4) Aspek aktivitas usaha
Aktivitas usaha adalah kemampuan perusahaan untuk menjaga stabilitas usahanya
sehingga bisa bertahan hidup dan berkembang secara sendiri atau mengukur tingkat
efektivitas pemanfaatan sumberdaya perusahaan. Untuk mengukur aspek aktivitas
usaha dapat menggunakan rasio aktivitas, seperti: inventory turnover, receivable turn
over, fixed assets turnover, dan total assets turnover.
5) Aspek penilaian/pasar
Penilaian/pasar adalah menunjukkan pengakuan pasar terhadap kondisi keuangan yang
dicapai perusahaan atau mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai
pasarnya di atas biaya investasi. Untuk mengukur aspek penilaian/pasar dapat
menggunakan rasio penilaian pasar, seperti: earning per share (EPS), price earning
ratio (PER), market to book value, price to cash fow ratio, dan dividend payout ratio.
Dari rasio-rasio di atas, rasio keuangan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1) Rasio profitabilitas diproksikan dengan return on assets (ROA) yaitu mengukur
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba yang berasal dari penggunaan
aktiva. Menurut Brigham and Houston (2010:148), ROA adalah rasio laba bersih
terhadap total aset yang mengukur pengembalian atas total aset setelah bunga dan
pajak.
ROA menunjukkan kemampuan perusahaan dengan menggunakan seluruh
aktiva yang dimiliki untuk menghasilkan laba setelah pajak.Rasio ini penting bagi
pihak manajemen untuk mengevaluasi efektifitas dan efisiensi manajemen
perusahaan dalam mengelola seluruh aktiva perusahaan. Semakin besar ROA,
berarti semakin efisien penggunaan aktiva perusahaan atau dengan kata lain
dengan jumlah aktiva yang sama bisa dihasilkan laba yang lebih besar, dan
sebaliknya (Sudana, 2011:22).
2) Rasio leverage diproksikan dengan debt to equity ratio (DER) yaitu mengukur
jumlah persentase seluruh utang perusahaan terhadap jumlah ekuitas yang dimiliki
perusahaan. Menurut Brigham and Houston (2010:143), rasio total utang terhadap
total ekuitas yang umumnya disebut debt to equity ratio adalah rasio yang
mengukur persentase dana yang diberikan oleh kreditor dengan membandingkan
antara total utang perusahaan dengan total ekuitas yang dimiliki. Total utang
tersebut sudah termasuk seluruh kewajiban lancar dan utang jangka panjang.
Kreditor lebih menyukai rasio utang yang lebih rendah karena semakin rendah
rasio utang perusahaan, maka makin besar perlindungan terhadap kerugian
kreditor jika terjadi likuidasi. Di sisi lain, pemegang saham mungkin
menginginkan lebih banyak leverage karena akan memperbesar laba yang
diharapkan.
3) Rasio penilaian/pasar yang diproksikan dengan dividend payout ratio yang diukur
dengan cara membagi besarnya dividen per lembar saham dengan laba bersih per
lembar saham.
2.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana
rumusan masalah penelitian biasanya disusun dengan menggunakan kalimat tanya (Sugiyono,
2013:93). Berdasarkan rumusan masalah, landasan teori dan penelitian-penelitian terdahulu,
maka didapat hipotesis sebagai berikut.
2.2.1 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kebijakan Dividen
Mengacu pada teori keagenan Jensen dan Meckling (2013), dimana kepemilikan
institusional dapat membantu mengendalikan masalah keagenan melalui pengawasan oleh
institusi atau perusahaan lain terhadap pihak manajemen. Institusi sebagai pengontrol
eksternal akan bertindak profesional dalam memonitor dan mengevaluasi kinerja perusahaan.
Sehingga perusahaan tidak perlu melakukan pembayaran dividen yang tinggi. Selain itu
berdasarkan teori preferensi pajak, investor institusional akan lebih menyukai perusahaan
tidak membayar dividen karena tarif pajak untuk penghasilan yang diterima dalam bentuk
dividen lebih besar daripada tarif pajak penghasilan atas kentungan modal (Sudana,
2011:169). Maka kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2008) yang menunjukkan bahwa
kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen.
Dimana hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi kepemilikan institusional, perusahaan
akan cenderung memberikan dividen yang rendah. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian
Lucyanda dan Lilyana (2012), Auditta,dkk. (2014), Nasif et al. (2012), Mehrani et al. (2011)
serta Huda et al. (2013) juga menemukan kepemilikan institusional memiliki korelasi negatif
terhadap kebijakan dividen.
H1: Kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap
kebijakan dividen
2.2.2 Pengaruh Free Cash Flow terhadap Kebijakan Dividen
Free cash flow dapat menggambarkan kondisi keuangan suatu perusahaan, karena
perusahaan dengan arus kas bebas yang tinggi dinilai mampu menghadapi kondisi yang buruk
(Istiningtyas, 2013). Selain itu perusahaan dengan arus kas bebas yang besar berpeluang lebih
besar mampu melakukan pembayaran dividen kepada para pemegang sahamnya.
Jensen (1986) berpendapat bahwa suatu perusahaan dengan free cash flows yang
berlebihan, masalah kelebihan investasi akan menjadi lebih tampak ke permukaan, dan
manajer mungkin akan mengambil proyek dengan NPV negatif.Dengan kata lainfree cash
flow menuntut adanya biaya agensi yang tinggi karena diperlukan pengawasan terhadap free
cash flow yang dikelola perusahaan. Hal ini tidak akan terjadi jika free cash flow dibagikan
kepada pihak pemegang saham dalam bentuk dividen.
Allen dan Michaely (2002) juga menyatakan bahwa manajemen akan melakukan
pengurangan pembayaran dividen jika free cash flow perusahaan merosot. Maka terdapat
hubungan searah atau pengaruh poisitif antara free cash flow dengan kebijakan dividen.
Pendapat tersebut didukung dengan hasil penelitian Auditta,dkk. (2014) yang
menunjukkan bahwa semakin tinggi free cash flow dapat berdampak pada semakin
meningkatnya biaya agensi, biaya agensi dapat dikurangi dengan membayarkan dividen pada
pemegang saham. Begitu pun dengan penelitian yang dilakukan oleh Lucyanda dan Lilyana
(2012) yang menunjukkan semakin tinggi free cash flow menyebabkan semakin tingginya
dividend payout ratio. Nasif et al. (2012), Afza et al. (2010) serta Sharma dan
Wadhwa(2013) juga menunjukkan terdapat pengaruh yang kuat pada free cash flow dengan
kebijakan dividen. Maka free cash flow berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.
H2: Free cash flow berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen
2.2.3 Pengaruh Profitabilitas terhadap Kebijakan Dividen
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan mempemperoleh laba. Menurut
Weston dan Copeland (1992), salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kebijakan dividen
perusahaan adalah perolehan laba. Kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan
kestabilan tingkat laba yang diperoleh sangat menentukan berapa besarnya dividen yang
dapat dibagikan kepada pemegang saham.
Perusahaan dengan pencapaian laba lebih tinggi akan memiliki motivasi lebih untuk
membagi dividen karena unsur kemampuan dan kepastian pencapaian laba (Gumanti,
2013:85). Menurut teori hipotesis sinyal perusahaan dengan tingkat profitabilitas yang tinggi
cenderung akan membagi dividen yang lebih besar sebagai sinyal kepada para pemegang
saham bahwa perusahaan dalam kondisi profitable dan memiliki prospek yang baik di masa
datang. Maka semakin tinggi profitabilitas perusahaan, semakin tinggi pula dividen yang
akan dibagikan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rachamd dan Dul Muid (2013) yang
menyimpulkan bahwa ROA merupakan variabel atau faktor yang dapat menjelaskan dividend
payout ratio. Selain itu beberapa penelitian lainnya seperti Wati dan Darmayanti (2013),
Epayanti dan Yadnya (2014), Putra dan Wiagustini (2014), serta Dinata dan Yadnya (2014)
menemukan bahwa profitabilitas berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen. Afza et al.
(2010) dan Al-Nawaiseh (2013) juga mengemukakan bahwa profitabilitas meningkatkan
dividen perusahaan. Maka profitabilitas berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.
H3: Profitabilitas berpengaruh positif dan signifikan terhadap kebijakan dividen
2.2.4 Pengaruh Leverage terhadap Kebijakan Dividen
Salah satu cara yang diungkapkan oleh Meythi (dalam Sudaryanti, 2009) untuk
mengurangi agency cost dan agency conflict adalah dengan meningkatkan pendanaan melalui
hutang. Perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi akan berdampak pada kontrol dan
pengawasan kinerja manajemen tidak hanya berasal dari pemegang saham namun juga pihak
kreditur. Hal tersebut akan mengurangi ketergantungan pemegang saham dalam
menginginkan dividen yang tinggi sebagai salah satu cara untuk menangani masalah
keagenan.
Perusahaan dengan tingkat hutang yang tinggi cenderung akan membagikan dividen
yang kecil karena perusahaan sebagian besar labanya akan digunakan untuk melunasi hutang
beserta beban bunganya. Selain itu apabila perusahaan memiliki tingkat hutang yang tinggi
maka perusahaan berusaha untuk mengurangi agency cost of debt dengan mengurangi
hutangnya. Pengurangan hutang dapat dilakukan dengan membiayai investasinya dengan
sumber dana internal sehingga pemegang saham akan merelakan dividennya untuk
membiayai investasinya.Maka terdapat hubungan terbalik atau negatif antara tingkat leverage
dengan kebijakan dividen.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (2008) yang mengemukakan semakin tinggi
kebijakan hutang maka semakin rendah kebijakan dividen. Selain itu beberapa hasil
penelitian lainnya seperti Rachmad dan Dul Muid (2013) serta Arshad et al. (2013) juga
menemukan leverage berhubungan negatif dengan keputusan pembayaran dividen. Maka
leverage berpengaruh negatifterhadap kebijakan dividen.
H4: Leverage berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kebijakan dividen
2.3 Model Penelitian
Berdasarkan rumusan hipotesis penelitian tersebut, diperoleh bentuk model penelitian
yang disajikan pada gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1 Model Penelitian
Kepemilikan Institutional
Free Cash Flow
Profitabilitas (ROA)
Leverage (DER)
H4 (-)
Kebijakan Dividen (DPR)
H3 (+)
H1 (-)
H2 (+)