naskah pendahuluan - ekasulistiyana.web.id fileminimal orang jawa selalu menghubungkannya dengan...

24
1

Upload: others

Post on 07-Sep-2019

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

2

Naskah Pendahuluan

Candi Gedog Sejarah Yang Terlupakan

Legenda Yang Dikhultuskan

(Materi ini di sarikan dari draft buku

dengan judul yang sama untuk

dipublikasikan secara terbatas sebagai

bahan diskusi dalam kegiatan “Sarasehan Literasi Budaya” yang

diselenggarakan di Kampoeng Cyber

(cyberblitar) – PERUM ASABRI Gedog

Blitar pada tanggal 4 Mei 2018,

sekaligus sebagai Kado “Anak Bangsa” untuk dipersembahkan kepada

momentum Hari Jadi Kota Blitar Ke 112

Tahun 2018)

Penulis Hery Setiabudi

Editor Eka Gigis S

Di Cetak terbatas oleh cyberblitar

3

Prolog ulisan dihadapan pembaca ini berhasil diselesaikan pada bulan April tahun 2018. Artinya, tulisan ini

memuat sebuah loncatan cerita yang pernah terjadi

lebih dari satu abad kebelakang, kurang lebih tahun 1890

sampai menjelang lahirnya pranata pemerintahan modern

didaerah kolonial “Gemeente Blitar”. Yakni sebuah cerita mengenai “Joko Pangon” dan Ibu “Nyai Swangsan” yang

melegenda hingga saat ini, melegenda melebihi substansi

keberadaan Candi Gedog itu sendiri.

Membicarakan Gedog, tanpa tambahan kata “Candi”,

minimal orang Jawa selalu menghubungkannya dengan

sebuah tempat seperti, Gedok di Kabupaten Malang, Gedog di Blitar, Gedog di Jawa Tengah-an dan seterusnya. Bisa

jadi, Gedog adalah “gedokan jaran”, sebuah tempat untuk

memelihara kuda. Namun Gedog dalam tulisan ini adalah

Candi Gedog yang dapat dipastikan menunjukan sebuah

tempat, hanya sebuah tempat yang berada di wilayah Kota Blitar.

Tidak salah jika ada yang berpendapat bahwa Candi Gedog

dan riwayatnya, terutama tentang legenda Joko Pangon

kalah termasyhur dari seni wayang Gedog, sejarah Ringgit

Gedog, peristiwa Lahar Gedog 1857 dan lain sebagainya.

Meskipun tidak seluruhnya benar, pendapat ini tentu banyak yang memaklumi. Usut punya usut, riwayat Candi

Gedog yang paling banyak mengemuka sampai saat ini

justru jauh dari esensi tentang keberadaan Candi Gedog

itu sendiri. Joko Pangon yang diidentikan, atau minimal

terlanjur menjadi label sejarah Candi Gedog merupakan dua cerita kontra produktif. Satu sisi mengenai sebuah

cerita tutur tentang tragedi yang menimpa seseorang

bernama Joko Pangon di tahun 1890-an, satu sisi dan hal

ini merupakan substansinya terkait sisa-sisa keberadaan

Candi peninggalan zaman kerajaan Hindu Konsentris atau

memiliki karakteristik sebuah jejak peninggalan peradaban kuno ber-abad-abad yang lampau.

T

4

Candi Gedog; Pra Kondisi, Kondisi Saat ini dan

Stigma Yang Terbangun

elurahan Gedog, tempat keberadaan Candi Gedog

berada di wilayah administrasi Kecamatan

Sananwetan Kota Blitar.

K

5

Sekadar mengutip data umum lokasi keberadaan Candi Gedog. Kelurahan Gedog berada di ujung paling Timur di

Kota Blitar dengan batas-batas wilayah sebagai berikut.

Sebelah Timur Desa Pojok dan Desa Papungan (Kab.

Blitar), Sebelah Barat Kelurahan Sananwetan dan

Kelurahan Bendogerit (Kota Blitar) Sebelah Utara

Kelurahan Sentul (Kota Blitar) dan Desa Pojok (Kab. Blitar) dan Sebelah Selatan Kelurahan Sananwetan (Kota Blitar)

dan Desa Kuningan (Kab. Blitar). Candi Gedog berada

antara pusat wilayah kelurahan, tepatnya di Jalan Cokro

Dipo atau jika boleh menyebutnya sebuah tempat yang

bisa dilalui melalui gang sempit diantara area permukiman dan persawahan.

Kesaksian dari banyak orang-orang tua di Kelurahan

Gedog, khususnya disekitar Candi Gedog menyatakan

bahwa dahulunya wilayah Candi Gedog cukup luas dengan

gambaran bahwa dilokasi tersebut banyak sekali

ditemukan tumpukan batu bata merah berukuran besar yang tersebar di beberapa lokasi. Meskipun pada tahun

1970, batu bata merah tersebut telah banyak diambil

untuk pembangunan pondasi Taman Makam Pahlawan

Raden Wijaya, keberadaan batu bata di Candi Gedog masih

berlimpah ruah. Tahun-tahun setelahnya, batu bata tersebut mulai surut dan menjadi barang langka untuk

ditemukan kembali, seiring semakin menyempitnya lokasi

keberadaan Candi Gedog.

Pom Bensin Gedog

6

Kondisi Candi Gedog saat ini hampir tidak dapat

diidentifikasikan sebagai sebuah jejak candi. Peninggalan

kuno yang tersisa hanya berupa dua kepala raksasa yang ditempatkan sebagai tanda pintu masuk lokasi, bahkan

tidak jarang dianggap sebagai tempat duduk di tepian

lokasi serta sebongkah yoni yang mulai aus tanpa adanya

lingga yang melengkapi. Uraian ini dapat di simulasikan

dalam gambar sebagai berikut :

7

Satu-satunya tanda, dan hal ini merupakan sebuah ironi

menjelaskan bahwa Candi Gedog identik dengan

keberadaan pohon beringin besar yang kokoh berdiri memenuhi lokasi di sekitar jejak yang disebutkan diatas

dan memberikan gambaran tentang betapa sempitnya

lokasi Candi Gedog saat ini.

Jika ditelisik lebih dalam, hanya berbekal penalaran

sederhana tentang dua peninggalan tersebut, maka kita

dapat menemukan sebuah analisis sederhana yang layak didiskusikan. Apakah bentuk kepala raksasa itu memang

sebuah tanda pintu masuk? Atau apakah sekadar tempat

duduk? Apakah keberadaan yoni yang sudah lapuk dan

rusak berat tersebut hanya sebatas kebetulan? Atau

sekadar hiasan? Dan berbagai pertanyaan lainnya yang mungkin hingga saat ini masih menimbulkan tanda Tanya

besar. Meskipun didalam naskah pendahuluan ini tidak

disertakan analisis kondisi Candi Gedog, sebagai bahan

diskusi kami sampaikan sebuah simulasi dalam bentuk

gambar berurutan tentang kondisi peninggalan Candi

Gedog saat ini yang disandingkan dengan konsep identik keberadaan benda serupa dalam kondisi normal sebagai

sebuah candi sebagai berikut :

Gambar diatas adalah kondisi hingga sat ini. Wujud kepala raksasa tersebut sesungguhnya tidaklah benar-benar utuh

sebagai sebuah kepala raksasa, karena ornament dan

8

ukiran diatas batu yang tersisa dan mulai aus hanya

seputar gambar mata dan hidung. Jika disandingkan

maka, analisis simulasi yang dapat disajikan sebagai berikut :

Berdasarkan gambar diatas, maka dapat ditarik sebuah hipotesa sederhana. Bahwa benda tersebut lebih dekat

dengan bentuk “kala” sebuah ornament kepala raksasa

yang biasanya berada diatas pintu masuk sebuah candi.

Benarkah dua artefak berbentuk kepala raksasa tersebut

dulunya adalah pintu masuk sebuah candi?

9

Gambar selanjutnya atau gambar diatas selanjutnya

adalah jejak peninggalan yang juga memiliki nasib sama

dengan dua kepala raksasa Candi Gedog. Dari bentuknya memang ini sangat identik dengan yoni, tanpa lingga. Jika

direkonstruksi lebih lengkap, maka peninggalan ini bisa

jadi tidak hanya sebatas kubus batu ber cerung air saja.

Tetapi sebuah benda eksotik syarat nilai sejarah. Untuk

memperjelas, berikut disimulasikan dalam bentuk gambar

mulai dari lingga yang hilang, lingga yoni yang utuh dan lingga yoni yang lengkap sesuai anatomi peninggalan yang

ada sebagai berikut :

10

Meskipun hipotesa ini tidak begitu lengkap sesuai draft

buku, namun dengan hanya menelisik uraian ringkas ini

dapat ditemukan hal-hal yang menakjubkan. Minimal keberadaan Candi Gedog merupakan jejak peradaban yang

tidak kalah penting mengenai nenek moyang Jawa kuno.

Candi Gedog tidak termasuk dalam candi Negara, bahkan

candi yang masuk dalam catatan Nagarakretagama

maupun Pararaton. Artinya, Candi Gedog dibangun oleh

masyarakat sekitar pada masa kerajaan Hindu Kuno. Keberhasilan pemerintahan Jawa Kuno, terutama Kerajaan

Majapahit adalah membuminya ajaran Konstitusi kerajaan

di daerah Merdika. Kutaramanwa, Konstitusi Majapahit

sudah menjadi jiwa dari masyarakat sekitar Candi Gedog

dengan upaya pembangunan candi secara partisipatif, egaliter dan merdika tanpa subsidi pemerintah pusat.

Kenyataan ini menjadi menarik, bahwa minimal nenek

moyang masyarakat sekitar Candi Gedog sudah memiliki

peradaban yang berkeadaban khas kerajaan zaman

konsentris Hindu. Kesadaran yang terjadi jauh sebelum

muncul legenda Joko Pangon 1890-an.

Masihkah kita terjebak dalam sebuah cerita saja mengenai

Candi Gedog? Masihkah diantara kita beranggapan bahwa

Candi Gedog merupakan peninggalan cerita Joko Pangon

atau minimal identik dengan cerita tragis tersebut? Di lain

sisi sebagai penutup bagian ini. Keberadaan Candi Gedog sampai saat ini memunculkan berbagai bentuk fenomena

dan stigma yang tak kalah dahsyat dampaknya. Cerita

1890 tentang Joko Pangon seakan menjadi adat, bahkan

dikhultuskan sebagai “kutukan” bahwa antara Gedog dan

Bendo Gerit harus dipisahkan. Keharusan ini sudah

dianggap lazim dan seakan di amini karena beberapa fenomena memang menunjukan dampak dari khultus

tersebut. Jika ada yang menikah, baik laki-laki maupun

perempuan antara dia kelurahan tersebut dianggap

menyandang status “berbahaya”. Tragedi Joko Pangon dan

tangisan Ibu Swangsan bisa jadi memang pernah ada, tetapi yang menghidup-hidupkan cerita tersebut secara

berlebihan bahkan menjadi khultus individu itulah yang

justru kurang baik, bahkan seakan memunculkan sebuah

“agama” baru secara adat.

11

Disisi lain, keberadaan Candi Gedog tidak selalu

beruntung. Stigma sebagai lokasi sakral yang identik

dengan dunia klenik menjadi cakrawala yang menyajikan sisi mistis sebuah tempat yang seharusnya diposisikan

sebagai lokasi bersejarah. Judi, pesugihan, peruntungan,

memuja selain Tuhan dengan bungkus “Ngalap berkah”

atau “Nyadran” adalah gambaran yang hingga saat ini

dianggap pemandangan yang sudah biasa.

Candi Gedog; Sebuah Sudut Pandang Kekinian Dari

Sumber Legenda yang Di Khultuskan

Uraian berikut adalah cerita rakyat atau legenda Joko Pangon yang ditulis dan di publikasikan resmi pemerintah

kelurahan tanpa di kurangi susunan dan kalimatnya.

Secara substansi naskah ini konsisten ditulis pihak yang

dipercaya kelurahan sejak tahun 1990 an.

Pada sekitar tahun 1890, dimana pada saat itu

wilayah Desa Gedog yang berada dibawah

pemerintahan Kerajaan Kadiri, masih berupa hutan

belantara. Di hutan tersebut hiduplah seorang kakek

tua yang berbadan pendek, berkumis, dan berjenggot panjang yang ternyata adalah seorang Empu (sebutan

seorang pande besi atau pembuat senjata dari besi).

Menurut riwayat yang diceritakan oleh sesepuh Gedog,

pada tahun 1900 di sekitar wilayah hutan tersebut

terdapat sebuah desa yang dihuni oleh banyak

penduduk. Ada seorang diantara mereka dijadikan

12

sebagai warga yang dituakan dan diangkat menjadi

Pejabat Kebayan. Pejabat Kebayan tersebut bernama

Karso Medjo.

Karso Medjo menceritakan tentang seorang pemuda

perantauan yang melakukan pengembaraan dengan

menjalankan puasa (bertapa) yang bernama Joko

Pangon. Dalam pengembaraannya, Joko Pangon

bertemu dengan seorang janda tua yang tidak

mempunyai anak, yang bernama Suwangsan. Joko Pangon dipersilahkan singgah dan beristirahat di

rumah Suwangsan. Sehingga lama-kelamaan Joko

Pangon dijadikan sebagai anak angkat Suwangsan.

Pada suatu hari, Joko Pangon ingin bekerja dengan

mencari kayu di hutan. Sesampainya di hutan, Joko Pangon mendengar suara “Dak Dok”. Dicarinya

sumber suara tersebut yang ternyata berasal dari

seorang Empu yang sedang membuat senjata/alat-alat

dari besi. Kemudian Joko Pangon mendekati Sang

Empu dan dipersilahkan masuk. Sang Empu

menanyakan asal-usul dan tujuan Joko Pangon datang ke hutan itu. Joko Pangon menjawab jika dia

hanya ingin mencari kayu dan berguru pada Sang

Empu. Akhirnya Joko Pangon diterima dan ikut

membantu pekerjaan Sang Empu. Karena

ketekunannya, Sang Empu juga mengajarkan bermacam pendidikan kebatinan dan ilmu

pengetahuan kepada Joko Pangon di malam hari.

Setelah beberapa waktu berguru dan membantu Sang

Empu, tepatnya pada hari Sabtu Kliwon, Joko Pangon

yang sedang tidur bermimpi selalu diikuti oleng anjing

belang besar. Joko Pangon terkejut dan terbangun dari tidurnya karena melihat seekor anjing belang

yang besar didekatnya. Anjing tersebut seperti anjing

milik Sang Empu yang memiliki besalen. Joko Pangon

mencari Sang Empu, namun menghilang dan berubah

menjadi batu yang besar. Kemudian Joko Pangon berkata bahwa “Kelak jika hutan belantara ini sudah

menjadi sebuah Desa akan diberi nama Desa Gedog,

sesuai dengan bunyi/suara pande Dak Dok”. Lalu

Joko Pangon memberi nama anjing tersebut “Asu

13

Belang Yungyang” dan batu besar tersebut dibuat

menjadi candi.

Joko Pangon lantas membabat hutan tersebut sehingga lama-kelamaan menjadi kampung dan dihuni

banyak penduduk. Kampung itu kemudian

berkembang menjadi Desa, yang diketuai oleh Kepala

Desa, yang memiliki sepasang kerbau jantan dan

seekor kerbau betina. Kepala Desa tersebut meminta

Joko Pangon untuk memelihara kerbaunya, dengan perjanjian apabila beranak betina maka menjadi milik

Kepala Desa. Namun bila beranak jantan maka

menjadi milik Joko Pangon. Joko Pangon bersedia

dengan tawaran Kepala Desa tersebut. Karena Joko

Pangon sangat sakti, maka sepasang kerbau tersebut banyak melahirkan anak kerbau jantan daripada

betina.

Mendengar hal tersebut membuat Kepala Desa

menjadi murka. Kepala Desa meme-rintahkan

beberapa orang kepercayaannya agar mengajak Joko

Pangon ke sendang/kolam yang ada di sebelah barat Candi. Ditempat itu Joko Pangon diikat dan dibunuh,

lalu jasadnya dimasukkan kedalam kolam. Anjing

yang selalu mengikuti Joko Pangon, kemudian berlari

menuju ke rumah ibu angkat Joko Pangon,

Suwangsan. Suwangsan terkejut melihat anjing tersebut pulang sendirian tanpa Joko Pangon. Anjing

itu terus menggonggong dan menarik-narik pakaian

Suwangsan seakan ingin mengajaknya menuju ke

tempat Joko Pangon terbunuh.

Suwangsan memiliki firasat buruk mengenai Joko

Pangon. Sehingga Suwangsan memutus-kan mengikuti anjing tersebut pergi ke tempat Joko

Pangon dibunuh. Sesampainya di kolam tersebut,

Suwangsan melihat ceceran darah di tepi kolam.

Suwangsan menangis meraung-raung dan menyuruh

anjing itu untuk mengambil jasad Joko Pangon di dasar kolam. Anjing itu lantas menyeburkan diri

kedalam kolam, namun tidak muncul lagi ke darat.

Karena emosi, Suwangsan bersumpah bahwa “Jika

kelak ada anak cucu kampung Suwangsan

14

(Bendogerit) yang berjodoh dengan orang Gedog, maka

tidak akan diizinkan. Barang siapa melanggarnya

maka akan mendapatkan kutukan sampai turun-temurun”. Berdasarkan hal tersebut, hingga saat ini

tidak ada warga Gedog yang berani untuk

berjodoh/menikah dengan warga Bendogerit.

Candi Gedog; Sebuah Referensi Berdasarkan

Sumber Terpercaya Ketimbang Sekadar Legenda Cerita Rakyat

Uraian berikut ini sesungguhnya bagian inti dari draft

buku ini. Namun sengaja disarikan dari sumber asli (draft

buku ini) sebagai bahan diskusi.

Tahun 1910

Dalam kurun waktu hampir bersamaan munculnya cerita

Joko Pangon, ada sebuah buku yang layak mendapat tempat. Buku tebal itu berjudul “Rapporten Van De

Commissie In Nederlandsche-Indie Voor Oudheidkundig

Onderzoek Op Java En Madoera 1908”, Uitgegeven Door

Het Bataviaasch Genootschap Van Kusten En

Wetenschappen, diterbitkan oleh Albrecht & co, M. Nijhoff, Batavia pada tahun 1910. Dalam bahasa Indonesia dapat

diterjemahkan sebagai buku Laporan Dari Komisi Di

Hindia Belanda Untuk Penelitian Kuno Tentang Jawa Dan

Madoera kurun waktu 1908. Tepatnya di halaman 73-74

menyatakan :

In een boschaadje in het midden der sawahs van desa gedok, trof ik aan : Yoni. Een kubus met in en uitspringende gladde banden, en, op het midden van iedere zijde ee langwerpig lijstje van twee inspringende bandjes. Alles glad. De tuit is weggebroken en rustte vroeger op een naga, waarvan alleen een steenklomp voorhanden is. In het midden van de verdieping, die in het bovenvlak is aangebracht, is een vrouwelijke sponning, metende 0,28 M. In het vierkant. Hoog 0.80 M. In het vierkant.

Voor die yoni ligt een verweerde en vermnikte antefix, met zeer verweerd en verminkt ornament. Hoog 0.35

15

M. Dit is alles, wat het bezoek aan desa gedok mij op te teekenen graf. En toch hebben raffles in 1816, en v. Meeteren Brouwer in 1828 er een tempelruine van gebakken steen gezien: en wet Dr. Verboek er onder no. 362 van zijn lijst van mede te deelen: Nu, (1887) vindt men er allen een grooten hoop gebakken steenen, die echter dagelijks weggehaald worden: een waterbak van andesiet met gebrokeu slangen-kop, een gebroken Ganeca en twee kalksteenstukken, wearvan een met snijwerk

Artinya,

Di hutan di tengah-tengah sawah yang berada di

desa gedok, saya (komisi tersebut.pen) menemukan:

Yoni. Sebuah kubus dengan hiasan pita yang lapuk nyaris hilang dan terukir di tengah setiap sisi,

bingkai memanjang dari dua frame yang tegas.

Semuanya lapuk dan mulai hilang. Ukirannya sudah

banyak yang rusak parah dan ukiran yang

digunakan untuk penyangga patung Naga yang

bentuknya menyatu dan tinggal sisa – sisa sehingga mirip tumpukan batu (ed). Ditata di tengah-tengah

pelataran, diatas permukaan, yang kurang lebih

dengan garis tengah (diagonal) yang berukuran (ed)

0,28 M. di altarnya. Tinggi 0,80 M. Di altarnya. Sekali

lagi, Yoni ini sudah demikian lapuk dan aus rusak parah pada hiasan dindingnya. Tinggi 0,35 M. benda

ini sesuai analisa (yang dilihat dan dirasakan

komisi.pen) seolah hanya sebuah makam. Jika kita

periksa data Raffles pada tahun 1816, dan data

Meeteren Brouwer, maka merekalah yang telah

berkesempatan melihat kehancuran sebuah candi batu bata dengan ukuran besar: dan Dr. Verboek ada

di dalam daftar laporannya No. 362 menyampaikan .:

Sekarang, (1887) orang hanya menemukan

tumpukan batu bata, yang setiap hari mulai

berkurang jumlahnya, sisi lain: sebongkah batu andesit dengan bentuk kepala ular telah patah/

rusak, patung Ganeca juga rusak dan demikian juga

dengan dua buah batu berornament.

16

Apa pendapat Saudara terhadap tulisan diatas? Tulisan ini

disusun di zaman yang tidak jauh dari tragedi Joko

Pangon.

Tahun 1869 - 1864

Jika kita tarik lagi kebelakang, maka semakin banyak

referensi yang diperoleh terkait Candi Gedog. Tidak hanya

didalam buku “Notulen van de Algemeene en Bestuurs-

vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van

Kunsten en Wetenschappen” atau buku Risalah Umum dan pertemuan Manajerial dari Batavia Masyarakat Seni

Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan, Volume 3 terbitan

Lange & Company, 1869 yang juga menginventaris

keberadaan Candi Gedog dan candi lainnya pada 4 Mei

1869, tetapi juga buku-buku sejenis lainnya yang dikeluarkan penguasa Hindia Belanda dalam rangka

penelitian.

Sebut saja buku penelitian lima tahun sebelumnya, yakni

buku “Nederlandsch Oost-Indië: Overlandreis naar Batavia;

zeereis naar Batavia, Batavia en omstreken, etc, Volume 1

tulisan E.H. Boom yang diterbitkan P.B. Plantenga, pada tahun 1864, tepatnya halaman 156 menyatakan :

Even voorbij Podjoh (zie boven) gaat een rijweg Oostwaarts langs Sringat en Djati naar Blitar, vroeger eene aanzienlijke plaats, in welks nabijheid de Tjandi Gedog, een fraai steene gebouw en vele ruinen gevonden worden. Van Blitar gaat in eene Zuidelijke rigting een paardenweg naar Kedemangan.

Artinya,

Saat melewati Podjoh (Pojok : salah satu daerah di

Kecamatan Ponggok, ed) terus berjalan ke Timur

sepanjang Sringat (Srengat) dan Djati (Sumberjati), sebelumnya ke Blitar ada tempat yang cukup besar,

di sekitar tempat Tjandi Gedog, ada sebuah

bangunan batu yang indah dan banyak reruntuhan

ditemukan, kemudian dari Blitar dengan kuda

kearah selatan menuju Kademangan (ed).

17

Tahun 1857

Gambar potret diatas adalah Abraham Jacob van der Aa

atau sering disebut dengan nama A. J. van der Aa

(Amsterdam , 7 Desember 1792 - Gorinchem , 21 Maret 1857). A. J. van der Aa selain seorang sarjana sastra

Belanda terkenal di zamannya juga seorang ahli yang telah

melahirkan karya besar. Terutama ia dikenal karena

Kamus Geografi Belanda (het Aardrijkskundig

Woordenboek) dan Kamus Biografi Belanda karangannya. Selain itu A. J. van der Aa juga pernah berjasa menulis

tentang Candi Gedog didalam beberapa halaman bukunya

yang berjudul “Nederlands Oost-Indië, of Beschrijving der

nederlandsche bezittingen in Oost-Indië yang diterbitkan

oleh J.F. Schleijer, tahun 1857. Tepatnya pada halaman

248 A. J. van der Aa menuliskan hal sebagai berikut :

18

De tjandi van Gedog. De tjandi van Gedog is een gebouw van gebakken steen in den gewonen trant, maar beter bewerkt, terwijl vele der versierselen van steen zijn. Vele der zijwanden zijn nog geheel in wezen, maar de ingang of trap is gedeeltelijk weg. Gedog ligt in nabijheid van Blitar, dat vroeger eene hoofdplaats was, doch nu tot een eenvoudig dorp vervallen. Hier werden mede belangrijke oudheden gevonden, onder anderen het oord, waar eene verlaten hoofdplaats gestaan heeft, met zijne muren en vele steene pedestallen.

Artinya,

Tjandi Gedog. Tjandi Gedog terbuat dari bangunan

bata bata merah dengan cara biasa, tetapi lebih sempurna, sementara bagian yang banyak menarik

adalah ornamen batu. Banyak dinding samping

masih sepenuhnya berbentuk, tetapi pintu masuk

atau tangga sebagian hilang. Gedog terletak di dekat

Blitar, yang sebelumnya adalah situs utama, tapi

sekarang tereduksi menjadi sebuah desa biasa yang sederhana. Di sini juga ada barang-barang antik

penting yang ditemukan, antara lain tempat sebuah

jejak pusat kekuasaan yang mulai sepi, dengan

tembok-temboknya dan banyak tiang batu.

Tahun 1819

Secara substansi, tulisan A. J. van der Aa mengikuti

bukunya Raffles - The History Of Java yang cukup

melegenda hingga saat ini, atau tepatnya belum tertandingi

kelengkapan datanya. Namun sebelum merujuk ke sumber

istimewa tersebut, ada referensi lain yang tak kalah

menarik.

Referensi ini diterbitkan dua tahun setelah bukunya

Raffles terbit di Inggris dan luar biasanya, buku berikut

justru ditulis oleh orang Perancis yang bernama Charles

Athanase Walckenaer. Didalam bukunya yang berbahasa

Perancis berjudul “Le Monde Maritime, Ou Tableau Géographique Et Historique De l'Archipel d'Orient De La

Polynésie Et De l'Australie” atau Dunia Maritim, Dilengkapi

Bagan Geografis Dan Historis Nusantara Dari Polinesia

19

Dan Australia Timur terbitan Nepveu tahun 1819, tepatnya

pada halaman 209-210 Charles-Athanase Walckenaer

menuliskan keterangan sebagai berikut :

Il est remarquable que ce n'est point dans les villes, ou dans les lieux les plus habites, que l'on voit les plus beaux monuments, main au milieu de forets presque impenetrables, dans des deserts ou le sol semble avoir ete livre a sa propre fecondite, et n'avoir jamais subi le

travail de l'homme: tel se trouve le Tchounkoup de Sentoul, dont nous avons parlé;

tel est aussi le tchandi de Gidag, que M. Horsfield a découvert dans une de ses excursions botaniques aux environs du village de Gedog,'peu éloigné de celui de Blitar: ce temple est en brique, et les ornaments sont en pierre;

la construction et les sculptures sont executees avec une surprenante habilete: pres de la on voit des restes

de murailles et des debris dont le nombre et la grandeur nous indiquent une ancienne capitale en ruine.

Artinya,

Hasil terkuat adalah kebudayaan awal disini sangat

berbeda dengan kebanyakan budaya primitive saat

ini. Tempat yang sekarang tertutup dengan hutan

yang tidak tersentuh, seperti di Chunkup Sentul, penampakan pertama yang mengindikasikan sebuah

perkembangan yang tidak terganggu oleh tumbuhan

disana, yang menakjubkan ini.

Candi Gedog, sebuah bangunan bernilai tinggi, yang

ditemukan oleh Mr. Horsfield dalam salah satu

penelusurannya tentang tanaman (ed) di dekat desa Gedog, tidak jauh dari Blitar, candi ini terbuat dari

batu bata, dan ornamennya terbuat dari batu;

Konstruksi dan pahatan dibangun (ed) dengan

keterampilan yang mengejutkan: dari dekat terlihat

sisa-sisa dinding dan puing-puing yang jumlah dan ukurannya mengindikasikan adanya sebuah ibukota

kuno di reruntuhan itu.

20

Asumsi, ya hanya asumsi kita yang dapat ditarik dari

keterangan tahun 1819 ini. Candi Gedog adalah jejak

pusat sebuah kekuasaan merdika diwilayah kerajaan besar Majapahit atau sebuah wilayah egaliter berperadaban

Hindu yang mandiri? Sungguh data yang menarik untuk

digali lebih dalam.

Tahun 1817

Tiba lah kita pada referensi paling tua diantara sumber-

sumber diatas. Adalah The History Of Java, karya besar Sir Thomas Stamford Raffles, F.R.S. Raffles adalah Gubernur

Jenderal Inggris di Jawa (ia menyebut dirinya Formerly

Lieutenant-Governor Of That Island And Its Dependencies,

And President Of The Society Of Arts And Sciences At

Batavia). Buku istimewa ini terdiri dari dua jilid. Uraian

21

Candi Gedog masuk kedalam jilid ke dua. Buku The

History Of Java secara keseluruhan dicetak dan diterbitkan

pertama kali di London oleh John Murray, Albemarle-Street tahun 1817. Tentunya saat meneliti Jawa pada umumnya,

Candi Gedog khususnya pada tahun sebelumnya. Bisa jadi

seperti uraian diatas, Raffles menulisnya tahun 1816.

The History Of Java jilid kedua halaman 40 menyatakan :

During various botanical excursions which I made through this province, I discovered (or rather was led to them by the natives) the chándi of Gedóg, the antiquities at Penatáran, and various monuments covered with inscriptions, which I shall separately enumerate below.

The chándi of Gedóg is a structure in the usual style of brick, but executed with superior excellence, while

22

much of the ornametal work is supplied of stone. Several of the sides are still entire, but the base of the entrance or steps has gradually separated. Gedog is situated near Blitar, formerly a capital, but now reduced to a simple village. Here, also, interesting antiquities are found, among which the site of a deserted capital, with its walls and many stone pedestals, at tract the notice of the traveller.

Artinya,

Diantara perjalanan menyusuri bermacam tanaman

yang pernah aku jelajahi di Provinsi ini, saya

menemukan (atau saya biasakan mereka dalam

kondisi aslinya). Candi Gedog, bendo kuno di

Penataran, berbagai macam ornament yang tertutup dengan prasasti – prasasti yang seharusnya saya

pisahkan satu persatu.

Candi Gedog strukturnya terdiri dari batu batu,

tetapi dikerjakan dengan sangat menabjubkan,

sebagian besar ornament dibuat dari batu bata.

Beberapa sisinya masih dalam keadaan utuh, tetapi bagian dasar pintu masuk atau tangga – tangganya

terpisah. Situs Gedog terletak di dekat Blitar, wilayah

ibukota tetapi sekarang menjadi desa biasa. Disini

ditemukan benda kuno diantara kota yang

ditinggalkan, dengan dinding-dinding alas dari batu yang menarik untuk dicatat. Pada penyusuran di

sebelah timur laut saya lalu mengunjungi

peninggalan kuno di Penataran.

Terima Kasih. Selamat berdiskusi dan semoga Alloh SWT

membalas feedback dari pembaca untuk memperkaya

tulisan ini. Sekali lagi terima kasih. Salam penulis.

23

Daftar Pustaka

A. J. van der Aa, 1857, Nederlands, Nederlands Oost-Indië, of Beschrijving der nederlandsche bezittingen in Oost-Indië Penerbit J.F. Schleijer.

Charles Athanase Walckenaer, 1819, Paris, Le Monde Maritime, Ou Tableau Géographique Et Historique De

l'Archipel d'Orient De La Polynésie Et De l'Australie”

Penerbit Chez Nepveu Libraire.

E.H. Boom, 1864, Nederlands, Nederlandsch Oost-Indië: Overlandreis naar Batavia; zeereis naar Batavia, Batavia en omstreken, etc, Volume 1, Penerbit P.B.

Plantenga.

Sir Thomas Stamford Raffles, 1817, London, The History Of Java Part 2, Penerbit John Murray, Albemarle-Street.

_____, 1869, Notulen van de Algemeene en Bestuurs-

vergaderingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, Vol 3, Penerbit Lange &

Company;

____, 1910, Batavia, Rapporten Van De Commissie In

Nederlandsche-Indie Voor Oudheidkundig Onderzoek

Op Java En Madoera 1908, Penerbit Albrecht & co, M.

Nijhoff

24

DENAH LOKASI

KAMPOENG CYBER BLITAR

BTN Asabri Blok E. 22 (Gedung Serbaguna BTN Asabri Gedog)