bab ii kajian pustaka a. keanekaragaman hayati …eprints.uny.ac.id/51038/3/3 bab ii.pdf13 salah...
TRANSCRIPT
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Keanekaragaman Hayati dan Norma Masyarakat Adat
1. Pengelolaan Lingkungan Hidup dari Norma Masyarakat Adat
Masyarakat adat menganggap dirinya sebagai bagian dari alam. Masyarakat
berkembang bersama seluruh komponen yang ada di dalamnya, baik secara
individual maupun kelompok. Masyarakat adat tidak menjalani hidup yang
hanya mementingkan hubungan dengan sesama (manusia). Penting bagi
mereka untuk melakukan interaksi dengan ekosistem di sekitarnya. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa cara hidup masyarakat adat sangat berkaitan
dengan kondisi alam disekitarnya (Keraf. 2010: 364-365). Masyarakat adat
memandang alam, sumber daya, dan karakteristik ekosistem merupakan
komponen yang menentukan totalitas kegiatannya. Dengan kata lain, kegiatan
masyarakat adat berkaitan dengan pengelolaan alam di sekitarnya (Suryadarma,
2009: 46). Pada dasarnya pengelolaan dilakukan untuk memberikan
pengawasan pada semua hal yang terlibat dalam pelaksanaan kebijaksanaan dan
pencapaian tujuan. Begitu pula, pada aspek pengelolaan lingkungan yang
berkelanjutan.
Menurut Mitchell (2010:253), aspek-aspek kunci pembangunan
berkelanjutan meliputi pemberdayaan masyarakat lokal (masyarakat adat),
swasembada dan keadilan sosial. Salah satu usaha untuk mencapai hal
12
tersebut adalah berpindah dari bentuk pengelolaan lingkungan dan
sumberdaya, yang didominasi oleh ahli professional dari sektor pemerintah
dan swasta, menuju pendekatan yang mengkombinasikan pengalaman,
pengetahuan, dan pemahaman berbagai kelompok masyarakat tradisional.
2. Nilai Religius Masyarakat Adat dan Keanekaragaman Hayati
Kesamaan pemahaman merupakan hal yang paling mendasar dari seluruh
masyarakat adat di dunia dipandang dari sudut etika lingkungan. Masyarakat
tradisional memandang alam dan interaksi antara dirinya dengan alam dari
sudut pandang religius dan spiritual. Interaksi antar keduanya diwarnai oleh
kesadaran spiritual yang merupakan kesadaran paling tinggi. Spiritual
mewarnai seluruh interaksi antara manusia dengan seluruh komponen yang ada
di alam termasuk interaksi antara manusia dengan sesamanya, manusia dengan
alam, dan manusia dengan yang gaib. Dengan demikian, pandangan inilah yang
menjadikan agama sebagai sebuah cara hidup yang meuntun manusia untuk
mencapai tujuan yang selaras dengan alam. Dengan kata lain yang spiritual
menyatu dengan yang material (Keraf. 2010: 362-363).
Menurut (Mitchell, 2010: 298), pengetahuan masyarakat lokal yang
terakumulasi sepanjang sejarah hidupnya mempunyai peran sangat besar.
Pandangan bahwa manusia merupakan bagian dari alam dan sistem
kepercayaan yang menekankan penghormatan terhadap lingkungan alam
merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan berkelanjutan.
13
Salah satu bentuk praktik kearifan lokal masyarakat adat Jawa ialah
menganggap beringin sebagai pohon keramat dan angker. Pandangan tersebut
memberikan stigma bahwa sesuatu yang keramat tidak dapat diperlakukan
sembarangan. Jika, stigma tersebut dilanggar, maka pelakunya kana mendapat
sanksi baik dari alam. Dengan demikian, konservasi terhadap keutuhan beringin
tetap lestari. Hal tersebut merupakan bentuk aksi konservasi yang bersumber
dari masyarakat lokal. Pohon beringin memiliki akar yang dalam dan biasanya
di bawahnya terdapat sumber air. Berdasarkan hal tersebut, aksi masyarakat
adat membantu melestarikan konservasi pohon beringin dan sumber air
(Suhartini, 2009: 211-212).
Menurut Zuhud (2007: 5), suatu spesies tumbuhan yang berinteraksi dengan
manusia dalam jangka waktu yang sangat lama, diyakini konservasi dan
bioekologinya banyak terkait dengan sikap dan perilaku manusia. Hal ini
mengindikasikan bahwa sikap dan perilaku manusia menyesuaikan dengan
kebutuhan hidup spesies tumbuhan tersebut. Dengan pengertian lain, bahwa
keberlangsungan suatu spesies tumbuhan tergantung pada sinyal sebagai
informasi yang ditangkap oleh manusia. Sinyal tersebut dapat berupa infromasi
kelangkaan yang berhubungan dengan regenerasi spesies tumbuhan tersebut,
sehingga dapat menjadi stimulus maupun pendorong terhadap sikap masyarakat
maupun pengelola untuk aksi konservasi.
Beyond Belief, melaporkan potensi ajaran agama dapat mendorong dan
berkontribusi sebagai salah satu sarana dalam melindungi kawasan konservasi.
14
Tempat-tempat suci yaitu tempat atau situs-situs dan lingkungan yang telah
dibentuk dan hadir secara alami maupun semi alami dapat secara langsung
berkontribusi pada upaya-upaya konservasi global. Ajaran agama memberikan
pengaruh melalui filsafat, aksi dan pengaruh dan dampak dimana para
pengikutnya memandang tentang perlindungan alam (Mangunjaya. 2007: 31).
B. Pohon Beringin dalam Budaya Jawa
Menurut Sunjata et al, (1995), menyatakan bahwa masyarakat Jawa
mengenal Ficus benjamina dengan sebutan beringin atau waringin. Pemaknaan
terhadap pohon beringin ini diantaranya sebagai komponen simbol dalam lambang
negara Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yaitu Garuda Pancasila dan
simbol partai politik. Penggunaan simbol pohon Beringin ini tidak serta merta
muncul saat kemerdekaan Negara Indonesia. Namun, sudah ada sejak masa
kerajaan Mataram yang terus berlangsung hingga saat ini. Dalam budaya Jawa,
beringin merupakan simbol pohon kehidupan yaitu pohon yang mampu
memberikan hayat atau kehidupan kepada manusia yang fungsinya dapat
memberikan pengayoman dan perlindungan serta mempertebal semangat dan
keyakinan masyarakat. Bentuknya yang besar dan rimbun menimbulkan rasa gentar
dan hormat serta berkesan menakutkan. Oleh karenanya banyak masyarakat yang
beranggapan bahwa pohon beringin mempunyai kekuatan istimewa. Beringin
sering di tanam di halaman pusat pemerintahan maupun di pusat keramaian (alun-
alun, pasar, pertigaan/perempatan jalan, dan di tempat lainnya). Hal ini tidak lepas
dari makna yang terdapat di serat Salokapatra yang menyatakan bahwa pohon
15
beringin ditanam di lingkungan pusat pemerintahan/keraton sebagai perwujudan
lambang perlindungan, pengayoman pemimpin (raja) kepada rakyatnya serta
melambangkan bersatunya raja dan rakyatnya (Baskara dan Wicaksana: 2013. 22).
Gambar 1. Pohon Beringin Ditanam Sejak Zaman Kerajaan Mataram di Halaman
Masjid Besar Kota Gede (Sumber: Dokumentasi Pribadi).
C. Keistimewaan Arsitektur Tata Ruang Kota Yogyakarta
Kota Yogyakarta memiliki filosofi dan histori penataan ruang yang erat
kaitannya dengan aspek lingkungan. Sejak masa kepemimpinan Sri Sultan
Hamengku Buwono I, pembentukan struktur ruang kota sudah direncanakan
melalui keselarasan lingkungan yang didasari oleh nilai-nilai budaya yang kuat.
Konsep pembentukan struktur ruang Kota Yogyakarta divisualisasikan melalui
formasi linier yang meliputi garis imajiner Gunung Merapi, Kraton, Laut Selatan.
Sumbu imajiner tersebut selaras dengan konsep Tri Hita Karana dan Tri Angga
(Parahyangan-Pawongan-Palemahan atau Hulu-Tengah-Hilir serta nilai Utama-
16
Madya-Nistha) melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia
dengan Tuhannya, manusia dengan manusia, manusia dengan alam yang termasuk
lima komponen pembentukannya, yakni api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah
(bantala) dari bumi Ngayogyakarta, dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin
(maruta) dan angkasa (eiter) (Kurniawan & Sadali. 2015: 162)
Gambar 2. Visualisasi Garis Imaginer Tata Ruang Yogyakarta
Keraton Yogyakarta adalah kompleks kedudukan Sultan Hamengku Buwana
selaku pemimpin Kasultanan Yogyakarta sejak Sultan I hingga X yang sekarang
bertahta. Keraton ini menyumbang tiga peran penting. Pertama, sebagai tempat
17
kediaman raja dan keluarga terdekatnya yang melayani kegiatan keseharian.
Kedua, sebagai tempat upacara yang terkait dengan raja dan kerajaan yang
menampilkan keagungan dan kewibawaan. Ketiga, sebagai ungkapan filosofis
yang mewujudkna gagasan-gagasan luhur tentang diri manusia dan semesta yang
disimbolkan dalam ruang, bangunan, tanaman, dan tindakan (Dinas Kebudayaan
DIY. 2009: 2).
D. Tumbuhan dalam Mereduksi Polutan di Udara Perkotaan
Daun tanaman dapat mengintersepsi, merefleksi, mengabsorbsi, dan
mentransmisikan sinar matahari. Efektivitasnya tergantung pada karakteristik
spesies tumbuhan, misalnya bertajuk tebal dan rapat atau tipis dan renggang,
berkulit batang kasar atau halus, dan memiliki aksesoris lainnya seperti akar nafas.
Setiap spesies tumbuhan mempunyai bentuk karakteristik, warna, tekstur, dan
ukuran. Tumbuhan dapat digunakan sebagai pembentuk ruang, pembatas,
pengatap, pelantai, dan dapat memberikan efek ruang luas menjadi sempit serta
memberikan suasana yang tentram dan nyaman. Habitus tumbuhan dapat
dimanfaatkan untuk menciptakan latar yang unik dalam pembentukan ruang.
Pepohonan dapat memberikan kesan ruang tiga dimensi, menutupi pemandangan
yang kurang indah (Irwan. 2005: 51).
18
Gambar 3. Tanaman sebagai Pembentuk Ruang dan Pengarah Jalan di Jalan
Tamansiswa (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Jenis tanaman yang berbeda sebagai komponen tanaman hutan kota
merupakan faktor yang berpengaruh dalam kemampuan mereduksi kandungan
logam berat. Jarak tanam dari tanaman ke sumber pencemar akan mempengaruhi
jumlah logam berat yang terjerap oleh tanaman. Bentuk dan struktur daun serta
umur tanaman yang ditunjukkan dari tinggi dan keliling batang juga berpengaruh
dalam mereduksi kandungan logam berat. Semakin tinggi dan besar ukurannya
dalam membentuk tajuk pohon maka reduksi logam berat akan semakin tinggi dan
kandungan unsur pencemar logam berat di udara ambien akan berkurang
(Fahruddin. 2014: 147).
Menurut Zulkifli (2014: 55-56), prinsip pencemaran udara adalah apabila
di dalam udara terdapat unsur-unsur pencemar baik primer maupun sekunder yang
melebihi ambang batas normal. Sumber pencemar tersebut dapat berasal dari
aktivitas manusia dan sebagian kecil dari aktivitas alam yang dapat mempengaruhi
19
keseimbangan komponen udara normal. Selain itu, juga mengakibatkan gangguan
terhadap komponen biotik dalam ekosistem.
Di Indonesia terjadi peningkatan jumlah kendaraan bermotor setiap
tahunnya. Semakin meningkatnya jumlah kendaraan dan pemakaian bahan bakar
minyak, maka emisi yang diintroduksikan ke atmosfer juga semakin meningkat
jumlahnya. Kegiatan tersebut mengakibatkan adanya unsur-unsur gas, baik itu
karbon dioksida (CO2), karbon monooksida (CO), maupun logam berat plumbum
(Pb) yang dilepaskan ke udara (Eka, dan Husin, 2006: 4). Selanjutnya Wright
(2008: 546) menyatakan bahwa Pb merupakan polusi udara golongan primer
karena berasal langsung dari pembakaran.
Aktivitas transportasi kendaraan bermotor merupakan sumber utama
pencemaran udara di daerah perkotaan. Diperkirakan pada tahun 2020 setengah
dari jumlah penduduk Indonesia akan menghadapi permasalahan pencemaran
udara perkotaan, yang didominasi oleh emisi dari kendaraan bermotor
(Kusminingrum, dan Gunawan, 2008: 3).
Manusia selalu membuang kembali ke lingkungan segala sesuatu yang
sudah tidak dipergunakannya lagi. Misalnya, pembuangan logam berat timbal sisa
pembakaran bahan bakar minyak melalui knalpot kendaraan bermotor. Salah satu
dampak ditimbulkan adalah adanya penurunan kualitas udara terutama di daerah
perkotaan yang padat lalu lintas dan industri. Selain itu, pembuangan ini dapat
berakibat buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia. (Akhadi. 2009: 116).
20
1. Timbal (Pb)
Timbal (Pb) merupakan unsur kimia jenis logam berat yang lunak berwarna
kebiru-biruan atau kelabu keperakan. Luasnya penggunaan Pb dalam aktivitas
industri menyebabkan unsur ini dapat ditemukan pada berbagai tempat di
lingkungan sekitar. Salah satu penggunaan unsur Pb adalah untuk
meningkatkan nilai oktan bahan bakar minyak. Bensin yang kaya akan
kandungan Pb dengan nilai oktannya 98 memungkinkan kendaraan unutk
berlari kencang (Akhadi. 2009:117).
Logam berat Pb dijumpai dalam sisa pembakaran bahan bakar minyak
sebagai pengikat untuk meningkatkan nilai oktan. Sampai saat ini BBM yang
beredar di Indonesia sebagian besar mengandung Pb dalam bentuk TEL (Tetra
Ethyl Lead). Hal ini menyebabkan semakin tingginya pencemaran udara,
khususnya di perkotaan yang padat lalu lintas (Eka, dan Husin, 2006: 4).
Tabel 1. Perkiraan Persentase Komponen Pencemar Sumber Pencemar
Transportasi di Indonesia
Komponen pencemar Persentase
CO 70,50 %
NOX 8,89 %
SOX 0.88 %
HC 18,34 %
Partikel 1,33 %
Total 100
Sumber: Zulkifli (2014:61).
Timbal (Pb) yang terpapar ke dalam tubuh manusia akan menganggu
sirkulasi peredaran darah, sistem saraf, ginjal dan sistem reproduksi. Pengaruh
Pb dapat menyebabkan anemia. Efek Pb yang terpapar pada ibu hamil dapat
21
menghambat pertumbuhan janin, sedangkan pada anak-anak dapat menurunkan
tingkat kecerdasan (IQ) (Zulkifli. 2014: 61).
2. Mekanisme Tanaman dalam Mereduksi Logam Berat
Polusi logam berat di dalam organisme memberikan efek yang berbahaya bagi
sistem kehidupan. Logam berat yang bersifat toksik diantaranya ialah timbal
(Pb), kobalt (Co), dan kadmium (Cd). Hal ini dikarenakan logam berat tersebut
dapat terakumulasi di dalam organisme tetapi tidak dapat didegradasi. Hal
tersebut memberikan keuntungan bagi lingkungan. Namun, tidak bagi tanaman
itu sendiri. Tanaman mereduksi logam berat melalui beberapa cara yang disebut
fitoremidiasi. Fitoremidiasi meliputi mekanisme fitoekstraksi, fitostabilisasi,
rhizofiltrasi, dan fitovolatilisasi. Dengan demikian, tanaman dapat mereduksi
logam berat dari udara, tanah, dan air melalui akar, batang, dan daunnya.
(Tangahu, dkk. 2011: 5).
E. Keunikan Tumbuhan Beringin sebagai Mitigasi Kerusakan Lingkungan
Akar selalu mencari zat hara untuk menyokong pertumbuahan tanaman. Akar
tanaman secara alami menyerap berbagai mineral dari tanah dan air di sekitarnya.
Beberapa akar dapat menyerap dan mencerna bahan berbahaya. Sampai saat ini
tanaman terus beradaptasi dengan lingkungannya, sehingga munculah suatu
mekanisme toleransi, agar tanaman mampu bertahan hidup (survive) pada
lingkungan yang kurang sesuai. Secara kontinyu tanaman melawan pencemaran
organik dan hasil metabolik yang bersifat toksik melalui mekanisme untuk
22
beradaptasi, sehingga tanaman mampu tetap tumbuh kondisi lingkungan kurang
sesuai (Fahruddin. 2014: 145).
Tajuk pohon beringin yang rapat mampu menangkap air dan akar pohon ini
dapat menyerap dan menyimpan air dalam jumlah banyak dari sekitar tempat
tumbuhnya, sehingga pohon ini sering dijumpai di lokasi mata air. Pohon beringin
mudah tumbuh pada lahan kritis (sebagai pohon pionir). Beringin mampu tumbuh
di tanah yang tandus, gersang, berbatu, bercadas, dan lereng berbatu yang terjal.
Perakarannya yang dalam dan memiliki akar pengikat yang banyak dan menyerabut
sehingga tidak mudah tumbang. Selain itu pohon beringin ini dapat ditanam sebagai
pohon pionir untuk rehabilitasi lahan kritis (Mukhlisa. 2015: 21).
Gambar 4. Beringin Tumbuh di Media Beton di Jembatan Lempuyangan Kota
Yogyakarta (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Baskara dan Wicaksana (2013: 23), melaporkan bahwa beringin oleh
masyarakat Jawa dipercayai sebagai tanaman suci dan memiliki daya magis yang
tinggi. Beringin memiliki nilai ekologis dan hidrologis yang tinggi. Beringin
dijumpai pada berbagai sumber mata air yang berada di kawasan karst bagian
23
selatan Jawa Timur seperti Kabupaten Gunung Kidul, Kabupaten Pacitan,
Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar dan Kabupaten
Malang. Kemampuan ini tak lepas dari arsitektur pohon beringin yang memiliki
bentuk tajuk yang tebal dan rapat, sekaligus menunjukkan sistem perakaran yang
dalam dan menyebar dan mencengkeram tanah dengan baik. Akar pohon beringin
dapat menyebar dan mencengkeram dengan kedalaman tanah hingga di area sungai
bawah tanah yang banyak tersedia di kawasan karst. Beringin dimaknai sebagai
pohon suci dan pohon kehidupan yang diimplementasikan dalam bentuk simbol
pada lambang NKRI maupun partai politik. Dalam budaya Jawa, pohon beringin
tidak lepas dari kehidupan masyarakat kerajaan khususnya Yogyakarta dan
masyarakat Jawa yang lainnya. Beringin ditanam di tempat-tempat strategis seperti
di alun-alun, halaman perkantoran, taman-taman, pasar, halaman pusat pendidikan,
hutan kota, di pertigaan jalan, dan di jalur hijau seperti di tepi jalan raya.
Penanaman di lokasi strategis ini selain sebagai filosofis simbol hubungan
pemerintah dan rakyatnya, juga didasarkan pada alasan fungsional beringin sebagai
tanaman penghijau jalan di Kota Yogyakarta. Bentuk tajuk yang lebar dan rapat
serta memiliki sifat evergreen mampu memberikan efek yang menentramkan.
Dalam hal ini, pohon beringin memberikan efek suhu yang sesuai dengan kata lain
nyaman untuk beraktivitas di sekitarnya.
24
F. Tinjauan Umum tentang Beringin
1. Taksonomi Beringin
Menurut Heyne (1987) dalam Desyanti (2012: 11), klasifikasi
tumbuhan beringin adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Urticales
Famili : Moraceae
Genus : Ficus.
Pohon beringin tergolong ke dalam suku Moraceae. Ficus merupakan
marga terbesar dalam suku Moraceae yang banyak dijumpai Indonesia.
Gambar 5. Pohon Ficus di Sumber Air Ngedaren I, Ponjong, Gunung Kidul
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
25
Terdapat sekitar 1000 jenis suku Moraceae dan sebagiannya adalah Ficus.
Pohon ini dapat tumbuh di tanah dan di pohon lainnya sebagai hemi-epifit
(Ulum,2010).
2. Persebaran dan Habitat Beringin
Marga Ficus merupakan jenis yang hidup pada tempat dengan intensitas
cahaya yang mencukupi, sehingga jarang tumbuh pada tegakan hutan yang
rapat. Beringin terbagi menjadi tiga cara hidup yaitu epifit, hemi-epifit, dan
pohon. Epifit biasanya hidup menumpang pada batang pohon lain dan pada
akhirnya membunuh pohon inangya. Hemi-epifit pada awalnya hidup
menumpang, tetapi kemudian akarnya dapat mencapai tanah dan akhirnya
dapat hidup sendiri, sedangkan jenis beringin yang termasuk pohon dapat hidup
langsung di tanah tanpa perantara pohon inang (Astika, 2003).
Menurut Harrison (2005), marga Ficus mempunyai sistem penyerbukan
yang berbeda dengan pohon-pohon lainnya. Penyerbuk bunga Ficus disebut
tawon Ficus (figwasp) dari suku Agaoninae, Agaonidae, dan Chalcidoidea.
Tawon masuk ke dalam sikonium muda untuk melakukan polinasi dan
meletakkan telur pada beberapa ovul. Saat telur mulai menetas dan beranjak
dewasa, buah Ficus terutama yang berumah satu (satu buah terdapat fungsi
bunga jantan dan betina) kemudian akan terjadi penyerbukan di dalam buah.
Sekitar satu bulan setelah telur diletakkan, tawon akan menetas dan tawon
jantan akan mati setelah kawin, sedangkan tawon betina keluar dan menyebar
membawa serbuk sari dari buah Ficus asal. Tawon betina harus menemukan
26
sikonium muda yang reseptif dari spesies yang sesuai selama rentang hidupnya
(2 sampai 3 hari) untuk bereproduksi. Seiring dengan hal tersebut, serbuk sari
bunga Ficus yang terbawa oleh tawon betina akan membantu penyerbukan pada
sikonium yang beruntung untuk pembentukan biji (Baskara dan Wicaksono
(2013:24).
Di seluruh dunia terdapat sekitar 1200 spesies satwa pemakan buah beringin
yang berbuah sepanjang tahun yang penting bagi satwa liar ketika buah-buahan
lainnya yang tidak tersedia. Keberadaan beringin pada kawasan hutan dapat
dijadikan sebagai indikator proses terjadinya suksesi hutan karena peran dari
satwa liar yang memakan bijinya, kemudian memicu terjadinya komunitas
lanjutan. Beringin juga sebagai sumber pakan dan suaka bagi beberapa jenis
burung, serangga, reptilia, dan mamalia. Akar gantung pohon beringin
merupakan tempat bermain untuk beberapa jenis primata (Ulum, 2009; Baskara
dan Wicaksana, 2013: 24).
3. Botani Beringin
Van Stenis, et. al (1975) dalam (Suwarno, 2006: 4) menyatakan bahwa
marga Ficus termasuk ke dalam suku Moraceae. Anggota famili Moraceae
dapat berupa pohon, tanaman memanjat atau perdu, dan biasanya bergetah.
Daun duduknya berlainan dan tunggal. Marga Ficus mempunyai satu daun
penumpu pada setiap daun, ujung daunnya menggulung. Daun penumpu yang
rontok akan meninggalkan bekas (scar) yang jelas. Susunan bunganya memiliki
berbagai tipe yakni bulir rapat atau sikonium. Sikonium berbentuk bola atau
27
“buah peer” dan memiliki lubang (ostiol) di bagian ujungnya. Bunga
berkelamin dua, berumah satu dan atau dua. Bunga jantan memiliki daun tenda
bunga 4 dan stamen berjumlah 4, kepala sari beruang dua. Bunga betina
memiliki daun tenda bunga 4, bebas dan atau melekat, tidak rontok dan
membesar setelah mekar. Bakal buah menumpang dan atau tenggelam, beruang
1, bakal biji berjumlah 1, tangkai putik berjumlah 1 sampai 2. Sebagian dari
bunga berubah bentuk menjadi bunga gall (bunga yang disebabkan oleh adanya
serangga yang tumbuh di dalamnya).
4. Kegunaan Beringin
Menurut Heyne (1987), tumbuhan beringin sering ditanam di alun-alun dan
halaman serta sangat dinilai tinggi oleh penduduk. Secara teknis, pohon ini
bernilai rendah sama seperti jenis Ficus lainnya. Tumbuhan ini juga berkhasiat
untuk obat-obatan yaitu pada bagian akar udara dan daun. Akar nafas pohon
beringin bermanfaat untuk mengatasi pilek, demam, radang amandel, dan
rematik. Daunnya bermanfaat untuk mengatasi malaria, radang usus akut,
disentri, dan influenza (Desyanti, 2012: 12).
Dari aspek lingkungan, pohon Ficus berperan dalam menjaga siklus air
serta mencegah erosi karena secara alami struktur perakaran lateralnya yang
dalam mampu mencengkram tanah dengan baik. Tajuknya yang tebal dapat
menyerap CO2 dalam jumlah yang relatif tinggi dan polutan lainnya dari udara
(Ulum, 2009).
28
G. Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
Distribusi
Pohon Beringin
Peta Distribusi
Beringin dalam
Mereduksi Bahan
Pencemar Udara
Timbal (Pb) Debu
Pengetahuan
Masyarakat tentang
Pohon Beringin
Mitologi Lingkungan Sejarah
Ukuran pohon
Beringin
DBH Tinggi
Pohon
Umur
CC
Basal
Area
Gambar 6. Kerangka Berpikir Penelitian
Pemangkasan
Pot/Bis
Luas
CC
Eksistensi
Masyarakat
tradisional