bab ii kajian pustaka 2.1 perkembangan dan komposisi

42
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi Mikrobiota Usus Manusia Mikrobiota dapat dianggap sebagai komunitas mikroorganisme (bakteri, virus, arkae dan beberapa eukariota uniseluler) yang hidup dalam suatu lingkungan spesifik. Dengan menganggap tubuh manusia sebagai sebuah lingkungan, maka mikrobiota pada tubuh manusia merupakan keseluruhan komunitas mikroorganisme yang hidup pada permukaan dan beberapa lokasi anatomis dalam tubuh manusia. Komunitas mikroorganisme ini berperan penting dalam fisiologi tubuh, perkembangan sistem pencernaan dan sistem kekebalan, serta reaksi detoksifikasi. Beberapa mikroorganisme yang hidup dalam usus mengkode protein yang terlibat dalam berbagai fungsi penting dalam kesehatan, seperti ensim yang digunakan untuk menghidrolisis komponen makanan yang tidak bisa dicerna, serta sintesis beberapa jenis vitamin (Qin et al, 2010; Flint et al., 2012). Komposisi mikrobiota manusia sangat dinamis dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti usia (Wu et al., 2011; Gajer et al., 2012), diet (David et al., 2014;), siklus hormonal (Koren et al., 2012), terapi antibiotik (Perez-Cobas et al., 2013a) dan penyakit-penyakit yang diderita (Palmer et al., 2007). Sebagian besar mikrobiota manusia hidup di dalam usus, dimana ditemukan 10 12 - 10 14 sel mikroorganisme (Ley et al., 2005). Kolon merupakan bagian usus dengan kepadatan mikroba tertinggi mencapai 10 11 sel/gram massa kolon, setara dengan

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

8

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Perkembangan dan Komposisi Mikrobiota Usus Manusia

Mikrobiota dapat dianggap sebagai komunitas mikroorganisme (bakteri,

virus, arkae dan beberapa eukariota uniseluler) yang hidup dalam suatu

lingkungan spesifik. Dengan menganggap tubuh manusia sebagai sebuah

lingkungan, maka mikrobiota pada tubuh manusia merupakan keseluruhan

komunitas mikroorganisme yang hidup pada permukaan dan beberapa lokasi

anatomis dalam tubuh manusia. Komunitas mikroorganisme ini berperan penting

dalam fisiologi tubuh, perkembangan sistem pencernaan dan sistem kekebalan,

serta reaksi detoksifikasi. Beberapa mikroorganisme yang hidup dalam usus

mengkode protein yang terlibat dalam berbagai fungsi penting dalam kesehatan,

seperti ensim yang digunakan untuk menghidrolisis komponen makanan yang

tidak bisa dicerna, serta sintesis beberapa jenis vitamin (Qin et al, 2010; Flint et

al., 2012).

Komposisi mikrobiota manusia sangat dinamis dan dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti usia (Wu et al., 2011; Gajer et al., 2012), diet (David et

al., 2014;), siklus hormonal (Koren et al., 2012), terapi antibiotik (Perez-Cobas et

al., 2013a) dan penyakit-penyakit yang diderita (Palmer et al., 2007). Sebagian

besar mikrobiota manusia hidup di dalam usus, dimana ditemukan 1012 - 1014 sel

mikroorganisme (Ley et al., 2005). Kolon merupakan bagian usus dengan

kepadatan mikroba tertinggi mencapai 1011 sel/gram massa kolon, setara dengan

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

9

1-2 kg massa tubuh (Walker et al., 2014). Komposisi bakteri saluran cerna terdiri

dari sekitar 1000-1500 spesies yang berbeda, terutama didominasi oleh filum

Firmicutes (60-80%) dan Bacteriodetes (20-40%), dan sisanya berupa

Proteobacteria, Actinobacteria, Verrucomicrobia dan Fusobacteria (Sun and

Chang, 2014).

Usia merupakan faktor utama yang mempengaruhi komposisi dan

keragaman mikrobiota usus. Proses penuaan berhubungan dengan berbagai

perubahan fisiologis dan biologis sehingga komposisi dan keragaman mikrobiota

usus berbeda-beda antara bayi, orang dewasa dan usia lanjut. Dari beberapa studi

ditemukan bahwa mikrobiota usus sangat tidak stabil pada 3 tahun pertama usia

bayi (Giannoukos et al., 2012; Morgan and Huttenhower, 2014), sedangkan

mikrobiota usus pada orang dewasa sehat relatif stabil tidak mengalami perubahan

komposisi dan keragaman yang bermakna. Bayi usia kurang dari 3 tahun memiliki

indeks keragaman yang jauh lebih rendah dibandingkan orang dewasa. Kolonisasi

mikroba pada usus bayi diketahui berperan penting dalam fungsi imunologis dan

metabolik yang mempengaruhi kesehatan manusia. Oleh karena itu 3 tahun

pertama usia bayi dianggap sebagai periode kritis (critical window)

perkembangan, dimana gangguan yang terjadi saat proses kolonisasi bakteri ini

akan meningkatkan suseptibilitas terhadap berbagai penyakit di kemudian hari

(Penders et al., 2006).

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

10

2.1.1 Mikrobiota Usus Pada Bayi

Usus bayi mengalami stadium perkembangan penting yang sangat

dipengaruhi oleh proses kolonisasi mikrobiota. Penelitian pada model binatang

coba yang ditumbuhkan pada kondisi bebas mikroba (germ-free) menunjukkan

bahwa kolonisasi mikroba merangsang perkembangan sel epitel usus dan

pematangan dari jaringan limfoid di sekitar usus (gut-associated lymphoid

tissue/GALT) (Bouskra et al., 2008). Mikrobiota usus bayi akan mengalami

proses perkembangan untuk mencapai kondisi stabil pada saat usia dewasa.

Diyakini bahwa kontak pertama dengan komunitas bakteri akan menentukan

kematangan usus, perkembangan metabolik dan imunologik serta konsekuensi

status kesehatan jangka pendek dan jangka panjang (Hugenholtz et al., 2001).

Dari beberapa analisis metadata diduga ada hubungan antara perjalanan alamiah

kolonisasi mikrobiota usus atau disbiosis dengan beberapa kondisi penyakit pada

masa bayi atau periode usia sesudahnya (Brinig et al., 2003; Eckburg et al., 2005).

2.1.1.1 Kontak Mikroba Prenatal

Sejak lebih dari satu abad yang lalu terdapat dogma bahwa fetus saat

masih dalam kandungan adalah steril, dan proses kolonisasi bakteri dimulai saat

lahir dan setelahnya. Dalam dogma ini diyakini barier plasenta akan menjaga fetus

tetap steril, sehingga setiap kehadiran bakteri dalam uterus dianggap mengancam

keselamatan fetus. Akan tetapi, dari beberapa studi yang dilakukan akhir-akhir ini,

ditemukan adanya komunitas bakteri pada jaringan plasenta (Aagaard et al.,

2014), darah tali pusat (Jimenez et al., 2005), cairan amnion (Bearfield et al.,

2002; Jimenez et al., 2008) , dan membran janin (Steel et al., 2005; Rautava et al.,

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

11

2012) dari bayi sehat baru lahir tanpa ada tanda-tanda infeksi atau inflamasi. Hal

ini mengindikasikan adanya potensi transmisi bakteri melalui barier plasenta.

Jimenez et al., (2008) dan Moles et al., (2013) menemukan bahwa

mekonium tidak steril, tapi mengandung komunitas bakteri yang kompleks.

Penelitian yang dilakukan oleh Gosalbes et al., (2013) terhadap sampel mekonium

dan feses dari bayi pre-term usia 3 minggu menunjukkan bahwa mekonium

mengandung mikroba spesifik yang berbeda dengan mikroba dari feses bayi baru

lahir. Mekonium didominasi oleh Firmicutes sedangkan Proteobacteria dominan

ditemukan pada komunitas mikroba feses. Dengan menggunakan metode kultur

dan 16S rRNA microarray, sampel mekonium ditemukan banyak mengandung

Staphyllococcus, Streptococcus mitis dan Lactobacillus plantarum, sedangkan

sampel feses kaya dengan Enterococcus, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia

dan Serratia marcesscens. Semua sampel mekonium mengandung mikrobiota

yang sangat beragam, dan keragaman ini tidak dipengaruhi oleh metode

persalinan. Dibandingkan dengan sampel feses, mekonium memiliki keragaman

spesies yang lebih rendah tetapi variasi antar sampelnya tinggi.

Mekanisme bagaimana mikrobiota usus mampu mencapai lingkungan

intrauterin masih belum dipahami dengan jelas. Diduga bakteri usus mencapai

plasenta melalui aliran darah sesudah terjadi translokasi epitel. Meskipun sel-sel

epitel intestinal dapat berfungsi sebagai pembatas yang mencegah bakteri

memasuki sirkulasi darah, sel-sel dendritik secara aktif dapat berpenetrasi ke

dalam lumen intestinal, menangkap sel-sel bakteri lalu membawanya ke seluruh

tubuh melalui aliran limfe (Vazquez-Torres et al., 1999; Rescigno et al., 2001).

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

12

Asumsi ini didukung oleh data penelitian yang dilakukan oleh Jimenez et al.,

(2005) dan Jimenez et al., (2008), dimana Enterococcus faecalis yang diberikan

secara oral pada mencit hamil dapat dideteksi pada cairan amnion dan mekonium

bayi tikus yang dilahirkan melalui operasi sesar. Data ini dikuatkan oleh hasil

penelitian Perez et al., (2007) yang menemukan bahwa translokasi bakteri pada

tikus secara fisiologis akan meningkat saat kehamilan dan periode menyusui.

Data-data tersebut menjadi bukti awal mendasar akan terjadinya transmisi bakteri

secara maternal pada mamalia.

Selain berasal dari mikrobiota usus, beberapa studi juga menemukan

indikasi awal bahwa mikrobiota rongga mulut ibu hamil juga dapat menyebar ke

plasenta. Dasanayake et al., (2005) melakukan penelitian pada ibu hamil untuk

melihat pengaruh kompososi mikrobiota mulut terhadap kehamilan. Ditemukan

bahwa Actinomyces naeslundii berkaitan dengan berat badan lahir yang rendah

dan resiko persalinan prematur. Hal ini memberikan dugaan bahwa mikrobiota

mulut dapat memasuki lingkungan uterus melalui aliran darah dan berpotensi

mempengaruhi proses kelahiran. Penelitian oleh Aagard et al., (2014) dengan

menggunakan metode sekuensing yang ekstensif menemukan data-data yang

mendukung asumsi di atas. Pada kehamilan normal cukup waktu, pada plasenta

teridentifikasi mikrobiota dalam jumlah kecil tapi kaya dengan gen-gen yang

mengatur metabolisme. Komposisi bakteri yang ditemukan ini lebih menyerupai

komposisi mikroba mulut dibandingkan komposisi mikroba vagina, feses, kulit

atau mukosa hidung. Dalam review oleh Rodriguez et al., (2015) disebutkan

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

13

bahwa transmisi mikroba secara maternal dapat terjadi pada semua kingdom

binatang.

2.1.1.2 Kolonisasi Mikroba Pada Bayi

Kontak mikroba sebelum kelahiran merupakan cetak biru mikrobiota

bayi dan sistem imunitas sebagai persiapan untuk proses kolonisasi bakteri saat

persalinan dan periode menyusui. Berbagai mikroba lingkungan dengan

keragaman yang sangat tinggi dapat mengkolonisasi bayi segera setelah

kelahiran. Hal ini dapat dilihat dengan tingginya keragaman antar individual pada

mikrobiota usus bayi yang baru lahir (Palmer et al., 2007). Mikrobiota usus bayi

baru lahir ditandai dengan rendahnya keragaman dan dominasi relatif dari filum

Proteobacteria dan Actinobacteria. Seiring bertambahnya usia, mikrobiota usus

akan meningkat keragamannya serta terjadi pergeseran dominasi ke arah filum

Firmicutes dan Bacteriodetes (Eckburg et al., 2005; Qin et al., 2010; Backhed,

2011).

Pada saat lahir, usus bayi bersifat aerobik, memungkinkan pertumbuhan

beberapa bakteri fakultatif anaerob seperti famili Enterobacteriaceae. Dalam

beberapa hari, lumen usus berubah menjadi anaerob, yang memicu pertumbuhan

bakteri yang bersifat strict-anaerobe seperti Bifidobacterium, Clostridium dan

Bacteriodes (Matamoros et al., 2013). Pada usia beberapa minggu pertama setelah

lahir, komposisi mikrobiota usus bayi menyerupai komposisi mikrobiota kulit dan

vagina ibunya, dengan Enterococcaceae, Streptococcae, Lactobacillaceae,

Clostridiaceae dan Bifidobacteriaceae sebagai taksa yang dominan. Saat usia

memasuki beberapa bulan pertama, dimana makanan utama bayi adalah susu,

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

14

maka bakteri yang dapat memfermentasi oligosakarida seperti Bifidobacterium

akan berkembang dengan pesat. Bifidobacterium dianggap merupakan komunitas

bakteri yang dominan pada periode usia ini (Lozupone et al., 2013), dan berbagai

spesies Bifodobacterium dapat ditemukan dalam usus bayi (Aires et al., 2011;

Turroni et al., 2012).

Pengenalan bayi terhadap makanan padat akan memicu perubahan yang

cepat dan penting terhadap komposisi mikrobiota usus. Kandungan polisakarida

dalam makanan bayi yang tidak dapat dicerna oleh sistem ensim host akan

memicu pertumbuhan dari Bacteriodes, Clostridium dan Ruminococcus, dan

sebaliknya menurunkan jumlah Bifidobacterium dan Enterobacteriaceae (Koenig

et al., 2011; Fallani et al., 2011). Pada akhir tahun pertama sampai usia 30 bulan,

mikrobiota usus bayi mengalami proses pematangan yang mengarah kepada profil

mikrobiota usus orang dewasa, dengan Ruminococcus, Lachnospiraceae,

Bacteriodaceae dan Prevotellaceae sebagai mikroorganisme dominan (Lozupone

et al., 2013). Pada usia 2-5 tahun, mikrobiota usus bayi telah menyerupai

komposisi dan keragaman mikrobiota usus orang dewasa (Turroni et al., 2012;

Lozupone et al., 2013). Oleh karena itu 3 tahun pertama usia bayi dianggap

sebagai periode paling kritis yang akan menentukan pertumbuhan dan

perkembangan bayi di masa selanjutnya. Dalam periode ini, mikrobiota usus akan

mengalami pematangan, dan gangguan pada proses ini akan meningkatkan resiko

terjadinya gangguan kesehatan host.

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

15

2.1.1.3 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kolonisasi Mikroba Pada Bayi

Usus bayi mengalami stadium perkembangan penting yang sangat

dipengaruhi oleh proses kolonisasi mikrobiota. Beberapa faktor (intrinsik dan

ekstrinsik) dapat mempengaruhi proses kolonisasi mikroba, yang akan

berpengaruh terhadap perkembangan kesehatan bayi. Beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi proses kolonisasi tersebut antara lain : cara persalinan, diet,

paparan antibiotika, lingkungan dan genetik dari host.

2.1.1.3.1 Cara Persalinan

Pemaparan mikroba setelah kelahiran terjadi saat kelahiran dan segera

sesudahnya. Bayi yang dilahirkan melalui proses persalinan normal (per-vagina)

akan dikolonisasi oleh bakteri dari vagina dan feses ibunya, termasuk didalamnya

adalah Lactobacillus dan Bifidobacterium (Dominguez-Bello et al., 2010).

Sedangkan bayi yang dilahirkan melalui operasi sesar lebih banyak akan terpapar

oleh bakteri dari kulit dan lingkungan rumah sakit. Penelitian oleh Salminen et al.,

(2004) dan Jacobsson et al., (2014) menemukan adanya gangguan komposisi

mikrobiota usus bayi yang dilahirkan melalui operasi sesar, dan gangguan ini bisa

berlangsung sampai beberapa tahun. Pada beberapa hari pertama setelah lahir,

secara relatif terdapat kandungan yang tinggi dari Lactobacillus pada usus bayi,

sebagai cerminan dari dominasi kelompok ini pada mukosa vagina ibunya.

Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri yang diduga dipindahkan secara

langsung dari feses ibu kepada bayinya (deMuinck et al., 2011). Dari analisis

terhadap sekuen gen 16S rRNA, proporsi kemiripan dengan komposisi mikrobiota

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

16

ibunya ditemukan lebih tinggi pada bayi yang dilahirkan per-vagina dibandingkan

dengan bayi yang lahir melalui operasi sesar (Jacobsson et al., 2014).

Persalinan melalui operasi sesar akan menghambat transmisi bakteri yang

berasal dari mukosa vagina dan feses ibu hamil, dimana hal ini akan memberikan

efek serius pada komposisi mikrobiota usus bayi (Bennet and Nord, 1987).

Aagard et al., (2014) menemukan adanya perlambatan kolonisasi Bacteriodetes

pada bayi yang lahir melalui operasi sesar. Selain itu dilaporkan juga bahwa

keragaman mikrobiota usus akan menurun bila bayi dilahirkan melalui operasi

sesar.

2.1.1.3.2 Diet

Komposisi diet juga merupakan salah satu faktor penting dalam

perkembangan mikrobiota usus. Air susu ibu merupakan salah satu sumber

kolonisasi bakteri pada usus bayi, dan hal ini merupakan faktor penting yang

menentukan status kesehatan anak-anak (Koenig et al., 2011). Air susu ibu

dilaporkan memiliki lebih dari 700 spesies bakteri di dalamnya (Cabrera-Rubio et

al., 2012). Dalam 800 ml air susu ibu diperkirakan terkandung 105 – 107 sel

bakteri komensal (Heikkila and Saris, 2003). Mikrobiota utama yang ditemukan

dalam air susu ibu adalah Streptococcus dan Staphyllococcus, yang merupakan

kelompok bakteri yang mengkolonisasi usus bayi pada usia yang relatif dini

(Palmer et al., 2007; Avhersina et al., 2014). Kandungan oligosakarida kompleks

dalam air susu ibu berfungsi sebagai prebiotik yang akan merangsang

pertumbuhan Staphyllococcus dan Bifidobacteria (Hunt et al., 2011; Zivkovic et

al., 2011). Dibandingkan dengan air susu ibu, pemberian susu formula

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

17

menghasilkan konsorsium mikroba yang berbeda dimana Bacteriodes,

Clostridium, Streptococcus, Enterobacteria dan Veilonella ssp merupakan

kelompok bakteri yang mendominasi (Adelberth and Wold, 2009; Fallani et al.,

2010; Bezirtzoglou et al., 2011).

Pengenalan makanan padat pada usus bayi memegang peranan penting

dalam perkembangan awal mikrobiota usus. Keragaman mikrobiota usus akan

meningkat seiring diperkenalkannya makanan padat pada bayi, terutama

pertumbuhan bakteri penghasil butirat seperti Bacteriodes dan beberapa spesies

Clostridium (Koenig et al., 2011; Fallani et al., 2010). Saat pengenalan makanan

padat, bayi akan terpapar oleh lebih banyak jenis karbohidrat yang tidak bisa

dicerna oleh sistem ensim host. Sebagai konsekuensi dari perubahan komposisi

diet, akan terjadi perubahan komposisi mikrobiota usus akibat adanya substrat-

substrat baru yang akan memicu pertumbuhan berbagai mikroba spesifik (Fallani

et al., 2011; Tremaroli and Backhed, 2012). Penyapihan dan pengenalan makanan

padat secara bermakna akan menurunkan proporsi Bifidobacteria, Enterobacteria,

Clostridium difficile dan Clostridium perfringens. Sebaliknya akan terjadi

peningkatan proporsi Clostridium coocoides dan Clostridium leptum (Fallani et

al., 2011). Beberapa makanan padat lain seperti kacang dalam diet bayi akan

meningkatkan bakteri dari filum Bacteriodetes, yang juga disertai dengan

peningkatan mikrobiom fungsional yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat

dan sintesis vitamin (Koenig et al., 2011). Dari data-data di atas dapat dilihat

bahwa pengenalan makanan padat akan memicu pematangan konsorsium

mikrobiota usus menuju ke arah konsorsium mikrobiota orang dewasa.

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

18

2.1.1.3.3 Paparan Antibiotika

Antibiotika merupakan salah satu obat yang sering diberikan pada bayi

khususnya pada kasus-kasus infeksi bakteri. Selain resiko terjadinya kekebalan,

penggunaan antibiotika secara berlebihan dapat merusak keseluruhan ekologi

mikrobiota usus, mengurangi kepadatan mikrobiota dan meningkatkan potensi

anak untuk menderita gangguan kesehatan (Cho et al., 2012; Kamada et al.,

2013). Ekologi dari komunitas mikrobiota ini akan rusak bila terpapar antibiotika

pada saat usia dini kehidupan atau bila terpapar dalam jangka waktu lama (Fouhy

et al., 2012). Kerusakan ekologi beserta penurunan diversitas mikrobiota

meningkatkan kerentanan terhadap infeksi oleh bakteri usus oportunistik

(Dethlefsen et al., 2008). Clostridium difficile merupakan bakteri yang paling

sering menyebabkan infeksi yang berkaitan dengan gangguan mikrobiota usus

akibat paparan antibiotika (Rousseau et al., 2011).

Penggunaan antibiotika pada usia dini juga mempengaruhi pertumbuhan

filum bakteri dominan pada usus manusia. Paparan ampisilin dan gentamisin pada

bayi baru lahir cenderung meningkatkan proporsi Proteobacteria, Actinobacteria

dan Lactobacillus (Fouhy et al., 2012). Tanaka et al., (2009) menemukan bahwa

pemberian antibiotika spektrum luas pada 4 hari pertama usia bayi menurunkan

keragaman mikrobiota usus disertai dengan penurunan kolonisasi Bifidobacterium

dan peningkatan Enterococcus.

Penggunaan antibiotika pada usia dini akan meningkatkan suseptibilitas

bayi untuk menderita berbagai penyakit di kemudian hari. Pemberian vankomisin

pada mencit usia dini meningkatkan suseptibilitasnya untuk menderita asma

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

19

(Russell et al., 2012). Vrieze et al., (2013) menemukan bahwa pemberian

vankomisin meningkatkan metabolisme asam empedu dan glukosa yang terkait

dengan kejadian obesitas pada manusia. Beberapa laporan penelitian juga

menghubungkan paparan antibiotika dengan kejadian Irritable Bowel Disease

(IBD) pada anak-anak, dimana ditemukan hubungan yang kuat antara kejadian

IBD dengan paparan antibiotika pada tahun pertama usia bayi (Shaw et al., 2010).

Bukti-bukti tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan yang kuat antara

penggunaan antibiotika dengan onset penyakit tertentu, meskipun perlu diteliti

lebih mendalam bagaimana mekanisme pastinya.

2.1.1.3.4 Lingkungan dan Gaya Hidup

Anggota keluarga merupakan salah satu faktor lingkungan yang juga

mempengaruhi proses kolonisasi mikrobiota usus. Saudara maupun anggota

keluarga yang memiliki kontak dekat dengan bayi akan menjadi sumber

kolonisasi mikrobiota. Oleh karena itu proporsi Bifidobacterium spp pada bayi

yang memiliki saudara kandung yang lebih tua akan lebih tinggi dibandingkan

bila dia merupakan anak tunggal (Penders et al., 2006).

Fallani et al., (2010) menemukan bahwa mikrobiota usus bayi dari belahan

Eropa sebelah utara memiliki kandungan Bifidobacterium spp, Clostridium spp

dan Atopobium spp yang lebih tinggi dibandingkan bayi dari belahan Eropa

selatan. Sebaliknya Eubacteria, Lactobacillus dan Bacteriodes merupakan

mikrobiota usus dominan pada bayi di belahan Eropa sebelah selatan. Mikrobiota

usus bayi-bayi di Finlandia memiliki kandungan Bifidobacterium spp lebih tinggi

dibandingkan bayi di Jerman (Grzeskowiak et al., 2012). De Filippo et al., (2010)

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

20

menemukan bahwa mikrobiota usus bayi di Burkina Faso, sebuah daerah

pedesaan, sangat kaya akan Bacteriodes sementara bayi di perkotaan Italia

didominasi oleh Enterobacteriaceae. Data-data di atas menunjukkan bahwa lokasi

geografis pada area spesifik tertentu (negara, kota, desa) yang terkait dengan pola

diet dan gaya hidup berpengaruh terhadap konsorsium mikrobiota usus.

2.1.1.3.5 Genetik Host

Data-data dari penelitian pada manusia, binatang dan analisis komparatif

memberikan petunjuk bagi kita tentang kontribusi genetik host terhadap

pembentukan struktur dan fungsi mikrobiota usus. Akan tetapi masih banyak hal

yang belum dipahami dengan jelas dan menjadi bahan perdebatan para ahli.

Penelitian pada manusia, yang melibatkan saudara kembar dan anggota

keluarga yang memiliki hubungan kekerabatan, menemukan bahwa kemiripan

komposisi mikrobiota yang paling tinggi ditemukan antar saudara kembar

monozigot (Zoetendal et al., 2001). Pada anak usia kurang dari 10 tahun, derajat

kemiripan komunitas mikrobiota paling tinggi ditemukan pada kembar identik

(Stewart, 2005). Sebaliknya studi metagenomik terhadap 31 pasangan kembar

monozigot dan 23 pasangan kembar dizigot yang dilakukan oleh Turnbaugh et al.,

(2009) dan Turnbaugh et al., (2010) tidak menemukan adanya perbedaan

bermakna pada keragaman mikrobiota antara pasangan kembar monozigot dan

dizigot.

Di sisi lain, studi menggunakan metode berbasis sidik jari DNA oleh

Kovacs et al., (2010) menemukan bahwa latar belakang genetik secara bermakna

mempengaruhi komposisi mikrobiota, dan pengaruh ini tidak tergantung kepada

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

21

jenis kelamin. Selanjutnya Buhnik-Rosenblau et al., (2011) menunjukkan bahwa

genetik dari host berperan penting terhadap komposisi dan level kolonisasi

Lactobacillus johnsonii pada usus mencit.

Penelitian yang berbasis pada analisis gen tunggal dilakukan untuk

memahami mekanisme molekuler yang menjelaskan bagaimana genetik dari host

bertanggung jawab terhadap pembentukan dan perkembangan mikrobiota usus.

Zhang et al., (2012) melakukan penelitian pada mencit knockout (mutasi genetik

pada gen Apoe-I) dengan gangguan toleransi glukosa untuk menilai hubungan

antara genetik host, diet dan perkembangan sindrom metabolik. Analisis terhadap

profil molekuler gen 16S rRNA menunjukkan bahwa 12% dari total variasi

struktural mikrobiota usus dipengaruhi oleh mutasi genetik, sedangkan kontribusi

dari perubahan diet sebesar 57%. Penelitian lain menemukan bahwa defisiensi

leptin genetik (pada mencit dengan fenotipe obese) memiliki efek terhadap

komposisi mikrobiota, dimana ditemukan penurunan dari Bacteriodes spp (Ley et

al., 2005).

Untuk memahami mekanisme dasar dari modulasi mikrobiota, dibutuhkan

pemahaman terhadap sifat spesifik host yang terkait dengan interaksi mikroba.

Selain modulasi melalui sistem imunitas, gangguan pada struktur dan fungsi

mikrobiota usus juga diduga disebabkan oleh polimorfisme pada genetik host.

Meskipun bukti-bukti yang ada saat ini menunjukkan adanya pengaruh genetik

terhadap struktur mikrobiota usus, masih dibutuhkan analisis mendalam untuk

memahami sepenuhnya mekanisme yang mendasari interaksi antara genetik host

dengan mikrobiota usus.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

22

2.1.2 Komposisi dan Stabilitas Mikrobiota Usus Pada Orang Dewasa

Pada orang dewasa sehat, keragaman mikrobiota spesifik memegang peran

penting dalam mempertahankan homeostasis sistem imunitas. Hal ini ditunjang

dengan fakta bahwa gangguan pada mikrobiota usus berhubungan dengan

penyakit yang terkait dengan saluran cerna (Kayama and Takeda, 2012).

Analisis terhadap sampel feses dengan target pada gen 16S rRNA

menggunakan metode Next-Generation Sequencing (NGS) memungkinkan kita

untuk mencapai konsensus tentang komposisi mikrobiota usus. Mikrobiota pada

usus besar orang dewasa sehat didominasi oleh 2 filum yakni Firmicutes dan

Bacteriodetes, disusul dengan Actinobacteria dengan genus utamanya adalah

Bifidobacterium (Turnbaugh et al., 2009). Komposisi mikrobiota usus orang

dewasa sehat relatif stabil, dan sekali stabilitas ini tercapai maka kondisi ini akan

bertahan dalam jangka waktu yang lama. Penelitian yang dilakukan oleh Faith et

al., (2013) terhadap 37 orang dewasa sehat menemukan bahwa 60% dari strain

awal mikrobiota masih tetap bertahan dalam jangka waktu 5 tahun. Stabilitas ini

sangat penting untuk menjamin bahwa fungsi-fungsi penting dari mikrobiom

selalu ada sehingga memberikan keuntungan bagi host.

Pada usus halus, komposisi mikrobiota terutama disusun oleh

Streptococcus, Clostridium dan Veilonella (Zoetendal et al., 2012; Leimena et al.,

2013). Tidak seperti mikrobiota usus besar, komposisi bakteri usus halus

mengalami fluktuasi temporer, berbeda antara profil di pagi hari dengan sore hari.

Fluktuasi dinamis ini dipicu oleh komponen diet dan terdapat bervariasi antar-

individu tergantung pada diet yang dikonsumsinya (Booijink et al., 2010).

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

23

2.1.3 Mikrobiota Usus Pada Usia Lanjut

Perubahan pada populasi mikroba yang berkaitan dengan proses penuaan

menjadi fokus penelitian pada beberapa tahun terakhir ini. Mikrobiota pada orang

lanjut usia, lebih dari 65 tahun, dilaporkan memiliki variasi antar-individu yang

lebih besar dibandingkan orang dewasa (Claesson et al., 2012). Lebih lanjut

ditemukan bahwa orang-orang yang mencapai usia 100 tahun atau lebih memiliki

komposisi bakteri yang berbeda dan keragaman yang lebih rendah dibandingkan

orang dewasa dan usia lanjut yang lebih muda (Biagi et al., 2010). Usia lanjut

diatas 100 tahun mengalami peningkatan bakteri fakultatif anaerob seperti

Proteobacteria, disertai penurunan bakteri spesifik seperti Faecalibacterium

prauznitzii. Peneliti lain melaporkan bahwa mikrobiota pada individu di atas 100

tahun menunjukkan penurunan Bacteriodes, Bifidobacterium dan

Enterobacteriaceae, sedangkan Clostridium spp meningkat secara bermakna

dibandingkan orang dewasa (Drago et al., 2012).

Perubahan konsorsium mikrobiota usus pada usia lanjut berkaitan dengan

penurunan kesehatan secara umum. Penelitian lanjutan perlu dilakukan mengingat

perubahan-perubahan yang terjadi selama proses penuaan belum dipahami secara

jelas. Hasil dari penelitian-penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam

upaya memanipulasi mikrobiota usus untuk meningkatkan status kesehatan.

2.2 Interaksi antara mikrobiota usus dengan metabolisme tubuh host

dalam patofisiologi obesitas

Sejumlah bukti menunjukkan bahwa mikrobiota usus membantu host

untuk mengekstrak energi dari makanan dan meningkatkan penyimpanan lemak

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

24

(Turnbaugh et al., 2006 Samuel et al., 2008). Mencit germ-free memiliki total

masa lemak tubuh 40% lebih sedikit dibandingkan tikus konvensional meskipun

konsumsi kalorinya 29% lebih banyak (Turnbaugh et al., 2006). Selain itu tikus

germ-free yang ditransplantasi dengan mikrobiota dari tikus konvensional

mengalami peningkatan masa lemak tubuh sebesar 57% disertai peningkatan

kadar trigliserida hepar dan resistensi insulin meskipun konsumsi makanannya

tiak bertambah (Backhed et al., 2004). Larsson et al., (2012) menemukan bahwa

ekspresi gene host pada mukosa usus, jaringan hepar dan lemak yang terlibat

dalam menjaga keseimbangan energi, metabolisme lemak dan metabolisme

mitokondria berbeda secara bermakna antara mencit germ-free dan konvensional.

Penelitian-penelitian pada mencit germ-free dan konvensional menemukan

beberapa mekanisme yang menghubungkan mikrobiota usus dengan metabolisme

energi. Hooper et al., (2012) dan Musso et al., (2011) menemukan bahwa

mikrobiota usus berperan dalam perkembangan lapisan epitel mukosa usus

dengan meningkatkan kepadatan kapiler vili mukosa usus halus yang akan

mempengauhi fisiologi dan motilitas usus sehingga meningkatkan penyerapan

kalori dari diet. Mikrobiota usus dapat menghambat ekspresi dari Fasting-induced

Adipocyte Factors (Fiaf) sehingga meningkatkan aktivitas dari lipoprotein lipase

(LPL). Peningkatan aktivitas LPL akan memicu penimbunan trigliserida dalam

sel-sel lemak (Backhed et al., 2004). Winder et al., (1999) dan Samuel et al.,

(2008) menemukan bahwa mikrobiota usus menghambat pelepasan adenosine

monophosphate-activated protein kinase (AMPK) yang utamanya diekspresikan

pada jaringan otot skelet, otak dan hepar sebagai respon terhadap stres metabolik.

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

25

Penghambatan aktvitas AMPK akan menurunkan oksidasi asam lemak

mitokondria, ketogenesis, absorpsi glukosa dan sekresi insulin, sebaliknya

meningkatkan lipogenesis serta sintesis kolesterol dan trigliserida. Mikrobiota

usus membantu mencerna polisakarida dalam diet, menghasikan asam lemak

rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA) utamanya asetat, butirat dan

propionat. Molekul-molekul ini mempengaruhi adipositas host dengan memicu

liponeogenesis de-novo hepar, mengatur penyimpanan trigliserida sehingga

memicu penyimpanan energi (Backhed et al., 2004). Mekanisme kerja dari SCFA

ini diperantarai oleh aktivasi reseptor endogen yang dikenal sebagai free fatty acid

receptor (FFAR) seperti FFAR2 (GPR43) dan FFAR3 (GPR41). Reseptor-

reseptor ini ditemukan pada sel lemak, epitel dan sel enteroendokrin pada mukosa

usus. Aktivasi kedua reseptor ini memicu peningkatan ekspresi hormon PYY yang

akan meningkatkan motilitas usus. Aktivasi GPR41 juga memicu ekspresi hormon

leptin pada sel adiposa. Graham et al., (2015) melaporkan bahwa aktivas GPR4

memicu pertambahan berat badan. Ditemukan bahwa bila bakteri-bakteri

penghasil SCFA ditranspantasikan kepada menit germ-free, akan terjadi

peningkatan berat badan seiring dengan penngkatan masa lemak tubuh. Hal ini

tidak terjadi pada mencit ynag defisien GPR4. Ditemukan pula bahwa beberapa

SCFA seperti butirat dan propionat memicu peningkatan sekresi GLP-1 yang akan

menurunkan nafsu makan sehingga mengurangi konsumsi makanan. Parseus et

al., (2016) mengungkapkan bahwa mikrobiota usus berperan dalam obesitas yang

diinduksi makanan tinggi lemak melalui pengaturan farenoid-x receptor (FXR).

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

26

FXR adalah reseptor asam empedu yang bertanggung jawab terhadap pengaturan

sintesis asam empedu dan akumulasi trigliserida dalam jaringan hepatik.

2.3 Resistensi Insulin

2.3.1 Definisi dan Patogenesis Resistensi Insulin

Resistensi insulin merupakan gangguan metabolisme kompleks akibat

kelainan sekresi dan atau kerja insulin. Pada resistensi insulin, sel-sel tubuh tidak

memberikan respon yang adekuat terhadap insulin yang bersirkulasi (Sears and

Perry, 2015). Manifestasi klinis dari resistensi insulin berupa intoleransi glukosa

dan hiperinsulinemia, adalah konsekuensi dari ketidakmampuan insulin untuk

merangsang penyerapan glukosa dalam jaringan target insulin seperti hepar, otot

dan lemak. Resistensi insulin merupakan kelainan kunci pada sindroma metabolik

(Moller and Kauffman, 2005), dan menjadi faktor pemicu timbulnya diabetes

mellitus tipe-2 (DMT2). Diabetes mellitus, khususnya diabetes mellitus tipe-2

(DMT2), merupakan salah satu penyakit tidak menular (non-communicable

diseases) yang ditemukan hampir di seluruh belahan dunia. Diabetes merupakan

salah satu penyebab utama kematian akibat penyakit tidak menular. Dalam kurun

tahun 2013, diabetes menyebabkan 5,1 juta kematian (8,4%) dari perkiraan total

kematian akibat penyakit tidak menular pada penduduk usia 20-79 tahun,

meningkat 11% dari perkiraan kematian di tahun 2011. Biaya kesehatan yang

harus dikeluarkan untuk pengobatan diabetes dan komplikasinya mencapai 548

miliar dolar di tahun 2013, dan diperkirakan meningkat menjadi 627 miliar dolar

di tahun 2035 (International Diabetes Federation, 2013).

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

27

Pada keadaan resistensi insulin akan terjadi peningkatan sekresi insulin

oleh sel-β pankreas dan kompensasi hiperinsulinemia. Sepanjang kompensasi

hiperinsulinemia masih mampu menjaga homeostasis metabolisme glukosa, kadar

gula darah dan toleransi glukosa akan tetap normal. Pada individu yang akan

berkembang menjadi DMT2, kompensasi oleh sel-β pankreas akan berkurang

sehingga terjadi insufisiensi insulin relatif yang menimbulkan gangguan toleransi

glukosa dan DMT2. Selain pada DMT2, resistensi insulin juga dapat terjadi pada

keadaan-keadaan lain seperti sindroma metabolik, obesitas, sindrom ovarial

polikistik (PCOS) dan usia lanjut (Kim and Sears, 2010). Adaptasi metabolik

terhadap stres seperti kehamilan, hibernasi dan sepsis juga dapat memicu

terjadinya resistensi insulin (Odegaard and Chawla, 2013).

Resistensi insulin merupakan kondisi kompleks yang disebabkan oleh

berbagai faktor. Inflamasi yang dipicu oleh nutrisi yang berlebihan (Gregor and

Hotamisligil, 2011), perubahan pada metabolisme lemak (Samuel and Shulman,

2012) serta perubahan pada mikrobiota usus atau disbiosis (Kau et al., 2011;

Nicholson et al., 2012) merupakan faktor-faktor yang saling berkaitan dalam

menimbulkan resistensi insulin. Meskipun mekanisme resistensi insulin belum

sepenuhnya dipahami, pada tingkat seluler diketahui terjadi penurunan aktivitas

sinyal insulin. Fosforilasi pada residu serin/treonin dari IRS-1 akan memicu

degradasi dari protein IRS-1 yang terfosforilasi sehingga menurunkan kekuatan

sinyal insulin (Pederson et al., 2001; Drazin, 2006).

Inflamasi kronik merupakan penyebab utama pada resistensi insulin yang

dipicu oleh obesitas (Gregor and Hotamisligil, 2011; Lumeng and Saltiel, 2011).

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

28

Aktivasi jalur pro-inflamasi telah diketahui pada berbagai keadaan resistensi

insulin (Shah, 2007; Hotamisligil and Erbay, 2008; Schenk et al., 2008; Olefsky

and Glass, 2010). Inflamasi kronis menghambat sensitivitas insulin melalui

aktivasi jalur sinyal yang secara langsung mengganggu fungsi normal dari

komponen kunci dalam jalur sinyal insulin (Hotamisligil and Erbay, 2008; Schenk

et al., 2008). Gangguan pada jalur sinyal insulin merupakan akibat dari aktivasi

TLR4 yang merupakan reseptor pada permukaan sel imun maupun non-imun.

Aktivasi TLR4 akan menghasilkan respon imun alamiah melalui kaskade reaksi

yang mengaktifkan berbagai kinase dan faktor transkripsi. Kaskade reaksi ini

akan memicu pembentukan sitokin pro-inflamasi, kemokin, eikosanoid dan

reactive oxygen species (ROS) yang semuanya adalah efektor sistem imunitas

alamiah. TLR4 diekspresikan pada permukaan sel-sel yang menjadi target kerja

insulin seperti hepar, jaringan lemak, otot skeletal, sel-β pankreas dan otak

(Gambar 2.1).

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

29

Gambar 2.1Ditribusi TLR4 pada sistem organ/jaringan yang terlibat dalam pengaturan

metabolisme dan sensitivitas terhadap insulin (Dikutip dari Kim and Sears, 2010)

Oleh karena itu aktivasi TLR4 akan menurunkan kerja insulin secara langsung

melaui aktivasi kinase pro-inflamasi dan ROS, dan secara tidak langsung melalui

aktivasi kaskade sinyal sitokin dan pelepasan sitokin pro-inflamasi secara sistemik

(Gambar 2.2).

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

30

Gambar 2.2Mekanisme Molekuler Resistensi Insulin Yang Diinduksi Oleh LPS. LPS

berikatan dengan TLR4 yang akan mengalami dimerisasi. Melalui molekuladapter My88 dan MAL selanjutnya akan terjadi kaskade reaksi yang IRAK,

TRAF-6, TAK-1, JNK dan kompleks IKKb. IKKb memicu translokasi NFkB kedalam inti sel dan memicu ekspresi sitokin pro-inflamasi. Aktivasi JNK dan IKKbjuga memicu fosforilasi serin pada IRS1/2 yang menghambat jalur sinyal insulin

sehingga terjadi resistensi insulin (Dikutip dari Saad et al., 2016)

2.3.2 Peranan Mikrobiota Usus Dalam Resistensi Insulin

Tubuh manusia dikolonisasi oleh berbagai macam mikroba yang sangat

beragam, yang secara bersama-sama disebut sebagai mikrobiota, dan terdiri dari

bakteri, jamur dan arkae. Mikroba ini mengkolonisasi berbagai bagian tubuh

manusia, terutama pada saluran pencernaan. Saluran pencernaan manusia dapat

dianggap sebagai ekosistem kompleks yang sangat besar, mengandung 1012 - 1014

sel mikroorganisme (Ley et al., 2005), yang dianggap sebagai flora normal pada

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

31

manusia. Sebagian besar mikroorganisme saluran cerna ini merupakan bakteri

dan sisanya berupa arkae dan jamur. Kolon merupakan bagian usus dengan

kepadatan mikroba tertinggi, mencapai 1011- 1012 sel/ml. Komposisi bakteri

saluran cerna terdiri dari sekitar 1000-1500 spesies yang berbeda, terutama

didominasi oleh filum Firmicutes (60-80%) dan Bacteriodetes (20-40%), dan

sisanya berupa Proteobacteria, Actinobacteria, Verricomicrobia dan Fusobacteria

(Sun and Chang, 2014). Faecalibacterium prausnitzii merupakan spesies bakteri

terbanyak pada saluran cerna orang dewasa, mencapai 5% dari total populasi

bakteri usus (Miquel et al., 2013).

Secara ilmiah saat ini diketahui bahwa flora normal pada manusia

berperan dalam berbagai fungsi vital yang berkaitan dengan nutrisi, metabolisme,

imunitas dan proses penuaan (Turnbaugh et al., 2006; Atarashi et al., 2011;

Tremaroli and Backhed, 2012). Mikrobiota usus terlibat dalam beberapa fungsi

biologis penting seperti sistem imunitas, pertahanan terhadap bakteri patogen,

pertumbuhan mikrovili mukosa usus serta degradasi molekul polisakarida yang

tidak bisa dicerna oleh sistem ensim host (Delzenne and Cani, 2011; Delzenne et

al, 2011). Selain itu, kemampuannya untuk memodulasi jalur komunikasi intrasel

akan berpengaruh terhadap keseimbangan metabolisme dan energi pada host

(Backhed et al, 2004; Turnbaugh et al., 2006; Backhed et al., 2007; Cani and

Delzenne, 2007; Hildebrandt et al., 2009). Mikrobiota usus memegang peranan

penting dalam kejadian resistensi insulin dan DMT-2 dengan memicu terjadinya

low-grade inflammation (Backhed et al., 2007; Cani et al., 2007; Gregor and

Hotamisligil, 2011; Lumeng and Saltiel, 2011; Shen et al., 2013). Low-grade

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

32

inflammation merupakan gambaran umum yang lazim ditemukan pada obesitas

dan sindrom metabolik termasuk DMT-2. Beberapa mekanisme diduga berperan

dalam menghubungkan mikrobiota usus dengan low-grade inflammation. Di

antara beberapa mekanisme tersebut, lipopolisakarida (LPS) yang berasal dari

mikrobiota usus merupakan faktor kunci yang berperan dalam perkembangan

awal inflamasi dan sindroma metabolik (Cani et al., 2007).

Lipopolisakarida (LPS) adalah komponen utama dari dinding sel bakteri

gram-negatif. Molekul ini terpapar langsung dengan lingkungan luar bakteria

sehingga diduga memegang peranan penting sebagai pertahanan terhadap bahaya

dari luar (Leone et al., 2007). LPS sangat vital bagi kehidupan bakteri gram-

negatif. Satu sel bakteri gram-negatif seperti Escherichia coli mengandung

sekitar 3,5 x 106 molekul LPS (Rietschel et al., 1994). LPS tersusun oleh 3

komponen yang berbeda yakni lipid-A, inti dan antigen-O. Lipid-A sangat

imunogenik dan bertanggung jawab terhadap timbulnya syok septik atau sepsis.

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

33

Gambar 2.3Struktur lipid-A dari molekul lipopolisakarida (Dikutip dari Nijland et al., 2014)

Lipid-A dari LPS tidak dikenali oleh host saat masih tertanam dalam

membran luar sel bakteri. Saat LPS dilepaskan, lipid-A akan terpapar dan memicu

respon imun. Pelepasan LPS dari membran sel dipicu oleh pertumbuhan atau lisis

sel bakteri (van Amersfoort et al., 2003). Pengenalan lipid-A dimulai dengan

ikatan dengan LPS-binding protein (LBP), dimana selanjutnya LBP akan

mengkatalisis transfer LPS ke molekul CD14. CD14 merupakan reseptor pada

permukaan sel monosit, makrofag dan polimorfonuklear leukosit yang akan

mengikat kompleks LPS-LBP. Penyebaran jalur sinyal dimulai saat CD14

berikatan dengan kompleks TLR4-MD2. LPS merupakan aktivator yang sangat

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

34

kuat dari toll-like receptor-4 (TLR-4). TLR4 dan MD2 merupakan komponen

vital dalam penyebaran sinyal (Da Silva Correia et al., 2001; Gioannini et al.,

2004; DeMarco and Woods, 2011).

Gambar 2.4

Jalur sinyal TLR4 (Dikutip dari Nijland et al., 2014)

Ikatan LPS dengan kompleks TLR4-MD2 akan memicu dimerisasi kompleks ini

dan penyebaran sinyal akan dimulai saat terjadi interaksi dengan domain

intraseluler dari molekul TLR4 (Fitzgerald et al., 2004; DeMarco and Woods,

2011). Dimerisasi kompleks menyebabkan terjadinya rekrutmen molekul adapter

(MyD88, TRIF, TRAM) yang melalui kaskade transduksi sinyal akan

mengaktivasi faktor transkripsi NFκB yang memicu produksi molekul pro-

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

35

inflamasi seperti TNF-α dan IL-6 (Fitzgerald et al., 2004; Kagan et al., 2008;

Tanimura et al., 2008).

2.4 Pengaruh Paparan Antibiotika Terhadap Ekologi Mikrobiota Usus

Penemuan antibiotika pada awal abad ke-19 merupakan salah satu tonggak

penting dalam sejarah kesehatan umat manusia. Meningkatnya umur harapan

hidup pada kurun waktu antara tahun 1940 – 1970 dianggap sebagai salah satu

kontribusi positif penggunaan antibiotika. Seiring meningkatnya penggunaan

antibiotika, muncul beberapa masalah baru khususnya yang berkaitan dengan

kekebalan bakteri terhadap antibiotika. Akan tetapi, data-data ilmiah yang

ditemukan akhir-ahir ini menunjukan bahwa penggunaan antibiotika tidak hanya

berkaitan dengan insiden kekebalan. Gangguan komposisi dan fungsi dari

mikrobiota usus (disbiosis) juga merupakan efek yang bermakna akibat

penggunaan antibiotika (Blaser, 2011). Bukti-bukti dari beberapa penelitian

menunjukkan bahwa penggunaan antibiotika menimbulkan efek jangka pendek

dan jangka panjang terhadap ekologi mikrobiota saluran pencernaan.

Penggunaan antibiotik merupakan salah satu faktor yang umum dan

signifikan dalam menimbulkan disbiosis mikrobiota saluran cerna (Hawrelak and

Stephen, 2004). Antibiotik tidak hanya membunuh bakteri patogen yang menjadi

sasaran kerjanya, tapi juga mempengaruhi bakteri lain yang menjadi komunitas

flora normal saluran cerna (Jernberg et al, 2007). Perubahan komposisi

mikrobiota saluran cerna yang disertai dengan pemulihan inkomplit dibandingkan

komposisi awal mikrobiota dapat diamati setelah pemberian antibiotik (Jernberg

et al, 2007; Jakobsson et al., 2010; Dethlefsen and Relman, 2010; Panda et al.,

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

36

2014). Usia dini kehidupan merupakan periode kritis untuk perkembangan

metabolisme (Dietz, 1994; Cunningham et al., 2014), sehingga gangguan

keseimbangan mikrobiota saluran cerna pada periode ini dapat memicu

ketidakseimbangan komposisi tubuh. Pada manusia, gangguan keseimbangan

mikrobiota saluran cerna pada usia dini kehidupan berhubungan dengan

peningkatan resiko kelebihan berat badan pada masa remaja (Ajslev et al., 2011;

Huh et al., 2012; Blustein et al., 2013; Murphy et al., 2013a; Trasande et al.,

2013). Efek jangka panjang penggunaan antibiotika pada usia dini kehidupan

terhadap perubahan komposisi mikrobiota usus diduga berperan dalam

perkembangan asma, eksim, dermatitis atopik, alergi, ensefalitis autoimun,

kandidiasis, kolera dan kolitis (Willing et al., 2011).

Perubahan utama pada mikrobiota usus akibat pemaparan antibiotika

adalah menurunnya keragaman taksonomi dan proporsi konsorsium bakteri.

Potensi suatu agen antimikroba dalam menimbulkan disbiosis mikrobiota usus

berkaitan dengan spektrum aktivitasnya (Gismondo, 1998), dosis dan

farmakokinetik (Nord, 1990), cara kerja (Jemberg et al., 2010) dan lama

pemberian (Peng et al., 2013). Perez-Cobas et al., (2013b) menemukan bahwa

golongan antibiotik, khususnya efek antimikrobial dan mekanisme kerja, berperan

penting dalam memodulasi komposisi dan fungsi mikrobiota usus.

Efek dari pemberian jangka pendek (7 hari) klindamisin, antibiotika

dengan efek utama terhadap bakteri anaerob, dapat bertahan selama 2 tahun,

ditandai dengan tidak pulihnya kelompok bakteri Bacteriodes secara persisten

(Jernberg et al., 2007). Selain itu regimen untuk eradikasi Helycobacter pylori

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

37

yang mengandung klaritromisin menurunkan secara bermakna keragaman

Actinobacteria dan meningkatkan gen resisten embB hampir 1000 kali lipat, dan

pada sebagian pasien, efek ini bertahan sampai selama 4 tahun (Jakobsson et al.,

2010). Efek dari siprofloksasin yang memiliki target utama bakteri gram-positif

bersifat jangka pendek, dimana terjadi penurunan dari Ruminococcus spp

(Dethlefsen et al., 2008). Janczyk et al., (2007) menemukan bahwa pemberian

amoksisilin dosis tunggal secara intramuskuler pada anak babi menurunkan

keragaman mikrobiota usus dan mengurangi spesies bakteri menguntungkan

seperti Roseburia faecalis. Penelitian pada mencit yang dilakukan oleh Murphy et

al., (2013a) menemukan bahwa vankomisin menurunkan proporsi Firmicutes dan

Bacteriodes secara bermakna, sedangkan proporsi Proteobacteria meningkat.

Rajpal et al., (2015) melakukan studi dengan memberikan paparan vankomisin

(anti gram-positif) dan seftazidim (anti gram-negatif) pada mencit yang diberi diet

tinggi lemak. Mencit yang dipapar dengan vankomisin menunjukkan komposisi

mikrobiota yang didominasi oleh Proteobacteria.

Yin et al., (2015) melakukan penelitian untuk melihat efek dinamik

keragaman mikrobiota usus akibat paparan beberapa golongan antibiotika.

Antibiotika golongan beta-laktam (seftriakson, cefoperason/sulbactam dan

meropenem), kuinolon (ofloksasin), glikopeptida (vankomisin) dan makrolid

(azitromisin) digunakan sebagai paparan untuk melihat pengaruhnya terhadap

keragaman mikrobiota usus mencit. Antibiotika beta-laktam dan vankomisin

secara dramatis merubah komposisi mikrobiota usus pada hari ke-2 setelah

pemberian antibiotika. Azitromisin juga merubah konsorsium mikrobiota usus

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

38

tapi dalam derajat yang lebih rendah dibandingkan beta-laktam dan vankomisin,

sedangkan ofloksasin tidak menyebabkan perubahan mikrobiota secara bermakna.

Antibiotika beta-laktam secara konsisten menghambat pertumbuhan Papillibacter,

Prevotella dan Alistipes, tetapi memicu pertumbuhan masif dari Clostridium.

Vankomisin menghambat bakteri dalam filum Firmicutes (khususnya

Clostridium), dan sebaliknya memicu pertumbuhan Escherichia coli. Sedangkan

antibiotika azitromisin dan meropenem memicu pertumbuhan Enterococcus.

Efek dari pemberian campuran beberapa antibiotika (antibiotic cocktails)

terhadap konsorsium mikrobiota usus juga menjadi obyek yang banyak dipelajari.

Campuran antibiotika metronidasol, vankomin dan neomisin yang diberikan pada

mencit menurunkan total jumlah bakteri pada ileum sampai 100 kali lipat (Ubeda

et al., (2010). Ditemukan juga gangguan komposisi mikrobiota pada ileum dan

sekum, ditandai dengan pertumbuhan berlebihan dari Enterobacteriaceae.

Mikkelsen et al., (2015) menggunakan paparan campuran antibiotika

vankomisin, gentamisin dan meropenem dan melihat pengaruhnya terhadap

konsorsium mikrobiota usus. Campuran antibitoika diberikan secara oral selama

4 hari. Total jumlah bakteri anaerobik menurun 27% segera setelah pemberian

antibiotika. Penurunan jumlah enterococci, koliform dan bifidobacteria mulai

terjadi segera setelah pemberian antibiotika dan mencapai puncaknya pada hari

ke-4. Pada hari ke-8 setelah pemberian antibiotika, terjadi peningkatan bermakna

jumlah bakteri aerob dan fakultatif anaerob serta enterococcus dan koliform.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

39

2.5 Analisis Metagenomik Untuk Mengukur Keragaman Mikrobiota

Memahami keragaman komunitas mikroba merupakan komponen penting

dalam mempelajari mikrobiom manusia agar dapat mengungkap distribusi dan

pola perubahan mikrobiota. Karena sebagian besar mikrobiota usus tidak dapat

ditumbuhkan melalui metode kultur, maka pendekatan molekuler yang tidak

tergantung pada metode kultur sangat penting dalam mempelajari keragaman

mikrobiota. Makin majunya teknologi sekuensing DNA dengan perkembangan

pada Next Generation Sequencing (NGS) memungkinkan dilakukannya analisis

metagenomik dengan resolusi dan kapasitas yang lebih tinggi. Di antara beberapa

platform yang memanfaatkan teknologi NGS ini, 454 Pyrosequencing (Lauber et

al., 2009) dan Illumina-based sequencing (Caporaso et al., 2012) merupakan

platform yang sering digunakan dalam analisis metagenomik untuk melihat

keragaman mikrobiota. Penggunaan NGS memungkinkan peningkatan akurasi

dalam mengungkapkan kompleksitas keragaman suatu populasi mikroba, dan

sekaligus dapat menghubungkan keragaman komunitas mikroba dengan fungsi

lingkungannya (Bartram et al., 2011).

2.4.1 16S rRNA Sebagai Gen Marker

Melakukan sekuensing terhadap keseluruhan genom dari suatu populasi

mikroba merupakan usaha yang memerlukan sumberdaya dan biaya yang mahal.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu gen sebagai marker yang mewakili identitas dari

genom tersebut. Suatu marker memiliki persyaratan karakteristik tertentu antara

lain : harus ada dalam setiap anggota populasi, selalu berbeda hanya diantara

anggota populasi yang memiliki genom yang berbeda, dan memiliki perbedaan

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

40

yang proporsional sesuai dengan jarak evolusi dari genom yang berbeda.

Beberapa marker yang dikenal antara lain gen sub-unit protein ribosom, faktor

elongasi dan sub-unit polimerase RNA. Dari beberapa marker tersebut, gen 16S

rRNA merupakan marker yang paling sering digunakan (Lane et al., 1985; Tringe

and Hugenholtz, 2008). Analisis pada sekuen gen 16S rRNA dapat digunakan

untuk mempelajari keragaman mikrobiota dari berbagai lingkungan yang berbeda

(Li et al., 2012). Gen 16S rRNA memiliki 9 daerah hipervariabel (V1-V9) yang

digunakan sebagai target amplifikasi dan identifikasi taksa. Dari 9 regio

hipervariabel tersebut, regio V3-V4 dianggap paling optimal sebagai daerah target

untuk mengidentifikasi spesies bakteri (Chakravorty etal., 2007; Yang et al.,

2016).

2.4.2 Metode Pengukuran Keragaman Mikrobiota

Karakterisasi keragaman komunitas mikroba dari hasil pembacaan sekuen

gen 16S rRNA dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama, dilakukan

pengelompokan hasil pembacaan ke dalam unit taksonomi yang berbeda sehingga

bisa dibuat profil taksonominya. Selanjutnya profil taksonomi tersebut dinilai

keragamannya dengan menghitung richness (jumlah unit taksonomi yang ada) dan

evennes atau abundance (jumlah dari masing-masing unit taksonomi yang

berbeda) (Morales et al., 2009). Untuk membuat profil taksonomi ini pada

umumnya digunakan 2 pendekatan yang berbeda berdasarkan sekuen dari 16S

rRNA masing-masing sampel.

Metode pertama yang bisa digunakan adalah dengan mencocokkan

sekuens 16S rRNA sampel dengan basis data yang sudah disesuaikan dengan

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

41

suatu hirarki taksonomi (Liu et al., 2008). Beberapa basis data yang bisa

digunakan sebagai referensi antara lain GreenGenes (DeSantis et al., 2006),

Ribosomal Database Project atau RDP (Cole et al., 2009) dan SILVA (Quast et

al., 2013). Selain itu, The Human Microbiome Project Consortium juga

menyediakan basis data dari koleksi mikroorganisme yang berkaitan dengan

berbagai lokasi daalam tubuh manusia termasuk bakteri, virus, arkae dan

eukariota (The Human Microbiome Project Consortium, 2012a, 2012b).

Pendekatan ke-dua tidak berdasarkan pada klasifikasi taksonomi tetapi

menggunakan kemiripan sekuen untuk membentuk sebuah cluster (Schloss and

Westcott, 2011). Persentase kemiripan yang ditetapkan untuk sebuah cluster

berkisar antara 95%, 97% atau 99%. Semua hasil pembacaan yang berada dalam

satu cluster dianggap sebagai satu unit taksonomi operasional (Operational

Taxonomic Unit/OTU) yang sama.

Pengukuran keragaman sangat penting untuk memahami stuktur dan

perubahan dinamis suatu komunitas. Pengukuran keragaman suatu komunitas

pada mulanya didasarkan pada konsep spesies sebagai unit dasar dalam analisis.

Dalam konteks ini dikenal 2 macam keragaman yakni α-diversity dan β-diversity.

Alpha-diversity merujuk kepada keragaman dalam satu komunitas, dan biasanya

yang diukur dalam keragaman ini adalah jumlah spesies (richness), proporsi

relatif suatu spesies (evenness) atau kombinasi ke duanya. Sedangkan β-diversity

menilai keragaman antara 2 atau lebih komunitas, dimana dalam kaitan ini akan

dihitung jumlah spesies sama yang dibagi dalam komunitas-komunitas tersebut.

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

42

Pendekatan lain yang digunakan dalam mengukur keragaman populasi

adalah metode yang berbasis pada konsep divergensi (divergence-based diversity)

(Martin, 2002; Eckburg et al., 2005; Lozupone and Knight, 2005). Metode ini

didasarkan pada konsep bahwa keragaman suatu populasi akan meningkat bila

unit-unit penyusun populasi itu makin divergen. Oleh karena itu, 2 buah populasi

dianggap mirip bila berasal dari satu cabang filogenetik.

Keragaman suatu komunitas dapat dihitung dengan beberapa cara. Dalam

perhitungan ini beberapa faktor perlu dipertimbangkan, yakni : apakah akan

mengukur keragaman dalam satu komunitas (α-diversity) atau antar komunitas (β-

diversity), apakah pengukuran bersifat kualitatif (mengukur ada atau tidaknya

suatu taksa) ataukah bersifat kuantitatif menghitung (jumlah dari masing-masing

taksa) serta apakah pengukuran bersifat spesies-based atau divergence-based.

Beberapa cara pengukuran keragaman ditampilkan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1

Metode pengukuran keragaman populasi mikroba (dikutip

dari Lozupone and Knight, 2008)

α-diversity β-diversity

Kualitatif

Spesies-based :Chao 1ACERarefaction

Divergen-based :Phylogenetic Diversity

Spesies-based :Sorensen IndexJacard Index

Divergen-based :Unweighted UniFracTaxonomic Similarity (Δs)

Kuantitatif

Spesies-based :Shannon’s Index (H)Inverse Simpson’s Index (1/D)

Divergen-based :ThetaBerger-Parker Dominance

Spesies-based :Sorensen Quantitative IndexMorisita-Horn Measure

Divergen-based :Weighted UniFracFST

DPCoA

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

43

Pada dasarnya semua metode pengukuran di atas dapat digunakan

terhadap berbagai macam komunitas, meskipun beberapa di antaranya lebih sering

diimplementasikan pada ekologi spesifik tertentu. Beta-diversity berbasis

divergensi seringkali digunakan pada komunitas mikrobial untuk menentukan

apakah komunitas tersebut berbeda secara bermakna. Sebaliknya pengukuran α-

diversity berbasis divergensi sangat jarang digunakan untuk menilai komunitas

mikrobial (Eckburg et al., 2005; Lozupone and Knight, 2007).

2.5 Fecal Microbial Transplantation

2.5.1 Pengertian Fecal Microbial Transplantation

Komunitas mikroorganisme dalam usus manusia memegang peran

penting dalam berbagai fungsi tubuh. Data-data dari analisis metagenomik

menunjukkan bahwa keragaman spesies mikrobiota usus merupakan indikator dari

status kesehatan seseorang (Gill et al., 2006; Wang et al., 2009; Claesson et al,

2012). Dalam kaitan dengan asumsi di atas, maka manipulasi komposisi

mikrobiota usus memiliki potensi sebagai terapi terhadap beberapa penyakit

tertentu.

Fecal Microbial Transplantation (FMT) merupakan pemberian material

feses yang mengandung mikrobiota usus dari seorang donor sehat kepada resipien

dengan tujuan untuk merubah komposisi mikrobiota resipen dan memberikan efek

menguntungkan bagi kesehatan (Bakken et al., 2011; Smits et al., 2013). Prinsip

dari FMT adalah mengobati penyakit dengan mengembalikan keragaman

filogenetik mikrobiota usus sehingga menyerupai komposisi pada orang sehat.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

44

2.5.2 Sejarah FMT

Penggunaan FMT sebagai upaya terapi telah dikenal sejak abad ke-4 di

Cina, dimana suspensi feses manusia diberikan secara oral untuk mengobati kasus

keracunan makanan dan diare berat (Zhang et al., 2012). Penggunaan FMT dalam

bidang kesehatan hewan juga telah dikenal sejak abad ke-17 (DePeters and

George, 2014). Dalam era modern, penggunaan FMT sebagai upaya pengobatan

dilaporkan pertama kali oleh Ben Eiseman di tahun 1958 untuk mengobati pasien

dengan pseudomembranous colitis (dikutip dari Kelly et al., 2015). Kebanyakan

pengalaman klinis penggunaan FMT berkaitan dengan pengobatan terhadap

infeksi oleh Clostridium difficile (Clostridium difficile Infection/CDI) (Smits et

al., 2013). Keberhasilan penggunaan FMT untuk mengobati CDI menimbulkan

harapan bahwa FMT juga memiliki potensi untuk digunakan dalam pengobatan

kasus-kasus lain yang berkaitan dengan disbiosis seperti sindroma metabolik,

obesitas, alergi makanan, Inflammatory Bowel Disease (IBD) dan Irritable Bowel

Syndrome (IBS).

2.5.3 Indikasi FMT

FMT telah direkomendasikan sebagai salah satu modalitas terapi untuk

kasus-kasus CDI berulang yang tidak memberikan respon terhadap pemberian

vankomisin. Angka kesembuhan pada pasien CDI berulang yang diterapi dengan

FMT mencapai 87-90% (Camarota et al., 2014; Rossen et al., 2015). FMT pada

kasus-kasus CDI dikatakan aman, ditoleransi dengan baik dengan efek samping

yang relatif ringan (Kelly et al., 2015). Indikasi utama pemberian FMT pada

kasus CDI adalah (Bakken et al., 2011) :

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

45

1. CDI berulang :

a. Tiga atau lebih episode CDI ringan sampai sedang dan tidak

berespon terhadap pemberian vankomisin dan atau antibiotik

alternatif (rifaksimin, nitazoxanid atau fidaksomisin) selama 6-8

minggu

b. Minimal 2 episode CDI yang memerlukan perawatan di rumah

sakit dan berkaitan dengan morbiditas yang nyata

2. CDI sedang yang tidak membaik dengan terapi standar (vankomisin atau

fidaksomisin) selama minimal 1 minggu

3. CDI berat atau fulminan yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi

antibiotika standar selama 48 jam

Selain pada kasus CDI, FMT juga telah dicoba untuk digunakan sebagai

terapi pada kasus Inflammatory Bowel Diseases (IBD), obesitas dan sindrom

metabolik serta gangguan gastrointestinal fungsional (Functional Gastrointestinal

Disorders/FGID). IBD, termasuk di dalamnya ulcerative colitis dan Crohn’s

disease, ditandai dengan adanya inflamasi kronis pada saluran gastrointestinal,

dengan periode remisi dan eksaserbasi berulang yang bersifat siklik. Bukti-bukti

menunjukkan adanya hubungan antara disbiosis saluran cerna dengan

perkembangan IBD, sehingga muncul upaya-upaya untuk menggunakan FMT

sebagai pendekatan terapi (Damman et al., 2012). Hasil review sistematik dan

meta analisis menunjukkan angka kesembuhan pasien IBD yang diterapi dengan

FMT mencapai 36,2% (Colman and Rubin, 2014). Angka remisi klinis pada kasus

ulcerative colitis mencapai 22%, dan pada anak usia 7-20 tahun angkanya

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

46

meningkat sampai 64,1%. Sedangkan pasien dengan Crohn’s disease mencapai

angka remisi klinis sebesar 60,5%. Beberapa efek samping yang dijumpai setelah

pemberian FMT pada kasus IBD antara lain demam, menggigil, muntah, diare dan

nyeri abdomen (Suskind et al., 2015). Beberapa laporan bahkan menyebutkan

memburuknya kondisi pasien setelah pemberian FMT (Angelberger et al., 2013;

De-Leon et al., 2013). Rendahnya efikasi FMT dalam pengobatan IBD

dibandingkan pada kasus CDI diduga karena adanya faktor yang lebih beragam

dalam patofisiologi IBD (Kelly et al., 2015)

Sindrom metabolik, yang ditandai dengan beberapa karakterisik seperti

obesitas sentral, hipetensi, dislipidemia dan hiperglikemia meningkatkan resiko

untuk menderita gangguan kardiovaskuler dan diabetes melitus. Data-data

menunjukkan bahwa mikrobiota usus terkait dengan patofisiologi obesitas (Cho et

al., 2012). Analisis metagenomik menunjukkan adanya perbedaan bermakna pada

mikrobiota usus antara individu obese dan normal. Ley et al., (2005) dan

Turnbaugh et al., (2006) menemukan bahwa pada individu obese terjadi

peningkatan rasio Firmicutes terhadap Bacteriodetes yang disertai peningkatan

kemampuan untuk mengekstrak energi dari makanan. Lebih lanjut ditemukan

bahwa tikus bebas mikroba (germ-free) yang dikolonisasi dengan mikrobiota dari

individu obese menunjukkan peningkatan bermakna pada penumpukan sel-sel

adiposit dibandingkan tikus yang dikolonisasi denagn mikrobiota orang normal

(Turnbaugh et al., 2006). Vrieze et al., (2013) menemukan bahwa transplantasi

feses orang normal kepada individu obese dengan sindrom metabolik

memperbaiki sensitivitas insulin, meningkatkan keragaman mikrobiota usus dan

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

47

meningkatkan bakteri penghasil butirat seperti Roseburia intestinalis. Bukti-bukti

di atas membuka peluang untuk memanfaatkan FMT sebagai upaya terapi pada

kasus-kasus sindrom metabolik dan kelainan penyertanya.

2.5.4 Pemilihan Donor

Pemilihan donor sebagai sumber mikrobiota feses merupakan faktor

penting dalam prosedur FMT. Beberapa keuntungan dan kerugian perlu

dipertimbangkan dalam memilih donor. Donor yang berasal dari kontak dekat

(pasangan suami atau istri) memiliki lingkungan yang sama sehingga mengurangi

resiko penularan penyakit infeksi yang berasal dari lingkungan. Donor yang

berasal dari saudara kandung secara teori akan memiliki kemiripan komunitas

mikrobiota, sehingga akan mengurangi resiko intoleransi sistem imunitas.

Menggunakan donor yang tidak memiliki hubungan biologis dengan resipien akan

menghilangkan peranan faktor genetik yang dapat mempengaruhi keberhasilan

proses FMT, terutama pada kasus-kasus dimana genetik merupakan faktor yang

berperan dalam patofisiologi penyakitnya (Kelly et al., 2015).

Beberapa kriteria ekslusi dalam pemilihan donor untuk FMT antara lain

(Kelly et al., 2015) :

1. Riwayat pemberian antibiotika dalam jangka waktu 3 bulan sebelumnya

2. Riwayat penyakit gastrointestinal intrinsik seperti IBD, IBS, konstipasi

kronis, keganasan saluran cerna

3. Riwayat penyakit atopik atau autoimun, atau sedang dalam perawatan

menggunakan obat-obat yang mempengaruhi sistem imunitas

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

48

4. Menderita sindrom metabolik, obesitas (indeks masa tubuh > 30 kg.m2)

atau dalam keadaan malnutrisi

5. Riwayat penyakit keganasan atau sedang dalam terapi sitostatika

2.5.5 Pengolahan Feses dan Cara Pemberian

Segera setelah dikumpulkan, feses dilarutkan dan dihomogenisasi. Dari

data-data yang ada, tidak ada perbedaan bermakna apakah feses dilarutkan dalam

air, susu ataupun larutan salin fisiologis, meskipun larutan salin fisiologis

diasumsikan paling sedikit mempengaruhi mikrobiota dalam sampel feses (Kelly

et al., 2015). Homogenisasi dapat dilakukan secara manual ataupun dengan

bantuan blender, lalu disaring untuk menghilangkan komponen padatnya. Hasil

filtrasi dapat langsung diberikan kepada resipien atau dapat juga dibekukan dan

disimpan untuk digunakan di kemudian hari. Bila akan diberikan segera,

pemberian transplan mikroba direkomendasikan tidak melebihi 6 jam mulai saat

feses dikumpulkan.

Sampai saat ini belum terdapat konsensus yang tegas tentang metode

terbaik pemberian transplan feses. Rute pemberian bisa melalui saluran

pencernaan bagian atas (melalui endoskopi atau nasogastric tube), ke dalam kolon

bagian distal melalui kolonoskopi ataupun ke dalam kolon distal bentuk enema

atau melalui rectal tube. Masing-masing rute pemberian memiliki keuntungan dan

kerugian masing-masing. Pemberian melalui nasogastric atau nasointestinal tube

memberikan rasa tidak nyaman bagi pasien selain memiliki resiko terjadinya

muntah dan aspirasi. Endoskopi memerlukan alat canggih dan operator yang

berpengalaman, meskipun di sisi lain memungkinkan untuk sekaligus

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Perkembangan dan Komposisi

49

dilakukannya evaluasi terhadap kondisi mukosa saluran pencernaan. Terlepas dari

berbagai metode pemberiannya, semua rute pemberian FMT dilaporkan efektif,

dan pemilihan metode pemberian juga tergantung pada situasi klinis yang

dihadapi (Kelly et al., 2015).