bab ii kajian pustaka 2.1 perkembangan dan komposisi
TRANSCRIPT
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Perkembangan dan Komposisi Mikrobiota Usus Manusia
Mikrobiota dapat dianggap sebagai komunitas mikroorganisme (bakteri,
virus, arkae dan beberapa eukariota uniseluler) yang hidup dalam suatu
lingkungan spesifik. Dengan menganggap tubuh manusia sebagai sebuah
lingkungan, maka mikrobiota pada tubuh manusia merupakan keseluruhan
komunitas mikroorganisme yang hidup pada permukaan dan beberapa lokasi
anatomis dalam tubuh manusia. Komunitas mikroorganisme ini berperan penting
dalam fisiologi tubuh, perkembangan sistem pencernaan dan sistem kekebalan,
serta reaksi detoksifikasi. Beberapa mikroorganisme yang hidup dalam usus
mengkode protein yang terlibat dalam berbagai fungsi penting dalam kesehatan,
seperti ensim yang digunakan untuk menghidrolisis komponen makanan yang
tidak bisa dicerna, serta sintesis beberapa jenis vitamin (Qin et al, 2010; Flint et
al., 2012).
Komposisi mikrobiota manusia sangat dinamis dan dipengaruhi oleh
beberapa faktor seperti usia (Wu et al., 2011; Gajer et al., 2012), diet (David et
al., 2014;), siklus hormonal (Koren et al., 2012), terapi antibiotik (Perez-Cobas et
al., 2013a) dan penyakit-penyakit yang diderita (Palmer et al., 2007). Sebagian
besar mikrobiota manusia hidup di dalam usus, dimana ditemukan 1012 - 1014 sel
mikroorganisme (Ley et al., 2005). Kolon merupakan bagian usus dengan
kepadatan mikroba tertinggi mencapai 1011 sel/gram massa kolon, setara dengan
9
1-2 kg massa tubuh (Walker et al., 2014). Komposisi bakteri saluran cerna terdiri
dari sekitar 1000-1500 spesies yang berbeda, terutama didominasi oleh filum
Firmicutes (60-80%) dan Bacteriodetes (20-40%), dan sisanya berupa
Proteobacteria, Actinobacteria, Verrucomicrobia dan Fusobacteria (Sun and
Chang, 2014).
Usia merupakan faktor utama yang mempengaruhi komposisi dan
keragaman mikrobiota usus. Proses penuaan berhubungan dengan berbagai
perubahan fisiologis dan biologis sehingga komposisi dan keragaman mikrobiota
usus berbeda-beda antara bayi, orang dewasa dan usia lanjut. Dari beberapa studi
ditemukan bahwa mikrobiota usus sangat tidak stabil pada 3 tahun pertama usia
bayi (Giannoukos et al., 2012; Morgan and Huttenhower, 2014), sedangkan
mikrobiota usus pada orang dewasa sehat relatif stabil tidak mengalami perubahan
komposisi dan keragaman yang bermakna. Bayi usia kurang dari 3 tahun memiliki
indeks keragaman yang jauh lebih rendah dibandingkan orang dewasa. Kolonisasi
mikroba pada usus bayi diketahui berperan penting dalam fungsi imunologis dan
metabolik yang mempengaruhi kesehatan manusia. Oleh karena itu 3 tahun
pertama usia bayi dianggap sebagai periode kritis (critical window)
perkembangan, dimana gangguan yang terjadi saat proses kolonisasi bakteri ini
akan meningkatkan suseptibilitas terhadap berbagai penyakit di kemudian hari
(Penders et al., 2006).
10
2.1.1 Mikrobiota Usus Pada Bayi
Usus bayi mengalami stadium perkembangan penting yang sangat
dipengaruhi oleh proses kolonisasi mikrobiota. Penelitian pada model binatang
coba yang ditumbuhkan pada kondisi bebas mikroba (germ-free) menunjukkan
bahwa kolonisasi mikroba merangsang perkembangan sel epitel usus dan
pematangan dari jaringan limfoid di sekitar usus (gut-associated lymphoid
tissue/GALT) (Bouskra et al., 2008). Mikrobiota usus bayi akan mengalami
proses perkembangan untuk mencapai kondisi stabil pada saat usia dewasa.
Diyakini bahwa kontak pertama dengan komunitas bakteri akan menentukan
kematangan usus, perkembangan metabolik dan imunologik serta konsekuensi
status kesehatan jangka pendek dan jangka panjang (Hugenholtz et al., 2001).
Dari beberapa analisis metadata diduga ada hubungan antara perjalanan alamiah
kolonisasi mikrobiota usus atau disbiosis dengan beberapa kondisi penyakit pada
masa bayi atau periode usia sesudahnya (Brinig et al., 2003; Eckburg et al., 2005).
2.1.1.1 Kontak Mikroba Prenatal
Sejak lebih dari satu abad yang lalu terdapat dogma bahwa fetus saat
masih dalam kandungan adalah steril, dan proses kolonisasi bakteri dimulai saat
lahir dan setelahnya. Dalam dogma ini diyakini barier plasenta akan menjaga fetus
tetap steril, sehingga setiap kehadiran bakteri dalam uterus dianggap mengancam
keselamatan fetus. Akan tetapi, dari beberapa studi yang dilakukan akhir-akhir ini,
ditemukan adanya komunitas bakteri pada jaringan plasenta (Aagaard et al.,
2014), darah tali pusat (Jimenez et al., 2005), cairan amnion (Bearfield et al.,
2002; Jimenez et al., 2008) , dan membran janin (Steel et al., 2005; Rautava et al.,
11
2012) dari bayi sehat baru lahir tanpa ada tanda-tanda infeksi atau inflamasi. Hal
ini mengindikasikan adanya potensi transmisi bakteri melalui barier plasenta.
Jimenez et al., (2008) dan Moles et al., (2013) menemukan bahwa
mekonium tidak steril, tapi mengandung komunitas bakteri yang kompleks.
Penelitian yang dilakukan oleh Gosalbes et al., (2013) terhadap sampel mekonium
dan feses dari bayi pre-term usia 3 minggu menunjukkan bahwa mekonium
mengandung mikroba spesifik yang berbeda dengan mikroba dari feses bayi baru
lahir. Mekonium didominasi oleh Firmicutes sedangkan Proteobacteria dominan
ditemukan pada komunitas mikroba feses. Dengan menggunakan metode kultur
dan 16S rRNA microarray, sampel mekonium ditemukan banyak mengandung
Staphyllococcus, Streptococcus mitis dan Lactobacillus plantarum, sedangkan
sampel feses kaya dengan Enterococcus, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia
dan Serratia marcesscens. Semua sampel mekonium mengandung mikrobiota
yang sangat beragam, dan keragaman ini tidak dipengaruhi oleh metode
persalinan. Dibandingkan dengan sampel feses, mekonium memiliki keragaman
spesies yang lebih rendah tetapi variasi antar sampelnya tinggi.
Mekanisme bagaimana mikrobiota usus mampu mencapai lingkungan
intrauterin masih belum dipahami dengan jelas. Diduga bakteri usus mencapai
plasenta melalui aliran darah sesudah terjadi translokasi epitel. Meskipun sel-sel
epitel intestinal dapat berfungsi sebagai pembatas yang mencegah bakteri
memasuki sirkulasi darah, sel-sel dendritik secara aktif dapat berpenetrasi ke
dalam lumen intestinal, menangkap sel-sel bakteri lalu membawanya ke seluruh
tubuh melalui aliran limfe (Vazquez-Torres et al., 1999; Rescigno et al., 2001).
12
Asumsi ini didukung oleh data penelitian yang dilakukan oleh Jimenez et al.,
(2005) dan Jimenez et al., (2008), dimana Enterococcus faecalis yang diberikan
secara oral pada mencit hamil dapat dideteksi pada cairan amnion dan mekonium
bayi tikus yang dilahirkan melalui operasi sesar. Data ini dikuatkan oleh hasil
penelitian Perez et al., (2007) yang menemukan bahwa translokasi bakteri pada
tikus secara fisiologis akan meningkat saat kehamilan dan periode menyusui.
Data-data tersebut menjadi bukti awal mendasar akan terjadinya transmisi bakteri
secara maternal pada mamalia.
Selain berasal dari mikrobiota usus, beberapa studi juga menemukan
indikasi awal bahwa mikrobiota rongga mulut ibu hamil juga dapat menyebar ke
plasenta. Dasanayake et al., (2005) melakukan penelitian pada ibu hamil untuk
melihat pengaruh kompososi mikrobiota mulut terhadap kehamilan. Ditemukan
bahwa Actinomyces naeslundii berkaitan dengan berat badan lahir yang rendah
dan resiko persalinan prematur. Hal ini memberikan dugaan bahwa mikrobiota
mulut dapat memasuki lingkungan uterus melalui aliran darah dan berpotensi
mempengaruhi proses kelahiran. Penelitian oleh Aagard et al., (2014) dengan
menggunakan metode sekuensing yang ekstensif menemukan data-data yang
mendukung asumsi di atas. Pada kehamilan normal cukup waktu, pada plasenta
teridentifikasi mikrobiota dalam jumlah kecil tapi kaya dengan gen-gen yang
mengatur metabolisme. Komposisi bakteri yang ditemukan ini lebih menyerupai
komposisi mikroba mulut dibandingkan komposisi mikroba vagina, feses, kulit
atau mukosa hidung. Dalam review oleh Rodriguez et al., (2015) disebutkan
13
bahwa transmisi mikroba secara maternal dapat terjadi pada semua kingdom
binatang.
2.1.1.2 Kolonisasi Mikroba Pada Bayi
Kontak mikroba sebelum kelahiran merupakan cetak biru mikrobiota
bayi dan sistem imunitas sebagai persiapan untuk proses kolonisasi bakteri saat
persalinan dan periode menyusui. Berbagai mikroba lingkungan dengan
keragaman yang sangat tinggi dapat mengkolonisasi bayi segera setelah
kelahiran. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya keragaman antar individual pada
mikrobiota usus bayi yang baru lahir (Palmer et al., 2007). Mikrobiota usus bayi
baru lahir ditandai dengan rendahnya keragaman dan dominasi relatif dari filum
Proteobacteria dan Actinobacteria. Seiring bertambahnya usia, mikrobiota usus
akan meningkat keragamannya serta terjadi pergeseran dominasi ke arah filum
Firmicutes dan Bacteriodetes (Eckburg et al., 2005; Qin et al., 2010; Backhed,
2011).
Pada saat lahir, usus bayi bersifat aerobik, memungkinkan pertumbuhan
beberapa bakteri fakultatif anaerob seperti famili Enterobacteriaceae. Dalam
beberapa hari, lumen usus berubah menjadi anaerob, yang memicu pertumbuhan
bakteri yang bersifat strict-anaerobe seperti Bifidobacterium, Clostridium dan
Bacteriodes (Matamoros et al., 2013). Pada usia beberapa minggu pertama setelah
lahir, komposisi mikrobiota usus bayi menyerupai komposisi mikrobiota kulit dan
vagina ibunya, dengan Enterococcaceae, Streptococcae, Lactobacillaceae,
Clostridiaceae dan Bifidobacteriaceae sebagai taksa yang dominan. Saat usia
memasuki beberapa bulan pertama, dimana makanan utama bayi adalah susu,
14
maka bakteri yang dapat memfermentasi oligosakarida seperti Bifidobacterium
akan berkembang dengan pesat. Bifidobacterium dianggap merupakan komunitas
bakteri yang dominan pada periode usia ini (Lozupone et al., 2013), dan berbagai
spesies Bifodobacterium dapat ditemukan dalam usus bayi (Aires et al., 2011;
Turroni et al., 2012).
Pengenalan bayi terhadap makanan padat akan memicu perubahan yang
cepat dan penting terhadap komposisi mikrobiota usus. Kandungan polisakarida
dalam makanan bayi yang tidak dapat dicerna oleh sistem ensim host akan
memicu pertumbuhan dari Bacteriodes, Clostridium dan Ruminococcus, dan
sebaliknya menurunkan jumlah Bifidobacterium dan Enterobacteriaceae (Koenig
et al., 2011; Fallani et al., 2011). Pada akhir tahun pertama sampai usia 30 bulan,
mikrobiota usus bayi mengalami proses pematangan yang mengarah kepada profil
mikrobiota usus orang dewasa, dengan Ruminococcus, Lachnospiraceae,
Bacteriodaceae dan Prevotellaceae sebagai mikroorganisme dominan (Lozupone
et al., 2013). Pada usia 2-5 tahun, mikrobiota usus bayi telah menyerupai
komposisi dan keragaman mikrobiota usus orang dewasa (Turroni et al., 2012;
Lozupone et al., 2013). Oleh karena itu 3 tahun pertama usia bayi dianggap
sebagai periode paling kritis yang akan menentukan pertumbuhan dan
perkembangan bayi di masa selanjutnya. Dalam periode ini, mikrobiota usus akan
mengalami pematangan, dan gangguan pada proses ini akan meningkatkan resiko
terjadinya gangguan kesehatan host.
15
2.1.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kolonisasi Mikroba Pada Bayi
Usus bayi mengalami stadium perkembangan penting yang sangat
dipengaruhi oleh proses kolonisasi mikrobiota. Beberapa faktor (intrinsik dan
ekstrinsik) dapat mempengaruhi proses kolonisasi mikroba, yang akan
berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan bayi. Beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi proses kolonisasi tersebut antara lain : cara persalinan, diet,
paparan antibiotika, lingkungan dan genetik dari host.
2.1.1.3.1 Cara Persalinan
Pemaparan mikroba setelah kelahiran terjadi saat kelahiran dan segera
sesudahnya. Bayi yang dilahirkan melalui proses persalinan normal (per-vagina)
akan dikolonisasi oleh bakteri dari vagina dan feses ibunya, termasuk didalamnya
adalah Lactobacillus dan Bifidobacterium (Dominguez-Bello et al., 2010).
Sedangkan bayi yang dilahirkan melalui operasi sesar lebih banyak akan terpapar
oleh bakteri dari kulit dan lingkungan rumah sakit. Penelitian oleh Salminen et al.,
(2004) dan Jacobsson et al., (2014) menemukan adanya gangguan komposisi
mikrobiota usus bayi yang dilahirkan melalui operasi sesar, dan gangguan ini bisa
berlangsung sampai beberapa tahun. Pada beberapa hari pertama setelah lahir,
secara relatif terdapat kandungan yang tinggi dari Lactobacillus pada usus bayi,
sebagai cerminan dari dominasi kelompok ini pada mukosa vagina ibunya.
Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri yang diduga dipindahkan secara
langsung dari feses ibu kepada bayinya (deMuinck et al., 2011). Dari analisis
terhadap sekuen gen 16S rRNA, proporsi kemiripan dengan komposisi mikrobiota
16
ibunya ditemukan lebih tinggi pada bayi yang dilahirkan per-vagina dibandingkan
dengan bayi yang lahir melalui operasi sesar (Jacobsson et al., 2014).
Persalinan melalui operasi sesar akan menghambat transmisi bakteri yang
berasal dari mukosa vagina dan feses ibu hamil, dimana hal ini akan memberikan
efek serius pada komposisi mikrobiota usus bayi (Bennet and Nord, 1987).
Aagard et al., (2014) menemukan adanya perlambatan kolonisasi Bacteriodetes
pada bayi yang lahir melalui operasi sesar. Selain itu dilaporkan juga bahwa
keragaman mikrobiota usus akan menurun bila bayi dilahirkan melalui operasi
sesar.
2.1.1.3.2 Diet
Komposisi diet juga merupakan salah satu faktor penting dalam
perkembangan mikrobiota usus. Air susu ibu merupakan salah satu sumber
kolonisasi bakteri pada usus bayi, dan hal ini merupakan faktor penting yang
menentukan status kesehatan anak-anak (Koenig et al., 2011). Air susu ibu
dilaporkan memiliki lebih dari 700 spesies bakteri di dalamnya (Cabrera-Rubio et
al., 2012). Dalam 800 ml air susu ibu diperkirakan terkandung 105 – 107 sel
bakteri komensal (Heikkila and Saris, 2003). Mikrobiota utama yang ditemukan
dalam air susu ibu adalah Streptococcus dan Staphyllococcus, yang merupakan
kelompok bakteri yang mengkolonisasi usus bayi pada usia yang relatif dini
(Palmer et al., 2007; Avhersina et al., 2014). Kandungan oligosakarida kompleks
dalam air susu ibu berfungsi sebagai prebiotik yang akan merangsang
pertumbuhan Staphyllococcus dan Bifidobacteria (Hunt et al., 2011; Zivkovic et
al., 2011). Dibandingkan dengan air susu ibu, pemberian susu formula
17
menghasilkan konsorsium mikroba yang berbeda dimana Bacteriodes,
Clostridium, Streptococcus, Enterobacteria dan Veilonella ssp merupakan
kelompok bakteri yang mendominasi (Adelberth and Wold, 2009; Fallani et al.,
2010; Bezirtzoglou et al., 2011).
Pengenalan makanan padat pada usus bayi memegang peranan penting
dalam perkembangan awal mikrobiota usus. Keragaman mikrobiota usus akan
meningkat seiring diperkenalkannya makanan padat pada bayi, terutama
pertumbuhan bakteri penghasil butirat seperti Bacteriodes dan beberapa spesies
Clostridium (Koenig et al., 2011; Fallani et al., 2010). Saat pengenalan makanan
padat, bayi akan terpapar oleh lebih banyak jenis karbohidrat yang tidak bisa
dicerna oleh sistem ensim host. Sebagai konsekuensi dari perubahan komposisi
diet, akan terjadi perubahan komposisi mikrobiota usus akibat adanya substrat-
substrat baru yang akan memicu pertumbuhan berbagai mikroba spesifik (Fallani
et al., 2011; Tremaroli and Backhed, 2012). Penyapihan dan pengenalan makanan
padat secara bermakna akan menurunkan proporsi Bifidobacteria, Enterobacteria,
Clostridium difficile dan Clostridium perfringens. Sebaliknya akan terjadi
peningkatan proporsi Clostridium coocoides dan Clostridium leptum (Fallani et
al., 2011). Beberapa makanan padat lain seperti kacang dalam diet bayi akan
meningkatkan bakteri dari filum Bacteriodetes, yang juga disertai dengan
peningkatan mikrobiom fungsional yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat
dan sintesis vitamin (Koenig et al., 2011). Dari data-data di atas dapat dilihat
bahwa pengenalan makanan padat akan memicu pematangan konsorsium
mikrobiota usus menuju ke arah konsorsium mikrobiota orang dewasa.
18
2.1.1.3.3 Paparan Antibiotika
Antibiotika merupakan salah satu obat yang sering diberikan pada bayi
khususnya pada kasus-kasus infeksi bakteri. Selain resiko terjadinya kekebalan,
penggunaan antibiotika secara berlebihan dapat merusak keseluruhan ekologi
mikrobiota usus, mengurangi kepadatan mikrobiota dan meningkatkan potensi
anak untuk menderita gangguan kesehatan (Cho et al., 2012; Kamada et al.,
2013). Ekologi dari komunitas mikrobiota ini akan rusak bila terpapar antibiotika
pada saat usia dini kehidupan atau bila terpapar dalam jangka waktu lama (Fouhy
et al., 2012). Kerusakan ekologi beserta penurunan diversitas mikrobiota
meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri usus oportunistik
(Dethlefsen et al., 2008). Clostridium difficile merupakan bakteri yang paling
sering menyebabkan infeksi yang berkaitan dengan gangguan mikrobiota usus
akibat paparan antibiotika (Rousseau et al., 2011).
Penggunaan antibiotika pada usia dini juga mempengaruhi pertumbuhan
filum bakteri dominan pada usus manusia. Paparan ampisilin dan gentamisin pada
bayi baru lahir cenderung meningkatkan proporsi Proteobacteria, Actinobacteria
dan Lactobacillus (Fouhy et al., 2012). Tanaka et al., (2009) menemukan bahwa
pemberian antibiotika spektrum luas pada 4 hari pertama usia bayi menurunkan
keragaman mikrobiota usus disertai dengan penurunan kolonisasi Bifidobacterium
dan peningkatan Enterococcus.
Penggunaan antibiotika pada usia dini akan meningkatkan suseptibilitas
bayi untuk menderita berbagai penyakit di kemudian hari. Pemberian vankomisin
pada mencit usia dini meningkatkan suseptibilitasnya untuk menderita asma
19
(Russell et al., 2012). Vrieze et al., (2013) menemukan bahwa pemberian
vankomisin meningkatkan metabolisme asam empedu dan glukosa yang terkait
dengan kejadian obesitas pada manusia. Beberapa laporan penelitian juga
menghubungkan paparan antibiotika dengan kejadian Irritable Bowel Disease
(IBD) pada anak-anak, dimana ditemukan hubungan yang kuat antara kejadian
IBD dengan paparan antibiotika pada tahun pertama usia bayi (Shaw et al., 2010).
Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara
penggunaan antibiotika dengan onset penyakit tertentu, meskipun perlu diteliti
lebih mendalam bagaimana mekanisme pastinya.
2.1.1.3.4 Lingkungan dan Gaya Hidup
Anggota keluarga merupakan salah satu faktor lingkungan yang juga
mempengaruhi proses kolonisasi mikrobiota usus. Saudara maupun anggota
keluarga yang memiliki kontak dekat dengan bayi akan menjadi sumber
kolonisasi mikrobiota. Oleh karena itu proporsi Bifidobacterium spp pada bayi
yang memiliki saudara kandung yang lebih tua akan lebih tinggi dibandingkan
bila dia merupakan anak tunggal (Penders et al., 2006).
Fallani et al., (2010) menemukan bahwa mikrobiota usus bayi dari belahan
Eropa sebelah utara memiliki kandungan Bifidobacterium spp, Clostridium spp
dan Atopobium spp yang lebih tinggi dibandingkan bayi dari belahan Eropa
selatan. Sebaliknya Eubacteria, Lactobacillus dan Bacteriodes merupakan
mikrobiota usus dominan pada bayi di belahan Eropa sebelah selatan. Mikrobiota
usus bayi-bayi di Finlandia memiliki kandungan Bifidobacterium spp lebih tinggi
dibandingkan bayi di Jerman (Grzeskowiak et al., 2012). De Filippo et al., (2010)
20
menemukan bahwa mikrobiota usus bayi di Burkina Faso, sebuah daerah
pedesaan, sangat kaya akan Bacteriodes sementara bayi di perkotaan Italia
didominasi oleh Enterobacteriaceae. Data-data di atas menunjukkan bahwa lokasi
geografis pada area spesifik tertentu (negara, kota, desa) yang terkait dengan pola
diet dan gaya hidup berpengaruh terhadap konsorsium mikrobiota usus.
2.1.1.3.5 Genetik Host
Data-data dari penelitian pada manusia, binatang dan analisis komparatif
memberikan petunjuk bagi kita tentang kontribusi genetik host terhadap
pembentukan struktur dan fungsi mikrobiota usus. Akan tetapi masih banyak hal
yang belum dipahami dengan jelas dan menjadi bahan perdebatan para ahli.
Penelitian pada manusia, yang melibatkan saudara kembar dan anggota
keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan, menemukan bahwa kemiripan
komposisi mikrobiota yang paling tinggi ditemukan antar saudara kembar
monozigot (Zoetendal et al., 2001). Pada anak usia kurang dari 10 tahun, derajat
kemiripan komunitas mikrobiota paling tinggi ditemukan pada kembar identik
(Stewart, 2005). Sebaliknya studi metagenomik terhadap 31 pasangan kembar
monozigot dan 23 pasangan kembar dizigot yang dilakukan oleh Turnbaugh et al.,
(2009) dan Turnbaugh et al., (2010) tidak menemukan adanya perbedaan
bermakna pada keragaman mikrobiota antara pasangan kembar monozigot dan
dizigot.
Di sisi lain, studi menggunakan metode berbasis sidik jari DNA oleh
Kovacs et al., (2010) menemukan bahwa latar belakang genetik secara bermakna
mempengaruhi komposisi mikrobiota, dan pengaruh ini tidak tergantung kepada
21
jenis kelamin. Selanjutnya Buhnik-Rosenblau et al., (2011) menunjukkan bahwa
genetik dari host berperan penting terhadap komposisi dan level kolonisasi
Lactobacillus johnsonii pada usus mencit.
Penelitian yang berbasis pada analisis gen tunggal dilakukan untuk
memahami mekanisme molekuler yang menjelaskan bagaimana genetik dari host
bertanggung jawab terhadap pembentukan dan perkembangan mikrobiota usus.
Zhang et al., (2012) melakukan penelitian pada mencit knockout (mutasi genetik
pada gen Apoe-I) dengan gangguan toleransi glukosa untuk menilai hubungan
antara genetik host, diet dan perkembangan sindrom metabolik. Analisis terhadap
profil molekuler gen 16S rRNA menunjukkan bahwa 12% dari total variasi
struktural mikrobiota usus dipengaruhi oleh mutasi genetik, sedangkan kontribusi
dari perubahan diet sebesar 57%. Penelitian lain menemukan bahwa defisiensi
leptin genetik (pada mencit dengan fenotipe obese) memiliki efek terhadap
komposisi mikrobiota, dimana ditemukan penurunan dari Bacteriodes spp (Ley et
al., 2005).
Untuk memahami mekanisme dasar dari modulasi mikrobiota, dibutuhkan
pemahaman terhadap sifat spesifik host yang terkait dengan interaksi mikroba.
Selain modulasi melalui sistem imunitas, gangguan pada struktur dan fungsi
mikrobiota usus juga diduga disebabkan oleh polimorfisme pada genetik host.
Meskipun bukti-bukti yang ada saat ini menunjukkan adanya pengaruh genetik
terhadap struktur mikrobiota usus, masih dibutuhkan analisis mendalam untuk
memahami sepenuhnya mekanisme yang mendasari interaksi antara genetik host
dengan mikrobiota usus.
22
2.1.2 Komposisi dan Stabilitas Mikrobiota Usus Pada Orang Dewasa
Pada orang dewasa sehat, keragaman mikrobiota spesifik memegang peran
penting dalam mempertahankan homeostasis sistem imunitas. Hal ini ditunjang
dengan fakta bahwa gangguan pada mikrobiota usus berhubungan dengan
penyakit yang terkait dengan saluran cerna (Kayama and Takeda, 2012).
Analisis terhadap sampel feses dengan target pada gen 16S rRNA
menggunakan metode Next-Generation Sequencing (NGS) memungkinkan kita
untuk mencapai konsensus tentang komposisi mikrobiota usus. Mikrobiota pada
usus besar orang dewasa sehat didominasi oleh 2 filum yakni Firmicutes dan
Bacteriodetes, disusul dengan Actinobacteria dengan genus utamanya adalah
Bifidobacterium (Turnbaugh et al., 2009). Komposisi mikrobiota usus orang
dewasa sehat relatif stabil, dan sekali stabilitas ini tercapai maka kondisi ini akan
bertahan dalam jangka waktu yang lama. Penelitian yang dilakukan oleh Faith et
al., (2013) terhadap 37 orang dewasa sehat menemukan bahwa 60% dari strain
awal mikrobiota masih tetap bertahan dalam jangka waktu 5 tahun. Stabilitas ini
sangat penting untuk menjamin bahwa fungsi-fungsi penting dari mikrobiom
selalu ada sehingga memberikan keuntungan bagi host.
Pada usus halus, komposisi mikrobiota terutama disusun oleh
Streptococcus, Clostridium dan Veilonella (Zoetendal et al., 2012; Leimena et al.,
2013). Tidak seperti mikrobiota usus besar, komposisi bakteri usus halus
mengalami fluktuasi temporer, berbeda antara profil di pagi hari dengan sore hari.
Fluktuasi dinamis ini dipicu oleh komponen diet dan terdapat bervariasi antar-
individu tergantung pada diet yang dikonsumsinya (Booijink et al., 2010).
23
2.1.3 Mikrobiota Usus Pada Usia Lanjut
Perubahan pada populasi mikroba yang berkaitan dengan proses penuaan
menjadi fokus penelitian pada beberapa tahun terakhir ini. Mikrobiota pada orang
lanjut usia, lebih dari 65 tahun, dilaporkan memiliki variasi antar-individu yang
lebih besar dibandingkan orang dewasa (Claesson et al., 2012). Lebih lanjut
ditemukan bahwa orang-orang yang mencapai usia 100 tahun atau lebih memiliki
komposisi bakteri yang berbeda dan keragaman yang lebih rendah dibandingkan
orang dewasa dan usia lanjut yang lebih muda (Biagi et al., 2010). Usia lanjut
diatas 100 tahun mengalami peningkatan bakteri fakultatif anaerob seperti
Proteobacteria, disertai penurunan bakteri spesifik seperti Faecalibacterium
prauznitzii. Peneliti lain melaporkan bahwa mikrobiota pada individu di atas 100
tahun menunjukkan penurunan Bacteriodes, Bifidobacterium dan
Enterobacteriaceae, sedangkan Clostridium spp meningkat secara bermakna
dibandingkan orang dewasa (Drago et al., 2012).
Perubahan konsorsium mikrobiota usus pada usia lanjut berkaitan dengan
penurunan kesehatan secara umum. Penelitian lanjutan perlu dilakukan mengingat
perubahan-perubahan yang terjadi selama proses penuaan belum dipahami secara
jelas. Hasil dari penelitian-penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam
upaya memanipulasi mikrobiota usus untuk meningkatkan status kesehatan.
2.2 Interaksi antara mikrobiota usus dengan metabolisme tubuh host
dalam patofisiologi obesitas
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa mikrobiota usus membantu host
untuk mengekstrak energi dari makanan dan meningkatkan penyimpanan lemak
24
(Turnbaugh et al., 2006 Samuel et al., 2008). Mencit germ-free memiliki total
masa lemak tubuh 40% lebih sedikit dibandingkan tikus konvensional meskipun
konsumsi kalorinya 29% lebih banyak (Turnbaugh et al., 2006). Selain itu tikus
germ-free yang ditransplantasi dengan mikrobiota dari tikus konvensional
mengalami peningkatan masa lemak tubuh sebesar 57% disertai peningkatan
kadar trigliserida hepar dan resistensi insulin meskipun konsumsi makanannya
tiak bertambah (Backhed et al., 2004). Larsson et al., (2012) menemukan bahwa
ekspresi gene host pada mukosa usus, jaringan hepar dan lemak yang terlibat
dalam menjaga keseimbangan energi, metabolisme lemak dan metabolisme
mitokondria berbeda secara bermakna antara mencit germ-free dan konvensional.
Penelitian-penelitian pada mencit germ-free dan konvensional menemukan
beberapa mekanisme yang menghubungkan mikrobiota usus dengan metabolisme
energi. Hooper et al., (2012) dan Musso et al., (2011) menemukan bahwa
mikrobiota usus berperan dalam perkembangan lapisan epitel mukosa usus
dengan meningkatkan kepadatan kapiler vili mukosa usus halus yang akan
mempengauhi fisiologi dan motilitas usus sehingga meningkatkan penyerapan
kalori dari diet. Mikrobiota usus dapat menghambat ekspresi dari Fasting-induced
Adipocyte Factors (Fiaf) sehingga meningkatkan aktivitas dari lipoprotein lipase
(LPL). Peningkatan aktivitas LPL akan memicu penimbunan trigliserida dalam
sel-sel lemak (Backhed et al., 2004). Winder et al., (1999) dan Samuel et al.,
(2008) menemukan bahwa mikrobiota usus menghambat pelepasan adenosine
monophosphate-activated protein kinase (AMPK) yang utamanya diekspresikan
pada jaringan otot skelet, otak dan hepar sebagai respon terhadap stres metabolik.
25
Penghambatan aktvitas AMPK akan menurunkan oksidasi asam lemak
mitokondria, ketogenesis, absorpsi glukosa dan sekresi insulin, sebaliknya
meningkatkan lipogenesis serta sintesis kolesterol dan trigliserida. Mikrobiota
usus membantu mencerna polisakarida dalam diet, menghasikan asam lemak
rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) utamanya asetat, butirat dan
propionat. Molekul-molekul ini mempengaruhi adipositas host dengan memicu
liponeogenesis de-novo hepar, mengatur penyimpanan trigliserida sehingga
memicu penyimpanan energi (Backhed et al., 2004). Mekanisme kerja dari SCFA
ini diperantarai oleh aktivasi reseptor endogen yang dikenal sebagai free fatty acid
receptor (FFAR) seperti FFAR2 (GPR43) dan FFAR3 (GPR41). Reseptor-
reseptor ini ditemukan pada sel lemak, epitel dan sel enteroendokrin pada mukosa
usus. Aktivasi kedua reseptor ini memicu peningkatan ekspresi hormon PYY yang
akan meningkatkan motilitas usus. Aktivasi GPR41 juga memicu ekspresi hormon
leptin pada sel adiposa. Graham et al., (2015) melaporkan bahwa aktivas GPR4
memicu pertambahan berat badan. Ditemukan bahwa bila bakteri-bakteri
penghasil SCFA ditranspantasikan kepada menit germ-free, akan terjadi
peningkatan berat badan seiring dengan penngkatan masa lemak tubuh. Hal ini
tidak terjadi pada mencit ynag defisien GPR4. Ditemukan pula bahwa beberapa
SCFA seperti butirat dan propionat memicu peningkatan sekresi GLP-1 yang akan
menurunkan nafsu makan sehingga mengurangi konsumsi makanan. Parseus et
al., (2016) mengungkapkan bahwa mikrobiota usus berperan dalam obesitas yang
diinduksi makanan tinggi lemak melalui pengaturan farenoid-x receptor (FXR).
26
FXR adalah reseptor asam empedu yang bertanggung jawab terhadap pengaturan
sintesis asam empedu dan akumulasi trigliserida dalam jaringan hepatik.
2.3 Resistensi Insulin
2.3.1 Definisi dan Patogenesis Resistensi Insulin
Resistensi insulin merupakan gangguan metabolisme kompleks akibat
kelainan sekresi dan atau kerja insulin. Pada resistensi insulin, sel-sel tubuh tidak
memberikan respon yang adekuat terhadap insulin yang bersirkulasi (Sears and
Perry, 2015). Manifestasi klinis dari resistensi insulin berupa intoleransi glukosa
dan hiperinsulinemia, adalah konsekuensi dari ketidakmampuan insulin untuk
merangsang penyerapan glukosa dalam jaringan target insulin seperti hepar, otot
dan lemak. Resistensi insulin merupakan kelainan kunci pada sindroma metabolik
(Moller and Kauffman, 2005), dan menjadi faktor pemicu timbulnya diabetes
mellitus tipe-2 (DMT2). Diabetes mellitus, khususnya diabetes mellitus tipe-2
(DMT2), merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable
diseases) yang ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. Diabetes merupakan
salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit tidak menular. Dalam kurun
tahun 2013, diabetes menyebabkan 5,1 juta kematian (8,4%) dari perkiraan total
kematian akibat penyakit tidak menular pada penduduk usia 20-79 tahun,
meningkat 11% dari perkiraan kematian di tahun 2011. Biaya kesehatan yang
harus dikeluarkan untuk pengobatan diabetes dan komplikasinya mencapai 548
miliar dolar di tahun 2013, dan diperkirakan meningkat menjadi 627 miliar dolar
di tahun 2035 (International Diabetes Federation, 2013).
27
Pada keadaan resistensi insulin akan terjadi peningkatan sekresi insulin
oleh sel-β pankreas dan kompensasi hiperinsulinemia. Sepanjang kompensasi
hiperinsulinemia masih mampu menjaga homeostasis metabolisme glukosa, kadar
gula darah dan toleransi glukosa akan tetap normal. Pada individu yang akan
berkembang menjadi DMT2, kompensasi oleh sel-β pankreas akan berkurang
sehingga terjadi insufisiensi insulin relatif yang menimbulkan gangguan toleransi
glukosa dan DMT2. Selain pada DMT2, resistensi insulin juga dapat terjadi pada
keadaan-keadaan lain seperti sindroma metabolik, obesitas, sindrom ovarial
polikistik (PCOS) dan usia lanjut (Kim and Sears, 2010). Adaptasi metabolik
terhadap stres seperti kehamilan, hibernasi dan sepsis juga dapat memicu
terjadinya resistensi insulin (Odegaard and Chawla, 2013).
Resistensi insulin merupakan kondisi kompleks yang disebabkan oleh
berbagai faktor. Inflamasi yang dipicu oleh nutrisi yang berlebihan (Gregor and
Hotamisligil, 2011), perubahan pada metabolisme lemak (Samuel and Shulman,
2012) serta perubahan pada mikrobiota usus atau disbiosis (Kau et al., 2011;
Nicholson et al., 2012) merupakan faktor-faktor yang saling berkaitan dalam
menimbulkan resistensi insulin. Meskipun mekanisme resistensi insulin belum
sepenuhnya dipahami, pada tingkat seluler diketahui terjadi penurunan aktivitas
sinyal insulin. Fosforilasi pada residu serin/treonin dari IRS-1 akan memicu
degradasi dari protein IRS-1 yang terfosforilasi sehingga menurunkan kekuatan
sinyal insulin (Pederson et al., 2001; Drazin, 2006).
Inflamasi kronik merupakan penyebab utama pada resistensi insulin yang
dipicu oleh obesitas (Gregor and Hotamisligil, 2011; Lumeng and Saltiel, 2011).
28
Aktivasi jalur pro-inflamasi telah diketahui pada berbagai keadaan resistensi
insulin (Shah, 2007; Hotamisligil and Erbay, 2008; Schenk et al., 2008; Olefsky
and Glass, 2010). Inflamasi kronis menghambat sensitivitas insulin melalui
aktivasi jalur sinyal yang secara langsung mengganggu fungsi normal dari
komponen kunci dalam jalur sinyal insulin (Hotamisligil and Erbay, 2008; Schenk
et al., 2008). Gangguan pada jalur sinyal insulin merupakan akibat dari aktivasi
TLR4 yang merupakan reseptor pada permukaan sel imun maupun non-imun.
Aktivasi TLR4 akan menghasilkan respon imun alamiah melalui kaskade reaksi
yang mengaktifkan berbagai kinase dan faktor transkripsi. Kaskade reaksi ini
akan memicu pembentukan sitokin pro-inflamasi, kemokin, eikosanoid dan
reactive oxygen species (ROS) yang semuanya adalah efektor sistem imunitas
alamiah. TLR4 diekspresikan pada permukaan sel-sel yang menjadi target kerja
insulin seperti hepar, jaringan lemak, otot skeletal, sel-β pankreas dan otak
(Gambar 2.1).
29
Gambar 2.1Ditribusi TLR4 pada sistem organ/jaringan yang terlibat dalam pengaturan
metabolisme dan sensitivitas terhadap insulin (Dikutip dari Kim and Sears, 2010)
Oleh karena itu aktivasi TLR4 akan menurunkan kerja insulin secara langsung
melaui aktivasi kinase pro-inflamasi dan ROS, dan secara tidak langsung melalui
aktivasi kaskade sinyal sitokin dan pelepasan sitokin pro-inflamasi secara sistemik
(Gambar 2.2).
30
Gambar 2.2Mekanisme Molekuler Resistensi Insulin Yang Diinduksi Oleh LPS. LPS
berikatan dengan TLR4 yang akan mengalami dimerisasi. Melalui molekuladapter My88 dan MAL selanjutnya akan terjadi kaskade reaksi yang IRAK,
TRAF-6, TAK-1, JNK dan kompleks IKKb. IKKb memicu translokasi NFkB kedalam inti sel dan memicu ekspresi sitokin pro-inflamasi. Aktivasi JNK dan IKKbjuga memicu fosforilasi serin pada IRS1/2 yang menghambat jalur sinyal insulin
sehingga terjadi resistensi insulin (Dikutip dari Saad et al., 2016)
2.3.2 Peranan Mikrobiota Usus Dalam Resistensi Insulin
Tubuh manusia dikolonisasi oleh berbagai macam mikroba yang sangat
beragam, yang secara bersama-sama disebut sebagai mikrobiota, dan terdiri dari
bakteri, jamur dan arkae. Mikroba ini mengkolonisasi berbagai bagian tubuh
manusia, terutama pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan manusia dapat
dianggap sebagai ekosistem kompleks yang sangat besar, mengandung 1012 - 1014
sel mikroorganisme (Ley et al., 2005), yang dianggap sebagai flora normal pada
31
manusia. Sebagian besar mikroorganisme saluran cerna ini merupakan bakteri
dan sisanya berupa arkae dan jamur. Kolon merupakan bagian usus dengan
kepadatan mikroba tertinggi, mencapai 1011- 1012 sel/ml. Komposisi bakteri
saluran cerna terdiri dari sekitar 1000-1500 spesies yang berbeda, terutama
didominasi oleh filum Firmicutes (60-80%) dan Bacteriodetes (20-40%), dan
sisanya berupa Proteobacteria, Actinobacteria, Verricomicrobia dan Fusobacteria
(Sun and Chang, 2014). Faecalibacterium prausnitzii merupakan spesies bakteri
terbanyak pada saluran cerna orang dewasa, mencapai 5% dari total populasi
bakteri usus (Miquel et al., 2013).
Secara ilmiah saat ini diketahui bahwa flora normal pada manusia
berperan dalam berbagai fungsi vital yang berkaitan dengan nutrisi, metabolisme,
imunitas dan proses penuaan (Turnbaugh et al., 2006; Atarashi et al., 2011;
Tremaroli and Backhed, 2012). Mikrobiota usus terlibat dalam beberapa fungsi
biologis penting seperti sistem imunitas, pertahanan terhadap bakteri patogen,
pertumbuhan mikrovili mukosa usus serta degradasi molekul polisakarida yang
tidak bisa dicerna oleh sistem ensim host (Delzenne and Cani, 2011; Delzenne et
al, 2011). Selain itu, kemampuannya untuk memodulasi jalur komunikasi intrasel
akan berpengaruh terhadap keseimbangan metabolisme dan energi pada host
(Backhed et al, 2004; Turnbaugh et al., 2006; Backhed et al., 2007; Cani and
Delzenne, 2007; Hildebrandt et al., 2009). Mikrobiota usus memegang peranan
penting dalam kejadian resistensi insulin dan DMT-2 dengan memicu terjadinya
low-grade inflammation (Backhed et al., 2007; Cani et al., 2007; Gregor and
Hotamisligil, 2011; Lumeng and Saltiel, 2011; Shen et al., 2013). Low-grade
32
inflammation merupakan gambaran umum yang lazim ditemukan pada obesitas
dan sindrom metabolik termasuk DMT-2. Beberapa mekanisme diduga berperan
dalam menghubungkan mikrobiota usus dengan low-grade inflammation. Di
antara beberapa mekanisme tersebut, lipopolisakarida (LPS) yang berasal dari
mikrobiota usus merupakan faktor kunci yang berperan dalam perkembangan
awal inflamasi dan sindroma metabolik (Cani et al., 2007).
Lipopolisakarida (LPS) adalah komponen utama dari dinding sel bakteri
gram-negatif. Molekul ini terpapar langsung dengan lingkungan luar bakteria
sehingga diduga memegang peranan penting sebagai pertahanan terhadap bahaya
dari luar (Leone et al., 2007). LPS sangat vital bagi kehidupan bakteri gram-
negatif. Satu sel bakteri gram-negatif seperti Escherichia coli mengandung
sekitar 3,5 x 106 molekul LPS (Rietschel et al., 1994). LPS tersusun oleh 3
komponen yang berbeda yakni lipid-A, inti dan antigen-O. Lipid-A sangat
imunogenik dan bertanggung jawab terhadap timbulnya syok septik atau sepsis.
33
Gambar 2.3Struktur lipid-A dari molekul lipopolisakarida (Dikutip dari Nijland et al., 2014)
Lipid-A dari LPS tidak dikenali oleh host saat masih tertanam dalam
membran luar sel bakteri. Saat LPS dilepaskan, lipid-A akan terpapar dan memicu
respon imun. Pelepasan LPS dari membran sel dipicu oleh pertumbuhan atau lisis
sel bakteri (van Amersfoort et al., 2003). Pengenalan lipid-A dimulai dengan
ikatan dengan LPS-binding protein (LBP), dimana selanjutnya LBP akan
mengkatalisis transfer LPS ke molekul CD14. CD14 merupakan reseptor pada
permukaan sel monosit, makrofag dan polimorfonuklear leukosit yang akan
mengikat kompleks LPS-LBP. Penyebaran jalur sinyal dimulai saat CD14
berikatan dengan kompleks TLR4-MD2. LPS merupakan aktivator yang sangat
34
kuat dari toll-like receptor-4 (TLR-4). TLR4 dan MD2 merupakan komponen
vital dalam penyebaran sinyal (Da Silva Correia et al., 2001; Gioannini et al.,
2004; DeMarco and Woods, 2011).
Gambar 2.4
Jalur sinyal TLR4 (Dikutip dari Nijland et al., 2014)
Ikatan LPS dengan kompleks TLR4-MD2 akan memicu dimerisasi kompleks ini
dan penyebaran sinyal akan dimulai saat terjadi interaksi dengan domain
intraseluler dari molekul TLR4 (Fitzgerald et al., 2004; DeMarco and Woods,
2011). Dimerisasi kompleks menyebabkan terjadinya rekrutmen molekul adapter
(MyD88, TRIF, TRAM) yang melalui kaskade transduksi sinyal akan
mengaktivasi faktor transkripsi NFκB yang memicu produksi molekul pro-
35
inflamasi seperti TNF-α dan IL-6 (Fitzgerald et al., 2004; Kagan et al., 2008;
Tanimura et al., 2008).
2.4 Pengaruh Paparan Antibiotika Terhadap Ekologi Mikrobiota Usus
Penemuan antibiotika pada awal abad ke-19 merupakan salah satu tonggak
penting dalam sejarah kesehatan umat manusia. Meningkatnya umur harapan
hidup pada kurun waktu antara tahun 1940 – 1970 dianggap sebagai salah satu
kontribusi positif penggunaan antibiotika. Seiring meningkatnya penggunaan
antibiotika, muncul beberapa masalah baru khususnya yang berkaitan dengan
kekebalan bakteri terhadap antibiotika. Akan tetapi, data-data ilmiah yang
ditemukan akhir-ahir ini menunjukan bahwa penggunaan antibiotika tidak hanya
berkaitan dengan insiden kekebalan. Gangguan komposisi dan fungsi dari
mikrobiota usus (disbiosis) juga merupakan efek yang bermakna akibat
penggunaan antibiotika (Blaser, 2011). Bukti-bukti dari beberapa penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika menimbulkan efek jangka pendek
dan jangka panjang terhadap ekologi mikrobiota saluran pencernaan.
Penggunaan antibiotik merupakan salah satu faktor yang umum dan
signifikan dalam menimbulkan disbiosis mikrobiota saluran cerna (Hawrelak and
Stephen, 2004). Antibiotik tidak hanya membunuh bakteri patogen yang menjadi
sasaran kerjanya, tapi juga mempengaruhi bakteri lain yang menjadi komunitas
flora normal saluran cerna (Jernberg et al, 2007). Perubahan komposisi
mikrobiota saluran cerna yang disertai dengan pemulihan inkomplit dibandingkan
komposisi awal mikrobiota dapat diamati setelah pemberian antibiotik (Jernberg
et al, 2007; Jakobsson et al., 2010; Dethlefsen and Relman, 2010; Panda et al.,
36
2014). Usia dini kehidupan merupakan periode kritis untuk perkembangan
metabolisme (Dietz, 1994; Cunningham et al., 2014), sehingga gangguan
keseimbangan mikrobiota saluran cerna pada periode ini dapat memicu
ketidakseimbangan komposisi tubuh. Pada manusia, gangguan keseimbangan
mikrobiota saluran cerna pada usia dini kehidupan berhubungan dengan
peningkatan resiko kelebihan berat badan pada masa remaja (Ajslev et al., 2011;
Huh et al., 2012; Blustein et al., 2013; Murphy et al., 2013a; Trasande et al.,
2013). Efek jangka panjang penggunaan antibiotika pada usia dini kehidupan
terhadap perubahan komposisi mikrobiota usus diduga berperan dalam
perkembangan asma, eksim, dermatitis atopik, alergi, ensefalitis autoimun,
kandidiasis, kolera dan kolitis (Willing et al., 2011).
Perubahan utama pada mikrobiota usus akibat pemaparan antibiotika
adalah menurunnya keragaman taksonomi dan proporsi konsorsium bakteri.
Potensi suatu agen antimikroba dalam menimbulkan disbiosis mikrobiota usus
berkaitan dengan spektrum aktivitasnya (Gismondo, 1998), dosis dan
farmakokinetik (Nord, 1990), cara kerja (Jemberg et al., 2010) dan lama
pemberian (Peng et al., 2013). Perez-Cobas et al., (2013b) menemukan bahwa
golongan antibiotik, khususnya efek antimikrobial dan mekanisme kerja, berperan
penting dalam memodulasi komposisi dan fungsi mikrobiota usus.
Efek dari pemberian jangka pendek (7 hari) klindamisin, antibiotika
dengan efek utama terhadap bakteri anaerob, dapat bertahan selama 2 tahun,
ditandai dengan tidak pulihnya kelompok bakteri Bacteriodes secara persisten
(Jernberg et al., 2007). Selain itu regimen untuk eradikasi Helycobacter pylori
37
yang mengandung klaritromisin menurunkan secara bermakna keragaman
Actinobacteria dan meningkatkan gen resisten embB hampir 1000 kali lipat, dan
pada sebagian pasien, efek ini bertahan sampai selama 4 tahun (Jakobsson et al.,
2010). Efek dari siprofloksasin yang memiliki target utama bakteri gram-positif
bersifat jangka pendek, dimana terjadi penurunan dari Ruminococcus spp
(Dethlefsen et al., 2008). Janczyk et al., (2007) menemukan bahwa pemberian
amoksisilin dosis tunggal secara intramuskuler pada anak babi menurunkan
keragaman mikrobiota usus dan mengurangi spesies bakteri menguntungkan
seperti Roseburia faecalis. Penelitian pada mencit yang dilakukan oleh Murphy et
al., (2013a) menemukan bahwa vankomisin menurunkan proporsi Firmicutes dan
Bacteriodes secara bermakna, sedangkan proporsi Proteobacteria meningkat.
Rajpal et al., (2015) melakukan studi dengan memberikan paparan vankomisin
(anti gram-positif) dan seftazidim (anti gram-negatif) pada mencit yang diberi diet
tinggi lemak. Mencit yang dipapar dengan vankomisin menunjukkan komposisi
mikrobiota yang didominasi oleh Proteobacteria.
Yin et al., (2015) melakukan penelitian untuk melihat efek dinamik
keragaman mikrobiota usus akibat paparan beberapa golongan antibiotika.
Antibiotika golongan beta-laktam (seftriakson, cefoperason/sulbactam dan
meropenem), kuinolon (ofloksasin), glikopeptida (vankomisin) dan makrolid
(azitromisin) digunakan sebagai paparan untuk melihat pengaruhnya terhadap
keragaman mikrobiota usus mencit. Antibiotika beta-laktam dan vankomisin
secara dramatis merubah komposisi mikrobiota usus pada hari ke-2 setelah
pemberian antibiotika. Azitromisin juga merubah konsorsium mikrobiota usus
38
tapi dalam derajat yang lebih rendah dibandingkan beta-laktam dan vankomisin,
sedangkan ofloksasin tidak menyebabkan perubahan mikrobiota secara bermakna.
Antibiotika beta-laktam secara konsisten menghambat pertumbuhan Papillibacter,
Prevotella dan Alistipes, tetapi memicu pertumbuhan masif dari Clostridium.
Vankomisin menghambat bakteri dalam filum Firmicutes (khususnya
Clostridium), dan sebaliknya memicu pertumbuhan Escherichia coli. Sedangkan
antibiotika azitromisin dan meropenem memicu pertumbuhan Enterococcus.
Efek dari pemberian campuran beberapa antibiotika (antibiotic cocktails)
terhadap konsorsium mikrobiota usus juga menjadi obyek yang banyak dipelajari.
Campuran antibiotika metronidasol, vankomin dan neomisin yang diberikan pada
mencit menurunkan total jumlah bakteri pada ileum sampai 100 kali lipat (Ubeda
et al., (2010). Ditemukan juga gangguan komposisi mikrobiota pada ileum dan
sekum, ditandai dengan pertumbuhan berlebihan dari Enterobacteriaceae.
Mikkelsen et al., (2015) menggunakan paparan campuran antibiotika
vankomisin, gentamisin dan meropenem dan melihat pengaruhnya terhadap
konsorsium mikrobiota usus. Campuran antibitoika diberikan secara oral selama
4 hari. Total jumlah bakteri anaerobik menurun 27% segera setelah pemberian
antibiotika. Penurunan jumlah enterococci, koliform dan bifidobacteria mulai
terjadi segera setelah pemberian antibiotika dan mencapai puncaknya pada hari
ke-4. Pada hari ke-8 setelah pemberian antibiotika, terjadi peningkatan bermakna
jumlah bakteri aerob dan fakultatif anaerob serta enterococcus dan koliform.
39
2.5 Analisis Metagenomik Untuk Mengukur Keragaman Mikrobiota
Memahami keragaman komunitas mikroba merupakan komponen penting
dalam mempelajari mikrobiom manusia agar dapat mengungkap distribusi dan
pola perubahan mikrobiota. Karena sebagian besar mikrobiota usus tidak dapat
ditumbuhkan melalui metode kultur, maka pendekatan molekuler yang tidak
tergantung pada metode kultur sangat penting dalam mempelajari keragaman
mikrobiota. Makin majunya teknologi sekuensing DNA dengan perkembangan
pada Next Generation Sequencing (NGS) memungkinkan dilakukannya analisis
metagenomik dengan resolusi dan kapasitas yang lebih tinggi. Di antara beberapa
platform yang memanfaatkan teknologi NGS ini, 454 Pyrosequencing (Lauber et
al., 2009) dan Illumina-based sequencing (Caporaso et al., 2012) merupakan
platform yang sering digunakan dalam analisis metagenomik untuk melihat
keragaman mikrobiota. Penggunaan NGS memungkinkan peningkatan akurasi
dalam mengungkapkan kompleksitas keragaman suatu populasi mikroba, dan
sekaligus dapat menghubungkan keragaman komunitas mikroba dengan fungsi
lingkungannya (Bartram et al., 2011).
2.4.1 16S rRNA Sebagai Gen Marker
Melakukan sekuensing terhadap keseluruhan genom dari suatu populasi
mikroba merupakan usaha yang memerlukan sumberdaya dan biaya yang mahal.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu gen sebagai marker yang mewakili identitas dari
genom tersebut. Suatu marker memiliki persyaratan karakteristik tertentu antara
lain : harus ada dalam setiap anggota populasi, selalu berbeda hanya diantara
anggota populasi yang memiliki genom yang berbeda, dan memiliki perbedaan
40
yang proporsional sesuai dengan jarak evolusi dari genom yang berbeda.
Beberapa marker yang dikenal antara lain gen sub-unit protein ribosom, faktor
elongasi dan sub-unit polimerase RNA. Dari beberapa marker tersebut, gen 16S
rRNA merupakan marker yang paling sering digunakan (Lane et al., 1985; Tringe
and Hugenholtz, 2008). Analisis pada sekuen gen 16S rRNA dapat digunakan
untuk mempelajari keragaman mikrobiota dari berbagai lingkungan yang berbeda
(Li et al., 2012). Gen 16S rRNA memiliki 9 daerah hipervariabel (V1-V9) yang
digunakan sebagai target amplifikasi dan identifikasi taksa. Dari 9 regio
hipervariabel tersebut, regio V3-V4 dianggap paling optimal sebagai daerah target
untuk mengidentifikasi spesies bakteri (Chakravorty etal., 2007; Yang et al.,
2016).
2.4.2 Metode Pengukuran Keragaman Mikrobiota
Karakterisasi keragaman komunitas mikroba dari hasil pembacaan sekuen
gen 16S rRNA dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama, dilakukan
pengelompokan hasil pembacaan ke dalam unit taksonomi yang berbeda sehingga
bisa dibuat profil taksonominya. Selanjutnya profil taksonomi tersebut dinilai
keragamannya dengan menghitung richness (jumlah unit taksonomi yang ada) dan
evennes atau abundance (jumlah dari masing-masing unit taksonomi yang
berbeda) (Morales et al., 2009). Untuk membuat profil taksonomi ini pada
umumnya digunakan 2 pendekatan yang berbeda berdasarkan sekuen dari 16S
rRNA masing-masing sampel.
Metode pertama yang bisa digunakan adalah dengan mencocokkan
sekuens 16S rRNA sampel dengan basis data yang sudah disesuaikan dengan
41
suatu hirarki taksonomi (Liu et al., 2008). Beberapa basis data yang bisa
digunakan sebagai referensi antara lain GreenGenes (DeSantis et al., 2006),
Ribosomal Database Project atau RDP (Cole et al., 2009) dan SILVA (Quast et
al., 2013). Selain itu, The Human Microbiome Project Consortium juga
menyediakan basis data dari koleksi mikroorganisme yang berkaitan dengan
berbagai lokasi daalam tubuh manusia termasuk bakteri, virus, arkae dan
eukariota (The Human Microbiome Project Consortium, 2012a, 2012b).
Pendekatan ke-dua tidak berdasarkan pada klasifikasi taksonomi tetapi
menggunakan kemiripan sekuen untuk membentuk sebuah cluster (Schloss and
Westcott, 2011). Persentase kemiripan yang ditetapkan untuk sebuah cluster
berkisar antara 95%, 97% atau 99%. Semua hasil pembacaan yang berada dalam
satu cluster dianggap sebagai satu unit taksonomi operasional (Operational
Taxonomic Unit/OTU) yang sama.
Pengukuran keragaman sangat penting untuk memahami stuktur dan
perubahan dinamis suatu komunitas. Pengukuran keragaman suatu komunitas
pada mulanya didasarkan pada konsep spesies sebagai unit dasar dalam analisis.
Dalam konteks ini dikenal 2 macam keragaman yakni α-diversity dan β-diversity.
Alpha-diversity merujuk kepada keragaman dalam satu komunitas, dan biasanya
yang diukur dalam keragaman ini adalah jumlah spesies (richness), proporsi
relatif suatu spesies (evenness) atau kombinasi ke duanya. Sedangkan β-diversity
menilai keragaman antara 2 atau lebih komunitas, dimana dalam kaitan ini akan
dihitung jumlah spesies sama yang dibagi dalam komunitas-komunitas tersebut.
42
Pendekatan lain yang digunakan dalam mengukur keragaman populasi
adalah metode yang berbasis pada konsep divergensi (divergence-based diversity)
(Martin, 2002; Eckburg et al., 2005; Lozupone and Knight, 2005). Metode ini
didasarkan pada konsep bahwa keragaman suatu populasi akan meningkat bila
unit-unit penyusun populasi itu makin divergen. Oleh karena itu, 2 buah populasi
dianggap mirip bila berasal dari satu cabang filogenetik.
Keragaman suatu komunitas dapat dihitung dengan beberapa cara. Dalam
perhitungan ini beberapa faktor perlu dipertimbangkan, yakni : apakah akan
mengukur keragaman dalam satu komunitas (α-diversity) atau antar komunitas (β-
diversity), apakah pengukuran bersifat kualitatif (mengukur ada atau tidaknya
suatu taksa) ataukah bersifat kuantitatif menghitung (jumlah dari masing-masing
taksa) serta apakah pengukuran bersifat spesies-based atau divergence-based.
Beberapa cara pengukuran keragaman ditampilkan dalam Tabel 2.1.
Tabel 2.1
Metode pengukuran keragaman populasi mikroba (dikutip
dari Lozupone and Knight, 2008)
α-diversity β-diversity
Kualitatif
Spesies-based :Chao 1ACERarefaction
Divergen-based :Phylogenetic Diversity
Spesies-based :Sorensen IndexJacard Index
Divergen-based :Unweighted UniFracTaxonomic Similarity (Δs)
Kuantitatif
Spesies-based :Shannon’s Index (H)Inverse Simpson’s Index (1/D)
Divergen-based :ThetaBerger-Parker Dominance
Spesies-based :Sorensen Quantitative IndexMorisita-Horn Measure
Divergen-based :Weighted UniFracFST
DPCoA
43
Pada dasarnya semua metode pengukuran di atas dapat digunakan
terhadap berbagai macam komunitas, meskipun beberapa di antaranya lebih sering
diimplementasikan pada ekologi spesifik tertentu. Beta-diversity berbasis
divergensi seringkali digunakan pada komunitas mikrobial untuk menentukan
apakah komunitas tersebut berbeda secara bermakna. Sebaliknya pengukuran α-
diversity berbasis divergensi sangat jarang digunakan untuk menilai komunitas
mikrobial (Eckburg et al., 2005; Lozupone and Knight, 2007).
2.5 Fecal Microbial Transplantation
2.5.1 Pengertian Fecal Microbial Transplantation
Komunitas mikroorganisme dalam usus manusia memegang peran
penting dalam berbagai fungsi tubuh. Data-data dari analisis metagenomik
menunjukkan bahwa keragaman spesies mikrobiota usus merupakan indikator dari
status kesehatan seseorang (Gill et al., 2006; Wang et al., 2009; Claesson et al,
2012). Dalam kaitan dengan asumsi di atas, maka manipulasi komposisi
mikrobiota usus memiliki potensi sebagai terapi terhadap beberapa penyakit
tertentu.
Fecal Microbial Transplantation (FMT) merupakan pemberian material
feses yang mengandung mikrobiota usus dari seorang donor sehat kepada resipien
dengan tujuan untuk merubah komposisi mikrobiota resipen dan memberikan efek
menguntungkan bagi kesehatan (Bakken et al., 2011; Smits et al., 2013). Prinsip
dari FMT adalah mengobati penyakit dengan mengembalikan keragaman
filogenetik mikrobiota usus sehingga menyerupai komposisi pada orang sehat.
44
2.5.2 Sejarah FMT
Penggunaan FMT sebagai upaya terapi telah dikenal sejak abad ke-4 di
Cina, dimana suspensi feses manusia diberikan secara oral untuk mengobati kasus
keracunan makanan dan diare berat (Zhang et al., 2012). Penggunaan FMT dalam
bidang kesehatan hewan juga telah dikenal sejak abad ke-17 (DePeters and
George, 2014). Dalam era modern, penggunaan FMT sebagai upaya pengobatan
dilaporkan pertama kali oleh Ben Eiseman di tahun 1958 untuk mengobati pasien
dengan pseudomembranous colitis (dikutip dari Kelly et al., 2015). Kebanyakan
pengalaman klinis penggunaan FMT berkaitan dengan pengobatan terhadap
infeksi oleh Clostridium difficile (Clostridium difficile Infection/CDI) (Smits et
al., 2013). Keberhasilan penggunaan FMT untuk mengobati CDI menimbulkan
harapan bahwa FMT juga memiliki potensi untuk digunakan dalam pengobatan
kasus-kasus lain yang berkaitan dengan disbiosis seperti sindroma metabolik,
obesitas, alergi makanan, Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan Irritable Bowel
Syndrome (IBS).
2.5.3 Indikasi FMT
FMT telah direkomendasikan sebagai salah satu modalitas terapi untuk
kasus-kasus CDI berulang yang tidak memberikan respon terhadap pemberian
vankomisin. Angka kesembuhan pada pasien CDI berulang yang diterapi dengan
FMT mencapai 87-90% (Camarota et al., 2014; Rossen et al., 2015). FMT pada
kasus-kasus CDI dikatakan aman, ditoleransi dengan baik dengan efek samping
yang relatif ringan (Kelly et al., 2015). Indikasi utama pemberian FMT pada
kasus CDI adalah (Bakken et al., 2011) :
45
1. CDI berulang :
a. Tiga atau lebih episode CDI ringan sampai sedang dan tidak
berespon terhadap pemberian vankomisin dan atau antibiotik
alternatif (rifaksimin, nitazoxanid atau fidaksomisin) selama 6-8
minggu
b. Minimal 2 episode CDI yang memerlukan perawatan di rumah
sakit dan berkaitan dengan morbiditas yang nyata
2. CDI sedang yang tidak membaik dengan terapi standar (vankomisin atau
fidaksomisin) selama minimal 1 minggu
3. CDI berat atau fulminan yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi
antibiotika standar selama 48 jam
Selain pada kasus CDI, FMT juga telah dicoba untuk digunakan sebagai
terapi pada kasus Inflammatory Bowel Diseases (IBD), obesitas dan sindrom
metabolik serta gangguan gastrointestinal fungsional (Functional Gastrointestinal
Disorders/FGID). IBD, termasuk di dalamnya ulcerative colitis dan Crohn’s
disease, ditandai dengan adanya inflamasi kronis pada saluran gastrointestinal,
dengan periode remisi dan eksaserbasi berulang yang bersifat siklik. Bukti-bukti
menunjukkan adanya hubungan antara disbiosis saluran cerna dengan
perkembangan IBD, sehingga muncul upaya-upaya untuk menggunakan FMT
sebagai pendekatan terapi (Damman et al., 2012). Hasil review sistematik dan
meta analisis menunjukkan angka kesembuhan pasien IBD yang diterapi dengan
FMT mencapai 36,2% (Colman and Rubin, 2014). Angka remisi klinis pada kasus
ulcerative colitis mencapai 22%, dan pada anak usia 7-20 tahun angkanya
46
meningkat sampai 64,1%. Sedangkan pasien dengan Crohn’s disease mencapai
angka remisi klinis sebesar 60,5%. Beberapa efek samping yang dijumpai setelah
pemberian FMT pada kasus IBD antara lain demam, menggigil, muntah, diare dan
nyeri abdomen (Suskind et al., 2015). Beberapa laporan bahkan menyebutkan
memburuknya kondisi pasien setelah pemberian FMT (Angelberger et al., 2013;
De-Leon et al., 2013). Rendahnya efikasi FMT dalam pengobatan IBD
dibandingkan pada kasus CDI diduga karena adanya faktor yang lebih beragam
dalam patofisiologi IBD (Kelly et al., 2015)
Sindrom metabolik, yang ditandai dengan beberapa karakterisik seperti
obesitas sentral, hipetensi, dislipidemia dan hiperglikemia meningkatkan resiko
untuk menderita gangguan kardiovaskuler dan diabetes melitus. Data-data
menunjukkan bahwa mikrobiota usus terkait dengan patofisiologi obesitas (Cho et
al., 2012). Analisis metagenomik menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada
mikrobiota usus antara individu obese dan normal. Ley et al., (2005) dan
Turnbaugh et al., (2006) menemukan bahwa pada individu obese terjadi
peningkatan rasio Firmicutes terhadap Bacteriodetes yang disertai peningkatan
kemampuan untuk mengekstrak energi dari makanan. Lebih lanjut ditemukan
bahwa tikus bebas mikroba (germ-free) yang dikolonisasi dengan mikrobiota dari
individu obese menunjukkan peningkatan bermakna pada penumpukan sel-sel
adiposit dibandingkan tikus yang dikolonisasi denagn mikrobiota orang normal
(Turnbaugh et al., 2006). Vrieze et al., (2013) menemukan bahwa transplantasi
feses orang normal kepada individu obese dengan sindrom metabolik
memperbaiki sensitivitas insulin, meningkatkan keragaman mikrobiota usus dan
47
meningkatkan bakteri penghasil butirat seperti Roseburia intestinalis. Bukti-bukti
di atas membuka peluang untuk memanfaatkan FMT sebagai upaya terapi pada
kasus-kasus sindrom metabolik dan kelainan penyertanya.
2.5.4 Pemilihan Donor
Pemilihan donor sebagai sumber mikrobiota feses merupakan faktor
penting dalam prosedur FMT. Beberapa keuntungan dan kerugian perlu
dipertimbangkan dalam memilih donor. Donor yang berasal dari kontak dekat
(pasangan suami atau istri) memiliki lingkungan yang sama sehingga mengurangi
resiko penularan penyakit infeksi yang berasal dari lingkungan. Donor yang
berasal dari saudara kandung secara teori akan memiliki kemiripan komunitas
mikrobiota, sehingga akan mengurangi resiko intoleransi sistem imunitas.
Menggunakan donor yang tidak memiliki hubungan biologis dengan resipien akan
menghilangkan peranan faktor genetik yang dapat mempengaruhi keberhasilan
proses FMT, terutama pada kasus-kasus dimana genetik merupakan faktor yang
berperan dalam patofisiologi penyakitnya (Kelly et al., 2015).
Beberapa kriteria ekslusi dalam pemilihan donor untuk FMT antara lain
(Kelly et al., 2015) :
1. Riwayat pemberian antibiotika dalam jangka waktu 3 bulan sebelumnya
2. Riwayat penyakit gastrointestinal intrinsik seperti IBD, IBS, konstipasi
kronis, keganasan saluran cerna
3. Riwayat penyakit atopik atau autoimun, atau sedang dalam perawatan
menggunakan obat-obat yang mempengaruhi sistem imunitas
48
4. Menderita sindrom metabolik, obesitas (indeks masa tubuh > 30 kg.m2)
atau dalam keadaan malnutrisi
5. Riwayat penyakit keganasan atau sedang dalam terapi sitostatika
2.5.5 Pengolahan Feses dan Cara Pemberian
Segera setelah dikumpulkan, feses dilarutkan dan dihomogenisasi. Dari
data-data yang ada, tidak ada perbedaan bermakna apakah feses dilarutkan dalam
air, susu ataupun larutan salin fisiologis, meskipun larutan salin fisiologis
diasumsikan paling sedikit mempengaruhi mikrobiota dalam sampel feses (Kelly
et al., 2015). Homogenisasi dapat dilakukan secara manual ataupun dengan
bantuan blender, lalu disaring untuk menghilangkan komponen padatnya. Hasil
filtrasi dapat langsung diberikan kepada resipien atau dapat juga dibekukan dan
disimpan untuk digunakan di kemudian hari. Bila akan diberikan segera,
pemberian transplan mikroba direkomendasikan tidak melebihi 6 jam mulai saat
feses dikumpulkan.
Sampai saat ini belum terdapat konsensus yang tegas tentang metode
terbaik pemberian transplan feses. Rute pemberian bisa melalui saluran
pencernaan bagian atas (melalui endoskopi atau nasogastric tube), ke dalam kolon
bagian distal melalui kolonoskopi ataupun ke dalam kolon distal bentuk enema
atau melalui rectal tube. Masing-masing rute pemberian memiliki keuntungan dan
kerugian masing-masing. Pemberian melalui nasogastric atau nasointestinal tube
memberikan rasa tidak nyaman bagi pasien selain memiliki resiko terjadinya
muntah dan aspirasi. Endoskopi memerlukan alat canggih dan operator yang
berpengalaman, meskipun di sisi lain memungkinkan untuk sekaligus
49
dilakukannya evaluasi terhadap kondisi mukosa saluran pencernaan. Terlepas dari
berbagai metode pemberiannya, semua rute pemberian FMT dilaporkan efektif,
dan pemilihan metode pemberian juga tergantung pada situasi klinis yang
dihadapi (Kelly et al., 2015).