bab ii kajian pustaka dan hipotesis penelitian 2.1 ... 2.pdf · mardiasmo (2009:20) menjelaskan...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori utama yang mendasari penelitian ini dapat dijelaskan melalui
perspektif teori keagenan. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan
keagenan di dalam teori keagenan bahwa perusahaan merupakan kumpulan
kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan
manajer (agent) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya
tersebut. Menurut Meisser, et al., (2006:7) hubungan keagenan ini mengakibatkan
dua permasalahan yaitu : (a) terjadinya asimetris informasi (information
asymmetry), dimana manajemen secara umum memiliki lebih banyak informasi
mengenai posisi keuangan yang sebenarnya dan posisi operasi entitas dari
pemilik; dan (b) terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest) akibat
ketidaksamaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan
kepentingan pemilik.
Eisenhardt (1989) menjelaskan bahwa teori keagenan menggunakan tiga
asumsi sifat manusia. Pertama, asumsi tentang sifat manusia. Asumsi tentang sifat
manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri
sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality),
dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Kedua, asumsi tentang keorganisasian.
Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi
13
sebagai kriteria produktivitas, dan adanya information asymmetry antara
principal dan agent. Ketiga, asumsi tentang informasi. Asumsi tentang informasi
adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa
diperjualbelikan.
Menurut Lane (2003) teori keagenan dapat diterapkan pada organisasi
sektor publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada
serangkaian hubungan principal-agent (Lane, 2000:13). Moe (1984) juga
mengemukakan hal serupa mengenai konsep ekonomika organisasi sektor publik
dengan menggunakan teori keagenan. Setelah pelaksanaan kebijakan untuk
menyelenggarakan otonomi daerah di Indonesia telah membawa perubahan
paradigma dan tatanan yang sangat mendasar, utamanya terhadap fungsi
pemerintah daerah (eksekutif) dengan fungsi perwakilan rakyat (legislatif). Dalam
hubungan tersebut, legislatif mendelegasikan kewenangan untuk menjalankan
pemerintahan kepada pihak eksekutif. Hal ini menunjukkan bahwa diantara
legislatif dan eksekutif terjadi hubungan keagenan (Halim, 2006).
Mardiasmo (2009:20) menjelaskan tentang akuntabilitas dalam konteks
sektor publik bahwa, akuntabilitas publik merupakan kewajiban pemegang
amanah (pemerintah) untuk memberikan pertanggungjawaban, menyajikan
melaporkan dan mengungkapkan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi
tanggung jawabnya kepada pihak pemberi amanah (masyarakat) yang memiliki
hak untuk meminta pertanggungjawaban tersebut. Pernyataan ini mengandung arti
bahwa dalam pengelolaan pemerintah daerah terdapat hubungan keagenan antara
masyarakat sebagai principal dan pemerintah daerah sebagai agent. Teori
14
keagenan memandang bahwa banyak terjadi asimetri informasi antara pihak agent
yang mempunyai akses langsung terhadap informasi dengan pihak masyarakat.
Adanya asimetri informasi inilah yang memungkinkan terjadinya penyelewengan
atau korupsi oleh agent (Setiawan, 2012).
Berdasarkan teori keagenan, pengelolaan keuangan pemerintah daerah harus
diawasi untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan
kepada berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehubungan
dengan hal tersebut, dibentuklah Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia
(BPK-RI) yang bertugas melakukan pemeriksaan atas pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara sebagaimana Undang-Undang No. 15
Tahun 2004 atau dikenal dengan Undang-Undang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pemeriksaan yang menjadi tugas BPK-RI
meliputi pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab mengenai keuangan
negara. Secara garis besar, lingkup pemeriksaan meliputi APBN, APBD, BUMN,
BUMD, dan kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas
pemerintah (Cris, 2008). LKPD menggambarkan tingkat akuntabilitas keuangan
pemerintah daerah yang menjadi kebutuhan penting dalam pelaksanaan otonomi
daerah, sehingga untuk mengetahui akuntabilitas LKPD sangat penting untuk
selalu dilakukan audit atas LKPD oleh pihak independen (Sucahyo, 2013).
15
2.1.2 Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD)
Dalam menyediakan layanan publik yang kontinyu, pemerintah daerah
memerlukan kepastian sumber-sumber keuangan Daerah. Hubungan keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang berimbang adil dan serasi
menjadi kunci pokok keberhasilan suatu Daerah. Oleh karena itu, diperlukan
pengaturan tentang posisi atau peran keuangan daerah terhadap keuangan negara,
terutama yang menyangkut pembagian hasil atas sumber daya alam, maupun atas
hasil kegiatan perekonomian lainnya untuk memperlancar pelaksanaan otonomi
daerah. Inilah dasar munculnya konsep keuangan daerah dalam kerangka NKRI
(Cris, 2008).
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disebut APBD adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. APBD merupakan pedoman penerimaan dan
pengeluaran dalam melaksanakan kegiatan daerah untuk meningkatkan produksi
dan kesempatan kerja dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
kemakmuran bagi masyarakat daerah. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
8 Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah,
dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap entitas
pelaporan wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan laporan kinerja.
Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu perusahaan pada
suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja
perusahaan tersebut (Wikipedia, 2014). Sementara itu, menurut Zaki (2004:17)
16
laporan keuangan adalah ringkasan dari suatu proses pencatatan transaksi-
transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan.
Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) merupakan bentuk
pertanggungjawaban pengelolaan keuangan daerah selama satu periode. Laporan
keuangan terutama digunakan untuk mengetahui nilai sumber daya ekonomi yang
dimanfaatkan untuk melaksanakan kegiatan operasional pemerintahan, menilai
kondisi keuangan, mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan,
dan membantu menentukan ketaatannya terhadap peraturan perundang-undangan.
Setiap entitas pelaporan mempunyai kewajiban untuk melaporkan upaya-upaya
yang telah dilakukan serta hasil yang dicapai dalam pelaksanaan kegiatan secara
sistematis dan terstruktur pada suatu periode pelaporan untuk kepentingan
akuntabilitas, manajemen, transparansi, keseimbangan antar generasi, dan evaluasi
kinerja.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2005, laporan
keuangan pemerintah meliputi:
a) Laporan Realisasi Anggaran
Laporan Realisasi Anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi dan
penggunaan sumber daya ekonomi yang dikelola oleh pemerintah
pusat/daerah dalam satu periode pelaporan. Lebih lanjut, dalam laporan
realisasi anggaran setidaknya menyajikan unsur pendapatan, belanja,
transfer, surplus/defisit, pembiayaan, sisa lebih/kurang pembiayaan
anggaran.
17
b) Neraca
Neraca menggambarkan posisi keuangan suatu entitas pelaporan mengenai
aset, kewajiban, dan ekuitas dana pada tanggal tertentu. Unsur yang
dicakup oleh neraca terdiri dari aset, kewajiban, dan ekuitas dana.
c) Laporan Arus Kas
Laporan Arus Kas menyajikan informasi mengenai sumber, penggunaan,
perubahan kas dan setara kas selama satu periode akuntansi, dan saldo kas
dan setara kas pada tanggal pelaporan. Arus masuk dan keluar kas
diklasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi aset non-
keuangan, pembiayaan, dan non-anggaran. Unsur yang dicakup dalam
laporan arus kas terdiri dari penerimaan dan pengeluaran kas.
d) Catatan atas Laporan Keuangan
Catatan atas Laporan Keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian
dari angka yang tertera dalam Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan
Laporan Arus Kas. Catatan atas Laporan Keuangan juga mencakup
informasi tentang kebijakan akuntansi yang dipergunakan oleh entitas
pelaporan dan informasi lain yang diharuskan dan dianjurkan untuk
diungkapkan di dalam SAP serta ungkapan-ungkapan yang diperlukan
untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar.
2.1.3 Ukuran Pemerintah Daerah
Ukuran organisasi merupakan nilai yang menunjukkan besar kecilnya
organisasi. Menurut Damanpour (dalam Suhardjanto, 2011) ukuran organisasi
18
adalah prediktor signifikan untuk kepatuhan akuntansi. Size dapat diukur dengan
berbagai cara, antara lain jumlah karyawan, total aset, total pendapatan, dan
tingkat produksi.
Dalam konteks organisasi sektor publik, ukuran suatu organisasi dapat
dilihat dari total aset dan total pendapatan. Meskipun total aset dianggap lebih
stabil dibanding pendapatan, namun perputaran asset pada BUMN masih rendah
(Prasidhanto, 2012). Pemerintah daerah yang merupakan bagian dari organisasi
sektor publik dapat menggunakan total pendapatan sebagai proksi ukuran
pemerintah daerah. Ukuran pemerintah daerah yang didasarkan pada total
pendapatan dimana pemerintah daerah dengan total pendapatan yang lebih besar
dapat memberikan kemudahan dalam memberi pelayanan masyarakat guna
kemajuan daerah sebagai bukti peningkatan kinerja (Kusumawardani, 2012). Hal
tersebut sejalan dengan pendapat Sumarjo (2010) yang menyatakan bahwa
semakin besar ukuran pemerintah daerah maka semakin baik kinerja keuangan
pemerintah daerah tersebut.
Total pendapatan suatu daerah bersumber dari PAD, Dana Perimbangan dan
lain-lain pendapatan daerah yang sah. Penelitian Septian (2009) menggunakan
ukuran (size) pemerintah daerah yang diproksikan dengan total pendapatan
sebagai sebagai prediktor kelemahan pengendalian internal. Laswad, et al (dalam
Septian, 2009) menyatakan bahwa pemerintahan kabupaten/kota besar cenderung
memiliki sumber daya yang lebih besar daripada pemerintahan kabupaten/kota
kecil yang memungkinkan mereka untuk menerapkan tertib administrasi dan
pengelolaan keuangan daerah. Selain itu, tekanan politis yang dialami oleh
19
birokrasi pemerintahan lokal yang besar cenderung lebih tinggi sehingga
membuat para birokrat harus lebih transparan dalam pengelolaan dan pelaporan
keuangan.
2.1.4 Kemakmuran
Kemakmuran adalah kemampuan untuk mencukupi kebutuhan. Abdullah
(dalam Sumarjo 2010) menyatakan bahwa kemakmuran (wealth) dari pemerintah
daerah dapat dilihat dari PAD. PAD merupakan kekayaan riil dari masing-masing
daerah. Membiayai kebutuhan daerah, pemerintah daerah terlebih dahulu
menggunakan PAD agar memperkecil ketergantungan dana dari pemerintah pusat.
Diberlakukannya otonomi daerah membuat pemerintah daerah memiliki
kesempatan untuk memberdayakan seluruh potensi guna memperoleh PAD yang
tinggi. PAD yang tinggi dapat mengindikasikan bahwa pemerintah daerah telah
melakukan upaya yang optimal dalam menggali sumber-sumber PAD sehingga
memiliki tingkat kemakmuran yang lebih tinggi dibandingkan daerah dengan
pertumbuhan PAD yang masih rendah. Tingkat kemakmuran tentunya akan
berdampak kepada peningkatan kualitas pelayanan publik sebagai bukti
peningkatan kinerja pemerintah daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah disebutkan bahwa Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD
adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan
Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
20
PAD sendiri bersumber dari :
1. Pajak Daerah
Berdasarkan Undang - Undang No. 28 Tahun 2009 sebagai perubahan dari
Undang-Undang No. 34 Tahun 2000, Pajak Daerah, yang selanjutnya
disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh
orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-
Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
2. Retribusi Daerah
Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah
pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin
tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah
Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan
3. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, hasil pengelolaan kekayaan milik Daerah
yang dipisahkan meliputi 1) bagian laba atas penyertaan modal pada
perusahaan milik daerah/BUMD, 2) bagian laba atas penyertaan modal
pada perusahaan milik pemerintah/BUMN, 3) bagian laba atas penyertaan
modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
21
4. Lain-lain PAD yang Sah
Berdasarkan Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah, lain-lain PAD yang sah disediakan untuk
menganggarkan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak
daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan.
2.1.5 Intergovernmental Revenue
Patrick (2007) mengartikan intergovernmental revenue sebagai salah satu
pendapatan pemerintah daerah yang berasal dari transfer pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan pemerintah daerah. Sebagai timbal
baliknya, pemerintah daerah membelanjakan pendapatan transfer antar pemerintah
sesuai dengan alokasi dan petunjuk anggaran dan menurut undang-undang.
Pemerintah pusat berharap dengan adanya transfer tersebut maka pemerintah
daerah dapat meningkatkan kinerjanya. Patrick (2007) menggunakan
intergovernmental revenue sebagai salah satu variabel dalam menjelaskan
karakteristik pemerintah daerah Pennsylvania. Transfer tersebut lebih dikenal di
Indonesia sebagai dana perimbangan (Suhardjanto et al., 2010).
Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dana perimbangan
adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan
Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Dana Perimbangan bertujuan
22
mengurangi kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan
antar Pemerintah Daerah. Dana perimbangan menurut UU No. 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
terdiri dari :
1. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
2. Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai
kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
3. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang
bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah
tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
2.1.6 Audit Sektor Publik
Mardiasmo (2009) menyatakan bahwa terdapat tiga aspek utama yang
mendukung terciptanya pemerintahan yang baik (good governance), yaitu
pengawasan, pengendalian, dan pemeriksaan. Audit terhadap sektor
23
publik menjadi fokus perhatian karena dinilai instansi pemerintah tidak terbuka
terhadap masyarakat mengenai kondisi keuangan sebenarnya. Instansi sektor
publik rawan akan penyalahgunaan dana sehingga dibutuhkan aturan yang ketat
dan audit yang independen terhadap pemeriksaan laporan keuangan instansi
pemerintahan.
Menurut Mulyadi (2002:9), auditing merupakan suatu proses sistematik
untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-
pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi dengan tujuan untuk
menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan
kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian hasil-hasilnya kepada pemakai
yang berkepentingan. Sementara menurut Sukrisno Agoes (2004:3) auditing
adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak
yang independen, terhadap laporan keuangan yang telah disusun
oleh manajemen beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti
pendukungnya, dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai
kewajaran laporan keuangan tersebut. Audit sektor publik adalah kegiatan yang
ditujukan terhadap entitas yang menyediakan pelayanan dan penyediaan barang
yang pembiayaannya berasal dari penerimaan pajak dan penerimaan negara
lainnya dengan tujuan untuk membandingkan antara kondisi yang ditemukan
dengan kriteria yang ditetapkan (Agung Rai, 2008:29). Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 2004 dan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara
(SPKN), terdapat tiga jenis audit keuangan negara, yaitu audit keuangan, audit
kinerja, dan audit dengan tujuan tertentu.
24
Audit pemerintahan merupakan salah satu elemen penting dalam penegakan
good government. Namun demikian, praktiknya sering jauh dari yang diharapkan.
Mardiasmo (2009:192) menjelaskan bahwa terdapat beberapa kelemahan dalam
audit pemerintahan di Indonesia, antara lain adalah tidak tersedianya indikator
kinerja yang memadai sebagai dasar pengukuran kinerja pemerintahan. Selain itu
terdapat banyak lembaga pemeriksa fungsional yang overlapping satu dengan
lainnya yang menyebabkan pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak
efektif. Diantara lembaga audit yang ada dan paling jelas ruang lingkup tugasnya
dalam mengaudit pengelolaan keuangan daerah yaitu BPK RI (Minarno, 2011).
BPK RI yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006,
menjelaskan bahwa BPK adalah satu-satunya lembaga negara yang
bertanggungjawab untuk melakukan pemeriksaan dan pengelolaan keuangan
negara. Lebih lanjut dinyatakan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan
keuangan negara yang dilakukan pemerintah daerah. Auditor (BPK) sebagai pihak
ketiga yang independen diperlukan untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja
apakah telah bertindak sesuai dengan kepentingan principal melalui laporan
keuangan. BPK sesuai dengan fungsinya yaitu memeriksa, menguji, dan menilai
dalam penggunaan keuangan daerah. Hasil pemeriksaan BPK dilaporkan kepada
DPR untuk pengelolaan keuangan negara, dan kepada DPRD untuk pengelolaan
keuangan daerah. Hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK menghasilkan
opini audit, temuan terkait kelemahan sistem pengendalian intern dan
ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, serta tindak lanjut
25
rekomendasi untuk perbaikan pengelolaan keuangan daerah di masa yang akan
datang (Hermin dkk., 2013).
2.1.7 Temuan audit
Hasil pemeriksaan BPK dituangkan dalam Laporan Hasil Pemeriksaan
(LHP) memuat sejumlah temuan. Setiap temuan dapat terdiri atas satu atau lebih
permasalahan kelemahan SPI dan/atau ketidakpatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, Setiap permasalahan merupakan bagian dari
temuan dan di dalam IHPS disebut dengan istilah kasus.
a) Kelemahan Sistem Pengendalian Intern
Sistem Pengendalian Intern (SPI) menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) adalah proses
yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus
oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas
tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan
pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan
perundang-undangan. SPIP adalah SPI yang diselenggarakan secara menyeluruh
di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. SPIP terdiri dari dari lima
unsur yaitu lingkungan pengendalian, penaksiran risiko, kegiatan pengendalian,
informasi dan komunikasi, serta pemantauan pengendalian intern.
Sarita (dalam Hermin dkk., 2013) menyatakan bahwa SPI yang efektif akan
berpengaruh terhadap kinerja. Partisipasi pimpinan dalam penyusunan anggaran,
dan adanya kejelasan sasaran anggaran yang akan dilaksanakan, diharapkan dapat
26
berpengaruh terhadap kinerja dengan adanya sistem pengendalian dan
pengawasan intern yang efektif. Berdasarkan IHPS BPK, rincian temuan audit
terhadap kelemahan sistem pengendalian intern adalah sebagai berikut :
1) Kelemahan Sistem Pengendalian Akuntansi dan Pelaporan
- Pencatatan tidak/belum dilakukan atau tidak akurat
- Proses penyusunan laporan tidak sesuai ketentuan
- Entitas terlambat menyampaikan laporan
- Sistem Informasi Akuntansi dan Pelaporan tidak memadai
2) Kelemahan Sistem Pengendalian Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan
Belanja
- Perencanaan kegiatan tidak memadai
- Penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan bidang teknis
tertentu atau ketentuan intern organisasi yang diperiksa tentang pendapatan
dan belanja
- Penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat
hilangnya potensi penerimaan/pendapatan
- Penetapan/pelaksanaan kebijakan tidak tepat atau belum dilakukan berakibat
peningkatan biaya/belanja
3) Kelemahan Struktur Pengendalian Intern
- Entitas tidak memiliki SOP yang formal untuk suatu prosedur atau
keseluruhan prosedur
- SOP yang ada pada suatu entitas tidak berjalan secara optimal atau tidak
ditaati
27
- Satuan pengawasan intern yang ada tidak memadai atau tidak berjalan
optimal
- Tidak ada pemisahan tugas dan fungsi yang memadai
b) Ketidakpatuhan terhadap Ketentuan Perundang-undangan
Berdasarkan IHPS BPK, rincian ketidakpatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, terdiri atas kerugian negara/daerah/perusahaan,
potensi kerugian negara/daerah/perusahaan, kekurangan penerimaan, kelemahan
administrasi, ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan. Temuan
kerugian negara/daerah sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai karena adanya unsur ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-
undangan yang dapat menyebabkan pemborosan dan kebocoran dana hingga
terjadinya korupsi. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa kinerja pemerintahan
daerah rendah, disebabkan karena tidak adanya upaya optimalisasi pengelolaan
dana publik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ekonomis, efisien dan
efektif sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan kepada daerah dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh
Tobirin (dalam Hermin dkk., 2013) menjelaskan bahwa selama ini penilaian
kinerja aparat birokrasi tidak berbasis kinerja, tetapi hanya berbasis pada
kepatuhan semata. Semakin banyak temuan pemeriksaan menunjukkan bahwa
pengelolaan keuangan dari pemerintah daerah tersebut rendah, sehingga
pengelolaan keuangan tersebut kurang baik yang pada akhirnya akan berpengaruh
terhadap kinerja dari pemerintah daerah tersebut.
28
2.1.8 Opini audit
Dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 dijelaskan bahwa, opini
merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Opini Badan Pemeriksa
Keuangan (Opini BPK) merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai
kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang
didasarkan pada empat kriteria yakni kesesuaian dengan SAP, kecukupan
pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-
undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern. Dalam IHPS BPK, tentang
Jenis Opini, terdapat empat jenis opini yang dapat diberikan oleh pemeriksa yaitu:
1) Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), memuat suatu pernyataan bahwa
laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang
material sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP). Sesuai
dengan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang diberlakukan
dalam SPKN, BPK dapat memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian
dengan Paragraf Penjelas (WTP-DPP) karena keadaan tertentu sehingga
mengharuskan pemeriksa menambahkan suatu paragraf penjelasan dalam
LHP sebagai modifikasi dari opini WTP.
2) Wajar Dengan Pengecualian (WDP), memuat suatu pernyataan bahwa
laporan keuangan menyajikan secara wajar, dalam semua hal yang
material sesuai dengan SAP, kecuali untuk dampak hal-hal yang
dikecualikan.
29
3) Tidak Wajar (TW), memuat suatu pernyataan bahwa laporan keuangan
tidak menyajikan secara wajar dalam semua hal yang material sesuai
dengan SAP.
4) Pernyataan Menolak Memberikan Opini atau Tidak Memberikan
Pendapat (TMP), menyatakan bahwa pemeriksa tidak menyatakan opini
atas laporan keuangan.
2.1.9 Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Menurut John Witmore (1997 : 104), kinerja adalah pelaksanaan fungsi-
fungsi yang dituntut dari seorang atau suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu
pameran umum keterampilan. Kinerja juga dapat diartikan sebagai gambaran
pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan/program/kebijaksanaan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi, dan visi organisasi (Bastian, 2006:274).
Kinerja keuangan adalah salah satu bentuk penilaian dengan asas manfaat dan
efisiensi dalam penggunaan anggaran keuangan. Dalam organisasi sektor publik,
setelah adanya operasional anggaran, langkah selanjutnya adalah pengukuran
kinerja untuk menilai prestasi dan akuntabilitas organisasi dan manajemen dalam
menghasilan pelayanan publik yang lebih baik. Akuntabilitas publik bukan
sekedar kemampuan menunjukkan bagaimana uang publik dibelanjakan, akan
tetapi meliputi kemampuan menunjukkan bahwa uang publik tersebut telah
dibelanjakan secara ekonomis, efisien dan efektif (Mardiasmo, 2009:121).
Pemerintah daerah sebagai pihak yang diserahi tugas menjalankan roda
pemerintahan, pembangunan, dan layanan sosial masyarakat wajib menyampaikan
30
laporan pertanggungjawaban keuangan daerahnya untuk dinilai apakah
pemerintah daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Adanya
tuntutan pertanggungjawaban kinerja keuangan oleh masyarakat mengharuskan
pemerintah daerah untuk memberikan gambaran yang jelas tentang kinerjanya.
Pengukuran kinerja biasanya dilakukan untuk beberapa aspek yakni, aspek
finansial, kepuasan pelanggan, operasi dan pasar internal, kepuasan pegawai,
kepuasan komunitas dan stakeholders, dan waktu (Bastian, 2006:331). Perhatian
yang besar terhadap pengukuran kinerja disebabkan oleh opini bahwa pengukuran
kinerja dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, penghematan dan produktivitas
pada organisasi sektor publik (Halacmi, 2005).
Salah satu alat untuk menganalisis kinerja pemerintah daerah dalam mengelola
keuangan daerahnya adalah dengan melaksanakan analisis rasio terhadap APBD.
Analisis rasio keuangan pada APBD dilakukan dengan membandingkan hasil
yang dicapai dari satu periode dengan periode sebelumnya sehingga dapat
diketahui bagaimana kecenderungan yang terjadi. Pengukuran kinerja dapat
diukur dengan value for money yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas
(Mardiasmo, 2009:4). Sedangkan menurut Halim (2007:231) terdapat enam rasio
yang dapat dijadikan tolok ukur dalam kinerja keuangan pemerintah yaitu rasio
kemandirian, rasio efektivitas, rasio efisiensi, rasio aktivitas dan rasio
pertumbuhan.
1) Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian keuangan daerah (otonomi fiskal) menunjukkan kemampuan
pemerintah daerah membiayai sendiri kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
31
pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar pajak, retribusi sebagai
sumber pendapatan yang diperlukan daerah. Rasio kemandirian ditujukan untuk
mengukur kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai penyelenggaraan
pemerintahan sendiri dengan membandingkan PAD dengan subsidi pemerintah
pusat dan provinsi serta pinjaman daerah (Mahsun, 2014:153). Semakin tinggi
rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah
terhadap bantuan pihak ekstern (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin
rendah, dan demikian pula sebaliknya. Kriteria kemandirian keuangan daerah
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.1 Kriteria Kemandirian Keuangan Daerah
Sumber : Halim, 2001
2) Rasio Ekonomis, Efektivitas dan Efisiensi (Value for Money)
a) Rasio Ekonomis
Rasio ekonomis adalah mengukur tingkat kehematan dari pengeluaran-
pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik. Untuk mengetahui seberapa
besar tingkat ekonomi maka dibandingkan realisasi pengeluaran dengan anggaran
pengeluaran (Mahsun, 2014:186). Semakin besar persentase rasio ekonomi maka
kinerja pemerintah daerah semakin baik. Kinerja pemerintah daerah akan
dikatakan ekonomis bila rasionya di atas 100%. Kriteria ekonomis sebagai
penilaian kinerja keuangan dapat dilihat dalam tabel berikut.
Kemampuan Keuangan Persentase Kemandirian (%)
Rendah Sekali 0 – 25
Rendah > 25 – 50
Sedang > 50 – 75
Tinggi > 75 – 100
32
Tabel 2.2 Kriteria Ekonomis Keuangan Daerah
Sumber : Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996
b) Rasio Efektivitas
Rasio efektivitas mengukur tingkat output dari organisasi sektor publik
terhadap target-target pendapatan sektor publik. Rasio efektivitas menurut
(Mahsun, 2014:187). Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan
efektif apabila rasio yang dicapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100%. Semakin
tinggi rasio efektivitas, menggambarkan kemampuan daerah dalam merealisasikan
PAD yang semakin baik. Kriteria efektivitas keuangan daerah dapat dilihat pada
tabel di bawah ini.
Tabel 2.3 Kriteria Efektivitas Keuangan Daerah
Sumber : Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996
c) Rasio Efisiensi
Rasio efisiensi mengukur tingkat input dari organisasi sektor publik terhadap
outputnya (Mahsun, 2014:187). Semakin kecil rasio ini, maka pemerintah daerah
dapat dikategorikan kinerja keuangannya telah efisien. Dengan mengetahui
Kriteria Ekonomis Persentase Ekonomis (%)
Sangat Ekonomis >100
Ekonomis >90 – 100
Cukup Ekonomis >80 – 90
Kurang Ekonomis >60 – 80
Tidak Ekonomis ≤60
Kriteria Efektivitas Persentase Efektivitas (%)
Sangat Efektif >100
Efektif >90 – 100
Cukup Efektif >80 – 90
Kurang Efektif >60 – 80
Tidak Efektif ≤60
33
perbandingan hasil realisasi pengeluaran dan realisasi penerimaan dengan
menggunakan ukuran rasio efisiensi, maka penilaian kinerjanya dapat ditentukan.
Kriteria efisiensi keuangan daerah dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 2.4 Kriteria Efisiensi Keuangan Daerah
Sumber : Kepmendagri No.690.900.327 tahun 1996
3) Rasio Aktivitas
a) Rasio Keserasian
Rasio ini menggambarkan bagaimana pemerintahan daerah memprioritaskan
alokasi dananya pada belanja rutin dan belanja pembangunan secara optimal.
Semakin tinggi presentase dana yang dialokasikan untuk belanja rutin berarti
presentase belanja investasi (belanja pembangunan) yang digunakan untuk
menyediakan sarana prasarana ekonomi masyarakat cenderung semakin kecil.
b) Debt Service Coverage Ratio (DSCR)
Dalam rangka melaksanakan pembangunan sarana dan prasarana di daerah,
selain menggunakan PAD, pemerintah daerah dapat menggunakan alternatif
sumber dana lain, yaitu dengan melakukan pinjaman, sepanjang prosedur dan
pelaksanaannya sesuai dengan peraturan yang berlaku (Halim 2007: 238). DSCR
merupakan perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagian Daerah
(BD) dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Kriteria Efisiensi Persentase Efisiensi (%)
Tidak Efisien >100
Kurang Efisien >90 – 100
Cukup Efisien >80 – 90
Efisien >60 – 80
Sangat Efisien ≤60
34
Bangunan (BPHTB), penerimaan Sumber Daya Alam dan Bagian Daerah lainnya
serta Dana Alokasi Umum setelah dikurangi Belanja Wajib, dengan penjumlahan
Angsuran Pokok, Bunga dan Pinjaman lainnya yang jatuh tempo.
4) Rasio Pertumbuhan
Rasio pertumbuhan (Growth Ratio) mengukur seberapa besar kemampuan
pemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan keberhasilannya
yang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya. Dengan diketahuinya
pertumbuhan untuk masing-masing komponen sumber pendapatan dan
pengeluaran, dapat digunakan mengevaluasi potensi-potensi mana yang perlu
mendapatkan perhatian (Halim 2007:241).
2.1.10 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini
yaitu penelitian Sumarjo (2010) yang hasilnya menyatakan bahwa karakteristik
pemerintah daerah yang diproksikan dengan ukuran (size) pemerintah daerah,
leverage, dan intergovermental revenue berpengaruh terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah, sedangkan kemakmuran (wealth) dan ukuran legislatif tidak
berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Penelitian yang
dilakukan oleh Kusumawardani (2012) menyatakan bahwa size dan ukuran
legislatif berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah sementara
kemakmuran dan leverage tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah
35
Penelitian Mustikarini (2012) menyatakan bahwa ukuran daerah, kekayaan
daerah dan tingkat ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat berpengaruh
positif terhadap skor kinerja Pemda, sedangkan variabel belanja daerah dan
temuan audit BPK berpengaruh negatif terhadap skor kinerja Pemda. Berbanding
terbalik dengan penelitian Nandhya (2013) yang hasilnya menyatakan bahwa
ukuran pemerintah daerah, tingkat kekayaan daerah, dan opini audit tidak
berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah di Pulau
Jawa, sedangkan tingkat ketergantungan pada pemerintah pusat dan jumlah
belanja daerah berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah, serta ukuran legislatif dan temuan audit berpengaruh negatif
signifikan terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah di Pulau Jawa. Untuk
mempermudah pembaca, maka akan disajikan ringkasan hasil penelitian terdahulu
pada Lampiran 1.
2.2 Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Ukuran Pemerintah Daerah terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Bali
Dalam konteks pemerintahan, besar kecilnya ukuran suatu pemerintahan
dapat dilihat dari total pendapatan yang diperoleh daerah dalam setahun. Semakin
banyak pendapatan yang diperoleh menggambarkan bahwa semakin produktif
kinerja pemerintah daerah. Size yang besar dalam pemerintah akan memberikan
kemudahan pelaksanaan kegiatan maupun program-program pemerintah dalam
memberi pelayanan masyarakat yang memadai. Dengan adanya size yang besar,
pemerintah mempunyai kewajiban untuk meningkatkan akuntabilitas karena size
36
yang besar akan diikuti dengan resiko penyalahgunaan yang besar. Hasil
penelitian Sumarjo (2010) dan Kusumawardani (2012) yang menyatakan bahwa
ukuran (size) pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan
pemerintah daerah. Semakin besar ukuran pemerintah semakin besar tuntutan
masyarakat dalam kinerja yang lebih baik. Sedangkan penelitian Nandhya (2013)
menyatakan bahwa ukuran pemerintah daerah tidak berpengaruh signifikan
terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah di Pulau Jawa.
Ditinjau dari organisasi swasta, Lin (2006) serta Wright et al. (2009)
menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap kinerja. Hal
ini menunjukkan bahwa perusahaan besar lebih menjanjikan kinerja yang baik
(Lin, 2006). Calisir et al. (2010) juga menemukan pengaruh positif ukuran
perusahaan terhadap kinerja perusahaan sektor teknologi informasi dan
komunikasi di Turki. Berbeda dengan Huang (2002) yang menemukan bahwa
tidak terdapat pengaruh ukuran perusahaan terhadap kinerja perusahaan Taiwan
yang berada di China. Demikian juga Talebria et al. (2010), tidak menemukan
pengaruh ukuran perusahaan terhadap kinerja perusahaan yang terdaftar di Tehran
Stock Exchange. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini
adalah:
H1 : Ukuran pemerintah daerah berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan
pemerintah kabupaten/kota se-Bali
37
2.2.2 Pengaruh Kemakmuran terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah
Kabupaten/Kota Se-Bali
Kemakmuran dari pemerintah daerah dapat dilihat dari PAD (Pendapatan
Asli Daerah). PAD merupakan satu-satunya sumber keuangan yang berasal dari
wilayah tersebut (Suhardjanto, et al., 2010). Apabila jumlah PAD meningkat,
berarti pemerintah daerah telah melakukan upaya yang optimal dalam menggali
sumber-sumber PAD yang ada di daerah sehingga kebutuhan daerah tersebut akan
terpenuhi. Pemerintah daerah tidak akan sepenuhnya bergantung pada dana
perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Hal ini tentu akan menunjang
sebuah daerah untuk memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk meningkatkan
kinerja keuangannya secara mandiri. Penelitian mengenai pengaruh PAD sebagai
proksi dari kemakmuran terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah diperkuat
dengan hasil penelitian Surepno (2013) yang menyatakan bahwa kemakmuran
berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah baik yang diukur
menggunakan rasio efisiensi maupun rasio efektivitas. Berbanding terbalik
dengan hasil penelitian Sumarjo (2010) yang menyatakan bahwa kemakmuran
(wealth) tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan pemerintah daerah. Dari
uraian di atas, maka hipotesis pada penelitian ini adalah:
H2 : Kemakmuran berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah
kabupaten/kota se-Bali.
38
2.2.3 Pengaruh Intergovernmental Revenue terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Bali
Adanya implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di
Indonesia mengakibatkan urusan wajib/kewenangan yang begitu luas diserahkan
ke daerah membawa konsekuensi terhadap pembiayaan. Apabila daerah
mengandalkan PAD untuk membiayai seluruh urusan wajib, masih sangatlah
kurang, untuk itu perlu adanya dana pusat yang diserahkan ke daerah dalam upaya
mengurangi ketimpangan baik vertikal maupun horizontal. Dana tersebut dalam
peraturan perundang-undangan dinamakan Dana Perimbangan. Dana perimbangan
tersebut bersama dengan PAD merupakan sumber dana daerah yang digunakan
untuk menyelenggarakan pemerintahan di tingkat daerah. Pemerintah pusat akan
memantau pelaksanaan dari pemberian dana perimbangan sehingga dapat memacu
pemerintah daerah agar meningkatkan kinerjanya. Hal itu didukung dengan
penelitian yang dilakukan Gideon (2013) bahwa intergovernmental revenue
berpengaruh signifikan terhadap kinerja keuangan daerah di Provinsi Kepulauan
Riau. Namun, ketergantungan yang dimiliki pemerintah daerah di Indonesia
terhadap dana perimbangan yang ditransfer dinilai masih sangat tinggi, dapat
menjadi salah satu permasalahan terkait otonomi dan desentralisasi keuangan
daerah (Antara Jatim, 2014). Hal itu juga dapat dibuktikan oleh penelitian Aziz
(2014) yang menyatakan bahwa dana perimbangan berpengaruh negatif dan
signifikan terhadap kinerja keuangan Pemerintah Kabupaten Bone Bolango.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat dikembangkan hipotesis:
H3 : Intergovernmental revenue berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan
pemerintah kabupaten/kota se-Bali.
39
2.2.4 Pengaruh Temuan Audit BPK terhadap Kinerja Keuangan
Pemerintah Kabupaten/Kota Se-Bali
Salah satu temuan audit BPK dari hasil pemeriksaan BPK terhadap LKPD
yaitu mengungkapkan kelemahan SPI. Sistem pemerintahan di Indonesia telah
bergeser dari sentralistik menjadi desentralistik. Pemerintah daerah di satu sisi
memiliki kewenangan yang lebih besar dalam mengelola daerahnya (termasuk
pengelolaan keuangan daerah), namun di sisi lain, luasnya kewenangan yang
dimiliki beserta besarnya dana yang dikelola dapat mengakibatkan resiko
terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan keuangan sehingga mengindikasikan
tingginya kelemahan SPI di dalam pemerintah daerah.
Peran SPI adalah untuk meningkatkan kinerja, transparansi, dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah daerah. Abdullah (dalam Anida,
2013) menyatakan bahwa upaya pemerintah daerah untuk memperoleh opini yang
baik melalui upaya menekan seminimal mungkin tingkat kelemahan SPI sebagai
bentuk manifestasi agency cost antara pemerintah dengan stakeholders. Penelitian
yang menghubungkan temuan audit dengan kinerja pemerintah daerah pernah
dilakukan oleh Mustikarini (2012) yang menyimpulkan bahwa semakin banyak
jumlah temuan audit BPK pada suatu pemerintah daerah maka semakin rendah
kinerja pemerintah daerah itu. Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat
dikembangkan hipotesis:
H4: Temuan audit berpengaruh negatif terhadap kinerja keuangan pemerintah
kabupaten/kota se-Bali.
40
2.2.5 Pengaruh Opini Audit BPK terhadap Kinerja Keuangan Pemerintah
Kabupaten/Kota Se-Bali
Opini merupakan pernyataan profesional sebagai kesimpulan pemeriksa
mengenai tingkat kewajaran informasi yang disajikan dalam laporan keuangan.
Opini BPK dapat menjadi tolok ukur (indikator) untuk menilai akuntabilitas
sebuah entitas pemerintah. Opini ini dapat menaikkan ataupun menurunkan
tingkat kepercayaan pemangku kepentingan atas pelaporan yang disajikan oleh
pihak yang diaudit, dalam hal ini entitas pemerintah daerah. Dengan kata lain,
semakin baik opini audit BPK maka seharusnya dapat menunjukkan semakin
membaiknya kinerja suatu pemerintah daerah. Penelitian Virgasari (2009)
menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara opini audit BPK terhadap
kinerja keuangan pemerintah daerah. Dari uraian tersebut, maka dapat
dikembangkan hipotesis:
H5: Opini audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan pemerintah
kabupaten/kota se-Bali.