bab ii kajian pustaka a. kemampuan penalarandigilib.uinsby.ac.id/1628/5/bab 2.pdf · mencakup...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kemampuan Penalaran
Terbentuknya kemampuan penalaran siswa merupakan salah satu
tujuan dari beberapa tujuan pembelajaran matematika. Dari kemampuan
penalaran yang ada dalam diri siswa, dapat diketahui sejauh mana siswa telah
memahami, menyelesaikan masalah, harga menghargai manfaat matematika
dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Priatna, melalui kegiatan bernalar dalam
matematika siswa diharapkan dapat melihat bahwa matematika merupakan kajian
yang masuk akal atau logis.17
Dengan demikian siswa merasa yakin bahwa
matematika dapat dipahami, dipikirkan, dibuktikan, dan dapat dievaluasi.
Menurut Widdiharto, kemampuan penalaran siswa tercermin melalui
kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, dan memiliki sifat objektif, jujur,
disiplin dalam memecahkan suatu permasalahan, baik dalam bidang matematika,
bidang pelajaran lain, maupun dalam kehidupan sehari-hari. Istilah penalaran
17
Priatna N, Kemampuan Penalaran dan Pemahaman Matematika Siswa Kelas 3 SMP Negeri di Kota
Bandung, (Bandung:Disertasi UPI,2003), h.9.t.d
12
13
sebagai terjemah dari istilah reasoning dapat didefinisikan juga sebagai proses
pencapaian kesimpulan logis berdasarkan fakta dan sumber yang relevan.18
Penalaran adalah kemampuan berpikir.19
Penalaran menurut
Depdiknas adalah “cara (perihal) menggunakan nalar, pemikiran atau cara
berpikir logis, proses mental dalam menggembangkan pikiran dari beberapa fakta
dan prinsip”.20
Menurut Santrock, penalaran adalah pemikiran logis yang
menggunakan logika induksi dan deduksi untuk menghasilkan kesimpulan.21
Wade & Carol mendefinisikan penalaran adalah suatu aktivitas mental yang
melibatkan penggunaan berbagai informasi yang bertujuan untuk mencapai suatu
kesimpulan.22
Keraf berpendapat bahwa penalaran merupakan proses berfikir yang
berusaha menghubungkan fakta-fakta yang telah diketahui menuju kepada suatu
kesimpulan atau merupakan suatu kegiatan, suatu proses atau suatu aktivitas
berfikir untuk menarik kesimpulan atau membuat pernyataan baru yang besar
berdasar pada beberapa pernyataan yang kebenarannya telah dibuktikan atau
diasumsikan sebelumnya.23
Dengan demikian jelaslah bahwa penalaran
merupakan kegiatan, proses atau aktivitas berpikir untuk menarik kesimpulan
18
Sumarmo U, Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika Siswa SMA Dikaitkan dengan
Kemampuan Logika Siswa dan Beberapa Unsur Proses Belajar Mengajar, (Bandung:Disertasi PPS
UPI,1987), h 31.t.d 19
http://www.vanz-garuda.co.cc/2010/02/penalaran.html diakses tanggal 29 Mei 2013 20
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, (Jakarta:PT Gramedia Pustaka
Utama, 2008), h.950 21
John W. Santrock, Psikologi Pendidikan, (Jakarta:Kencana Prenada Media Group,2010),h.357 22
Carole Wade & Carol Ravris, Psikologi Edisi Kesembilan Jilid 2, (Jakarta:Erlangga,2007),h.10 23
Gorys Keraf, Ekposisi Lanjutan II, (Jakarta: Grasindo,1999), h.16
14
atau membuat suatu pernyataan baru berdasar pada beberapa pernyataan yang
diketahui atau dianggap benar yang menjadi dasar penarikan suatu kesimpulan
inilah yang disebut antesedens atau premis. Sedang hasilnya suatu pernyataan
baru yang merupakan kesimpulan disebut konsekuens atau konklusi. Dengan
kata lain penalaran merupakan proses berpikir sistematis dan logis dalam
menyelesaikan masalah untuk menarik kesimpulan.
B. Penalaran Adaptif
Menurut Suharnan, dalam upaya untuk meningkatkan kemampuan
penalaran matematika siswa, ada dua hal yang sangat berkaitan dengan penalaran
yaitu secara induktif dan deduktif, sehingga dikenal istilah penalaran induktif dan
penalaran deduktif.24
Penalaran induktif adalah proses berfikir yang berusaha
menghubungkan fakta-fakta atau kejadian-kejadian khusus yang sudah diketahui
menuju kepada suatu kesimpulan yang bersifat umum. Sedangkan penalaran
deduktif adalah proses berfikir untuk menarik kesimpulan tentang hal khusus dari
fakta-fakta atau kejadian-kejadian umum atau hal yang sebelumnya telah
dibuktikan (diasumsikan) kebenarannya.
Pada tahun 2001, National Research Council (NRC) memperkenalkan
satu penalaran yang penelitiannya mencakup kemampuan induksi dan deduksi,
dan kemudian diperkenalkan dengan istilah penalaran adaptif. Menurut
Kilpatrick dan Findel, kemampuan penalaran merupakan kemampuan yang tidak
24
Suharnan, Psikologi Kognitif, (Surabaya: Srikandi,2005)
15
hanya meliputi kemampuan penarikan kesimpulan secara logis saja, akan tetapi
meliputi kemampuan siswa untuk memperkirakan jawaban, memberikan
penjelasan mengenai konsep yang diberikan, dan membuktikan secara
matematis. Kemampuan yang mencakup hal ini disebut penalaran adaptif.25
Donovan & Bransford mengatakan bahwa penalaran adaptif merupakan kapasitas
untuk berpikir logis, refleksi, penjelasan dan pembenaran.26
Berdasarkan hasil penelitian Killpatrick, Swafford & Findell terdapat
lima kompetensi matematis yang perlu dikembangkan dalam pembelajaran
matematika di sekolah, yaitu: conceptual understanding, procedural fluency,
strategic competence, adaptive reasoning, dan productive disposition.27
a. Conceptual Understanding (Pemahaman Konsep)
Conceptual understanding adalah kemampuan dalam memahami konsep,
operasi dan relasi dalam matematika. Beberapa indikator yang tercakup
dalam kecakapan antara lain siswa mampu: menerangkan secara verbal
mengenai apa yang dipahaminya, mampu menyajikan situasi matematika ke
dalam berbagai cara serta mampu mengetahui perbedaanya, mampu melihat
hubungan antar konsep dan prosedur dan mampu menjelaskannya, mampu
memberikan contoh dan contoh kontra dari konsep yang dipelajari, dan
mengembangkan, suatu konsep yang dipahaminya.
25
Killpatrick. et. al,Adding It Up: Helping Children Learn Mathematics, (National Academies
Press:Mathematics Learning Study Committee Edition, 2001), h.170 26
Suzanne Donovan, How Students Learn: History, Mathematics, and Science in the Classroom,
http://id.wikipedia.org/wiki/adaptive-reasoning diakses tanggal 28 Mei 2013 27
Killpatrick. et. al, Loc.Cit.
16
b. Procedural Fluency (Kemahiran Prosedural)
Procedural fluency merupakan kemampuan yang mencakup pengetahuan
mengenai prosedural, pengetahuan mengenai kapan dan bagaimana
menggunakan prosedur yang sesuai, serta kemampuan dalam membangun
fleksibilitas, akurasi, serta efisiensi dalam menyajikan suatu masalah.
Indikator yang tercakup dalam kecakapan ini antara lain siswa mampu
menggunakan prosedur serta memanfaatkan prosedur yang sesuai, dan
mampu mengembangkan prosedur.
c. Strategic Competence (Kompetensi Strategis)
Strategic competence merupakan kemampuan untuk memformulasikan,
mempresentasikan, serta menyelesaikan permasalahan matematis. Indikator
yang tercakup dalam kecakapan ini antara lain siswa mampu: memahami
situasi serta kondisi dari suatu permasalahan, memilih informasi yang
relevan dan mengabaikan informasi yang tidak relevan, menyajikan masalah
secara matematik dalam berbagai bentuk, memilih pendekatan atau metode
yang tepat untuk memecahkan masalah, dan menggunakan atau
mengembangkan strategi pemecahan masalah, serta menafsirkan jawaban.
d. Adaptive Reasoning (Penalaran Adaptif)
Adaptive reasoning merupakan kapasitas untuk berpikir secara logis,
merefleksikan atau memperkirakan jawaban, eksplanatif atau memberikan
penjelasan mengenai konsep dan prosedur jawaban yang digunakan, dan
jastifikatif atau menilai kebenarannya secara matematika. Indikator yang
17
tercakup dalam kecakapan ini antara lain siswa mampu: mengajukan dugaan
atau konjektur, memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan,
menarik kesimpulan dari suatu pernyataan, memeriksa kesahihan suatu
argumen, menemukan pola dari sesuatu masalah matematis.
e. Productive Disposition (Sikap Produktif)
Productive disposition merupakan tumbuhnya sikap positif serta kebiasaan
untuk melihat matematika sebagai sesuatu yang masuk akal, berguna, dan
berfaedah dalam kehidupan. Indikator yang tercakup dalam kecakapan ini
antara lain siswa mampu: menunjukkan rasa antusias dalam belajar
matematika, menunjukkan perhatian penuh dalam belajar, menunjukkan
kegigihan dalam menghadapi permasalahan, menunjukkan rasa percaya diri
dalam belajar dan menyelesaikan masalah, bersikap luwes dan terbuka,
menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi, dan mau berbagi dengan orang
lain.
Dari uraian di atas, penalaran adaptif merupakan salah satu kompetensi
yang sangat penting untuk dikembangkan. Karena penalaran adaptif dapat
menunjukkan kapasitas untuk berpikir logis tentang hubungan di antara konsep
dan aplikasi.28
Suatu konsep tidaklah cukup dimiliki oleh peserta didik hanya
melalui rangkaian cerita, melainkan harus mampu dirumuskannya dengan
pemikiran yang logis, sistematis, serta kritis. Kemudian memperkuat mentalnya
melalui suatu representasi hingga mampu mengaplikasikannya pada situasi yang
28
Ibid
18
tepat serta yakin terhadap proses yang dilaluinya dan pengetahuan yang
diperolehnya karena telah terbukti kebenarannya.29
Penalaran adaptif dalam
bentuknya lebih luas dari penalaran deduktif dan induktif karena tidak hanya
mencakup pertimbangan dan penjelasan informal tetapi juga penalaran induktif
dan intuitif berdasar kepada contoh serta pola yang dimilikinya.
Dalam matematika, penalaran adaptif berperan sebagai perekat yang
menyatukan segenap komponen bersama-sama sekaligus menjadi pedoman
dalam mengarahkan belajar. Salah satu kegunaannya untuk melihat melalui
berbagai macam fakta, prosedur, konsep dan metode pemecahan serta untuk
melihat bahwa segala sesuatunya tepat dan masuk akal. Di dalam matematika,
penalaran adaptif merupakan suatu pengalaman belajar yang dapat digunakan
pada situasi yang berbeda.30
Salah satu kelebihan dari penalaran adaptif adalah kemampuan untuk
menilai pekerjaan seseorang. Pengertian menilai di sini maksudnya “menyedikan
untuk dinalar”. Penilaian ini disertai dengan alasan-alasan yang logis.
Pembuktian merupakan bentuk penilaian, namun tidak semua penilaian dapat
29
Rosyidatul Choiriyah, Pengaruh Kemampuan Penalaran Adaptif Terhadap Kemampuan
Memecahkan Masalah Matematika Peserta Didik Kelas VIII SMP NU 1 Gresik, (Gresik:Skripsi
Universitas Muhammadiyah Gresik,2012), h.15.t.d 30
Abdul Rahim, Pengaruh Metode Accelerated Learning terhadap Kemampuan Penalaran Adaptif
Siswa SMP dalam Belajar Matematika, (Bandung:Skripsi UPI,2008), h.19.t.d
19
berupa pembuktian. Pembuktian baik formal maupun non formal merupakan
bentuk alasan logis dari suatu penilaian.31
Menurut Sudarti, kemampuan penalaran adaptif tampak pada siswa
ketika ia mampu memeriksa pekerjaan, baik pekerjaan dirinya maupun pekerjaan
orang lain dan mampu menjelaskan ide-ide untuk membuat penalaran menjadi
jelas sehingga dapat mengarah ke kemampuan penalaran mereka dan mampu
membangun pemahaman konsep mereka.32
Pemeriksaan suatu prosedur tidak hanya cukup satu kali, karena
pengembangan kompetensi matematika terjadi dalam periode yang cukup lama.
Siswa perlu menggunakan konsep baru dari prosedur baru agar mereka mengerti.
Sebagai contoh, tidaklah cukup bagi siswa dengan hanya mengerjakan latihan
pemecahan masalah dalam operasi penjumlahan setelah membangun
prosedurnya. Jika siswa berusaha memahami suatu algoritma, maka mereka juga
membutuhkan pengalaman dalam penjelasan dan pemeriksaan sendiri dengan
berbagai jenis masalah.33
31
Budiarto, Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Metode Penemuan Terbimbing untuk
Meningkatkan Kemampuan Penalaran Adaptif Siswa SMA :Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas
X SMA Negeri 9 Bandung, (Bandung:Skripsi UPI,2008), h.12.t.d 32
Sudarti, Op.Cit., h 3.t.d 33
Penerapan Pembelajaran dengan Pemberian Tugas Menggunakan Model Superitem pada Metode
Diskusi terhadap Peningkatan Kemampuan penalaran Adaptif Matematis Siswa SMA,(Bandung:
Skripsi UPI s_mat_0605673_chapter1), h.5.t.d
20
Killpatrick dan Findell mengemukakan bahwa siswa dapat
menunjukkan kemampuan penalaran adaptif ketika menemui tiga kondisi,
yaitu:34
1. Mempunyai pengetahuan dasar yang cukup. Dalam hal ini siswa mempunyai
pengetahuan prasyarat yang cukup sebelum memasuki pengetahuan baru.
2. Tugas yang dimengerti atau dipahami dan dapat memotivasi siswa.
3. Konteks yang disajikan telah dikenal dan menyenangkan bagi siswa.
Berdasarkan uraian di atas, yang dimaksud penalaran adaptif dalam
penelitian ini merupakan kemampuan yang tidak hanya meliputi kemampuan
penarikan kesimpulan secara logis saja, akan tetapi meliputi kemampuan siswa
untuk memperkirakan jawaban, memberikan penjelasan mengenai konsep yang
diberikan, dan membuktikan secara matematis. Yang memuat lima indikator
penalaran adaptif, yaitu:
1. Siswa mampu mengajukan dugaan atau konjektur.
2. Siswa mampu memberikan alasan mengenai jawaban yang diberikan.
3. Siswa mampu menarik kesimpulan dari suatu pernyataan.
4. Siswa mampu memeriksa kesahihan suatu argumen.
5. Siswa mampu menemukan pola dari sesuatu masalah matematis.
34
Skripsi UPI s_pmtk_053756_chapter2, h.15.t.d
21
C. Pemecahan Masalah
Suatu pertanyaan dikatakan masalah jika pertanyaan tersebut
mendorong seseorang untuk menyelesaikan pertanyaan itu, akan tetapi tidak tahu
secara langsung apa yang akan dikerjakan untuk menyelesaikannya. Dengan kata
lain, jika sebuah pertanyaan diberikan kepada seorang siswa, namun pertanyaan
itu dapat langsung dengan mudah dijawab oleh siswa tersebut maka pertanyaan
itu bukanlah masalah. Oleh karena itu dibutuhkan proses berpikir dalam
memecahkan masalah dan menghasilkan sesuatu yang baru adalah kegiatan yang
kompleks dan berhubungan erat satu dengan yang lain. Suatu masalah umumnya
memerlukan pemecahan yang baru bagi orang-orang atau kelompok. Sebaliknya,
menghasilkan sesuatu (benda-benda, gagasan-gagasan) yang baru bagi seseorang,
menciptakan sesuatu, itu mencakup pemecahan masalah.
Berinderjeet & Yeap Ban Har berpendapat bahwa pemecahan masalah
adalah suatu proses kompleks yang memerlukan koordinasi pribadi akan
pengalaman terdahulu, pengetahuan, pemahaman dan intuisi dalam urutan yang
memenuhi persyaratan dari situasi tersebut. Henderson dan Pingry
mengungkapkan bahwa pemecahan masalah harus mempunyai sebuah tujuan,
tantangan untuk mencapai tujuan tersebut, dan penerimaan tujuan tersebut oleh
setiap individu.35
35
Lee Peng Yee, Teaching Secondary School Mathematics. (Singapore:McGraw-Hill Education,2008),
dalam Maria Theresia Nike K, Penalaran Deduktif dan atau Induktif Siswa SMA dalam Pemecahan
Masalah Trigonometri Ditinjau dari Tingkat IQ,(Surabaya:Tesis Unesa,2012),h.21-22.t.d
22
Pemecahan masalah (problem solving) didefinisikan sebagai berikut:
1. “Problem solving is a set of event in which human being was rudes to
archieve science goals”
Dalam definisi menurut Gagne, dijelaskan bahwa pemecahan masalah adalah
serangkaian peristiwa yang dialami manusia dalam berusaha keras untuk
mencari solusi/pemecahan demi mencapai tujuan hidup.36
2. “Problem solving may be defined as a process of raising a problem in the
minds of the students in such a way as to stimulate purposeful reflective
thinking in arriving at a rational solution”
Risk mengungkapkan bahwa pemecahan masalah dapat didefinisikan sebagai
suatu proses menanamkan masalah dalam benak siswa sehingga memacu
siswa untuk berpikir reflektif dalam mencapai suatu solusi yang rasional.37
Dalam definisi menurut Risk mengacu pada pengembangan kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa (higher order thinking). Karena melakukan
pemberian masalah kepada siswa sehingga siswa memiliki pemikiran yang
reflektif untuk mendapat pemecahan masalah yang rasional.
3. “Problem solving involves concept formation and discovery learning”
Pada definisi menurut Ausubel dijelaskan bahwa pemecahan masalah
melibatkan pembentukan konsep dan pembelajaran penemuan.38
Sama halnya
dengan pendapat Risk, pendapat Ausubel juga mengacu pada kemampuan
36
Papola C,Teaching of Mathematic,(New Delhi:Anmol Publication,2005), h.232 37
Ibid 38
Ibid
23
berpikir tingkat tinggi siswa karena mengarah kepada pembentukan konsep
dan melalui pembelajaran penemuan. Menurut para ahli pembelajaran
penemuan merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan
berpikir tingkat tinggi siswa, salah satunya adalah kreativitas siswa.
Menurut Polya, dalam pemecahan masalah terdapat 4 tahap dalam
penyelesaiannya, yaitu:
1. Memahami masalah
Tanpa adanya pemahaman masalah yang diberikan, siswa tidak mungkin
menyelesaikan masalah tersebut dengan benar.
2. Merencanakan penyelesaian
Setelah memahami masalah, siswa diarahkan guru untuk membuat rencana
pemecahan masalah.
3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana
Setelah siswa membuat rencana pemecahan masalah, siswa kemudian
menjalankan rencana guna menemukan solusi.
4. Melakukan pengecekan kembali terhadap semua langkah yang telah
dikerjakan.
Setelah menjalankan sesuai dengan rencana, siswa kemudian memeriksa
setiap langkah dengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah tahapan
seseorang dalam upaya menemukan penyelesaian suatu pertanyaan. Dalam
24
penelitian ini, pertanyaan yang dimaksud merupakan soal cerita dalam bidang
matematika khususnya masalah geometri materi bangun ruang.
D. Soal Cerita Matematika
Masalah-masalah yang berhubungan dengan matematika sering
dijumpai pada situasi sehari-hari. Permasalahan matematika yang berkaitan
dengan kehidupan nyata biasanya dituangkan melalui soal-soal yang berbentuk
cerita. Penyajian matematika dalam bentuk cerita merupakan salah satu fungsi
matematika sebagai aktivitas manusia, karena dalam soal cerita terdapat
pengalaman-pengalaman siswa yang berkaitan dengan konsep matematika.39
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia soal berarti masalah atau hal
yang harus dipecahkan. Artinya sejumlah tugas yang harus dikerjakan oleh
siswa, yang harus diuji yang dianggap mencerminkan hasil belajar siswa
tersebut.40
Syamsuddin mendefinisikan soal cerita adalah soal matematika yang
disajikan dalam bentuk verbal atau rangkaian kata-kata dan berkaitan dengan
keadaan yang dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari.41
Menurut Tambunan,
soal cerita matematika adalah soal matematika yang disajikan dalam bahasa
39
Hardi Tambunan, Loc.Cit. 40
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka,2005),h.1080 41
Syamsuddin, Kesulitan Siswa Kelas V SD menggunakan Langkah-langkah Penyelesaian Soal
Cerita,(Surabaya: Tesis Unesa,2001),h.25.t.d
25
sehari-hari dan mempunyai makna yang dapat diartikan ke dalam pengertian
matematika.42
Untuk menyelesaikan soal cerita diperlukan kemampuan membuat
model matematika atau kalimat matematika. Kalimat matematika dapat diartikan
sebagai suatu kalimat yang diformulasikan dengan menggunakan istilah-istilah
serta simbol-simbol dalam matematika. Soedjadi mengungkapkan bahwa untuk
menyelesaikan soal matematika ditempuh melalui langkah-langkah sebagai
berikut:43
1. Membaca soal dengan cermat untuk menangkap makna dari tiap kalimat
2. Memisahkan dan mengungkapkan apa yang diketahui dalam soal, apa yang
diminta atau ditanyakan dalam soal, operasi pengerjaan apa yang diperlukan
3. Membuat model matematika dari soal
4. Menyelesaikan model menurut aturan-aturan matematika, sehingga
mendapatkan jawaban dari model tersebut
Dengan demikian, dalam menyelesaikan soal cerita memerlukan daya
nalar yang tinggi sehingga membutuhkan suatu prosedur atau langkah-langkah
yang harus ditempuh untuk memperoleh suatu penyelesaian. Melalui soal cerita
kita dapat melatih siswa berpikir analisis, melatih kemampuan memahami
masalah serta kemampuan mengambil rencana untuk mencari solusi dari
permasalahan tersebut. Di samping itu, soal cerita juga memberikan latihan
42
Hardi Tambunan, Op.Cit, h.3.t.d 43
Kharisma Eka Maulana, Proses Berpikir Siswa dalam Menyelesaikan Soal Cerita di SMU kelas X,
(Surabaya: Skripsi Unesa,2008),h.38.t.d
26
siswa dalam menerjemahkan cerita-cerita tentang situasi kehidupan nyata ke
dalam bahasa matematika.
Soal cerita matematika dalam penelitian ini merupakan soal-soal
matematika yang dinyatakan dalam kalimat-kalimat bentuk cerita yang diambil
dari pengalaman sehari-hari yang perlu diterjemahkan menjadi kalimat
matematika atau dengan konsep-konsep matematika.
E. Geometri Bangun Ruang
Materi yang terakhir semester genap dalam Standar Kompetensi
Matematika SMP Kelas VIII KTSP adalah geometri bangun ruang sisi datar yang
meliputi kubus, balok, limas dan prisma tegak. Dalam penelitian ini materi yang
digunakan hanya kubus dan balok.
a. Definisi kubus dan balok
Kubus adalah bangun ruang yang dibatasi oleh enam bidang
berbentuk persegi dengan semua sisinya sama panjang atau kongruen,
sedangkan balok adalah bangun ruang yang dibatasi oleh enam bidang
dengan dua pasang sisi yang berhadapan sama panjang atau kongruen.
Kubus dan balok masing-masing mempunyai 6 sisi, 12 rusuk dan 8 titik
sudut. Selain itu kubus dan balok memiliki 12 diagonal bidang, 4
diagonal ruang, dan 6 bidang diagonal.44
44
Umi Salamah, Berlogika Dengan Matematika 2 untuk Kelas VIII SMP/MTs KTSP, (Solo:Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri, 2008), h.157
27
b. Jaring-jaring kubus dan balok
Jaring-jaring kubus adalah sebuah bangun datar yang jika dilipat
menurut ruas-ruas garis pada dua persegi yang berdekatan akan
membentuk bangun kubus.
Jaring-jaring balok adalah sebuah bangun datar yang jika dilipat
menurut ruas-ruas garis pada dua segiempat yang berdekatan akan
membentuk bangun balok.
c. Rumus luas kubus dan balok
Rumus luas kubus adalah
Rumus luas balok adalah
d. Rumus volume kubus dan balok
Rumus volume kubus
Rumus volume balok
28
Keterangan:
= luas kubus = luas balok
= volume kubus = volume balok
= sisi = panjang
= lebar = tinggi
F. Peran Gender dalam Pembelajaran Matematika
Women Studies Ensiklopedia menjelaskan bahwa gender adalah suatu
konsep kultural, berupaya membuat perbedaan (distinction) dalam hal peran,
perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan
yang berkembang dalam masyarakat. Manusia dilahirkan dalam berbagai bentuk
fisik, berbeda warna kulit, jenis kelamin, bakat, kemampuan motorik dan
sensorik, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dinilai sulit untuk diubah walaupun
untuk beberapa hal dan tingkat tertentu dapat dilakukan.
Beberapa penelitian yang menyangkut perbedaan kemampuan laki-laki
dan perempuan telah banyak dilakukan, berbagai macam sudut pandang telah
dipaparkan untuk menjelaskannya. Perbedaan gender dalam sudut pandang dunia
pendidikan khususnya matematika juga telah diteliti, berikut ini adalah beberapa
penelitian yang menyangkut perbedaan kemampuan laki-laki dan perempuan.
Gender adalah suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan secara sosial yang tampak apabila
29
dilihat dari nilai dan tingkah laku.45
Krutetskii menjelaskan perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dalam belajar matematika sebagai berikut:
1. Laki-laki lebih unggul dalam penalaran, perempuan lebih unggul dalam
ketepatan, ketelitian, kecermatan, dan keseksamaan berpikir.
2. Laki-laki memiliki kemampuan matematika dan mekanika yang lebih baik
daripada perempuan, perbedaan ini tidak nyata pada tingkat sekolah dasar
akan tetapi menjadi tampak lebih jelas pada tingkat yang lebih tinggi.46
Sementara Maccoby & Jacklyn mengatakan laki-laki dan perempuan
mempunyai perbedaan kemampuan antara lain sebagai berikut:47
1. Perempuan mempunyai kemampuan verbal lebih tinggi daripada laki-laki.
2. Laki-laki lebih unggul dalam kemampuan visual spatial (penglihatan
keruangan) daripada perempuan.
3. Laki-laki lebih unggul dalam kemampuan matematika.
Menurut Susento, perbedaan gender bukan hanya berakibat pada
perbedaan kemampuan dalam matematika, tetapi cara memperoleh pengetahuan
matematika juga terkait dengan perbedaan gender.48
Keitel menyatakan
“Gender, social, and cultural dimensions are very powerfully interacting in
conceptualizationof mathematics education…”. Brandon menyatakan bahwa
45
J. Dwi Narwoko, Bagong Suyanto, Sosiologi, (Jakarta:PRENADA MEDIA GROUP), h.336 46
Mujiono, Profil Penalaran Siswa dalam Pemecahan Masalah Matematika Ditinjau dari Perbedaan
Gaya Kognitif Field Dependent-Field Independent dan Perbedaan Gender, (Surabaya:Tesis
UNESA,2011), h.25-26.t.d 47
Sukayasa, Loc.Cit. 48
Susento, Mekanisme Interaksi Antara Pengalaman Kultural-Matematis, Proses Kognitif, dan
Topangan dalam Reinvensi Terbimbing, (Surabaya: Disertasi UNESA,2006), h.318.t.d
30
perbedaan gender berpengaruh dalam pembelajaran matematika terjadi selama
usia sekolah dasar.49
Zhixia menyatakan bahwa tidak ada peran gender, laki-laki atau
perempuan saling mengungguli dalam matematika bahkan perempuan bisa lebih
unggul dalam bidang yang berkatan dengan matematika.50
Menurut American
Psychological Association in Science Daily dikemukakan“Girls around the
world are not worse at math than boys, even though are more confident in their
math abilities, and girls from countries where gender equity is more prevalent
are more likely to perform better on mathematics assessment test, according to a
new analysis of international research”. Dalam harian tersebut dikatakan bahwa
berdasarkan analisis terbaru dari penelitian internasional kemampuan perempuan
di seluruh dunia dalam matematika tidak lebih buruk daripada kemampuan laki-
laki meskipun laki-laki memiliki kepercayaan diri yang lebih dari perempuan
dalam matematika, dan perempuan-perempuan dari negara dimana kesamaan
gender telah diakui menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam tes
matematika.51
49
Sukayasa, Loc.Cit. 50
Zhixia Y, Gender Differences in Mathematics Learning, School Science in Mathematics. 110 (3):
115-117
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=gender%20differences%20in%20mathematics%20learni
ng%20vnweb&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCUQFjAA&url=http%3A%2F%2Fwww.purdu
e.edu%2Fdiscoverypark%2Fadvance%2Fassets%2Fpdfs%2Fdocuments%2Fresearch%2Fresearchnot
e-02.pdf&ei=iDHBUfqDJcOTrgf93YG4BA&usg=AFQjCNFfQLYxItPhJ7bwFeWnL_Fl-
W3G1Q&bvm=bv.47883778,d.bmk diakses tanggal 10 mei 2013 51
Lestari NDF, Profil Pemecahan Masalah Matematika Open-Ended Siswa kelas V Sekolah Dasar
Ditinjau dari Perbedaan Gender dan Kemampuan Matematika. (Surabaya: Tesis UNESA,2010),
h.152.t.d
31
Hasil-hasil penelitian yang diuraikan di atas menunjukkan adanya
keberagaman hasil penelitian mengenai peran gender dalam pembelajaran
matematika. Beberapa hasil menunjukkan adanya faktor gender dalam
pembelajaran matematika, namun pada sisi lain beberapa penelitian
mengungkapkan bahwa gender tidak berpengaruh signifikan dalam pembelajaran
matematika. Oleh karena itu peneliti juga tertarik untuk mengungkap bagaimana
peran gender terhadap penalaran adaptif siswa dalam pemecahan masalah
matematika materi bangun ruang.