bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 … ii.pdf · kepentingan yang berbeda dalam...

36
13 BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka 2.1.1 Teori keagenan Teori keagenan adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal dan agen. Teori keagenan memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pada teori keagenan yang disebut prinsipal adalah pemegang saham, sedangkan yang dimaksud dengan agen adalah manajemen yang mengelola perusahaan. Hubungan keagenan sebagai kontrak antara satu orang atau beberapa orang yang memperkerjakan orang lain untuk melakukan sejumlah jasa dan memberikan wewenang dalam pengambilan keputusan. Menurut Jensen dan Meckling (1976) masalah keagenan dapat terjadi dalam dua bentuk hubungan, yaitu; (1) antara pemegang saham dengan manajer, dan (2) antara pemegang saham dengan kreditur. Perusahaan yang berbentuk perusahaan perseorangan yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka diasumsikan bahwa manajer pemilik perusahaan tersebut akan mengambil setiap tindakan untuk kesejahteraannya, terutama dalam bentuk peningkatan kekayaan perseorangan serta dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai porsi sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan

Upload: hoanghanh

Post on 13-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

13

BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Teori keagenan

Teori keagenan adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal dan agen. Teori

keagenan memiliki asumsi bahwa tiap-tiap individu semata-mata termotivasi oleh

kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara

prinsipal dan agen. Pada teori keagenan yang disebut prinsipal adalah pemegang

saham, sedangkan yang dimaksud dengan agen adalah manajemen yang mengelola

perusahaan. Hubungan keagenan sebagai kontrak antara satu orang atau beberapa

orang yang memperkerjakan orang lain untuk melakukan sejumlah jasa dan

memberikan wewenang dalam pengambilan keputusan.

Menurut Jensen dan Meckling (1976) masalah keagenan dapat terjadi dalam

dua bentuk hubungan, yaitu; (1) antara pemegang saham dengan manajer, dan (2)

antara pemegang saham dengan kreditur. Perusahaan yang berbentuk perusahaan

perseorangan yang dikelola sendiri oleh pemiliknya, maka diasumsikan bahwa

manajer pemilik perusahaan tersebut akan mengambil setiap tindakan untuk

kesejahteraannya, terutama dalam bentuk peningkatan kekayaan perseorangan serta

dalam bentuk kesenangan dan fasilitas eksekutif. Tetapi, jika manajer mempunyai

porsi sebagai pemilik dan mereka mengurangi hak kepemilikannya dengan

14

membentuk perseroan dan menjual beberapa saham perusahaan kepada pihak lain,

maka akan mulai timbul pertentangan kepentingan.

Hubungan keagenan akan terus meningkat apabila pihak prinsipal tidak dapat

mengawasi aktivitas agen sehari-hari untuk memastikan bahwa agen bekerja sesuai

dengan keinginan prinsipal. Disisi lain, agen sebaliknya memiliki banyak informasi

mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara menyeluruh.

Keadaan inilah yang akan menyebabkan terjadinya asimetri informasi. Teori

keagenan berkaitan penyelesaian dua masalah yang dapat terjadi dalam hubungan

keagenan; pertama, masalah keagenan yang muncul ketika keinginan dari prinsipal

atau agen berbeda, dan kesulitan prinsipal dalam mengawasi apa yang dilakukan oleh

agen; kedua, pembagian risiko yang muncul ketika prinsipal dan agen memiliki

pandangan yang berbeda terhadap risiko. Prinsipal dan agen dapat memilih tindakan

yang berbeda karena risiko yang berbeda. Pihak prinsipal maupun agen memiliki

kepentingan yang berbeda dalam menjalankan perannya. Prinsipal yang berperan

sebagai pemilik modal memiliki akses pada informasi internal perusahaan sedangkan

agen berperan sebagai pelaku dalam operasional mempunyai informasi tentang

operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh.

Corporate governance dapat dijelaskan dengan teori keagenan yaitu bahwa

adanya pemisahan antara kepemilikan (di pihak prinsipal/investor) dan pengendali (di

pihak agen atau manajer). Isu corporate dilatarbelakangi oleh teori keagenan yang

menyatakan bahwa permasalahan keagenan muncul ketika kepengurusan suatu

perusahaan terpisah dari kepemilikannya. Dewan komisaris dan direksi yang berperan

15

sebagai agen dalam suatu perusahaan diberi kewenangan untuk mengurus jalannya

perusahaan dan mengambil keputusan atas nama pemilik. Dengan kewenangan yang

dimiliki maka manajer mempunyai kemungkinan untuk tidak bertindak yang terbaik

bagi kepentingan pemilik karena adanya perbedaan kepentingan. Ide dasar

pengelolaan teori keagenan memberikan cara pandang baru mengenai corporate

governance.

2.1.2 Tax avoidance

Menurut Rocmat Soemitro dalam Mardiasmo (2013:1), pajak didefinisikan

sebagai iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat

dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat

ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Pajak adalah

iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh orang pribadi atau

badan menurut undang-undang dan tidak mendapatkan prestasi-prestasi kembali yang

secara langsung dapat ditunjuk.

Sesuai dengan definisi di atas, pajak dipungut berdasarkan undang-undang,

meskipun demikian tidak semu a orang rela mengeluarkan uangnya untuk membayar

pajak. Karena menganggap pajak itu sebagai beban, maka timbul keinginan untuk

mengurangi pajak tersebut. Atas dasar inilah banyak wajib pajak pribadi atau badan

melakukan usaha-usaha untuk mengatur jumlah pajak yang harus dibayar dengan

melakukan tax planning.

16

Tax planning merupakan bagian dari manajemen pajak dan langkah awal di

dalam melakukan manajemen pajak. Suandy (2011) mendefinisikan tax planning

sebagai proses mengorganisasi usaha wajib pajak atau sekelompok wajib pajak

sehingga utang pajak, baik PPh maupun beban pajak yang lainnya berada pada posisi

yang seminimal mungkin. Umumnya tax planning banyak diterapkan oleh wajib

pajak badan, dengan tujuan untuk mengatur pembayaran pajaknya. Ada beberapa cara

yang biasanya dilakukan wajib pajak untuk meminimalkan pajak yang harus dibayar,

salah satunya adalah tax avoidance.

Tax avoidance merupakan usaha untuk mengurangi hutang pajak yang bersifat

legal (Lawful), sedangkan penggelapan pajak (tax evasion) adalah usaha untuk

mengurangi hutang pajak yang bersifat tidak legal (unlawful) (Xynas, 2011). Tax

avoidance bukan pelanggaran undang-undang perpajakan karena usaha wajib pajak

untuk mengurangi, menghindari, meminimalkan atau meringankan beban pajak

dilakukan dengan cara yang dimungkinkan undang-undang pajak, yaitu sesuai dengan

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara

Perpajakan. Tax avoidance adalah upaya efisiensi beban pajak dengan cara

menghindari pengenaan pajak melalui transaksi yang bukan merupakan obyek pajak

(Noor, 2012). Menurut Lim (2011) tax avoidance didefinisikan sebagai penghematan

pajak yang timbul dengan memanfaatkan ketentuan perpajakan yang dilakukan secara

legal untuk meminimalkan kewajiban pajak

Mortenson dalam Zain (1988) menyatakan bahwa tax avoidance merupakan

pengaturan untuk meminimumkan atau menghilangkan beban pajak dengan

17

mempertimbangkan akibat pajak yang ditimbulkannya. Menurut Mardiasmo (2013),

tax avoidance adalah suatu usaha meringankan beban pajak dengan tidak melanggar

undang-undang yang ada. Suandy (2011:7) dalam Jaya (2014) menyebutkan bahwa

tax avoidance merupakan rekayasa “tax affairs” yang masih berada dalam lingkup

ketentuan perpajakan (lawful). Dalam teori tradisional tax avoidance dianggap

sebagai aktivitas untuk mentransfer kesejahteraan dari negara kepada pemegang

saham (Kim et al.,2011). Menurut Heru (1997) tax avoidance adalah usaha

pengurangan pajak, namun tetap mematuhi ketentuan peraturan perpajakan seperti

memanfaatkan pengecualian dan potongan yang diperkenankan maupun menunda

pajak yang belum diatur dalam undang-undang perpajakan. Jadi dapat disimpulkan

bahwa tax avoidance memang tidak melanggar ketentuan perpajakan namun disisi

lain wajib pajak mengurangi jumlah pajak terutangnya dan praktik ini tidak selalu

dapat dilaksanakan karena wajib pajak tidak dapat menghindari semua unsur atau

fakta yang dapat dikenakan dalam perpajakan.

Adapun cara perusahaan untuk melakukan tax avoidance yang diungkapkan

oleh Merk (2007) dalam Maria dan Kurniasih (2013) , yaitu :

1) Memindahkan subyek pajak dan/atau subyek pajak ke negara-negara yang

memberikan perlakuan pajak khusus atau keringanan pajak (tax haven

country) atas suatu jenis penghasilan (substantive tax planning).

2) Usaha tax avoidance dengan mempertahankan substansi ekonomi dari

transaksi melalui pemilihan formal yang memberikan beban pajak yang paling

rendah (formal tax planning).

18

3) Ketentuan anti avoidance atas transaksi transfer pricing, thin capitalization,

treaty shopping, dan controlled foreign corporation (specific anti avoidance

rule) serta transaksi yang tidak mempunyai substansi bisnis (general anti

avoidance rule).

Komite urusan fiskal dari Organization for Economic Co-operation and

Development (EOCD) menurut Fadhilah (2014) menyebutkan bahwa karakteristik

dari tax avoidance hanya mencakup tiga hal, yaitu:

1) Adanya unsur artifisial dimana berbagai pengaturan seolah-olah terdapat

didalamnya padahal tidak, dan ini dilakukan ketiadaan faktor pajak.

2) Skema semacam ini sering memanfaatkan loopholes dari undang-undang atau

menerapkan ketentuan-ketentuan legal untuk berbagai tujuan padahal bukan

itu yang sebetulnya dimaksudkan oleh pembuat undang-undang.

3) Kerahasiaan juga sebagai bentuk dari skema ini dimana umumnya para

konsultan menunjukkan alat atau cara untuk melakukan tax avoidance dengan

syarat wajib pajak menjaga serahasia mungkin (Council of Executive

Secretaries of Tax Organizations, 1991).

Dalam Hanlon dan Heitzman (2010), pengukuran adanya tax avoidance dapat

menggunakan banyak proksi yang bervariasi, salah satu pengukuran untuk

membuktikan ada atau tidaknya praktik tax avoidance adalah cash effective tax rate

(CETR). Pengukuran tax avoidance dalam penelitian ini merujuk pada penelitian

yang dilakukan oleh Dyreng et al. (2010) menggunakan proksi cash effective tax rate

(CETR) karena dianggap mampu merefleksikan tax avoidance jangka pendek yang

19

dibayarkan dengan kas. Cash effective tax rate (CETR) merupakan rasio pembayaran

pajak secara kas atas laba perusahaan sebelum pajak penghasilan. Pembayaran pajak

secara keseluruhan terdapat dalam laporan arus kas pada pos pembayaran pajak

penghasilan di arus kas dari aktivitas operasi. Sedangkan laba perusahaan sebelum

pajak terdapat dalam laporan laba rugi pada pos laba sebelum pajak penghasilan.

2.1.3 Corporate governance (CG)

Corporate governance (CG) muncul karena adanya pemisahan antara

kepemilikan dengan pengelola perusahaan yang dapat menimbulkan masalah

keagenan. Masalah keagenan merupakan konflik yang terjadi akibat adanya

perbedaan kepentingan antara manajer dengan pemilik perusahaan, sehingga

diperlukan sistem corporate governance (Hidayanti, 2013). Corporate Governance

(CG) merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai

partisipan dalam perusahaan yang menetukan arah kinerja perusahaan (Haruman,

2008).

Corporate governance (CG) didefinisikan sebagai efektivitas mekanisme

yang bertujuan meminimumkan konflik keagenan, dengan penekanan khusus pada

mekanisme legal yang mencegah dilakukannya ekspropriasi atas pemegang saham

minoritas (Kurniasih dan Maria, 2010). Fadhilah (2014) menyatakan Cadbury

Committee, seperti dikutip dalam Forum for Corporate Governance in Indonesia

(FCGI), mendefinisikan Corporate governance (CG) sebagai perangkat peraturan

yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengolola) perusahaan,

20

pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan

ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan

kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan.

Corporate governance (CG) merupakan sebuah sistem tata kelola perusahaan

yang berisi seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham,

pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta para

pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya dalam kaitannya dengan hak-hak

dan kewajiban mereka atau dengan kata lain, suatu sistem yang mengatur dan

mengendalikan perusahaan, dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah (value

added) bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).

Corporate governance (CG) berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap

perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara.

Penerapan corporate governance (CG) mendorong terciptanya persaingan yang sehat

dan iklim usaha yang kondusif. Oleh karena itu, diterapkannya corporate governance

(CG) bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia sangat penting untuk menunjang

pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang berkesinambungan. Jika pelaksanaan

corporate governance (CG) tersebut dapat berjalan dengan efektif dan efisien, maka

seluruh proses aktivitas perusahaan akan berjalan dengan baik, sehingga hal-hal yang

berkaitan dengan kinerja perusahaan baik yang sifatnya kinerja finansial maupun non

finansial akan juga turut membaik.

The Indonesian Institute of Corporate Governance (IICG), corporate

governance (CG) didefinisikan sebagai struktur, sistem, dan proses yang digunakan

21

oleh organ-organ perusahaan sebagai upaya untuk memberi nilai tambah perusahaan

secara berkesinambungan dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan

kepentingan stakeholder lainnya berdasarkan peraturan perundangan dan norma yang

berlaku. Jadi dapat disimpulkan bahwa corporate governance (CG) merupakan

sebuah sistem tentang bagaimana dapat memberikan perlindungan yang efektif bagi

stakeholder dan shareholder sehingga mereka yakin akan memperoleh return

investasi yang besar serta bisa menciptakan lingkungan kondusif demi terciptanya

pertumbuhan yang efisien yang berlandasan pada peraturan perundang-undangan,

moral, dan etika.

Salah satu tujuan dari penerapan corporate governance (CG) adalah laporan

keuangan perusahaan yang dihasilkan manajemen disajikan dengan prinsip

akuntabilitas dan transparansi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dibentuklah

suatu sistem dan susunan tugas dan wewenang dari komite audit, dewan komisaris,

serta dewan komisaris independen agar corporate governance (CG) tersebut dapat

berjalan dengan efektif dan efisien. Pembentukan komite audit dan dewan komisaris

independen merupakan suatu bentuk penerapan prinsip-prinsip corporate governance

(CG) dalam perusahaan untuk meningkatkan keakuratan dan kehandalan dari

informasi keuangan yang digunakan investor dalam pengambilan keputusan investasi.

Penerapan corporate governance (CG) diharapkan dapat meminimalisir praktik tax

avoidance dalam suatu perusahaan.

22

2.1.3.1 Manfaat corporate governance (CG)

Manfaat dari pelaksanaan corporate governance (CG) menurut FCGI (2001)

sebagai berikut:

1) Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan

keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan

serta lebih meningkatkan pelayanan kepada stakeholder.

2) Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah sehingga

dapat lebih meningkatkan corporate value.

3) Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di

Indonesia.

4) Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan karena

sekaligus akan meningkatkan shareholder value dan dividen.

Sedangkan menurut IICG (2000), keuntungan yang bisa diambil perusahaan

apabila menerapkan konsep corporate governance (CG):

1) Meminimalkan agency cost dengan mengontrol konflik kepentingan yang

mungkin terjadi antara prinsipal dan agen.

2) Meminimalkan cost of capital dengan menciptakan sinyal positif kepada para

penyedia modal.

3) Meningkatkan nilai saham perusahaan yang dilihat dari cost of capital yang

rendah.

4) Mengangkat citra perusahaan

23

5) Peningkatan kinerja keuangan dan persepsi stakeholder terhadap masa depan

perusahaan yang lebih baik.

2.1.3.2 Prinsip-prinsip corporate governance (CG)

Prinsip-prinsip corporate governance (CG) berdasarkan KNKG (2006)

sebagai berikut:

1) Transparansi

Transparansi adalah pengungkapan kinerja perusahaan secara akurat dan tepat

pada waktunya serta transparansi atas hal-hal penting perusahaan. Untuk

menjaga tujuan dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan

informasi yang relevan dan dipahami oleh stakeholder.

2) Akuntabilitas

Akuntabilitas merupakan penekanan terhadap pentingnya penciptaan sistem

monitoring yang efektif berdasarkan pembagian dan tugas antara komisaris,

direksi, dan pemegang saham yang meliputi evaluasi, dan pengendalian

terhadap manajemen agar bertindak sesuai dengan pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap perusahaan. Untuk mempertanggungjawabkan

kinerjanya, perusahaan harus dikelola secara tepat sesuai dengan kepentingan

perusahaan dengan tetap memperhatikan kepentingan pemegang saham dan

pemangku kepentingan lainnya.

24

3) Tanggung Jawab

Responsibilitas adalah tanggung jawab dari manajemen, pengawas

manajemen yang akan bertanggung jawab kepada perusahaan dan para

pemegang saham. Prinsip ini dapat diwujudkan dengan kesadaran bahwa

tanggung jawab adalah konsekuensi logis dari adanya wewenang, tanggung

jawab sosial dan menghindari penyalahgunaan wewenang kekuasaan, menjadi

profesional dan menjunjung etika dan memelihara bisnis yang sehat.

4) Independensi

Perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ

diperusahaan tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak lain.

Keputusan yang dibuat dari proses yang terjadi harus obyektif tidak

dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu.

5) Kewajaran dan kesetaraan

Perusahaan harus selalu memperhatikan kepentingan semua pemegang saham

yang berasaskan atas kewajaran dan kesetaraan.

2.1.4 Mekanisme corporate governance (CG)

Menurut Fadhilah (2014) mekanisme dalam pengawasan corporate

governance (CG) ada dua yaitu mekanisme internal dan mekanisme eksternal.

Mekanisme internal adalah cara untuk mengendalikan perusahaan dengan

menggunakan struktur dan proses internal seperti rapat umum pemegang saham,

komposisi dewan direksi, proporsi dewan komisaris independen, dan pertemuan

25

dengan board of director. Sedangkan mekanisme eksternal adalah seperti

pengendalian oleh perusahaan, struktur kepemilikan, dan pengendalian pasar. Pada

penelitian ini akan lebih difokuskan pada mekanisme internal yaitu komite audit,

proporsi komisaris independen, dan proporsi kepemilikan institusional.

2.1.4.1 Komite Audit

Komite audit adalah komite tambahan yang bertujuan untuk melakukan

kontrol dalam proses penyusunan laporan keuangan perusahaan untuk menghindari

kecurangan pihak manajemen. Komite audit merupakan salah satu unsur penting

dalam mewujudkan penerapan prinsip corporate governace (CG). Definisi komite

audit menurut Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) dalam Fadhilah (2014) adalah

suatu komite yang bekerja secara profesional dan independen yang dibantu oleh

dewan komisaris yang bertugas membantu dewan komisaris dalam menjalankan

fungsi pengawasan. The Institute of Internal Auditors (IIA) merekomendasikan

bahwa setiap perusahaan publik harus memiliki komite audit yang diatur sebagai

audit tetap. Keberadaan komite audit merupakan usaha perbaikan terhadap cara

pengelolaan perusahaan terutama cara pengawasan terhadap manajemen perusahaan

dengan dewan komisaris maupun pihak ekstern lainnya.

Keberadaan komite audit juga berfungsi untuk membantu dewan komisaris

independen dalam mengawasi pihak manajemen dalam menyusun laporan keuangan

(Guna dan Herawaty, 2010). Komite audit di dalam suatu perusahaan bertujuan

untuk (1) memberikan kepastian bahwa laporan keuangan yang dikeluarkan oleh

26

manajemen perusahaan telah sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum

serta disajikan secara wajar; (2) memberikan kepastian pengendalian internal

perusahaan telah memadai; (3) melakukan pengawasan dan menindaklanjuti

kemungkinan penyimpangan material dalam bidang keuangan dan implikasi

hukumnya; (4) memberikan rekomendasi dalam pemilihan auditor eksternal yang

akan melakukan audit perusahaan (Guna dan Herawaty, 2010).

Berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Peraturan Nomor IX.1.5

tahun 2012 mengenai Pembentukan dan Pedoman Pelaksanaan Komite Audit

menyatakan bahwa struktur dan keanggotaan komite audit sebagai berikut:

1) Komite audit paling kurang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota yang berasal

dari komisaris independen dan pihak luar dari luar emiten atau perusahaan

publik.

2) Komite audit diketuai oleh komisaris independen.

3) Komisaris independen wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a) Bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai wewenang dan

tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, mengendalikan, atau

mengawasi kegiatan emiten atau perusahaan publik tersebut dalam waktu

6 (enam) bulan terakhir, kecuali untuk pengangkatan kembali sebagai

komisaris independen emiten atau perusahaan publik pada periode

berikutnya.

b) Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada

emiten atau perusahaan publik tersebut.

27

c) Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan

publik, anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau pemegang saham

utama emiten atau perusahaan publik.

d) Tidak mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak langsung yang

berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.

Pelaksanaan prinsip-prinsip corporate governance (CG) dalam aktivitas

komite audit dijelaskan sebagai berikut:

1) Prinsip independensi

Komite audit diharapkan dapat bersikap independen terhadap kepentingan

pemegang saham, baik itu pemegang saham minoritas maupun pemegang

saham mayoritas. Selain itu komite audit seharusnya tidak memiliki hubungan

kekeluargaan dengan anggota direksi dan komisaris perusahaan, sehingga

terhindar dari benturan kepentingan. Selain itu nama-nama anggota komite

audit utama pada perusahaan publik seharusnya diumumkan kepada

masyarakat dan publik sebagai perwujudan akuntabilitas terhadap sikap

independen komite audit. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat mengontrol

dan memberikan penilaian terhadap anggota komite audit perusahaan tersebut.

2) Prinsip transparansi

Prinsip ini ditunjukkan dengan adanya piagam komite, program kerja tahunan,

rapat komite audit secara periodik yang didokumentasikan di dalam notulen

rapat. Para komite audit diharapkan membuat laporan secara berkala kepada

dewan komisaris tentang pencapaian kinerjanya sebagai wujud pengungkapan.

28

Dengan harapan agar laporan tersebut dituangkan dalam laporan tahunan

(annual report) perusahaan yang diduplikasikan kepada publik.

3) Prinsip akuntabilitas

Prinsip ini ditunjukkan oleh frekuensi pertemuan dan tingkat kehadiran

anggota audit. Selain itu, komite audit seharusnya memiliki kapabilitas,

kompetensi dan pengalaman dibidang audit serta proses bisnis perusahaan

agar dapat bekerja secara profesional.

4) Prinsip pertanggungjawaban

Prinsip ini ditunjukkan oleh aktivitas komite audit yang dijalankan sesuai

dengan peraturan atau ketentuan yang berlaku. Selain itu, kinerja komite audit

hendaknya dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada publik, selain

dengan dewan komisaris.

5) Prinsip kewajaran

Prinsip ini ditunjukkan oleh sikap komite audit dalam pengambilan keputusan

yang didasarkan atas sikap adil dan obyektif terhadap semua pihak.

2.1.4.2 Komisaris independen

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT)

mengharuskan adanya kelembagaan komisaris sebagai salah satu organ perseroan.

Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 114 ayat (1) Pasal 108 UUPT, komisaris

bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan atas kebijakan dan jalannya

pengurusan perseroan serta memberikan nasihat kepada direksi.

29

Struktur dewan di Indonesia menurut Forum for Corporate Governance in

Indonesia (FCGI) mengacu pada sistem two tier board system seperti yang diterapkan

di negara Jerman, Jepang, dan Belanda, karena sistem hukum Indonesia berasal dari

sistem hukum Belanda. Pada two tier board system ini perusahaan mempunyai dua

dewan yang terpisah yaitu dewan komisaris dan dewan direksi. Kedua dewan tersebut

harus dapat independen satu terhadap yang lain. Komisaris harus dapat melakukan

fungsi pengawasan yang independen terhadap direksi, sebaliknya direksi harus

mengelola perusahaan dari hari ke hari secara independen tanpa tekanan yang

berlebihan dari komisaris.

Komisaris di Indonesia mengacu pada sistem two tier board system, sehingga

Indonesia menggunakan istilah komisaris independen. Komisaris independen adalah

komisaris yang bukan merupakan anggota manajemen, pemegang saham mayoritas,

pejabat, atau dengan cara lain berhubungan langsung atau tidak langsung dengan

pemegang saham mayoritas dari suatu perusahaan yang mengawasi perusahaan.

Komisaris independen didefinisikan sebagai seseorang yang tidak terafiliasi dalam

segala hal dengan pemegang saham pengendali, tidak memiliki hubungan afiliasi

dengan direksi atau dewan komisaris serta tidak menjabat sebagai direktur pada suatu

perusahaan yang terkait dengan perusahaan pemilik. Jadi dapat disimpulkan bahwa

komisaris independen ini merupakan komisaris yang berada diluar kepengurusan

yang bertindak independen dan tidak melibatkan pihak lain dalam penugasannya.

Komisaris independen menunjukkan keberadaan mereka sebagai wakil dari

pemegang saham independen (minoritas) dan juga mewakili kepentingan investor.

30

Selain itu, keberadaan komisaris independen diharapkan dapat bersikap netral

terhadap segala kebijakan yang telah dibuat oleh direksi. Komisaris independen

bertujuan untuk menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan khususnya dalam

rangka perlindungan terhadap hak pemegang saham minoritas dan pihak-pihak lain

yang terkait, dengan demikian diharapkan dengan adanya dewan komisaris

independen dapat meningkatkan intregitas laporan keuangan (Randi, 2013).

Menurut peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014 tentang

Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik menyatakan bahwa

jumlah komisaris independen wajib paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari

jumlah seluruh anggota dewan komisaris. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa

komisaris independen harus berperan untuk mewakili kepentingan minoritas dan

diharapkan mampu bertindak sebagai penyeimbang dalam pengawasan perusahaan

publik. Adapun persyaratan wajib komisaris independen sebagai berikut:

1) Bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai wewenang dan

tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, mengendalikan, atau

mengawasi kegiatan emiten atau perusahaan publik tersebut dalam waktu 6

(enam) bulan terakhir, kecuali untuk pengangkatan kembali sebagai komisaris

independen emiten atau perusahaan publik pada periode berikutnya.

2) Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten

atau perusahaan publik tersebut.

31

3) Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik,

anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau pemegang saham utama

emiten atau perusahaan publik.

4) Tidak mempunyai hubungan baik langsung maupun tidak langsung yang

berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.

Adapun tugas-tugas seorang dewan komisaris independen bersama dengan

dewan direksi (Hanum, 2013), antara lain:

1) Menilai dan mengarahkan strategi perusahaan, garis-garis besar rencana kerja,

kebijakan pengendalian risiko, anggaran tahunan dan rencana usaha,

menetapkan sasaran kerja, mengawasi pelaksanaan dan kinerja perusahaan,

memonitor penggunaan modal perusahaan, investasi dan penjualan aset.

Tugas ini terkait dengan tanggung jawab serta mendukung usaha untuk

menjamin penyeimbangan kepentingan manajemen (accountability).

2) Menilai sistem penetapan penggajian pejabat pada posisi kunci dan

penggajian anggota direksi, serta menjamin suatu proses pencalonan anggota

dewan direksi yang transparan (transparancy) dan kewajaran (fairness).

3) Memonitor dan mengatasi masalah benturan kepentingan pada tingkat

manajemen, anggota dewan direksi dan anggota dewan komisaris, termasuk

penyalahgunaan asset dan manipulasi transaksi perusahaan. Tugas ini

memberikan perlindungan terhadap hak para pemegang saham (fairness).

32

4) Memonitor pelaksanaan governance, dan melakukan perubahan jika

diperlukan.

5) Memantau proses keterbukaan dan efektivitas komunikasi dalam perusahaan

untuk menyediakan informasi yang tepat waktu dan jelas

2.1.4.3 Kepemilikan institusional

Institusi merupakan sebuah lembaga yang memiliki kepentingan besar

terhadap investasi yang dilakukan termasuk investasi saham. Institusi dianggap

mempunyai sumber daya, kemampuan, dan kesempatan yang lebih besar untuk

memonitor dan mendisiplinkan manajer agar lebih berfokus pada kinerja perusahaan.

Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar mengindikasikan

kemampuannya untuk memonitor manajemen. Mangel dan Singh (1993) juga

menyatakan bahwa tingkat pengawasan yang baik terhadap manajemen didalam

perusahaan berhubungan positif dengan tingginya persentase kepemilikan

institusional. Sejalan dengan pernyataan Shleifer dan Vishny (1997) yang juga

mengemukakan bahwa kepemilikan institusional sangat berperan dalam mengawasi

perilaku manajer dan memaksa manajer untuk lebih berhati-hati dalam mengambil

keputusan yang oportunistik.

Jensen dan Meckling (1976) dalam Wien (2010) menyatakan bahwa konflik

keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang saham dapat diminimalisir

dengan kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan

saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan

33

asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Anggraini, 2011).

Kepemilikan institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor

perusahaan. Kepemilikan institusional merupakan salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kinerja perusahaan.

Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha

pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional, sehingga dapat

menghalangi perilaku opurtunistik manajemen. Kepemilikan institusional memainkan

peranan penting dalam memantau, mendisiplinkan dan mempengaruhi manajer.

Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengendalikan pihak

manajemen melalui proses monitoring secara efektif sehingga dapat mengurangi

praktik tax avoidance. Persentase saham tertentu yang dimiliki oleh institusi dapat

mempengaruhi proses penyusunan laporan keuangan yang tidak menutup

kemungkinan terdapat akrualisasi sesuai kepentingan manajemen.

Investor institusional lebih efektif dibandingkan dengan investor individual

sebab investor institusional tidak mudah diperdaya oleh tindakan manipulasi

manajemen (Januarti dan Agnes, 2009). Pemegang saham yang berbentuk institusi

cenderung memiliki lebih banyak informasi dibandingkan dengan pemegang saham

individu. Pada umumnya, pemegang saham institusional lebih memiliki banyak

waktu untuk meneliti perusahaan dan industri, sedangkan pemegang saham individu

cenderung memiliki waktu yang terbatas untuk memantau kinerja perusahaan (Man

dan Brossa, 2013). Menurut Khurana (2009) besar kecilnya konsentrasi kepemilikan

institusional maka akan mempengaruhi kebijakan meminimalkan pajak, dan semakin

34

besarnya short-term shareholder institusional akan meningkatkan kebijakan pajak

agresif, tetapi semakin besar kepemilikan long-term shareholder maka akan semakin

mengurangi tindakan kebijakan pajak yang agresif.

Penelitian Bathala et al. (1994) menemukan bahwa kepemilikan institusional

menggantikan kepemilikan manajerial dalam mengontrol biaya keagenan. Hal ini

didukung oleh Fadhilah (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi kepemilikan

institusional maka semakin besar tingkat pengawasan ke manajer dan dapat

mengurangi konflik kepentingan antara manajemen sehingga masalah keagenan

menjadi berkurang dan mengurangi peluang terjadinya tax avoidance.

Menurut Permanasari (2010) kepemilikan institusional memiliki kelebihan,

antara lain:

a) Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat

menguji kehandalan informasi.

b) Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat atas

aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.

2.1.5 Ukuran perusahaan

Machfoedz (1994) menyatakan bahwa ukuran perusahaan merupakan suatu

skala yang dapat mengelompokkan perusahaan menjadi perusahaan besar dan kecil

menurut berbagai cara seperti contoh, ukuran perusahaan bisa dilihat melalui total

aset perusahaan yang dimiliki, nilai pasar saham, rata-rata tingkat penjualan, dan

jumlah penjualan. Ukuran perusahaan menurut Scott dalam Torang (2012:93) adalah

35

suatu variabel konteks yang mengukur tuntutan pelayanan atau produk perusahaan.

Banyak cara untuk mendefinisikan skala perusahaan, yaitu dengan menggunakan

berbagai kriteria seperti jumlah karyawan, volume penjualan, dan nilai asset. Dari

beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan adalah suatu

skala yang menentukan besar kecilnya perusahaan yang dapat dilihat dari nilai equity,

nilai penjualan, jumlah karyawan, nilai total aset perusahaan, nilai pasar saham, dan

rata-rata tingkat penjualan.

Ukuran perusahaan ditunjukkan melalui log total aset, karena dinilai bahwa

ukuran ini memiliki tingkat kestabilan yang lebih dibandingkan dengan proksi-proksi

yang lainnya dan cenderung berkesinambungan antar periode. Tahap kedewasaan

perusahaan ditentukan berdasarkan total aset, semakin besar total aset menunjukkan

bahwa perusahaan memiliki prospek baik dalam jangka waktu relatif panjang. Hal ini

juga akan menggambarkan bahwa perusahaan lebih stabil dan lebih mampu dalam

menghasilkan laba dibandingkan perusahaan dengan total aset kecil (Rachmawati dan

Triatmoko, 2007). Laba yang besar dan stabil akan cenderung mendorong perusahaan

untuk melakukan praktik tax avoidance.

Ukuran perusahaan umumnya dibagi dalam tiga (3) kategori, yaitu perusahaan

besar, perusahaan menengah, dan perusahaan kecil. Ukuran perusahaan secara

langsung mencerminkan tinggi rendahnya aktivitas operasi suatu perusahaan.

Semakin besar suatu perusahaan maka semakin besar pula aktivitasnya (Hartadinata

dan Tjaraka, 2013). Darmadi (2013) berpendapat bahwa perusahaan berskala kecil

tidak dapat optimal dalam mengelola pajak dikarenakan kekurangan ahli dalam

36

perpajakan. Banyaknya sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan berskala besar

maka akan semakin besar biaya pajak yang dapat diminimalisir oleh perusahaan

(Hendy dan Sukarta, 2014).

Berdasarkan penelitian sebelumnya, ada dua teori yang dapat digunakan

sebagai dasar analisis pengaruh ukuran perusahaan terhadap tax avoidance sebagai

berikut (Adelina, 2012).

1) Teori biaya politik. Teori biaya politik menyatakan bahwa tingkat visibilitas

yang tinggi dari perusahaan besar dan sukses menyebabkan perusahaan

tersebut menjadi korban peraturan serta transfer kekayaan, karena pajak

merupakan salah satu elemen biaya politik yang dilahirkan oleh perusahaan

sehingga perusahaan besar akan cenderung memiliki tarif pajak efektif yang

besar dan terindikasi untuk tidak melakukan tax avoidance.

2) Teori kekuasaan politik. Teori kekuasaan politik menyatakan bahwa

perusahaan besar memiliki sumber daya yang besar untuk mempengaruhi

proses politik sesuai dengan keinginan mereka, termasuk perencanaan pajak

dan mengatur aktivitas dalam mencapai penghematan pajak yang optimal

sehingga perusahaan besar akan memiliki tarif pajak efektif yang lebih rendah

dan terindikasi bahwa perusahaan melakukan tax avoidance (Gupta dan

Newberry, 1997).

37

2.2 Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya

Penelitian yang dilakukan Maria dan Kurniasih (2014) yang meneliti

mengenai pengaruh return on assets, leverage, corporate governance (diproksikan

dengan komposisi dewan komisaris independen dan keberadaan komite audit),

ukuran perusahaan, dan kompensasi rugi fiskal pada tax avoidance. Hasil

penelitiannya menunjukkan return on assets, ukuran perusahaan, dan kompensasi

rugi fiskal berpengaruh signifikan secara parsial terhadap tax avoidance, sedangkan

leverage, corporate governance tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap

tax avoidance.

Penelitian yang dilakukan Hendy dan Sukarta (2014) yang meneliti mengenai

pengaruh penerapan corporate governance diukur menggunakan penilaian dalam

Corporate Governance Perception Index (CGPI), leverage, return on assets dan

ukuran perusahaan pada penghindaran pajak. Hasil penelitiannya menunjukan bahwa

corporate governance, return on assets dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap

penghindaran pajak sedangkan leverage tidak berpengaruh terhadap penghindaran

pajak.

Penelitian yang dilakukan Anissa (2014) yang meneliti mengenai pengaruh

kepemilikan institusional, struktur dewan komisaris, kualitas audit, dan komite audit

terhadap tax avoidance. Hasil penelitiannya menunjukkan jumlah dewan komisaris

dan kualitas audit berpengaruh positif terhadap tax avoidance, prosentase dewan

komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh terhadap tax avoidance,

dan kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.

38

Penelitian yang dilakukan Maharani dan Suardana (2014) yang meneliti

mengenai pengaruh corporate governance (diproksikan dengan proporsi komisaris

independen, kualitas audit, dan komite audit), profitabilias dan karakteristik eksekutif

pada tax avoidance. Hasil penelitiannya menunjukkan proporsi komisaris

independen, kualitas audit, komite audit dan return on assets berpengaruh negatif

terhadap tax avoidance, sedangkan risiko perusahaan berpengaruh terhadap tax

avoidance.

Penelitian yang dilakukan Fadhilah (2014) yang meneliti mengenai pengaruh

good corporate governance terhadap tax avoidance. Hasil penelitiannya

menunjukkan kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap tax avoidance,

dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap tax avoidance, komite

audit berpengaruh positif terhadap tax avoidance, dan kualitas audit tidak

berpengaruh terhadap tax avoidance.

Penelitian yang dilakukan Sari (2014) yang meneliti mengenai pengaruh

corporate governance, ukuran perusahaan, kompensasi rugi fiskal dan struktur

kepemilikan terhadap tax avoidance. Hasil penelitiannya menunjukkan komisaris

independen berpengaruh signifikan negatif terhadap tax avoidance, komite audit tidak

berpengaruh terhadap tax avoidance, ukuran perusahaan berpengaruh negatif

terhadap tax avoidance, kompensasi rugi fiskal berpengaruh positif terhadap tax

avoidance, dan struktur kepemilikan berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.

Penelitian yang dilakukan Ardyansah dan Zulaikha (2014) yang meneliti

mengenai pengaruh size, leverage, profitability, capital intensity ratio dan komisaris

39

independen terhadap effective tax ratio (ETR). Hasil penelitiannya menunjukkan size

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR), leverage tidak

memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR), profitability

tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap effective tax rate (ETR), capital

intensity ratio tidak memiliki pengaruh terhadap tax effective rate (ETR), komisaris

independen memiliki pengaruh terhadap tax effective rate (ETR).

Penelitian yang dilakukan Swingly (2015) yang meneliti mengenai pengaruh

karakter eksekutif, komite audit, ukuran perusahaan, leverage, dan sales growth pada

tax avoidance. Hasil penelitiannya menunjukkan karakter eksekutif dan ukuran

perusahaan berpengaruh positif pada tax avoidance, leverage dan komite audit tidak

berpengaruh terhadap tax avoidance, dan sales growth berpengaruh negatif terhadap

tax avoidance.

Penelitian yang dilakukan Meiza (2015) yang meneliti mengenai pengaruh

karakteristik good corporate governance dan deferred tax expense terhadap tax

avoidance. Hasil penelitiannya menunjukkan kepemilikan institusional berpengaruh

negatif terhadap tax avoidance, komisaris independen berpengaruh positif terhadap

tax avoidance, dan deferred tax expense berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.

Penelitian yang dilakukan Tandean (2015) yang meneliti mengenai pengaruh

good corporate governance dan ukuran perusahan terhadap tax avoidance. Hasil

penelitiannya menunjukkan bahwa komite audit berpengaruh secara signifikan

terhadap tax avoidance, kepemilikan institusional, independensi auditor, dan ukuran

perusahaan tidak berpengaruh terhadap tax avoidance.

40

Berdasarkan hasil uraian diatas dapat disimpulkan bahwa telah dilakukan

penelitian oleh berbagai peneliti dengan bentuk dan hasil penelitian yang berbeda.

Berikut adalah ringkasan hasil penelitian sebelumnya pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya

No Peneliti Judul Hasil Penelitian

1 Faisal Reza

(2012)

Pengaruh Dewan

Komisaris Independen

dan Komite Audit

terhadap Penghindaran

Pajak

Dewan komisaris tidak

memiliki pengaruh secara

signifikan terhadap

penghindaran pajak dan komite

audit berpengaruh positif

terhadap penghindaran pajak

2

Tommy

Kurniasih

dan Maria

Sari (2014)

Pengaruh Return on

Assets, Leverage,

Corporate Governance,

Ukuran Perusahaan, dan

Kompensasi Rugi Fiskal

pada tax avoidance

Return on Assets, Ukuran

Perusahaan, dan Kompensasi

Rugi Fiskal berpengaruh

signifikan secara parsial

terhadap tax avoidance,

sedangkan Leverage,

Corporate Governance tidak

berpengaruh signifikan secara

parsial terhadap tax avoidance

3

Anissa

Setiawati

Putranti

(2014)

Pengaruh Kepemilikan

Institusional, Struktur

Dewan Komisaris,

Kualitas Audit, dan

Komite Audit terhadap

tax avoidance

Jumlah dewan komisaris dan

kualitas audit berpengaruh

positif terhadap tax avoidance,

prosentase dewan komisaris

independen dan komite audit

tidak berpengaruh terhadap tax

avoidance, dan kepemilikan

institusional berpengaruh

negatif terhadap tax avoidance

4

Maharani

dan

Suardana

(2014)

Pengaruh Corporate

Governance, Profitabilias

dan Karakteristik

Eksekutif pada Tax

Avoidance

Proporsi komisaris independen,

kualitas audit, komite audit dan

return on assets berpengaruh

negatif terhadap tax avoidance,

risiko perusahaan berpengaruh

terhadap tax avoidance

41

Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya

5

Rahmi

Fadhilah

(2014)

Pengaruh Good

Corporate Governance

terhadap Tax Avoidance

Kepemilikan institusional tidak

berpengaruh terhadap tax

avoidance, dewan komisaris

independen berpengaruh

negatif terhadap tax avoidance,

komite audit berpengaruh

positif terhadap tax avoidance,

dan kualitas audit tidak

berpengaruh terhadap tax

avoidance

6

Fenny

Winata

(2014)

Pengaruh Corporate

Governance terhadap

Tax Avoidance

Kepemilikan institusional dan

kualitas audit tidak

berpengaruh secara signifikan

terhadap tax avoidance, dewan

komisaris independen dan

jumlah komite audit

berpengaruh signifikan

terhadap tax avoidance

7 Gusti Maya

Sari (2014)

Pengaruh Corporate

Governance, Ukuran

Perusahaan, Kompensasi

Rugi Fiskal dan Struktur

Kepemilikan terhadap

Tax Avoidance

Komisaris Independen

berpengaruh signifikan negatif

terhadap tax avoidance, komite

audit tidak berpengaruh

terhadap tax avoidance, ukuran

perusahaan berpengaruh

negatif terhadap tax avoidance,

kompensasi rugi fiskal

berpengaruh positif terhadap

tax avoidance, dan struktur

kepemilikan berpengaruh

negatif terhadap tax avoidance

8

I Gede

Hendy

Darmawan

dan Made

Sukarta

(2014)

Pengaruh Penerapan

Corporate Governance,

Leverage, Return On

Assets, dan Ukuran

Perusahaan pada

Penghindaran Pajak

Corporate Governance, Return

on Assets dan ukuran

perusahaan berpengaruh

terhadap penghindaran pajak,

dan leverage tidak berpengaruh

terhadap penghindaran pajak

42

Tabel 2.1 Ringkasan Hasil Penelitian Sebelumnya

9

Ardyansah

dan Zulaikha

(2014)

Pengaruh Size, Leverage,

Profitability, Capital

Intensity Ratio dan

Komisaris Independen

terhadap Effective Tax

Ratio (ETR)

Size memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap effective

tax rate (ETR), leverage tidak

memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap effective

tax rate (ETR), profitability

tidak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap effective

tax rate (ETR), Capital

Intensity Ratio tidak memiliki

pengaruh terhadap tax effective

rate (ETR), komisaris

independen memiliki pengaruh

terhadap tax effective rate

(ETR)

10

Calvin

Swingly

(2015)

Pengaruh Karakter

Eksekutif, Komite Audit,

Ukuran Perusahaan,

Leverage, dan Sales

Growth pada Tax

Avoidance

Karakter eksekutif dan ukuran

perusahaan berpengaruh positif

pada tax avoidance, leverage

dan komite audit tidak

berpengaruh terhadap tax

avoidance, dan sales growth

berpengaruh negatif terhadap

tax avoidance

11 Randi Meiza

(2015)

Pengaruh Karakteristik

Good Corporate

Governance dan

Deferred Tax Expense

terhadap Tax Avoidance

Kepemilikan institusional

berpengaruh negatif terhadap

tax avoidance, komisaris

independen berpengaruh positif

terhadap tax avoidance, dan

deferred tax expense

berpengaruh negatif terhadap

tax avoidance

12

Vivi

Adeyani

Tandean

(2015)

Pengaruh Good

Corporate Governance

dan Ukuran Perusahan

terhadap Tax Avoidance

Komite audit berpengaruh

secara signifikan terhadap tax

avoidance, kepemilikan

institusional, independensi

auditor, dan ukuran perusahaan

tidak berpengaruh terhadap tax

avoidance

Sumber: Data diolah, 2016

43

2.3 Hipotesis Penelitian

2.3.1 Pengaruh komite audit terhadap tax avoidance

Komite audit adalah komite tambahan yang bertujuan untuk melakukan

kontrol dalam proses penyusunan laporan keuangan perusahaan untuk menghindari

kecurangan pihak manajemen. Komite audit berfungsi memberikan pandangan

mengenai masalah yang berhubungan dengan kebijakan keuangan, akuntansi, dan

pengendalian internal perusahaan. Selain itu, komite audit juga berfungsi dalam

membantu dewan komisaris untuk memenuhi tanggung jawab dalam memberikan

pengawasan secara menyeluruh.

Komite audit sesuai fungsinya membantu dewan komisaris dalam

melakukan pengawasan serta memberikan rekomendasi kepada manajemen dan

dewan komisaris terhadap pengendalian yang telah berjalan sehingga dapat mencegah

asimetri informasi. Semakin ketatnya pengawasan yang dilakukan pada suatu

manajemen perusahaan maka akan menghasilkan suatu informasi yang berkualitas

dan kinerja yang efektif (Hanum dan Zulaikha, 2013). Berdasarkan hal tersebut,

komite audit dengan wewenang yang dimilikinya akan dapat mencegah segala

perilaku atau tindakan yang menyimpang terkait dengan laporan keuangan

perusahaan.

Sejak direkomendasikan corporate governance (CG) di Bursa Efek Indonesia

(BEI), komite audit telah menjadi komponen umum dalam struktur corporate

governance (CG) perusahaan publik. Komite audit merupakan salah satu bagian dari

manajemen perusahaan yang berpengaruh secara signifikan dalam penentuan

44

kebijakan perusahaan. Anggota komite audit dengan keahlian akuntansi atau

keuangan lebih mengerti celah dalam peraturan perpajakan dan cara yang dapat

menghindari risiko deteksi, sehingga dapat memberikan saran yang berguna untuk

melakukan penghindaran pajak (Puspita, 2014).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pohan (2008) menemukan bahwa jika

jumlah komite audit dalam suatu perusahaan tidak sesuai dengan peraturan BEI yang

mengharuskan minimal terdapat tiga orang maka akan meningkatkan tindakan

manajemen melakukan minimalisasi laba untuk kepentingan pajak. Menurut Annisa

dan Kurniasih (2012), dan Dewi dan Jati (2014) dalam penelitiannya menyatakan

bahwa keberadaan komite audit memiliki pengaruh terhadap tax avoidance. Semakin

tinggi keberadaan komite audit dalam perusahaan akan meningkatkan kualitas good

corporate governance, sehingga akan memperkecil kemungkinan terjadinya aktivitas

tax avoidance. Penelitian terkait juga dilakukan oleh Winata (2014) yang menyatakan

bahwa jumlah komite audit berpengaruh secara signifikan terhadap tax avoidance

dengan menunjukkan bahwa semakin banyak komite audit yang ada dalam suatu

perusahaan dapat meminimalisir praktik tax avoidance yang dilakukan perusahaan.

Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam

penlitian ini, sebagai berikut:

H1: Komite audit berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.

45

2.3.2 Pengaruh proporsi komisaris independen terhadap tax avoidance.

Komisaris independen merupakan pihak yang tidak terafiliasi dengan

pemegang saham pengendali, anggota direksi dan dewan komisaris lain. Kehadiran

dewan komisaris dapat meningkatkan pengawasan terhadap kinerja direksi dimana

dengan semakin banyaknya jumlah komisaris independen maka pengawasan dari

manajemen akan semakin ketat. Pengawasan yang semakin ketat akan membuat

manajemen bertindak lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan dan transparan

dalam menjalankan perusahaan sehingga dapat meminimalisasi praktik tax

avoidance.

Keberadaan komisaris independen dalam perusahaan bertujuan untuk

menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan, khususnya dalam rangka

perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan pihak-pihak yang terkait.

Dalam penelitian yang dilakukan Nuraflimida (2011) dinyatakan bahwa pengaruh

dewan komisaris independen di dalam suatu perusahaan merupakan salah satu bentuk

dari mekanisme peningkatan corporate governance (CG).

Menurut peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 33/POJK.04/2014 tentang

Direksi dan Dewan Komisaris Emiten atau Perusahaan Publik menyatakan bahwa

jumlah komisaris independen wajib paling kurang 30% (tiga puluh persen) dari

jumlah seluruh anggota dewan komisaris. Apabila presentase komisaris independen

diatas 30% maka ini merupakan satu indikator bahwa pelaksanaan corporate

governance (CG) telah berjalan dengan baik sehingga mampu mengontrol dan

mengendalikan keinginan pihak manajemen perusahaan untuk melakukan

46

penghematan pajak, menurunkan biaya keagenan sehingga membuat praktik tax

avoidance menurun (Annisa dan Kurniasih, 2012).

Penelitian yang dilakukan oleh Hanum dan Zulaikha (2013) yang menyatakan

terdapat hubungan positif antara komisaris independen dengan effective tax rates

(ETR) dengan menunjukkan bahwa pengawasan yang dilakukan oleh komisaris

independen dilakukan agar tidak terjadi asimetri informasi yang terjadi antara

manajemen perusahaan dengan stakeholder. Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Prakosa (2014) menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen

berpengaruh negatif terhadap penghindaran pajak, jika komisaris independen

mengalami peningkatan maka aktivitas penghindaran pajak akan mengalami

penurunan, peningkatan proporsi dewan komisaris independen dapat mencegah

terjadinya aktivitas tax avoidance.

Jadi dapat disimpulkan dengan adanya komisaris independen yang baik maka

akan meminimalisir kecurangan dalam pelaporan perpajakan yang dilaporkan

manajemen sehingga meningkatkan intregritas nilai informasi keuangan yang

disampaikan manajemen. Oleh karena itu semakin baik proporsi komisaris

independen maka semakin menurun praktik tax avoidance yang dilakukan

perusahaan.

Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis yang dapat dirumuskan dalam

penelitian ini sebagai berikut :

H2: Proporsi komisaris independen berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.

47

2.3.3 Pengaruh proporsi kepemilikan institusional terhadap tax avoidance

Kepemilikan institusional merupakan proporsi kepemilikan saham oleh

institusi pendiri perusahaan, bukan institusi pemegang saham publik yang diukur

dengan persentase jumlah saham yang dimiliki oleh investor institusi (Fadhilah,

2014). Kepemilikan institusional berperan penting dalam mengawasi kinerja

manajemen yang lebih optimal karena dianggap mampu memonitor setiap keputusan

yang diambil oleh para manajer secara efektif. Sejalan dengan penelitian yang

dilakukan Shleifer dan Vishny (1997) yang mengemukakan bahwa kepemilikan

institusional sangat berperan dalam mengawasi perilaku manajer dan memaksa

manajer untuk lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan yang oportunistik.

Dengan tingginya tingkat kepemilikan institusional, maka semakin besar tingkat

pengawasan ke manajer dan dapat mengurangi konflik kepentingan antara

manajemen sehingga masalah keagenan menjadi berkurang dan mengurangi peluang

terjadinya tax avoidance.

Menurut Nurindah (2013) perusahaan yang memiliki kepemilikan

institusional yang tinggi akan semakin agresif dalam meminimalisir pelaporan

perpajakannya. Hasil penelitian Fadhilah (2014) menyatakan bahwa semakin tinggi

kepemilikan institusional maka semakin besar tingkat pengawasan ke manajer dan

dapat mengurangi konflik kepentingan antara manajemen sehingga masalah keagenan

menjadi berkurang dan mengurangi peluang terjadinya tax avoidance.

48

Berdasarkan hal tersebut, maka hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian

ini, sebagai berikut:

H3: Proporsi kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap tax avoidance.