bab ii kajian pustaka 2.1 konsep dan definisi ii.pdfmerupakan landasan dalam penelitian ini. teori...
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep dan Definisi
Landasan teori adalah teori-teori yang relevan dan dapat digunakan untuk
menjelaskan variabel-variabel penelitian. Landasan teori ini juga berfungsi
sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yng
diajukan, serta membantu dalam penyusunan instrumen penelitian. Teori-teori
yang digunakan tersebut, bukan sekedar pendapat dari pengarang saja, melainkan
teori yang sudah teruji kebenarannya (Ridwan, 2004). Peneliti mengutip beberapa
teori yang berhubungan dengan variabel-variabel penelitian, dan teori-teori ini
merupakan landasan dalam penelitian ini. Teori yang digunakan dalam penelitian
ini antara lain mengenai pasar modern, pasar tradisional, struktur pasar, teori
waktu usaha, keuntungan, jarak, teori lokasi, dan diversifikasi produk.
2.1.1 Pasar Modern
Pasar menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun
2007 adalah area tempat jual beli barang dengan jumlah penjual lebih dari satu
baik yang disebut sebagai pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall,
plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya. Ada lima fungsi pasar yaitu :
a. Menetapkan nilai (sets value)
b. Pendistribusi barang
c. Pengorganisir produksi
d. Penyelenggara penjatahan (rationing)
e. Mempertahankan dan mempersiapkan kebutuhan di masa depan.
11
Selanjutnya Sinaga (2006) mengatakan bahwa pasar modern adalah pasar
yang dikelola dengan manajemen modern, umumnya terdapat di kawasan
perkotaan, sebagai penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang
baik kepada konsumen (umumnya anggota masyarakat kelas menengah ke atas).
Pasar modern antara lain mall, supermarket, departement store, shopping centre,
waralaba, toko mini, swalayan, pasar serba ada, toko serba ada dan sebagainya.
Barang yang dijual disini memiliki variasi jenis yang beragam. Selain
menyediakan barang barang lokal, pasar modern juga menyediakan barang impor.
Barang yang dijual mempunyai kualitas yang relatif lebih terjamin karena melalui
penyeleksian terlebih dahulu secara ketat sehingga barang yang rijek/tidak
memenuhi persyaratan klasifikasi akan ditolak. Secara kuantitas, pasar modern
umumnya mempunyai persediaan barang di gudang yang terukur. Dari segi harga,
pasar modern memiliki label harga yang pasti (tercantum harga sebelum dan
setelah dikenakan pajak).
Adanya penyedia barang dan jasa dengan mutu dan pelayanan yang baik
kepada konsumen menyebabkan banyak orang mulai beralih ke pasar modern
untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari. Macam-macam pasar modern diantaranya
(Kotler, 2000) :
a. Minimarket: gerai yang menjual produk-produk eceran seperti warung
kelontong dengan fasilitas pelayanan yang lebih modern. Luas ruang
minimarket adalah antara 50 m2
sampai 200 m2.
b. Convenience store: gerai ini mirip minimarket dalam hal produk yang dijual,
tetapi berbeda dalam hal harga, jam buka, dan luas ruangan,dan lokasi.
12
Convenience store ada yang dengan luas ruangan antara 200 m2
hingga 450 m2
dan berlokasi di tempat yang strategis, dengan harga yang lebih mahal dari
harga minimarket.
c. Special store: merupakan toko yang memiliki persediaan lengkap sehingga
konsumen tidak perlu pindah toko lain untuk membeli sesuatu harga yang
bervariasi dari yang terjangkau hingga yang mahal.
d. Factory outlet: merupakan toko yang dimiliki perusahaan/pabrik yang menjual
produk perusahaan tersebut.
e. Distro (Disribution Store): jenis toko di Indonesia yang menjual pakaian dan
aksesoris yang dititipkan oleh pembuat pakaian, atau diproduksi sendiri.
f. Supermarket: pasar modern yang mempunyai luas 300-1100 m2
untuk yang
kecil, sedangkan yang besar berukuran 1100-2300 m2
g. Perkulakan atau gudang rabat: menjual produk dalam kuantitas besar kepada
pembeli non-konsumen akhir untuk tujuan dijual kembali atau pemakaian
bisnis.
h. Super store: adalah toko serba ada yang memiliki variasi barang lebih lengkap
dan luas serta lebih besar dari supermarket.
i. Hipermarket: pasar modern yang mempunyai luas ruangan di atas 5000 m2
2.1.2 Pasar Tradisional
Pasar Tradisional menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor
112 Tahun 2007 adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah termasuk kerjasama dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko,
kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah,
13
swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan
dengan proses jual beli barang dagangan melalui tawar-menawar. Usaha-usaha
pasar tradisional dapat digolongkan menjadi beberapa bentuk sebagai berikut :
a. Pasar Induk adalah pasar yang merupakan pusat distribusi yang menampung
hasil produksi petani yang dibeli oleh para pedagang tingkat grosir kemudian
dijual kepada para pedagang tingkat eceran untuk selanjutnya diperdagangkan
dipasar-pasar eceran diberbagai tempat mendekati para konsumen;
b. Pasar Iingkungan adalah pasar yang dikelola pemerintah daerah, badan usaha
dan kelompok masyarakat yang ruang lingkup pelayanannya meliputi satu
lingkungan pemukiman di sekitar lokasi pasar, dengan jenis barang yang
diperdagangkan meliputi kebutuhan pokok sehari- hari;
c. Pasar Desa adalah pasar yang dikelola oleh pemerintahan desa atau kelurahan
yang ruang Iingkup pelayanannya meliputi Iingkungan desa atau kelurahan di
sekitar lokasi pasar, dengan jenis barang yang diperdagangkan meliputi
kebutuhan pokok sehari-hari dan/atau kebutuhan sembilan bahan bahan
pokok;
d. Pasar tradisional kota adalah pasar yang dikelola oleh Pemerintah Daerah,
Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi yang ruang Iingkup pelayanannya
meliputi satu wilayah Kabupaten/Kota dengan jenis perdagangan barang-
barang kebutuhan sehari-hari, sandang serta jasa yang lebih lengkap dari pasar
desa atau kelurahan.
14
e. Pasar Khusus adalah pasar dimana barang yang diperjual belikan bersifat
khusus atau spesifik, seperti pasar hewan, pasar kramik, pasar burung, dan
sejenisnya.
f. Pasar tradisional yang berupa sektor informal lainnya yaitu unit usaha berskala
kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa tanpa melalui
izin operasional dengan tujuan utama untuk menciptakan kesempatan kerja
dan penghasilan bagi dirinya sendiri dengan atau tidak memiliki tempat
berjualan yang menetap berupa toko, warung ataupun kios.
Warung tradisional sebagai salah satu bentuk dari pasar tradisional adalah
outlet yang menjual produk-produk fast moving consumer goods (barang
kebutuhan sehari-hari) yang dijual kepada konsumen akhir dan usaha yang
dijalankan saat ini masih menggunakan sistem tradisional yaitu outlet tidak
menggunakan mesin kasir dalam setiap transaksi penjualannya (Mardian, 2011).
Barang yang dijual disini hampir sama seperti barang barang yang dijual di
pasar/toko modern dengan variasi jenis yang beragam. Karena barang yang dijual
dalam pasar tradisional cenderung sama dengan pasar modern, maka barang yang
dijual pun mempunyai kualitas yang relatif sama terjaminnya dengan barang-
barang di pasar modern.
Secara kuantitas, warung tradisional umumnya mempunyai persediaan
barang yang jumlahnya sedikit sesuai dengan modal yang dimiliki pemilik atau
permintaan dari konsumen. Dari segi harga, warung ataupun pasar tradisional
tidak memiliki label harga yang pasti karena harga disesuaikan dengan sistem
tawar menawar dan besarnya keuntungan yang diinginkan oleh setiap pemilik
15
usaha. Selain itu, harga pasar selalu berubah-ubah, sehingga bila menggunakan
label harga lebih repot karena harus mengganti-ganti label harga sesuai dengan
perubahan harga yang ada dipasar.
2.1.3 Teori Waktu Usaha
Becker (1965) mengemukakan pendekatan teori alokasi waktu dengan
perbedaan kegiatan. Tanggapan Becker terhadap teori Gronau yaitu bahwa total
waktu dibedakan atas waktu produktif yang benar-benar digunakan untuk bekerja
(productive working time) dan waktu produktif (productive time) yang digunakan
untuk santai (leisure) seperti nonton TV dan aktivitas lain (work at home or not
work). Becker membedakan kegunaan waktu berdasarkan berapa biaya per jam
(cost/hour) setiap aktivitas yang dilakukan.
Selanjutnya Becker juga menjelaskan alokasi waktu kerja adalah jumlah
jam kerja riil yang dicurahkan oleh tenaga kerja dalam keluarga untuk mencari
nafkah, dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Seluruh anggota
keluarga memiliki peran yang cukup besar dalam memberikan kontribusi
waktunya untuk mencari nafkah. Keikutsertaan anggota keluarga dalam beberapa
jenis pekerjaan mencari nafkah banyak tergantung pada faktor-faktor di dalam dan
di luar keluarga. Keputusan mereka untuk terlibat dalam kegiatan keluarga, tidak
hanya tergantung pada keadaan pasaran kerja, atau penghasilan keluarga saja,
tetapi juga pada tersedianya waktu setiap anggota keluarga dan komposisi
keluarga.
Teori alokasi waktu yang dijelaskan Becker merupakan teori alokasi waktu
antara aktivitas yang berbeda. Inti teori ini adalah asumsi rumah tangga sebagai
16
produsen dan sebagai konsumen. Rumah tangga memproduksi komoditas dengan
mengkombinasikan input barang dan waktu berdasarkan aturan minimisasi biaya
teori tradisional perusahaan. Kuantitas komoditas yang diproduksi ditentukan oleh
maksimisasi fungsi utilitas dengan kendala harga dan batasan sumberdaya.
Sumberdaya diukur melalui pendapatan penuh yaitu jumlah pendapatan uang dan
kehilangan waktu dan barang yang digunakan untuk mendapat kepuasan. Harga
komoditas diukur dari jumlah biaya input barang dan waktu.
2.1.4 Keuntungan
Menurut teori laba, tingkat keuntungan pada setiap perusahaan biasanya
berbeda pada setiap jenis industri, baik perusahaan yang bergerak di bidang
tekstil, baja, farmasi, komputer, alat perkantoran, dan lain-lain. Terdapat beberapa
teori yang menerangkan perbedaan ini sebagai berikut (Sitio, 2001) :
a. Teori Laba Menanggung Resiko (Risk-Bearing Theory of Profit).
Menurut teori ini, keuntungan ekonomi diatas normal akan diperoleh
perusahaan dengan resiko di atas rata-rata.
b. Teori Laba Friksional (Frictional Theory of Profit).
Teori ini menekankan bahwa keuntungan meningkat sebagai suatu hasil dari
friksi keseimbangan jangka panjang (long run equilibrium).
c. Teori Laba Inovasi (Innovation Theory of Profit).
Menurut teori ini, laba diperoleh karena keberhasilan perusahaan dalam
melakukan inovasi.
d. Teori Laba Efisiensi Manajerial (Managerial Efficiency Theory of Profit).
17
Teori ini menekankan bahwa perusahaan yang dikelola secara efisien akan
memperoleh laba diatas rata-rata laba normal.
Keuntungan yang tinggi merupakan insentif bagi perusahaan untuk
meningkatkan outputnya dalam jangka panjang. Sebaliknya, laba yang rendah
atau rugi adalah pertanda bahwa konsumen menginginkan kurang dari
produk/komoditi yang ditangani dan metode produksinya tidak efisien.
Keuntungan diperoleh dari hasil mengurangkan berbagai biaya yang dikeluarkan
dari hasil penjualan yang diperoleh (π=TR-TC). Keuntungan yang diperoleh
seorang pemilik usaha setiap hari, minggu, bulan bahkan tahun selalu mengalami
perubahan. Perubahan pada keuntungan tersebut bisa perubahan keuntungan yang
meningkat atau perubahan keuntungan yang menurun. Pada penelitian ini
perubahan keuntungan yang terjadi di warung tradisional adalah tingkat
perubahan keuntungan akibat dari keberadaan minimarket di sekitar mereka.
Tingkat perubahan keuntungan warung tradisional dipengaruhi oleh beberapa hal
seperti jarak warung tradisional dengan minimarket terdekat, selisih waktu usaha
warung tradisional dengan minimarket terdekat, lokasi usaha dan juga
diversifikasi produk dari warung tradisional. Pendapatan merupakan unsur yang
sangat penting dalam sebuah usaha, karena dalam melakukan suatu usaha
tentu ingin mengetahui nilai atau jumlah pendapatan yang diperoleh selama
melakukan usaha tersebut.
Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) (2007), pengertian pendapatan
adalah : arus masuk bruto manfaat ekonomi yang timbul dari aktifitas normal
suatu perusahaan selama periode yang mengakibatkan kenaikan ekuitas, yang
18
tidak berasal dari kontribusi penanaman modal. Pendapatan hanya terdiri dari arus
masuk bruto manfaat ekonomi yang diterima oleh perusahaan untuk dirinya
sendiri. Jumlah yang ditagih untuk dan atau atas nama pihak ketiga bukan
merupakan pendapatan karena tidak menghasilkan manfaat ekonomi bagi
perusahaan dan tidak mengakibatkan kenaikan ekuitas.
Menurut Skousen dan Stice (Akbar, 2009), pengertian pendapatan adalah
merupakan arus masuk atau peningkatan aktiva lainnya sebuah entitas atau
pembentukan utang (atau sebuah kombinasi dari keduanya) dari pengantaran
barang atau penghasilan barang, memberikan pelayanan atau melakukan aktifitas
lain yang membentuk operasi pokok atau betuk entitas yang terus berlangsung.
Dapat disimpulkan bahwa pendapatan adalah peningkatan asset atau pengurangan
liabilities karena aktivitas bisnis perusahaan yang menyebabkan terjadinya
perubahan ekuitas.
Menurut Munandar (2006), pengertian pendapatan adalah suatu
pertambahan asset yang mengakibatkan bertambahnya owners equity, tetapi bukan
karena pertambahan modal baru dari pemiliknya dan bukan pula merupakan
pertambahan asset yang disebabkan karena bertambahnya liabilities. Pendapatan
sangat berpengaruh bagi kelangsungan hidup perusahaan, semakin besar
pendapatan yang diperoleh maka semakin besar kemapuan perusahaan untuk
membiayai segala pengeluaran dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh
perusahaan.
19
2.1.5 Konsep Pendapatan
Dalam penelitian ini, pendapatan yang digunakan adalah pendapatan
rumah tangga. Menurut Dewi (2006) menyatakan bahwa pendapatan merupakan
balas jasa yang diterima atas keikutsertaan seseorang dalam proses produksi
barang dan jasa, pendapatan ini dikenal dengan nama pendapatan dari kerja
(Labour Income). Selain pendapatan dari kerja, pekerja sering kali mendapatkan
pendapatan lain yang bukan merupakan balas jasa dari kerja, pendapatan bukan
dari kerja ini disebut Nonlabour income. Pemanfaatan pekerja dapat dilihat dari
pendapatan yang diterimna seseorang. Apabila seseorang mempunyai ketrampilan
tertentu, misalnya dipeeroleh dari pendidikan atau latihan dan bekerja di suatu
lapangan usaha dan dalam lingkungan usaha tertentu, maka diharapkan akan
diperoleh pendapatan sebesar tertentu yang diperoleh dari pekerjaan tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa pendapatan sesorang
tergantung pada ketrampilan di bidang tertentu yang dapat diperoleh dari
pendidikan, latihan ketrampilan, dan pengalaman bekerja pada bidang tertentu.
Untuk menghitung besar kecilnya pendapatan dapat dilakukan dengan tiga
pendekatan yaitu (Sukirno,2004:37) :
1) Pendekatan produksi (Production Approach), yaitu dengan menghitung
semua nilai produksi barang dan jasa akhir yang dapat dihasilkan dalam
periode tertentu.
2) Pendekatan pendapatan (Income Approach), yaitu dengan menghitung
nilai keseluruhan balas jasa yang dapat di terima oleh pemilik faktor
produksi dalam suatu periode tertentu.
20
3) Pendekatan pengeluaran (Expenditure Approach), yaitu pendapatan yang
diperoleh dengan menghitung pengeluaran konsumsi masyarakat.
Pada penelitian ini untuk menghitung besar kecilnya pendapatan pedagang
warung tradisional yaitu menggunakan pendekatan pendapatan, dimana
menghitung nilai keseluruhan balas jasa yang dapat di terima oleh pemilik
faktor produksi dalam suatu periode tertentu.
2.1.6 Jarak
Alfred Marshall (dalam Iskandar, 2007) menerangkan bahwa jarak adalah
angka yang menunjukkan seberapa jauh suatu benda berubah posisi melalui suatu
lintasan tertentu. Jarak antar pedagang dapat menimbulkan persaingan antar
pedagang. Hal ini akan menyebabkan peluang pendapatan pedagang akan
terpengaruh. Menurut Lloyd dan Dicken (1990), lokasi apabila dilihat dari sisi
perbedaan harga, maka akan dipengaruhi oleh faktor jarak. Apabila antara satu
pedagang dengan pedagang lainnya terdapat jarak dimana untuk mencapainya
dibutuhkan waktu dan biaya, maka salah satu pedagang dapat menaikkan sedikit
harga tanpa kehilangan seluruh pembelinya. Pelanggan yang terjauh darinya akan
beralih ke pedagang lain yang tidak menaikkan harga, tetapi pelanggan yang dekat
dengannya tidak akan beralih karena waktu dan biaya untuk menempuh jarak
tersebut masih lebih besar daripada perbedaan harga jual diantara pedagang.
Pada penelitian ini, minimarket yang merupakan pesaing warung
tradisional memberikan dampak negatif pada tingkat perubahan keuntungan usaha
karena jarak yang dekat diantara keduanya. Kedekatan jarak diantara keduanya
diukur dengan satuan meter. Dimana semakin dekatnya jarak antara warung
21
tradisional dengan minimarket membuat tingkat persaingan diantara keduanya
semakin besar, sehingga terjadi perubahan keuntungan usaha warung tradisional.
2.1.7 Jangkauan Pelayanan
Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang
(spatial order) kegiatan ekonomi, atau dapat juga diartikan sebagai ilmu tentang
alokasi secara geografis dari sumber daya yang langka, serta hubungannya atau
pengaruhnya terhadap lokasi berbagai macam usaha atau kegiatan lain (activity).
Secara umum, pemilihan lokasi atau jangkauan pelayanan oleh suatu unit aktivitas
ditentukan oleh beberapa faktor seperti bahan baku lokal (local input), permintaan
lokal (local demand), bahan baku yang dapat dipindahkan (transferred input), dan
permintaan luar (outside demand) (Hoover dan Giarratani, 2007).
Von Thunen (dalam Fajar, 2010) mengidentifikasi tentang perbedaan
lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas dasar perbedaan sewa lahan
(pertimbangan ekonomi). Menurut Von Thunen tingkat sewa lahan adalah paling
mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar. Von
Thunen menentukan hubungan sewa lahan dengan jarak ke pasar dengan
menggunakan kurva permintaan. Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga
jual dengan biaya produksi, masing-masing jenis produksi memiliki kemampuan
yang berbeda untuk membayar sewa lahan. Makin tinggi kemampuannya untuk
membayar sewa lahan, makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke
pusat pasar. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan lahan berupa diagram cincin.
Perkembangan dari teori Von Thunen adalah selain harga lahan tinggi di pusat
kota dan akan makin menurun apabila makin jauh dari pusat kota.
22
Weber (dalam Pigawati, 2007) menganalisis tentang lokasi kegiatan
industri. Menurut teori Weber pemilihan lokasi industri didasarkan atas prinsip
minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap industri tergantung
pada total biaya transportasi dan tenaga kerja di mana penjumlahan keduanya
harus minimum. Tempat di mana total biaya transportasi dan tenaga kerja yang
minimum adalah identik dengan tingkat keuntungan yang maksimum. Menurut
Weber ada tiga faktor yang mempengaruhi lokasi industri, yaitu biaya
transportasi, upah tenaga kerja, dan kekuatan aglomerasi atau deaglomerasi.
Dalam menjelaskan keterkaitan biaya transportasi dan bahan baku Weber
menggunakan konsep segitiga lokasi atau locational triangle untuk memperoleh
lokasi optimum. Untuk menunjukkan apakah lokasi optimum tersebut lebih dekat
ke lokasi bahan baku atau pasar, Weber merumuskan indeks material (IM),
sedangkan biaya tenaga kerja sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
lokasi industri dijelaskan Weber dengan menggunakan sebuah kurva tertutup
(closed curve) berupa lingkaran yang dinamakan isodapan (isodapane).
Teori Lokasi dari August Losch (dalam Pigawati, 2007) melihat persoalan
dari sisi permintaan (pasar), berbeda dengan Weber yang melihat persoalan dari
sisi penawaran (produksi). Losch mengatakan bahwa lokasi penjual sangat
berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari
tempat penjual, konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk
mendatangi tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar
lokasi produksi berada di pasar atau di dekat pasar. Hal ini mempunyai tujuan
untuk menemukan pola lokasi industri sehingga dapat ditemukan keseimbangan
23
spasial antar lokasi. Menurut pendapat Losch, dalam lokasi industri yang tampak
tidak teratur dapat ditemukan pola keberaturan.
Teori Losch berasumsi bahwa suatu daerah yang homogen yang
mempunyai distribusi sumber bahan mentah dan sarana angkutan yang merata
serta selera konsumen yang sama. Sehingga pada akhirnya luas daerah pasar
masing-masing petani penjual akan menyempit dan dalam keseimbangannya akan
terbentuk segi enam beraturan. Bentuk ini menggambarkan daerah penjualan
terbesar yang masih dapat dikuasai setiap penjual dan berjarak minimum dari
tempat lokasi kegiatan produksi yang bersangkutan.
Keseimbangan yang dicapai dalam teori ini berasumsi bahwa harga hanya
dipengaruhi oleh permintaan dan penawaran, oleh karena apabila penjual
menaikkan harga jualnya maka keseimbangannya akan terganggu. Ini akan
berakibat bukan hanya pada pasar yang semakin menyempit karena konsumen
tidak mampu membeli tetapi sebagian pasar akan hilang dan direbut oleh penjual
yang berdekatan. Salah satu cara untuk memperluas jangkauan pasar dapat
dilakukan dengan menjual barang yang berbeda dan lebih bervariasi dari yang
sudah ditawarkan.
Variasi konsumsi akan terjadi apabila dalam suatu wilayah tersebut
terdapat variasi distribusi barang dan jasa. Variasi konsumsi biasanya terjadi pada
masyarakat yang tinggal di daerah sekitar pasar atau di daerah yang terdapat
banyak fasilitas yang menyediakan kebutuhan masyarakat. Daerah – daerah
seperti ini akan banyak dikunjungi oleh masyarakat, oleh karena itu kegiatan
produksi akan lebih baik jika berdekatan dengan pasar atau daerah daerah
24
tersebut. Karena tata letak kegiatan produksi merupakan satu keputusan penting
yang menentukan efisiensi sebuah operasi dalam jangka panjang. Tata letak
memiliki banyak dampak strategis karena tata letak menentukan daya saing
industri dalam kapasitas, proses, fleksibilitas, dan biaya, serta kualitas lingkungan
kerja, kontak pelanggan, dan citra industri, diferensiasi, biaya rendah, atau respon
cepat. Losch mengatakan bahwa lokasi penjual berpengaruh terhadap jumlah
konsumen yang dapat dijaringnya. Makin jauh dari pasar, konsumen enggan
membeli karena biaya transportasi (semakin jauh tempat penjualan) semakin
mahal. produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan penjualan terbesar.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa lokasi usaha
warung tradisional maupun minimarket berpengaruh terhadap jumlah konsumen
yang berbelanja. Kedekatan lokasi sebuah minimarket maupun warung tradisional
dengan kawasan pemukiman maupun pasar, berbanding terbalik dengan jumlah
konsumen yang akan terjaring.
2.1.8 Diversifikasi Produk
Menurut Fandy Tjiptono (1997), diversifikasi dalam bidang pemasaran
adalah upaya mencari dan mengembangkan produk atau pasar yang baru, atau
keduanya, dalam rangka mengejar pertumbuhan, peningkatan penjualan,
profitabilitas, dan fleksibilitas. Diversifikasi dapat dilakukan melalui tiga cara,
yaitu :
1) Diversifikasi konsentris, dimana produk-produk baru yang diperkenalkan
memiliki kaitan atau hubungan dalam pemasaran atau teknologi dengan
produk yang sudah ada.
25
2) Diversifikasi horizontal, dimana perusahaan menambah produk-produk baru
yang tidak berkaitan dengan produk yang telah ada, tetapi dijual kepada
pelanggan yang sama.
3) Diversifikasi konglomerat, dimana produk-produk yang dihasilkan sama
sekali baru, tidak memiliki hubungan dalam hal pemasaran maupun teknologi
dengan produk yang sudah ada dan dijual kepada pelanggan yang berbeda.
Secara garis besar, strategi diversifikasi dikembangkan dengan berbagai
tujuan diantaranya :
1) Meningkatkan pertumbuhan bila pasar/produk yang ada telah mencapai tahap
kedewasaan dalam Product Life Cycle (PLC).
2) Menjaga stabilitas dengan jalan menyebarkan resiko fluktuasi laba.
3) Meningkatkan kredibilitas di pasar modal.
Untuk mengurangi resiko yang melekat dalam strategi diversifikasi, unit
bisnis seharusnya memperhatikan hal-hal berikut :
1) Mendiversifikasi kegiatan-kegiatannya hanya bila peluang produk/pasar yang
ada terbatas.
2) Memiliki pemahaman yang baik dalam bidang-bidang yang didiversifikasi.
3) Memberikan dukungan yang memadai pada produk yang diperkenalkan.
4) Memprediksi pengaruh diversifikasi terhadap lini produk yang ada.
Dalam menentukan strategi bisnis, perusahaan akan mempertimbangkan
biaya (cost) dam manfaat (benefit) dari strategi yang dipilih. Manfaat yang didapat
harus lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Diversifikasi pun memiliki biaya
dan manfaat tersendiri dalam penerapannya.
26
Pada penelitian ini, diversifikasi yang dimaksud adalah diversifikasi
dengan cara diversifikasi horizontal, dimana perusahaan menambah produk-
produk baru yang tidak berkaitan dengan produk yang telah ada, tetapi dijual
kepada pelanggan yang sama. Diversifikasi produk yang dijual warung tradisional
merupakan salah satu inovasi yang dilakukan untuk meningkatkan besarnya
keuntungan warung tradisional ditengah-tengah pesatnya perkembangan
minimarket. Adanya kebiasaan khusus seseorang dan karakteristik daerah yang
berbeda di suatu tempat dengan tempat lainnya, perlu ada diversifikasi produk
untuk memenuhi konsumen dengan segmen pasar yang berbeda. Diversifikasi
produk dalam penelitian ini seperti adanya produk sayuran, bensin, minyak tanah
elpiji atau sarana upacara yang dijual di warung tradisional.
Mempunyai produk yang berbeda dan memiliki keunggulan yang lebih
dari minimarket, akan meningkatkan omset penjualan dari warung tradisional.
Dimana peningkatan omset tersebut juga dapat meningkatkan tingkat keuntungan
usaha warung tradisional. Dengan kata lain, bila warung tradisional memiliki
diversifikasi produk dengan minimarket, maka keuntungan yang diperoleh warung
lebih besar daripada warung yang tidak memiliki diversifikasi produk.
2.1.9 Hubungan Antar Variabel
1) Hubungan Keberadaan Mini Market dengan Pendapatan Warung
Tradisional
Kuncoro, dalam Bisnis Indonesia (2008), mengemukakan bahwa turunnya
omset penjualan pedagang kecil makin besar dan signifikan, jika keberadaan
minimarket lebih banyak jumlahnya dibandingkan dengan warung tradisional.
Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa keberadaan mini market
27
dengan warung tradisional, kedekatan lokasi antara keduanya berpengaruh positif
terhadap pendapatan pedagang warung tradisional. Apalagi dengan kondisi yang
sekarang ini, dimana pertumbuhan minimarket sangat pesat sampai memasuki
wilayah pemukiman. Bila lokasi minimarket lebih jauh dari warung, maka
pendapatan pedagang yang diperoleh lebih besar daripada warung yang lokasinya
lebih dekat dari minimarket yang disebabkan karena adanya persaingan usaha
yang lebih ketat antara keduanya.
2) Hubungan Daya Saing dengan Pendapatan Warung Tradisional
Kemampuan daya saing pasar dalam penelitian ini termasuk dalam
variabel independen yang mempengaruhi pendapatan pedagang warung
tradisional. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Mangung Jaya (2011),
disebutkan bahwa pengaruh kemampuan daya saing bersifat positif terhadap
pendapatan pedagang. Semakin meningkat persaingan pasar, maka pendapatan
pedagang pendapatan pedagang akan semakin tinggi maka kesejahteraan
pedagang akan semakin terpelihara dan dapat memenuhi kebutuhan keluarga
pedagang tersebut.
3) Hubungan Lokasi Usaha Strategis dengan Pendapatan Warung
Tradisional
Teori Lokasi atau jangkauan pelayanan dari August Losch (dalam
Pigawati, 2007) mengatakan bahwa lokasi penjual sangat berpengaruh terhadap
jumlah konsumen yang dapat digarapnya. Makin jauh dari tempat berjualan,
konsumen makin enggan membeli karena biaya transportasi untuk mendatangi
tempat penjual semakin mahal. Losch cenderung menyarankan agar lokasi
28
produksi berada di pasar atau di dekat pasar. Di samping itu, tata letak kegiatan
produksi merupakan satu keputusan penting yang menentukan efisiensi sebuah
operasi dalam jangka panjang. Tata letak memiliki banyak dampak strategis
karena tata letak menentukan daya saing industri dalam kapasitas, proses,
fleksibilitas, dan biaya, serta kualitas lingkungan kerja, kontak pelanggan, dan
citra industri, diferensiasi, biaya rendah, atau respon cepat.
Losch mengatakan bahwa lokasi penjual berpengaruh terhadap jumlah
konsumen yang dapat dijaringnya. Makin jauh dari pasar ataupun pemukiman,
konsumen enggan membeli karena biaya transportasi (semakin jauh tempat
penjualan) semakin mahal. produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan
penjualan terbesar. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa lokasi
usaha warung tradisional maupun minimarket berpengaruh terhadap jumlah
konsumen yang berbelanja. Keberadaan lokasi sebuah warung tradisional maupun
minimarket dalam kawasan pemukiman maupun pasar, berpengaruh positif
dengan jumlah konsumen yang akan terjaring dan tentu saja berpengaruh terhadap
keuntungan usaha.
4) Hubungan Diversifikasi Produk dengan Keuntungan Warung
Tradisional
Handoko (dalam Apriantini, 2011) berpendapat bahwa penjualan akan
turun bila perusahaan tidak menjual produk sebanyak yang dijual pesaingnya,
sehingga diversifikasi produk para pedagang dapat mempengaruhi banyak
sedikitnya transaksi penjualan. Diversifikasi produk yang dilakukan warung
tradisional merupakan salah satu inovasi yang dapat dilakukan untuk
29
meningkatkan besarnya keuntungan warung tradisional ditengah-tengah pesatnya
perkembangan minimarket. Adanya kebiasaan khusus seseorang dan karakteristik
daerah yang berbeda di suatu tempat dengan tempat lainnya, perlu ada
diversifikasi produk untuk memenuhi kebutuhan konsumen dengan segmen pasar
yang berbeda. Mempunyai produk yang berbeda dengan minimarket dan memiliki
keunggulan yang lebih, akan meningkatkan omset penjualan dari warung
tradisional. Dimana peningkatan omset tersebut juga dapat meningkatkan tingkat
keuntungan usaha warung tradisional. Dengan kata lain, bila warung tradisional
memiliki diversifikasi produk untuk mengantisipasi persaingan dengan
minimarket, maka keuntungan yang diperoleh warung lebih besar daripada
warung yang tidak memiliki diversifikasi produk.
2.2 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai analisis pengaruh keberadaan minimarket terhadap
perubahan keuntungan usaha warung tradisional di Kabupaten Badung belum
pernah dilakukan, namun penelitian terdahulu yang dapat dijadikan sebagai dasar
atau referensi dan berhubungan dengan penelitian ini adalah penelitian yang
dilakukan oleh Deputi Bidang Pengkajian Sumberdaya UKMK, Kementrian
Koperasi dan UKM dengan PT Solusi Dinamika Manajemen pada tahun 2005.
Judul penelitiannya yaitu “Penelitian Dampak Keberadaan Pasar Modern
(Supermarket dan Hypermarket) Terhadap Usaha Ritel Koperasi/Waserda dan
Pasar Tradisional‘. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi posisi pedagang
warung tradisional dan pasar modern (supermarket dan hypermarket) dari aspek
kelembagaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, dari
30
penelitian tersebut dapat diketahui dampak kehadiran pasar modern (supermarket
dan hypermarket) terhadap usaha ritel yang dikelola oleh koperasi/waserda, dan
pasar tradisional. Penelitian ini juga menyusun suatu konsep pemberdayaan usaha
perdagangan ritel yang dapat diterapkan koperasi/waserda, dan pasar dan warung
tradisional. Penelitian dilakukan di 10 wilayah provinsi di Indonesia, yaitu
Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi, Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah,
Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Objek kajiannya terdiri
dari pasar tradisional, koperasi/waserda, UKM sektor ritel, pasar modern, dan
instansi terkait. Metode penelitian yang digunakan adalah metode analisis
diskriptif dan metode statistika dengan analisis multivarian Mann Whitney U dan
t-test serta analisis regresi logistik. Hasil penelitian ini diketahui bahwa dampak
pasar modern terhadap pasar tradisional adalah dalam hal penurunan omset
penjualan. Dengan menggunakan uji beda pada taraf signifikansi α=0,05, hasil
analisis menunjukkan perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah
hadirnya pasar modern dimana omset setelah ada pasar modern lebih rendah
dibandingkan sebelum hadirnya pasar modern. Sedangkan variabel lainnya, yaitu
jumlah tenaga kerja dan harga jual barang tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan.
Penelitian yang dilakukan oleh Marthin Rapael Hutabarat (2009) yang
berjudul “Dampak Kehadiran Pasar Modern Brastagi Supermarket Terhadap Pasar
Tradisional Sei Sikambing di Kota Medan” bertujuan untuk mengetahui
perkembangan pasar modern dan pasar tradisional di kota Medan serta untuk
mengetahui jumlah omset pedagang, perputaran barang dagangan, jumlah
31
pedagang, jumlah jam buka, margin laba pedagang tradisional di kota Medan
sebelum dan sesudah berdirinya pasar modern. Metode penentuan sampelnya
adalah simple random sampling dengan jumlah sampel penelitian yaitu 15 orang
pedagang buah-buahan dan 15 orang pedagang sayuran.
Penelitian ini menggunakan metode analisis uji-t berpasangan (paired
test). Hasil dari penelitian ini diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan yang
nyata antara jumlah jam buka, rata-rata sirkulasi barang, rata-rata margin laba
pedagang buah-buahan, dan rata-rata margin laba pedagang sayur-sayuran di
pasar tradisional Sei Sikambing sebelum dan setelah berdirinya pasar modern
Brastagi Supermarket. Selain itu, terdapat perbedaan yang nyata antara
pendapatan bersih pedagang buah-buahan dan pedagang sayur-sayuran di pasar
tradisional Sei Sikambing antara sebelum dan setelah berdirinya pasar modern
Brastagi Supermarket.
Selain penelitian di atas, ada juga penelitian yang dilakukan oleh
Daniel,dkk (2007) dengan judul “Dampak Supermarket Terhadap Pasar dan
Pedagang Ritel Tradisional di Daerah Perkotaan di Indonesia”. Penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis dampak supermarket pada pasar tradisional dan
pengusaha ritel di pusat-pusat perkotaan di Indonesia. Fokus penelitian ini adalah
wilayah perkotaan dengan tingkat kepadatan supermarket tertinggi Jabodetabek
dan Bandung. Jabodetabek meliputi Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan
Bekasi. Terdapat 98 pasar tradisional di Jabodetabek dan 20 pasar tradisional di
Bandung, dan kira-kira terdapat 188 usaha ritel modern/mal di Jabodetabek dan
32
80 di Bandung. Hanya pasar yang telah beroperasi sejak tiga tahun lalu yang
dimasukkan dalam kerangka sampel.
Penelitian ini menggabungkan metode kuantitatif dan kualitatif. Evaluasi dampak
kuantitatif menggunakan metode difference-in-difference dan model ekonometrik.
Evaluasi dampak kualitatif dilakukan dalam bentuk wawancara mendalam dengan
informan kunci. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini dengan menggunakan
metode tersebut adalah melalui metode kuantitatif secara statistik tidak menemukan
dampak signifikan pada pendapatan dan keuntungan, tetapi terdapat dampak signifikan
supermarket pada jumlah pegawai pasar tradisional. Temuan-temuan kualitatif
menunjukkan bahwa kelesuan yang terjadi di pasar tradisional kebanyakan bersumber
dari masalah internal pasar tradisional yang memberikan keuntungan pada supermarket.