bab ii kajian pustaka a. kerangka teoretis 1. perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/wal...

16
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan Sastra di Masyarakat Sastra dalam masyarakat bagaikan makhluk hidup, karena dapat hidup berkembang atau mati. Berbicara tentang perkembangan sastra tentunya tidak akan sama dengan perkembangan manusia. Sastra bisa berarti karya tulis atau karya yang berujud tulisan (KBBI1994:882). Menurut Teeuw (1988: 22-23) dalam Ratna (2013: 408) bahwa secara etimologis sastra berasal dari kata (sas+tra), bahasa Sansekerta,‟sas‟(mengarahkan, mengajar, member petunjuk), „tra‟(alat). Jadi, sastra alat untuk mengajar. Dalam bahasa-bahasa Barat (cf. Wellek dan Warren, 1962:20) dalam Ratna (2013: 408), literature dengan berbagai variannya pada umumnya didifinisikan sebagai segala sesuatu yang tertulis. Dalam perkembangan berikut sastra memiliki dua pengertian, pertama, hasil karya, sebagai karya seni, kedua, keseluruhan hasil karya, baik sebagai karya seni maupun ilmu yang meliputi sejarah dan kritik. Sebagai karya sastra, sebagai genre utama terdiri atas: puisi, prosa, dan drama. Medium utama (sistem model pertama) adalah bahasa, sastra merupakan system model kedua (Lotmann dalam Fokkema dan Kunne- Ibsch, 1977:42) dalam Ratna (2013: 408). Khazanah sastra dibedakan menjadi sastra lisan dan tulisan, lama dan modern, daerah dan nasional, Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Upload: doliem

Post on 02-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kerangka Teoretis

1. Perkembangan Sastra di Masyarakat

Sastra dalam masyarakat bagaikan makhluk hidup, karena dapat

hidup berkembang atau mati. Berbicara tentang perkembangan sastra

tentunya tidak akan sama dengan perkembangan manusia. Sastra bisa

berarti karya tulis atau karya yang berujud tulisan (KBBI1994:882).

Menurut Teeuw (1988: 22-23) dalam Ratna (2013: 408) bahwa secara

etimologis sastra berasal dari kata (sas+tra), bahasa

Sansekerta,‟sas‟(mengarahkan, mengajar, member petunjuk), „tra‟(alat).

Jadi, sastra alat untuk mengajar. Dalam bahasa-bahasa Barat (cf. Wellek

dan Warren, 1962:20) dalam Ratna (2013: 408), literature dengan berbagai

variannya pada umumnya didifinisikan sebagai segala sesuatu yang

tertulis. Dalam perkembangan berikut sastra memiliki dua pengertian,

pertama, hasil karya, sebagai karya seni, kedua, keseluruhan hasil karya,

baik sebagai karya seni maupun ilmu yang meliputi sejarah dan kritik.

Sebagai karya sastra, sebagai genre utama terdiri atas: puisi, prosa,

dan drama. Medium utama (sistem model pertama) adalah bahasa, sastra

merupakan system model kedua (Lotmann dalam Fokkema dan Kunne-

Ibsch, 1977:42) dalam Ratna (2013: 408). Khazanah sastra dibedakan

menjadi sastra lisan dan tulisan, lama dan modern, daerah dan nasional,

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

9

popular dan serius. Sebagai kajian dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: a)

teori, b) sejarah, dan c) kritik. Analisis pada umumnya meliputi aspek

intrinsik dan ekstrinsik (Wellek dan Warren, 1962) dalam Ratna (2013:

408). Fenomena tradisi lisan meliputi banyak genre aktivitas lisan, seperti

pertunjukan sastra lisan, pidato atau pertuturan adat, cerita lisan, mantera,

dan lagu-lagu permainan anak-anak. (Amir 2013: 142).

Perkembangan sastra Indonesia khususnya sejarah sastra Indonesia

dikenal adanya perkembangan dari masa ke masa atau biasa di kenal

dengan sebutan periodisasi sejarah sastra Indonesia. Periodesasi tersebut

meliputi: masa kelahiran atau masa penjadian (kurang lebih 1900-1945)

yang dapat dibagi lagi menjadi beberapa periode, yaitu: periode awal

hingga 1933, periode 1933-1942, periode 1942-1945. Masa berikutnya

adalah masa perkembangan (1945 hingga sekarang) yang lebih lanjut

dapat pula dibagi menjadi beberapa periode sebagai berikut: periode 1945-

1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

1991:11).

Dalam kelahirannya perkembangan karya sastra Indonesia atau

karya seni tulis di Indonesia diawali dengan adanya karya seni lisan atau di

kenal dengan cerita lisan. Cerita lisan ini ada yang berlatar fakta dan ada

juga yang fiktif, seperti kemunculan cerita babad dan dongeng. Seiring

adanya kemajuan peradaban ada upaya pembukuan atau upaya untuk

mentranslit dari bentuk lisan kedalam bentuk tulis. Upaya ini sejalan

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

10

dengan kemunculan karya sastra asli yaitu karya seni tulis dalam latar

fiktif.

2. Cerita Rakyat atau Folklor

Cerita rakyat atau di kenal dengan FOLKLOR menurut beberapa

ahli ada persamaannya seperti: Folklor (FOLKLOR) diturunkan dari

bahasa Inggeris dari akar kata folk (rakyat atau bangsa) dan lore (adat

istiadat). Jadi FOLKLOR meliputi semua tradisi rakyat, seperti:

kepercayaan, adat istiadat, peribahasa, dongeng, dan mitos. (Ratna

2012:143). Sementara itu penelusuran melalui bahasa Jerman oleh

Bouman (1992:29-30) dalam Ratna (2012:143) bahwa (volkskunde),

pertamakali digunakan oleh William John Thomas (1846). Secara luas

diartikan sebagai kebiasaan sehari-hari suatu komunitas, baik dalam

bentuk pikiran dan perasaan, interaksi sosial, maupun benda-benda keras.

Aktivitas pertama pertama (pikiran dan perasaan ) menghasilkan karya

sastra lisan, sedangkan aktivitas yang kedua (interaksi sosial dan benda-

benda keras) menghasilkan tradisi lisan. (Ratna 2012:143).

Brunvand (Hutomo, 1991: 8) dalam (Ratna 2012:143)

membedakan FOLKLOR menjadi tiga macam, yaitu: a) FOLKLOR lisan,

b) setengah lisan, dan c) FOLKLOR nonlisan. Ong (1982) dalam (Ratna

2012:143) menyebutkan seluruh aktivitas yang tak tertulis ini sebagai

kelisanan (orality) yang dipertentangkan dengan keberaksaraan (literacy).

Secara akademis sastra lisan merupakan wilayah kajian sastra dan

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

11

linguistic, tradisi lisan merupakan wilayah antropologi dan kajian budaya.

Sebagai disiplin yang baru antropologi sastra seolah-olah memberikan

perhatian yang seimbang terhadap sastra lisan dan tradisi lisan. (Ratna

2012:143).

Berbicara tentang Folklor tidak bisa lepas daricerita lisan. James

Dananjaya (dalam Amir, 2013: 162) menjelaskan sejarah istilah

kebudayaan dan foklor. Sementara itu Amier (2013 :163) folklor lisan

adalah Folklor yang hanya mewujud secara lisan dalam masyarakat

pemiliknya, seperti puisi rakyat, gelar tradisional, peribahasa. Folklor

sebagian lisan adalah Folklor yang wujudnya gabungan antara lisan

dengan tindakan.

Berdasarkan hal yang melatarbelakangi bahwa Folklor terbangun

oleh banyak komponen seperti: kepercayaan, adat istiadat, kebiasaan,

mitos, peribahasa, dongeng, tradisi fisik, pekerjaan, tradisi lisan,

bahasa,pekerjaan, adat dan lain-lain maka dapatlah ditarik simpulan bahwa

Folklor dapat dipandang dari dua sudut berbeda. Pertama Folklor

dipandang dari sisi makro dan Folklor dipandang dari sisi mikro. Folklor

ditinjau dari skala makro karena bersifat kompleks, seiring dengan adat,

pembiasaan. Folklor ditinjau dari skala mikro karena berorientasi pada satu

titik tumpu seperti cerita lisan.

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

12

3. Fungsi Cerita rakyat

Folklor atau cerita rakyat memiliki banyak fungsi diantaranya

adalah untuk penenangan jiwa. Seperti yang diungkap oleh (Endaswara

2008 : 202) bahwa folklor pada dasarnya adalah ekspresi jiwa manusia.

Apapun alasannya Folklor adalah karya kreatif. Baik berupa Folklor lisan,

setengah lisan, dan nonlisan adalah kreatifitas jiwa. Oleh sebab itu, sudah

sepantasnya analisisnya adalah kejiwaan. Demikian juga gagasan Freud

dalam karya (Eagleton , 2006:281) dalam Endaswara (2008 : 204) berjudul

buku The Psychopatholgy of Everiday Life, tampak bahwa psikoanalisis

memang cukup berperan. Psikoanalisis mampu mengungkap dinamika

kenikmatan dan ketidaksenangan hidup. Dua perasaan ini saling

bertaberakan dalam jiwa manusia. Keduanya saling berebut kemenangan,

hingga bisa meletus dalam ekspresi folklor.

Tak jauh berbeda dari dua pendapat diatas adalah pendapat atau teori

Kritis Mazhab Frankfurt (Toar, 2005:220-201) dalam Endaswara (2008 :

208) bahwa dalam diri manusia berupaya untuk mengintegrasikan konsep-

konsep kritis dari Freud mengenai gangguan psikis dan naluri ke dalam

kritik idiologi Marx. Sebagai seorang psikolog, Freud menangani pasien

yang mengalami gangguan kejiwaan.

Dilihat dari sisi pendukungnya folklor mempunyai beberapa fungsi.

Menurut Wiliam R. Borton melalui Danandjaja (1991 : 19) fungsi folklor

ada empat yaitu:

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

13

a. Sebagai sistem proyeksi, yaitu sebagai pencerminan angan-angan suatu

kolektif.

b. Alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.

c. Alat pendidik anak.

d. Alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat selalu

dipatuhi anggota kolektifnya.

Melihat dari fungsi Folklor sebagai alat legitimasi, keselamatan,

pendidikan, pengontrol norma kehidupan, berfungsi rekreatif. Termasuk

didalamnya ada cerita atau Folklor cerita pelipur lara. Maka ada

kecenderungan bahwa Folklor atau cerita lisan cenderung berdampak

psikologis seiring dengan amanat atau pesan-pesan moral yang ada

didalamnya.

4. Perkembangan Folklor di Indonesia

Studi mengenai folklor belum lama berkembang di Indonesia.

Banyak definisi mengenai folklor yang disampaikan oleh para ahli salah

satunya adalah yang disampaikan oleh James Danandjaja (1984:2) yang

menyatakan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan yang kolektif yang

tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja,

secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan

maupun contoh yang disertai dalam gerak isyarat atau alat pembantu

pengingat (mnemonic device).

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

14

Secara umum perkembangan penelitian Folklor di Indonesia tak

begitu maju seiring anggapan bahwa Folklor termasuk kajian yang unik

dan pelik. Meski demikian muncul juga ahli Folklor di Indonesia meski

hanya sedikit. Profesi peneliti Folklor di Indonesia sering berganti-ganti,

bolak-balik dan hamper tidak terarah. Selama ini hanya Folkloris

Danandjaya (1994:9-13) dan Hutomo (1993-48) dalam (Endaswara 2009:

57) telah memaparkan perjalanan folkloris Indonesia. Dananjaya berusaha

melukiskan kerja penelitian Folklor dari anekaragam disiplin. Adapun

Hutomo, lebih mengaitkan penelitian Folklor lebih historis. Kedua

folkloris ini, memang memiliki dedikasi terhadap Folklor yang amat

tinggi.

Seiring itu muncul generasi baru yang menulis teori penulisan

penelitian Folklor. Sepertihalnya Suwardi Endaswara melalui bukunya

„Metodologi Penelitian Folklor Konsep, Teori, dan Aplikasi tahun 2009’.

Menurut Endaswara ada tiga motifasi penelitian Folklor yaitu: (1) hendak

melestarikan atau mendokumentasikan, (2) menggali nilai-nilai Folklor

agar dimanfaatkan hasilnya sedikit demi sedikit, (3) menemukan identitas

bangsa lewat pluralitas folklor. (Endaswara 2009:17).

Selain para peneliti nasional pada awal perkembangannya sudah

ada penelitian Folklor Folklor di Indonesia, pada masa lampau. Seperti

pendapat Endaswara (2009:57) Mereka meneropong folklor dari disiplin-

disiplin filologi, musikologi, antropologi budaya, teologi, (para misionaris

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

15

Katolik roma Folklor upun Zending Protestan) , pegawai pamong praja

Kolonial Belanda, dan sebagainya. Nama-nama sarjana filologi antara lain

G.A.J. Hazeu, J.Kats,H Kern, R.M. Ng Poerbatjaraka, Tjan Tjoe Siem,

suami istri C. dan J.Hooykaas, dan Th.Pigeaud. Sarjana-sarjana yang lain:

Brandts Buys (Van Zijp) Colin Mc Phee, B.J.O Schrieke, Gregory

Bateson, James Peacock, P.J. Zoetmulder, Roelof Gooris, N. Adriani, I

Made Bandem, Walter Spies.

Sejak masa penjajahan Folklor di Indonesia sudah diteliti. Para

peneliti berlatar belakang beragam. Secara umum peneliti mengambil

sudut pandang dari disiplin ilmu masing-masing. Seiring dengan

perubahan zaman muncul pula ahli-ahli Folklor Indonesia. Secara umum

mereka adalah akademisi. Dalam hal ini muncul pula peneliti-peneliti

baru, atau peneliti muda atau para mahasiswa, seiring dengan studinya,

meraka melakukan penelitian ilmiah. Ujud penelitiannya adalah membuat

karya ilmiah dengan sudut Folklor Folklor. Jadi dapat ditarik simpulan

seiring dengan majunya peradaban Folklor atau cerita lisan lama, tetap

menarik untuk diteliti, dikaji, dipelajari. Untuk diambil nilai-nilai

manfaatnya.

5. Pembelajaran Sastra di Sekolah

Membaca merupakan salah aktifitas dalam bersastra. Karena salah

satu cara menikmati karya sastra adalah dengan membaca. Berbicara

tentang bahan bacaan tentunya tidak adil bila tidak melibatkan Folklor

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

16

Folklor. Melalui adanya materi membaca novel remaja karya terjemahan

pada pelajaran Bahasa Indoneia kelas VIII, Kurikulum 2006, satu sisi

menunjukkan minimnya perbendaharaan novel remaja nasional. Hal ini

menunjukkan betapa kering kemampuan generasi Indonesia untuk

memproduksi novel remaja.

Kekeringan ide atau terbatasnya penulis cerita di Indonesia tak

lepas dari mereka tidak begitu mengenal Folklor atau cerita lisan dimasa

kecilnya. Lewat perbendaharaan cerita yang dimiliki dapat menumbuhkan

kemampuan berimajinasi, kemampuan membaca, dan kemampuan

berkreatifitas bagi generasi muda. Terlebih mampu mengangkat relung

makna yang ada dalam Folklor. Seperti halnya pendapat Prof. Dr. Nyoman

Kutha Ratna, SU. Dalam bukunya Peranan Karya Sastra, Seni, dan

Budaya dalam Pendidikan Karakter (2014). Beliau berpendapat: Dominasi

usia ini jelas bahwa generasi muda memiliki tanggungjawab, baik dalam

mendidik dan mendewasakan diri maupun fungsi dan tugasnya terhadap

masyarakat. Mendewasakan diri, maturasi psikologis berarti berkewajiban

menuntut ilmu setinggi-tingginya, bukan semata-mata demi kepentingan

diri sendiri, keluarga, dan kelompok tertentu, bukan juga demi pangkat dan

jabatan, melainkan bagi kepentingan orang banyak, bangsa dan Negara

secara keseluruhan. (Ratna 2014 : 120).

Sehubungan dengan pemaparan di atas sambutan Wakil Presiden

Indonesia Budiono pada saat pembukaan rapat Revitalisasi Pramuka untuk

Membangun Karakterbangsa 16 Juni 2010. Menurut Yudoyono

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

17

(Kemendiknas RI, 2010:6) lima isu penting dalam pendidikan karakter ,

yaitu (1) hubungan pendidik dengan watak karakter , (2) hubungan

pendidikan dengan kesiapan seseorang pasca pendidikan, (3) hubungan

pendidikan dengan lapangan pekerjaan, (4) bagaimana membangun

masyarakat berpengetahuan, dan (5) bagaimana membangun budaya

inovasi. (Ratna 2014 : 127).

Dari permasalahan diatas adanya tuntutan untuk berkreatifitas dan

berinovasi. Melalui karya sastra, seni dan budaya, yang terkaji dari dalam

FOLKLOR. Diharapkan muncullah sebuah karya baru. Karya baru sebagai

ujud inovasi dapat berupa penjabaran dari nilai-nilai luhur budaya bangsa

yang berakar dari FOLKLOR. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya

pemunculan kembali dongeng klasik, memunculkan cerita-cerita lisan

yang belum ditulis atau dibukukan. Melalui pemunculan barang lama,

tetapi baru akan mampu membawa pengaruh, perubahan dalam memotifasi

masyarakat dalam berkarya

Jadi untuk menjawab pelemahan pengajaran sastra di sekolah perlu

dibangun kepercayaan baru bagi generasi baru agar mau mendengar atau

menyimak, membaca atau mengapresiasi, dan dalam finalnya, mampu

memproduksi karya tulis. Generasi baru perlu contoh agar mereka tahu.

Misal dimunculkan prosa dari akar cerita Folklor. Dapat pula dimunculkan

puisi yang berasal dari geguritan. Dapat pula dimunculkan drama yang

mengangkat dari cerita kethoprak atau ludruk. Mensikapi permasalahan

ini perlu pendewasaan diri bagi komponen terkait dari khasanah bangsa ini

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

18

untuk memfasilitasi ,memberikan kesempatan, memberikan contoh pada

generasi baru. Agar kita tidak kehilangan jati diri sebagai pemilik bangsa.

a. Tinjauan Unsur Agama Dunia

Agama pada dasarnya merupakan pedoman hidup bagi orang

yang meyakininya. Meskipun demikian keyakinan seseorang tidak bisa

dipaksakan untuk orang lain. Agama memiliki banyak unsur termasuk

didalamnya adalah maknanya. Agama dapat di artikan sebagai bentuk

pelarangan atau anjuran yang sebaiknya ditaati. Masyarakat awam ada

yang meyakini adanya bentuk mistik. atau hal yang berkebalikan. Hal

ini bisa terjadi tergantung bagaimana masyarakat sendiri yang menilai.

Agama merupakan sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa

dsb) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian

dengan kepercayaan itu (Ali, 1994:10).

Penelitian ini melibatkan unsur agama sebagai salah satu

kajiannya. Agama dapat berarti tatanan hidup. Perlu diketahui agama

yang ada dalam kajian penelitian ini adalah agama dunia. Sementara

agama dunia tidak sama dengan agama langit. Pemahaman agama

dunia disini dapat diyakini sebagai kesepakatan bersama yang

mengantarkan keselarasan dalam harmonisasi kehidupan. Sedangkan

Agama langit dapat diambil pengertian adalah agama pembawa aturan

yang berasal dari zat yang Maha Esa Allah SWT. melalui perantara

malaikat dan nabi atau rosulnya.

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

19

Unsur agama bumi meliputi keyakinan, akhlak, perjuangan,

dan ibadah. Disamping itu unsur ini tak lepas dari mistik. Legenda

Nyi Bagelen berkembang di Tanah Jawa. Legenda ini mengandung

unsur mistik. Sementara diyakini “Mistik Kejawen” sebagai agama

bagi sebagian orang Jawa. Ada yang meyakini secara puritan bahwa

mistik kejawen adalah milik manusia Jawa yang telah ada sebelum ada

pengaruh lain. (Endaswara, 2014: 73)

b. Tinjauan Unsur Pendidikan

Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang atau kelompok orang dalam mendewasakan manusia melalui

upaya pengajaran dan pelatihan. (Ali, 1994:232) Ada juga yang

memberi pengertian bahwa pendidikan adalah pengajaran yang

dilakukan di sekolah. Dapat juga dimaknai bahwa pendidikan adalah

semua pengalaman belajar yang dialami dalam semua lingkungan

sepanjang hidupnya. Setelah hakikat pendidikan dapat dipahami perlu

juga dikenalkan hahekat pendidikan berbasis tertentu.

Hakikat pendidikan berbasis moral dapat dipahami sebagai

bentuk, tindakan yang dilakukan secara sadar dengan tujuan

memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya)

insani menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan Kamil). (Takdir,

2012 :25) Dalam hal ini tak dapat dipisahkan antara pendidilk

jasmaniah dan rohaniah. Hal senada dapat diungkap bahwa pendidikan

moral adalah suatu peristiwa antar pribadi. Pertemuan antar pribadi

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

20

hanya berjalan baik kalau “sama-sama bebas” dan saling menghormati.

Komunikasi hanya dapat berlangsung baik apabila kedua subjek-objek

komunikasi itu berdiri pada posisi yang sama. Bila posisinya tidak

seimbang, maka kadar kebenaran dan kebermaknaan yang

dikomunikasikannya serta kepekatan komunikasi pribadi menjadi

ternodai. ( Darmadi 2009: 11) Demikian juga pendapat ( Zuriah 2015:

19) dikatakan bahwa pendidikan nilai-nilai adalah Pengembangan

pribadi siswa tentang pola keyakinan yang terdapat dalam sistem

keyakinan suatu masyarakat tentang hal yang baik harus dilakukan dan

hal yang buruk harus ditinggalkan.

Kajian mengenai cerita Nyi Bagelen tak akan lepas dari sosok

pelaku utamanya. Dia adalah seorang wanita. Nyi Bagelen sebagai

peran utama tak lepas dari dominasi kekuasaan. Bagaimana sebenarnya

pendidikan untuk perempuan. Keterdidikan perempuan sebagai

pendukung peran sebagai Ibu. Hal ini dapat diungkap. Disamping

berperan sebagai ibu rumah tangga dan istri, perempuan yang telah

menikah dan memiliki anak akan berperan sebagai ibu dengan tugas

merawat dan mendidik anak-anaknya. ( Wiyatmi 2013:127 )

Dari beberapa pandangan tentang pendidikan, dapatlah ditarik

sebuah jawaban. Bahwa pendidikan pada dasarnya adalah sebuah

pembiasaan yang terstruktur, didalamnya ada muatan-muatan positif

yang mengarah pada bentuk produktifitas yang terencana dan terukur.

Hal yang terukur dan terencana merupakan bentuk aktifitas yang

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

21

melibatkan, logika dan emosi yang saling melengkapi, tanpa ada

dominasi sepihak.

c. Tinjauan Unsur Sosial

Sosial dapat dimaknai sebagai bentuk, berkenaan dengan

masyarakat, perlu adanya komunikasi atau suka memperhatikan

kepentingan umum ,suka menolong, menderma. ( Ali 1994: 958)

Pendidikaan senantiasa mempunyai dua sasaran, yaitu pengajaran dan

pelatihan perilaku yang baik. Konsepsi mengenai perilaku yang baik

bervariasi sesuai dengan lembaga politik dan tradisi sosial dari

komunitas. (Russell 1993: 39) Sosial dapat dimaknai sebagai hal yang

berkaitan dengan orang banyak tanpa adanya tendensi mencari

keuntungan material semata.

Berdasarkan tiga unsur yaitu agama, pendidikan, dan sosial

yang ada pada kajian folklore Nyi Bagelen tak ubahnya sebagai tiga

satuan yang menjadi satu. Mengapa ini bisa terjadi? Pertama yang

harus dingat adalah masalah sosial, Masalah ini pasti berkaitan dengan

orang banyak. Sedangkan setiap orang punya kepentingan sendiri-

sendiri, yang perlu diselaraskan dengan kepentingan orang lain. Dalam

hal ini diupayakan agar tidak terjadi konflik kepentingan. Konflik

kepentingan bisa terjadi apabila permasalahan sosial saling tumpang

tindih, maka dalam hal ini diperlukanlah norma atau aturan hidup,

dalam hal ini sebut sajalah agama. Agama merupakan lem perekat

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

22

hubungan dengan sesamanya. Koridor disini mengacu agama sebagai

agama bumi yang mengatur harmonisasi di bumi.

Agar situasi sosial kondusif maka peranan agama mutlak

dibutuhkan. Agar Masyarakat mengenal, tahu, dan mengamalkan maka

perlulah wadah untuk mensosialisasikan. Wadah tersebut adalah

pendidikan atau bisa dijabarkan dalam bentuk lebih luas dalam praktik

dilapangan berupa pengenalan, pembiasaan, dan pengamalan.

B. Asumsi Dasar

Cerita rakyat atau Folklor adalah cerita yang muncul di tengah

masyarakat secara turun temurun yang biasanya diceritakan karena

mengandung pesan atau nilai-nilai. Melalui pembelajaran sastra di sekolah

peserta didik akan mendapatkan masukan, sebagai pembanding dari realita

yang terdapat dalam masyarakat. Misalnya melalui prosa atau cerpen dapat

ditampilkan latar yang menggambarkan kehidupan masyarakat kita yang

santun dan bersahaja. Apabila dalam realita peserta didik melihat “Ternyata

masyarakat kita kurang santun.” Maka logika peserta didik ditantang untuk

menjawab, mana pilihan yang ter baik untuk dirinya.

Folklor yang dikemas dan ditampilkan ulang dihadapan peserta didik

adalah sebuah konsep atau tawaran yang menggiring masyarakat dewasa agar

peduli dan ada rasa tanggunggjawab lebih dalam upaya bersama untuk

meningkatkan harkat martabat bangsa. Apabila tidak ada pembelajaran sastra

di sekolah yang mengambil dari besik kepribadian diri, maka tak dapat

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kerangka Teoretis 1. Perkembangan ...repository.ump.ac.id/4889/3/WAL SOEGIJANTO BAB II.pdf · 1953, periode 1953-1961, periode 1961- sampai sekarang. (Rosidi

23

dibayangkan bagaimana jati diri bangsa ini sebenarnya. Karena masyarakat

akan mudah diombang-ambingkan dengan situasi dan mudah dimanfaatkan

oleh pihak-pihak tertentu yang berpola pikir sepihak.

Untuk itu perlu ada kepedulian yang serius, bagaimana mengangkat

akar budaya sendiri, agar kita punya kepribadian, punya pijakan yang jelas,

dan tahu akan melangkah kemana selanjutnya. Melalui Folklor yang

ditampilkan dalam kemasan khusus generasi baru akan merasa tertantang,

tidak merasa bosan atau jenuh. Apabila ini bisa terjadi dinamika pendidikan

akan marak, penuh geliat dan torehan yang dalam. Untuk mengukir peradaban

baru yang berakar dari kepribadian yang sebenarnya.

Apabila pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah benar-

benar mengakar, dan terakar dari akar budaya sendiri. Maka akan tercipta

fondamen yang begitu kokoh, yaitu kepribadian. Kepribadian yang berruhkan

pada sari pati bangsa, maka kehidupan yang ada akan terasa marak dan penuh

dinamika, semangat patriotisme, semangat kebersamaan. Semua dilandasi

pada satu tujuan yaitu peningkatan harkat dan martabat bangsa.

Mengingat penilitian ini merupakan tawaran sebuah konsep, maka

langkah apakah yang paling tepat untuk mencapai tujuan yang sebenarnya dari

keberadaan bangsa ini. Tak lain dan tak bukan, kita harus berani menoleh

kebelakang atas kebodohan dan kealpaan dimasa lalu. Kita rapatkan barisan

untuk Nusantara Indonesia yang satu.

Nilai Agama, Pendidikan..., Wal Soegijanto, Pascasarjana UMP, 2017