bab ii kajian pustaka 2.1 kajian pustaka · 16 adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de...
TRANSCRIPT
12
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian Pustaka
Pada bab ini disampaikan mengenai tulisan dan hasil-hasil penelitian oleh
para ilmuwan terdahulu yang pernah dilakukan di Desa Bengkala. Adapun objek
dalam berbagai penelitian sama yakni masyarakat kolok Desa Bengkala namun
dikaji dari sudut pandang dan analisis yang berbeda.
2.1.1 Kata Kolok sebagai Bahasa Isyarat Alami oleh I Gusti Made Sutjaja
Sebuah artikel dalam rangka memperingati Hari Bahasa Ibu, 21 Februari
2013, telah ditulis oleh Guru Besar Linguistik Fakultas Sastra Universitas
Udayana. Dalam tulisannya dijelaskan bahwa sedikit masyarakat Bali yang
menyadari bahwa di luar bahasa Bali sebagai bahasa ibu/daerah (simbol vokal)
ada juga bahasa isyarat (bukan simbol vokal) yang dikembangkan secara alami
oleh 'penuturnya' di Desa Bengkala Kecamatan Kubutambahan Kabupaten
Buleleng. Warga desa ini ada yang secara turun-temurun/genetik mengalami
ketulian yang berakibat kepada kebisuan.
Bali memiliki dua keunikan besar dalam bahasa. Pertama, adalah bahasa
suara/vokal (verbal) yang ditunjang oleh aksara carakan (berakar pada sistem
huruf Brahmi di India bagian selatan yang kini telah punah), dan susastera lisan
dan tulis. Keunikan yang kedua yaitu bahasa isyarat/tangan dan ekspresi wajah
(nonverbal) yang dikembangkan oleh penuturnya secara mandiri dan alami yang
menjadi bagian dari bahasa isyarat alami dunia dengan jumlah sangat terbatas
(Siwu, Avatime, Akhoe Hai/om, Chintang, Lao, Kri, Semang, Maniq, Semai, Kata
13
Kolok, Murrinh-Patha, Duna, Umpila, Kilivila, Yeli Dnye, Tzeltal, Cha'palaa,
Guambiano, Yurakare, Icelandic, Italian, Russian, Argentine Sign Language,
Japanese, Mandarin).
Kontribusi artikel ini untuk penelitian yang dilakukan adalah sebagai
penegasan dan inspirasi bahwa Kata Kolok adalah salah satu dari warisan budaya
yang bermanfaat bagi dunia dan patut dilestarikan. Salah satu manfaat dari
penelitian ini adalah pelestarian Kata Kolok sebagai bahasa isyarat alami (natural
sign language).
2.1.2 Studi Tentang Warna dan Ruang dalam Kata Kolok oleh Connie de Vos
Dua tahun berturut-turut Connie de Vos (2011, 2012) menulis dua hasil
penelitiannya yaitu Kata Kolok Color Signs and the Emergence of Lexical Signs
in Rural Signing Communities dan Sign-spatiality in Kata Kolok: How a village
sign language in Bali inscribes its signing space yang merupakan thesis Ph.D-
nya. Pada tulisan yang pertama, de Vos mengulas bagaimana sebuah bahasa baru
mengembangkan cara sistematis untuk menjelaskan tentang pengalaman dalam
mengindera, seperti misalnya warna dan sejauh mana evolusi istilah warna
terbentuk oleh faktor sosial. Artikel ini menjelaskan warna sebagai sebuah bahasa
isyarat di lingkungan masyarakat petani yang muncul kira-kira satu setengah abad
lalu di sebuah desa di Bali. Kata Kolok memiliki empat tanda warna: hitam, putih,
merah dan biru kehijauan. Tambahannya, dua makna yang non-konvensional
biasanya digunakan untuk memberikan keterangan mengenai warna: yakni nama
objek yang relevan dan menunjuk objek pada tempat kejadian. Perbandingan
antara kebudayaan Bali dengan tuturan Bali membawa titik terang bagi perbedaan
14
antara sistem, yang menyarankan bahwa baik budaya terapan ataupun kontak
bahasa telah menuju pada formasi tanda warna dalam Kata Kolok. Beberapa hasil
investigasi leksikografi dari bahasa-bahasa tanda di daerah lainnya melaporkan
pembatasan dalam domain warna. Di sisi lain, bahasa tanda di kawasan perkotaan
yang lebih besar memiliki sistem cakupan yang lebih luas, misalnya, Australian
Sign Language, memiliki lebih dari sembilan tanda warna. Perbandingan ini
mendukung penemuan bahwa bahasa-bahasa tanda di kawasan pertanian seperti
Kata Kolok tidak berhasil membuka ruang yang mendorong masyarakat untuk
lebih berkembang.
Kelebihan penelitian yang dipaparkan dalam artikel ini, pembahasan
diulas dengan terperinci tentang bagaimana makna warna diekspresikan ke dalam
bahasa tanda dengan acuan langsung kepada bagian tubuh dan bagaimana
berekspresi menunjukkan intensitas warna. Dijelaskan juga bahwa bahasa Bali
lisan dan Kata Kolok memiliki pemaknaan warna yang berbeda. Warna-warna
dalam bahasa Bali lisan tidak bisa mengacu pada warna anggota tubuh seperti
pada Kata Kolok. Selain itu, dalam bahasa Bali lisan, warna biru dan hijau sangat
jelas dibedakan, tidak seperti pada Kata Kolok yang menggunakan isyarat yang
sama untuk makna biru dan hijau (tiga kali mengusap dahi ke arah bawah).
Berdasarkan sistem linguistik yang berbeda ini diambil kesimpulan bahwa
masih memungkinkan untuk saling memengaruhi antarkedua budaya yang
memiliki bentuk bahasa yang jelas berbeda. Salah satu dari kedua bahasa itu
(yakni Kata Kolok) memiliki makna warna yang lebih sedikit dan berbagai
kategori yang aturannya kurang mengikat dalam pokok bahasan khusus ini.
15
Kemungkinan pengembangan penelitian ini adalah pada makna warna-warna yang
lain menurut budaya terdekat, yang tidak dapat dipungkiri memengaruhi
kehidupan warga Kolok ini, misalnya, menggunakan acuan konsep warna menurut
Dewata Nawa Sanga (manifestasi Tuhan dalam agama Hindu Bali), yakni Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, yang menjaga atau menguasai di setiap penjuru mata
angin. Seiring berjalannya waktu, selalu ada kemungkinan Desa Bengkala
mendapat pengaruh dari budaya Bali yang diperoleh dari pergaulan
masyarakatnya sendiri dengan pihak luar desa. Pengaruh budaya dapat pula
menambah kekayaan makna dalam Kata Kolok, secara khusus makna warna-
warna. Dalam artikel ini disebutkan warna „orange’ dalam bahasa Inggris, yang
diterjemahkan menjadi ‘orenz’ dalam Basa Bali; menurut kamus Basa Bali
(Sutjaja, 2006) warna oranye dalam bahasa Bali adalah „jingga’.
Dalam Sign-spatiality in Kata Kolok: How a village sign language in Bali
inscribes its signing space, de Vos meneliti dengan sangat rinci mengenai
pemetaan bahasa tanda yang menerangkan segala sesuatu yang terkait dengan
ruang. Penelitian de Vos kali ini mengenai sejumlah persoalan mendasar tentang
sifat representasi manusia terkait ruang dan bagaimana kategorisasi linguistik
menata hal ini. Penelitian ini menitikberatkan tentang bahasa tanda yang
menyatakan – bagaimana para pengisyarat menciptakan berbagai tingkat
kebebasan ruang sejumlah tanda dengan mengalokasikan, mengorientasi serta
mengarahkan semua tanda tersebut untuk mengindikasikan makna-makna non-
morfologis yang dihasilkan dari keterkaitan antara wacana dan tata bahasa.
16
Adapun bahasa tanda yang dibahas dalam penelitian de Vos (2012: 18 –
20) adalah tanda penunjuk (pointing signs) yang berhubungan dengan berbagai
tanda terkait seperti: lokasi, individual, warna, bagian tubuh dan waktu-waktu
dalam hari. Dalam pembahasan bahasa tanda yang berhubungan dengan ruang ini
dijelaskan bagaimana tanda/isyarat penunjuk dan gerak tubuh dengan fungsi
penunjuk dapat dibandingkan dengan dasar yang setara sehingga tercapai tujuan
untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam terhadap modalitas isyarat
sebagaimana fungsinya pada kedua ekologi semiotik ini.
Kelebihan penelitian de Vos adalah ketersediaan data. Telah diperoleh
data rekaman selama 100 jam yang diolah menggunakan program Elan sehingga
menjadi data yang lebih kompleks dan lengkap, sehingga dapat juga digunakan
untuk penelitian berikutnya. Perbedaan penelitian de Vos dengan penelitian yang
disajikan kali ini, adalah mengumpulkan data rekaman sendiri. Sejumlah 24
warga Kolok bersedia direkam dan bersedia digunakan pencitraannya baik dalam
bentuk video maupun foto sebagai data. Hal ini merupakan manfaat yang besar
untuk penelitian ini dan juga untuk penelitian selanjutnya menimbang banyaknya
bahan yang masih dapat diolah. Analisis data dalam disertasi ini juga
menggunakan foto asli, bukan sketsa, sehingga tanda atau isyarat yang diacu
terlihat lebih jelas. Meskipun pada akhirnya, atas saran Promotor, foto-foto yang
diacu kemudian disketsa kembali untuk mengindari distraction atau gangguan
karena alih-fokus. Untuk semua data ini, peneliti sangat berterima kasih dan
menyampaikan penghargaan mendalam kepada seluruh warga Kolok Desa
Bengkala dan juga secara khusus kepada Jero Prebekel, Bapak Made Arpana dan
17
Jero Kelian Kolok, Bapak Ketut Kanta, atas antusiasme dan dukungan yang
sungguh di luar ekspektasi peneliti.
Penelitian yang dilakukan oleh de Vos mengangkat pemetaan isyarat
tentang ruang (sign-spatial mapping) berdasarkan bukti-bukti linguistik yang
ditemukan mendukung analisis tersebut. Bagaimana pengisyarat Kolok
menjelaskan lokasi, orientasi dan menunjukkan arah dalam tindakan berisyarat
yang muncul dalam wacana dan tata bahasa. Selain itu ditunjukkan juga
bagaimana strategi Kata Kolok dalam mengadopsi berbagai strategi untuk
memecahkan persoalan dalam menggambarkan pengetahuan tentang hal yang
berhubungan dengan ruang. Penemuan ini menggambarkan bahwa pilihan dalam
kerangka acuan khusus dalam berbagai kasus ini dipengaruhi oleh faktor ekologi
kultural.
Disertasi de Vos bermuara pada implikasi metodologis dan teoritis.
Diharapkan penelitian ini memberikan pembacanya beberapa pandangan
mengenai fenomena isyarat tentang ruang (sign-spatial) dalam bahasa, metode
pengumpulan data. Analisis data secara sistematis belum sepenuhnya mencapai
faktor-faktor yang mengarahkan kepada identifikasi isyarat tentang ruang yang
tidak umum. Faktor-faktor yang dimaksud misalnya pengaruh bahasa Bali dari
lawan berisyarat. de Vos berupaya untuk mengaitkan Kata Kolok dan tanda gerak
tubuh dalam Bahasa Bali dengan membandingkannya, demikian juga bahasa
isyarat tersebut dengan bahasa lisan secara khusus terkait rumusan masalah dalam
disertasinya. Perbandingan antarbahasa ini bertujuan untuk memungkinkan
18
pembacanya menempatkan berbagai temuan dalam Kata Kolok terkait dengan
tipologi bahasa isyarat.
Penelitian yang dilakukan untuk disertasi ini berfokus pada makna dan
tanda yang diekspresikan dalam Kata Kolok, serta variasi tanda untuk makna
tertentu. Adapun makna yang menjadi temuan dalam penelitian ini adalah makna
penunjuk orang, makna yang berhubungan dengan agama, adat istiadat dan
budaya, serta makna yang berhubungan dengan kebutuhan bertahan hidup serta
makna yang berhubungan dengan perasaan. Dalam penelitian ini juga dijelaskan
secara umum mengenai tipologi Kata Kolok dengan tujuan untuk mengenal
secara umum termasuk tipe apakah penyampaian informasi yang terekspresi
dalam bahasa tanda Kata Kolok ini, berdasarkan teori yang disampaikan oleh
Comrie (1983).
2.1.3 Tipologi Bahasa Isyarat oleh Ulrike Zeshan
Ulrike Zeshan adalah promotor dari Connie de Vos. Zeshan (2012)
menulis bersama Connie de Vos, Sign Languages in Village Communities:
Anthropological and Linguistic Insights (Series Title: Sign Language Typology
4). Hasil penelitian yang terdapat pada buku ini merupakan penambahan dari
investigasi komparatif bahasa-bahasa dalam ranah isyarat serta merupakan
kompilasi pertama dari sejumlah bagian dari “bahasa isyarat wilayah pedesaan”
yang berbeda. Kajian wilayah kebahasaan ini mengombinasikan sudut pandang
antropologi dan linguistik secara khusus dilihat dari dinamika sosial dan stuktur
bahasa dalam masyarakat pedesaan ini. Penelitian ini mendokumentasikan
sejumlah data primer dari sebelas kelompok pengisyarat yang berbeda dari
19
berbagai wilayah di dunia di antaranya: Jamaika, India, Turki, Thailand, dan Bali.
Penelitian ini menjelaskan bahwa seluruh bahasa tanda pedesaan diketahui dalam
keadaan terancam punah yang biasanya disebabkan oleh tekanan dari pengisyarat
perkotaan yang jumlahnya lebih besar, dan bahkan beberapa darinya telah mati.
Ironis bahwa hal ini menjadi suatu kesuksesan bagi komunitas pengisyarat yang
lebih besar di berbagai pusat kota di mana pengakuan dan pengikut mereka yang
tersebar mendorong pemusnahan berbagai bahasa isyarat minoritas. Penelitian ini
meliput secara khusus tentang jenis bahasa yang terancam punah, strategi
dokumentasi bahasa, dan berbagai isu yang terkait dengan bahasa isyarat ini.
Penelitian dalam buku ini telah memberikan inspirasi terkait pelestarian
bahasa isyarat Kata Kolok di Desa Bengkala ini. Kata Kolok adalah bahasa asli
yang digunakan sehari-hari oleh masyarakat Desa Bengkala baik yang di antara
sesama tuli-bisu maupun antara orang tuli-bisu dengan orang normal. Bahasa ini
memiliki keunikan dan keasliannya sehingga baik untuk dijadikan kekayaan
khazanah bahasa isyarat di Indonesia. Pada masa mendatang, Kata Kolok, dapat
diajarkan kepada orang-orang berkebutuhan khusus lainnya selain masyarakat
kolok Bengkala. Pokok bahasan pada tulisan Zeshan, yakni mengenai tipologi
sejumlah bahasa isyarat, jelas berbeda dengan penelitian pada disertasi ini yang
mengangkat tentang makna dan tanda meskipun juga menggambarkan secara
umum tentang tipologi Kata Kolok.
2.1.4 Studi Desa Kolok oleh I Gede Marsaja
Marsaja (2008) menulis Desa Kolok. A Deaf Village and Its Sign
Language in Bali, Indonesia, yakni tentang sebuah desa yang menurutnya dikenal
20
dengan Desa Kolok (Desa Tuli) karena adanya populasi penyandang tuli-bisu
keturunan. Penelitian yang dilakukannya menelaah tentang hal-hal yang mendasar
dari asimilasi di antara orang kolok dengan orang normal di Desa Kolok dari tiga
sudut pandang yang saling berhubungan yakni: sosiokultural, sosiolinguistik, dan
linguistik.
Ada tiga hal yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian yang
dilakukan oleh Marsaja yakni: pertama, tentang proses asimilasi di antara populasi
warga tuli-bisu dan yang normal terbentuk dan terjaga di dalam masyarakat,
dilihat dari sudut pandang sosiokultural, sosiolinguistik dan linguistik. Kedua,
tentang peran bahasa isyarat dalam pengembangan dan pelestarian asimilasi yang
telah terbentuk. Ketiga, tentang karakteristik kebahasaan dari bahasa isyarat di
Desa Kolok dan tentang bahasa tersebut mengasimilasi (meleburkan) aspek-aspek
sistem komunikasi yang digunakan di dalam masyarakat normal. Untuk ketiga
rumusan masalah ini, Marsaja menjawab pada kesimpulannya bahwa sebuah
masyarakat tuli-bisu yang asimilatif sebagaimana Desa Kolok ini telah
berkembang melalui asimilasi tiga lapisan secara bertahap yakni sosiokultural,
sosiolinguistik, dan asimilasi kebahasaan. Tiga lapisan ini melebur dalam sebuah
hubungan siklus di mana asimilasi sosiokultural memperkuat asimilasi
sosiolinguistik, yang kemudian mendorong munculnya integrasi linguistik.
Sebaliknya, asimilasi linguistik ini juga memperkuat integrasi sosiolingusitik dan
sosiokultural. (Marsaja, 2008: 204)
Temuan dalam penelitian Marsaja adalah bahwa orang kolok di desa
tersebut telah sepenuhnya terasimilasi ke dalam kehidupan inti masyarakat normal
21
melalui sejumlah organisasi, jaringan serta berbagai kegiatan sosial dan budaya
yang telah berkedudukan tetap. Asimilasi tersebut didukung oleh penggunaan
bahasa isyarat lokal, Kata Kolok, secara luas, tidak hanya di antara keluarga kolok.
Tidak kurang dari dua pertiga dari populasi orang normal yang ada ditemukan
menggunakan bahasa isyarat lokal ini secara teratur oleh karena seringnya mereka
berhubungan dengan orang-orang kolok. Hubungan yang erat di antara orang-
orang kolok dan normal, yang terangkaikan dengan adanya penggunaan bahasa
isyarat telah memunculkan asimilasi kebahasaan. Asimilasi kebahasaan itu terlihat
jelas dalam fakta struktur Kata Kolok yang berhubungan erat dengan berbagai
aspek bahasa tubuh dari gerak isyarat bahasa lisan utama dari desa tersebut yakni
Basa Bali.
Marsaja menjelaskan bahwa Kata Kolok terdapat di Desa Bengkala yang
terletak di Bali Utara. Desa yang sering disebut sebagai Desa Kolok itu secara
harafiah berarti Desa Tuli. Ada 47 orang tuli (di luar dari jumlah populasi 2.186
orang) yang tersebar di kelompok keluarga yang besar di desa tersebut (tahun
2008). Meskipun orang tuli-bisu itu sendiri hanya berjumlah 2.59% dari seluruh
populasi penduduk desa, persentase orang-orang normal yang hidup bersama
anggota keluarga yang tuli-bisu sejumlah 4.29%, dan sebagian besar penduduk
yang normal di desa tersebut sehari-hari berinteraksi secara dekat dengan orang-
orang tuli-bisu. Marsaja (2008: 99) menyampaikan bahwa sekitar dua pertiga orang
normal dapat berbicara bahasa isyarat Kata Kolok dengan berbagai tingkat
kemampuan dan kira-kira ada 500 orang normal yang bisa berbahasa isyarat Kata
Kolok dengan fasih. Oleh karenanya keseluruhan masyarakat yang berbahasa isyarat
22
Kata Kolok berjumlah sekitar 1.200 orang. Orang-orang tuli-bisu di Desa Bengkala
secara penuh terintegrasi ke dalam berbagai aktivitas relijius dan sekuler di
masyarakat tersebut. Mereka memiliki beberapa peran khusus seperti petugas
pengubur orang yang meninggal. Menurut Marsaja (2008:70), masyarakat di desa
tersebut percaya bahwa orang tuli-bisu dapat berhubungan lebih baik dengan dewa-
dewa baik yang mendengar maupun yang tuli-bisu, sehingga lebih cocok untuk tugas
ini. Dalam bukunya juga dijelaskan bahwa masyarakat kolok umumnya memiliki
pekerjaan yang serupa, kesempatan menikah dengan sesama tuli-bisu ataupun dan
seperti juga dengan penduduk desa yang normal. Bahasa tanda adalah bagian dari
sejumlah adaptasi kultural bagi kolok. Warga tuli-bisu di Bengkala diberikan
tugas-tugas khusus dalam upacara keagamaan dalam upacara kematian. Keunikan
lainnya adalah warga kolok percaya kepada Tuhan yang tuli-bisu. Kelebihan
lainnya adalah tarian unik yang ditarikan oleh penduduk desa kolok yakni janger
kolok.
Dari sudut pandang susunan kata dalam kalimat, Kata Kolok mendukung
pola kalimat Subjek – kata kerja – Objek ketika makna ganda mungkin dapat
terjadi (misalnya ketika kedua peserta dalam suatu tindakan dapat menjadi baik
sebagai subjek ataupun objek, seperti dalam kalimat X melihat Y, tetapi digunakan
lebih fleksibel ketika kalimat tersebut bisa saja tidak bermakna ganda oleh
maknanya sendiri (2008: 168-169). Susunan kata dalam kalimat yang mendasar di
dalam bahasa Indonesia tutur adalah Subjek – kata kerja - Objek, namun sulit
untuk menentukan sejauh mana pengaruh pola ini terhadap kecenderungan
susunan kata dalam kalimat yang ditemukan di dalam Kata Kolok.
23
Bertolak dari penelitian yang dilakukan oleh Marsaja, penelitian ini
mengidentifikasi kembali bagaimana susunan kata pada kalimat dalam Kata
Kolok ini dengan menelaah data baru sehingga diperoleh penjelasan tentang pola
kalimat bahasa isyarat Kata Kolok. Oleh karenanya dalam penelitian ini diulas
juga secara umum tentang tipologi Kata Kolok.
2.1.5 Kata Kolok dari Perspektif Konstruksi Bermakna Posesif dan
Eksistensial oleh Pamela Perniss dan Ulrike Zeshan
Pamela Perniss bersama dengan Ulrike Zeshan juga meneliti Kata Kolok
dari perspektif konstruksi bermakna posesif dan eksistensial dan menulis dalam
buku, Possessive and existential constructions in sign languages (2008). Menurut
Perniss, Kata Kolok adalah sebuah bahasa dengan berbagai kepolisemian dan
ambiguitas. Keduanya berhubungan dengan leksikon dan konstruksi gramatikal.
Sementara karakterisasi ini tidak unik pada Kata Kolok dan juga ditemukan dalam
bahasa tanda lain dan bahasa lisan seperti dalam bahasa Indo-Pakistan. Terdapat
banyak isyarat Kata Kolok yang memiliki muatan semantik yang lebih luas.
Ambiguitas yang sama dapat terlihat di dalam konstruksi gramatikal seperti
variabel terbalik dalam struktur bermakna posesif. Terlebih lagi, ada
ketidakjelasan variasi kemunculan pada pokok kegunaan lokatif, eksistensial, dan
posesif dan hal ini sering perlu dituntaskan menurut konteksnya. Lebih luas lagi,
konteks yang dikembangkan bahwa peserta dalam sebuah percakapan berbahasa
isyarat terkait dengan rasa yang mutlak terhadap arah yang berdasarkan kepada
topografi desa tersebut yang mewadahi persyaratan baik dalam leksikon maupun
tata bahasa meskipun terlalu jauh untuk mengatakan bahwa konteks budaya
mensyaratkan kemunculan dan pengelolaan spesifikasi struktural. Sebagaimana
24
adanya, kepolisemian dan/atau struktur khusus di dalam Kata Kolok membawa
peran yang penting dalam sejumlah bagian penelitian yang berikutnya.
Penelitian yang dilakukan telah menjelaskan tentang berbagai isyarat dan
konstruksi yang digunakan untuk mengungkapkan kepemilikan dan eksistensi
dalam Kata Kolok. Bahasa memiliki banyak konstruksi yang mana tidak ada
morfem yang berfungsi untuk mengungkapkan kepemilikan. Sebagai gantinya,
digunakan isyarat menunjuk, pola terbalik dan isyarat jempol ke atas, negasi dan
selesai untuk menandakan kepemilikan. Seringkali, tidak ada perbedaan yang
jelas di antara makna kepemilikan atributif dan predikatif yang memungkinkan
terjadinya sejumlah interpretasi yang berbeda.
Menunjuk digunakan untuk mengidentifikasi baik hal pemilik maupun
yang dimiliki dalam hubungan kepemilikan, demikian pula dalam berbagai
ungkapan yang menerangkan lokasi dan eksistensi, yang maknanya bisa jadi
tumpang tindih dengan makna kepemilikan. Meskipun demikian, Kata Kolok
tidak memiliki lokatif posesif berhubung lokasi miliknya tidak terspesifikasi
sebagai keberadaan di tempat yang sama dengan pemiliknya. Terlebih lagi,
berbagai isyarat menunjuk menandakan lokasi aktual dari pemilik atau miliknya.
Isyarat-isyarat tersebut digunakan untuk menentukan rujukan pronomina,
sebagaimana di dalam konjungsi dengan isyarat-isyarat nominal dalam konstruksi
yang memiliki posesor nominal. Kata Kolok tidak menunjukkan serangkaian
pronomina kepemilikan yang terpisah, variasi bentuk tangan pada pronomina
orang pertama adalah bersifat alomorfis.
25
Selain itu Kata Kolok menggunakan sejumlah isyarat „mempunyai‟ yang
berbeda seperti berbagai konstruksi untuk menghubungkan sebuah pemilik dan
miliknya. Yang pertama dari isyarat ini adalah posisi terbalik, yang dapat
mengungkapkan hubungan antara kata benda pemilik dengan kata benda yang
menunjukkan miliknya, yakni bagian keseluruhan hubungan kepemilikan. Posisi
terbalik juga dapat dikembangkan untuk merangkaikan sebuah pembilang ataupun
penjelas. Konstruksi semacam „mempunyai‟ yang lainnya melibatkan berbagai
isyarat jempol ke atas, negasi dan selesai. Ketiga isyarat ini secara umum adalah
polisemi dan ambigu. Ujaran individual seringkali ambigu, dan makna yang pasti
dapat ditentukan melalui konteksnya saja. Tanda jempol ke atas digunakan untuk
makna kepemilikan dan eksistensi dalam konstruksi predikatif. Hal yang menarik
adalah tanda jempol ke atas berasal dari tanda yang bermakna „bagus‟, tetapi telah
tergramatikalisasi menjadi sebuah pemarkah untuk makna eksistensi dan
kepemilikan. Fenomena ini belum terdokumentasi pada berbagai bahasa isyarat
lainnya, sebagai hal yang tidak biasa dalam berbagai bahasa lisan. Berlawanan
dengan itu, negasi dan selesai, berbagai variasi dari isyarat lambaian tangan,
digunakan untuk mengungkapkan eksistensi negatif. Negasi digunakan sebagai
klausa negator dasar dan negator posesif, sementara isyarat selesai digunakan
untuk menunjukkan negasi, demikian pula untuk menandai akhir sebuah ujaran
atau bagian dari wacana, muncul sebagaimana sebuah ujaran satu kata itu sendiri,
atau akhir klausa.
Analisis lebih jauh dirasa perlu untuk menetapkan apakah Kata Kolok
memiliki konstruksi „milik‟ yang berbeda. Pada penelitian ini Perniss dan Zeshan
26
menunjukkan beberapa kalimat yang memberi gagasan bahwa Kata Kolok
kemungkinan memiliki konstruksi „milik‟ di mana frasa kata bendanya muncul
dalam posisi topikal dalam apa yang secara umum adalah sebuah konstruksi
pertentangan. Investigasi lebih lanjut tentang fitur-fitur nonmanual barangkali
dapat membawa titik terang terkait persoalan ini. Seperti juga studi selanjutnya
tentang ekspresi wajah yang dapat menolong untuk menentukan apakah
penggunaan makna eksistensial dan posesif dari jempol ke atas adalah lebih pendek
durasinya dan lebih santai dalam pengartikulasian apabila dibandingkan dengan
penggunaan lainnya dari isyarat ini.
2.1.6 Studi tentang Strategi Pengajaran Pada Siswa Bisu-Tuli oleh Jan
Branson dan Don Miller
Branson dan Miller (2004) menulis The Cultural Construction of
Linguistic Incompetence through Schooling: Deaf Education and the
Transformation of the Linguistic Environment in Bali, Indonesia. Tulisan ini
menggambarkan pengaruh strategi pengajaran kompetensi bahasa kepada para
siswa di sekolah orang tuli-bisu di Bali, Indonesia. Secara khusus artikel ini
meneliti tentang dampak penggunaan isyarat versi Indonesia terhadap partisipasi
berbahasa para siswa di lingkungan masyarakat asli mereka. Aliran strategi
pengajaran tersebut adalah merujuk kepada model Barat yang ditransfer ke
Indonesia melalui pelatihan guru-guru Indonesia di negara-negara Barat dan
melalui adanya tenaga ahli asing di Indonesia. Para administratur pendidikan di
Indonesia telah mengimplementasikan strategi ini tanpa mempertimbangkan nilai
dan kesesuaiannya. Ditambah lagi, para penganjur nasionalisme yang telah
menetapkan penggunaan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, dalam ranah
27
pendidikan, tanpa memperhatikan kenyataan bahwa Bahasa Indonesia jarang
digunakan di desa-desa tempat para siswa tuli-bisu berasal. Faktor-faktor inilah
yang kuat memengaruhi sebuah kekuatan dan ketidakbergerakan, simbol tindakan
kekerasan terhadap warga sekolah, yakni para siswa.
Penelitian yang diulas dalam artikel Branson, dkk. jelas memiliki pokok
bahasan yang berbeda dengan penelitian pada disertasi ini. Branson, dkk.
membahas mengenai pengaruh strategi pengajaran, sedangkan penelitian dalam
disertasi ini membahas mengenai makna dan tanda serta variasi tanda yang
berkembang. Walaupun demikian penelitian ini dapat berkontribusi dalam
menemukan berbagai sebab terjadinya variasi tanda yang berkembang untuk
makna tertentu.
2.1.7 Studi Masyarakat Kolok yang Menderita Kelainan Tuli-Bisu
Kongenital (bawaan sejak lahir) oleh Winata, dkk.
Selain penelitian di bidang linguistik dan pengajaran, ada juga penelitian
yang menitikberatkan bidang ilmu kesehatan, genetika, dan antropologi pada
masyarakat kolok Bengkala di tahun 1995. Dijelaskan bahwa sejumlah dua persen
dari 2815 jiwa warga Desa Bengkala mengalami tuli-bisu sejak lahir, yang
diistilahkan dengan congenital deafness. Sebagai tindak lanjut dari kejadian cacat
bawaan tuli-bisu tersebut, masyarakat Desa Bengkala telah mengembangkan
sebuah bahasa isyarat khusus yang digunakan baik oleh masyarakat yang tuli-bisu
maupun oleh masyarakat yang normal. Tuli-bisu di Bengkala adalah cacat sejak
lahir (congenital), terkait sistem syaraf (sensorineural), yang terjadi begitu saja
(non-syndromal), dan disebabkan sepenuhnya oleh masuknya sel kromosom
resesive yang bermutasi pada lokus DFNB3. Adapun frekuensi mutasi DFNB3
28
diperkirakan menjadi 9-4% di antara orang-orang normal yang memiliki
kemungkinan 17-2 % untuk menurunkan DFNB3.
Sejarah keluarga dan garis keturunan dikumpulkan selama lebih dari tiga
tahun dan digunakan sebagai sebuah acuan wawancara. Hal ini diperlukan untuk
memperoleh berbagai konfirmasi tersendiri tentang keadaan pendengaran, waktu
bermulanya ketulian, serta perkembangan kerusakan pendengaran terhadap setiap
orang kolok. Masyarakat Bengkala mengetahui bahwa dari kedua orangtua yang
bisa mendengar dapat menurunkan anak-anak yang tuli-bisu sejak lahir. Oleh
karenanya, mereka menemukan cara untuk menguji pendengaran anak-anak. Cara
yang pertama menggunakan suara yang keras untuk merangsang adanya suatu
respon keterkejutan. Berbagai benda dipukul untuk memperoleh suara yang
gaduh, termasuk sebuah gong dari gamelan yang ada di Bengkala. Jika seorang
bayi menunjukkan respon keterkejutan, dianggap bisa mendengar sementara tidak
adanya respon mengindikasikan bahwa bayi itu tuli. Cara yang kedua digunakan
oleh kedua orangtua yang tuli, yakni dengan menempatkan anak mereka pada
keluarga yang bisa mendengar beberapa waktu lamanya untuk menentukan
apakah anak itu bisa merespon atau tidak terhadap orang-orang di sekitarnya. Jika
anak itu ternyata tuli, maka orangtuanya mulai mengajarkan kepadanya bahasa
tanda di desa itu.
Merangkum secara singkat isi penelitian ini, Bengkala adalah sebuah desa
yang setidaknya telah berusia setidaknya 700 tahun dengan perbandingan
penduduk dari 2185 orang ada 2.2% yang tuli-bisu. Hasil sebuah survei yang
lengkap dari seluruh warga desa, teridentifikasi enam rangkaian keluarga dengan
29
49 orang tuli-bisu. Pemeriksaan fisik dan audiologis serta sejarah keturunan
mengindikasikan bahwa DFNB3 adalah kongenital, sensorineural, dan non-
syndromal. Sebuah analisis tersendiri yang dipaparkan di sini mengindikasikan
bahwa ketulian disebabkan oleh sebuah kandungan penuh mutasi kromosom
resesivedari gen DFNB3 tersebut. Analisis populasi pun mengindikasikan bahwa
17.2% dari masyarakat Bengkala yang bisa mendengar adalah yang memiliki
kromosom ganda (heterozygous) bagi gen DFNB3 yang bermutasi. Dengan
menggunakan pemetaan data yang terpublikasi di tempat lain, sejarah hubungan
genetik di antara berbagai STR yang terkait erat dengan DFNB3 mengindikasikan
bahwa mutasi DFNB3 telah dapat muncul atau sampai di Bengkala oleh sebuah
kejadian acak dalam kurun waktu 200 tahun terakhir.
Di dalam penelitian ini ditemukan pula bahwa banyak orang tuli-bisu di
Desa Bengkala yang berasal dari keturunan satu klan tertentu di Bali. Hal ini
menjadi sebab adanya peringatan untuk menghindari pernikahan acak bahkan di
antara para penduduk yang normal sekalipun. Meskipun demikian, berhubung
bagan garis perkawinan warga Desa Bengkala yang lengkap belum selesai
ditentukan dan sebuah metode langsung untuk mengidentifikasi adanya mutasi
DFNB3 yang mensyaratkan pengkloningan DFNB3 menjadi tidak mungkin pada
saat itu untuk memperoleh sebuah data yang pasti tentang frekuensi mutasi
DFNB3 di Bengkala.
Penelitian ini jelas pada ranah keilmuan yang berbeda. Meskipun
demikian, berdasarkan data yang ditemukan saat melaksanakan penelitian,
ditemukan keterangan dari hasil rekaman wawancara bahwa ada juga beberapa
30
warga kolok yang mengalami ketulian karena menderita sakit ketika kecil atau
karena suatu kejadian yang menyebabkan kejutan psikologis yang berdampak
pada kecacatan fisik dalam hal ini ketulian.
2.1.8 Pemurnian Pemetaan Genetika DFNB3 Menjadi 17p11.2, Mengusulkan
Multi Variasi Gen Locus Kromosom DFNB3 dan Mendukung Homologi
Pada Model Tikus shaker -2, oleh Liang, dkk.
Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa ada enam garis keturunan keluarga di
Bengkala yang di dalamnya terdapat anggota keluarga tuli-bisu (Friedman, dkk.,
1995; Winata, dkk., 1995), tetapi pada saat itu para peneliti tidak menyadari
adanya leluhur yang terkait dengan lima dari keenam garis keturunan tersebut.
Pada tahun 1995 bagan genealogi dari 2200 penduduk yang hidup dan 884
penduduk yang sudah meninggal di Desa Bengkala dilengkapi. Sejumlah dari
genealogi ini, termasuk tujuh generasi dengan 45 orang yang masih hidup dan 19
orang tuli-bisu warga Desa Bengkala yang sudah meninggal, ditampilkan pada
bagan di bawah ini. Keluarga yang belum teridentifikasi di mana baris 2
memengaruhi perorangan (perorangan 22 dan 32) dalam garis keturunan 4 dengan
43 perorangan yang masih hidup dari Bengkala.
Tidak semua ketulian di Bengkala memiliki sebab genealogi. Diperoleh
data bahwa ada perorangan 46C dan 48C pada bagan dulunya terbukti bisa
mendengar ketika kecil, tetapi pada masa kanak-kanaknya mengalami demam
tinggi dan akhirnya mengalami ketulian permanen sampai sekarang. Ada
kemungkinan ketulian di desa ini juga disebabkan oleh infeksi (Estrada, 1997).
Penelitian ini menduga 46C dan 48C adalah variasi dari DFNB3, sehingga dua
individu tersebut dikeluarkan dari pemetaan aslinya (Friedman, dkk., 1995).
31
Ketulian nonsindromik pada dua garis keluarga dari India yang tidak saling
berhubungan, M21 dan I-1924, juga dikaitkan pada wilayah pemetaan DFNB3.
Dari hasil penelitian ini diperkirakan bahwa gen DFNB3 ini kemungkinan
berkontribusi bagi tuli-bisu secara herediter di dunia.
Sehubungan dengan pernyataan bahwa kedua orangtua yang tuli-bisu di
Bengkala selalu memiliki anak-anak yang tuli-bisu (Winata, dkk., 1995), ada tiga
perkecualian di Bengkala. Perkecualian yang pertama adalah sebuah persoalan
nonpaternal, sebagaimana diturunkan oleh tanda-tanda genotip, dan oleh
karenanya tidak ditampilkan pada bagan berikut ini.
32
Penjelasan gambar: Genealogi keluarga-keluarga dengan individu tuli-bisu dari Bengkala. Simbol yang dihitamkan menunjukkan bahwa individu tersebut tuli-bisu permanen, simbol yang tidak dihitamkan menandakan individu yang
memiliki pendengaran, dan simbol yang digaris-garis (untuk warga Bengkala 46C dan 48C) menunjukkan bahwa terjadi
karena penyakit dan bukan keturunan. Sebuah titik dibawah simbol menandakan bahwa genomik DNA diambil dari orang itu. Sebuah tanda bintang di samping kanan nomor identifikasi subjek menunjukkan bahwa orang tersebut atau orang
tuanya bukan berasal dari Bengkala. Kecuali pada individu 22 dan 32, yang homozygous untuk halotip DFNB3, dan
orang-orang tuli-bisu dari berbagai desa lainnya di Bali (subjek 179*, 205* dan 5494*), ada hubungan keluarga di antara semua individu tuli-bisu lainnya di Bengkala.
Sumber: The American Journal of Human Genetics (1998, Vol. 62, h. 905)
33
Dua perkecualian yang lain, tampak menjadi contoh hasil kombinasi
genetik berhubung mereka terlibat dalam perkawinan di antara orang tuli-bisu
daari Bengkala dengan orang tuli-bisu yang baru saja pindah ke Bengkala dari
daerah lain. Beberapa dari orang tuli-bisu di Bengkala menunjukkan keinginannya
untuk memiliki anak yang normal dan menemukan bahwa dengan menikahi orang
tuli-bisu dari daerah lain dapat menghasilkan anak yang bisa mendengar. Secara
khusus, pernikahan individu, no. 125 pada bagan, dari Bengkala dengan individu
no. 5494* dari Banjar Jawa (22 km dari Bengkala) dan antara individu no. 206
dari Bengkala dan individu 205* dari Desa Banjar (45 km dari Bengkala), telah
menghasilkan anak-anak yang bisa mendengar ketika lahir. Penelitian yang telah
dilakukan oleh Liang, dkk. ini juga memiliki ranah ilmu pengetahuan yang
berbeda dengan penelitian dalam disertasi ini.
2.2 Konsep
Di bawah ini dijabarkan mengenai konsep dan hipotesis. Adapun konsep
yang penting untuk dijabarkan terkait penelitian ini ada tiga yaitu konsep kolok,
kata kolok, dan inget. Selanjutnya dijabarkan empat hipotesis yang merupakan
pedoman rumusan masalah penelitian dan ruang lingkup penelitian. Penjelasan di
dalam konsep ini diperoleh berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Kelian
Kolok Desa Bengkala, Ketut Kanta, didukung oleh penjelasan yang didapatkan
dari Kamus Bali-Indonesia-Inggris.
2.2.1 Kolok
Kolok adalah kata bahasa Bali yang digunakan untuk menyebut orang
yang tidak mampu berbicara atau bisu; kolok bermakna „bisu, tidak
34
terdengar/tidak bersuara‟. Di Desa Bengkala, sebutan ini digunakan mendahului
nama penduduk yang bisu-tuli, misalnya, Kolok Sudarma, Kolok Pindu, Kolok
Getar, Kolok Sumarni dan seterusnya. Berdasarkan Data Potensi Desa Bengkala,
tercatat ada 41 warga bisu-tuli, yang terdiri atas 15 orang laki-laki dan 26 orang
perempuan. Kata yang berasal dari bahasa Bali ini selanjutnya dipinjam dalam
penelitian ini ke dalam bahasa Indonesia untuk merujuk secara khusus kepada
orang-orang tuli-bisu di Desa Bengkala.
2.2.2 Kata Kolok
Kata Kolok (baca: /katè kolok/) berasal dari bahasa Bali, yang secara
harafiah berarti „omong tuli‟, juga dikenali sebagai Bahasa Isyarat Bengkala dan
Bahasa Isyarat Bali, adalah bahasa isyarat desa yang asli untuk dua desa tetangga
di bagian Utara Bali, Indonesia (Sutjaja, 2013: 6). Kata Kolok digunakan sebagai
istilah yang merujuk pada bahasa isyarat atau bahasa tanda yang digunakan oleh
masyarakat Desa Bengkala, baik antar sesama kolok maupun antara orang kolok
dengan orang yang normal. Kata dalam bahasa Bali juga berarti bahasa,
sedangkan kolok berarti tuli atau bisu. Jadi, kata kolok berarti bahasa orang-orang
tuli-bisu.
2.2.3 Inget
Inget juga berasal dari bahasa Bali, artinya „ingat‟. Di Desa Bengkala inget
adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada orang-orang normal.
Meskipun demikian, kata inget tidak disebut mengawali sebutan nama setiap
penduduk Desa Bengkala yang normal seperti yang diberlakukan bagi orang-
orang bisu-tuli di sana, cukup disebutkan namanya saja.
35
2.3 Landasan Teori
Sejumlah linguis dan teorinya tentang Semiotik dan Pemerolehan Makna
serta Bahasa Tanda/Isyarat (Sign Language), yang mendasari penelitian ini, diulas
pada subbab ini. Penjelasannya dibedakan menjadi tiga bagian menurut pokok
bahasan.
2.3.1 Semiotik
Di bawah ini dijabarkan tentang beberapa tokoh linguis beserta
gagasannya di bidang semiotik. Teori-teori yang ditetapkan oleh para linguis
inilah yang dijadikan landasan pemikiran dalam penelitian ini.
2.3.1.1 Teori Segitiga Semiotik
Peirce dikenal dengan teori segitiga semiotik yang adalah model segitiga
yang menggambarkan definisi tanda. Segitiga tersebut berdasarkan adanya
mediasi bahwa satu istilah terkait dengan yang lainnya melalui penghubung yang
ketiga. Terkait definisi tanda, korelasi atau pokok sudut segitiga tersebut yaitu (1)
representament (bentuk tanda), (2) interpretant (rasa), dan (3) objek (acuan).
02 rasa
01 Bentuk tanda 03 Acuan
Sumber: Martin & Ringham (2006, h. 177)
Di antara definisi-definisi tentang tanda yang menggunakan model
segitiga, rasa adalah perantara dari acuan dalam aturan standar segitiga: bentuk
tanda – rasa – acuan. Peirce menggunakan korelasi versinya dalam aturan yang
sama yang di dalam istilah yang disebut: representament – interpretant – object.
tanda
36
Meskipun demikian di dalam sistem pengelompokan versi Peirce, object terkait
dengan yang kedua, dan interpretant berhubungan dengan yang ketiga.
2.3.1.2 Teori Semiotik Sosial
Halliday (1978) dalam pengantar bukunya, Language as Social Semiotic:
The Social Interpretation of Language and Meaning, menjelaskan bahwa bahasa
muncul dalam kehidupan individual melalui sebuah pertukaran makna yang
berkesinambungan secara signifikan antara satu dengan yang lainnya. Seorang
anak menciptakan bagian dari bahasa, pertama-tama dengan lidah kanak-
kanaknya, dan kemudian dengan bahasa ibu-nya, dalam interaksi dengan
sekelompok kecil orang-orang yang membentuk pemahamannya berdasarkan
pemahaman kelompok tersebut. Dalam hal ini, bahasa merupakan sebuah hasil
dari proses sosial.
Seorang anak kecil mempelajari bahasa bersamaan dengan waktu dirinya
mempelajari hal lain melalui bahasa - yang membangun gambaran realitas
lingkungan sekitarnya dan gambaran dirinya. Pada proses ini, yang juga
merupakan proses sosial, realitas pembentukan terpisah dari pembentukan sistem
semantik di mana realitas adalah bertanda (encoded). Dalam hal ini, bahasa adalah
suatu makna potential yang dipahami bersama (shared meaning potential), baik
sebagai bagian dari pengalaman, maupun sebagai sebuah pengalaman interpretasi
intersubjektif.
Sebuah realitas sosial (atau sebuah kebudayaan) itu sendiri adalah suatu
bangunan makna – sebuah konstruksi semiotik. Dalam sudut pandang ini, bahasa
adalah salah satu dari sistem semiotik yang membentuk sebuah budaya; suatu
37
yang berbeda adalah bahasa juga dipahami sebagai sistem yang menandai untuk
banyak hal lain (meskipun tidak semua hal).
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa
merupakan semiotik sosial, yakni pemahaman bahasa di dalam sebuah konteks
sosiokultural, di mana budaya itu sendiri terinterpretasi dalam istilah semiotik
sebagai sistem informasi.
Halliday (1977: 42-43) juga menjelaskan bahwa konsep fungsi sosial
bahasa adalah sebagai sentral terhadap interpretasi bahasa sebagai sebuah sistem.
Pengorganisasian bahasa secara internal tidak bersifat kebetulan melainkan suatu
proses membentuk fungsi-fungsi bahasa yang telah berkembang dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagai makhluk sosial. Suatu bahasa dapat
diapresiasi dari sudut pandang klausa yang dianalisis dengan menunjukkan
struktur berantai menurut fungsi bahasa yakni: ideasional, interpersonal, dan
tekstual. Bahkan lebih sederhana lagi suatu bahasa dapat diformulasikan menurut
proses (proces), pelaku (participant) dan keadaan (circumstances).
2.3.2 Pengantar Linguistik Bahasa Isyarat oleh Johnston dan Schembri
(2016)
Dua Linguis Australia, Johnston dan Schembri dalam bukunya, Australian
Sign Language - An Introduction to Sign Language Linguistics (2016, 11 – 26)
memberikan pandangan umum mengenai bahasa tanda (dikenal juga dengan sign
language) adalah bahasa alami komunitas orang tuli. Pada bukunya, Johnston dan
Schembri menggunakan istilah signed language linguistics atau sign linguistics
38
mengacu kepada studi bahasa-bahasa visual-gestural yang diisyaratkan oleh
orang-orang tuli.
Di dalam buku ini dijelaskan sejarah singkat bahasa isyarat. Bahasa isyarat
mulai disebutkan dalam karya Plato pada zaman Yunani Kuno yakni dalam
bukunya yang berjudul Cratylus (360SM). Pada bukunya Plato menulis bahwa
bilamana manusia tidak bisa bersuara atau tidak memiliki lidah seperti orang tuli
dan dungu, manusia membuat isyarat dengan tangan dan kepala dan dengan
semua bagian tubuh lainnya. René Descartes berpendapat bahwa bahasa isyarat
orang-orang tuli adalah gambaran berbagai contoh bahasa-bahasa manusia yang
sesungguhnya (Rée, 1999). Pandangan yang sama digagas oleh Edward Tylor di
Inggris, Wihelm Wundt di Jerman dan Garrick Mallery di Amerika Serikat,
seperti disampaikan oleh Kendon (2004). Fischer (1995) menulis bahwa seorang
edukator, Roch-Ambroise Bébian bahkan giat mengembangkan sebuah sistem
penulisan untuk bahasa isyarat berdasarkan penemuannya sendiri yakni isyarat
dapat dianalisis menjadi berbagai komponen yang lebih kecil. Meskipun
demikian, oleh berbagai alasan, bahasa isyarat akhirnya ditolak selama masa abad
keduapuluh dan banyak dari berbagai pendapat ini yang dilupakan.
Bahasa isyarat modern diawali oleh seorang dosen di Amerika yang
normal, William Stokoe, dari Galludet College di Washington D.C. Karyanya,
Sign Language Structure dipublikasikan pada tahun 1960. Ini adalah untuk
pertama kalinya struktur bahasa isyarat Amerika (ASL) dianalisis menggunakan
metodologi linguistik, dan Stokoe telah menyakinkan bahwa ASL adalah sebuah
bahasa dengan tata bahasa dan kosakata yang berdiri sendiri di dalam Bahasa
39
Inggris. Karya ini lima tahun kemudian telah diikuti dengan sejumlah karya
lainnya yaitu Dictionary of American Sign Language on Linguistic Principles
(Stokoe, Casterline & Croneberg, 1965). Sebenarnya telah ada penelitian sebelum
Stokoe oleh Bernard Tervoort seorang Belanda. Ia menggambarkan komunikasi
bahasa isyarat yang digunakan oleh anak-anak tunarungu di sekolah St.
Michielsgestel di Belanda. Tervoort mengakui bahwa isyarat adalah bahasa
namun penelitiannya kurang berpengaruh daripada yang dilakukan kemudian oleh
Stokoe.
Meski Stokoe telah mengawali penelitian bahasa isyarat, peminat
penelitian ini terbatas di mana-mana pada zaman tersebut. Hal ini dikarenakan
lebih banyaknya peneliti yang berpendapat bahwa isyarat bukan bahasa sejati dan
mempertanyakan nilai dari penelitian ini (Maher, 1996). Pandangan ini berubah
pada tahun 1970an. Diawali oleh Klima dan Bellugi dari Salk Institute yang
meneliti di bidang Biologi. Klima dan Bellugi berpandangan bahwa penelitian
tentang bahasa manusia belumlah lengkap tanpa penelitian terhadap komunikasi
visual-gestur komunitas tunarungu. Hal lain yang dilakukan Klima dan Bellugi
seperti diulas oleh Emmory dan Lane (2000) adalah melatih seluruh generasi
peneliti bahasa isyarat komunitas tunarungu maupun komunitas normal di
laboratorium bahasa isyarat milik mereka di San Diego. Demikianlah akhirnya
pengetahuan tentang ASL tersebar luas ke berbagai negara di dunia pada tahun
1970an. Selanjutnya di masa yang sama juga dimulai pengembangan ilmu bahasa
isyarat di Inggris dan Eropa. Pada tahun 1980an, Australia memulai penelitian
bahasa isyarat yang disebut Auslan dengan karya dari Trevor Johnston. Karya
40
pertama Johnston tentang Auslan yang dilengkapi dengan gambar sketsa dan
sebuah kamus (1987a, 1987b), serta sebuah pedoman pengajaran Auslan bagi
pengisyarat (normal) yang menjadikan isyarat sebagai bahasa kedua. Johnston
melanjutkan penelitiannya menjadi disertasi yang pertama tentang Auslan (1989a)
dan sebuah kamus Auslan komprehensif yang berillustrasi (1989b).
Sejak tahun 1980an, penelitian bahasa isyarat mulai menjadi bidang
penelitian internasional yang sesungguhnya. Berbagai makalah penelitan yang
muncul dari berbagai wilayah seperti Asia Selatan, Asia Tenggara, Timur Tengah,
Afrika dan Amerika Selatan. Pada tahun 2004, dalam Eighth International
Conference on Theoretical Issues in Sign Language Research di Barcelona
(Spanyol), lebih dari 25 makalah penelitian telah dipresentasikan oleh narasumber
dari berbagai negara di dunia.
Bahasa isyarat (sign language) dan gerak-gerik tubuh (gesture) serta
peniruan (mime) adalah tiga hal yang berbeda. Johnston dan Schembri
menyatakan bahwa gerak-gerik tubuh adalah istilah yang lebih luas (2016, 22).
Adam Kendon (2004) menyatakan bahwa gerak-gerik tubuh adalah tindakan
tangan, wajah dan tubuh yang disengaja dengan tujuan untuk berkomunikasi.
Gerak-gerik tubuh seringkali bertentangan dengan bahasa isyarat. Meskipun
demikian definisi dari Kendon (2004) ini jelas mencakup bahasa visual dari
komunitas tunarungu. Kendon membagi komunikasi gestural menjadi: (1) gerak
tubuh spontan (gesticulation), (2) meniru (mime), (3) menunjuk (pointing), (4)
gerak tubuh bermakna khusus (emblem), dan (5) bahasa isyarat (sign language).
41
Selanjutnya, Johnston dan Schembri menjelaskan bahwa seperti bahasa
lisan, bahasa isyarat memenuhi semua kriteria dalam definisi bahasa seperti
dinyatakan oleh Baker dan Cokely (1980): bahasa adalah sebuah sistem
komunikasi yang kompleks dengan kosakata yang terdiri dari berbagai simbol
konvensional dan aturan gramatikal yang disepakati oleh anggota suatu komunitas
dan diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang berubah seiring
waktu, dan bahasa digunakan untuk bertukar satu rangkaian berbagai gagasan,
emosi dan tujuan. Bahasa isyarat adalah bahasa alami yang tidak ditemukan oleh
satu individu. Bahasa isyarat tercipta oleh kesepakatan dari anggota suatu
komunitas dan diwariskan dari satu generasi kepada penggunanya kemudian.
Bahasa isyarat tidak membentuk sebuah bahasa universal yang digunakan oleh
orang-orang tunarungu di seluruh dunia, dan tidak juga identik dengan jenis-jenis
gerak tubuh dan perniruan yang digunakan oleh orang-orang yang bisa mendengar
(normal). Bahasa isyarat memiliki kapasitas ungkapan yang serupa dengan bahasa
lisan dan terorganisasi di dalam berbagai aturan gramatikal yang serupa. Bahasa
isyarat telah mengatur penciptaan kosakata baru dan bisa berubah seiring waktu,
dan bahasa isyarat dipelajari oleh anak-anak dan tampak diproses oleh otak
melalui cara yang serupa dengan bahasa lisan.
Bahasa isyarat memiliki beberapa ragam yaitu bahasa isyarat alami
(natural sign language), sistem isyarat artifisial (artificial sign system), abjad jari
(fingerspelling) dan sistem isyarat alami (natural sign system). Bahasa isyarat
alami digunakan oleh orang-orang tunarungu dalam komunitas tunarungu. Bahasa
isyarat alami ini tidak identik dengan bahasa lisan mayoritas dari komunitas
42
orang-orang yang mendengar. Demikian pula bahasa isyarat ini tidak identik
dengan berbagai bahasa isyarat dari yang dimiliki komunitas tunarungu lainnya.
Selanjutnya, sistem isyarat artifisial dikembangkan bertujuan khusus untuk
menggambarkan kosakata dan tata bahasa dari bahasa lisan dengan menggunakan
isyarat yang bersifat manual. Ragam yang lainnya yakni abjad jari, yang mengacu
pada penggunaan konfigurasi tangan yang menggambarkan semua huruf dalam
sistem bahasa tulisan, sehingga abjad jari berbeda-beda menurut sistem bahasa
tulisan yang digunakan di wilayah penggunanya. Ada abjad jari dengan satu
tangan seperti yang digunakan di Amerika Serikat dan ada juga yang dengan dua
tangan seperti di Australia dan di Inggris. Yang keempat adalah sistem isyarat
alami, yang merupakan perpaduan antara abjad jari, isyarat dan gerakan mulut
(mouthing).
Johnston dan Schembri membahas mengenai pengantar bahasa isyarat dari
sudut pandang linguistik dengan terperinci baik dari mikrolinguistik maupun
makrolinguistik. Analisis wacana juga masuk dalam pembahasan bahasa isyarat
ini. Dinyatakan bahwa dalam penelitiannya diamati bagaimana karakteristik teks
mencerminkan berbagai aspek situasi di mana teks tersebut digunakan, sebelum
melihat berbagai fitur-fitur khusus dari tipe-tipe wacana yang berbeda (2016,
253). Johnston dan Schembri mengutip pernyataan Matthew (1997) bahwa teks
mengacu kepada rangkaian yang koheren dari berbagai kalimat tertulis, seperti di
dalam surat, artikel atau novel. Meskipun demikian, teks digunakan untuk makna
yang lebih luas sehingga teks dapat juga mengacu kepada berbagai rangkaian
yang koheren dari berbagai kalimat lisan dan kalimat isyarat juga, seperti pada
43
percakapan, cerita dan pidato kuliah. Pernyataan lainnya yang dikutip dari Crystal
(1997) yang menyatakan bahwa studi wacana sering juga disebut studi teks.
Berangkat dari definisi ini, Johnston dan Schembri membahas tentang struktur
dan kohesi bahasa isyarat, yang adalah dua unsur penting dari wacana yang
memungkinkan pengamat wacana untuk mengenali latar belakang informasi yang
diperlukan untuk memahami berbagai teks dan mengidentifikasi siapa dan apa
yang dijelaskan dalam rangkaian panjang bahasa lisan dan isyarat.
Pemaknaan berbagai isyarat berguna untuk membedakan antara makna
leksikal dengan makna gramatikal (Matthews dalam Johnston dan Schembri,
1997). Makna leksikal utamanya terekspresi di dalam konten kata-kata dan
makna gramatikal terekspresi di dalam fungsi kata, yaitu kata benda, kata kerja,
kata sifat, dan adverb. Pada disertasi ini dibahas di antaranya mengenai makna
dan tanda dan berbagai variasi, serta homonimi, polisemi, sinonim dan antonim.
Pada disertasi ini hasil yang dijabarkan dari Kata Kolok adalah pertama,
tentang pola isyarat, makna dan tanda atau isyarat Kata Kolok, serta pemaknaan
tanda menurut kamus atau pemaknaan leksikal dalam Kata Kolok. Yang kedua
tentang variasi makna dan tanda atau isyarat dalam Kata Kolok di mana terdapat
homonimi dan polisemi. Dalam penelitian kali ini istilah homonimi disesuaikan
menjadi homosign.
2.3.3 Kata Kolok Desa Bengkala
Mengingat objek penelitian ini adalah mengenai bahasa isyarat, berikut ini
dijelaskan secara umum mengenai Kata Kolok Bengkala, yakni bahasa yang
digunakan oleh masyarakat kolok (tuli-bisu) di Desa Bengkala. Kata Kolok adalah
44
bahasa tanda atau isyarat yang lebih spesifik lagi di mana penuturnya adalah
masyarakat di sebuah desa bernama Bengkala di wilayah Bali Utara. Struktur
frasa atau penggabungan kata bahasa isyarat memiliki kemiripan dengan struktur
penggabungan frasa bahasa Inggris yakni “menerangkan-diterangkan” (modifier-
head). Sebuah frasa, terdiri atas unsur penjelas yang diikuti oleh unsur utama.
Masyarakat kolok merangkai kata-kata dalam bahasa tanda menjadi kalimat yang
diekspresikan dengan mimik serta gerak tangan dan tubuh.
Peneliti bersama anak-anak kolok Desa Bengkala (Dok. Dian)
Kata Kolok diekspresikan oleh para pengisyaratnya dengan sangat
sederhana. Berikut ini contoh yang dicoba untuk dijelaskan dengan ekspresi:
Lapar : pengisyarat menyentuh perutnya.
Makan : pengisyarat menggerakkan tangan seperti memasukkan makanan
ke dalam mulut.
Haus : pengisyarat mengelus dari dagu ke leher.
Minum : pengisyarat menggerakkan tangan seperti memegang gelas
dan minum.
Belajar, Pelajar/Mahasiswa : pengisyarat melakukan gerak tangan
seperti membuka buku dan menulis di buku tersebut.
Mengajar: pengisyarat menyatukan jemari tangan, melekukkannya
45
setengah dan kemudian menggetarkannya sedikit ke atas
dan ke bawah.
Tuli-bisu: pengisyarat menyentuh dekat telinga dengan telunjuk lalu
menggerakkan jari itu memutar ke depan.
Apabila diamati, struktur kalimat dalam bahasa kolok diawali oleh proses
dan baru diikuti oleh tujuan dan peserta/pelaku. Berikut ini contoh:
Bahasa Indonesia: Saya membeli makanan.
Actor(AC) Process (P) Goal
animate material action
Kata Kolok : membeli makanan saya
Procces (P) Goal Actor(AC)
material.action animate
Membeli: pengisyarat mengepalkan tangan kanan, lalu membuka tangan
kiri berhadapan dengan kepalan tangan kanan dan kemudian
menepukkannya satu sama lain
Makanan: menggerakkan tangan seperti memasukan makanan kedalam
mulut
Saya: pengisyarat menyentuh dada dengan tangannya
Bahasa Indonesia : Saya berkunjung ke rumah adik.
Actor(AC) Process (P) Destination
animate mat. action
Kata Kolok : (pergi) berkunjung saya (ke)adik rumah
Process (P) Actor(AC) Destination
action animate
Pergi : menggerakkan tangan kanan seperti berjalan
Berkunjung : menyentuh pipi di bawah mata dan menarik sedikit
kebawah, seolah melihat, mata agak terbelalak
46
Saya : menyentuh dada
(ke) rumah : menyatukan jemari, baik tangan kanan maupun tangan kiri,
kemudian mempertemukan ujungnya
seperti bentuk atap rumah
adik : menyatukan jemari tangan kanan lalu telapak menghadap
kebawah, dan kemudian tangan kanan digerakkan turun
Demikian pula dengan kalimat yang menggunakan unsur modalitas seperti
„sudah‟ atau „belum‟, diawali dengan proses, modalitas dan tujuan/peserta.
Bahasa Indonesia : Saya sudah makan.
Actor (AC) Modal Process
animate material.action
Kata Kolok : makan sudah saya
Procces (P) Modal Actor(AC)
material. action animate
Makan: menggerakkan tangan seperti memasukkan makanan ke dalam
mulut
Sudah: siku tangan ditekuk di sebelah dada, jemari tangan dimekarkan
dan telapak menelungkup ke bawah kemudian seketika posisi
telapak tangan dibalik menengadah ke atas
Saya: pengisyarat menyentuh dada dengan tangannya
2.4 Model Penelitian dan Penjelasannya
Adapun model penelitian dirancang sebagaimana penelitian ini
mensinergikan teori terkait dengan permasalahan penelitian sehingga diperoleh
hasil analisis. Hasil analisis ini memiliki manfaat jangka panjang yakni dapat
47
digunakan untuk penelitian selanjutnya. Berikut ini disampaikan gambar model
penelitian.
48
Berikut penjelasan tentang model penelitian ini. Langkah awal yang
dilakukan dalam penelitian ini adalah orientasi dan perumusan masalah. Penulis
telah melakukan orientasi, mempelajari lingkungan alam dan keadaan masyarakat
Desa Bengkala, berkenalan dengan para pemimpin desa dan guru pendidik di
sekolah inklusi serta memilih calon informan. Setelah memahami keadaan
masyarakat Desa Bengkala, baik kolok maupun inget, barulah ditetapkan rumusan
masalah. Sejalan dengan orientasi dan perumusan masalah, dilaksanakan juga
studi pustaka yakni membaca berbagai pustaka acuan yang relevan dengan
rumusan masalah yang dirancang. Langkah selanjutnya adalah menentukan
metode dan teknik yang digunakan untuk mengumpulkan data; digunakanlah
metode etnografi baru seperti yang dikembangkan oleh Spradley (1997).
Kemudian peneliti mulai melaksanakan proses pengumpulan data, yang ranahnya
dibatasi yakni: keagamaan, adat-istiadat dan budaya, dari masyarakat kolok dan
inget sebagai sumber data utama sehingga diperoleh rekaman aktivitas
kebahasaan masyarakat Desa Bengkala.
Setelah data rekaman terkumpul, analisis dilakukan dengan content
analysis (analisis isi) untuk menyesuaikan data mana saja yang relevan untuk
menjawab rumusan masalah. Proses analisis dan elisitasi ini menghasilkan
dokumen Kata Kolok dan penjelasannya serta makna dan tanda berkategori.
Dokumen ini selanjutnya menentukan kesimpulan dari hasil analisis data yang
memiliki manfaat akademik dan manfat sosial budaya. Demikian gambaran proses
penelitian dari awal hingga akhir.