bab ii kajian pustaka 2.1 kajian teori 2.1.1 pengertian...
TRANSCRIPT
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teori
2.1.1 Pengertian Belajar
Menurut Komalasari (2010: 1) Belajar merupakan perubahan seseorang
yang asalnya tidak tahu menjadi tahu merupakan hasil proses belajar.
Menurut Gagne dalam Komalasari (2010: 2) mendefinisikan belajar
sebagai suatu proses perubahan tingkah laku yang meliputi perubahan
kecenderungan manusia seperti sikap, minat, atau nilai dan perubahan
kemampuannya yakni peningkatan kemampuan untuk melakukan berbagai jenis
performance (kinerja).
Menurut Sunaryo dalam Komalasari (2010: 2) belajar merupakan suatu
kegiatan dimana seseorang membuat atau menghasilkan suatu perubahan tingkah
laku yang ada pada dirinya dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan.
Mahfudz Shalahuddin dalam Komalasari (2010: 2) belajar adalah suatu
proses perubahan tingkah laku melalui pendidikan atau lebih khusus melalui
prosedur latihan. Perubahan itu sendiri berangsur-angsur dimulai dari sesuatu
yang tidak dikenalnya, untuk kemudian dikuasai atau dimilikinya dan
dipergunakannya sampai pada suatu saat dievaluasi oleh yang menjalani proses
belajar itu. Sudah barang tentu tingkah laku tersebut adalah tingkah laku yang
positif, artinya untuk mencari kesempurnaan hidup.
Dikaitkan dengan pendapat yang sudah ada maka dapat disimpulkan
bahwa perubahan yang terjadi melalui belajar tidak hanya mencakup
pengetahuan, tetapi juga keterampilan untuk hidup bermasyarakat meliputi
keterampilan berpikir (memecahkan masalah) dan keterampilan sosial, yang lebih
penting adalah nilai dan sikap. Jadi jika disimpulkan, belajar adalah suatu proses
perubahan tingkah laku dalam pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
diperoleh dalam jangka waktu yang lama dan dengan syarat bahwa perubahan
yang terjadi tidak disebabkan oleh adanya kematangan ataupun perubahan
7
sementara karena suatu hal. Prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam belajar
meliputi:
1. Prinsip kesiapan
Keberhasilan belajar tergantung dengan kesiapan untuk mengikuti pelajaran.
Bagaimana konsentrasi pikiran atau bahkan kesiapan fisik untuk mengikuti
pelajaran.
2. Prinsip Asosiasi
Keberhasilan dalam belajar tergantung pada kemampuan menghubungkan apa
yang sudah dipelajari dengan pengetahuan yang dimiliki.
3. Prinsip Latihan
Untuk mempelajari sesuatu perlu adanya latihan yang berulang-ulang baik
pengetahuan mapun keterampilan, agar hasilnya baik karena sering di ulang-
ulang belajarnya.
4. Prinsip Efek (Akibat)
Emosional juga berpengaruh terhadap hasil belajar sesuai dengan emosi yang
terjadi seperti perasaan senang atau tidak senang selama belajar.
Dari pengertian belajar tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa belajar
adalah sebuah proses dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu.
Perubahan positif dari apa yang sudah dipelajari dengan jangka waktu yang tidak
singkat. Selama proses belajar juga harus memperhatikan prinsip-prinsip yang ada
karena prinsip-prinsip dalam belajar juga berpengaruh pada hasil belajar.
2.1.2 Hakikat Pembelajaran
Komalasari (2010: 3) menyatakan pembelajaran dapat didefinisikan
sebagai suatu sistem atau proses membelajarkan subjek didik/pembelajar yang
direncanakan atau didesain, dilaksanakan, dan dievaluasi secara sistematis agar
subjek didik/pembelajar dapat mencapai tujuan-tujuan pembelajaran secara efektif
dan efisien.
Pembelajaran dapat dipandang dari dua sudut, pertama pembelajaran
dipandang sebagai suatu sistem, pembelajaran terdiri dari sejumlah komponen
8
yang terorganisasi antara lain tujuan pembelajaran, materi pembelajaran, strategi,
dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat peraga, pengorganisasian
kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran (remedial dan
pengayaan).
Kedua, pembelajaran dipandang sebagai suatu proses, maka pembelajaran
merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka membuat siswa
belajar. Proses tersebut meliputi:
a. Persiapan, dimulai dari perencanaan program pengajaran tahunan,
semester, dan penyusunan persiapan mengajar (lesson plan) berikut
penyiapan perangkat kelengkapannya, berupa alat peraga dan alat-alat
evaluasi. Persiapan pembelajaran juga mencakup kegiatan guru untuk
membaca buku atau media cetak jumlah dan keberfungsian alat peraga
yang akan digunakan.
b. Melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan
pembelajaran yang telah dibuatnya. Pada tahap pelaksanaan pembelajaran
ini, struktur dan situasi pembelajaran yang diwujudkan guru akan banyak
dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan metode-metode
pembelajaran yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi
kerja dan komitmen guru, persepsi, dan sikapnya terhadap siswa.
c. Menindaklanjuti pembelajaran yang telah dikelolanya. Kegiatan pasca
pembelajaran ini dapat berbentuk enrichment (pengayaan) dapat pula
berupa pemberian layanan remedial teachingbagi siswa yang berkesulitan
belajar.
Hakikat pembelajaran merupakan proses pembelajaran yang dilakukan
oleh guru dari awal sampai akhir proses pembelajaran. Berisi tentang komponen-
komponen yang digunakan guru pada saat pembelajaran. Persiapan, pelaksanaan
dan tindak lanjut merupakan komponen-komponen rencana pembelajaran yang
harus dipersiapkan oleh guru
9
2.1.3 Keterkaitan Belajar dengan Pembelajaran
Komalasari (2010: 4) mengungkapkan belajar dan pembelajaran
merupakan dua kegiatan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Keterkaitan
belajar dan pembelajaran dapat digambarkan dalam sebuah sistem, proses belajar
dan pembelajaran memerlukan masukan dasar (raw input) yang merupakan bahan
pengalaman belajar dalam proses belajar mengajar (learning teaching process)
dengan harapan berubah menjadi keluaran (output) dengan kompetensi tertentu.
Selain itu, proses belajar dalam pembelajaran dipengaruhi pula oleh faktor
lingkungan yang menjadi masukan lingkungan (environment input) dan faktor
instrumental (instrumental input) yang merupakan faktor yang secara sengaja
dirancang untuk menunjang proses belajar mengajar dan keluaran yang ingin
dihasilkan. Secara skematik uraian diatas dapat digambarkan sebagai berikut:
Diagram 2.1 Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pembelajaran
Faktor-faktor pendukung proses belajar dan pembelajaran di atas tidak
dapat dipisahkan sehingga akan menghasilkan output yang diinginkan. Jika
diuraikan lebih lanjut maka unsur environment input (masukan dari lingkungan
dapat berupa alam dan sosial budaya, sedangkan instrumental berupa kurikulum,
program, sumber daya guru dan fasilitas pendidikan. Raw input merupakan
kondisi siswa, seperti unsur fisiologis dan psikologis siswa. Unsur fisiologis siswa
berupa kondisi fisiologis secara umum serta kondisi panca indera. Sedangkan
unsur psikologi berupa minat, kecerdasan, bakat motivasi dan kemampuan
kognitif. Secara skematik uraian di atas digambarkan sebagai berikut:
ENVIROMENTAL
INPUT
RAW
INPUT
LEARNING
TEACHING
PROCESS
OUTPUT
INSTRUMENTAL
INPUT
10
Diagram 2.2 Faktor-faktor Belajar Siswa
Dari uraian keterkaitan belajar dengan pembelajaran dapat ditarik
kesimpulan bahwa belajar dan pembelajaran adalah kegiatan yang tidak dapat
dipisahkan karena saling mempengaruhi dan berjalan beriringan. Belajar dan
pembelajaran dipengaruhi oleh beberapah hal yang menunjang proses belajar dan
pembelajaran.
2.1.4 Hasil Belajar
Hasil belajar menurut Suprijono, (2011: 5) adalah pola-pola perbuatan,
nilai-nilai, pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan.
Menurut Bloom dalam Suprijono, (2011: 6) hasil belajar mencakup
kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik. Yang perlu diingat dalam hasil
belajar adalah perubahan perilaku secara keseluruhan bukan hanya salah satu
FAKTOR
BELAJAR
SISWA
MINAT
KECERDASAN
MINAT
MOTIVASI
FISIOLOGIS
FISIOLOGIS
UMUM
PANCA
INDERA
PSIKOLOGI
DALAM
LUAR
KURIKULUM
PROGRAM
SARAN
ALAM
SOSIAL
BUDAYA
INSTRUMEN
LINGKUNGAN
11
aspek potensi kemanusiaan saja. Berkenaan dengan hasil belajar kognitif
merupakan hasil belajar intelektual yang terdiri dari 6 aspek yaitu pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.
Menurut Dimyati dan Mudjiono, dalam Munawar, (2009) hasil belajar
merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi
guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang
lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan
mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif dan
psikomotorik. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat
terselesaikannya bahan pelajaran.
Berdasarkan Hamalik dalam Munawar (2009) hasil belajar adalah bila
seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut
misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Menurut Syaiful dan Aswan dalam Umar (2009) hasil belajar adalah hasil
penilaian terhadap kemampuan yang dimiliki siswa yang dinyatakan dalam
bentuk angka yang diperoleh siswa dari serangkaian tes yang dilaksanakan setelah
siswa mengikuti proses pembelajaran.
Menurut Nana, dalam Umar (2009) hasil belajar adalah kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya. Menurut Dimyati dan
Mudjiono, (2006: 3) hasil belajar adalah hasil yang dicapai dalam bentuk angka-
angka atau skor setelah diberi tes hasil belajar pada setiap akhir pelajaran.
Dari pengertian hasil belajar dapat diambil kesimpulan bahwa hasil belajar
merupakan proses perubahan pengetahuan. Hasil belajar biasanya diperoleh siswa
setelah mengikuti poses belajar mengajar. Dimulai dari tidak tahu menjadi tahu.
Hasil belajar juga bisa diperoleh ketika tes diberikan dan kemudian diketahui
angka-angka atau skor yang merupakan hasil dari belajar.
2.1.5 Pembelajaran Matematika SD
Menurut Ruseffendi (1991) dalam Heruman (2010: 1) matematika adalah
bahasa simbol; ilmu deduktif; ilmu tentang pola keteraturan, dan struktur yang
12
terorganisasi, mulai dari unsur yang tidak didefinisikan, ke unsur yang
didefinisikan, ke aksioma atau postulat, dan akhirnya ke dalil.
Hakikat matematika menurut Soedjadi (2000) dalam Model Pembelajaran
Matematika, Heruman (2010: 1) yaitu memiliki objek tujuan yang abstrak,
bertumpu pada kesempatan, dan pola pikir yang deduktif. Siswa SD berkisar
berumur 6-7 tahun sampai 12-13 tahun. Menurut Piaget”mereka berada pada
operasional konkret”. Dari perkembangan kognitif pemikiran mereka masih
terikat dengan objek yang konkret yang dapat ditangkap oleh panca indera.
Dalam mengajarkan matematika harus bisa memahami dan mengetahui
bahwa kemampuan setiap siswa itu berbeda, dan semua siswa belum tentu senang
dengan pembelajaran Matematika. Memang tujuan akhir dalam pembelajaran
Matematika di SD agar siswa terampil dalam menggunakan konsep matematika
dalam kehidupan sehari-hari. (Heruman, 2010 : 2)
Bruner (Ruseffendi, 1991) mengemukakan dalam pembelajaran
matematika siswa harus menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang
diperlakukannya. Dengan hal tersebut penyajian pembelajaran matematika tidak
disajikan dalam bentuk akhir dan tidak diberitahu penyelesaiannya. (Heruman,
2010: 4) pada pembelajaran matematika harus terkait dengan pengalaman belajar
siswa sebelumnya.
Sesuai dengan Standar Isi Matematika merupakan ilmu universal yang
mendasari perkembangan teknologi modern, mempunyai peran penting dalam
berbagai disiplin dan memeajukan daya pikir manusia. Perkembangan pesat di
bidang teknologi informasi dan komunikasi dewasa ini dilandasi oleh
perkembangan matematika di bidang teori bilangan, aljabar, analisis, teori peluang
dan matematika diskrit. Untuk menguasai dan mencipta teknologi di masa depan
diperlukan penguasaan matematika yang kuat sejak dini.
Mata pelajaran matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik
mulai dari sekolah dasar untuk membekali peserta didik dengan kemampuan
berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan
bekerjasama. Kompetensi tersebut diperlukan agar peseta didik dapat memiliki
13
kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk
bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Standar kompetensi dan kompetensi dasar metematika dalam dokumen ini
disusun sebagai landasan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan
tersebut diatas. Selain itu dimaksudkan pula untuk mengembangkan kemampuan
menggunakan matematika dalam pemecahan masalah dan mengkomunikasikan
ide atau gagasan dengan menggunakan simbol, tabel, diagram, dan media lain.
Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran
matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, dan masalah
dengan berbagai cara penyelesaian. Untuk meningkatkan kemampuan
memecahkan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah,
membuat model matematika, menyelesaikan masalah, dan menafsirkan solusinya.
Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai
dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem).
Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing
untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan
pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi
pembelajaran seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya.
Mata pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki
kemampuan sebagai berikut.
1) Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep
dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat,
efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah.
2) Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi
matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
3) Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah,
merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan
solusi yang diperoleh.
4) Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau
media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
14
5) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan,
yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam
pemecahan masalah.
Mata pelajaran Matematika pada satuan pendidikan SD/MI meliputi
aspek-aspek sebagai berikut.
1. Bilangan
2. Geometri dan pengukuran
3. Pengolahan data
Dalam pembelajaran matematika di SD dapat ditarik kesimpulan bahwa
matematika merupakan ilmu yan deduktif dimana ilmu yang bersifat umum ke
dalam ilmu yang bersifat khusus. Dalam pembelajaran siswa juga harus
menemukan sendiri pengetahuan sesuai dengan pengalaman seari-hari siswa dan
menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari pula. Guru juga harus mengetahui
sejauh mana kemampuan siswa dalam belajar karena setiap siswa mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda. Siswa SD dalam belajar masih terikat dengan
benda yang konkret yang bisa langsung dilihat oleh panca indra maka dengan itu
guru harus pintar-pintarnya menyusun pembelajaran agar mudah dimengerti oleh
siswa. Karena banyak siswa yang kurang suka dengan matematika. Begitu pula
dengan pokok bahasan bangun datar dan bangun ruang dalam matematika. Siswa
juga harus mengaitkan pembelajaran dengan pengetahuan yang telah dimiliki oleh
siswa.
2.1.6 Model Pembelajaran
Di dalam pembelajaran juga terdapat model pembelajaran. Mills
(Suprijono, 2011: 45) mengemukakan bahwa model pembelajaran adalah bentuk
representasi akurat sebagai proses aktual yang memungkinkan seseorang atau
sekelompok orang mencoba bertindak berdasarkan model tersebut.
Model pembelajaran (Suprijono, 2012: 46) merupakan landasan dalam
praktik pembelajaran hasil dari penurunan teori psikologi pendidikan dan teori
15
belajar yang dirancang berdasarkan analisis terhadap implementasi kurikulum dan
implikasinya pada tingkat operasional di kelas.
Menurut Arends dalam Suprijono (2011: 46) model pembelajaran mengacu
pada pendekatan yang digunakan, termasuk di dalamnya tujuan-tujuan
pembelajaran, tahap-tahap dalam kegiatan pembelajaran lingkungan pembelajaran
dan pengelolaan kelas.
Berdasarkan pengertian model pembelajaran dapat diambil kesimpulan
bahwa model pembelajaran diracang pada saat pembelajaran itu berlangsung dari
awal sampai akhir pembelajaran. Sebagai kerangka pembelajaran yang
melukiskan prosedur pembelajaran untuk mencapai tujuan belajar.
2.1.7 Model Pembelajaran Kontekstual
Sa’ud (2010: 173) menyatakan model pembelajaran kontekstual meliputi
empat tahapan, yaitu: invitasi, eksplorasi, penjelasan dan solusi, dan pengambilan
tindakan. Tahapan pembelajaran tersebut dapat dilihat pada diagram berikut.
Diagram 2.3Skema Tahapan Pembelajaran Kontekstual
Tahap invitasi, siswa didorong agar mengemukakan pengetahuan awalnya
tentang konsep yang dibahas. Bila perlu guru memancing dengan memberikan
pertanyaan yang problematik tentang fenomena kehidupan sehari-hari melalui
kaitan konsep-konsep yang di bahas dengan pendapat yang dimiliki. Siswa diberi
kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengikutsertakan pemahamannya
tentang konsep tersebut.
Tahap eksplorasi, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan
menemukan konsep melalui pengumpulan, pengorganisasian, penginterpretasikan
INVITASI
EKSPLORASI
PENJELASAN DAN SOLUSI
PENGAMBILAN TINDAKAN
16
data dalam sebuah kegiatan yang telah dirancang guru. Secara berkelompok siswa
melakukan kegiatan dan berdiskusi tentang masalah yang ia bahas. Secara
keseluruhan siswa tentang fenomena kehidupan lingkungan sekelilingnya.
Tahap penjelasan dan solusi, saat siswa memberikan penjelasan-penjelasan
solusi yang didasarkan pada hasil observasinya ditambah dengan penguatan guru,
maka siswa dapat menyampaikan gagasan, membuat model, membuat rangkuman
dan ringkasan.
Tahapan pengambilan tindakan, siswa dapat membuat keputusan,
menggunakan pengetahuan dan keterampilan, berbagai informasi dan gagasan,
mengajukan pertanyaan lanjutan, mengajukan saran baik secara individu maupun
kelompok yang berhubungan dengan pemecahan masalah.
Dari definisi tersebut model pembelajaran kontesktual mempunyai tahap-
tahap yang diterapkan dalam pembelajaran. Dengan tahapan tersebut siswa
dengan mudah mengikuti kegiatan pembelajaran.
2.1.8 Pengertian Kontekstual (CTL)
Trianto, (2011: 103) pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Hanafia dan Suhana (2010: 67) menyatakan Contextual Teaching
Learningmerupakan suatu proses pembelajaran holistik yang bertujuan untuk
membelajarkan peserta didik dalam memahami bahan ajar secara bermakna
(meaningfull) yang dikaitkan dengan konteks kehidupan nyata, baik berkaitan
dengan lingkungan, pribadi, sosial, ekonomi, maupun kultural. Sehingga peserta
didik memperoleh ilmu pengetahuandan keterampilan yang dapat diaplikasikan
dan ditransfer dari satu konteks permasalahan yang satu ke permasalahan lainnya.
Trianto, (2011: 101) menyatakan pengajaran dan pembelajaran kontekstual
atau contextual teaching and learning (CTL)merupakan suatu konsepsiyang
membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan
17
memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya
dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga Negara, dan tenaga
kerja.
Ferdi (2012) dalam pengertian konsep dasar serta asas contextual teaching
and learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan pada
proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi yang
dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan dunia nyata sehingga
mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Sanjaya dalam Sa’ud (2010: 162) pembelajaran kontekstual (Contextual
Teaching Learning and Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang
menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi
kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan mereka.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual
adalah konsep belajar dimana pembelajaran yang menekankan siswa untuk terlibat
penuh dalam pembelajaran dan guru mengaitkan mata pelajaran dengan konten
dunia nyata. Siswa menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkan
dengan situasi dunia nyata dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Komalasari, (2010: 6) yang mengutip dari Blanchard, Berns
dan Erickson mengemukakan bahwa:
Contextual teaching an learning is a conception of teaching
and learning that helps teachers relate subject matter content
to real word situations; and motivates students to make
connections between knowledge and its applications to their
lives as family members, citizens, and workers and engange in
the hard work that learning requires.
18
Komalasari (2010: 6) yang mengutip dari Hull’s and Sounders
menjelaskan bahwa:
In a Contextual Teaching and Learning, student discover
meaningful relationship between abstract ideas and practical
applications in a real world context. Students internalize
concepts through discovery, reinforcement, and
interrelationship. Creates a team, whether in the classroom,
lab, worksite, or on the banks of the incorperate of a river.
CTL encourages educations to design learning environments
that incorporate many form of experience to achieve the
desired outcomes.
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam pembelajaran kontekstual, siswa
menemukan hubungan penuh makna antara ide-ide abstrak dengan penerapan
praktis di dalam konteks dunia nyata. Siswa menginternalisasi konsep melalui
penemuan, penguatan, dan keterhubungan. Pembelajaran kontekstual
menghendaki kerja dalam tim, baik di kelas, laboratorium maupun kelas kerja.
Pembelajaran kontekstual menuntut guru mendesain lingkungan belajar yang
merupakan gabungan beberapa bentuk pengalaman untuk mencapai hasil yang
diinginkan.
Komalasari (2010:6) mengutip dari Jhonson mendefinisikan
bahwa:
“Contextual Teaching and Learning enables student to connect
the content of academic subject with the immediate context of
their daily live to discover meaning”.
Hal ini berarti pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa
menghubungkan isi materi dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk
menemukan makna.
Menurut Wijaya (2012: 21) Pembelajaran dengan menggunakan konteks
tidak harus masalah dunia nyata namun bisa dalam bentuk permainan,
penggunaan alat peraga, atau situasi lain selama hal tersebut bermakna dan bisa
dibayangkan dalam pemikiran siswa.
Dengan demikian kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar
yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan
19
yang dimilikinya dengan penerapanyya dalam kehidupan mereka sebagai anggota
keluarga, warga negara, dan pekerja.
Berdasarkan definisi pembelajaran kontekstual; tersebut dapat juga
disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual merupakan pembelajaran yang
melibatkan siswa secara penuh untuk menemukan materi pelajaran
2.1.9 Keunggulan dan Kelemahan Pembelajaran Kontekstual
Indien (2011) dalam penerapan pembelajaran kontekstual, keunggulan dan
kelemahan pembelajaran kontekstual menyatakan terdapat keunggulan dan
kelemahan pembelajaran kontekstual. Adapun beberapa keunggulan dari
pembelajaran kontekstual adalah:
1) Pembelajaran menjadi lebih bermakna dan riil. Artinya siswa dituntut untuk
dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan
kehidupan nyata. Hal ini sangat penting, sebab dengan kehidupan nyata,
bukan saja bagi siswa materi itu akan berfungsi secara fungsional akan tetapi
materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga
tidak akan mudah dilupakan.
2) Pembelajaran lebih produktif dan mampu menumbuhkan penguatan konsep
kepada siswa karena pembelajaran kontekstual menganut aliran
kontruktivisme, dimana seseorang siswa dituntun untuk menemukan
pengetahuannya sendiri. Melalui landasan filosofis kontruktivisme siswa
diharapkan belajar melalui “mengalami”menghafal.
3) Kontekstual adalah model pembelajaran yang menekankan pada aktivitas
siswa secara penuh, baik fisik maupun mental.
4) Kelas dalam pembelajaran kontekstual bukan sebagai tempat untuk
memperoleh informasi, akan tetapi sebagai tempat untuk menguji hasil
temuan mereka.
5) Materi pelajaran dapat ditemukan sendiri oleh siswa, bukan hasil pemberian
dari guru.
6) Penerapan pembelajaran Kontekstual dapat menciptakan suasana
pembelajaran yang bermakna.
20
Sedangkan kelemahan dari pembelajaran Kontekstual adalah sebagai
berikut:
1) Diperlukan waktu yang cukup lama saat proses pembelajaran Kontekstual
berlangsung.
2) Jika guru tidak dapat mengendalikan kelas maka dapat menciptakan situasi
kelas yang kurang kondusif.
3) Guru lebih intensif dalam membimbing. Karena dalam pembelajaran
Kontekstual, guru tidak lagi berperan sebagai pusat informasi. Tugas guru
adalah mengelola kelas sebagai tim yang bekerja bersama untuk menemukan
pengetahuan dan keterampilan yang baru bagi siswa. Siswa dipandang
sebagai individu yang sedang berkembang. Kemampuan belajar seseorang
akan dipengaruhi oleh tingkat perkembangan dan keluasan pengalaman yang
dimilikinya. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai instruktur
atau”penguasa” yang memaksa kehendak melainkan guru adalah
pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai harapan dengan tahapan
perkembanggannya.
4) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau
menerapkan sendiri ide-ide dan mengajak siswa agar dengan menyadari dan
dengan sadar menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar.
Namun dalam konteks ini tentunya guru memerlukan perhatian dan
bimbingan yang ekstra terhadap siswa agar tujuan pembelajaran sesuai
dengan apa yang diterapkan semula.
Sedangkan solusi yang diterapkan dalam pembelajaran kontekstual adalah
sebagai berikut:
1) Berusaha melakukan pembelajaran sesuai dengan waktu dan matei yang
ditentukan dalam rencana pelaksanaan pembelajaran.
2) Siswa dan guru merencanakan proses belajar, prosedur, tugas dan tujuan
belajar sesuai dengan langkah-langkah pembelajaran kontekstual.
3) Guru menekankan pada siswa untuk melaksanakan rencana yang terdapat
dalam langkah-langkah pembelajaran dengan berbagai kegiatan dan guru
21
mengikuti perkembangan kelompok serta menawarkan bantuan jika
diperlukan.
4) Siswa diminta oleh guru untuk menganalisis informasi yang ditemukan dan
merencanakan informasi itu dirangkum untuk dipresentasikan kepada teman-
teman sekelasnya.
5) Beberapa atau semua kelompok dikelas memberikan presentasi tentang apa
yang dipelajari, presentasi yang dikoordinasi oleh guru.
6) Dalam nenindaklanjuti perkembangan siswa, guru memberikan assesmen
secara individu.
2.1.10 Konsep Dasar dan Karakteristik Pembelajaran Kontekstual
Sukmadinata, dalam Sa’ud (2010: 163) Pembelajaran kompetensi
merupakan suatu sistem atau pendekatan pembelajaran yang bersifat holistik
(menyeluruh), terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait, apabila
dilaksanakan masing-masing memberikan dampak sesuai dengan perannannya
Paparan pembelajaran kontekstual dapat diperjelas sebagai berikut.
Pertama, pembelajaran kontekstual menekankan pada proses keterlibatan siswa
untuk menemukan sendiri, artinya proses belajar berorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks pembelajaran
kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran akan tetapi
proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, pembelajaran kontekstual mendorong agar siswa dapat
menentukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan
nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman
belajar di sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat. Hal ini akan
memperkuat dugaan bahwa materi yang telah dipelajari akan tetap tertanam erat
dalam memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, pembelajaran kompetensi mendorong siswa untuk dapat
menerapkannya dalam kehidupan, artinya pembelajaran kompetensi tidak hanya
mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi
bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilaku dalam kehidupan sehari-
22
hari. Materi pelajaran di sini bukan ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan
akan tetapi sebagai bekal mereka dalam mengarungi bahtera kehidupan nyata.
Dari pemaparan tersebut disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual
mempunyai karakteristik yang berada pada siswa. Karena siswa yang lebih
berperan dalam proses pembelajaran. Mendorong siswa untuk tanggap terhadap
masalah kehidupan sehari-hari dan mengaitkan dengan materi pembelajaran.
2.1.11 Pelaksanaan Proses Pembelajaran Kontekstual
Dalam pembelajaran kontekstual, guru mengaitkan materi yang diajarkan
dengan situasi dunia nyata untuk mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang telah dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-
hari.
Depdiknas dalam Udin Sa’ud, (2010: 168) mengemukakan bahwa
pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh komponen utama, yaitu:
(1) Kontruktivisme, (2) Menenemukan, (3) Bertanya, (4) Masyarakat belajar, (5)
Pemodelan, (6) Refleksi, (7) Penilaian sebenarnya.
Komponen pertama dari pendekatan kontekstual adalah kontruktivisme.
Kontruktivisme adalah proses membangun atau menyusun pengetahuan baru
dalam struktur kognitif siswa berdasarkan pengalaman. Dalam prakteknya,
pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual dikemas menjadi
proses mengkonstruksi, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Siswa
membangun pengetahuannya sendiri melalui keterlibatannya dalam pembelajaran
secara aktif.
Komponen kedua dari kontekstual adalah inkuiri. Merupakan bagian inti
dari kontekstual. Asas inkuiri merupakan proses pembelajaran berdasarkan pada
pencarian dan penemuan melalui proses berpikir secara sistematis. Guru
merancang pembelajaran yang menekankan pada kegiatan menemukan. Sehingga
siswa akan melalui siklus inkuiri yang terdiri dari observasi, bertanya, pengajuan
dugaan, pengumpulan data dan penyimpulan.
Komponen ketiga dari kontekstual adalah bertanya. Bertanya dapat
dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu, sedangkan
23
menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berpikir.
Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak banyak menyampaikan informasi
begitu saja, akan tetapi berusaha memancing agar siswa menemukan sendiri.
Oleh karena itu melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan
siswa untuk menemukan dan mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi
yang dipelajari.
Komponen keempat adalah masyarakat belajar. Dalam komponen
kontekstual menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh melalui kerjasama
dengan orang lain (team work). Dengan adanya masyarakat belajar, siswa belajar
dengan kelompoknya untuk saling berbagi satu sama lain. Antara siswa yang satu
dengan yang lainnya bisa saling mengisi dan melengkapi sehingga bisa
menumbuhkan pengetahuan yang akan bermakna.
Komponen kelima adalah pemodelan. Pemodelan ini bisa dalam
pengemasan dan penyampaian materi sehingga siswa lebih memahami konsep
yang diajarkan. Model tersebut bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara
memanipulasi benda-benda konkrit, ataupun guru memberi contoh melakukan
sesuatu.
Komponen keenam adalah refleksi. Maksudnya adalah berpikir tentang
apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang telah
dilakukan. Kegiatan refleksi bisa berupa kegiatan me-review materi-materi yang
baru saja dipelajari di akhir proses pembelajaran untuk menemukan konsep-
konsep yang fundamental. Selain itu, kegiatan refleksi ini bisa berupa kegiatan
mempertimbangkan kembali suatu kesimpulan yang diperoleh.
Komponen ketujuh adalah penilaian nyata. Maksudnya adalah penilaian
selama pembelajaran tidak hanya menilai produk yang dihasilkan siswa, akan
tetapi guru menilai siswa mulai dari keaktifan siswa selama pembelajaran hingga
hasil belajar diperolehnya. Hal ini dimaksudkan untuk memotivasi dan
menghargai usaha-usaha yang dilakukan siswa dalam memahami konsep-konsep
yang diajarkan guru.
Dari uraian tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa pembelajaran
kontekstual mempunyai komponen-komponen yang harus diterapkan selama
24
proses pembelajaran berlangsung. Dalam pembelajaran menampakkan komponen-
komponen yang ada dalam pembelajaran kontekstual.
2.1.12 Hakikat Kontekstual Learning
Sa’ud (2010: 162) Pembelajaran kontekstual menekankan pada proses
keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Proses pembelajaran kontekstual
tidak mengharapkan agar siswa tidak hanya menerima pelajaran tetapi proses
mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran. Pembelajaran kontekstual
mendorong siswa untuk menemukan hubungan materi yang dipelajari dengan
situasi kehidupan nyata. Siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara
pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata di masyarakat.
Pembelajaran kompetensi mendorong siswa untuk menerapkannya dalam
kehidupan nyata.
Terdapat lima karakteristik dalam pembelajaran kontekstual learning:
1. Dalam kontekstual learning pembelajaran merupakan proses pengaktifan
pengetahuan yang sudah ada, artinya apa yang akan dipelajari tidak terlepas
dari pengetahuan yang sudah dipelajari dengan demikian pengetahuan yang
akan diperoleh adalah pengetahuan yang utuh yang memiliki keterkaitan satu
sama lain.
2. Pembelajaran kontekstual adalah belajar dalam rangka memperoleh dan
menambah pengetahuan baru, yang diperoleh dengan cara deduktif, artinya
pembelajaran dimulai dengan cara mempelajari secara keseluruhan, kemudian
memperhatikan detailnya.
3. Pemahaman pengetahuan, artinya pengetahuan yang diperoleh bukan untuk
dihafal tapi untuk dipahami dan diyakini, misalnya dengan cara meminta
tanggapan dari yang lain tentang pengetahuan yang diperolehnya dan
berdasarkan tanggapan tersebut baru pengetahuan itu dikembangkan.
4. Mempraktekan pengetahuan dan pengalaman tersebut, artinya pengetahuan
dan pengalaman yang diperolehnya harus dapat diaplikasikan dalam
kehidupan siswa, sehingga tampak perubahan perilaku siswa.
25
5. Melakuan refleksi terhadap strategi pengembangan pengetahuan. Dilakukan
umpan balik untuk proses perbaikan dan penyempurnan strategi.
Berdasarkan hakikat kontekstual learning tersebut dapat ditarik
kesimpulan bahwa siswa aktif dalam pembelajaran. Pengetahuan yang didapatkan
siswa juga lebih tinggi karena siswa dituntut untuk aktif menemukan sendiri
prmasalahan yang terjadi dalam pembelajaran.
2.1.13 Langkah-langkah Pembelajaran Kontekstual
Sa’ud (2010: 174) mengemukanan dalam pembelajaran kontekstual terdapat
langkah-langkah pembelajaran yaitu sebagai berikut:
1. Pendahuluan
a. Guru menjelaskan kompetensi yang harus dicapai serta manfaat dari
proses pembelajaran dan pentingnya materi yang akan dipelajari.
b. Guru menjelaskan prosedur pebelajaran kontekstual.
1) Siswa dibagi dalam beberapa kelompok sesuai dengan jumlah siswa.
2) Tiap kelompok ditugaskan untuk melakukan observasi.
3) Melalui observasi siswa ditugaskan untuk mencatat berbagai hal yang
berhubungan dengan hasil temuan saat observasi.
c. Guru melakukan Tanya jawab sekitar tugas yang harus dikerjakan siswa.
2. Inti
a. Siswa melakukan observasi sesuai dengan tugas kelompok.
b. Siswa mencatat hal-hal yang mereka temukan sesuai dengan alat
observasi.
c. Siswa mendiskusikan hasil temuan mereka sesuai dengan kelompoknya
masing-masing.
d. Siswa mempresentasikan/melaporkan hasil diskusi.
e. Setiap kelompok menjawab setiap pertanyaan yang diajukan oleh
kelompok lain.
3. Penutup
a. Dengan bantuan guru siswa menyimpulkan hasil observasi sekitar masalah
temuan sesuai dengan indikator hasil belajar yang harus dicapai.
26
b. Guru menugaskan siswa untuk pembuatan tugas sesuai dengan
pengalaman siswa yang telah dilakukan.
2.2 Kajian Hasil Penelitian yang Relevan
Novia Rahmayoanita (2010) dalam penelitiannya “Penerapan
Pembelajaran Kontekstual untuk Meningkatkan Hasil Belajar Matematika
Tentang Keliling Persegi dan Persegi Panjang bagi Siswa kelas III semester 2 di
SD Negeri Temuireng 1 Kecamatan Jati Kabupaten Blora tahun 2009/2010”
berdasarkan penelitian tersebut mendapat kesimpulan dengan hasil penelitian
menunjukkan adanya peningkatan hasil belajar, hal ini dibuktikan dengan hasil
yang diperoleh pada siklus 1 dan siklus 2 dan keaktifan siswa dalam kegiatan
pembelajaran dengan peningkatan nilai rata-rata, peningkatan ketuntasan
pembelajaran dan pencapaian KKM (65). Dengan melihat hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa bahwa penelitian ini mampu menjawab tujuan penelitian,
sebagaimana dicantumkan di atas nilai rata-rata siklus 1 pertemuan I adalah 62,95
dengan tingkat ketuntasan 40,91% dan pada pertemuan 1 adalah 65,91 dengan
ketuntasan 54,55%. Nilai rata-rata pada siklus 2 pertemuan I adalah 68,41 dengan
tingkat ketuntasan 68,18% dan pertemuan 2 adalah 74,32 dengan tingkat
ketuntasan 86,36%. Akhirnya peneliti menyarankan kepada seluruh pembelajaran
dan menemukan solusi yang tepat sehingga dapat membawa siswa mendapatkan
penjelasan terhadap materi yang disampaikan dan cara menyelesaikan soal yang
diberikan.
Aris Pratiwi (2010) dalam penelitiannya “Penggunaan Model
Pembelajaran Kontekstual Pada Mata Pelajaran Matematika Sebagai Upaya
Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa kelas VI di SD N 2 Gondang Kecamatan
Kebonarum, Kabupaten Klaten tahun 2009/2010”. Hasil penelitian menunjukkan
adanya peningkatan. Hal ini dibuktikan dengan hasil yang diperoleh pada siklus 1
dan siklus 2 dengan SK/KD sama Indikator berbeda dalam kategori amat baik.
Kondisi awal siswa menunjukkan prestasi belajar siswa rendah. Jumlah siswa
yang mencapai KKM ada 4 siswa dengan prestasi 19,05% sedangkan siswa yang
belum mencapai KKM sebanyak 17 siswa dengan persentase 80,95%. Rata-rata
27
nilai diperoleh siswa pada siklus 1 mengalami peningkatan yang signifikan yaitu
92,66%. Siswa yang telah mencapai kriteria ketuntasan minimal 9,52%. Pada
siklus 2 rata-rata nilai siswa mencapai 86,48. Siswa yang mencapai ketuntasan
minimal 85,71% dan 14,29% belum tuntas. Perolehan hasil siklus 2 lebih rendah
dibanding siklus 1. Namun demikian, penelitian dapat dikatakan berhasil karena
telah mencapai kriteria keberhasilan karena ketuntasan klaksikal mencapai
85,71% dan hanya ada 14,28% siswa yang belum tuntas. Dengan melihat hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa penelitian ini mampu menjawab tujuan
penelitian yaitu penggunaan model pembelajaran kontekstual pada mata pelajaran
matematika dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas VI SD Negeri 2
Bondang, Kecamatan Kebunarum, Kabupaten Klaten tahun 2009/2011.
Supadmi (2010) dalam penelitiannya “Penggunaan Pendekatan
Kontekstual Dalam Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Mata Pelajaran pada
Materi Operasi Hitung KPK dan FPB siswa kelas VI SD Negeri 3 Dlimas,
Kecamatan Ceper, Kabupaten Klaten Tahun pelajaran 2009/2010”. Berdasarkan
data tes siklus 1 setelah pelaksanaan tindakan dari 17 siswa kelas VI yang
mengikuti pembelajaran matematika dengan penerapan pendekatan pembelajaran
kontekstual nilai rata-rata 72,65 sebanyak 12 siswa atau 70,59% siswa mampu
mencapai standar KKM (65) yang ditetapkan 14 nilai siswa 82,35% telah
memenuhi kriteria ketuntasan minimal. Hasil tes siklus 2 setelah pelaksanaan
tindakan, terdiri dari 17 siswa kelas VI yang mengikuti pelajaran matematika
dengan penerapan pendekatan pembelajaran kontekstual nilai rata-rata 75,88 atau
15 siswa atau 88,23% siswa mampu mencapai standar KKM (65) dan 15 siswa
atau 88,23% telah memenuhi kriteria ketuntasan siswa. Sedangkan hasil observasi
siklus 1, secara individu diketahui bahwa kinerja siswa dalam pembelajaran
kontekstual adalah 75% sudah baik. 20% menunjukkan sedang dan hanya 5%
yang masih dalam taraf kurang. Sedangkan berdasarkan observasi siklus 2, secara
individu diketahui bahwa kinerja siswa dalam pembelajaran kontekstual adalah
89,4% sudah baik dan 10,6% dalam taraf sedang, kemudian secara kelompok
kinerja siswa dalam pembelajaran kontekstual adalah 90% sudah baik dan 10%
sedang. Dengan hasil yang telah dicapai pada siklus 2 dimana telah memenuhi
28
indikator keberhasilan maka penelitian ini dianggap telah berhasil. Seingga tidak
perlu dilakukan siklus berikutnya. Dari hail tersebut dapat disimpulkan bahwa
pendekatan kontekstual dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas VI pada
mata pelajaran Matemtika SD Negeri 3 Dlimas, Ceper, Klaten semester 1 tahun
pelajaran 2009/2010.
Rubiyatun 2010 dengan judul,“penggunaan pendekatan contextual
teaching learning (CTL) untuk meningkatkan hasil belajar matematika siswa
kelas IV SDN Meger kecamatan Ceper kabupaten Klaten tahun pelajaran
2009/2010”. Berdasarkan hasil penelitian ini, penggunaan pendekatan kontekstual
berpengaruh positif terhadap hasil belajar siswa. Hal ini terlihat dari:
1. Siswa antusias dan bersemangat dalam pembelajaran.
2. Siswa mampu mengatasi kesulitan belajar.
3. Kemampuan siswa dalam memahami matematika meningkat.
4. Hasil belajar rata-rata meningkat dari siklus 1 ke siklus 2 penelitian yaitu dari
74 menjadi 84.
2.3 Kerangka Pikir
Untuk memperoleh keterampilan dan ilmu pengetahuan dapat dilakukan
dengan berbagai cara. Salah satunya yaitu melalui pembelajaran, dimana
pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditunjuk untuk
membelajarkan siswa. Keberhasilan proses pembelajaran dapat dilihat dari hasil
belajarnya. Untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal diperlukan berbagai
faktor yang mendukung. Diantaranya kurikulum, metode belajar, serta sarana dan
prasarana yang mendukung proses belajar mengajar di sekolah.
Permasalahan yang terjadi pada pembelajaran Matematika di kelas V SD
Negeri 5 Karanganyar maka penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan hasil
belajar Matematika melalui model pembalajaran kontekstual pada siswa kelas V
SD Negeri 5 Karanganyar Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan.
Upaya yang digunakan peneliti dalam menyelesaikan masalah dan
mencapai tujuan tersebut yaitu peneliti mengadakan desain pembelajaran yang
pada akhirnya yang akan membantu siswa dalam proses belajar dan
29
mempermudah guru dalam menyampaikan materi karena siswa menemukan
sendiri materi pelajaran dan guru hanya mengaitkan materi pelajaran dengan
kehidupan nyata siswa.
Trianto, (2011: 103) pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and
Learning) adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi
yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya
dalam kehidupan mereka sehari-hari. Untuk mengimplementasikan model
pembelajaran kontekstual kerangka pikirnya adalah sebagai berikut:
Diagram 2.4 Skema Kerangka Pikir
Dengan memperhatikan kelebihan dan kekurangan maka diharapkan
tujuan yang telah ditentukan peneliti akan tercapai yaitu meningkatkan hasil
belajar Matematika.
Penilaian
Hasil belajar
Matematika pada
pokok bahasan
mengidentifikasi
sifat-sifat bangun
datar dan bangun
ruang.
Mengaitkan
materi awal
dengan
kehidupan
..sehari-hari.
Berdiskusi
Menemukan
Materi
Pelajaran
Membentuk
Kelompok
Hasil
Belajar
Matematika
Meningkat
Membuat
Kesimpulan
Pembelajaran
Kontekstual
30
2.4 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori dan kerangka pikir yang telah diungkapkan di
kajian teori, maka hipotesis dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut”Model pembelajaran kontekstual dapat meingkatkan hasil belajar
matematika dengan materi mengidentifikasi bangun datar dan mengidentifikasi
bangun ruang pada siswa kelas V SD Negeri 5 Karanganyar, Kecamatan Geyer,
Kabupaten Grobogan tahun pelajaran 2011/2012”.