bab ii kajian pustaka 2.1 hakikat...

22
10 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Hakikat Cerpen Sebuah karya fiksi merupakan bangunan cerita dan menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi hanya berupa kata, dan kata-kata. Dengan demikian, karya fiksi menampilkan dunia dalam kemungkinan. Kata merupakan sarana terwujudnya bangunan cerita. Selain itu, merupakan sarana pengucapan sastra. Sebuah cerpen merupakan cerita fiksi bentuk prosa yang singkat, padat, unsur-unsur ceritanya terpusat pada satu peristiwa pokok, sehingga jumlah pengembangan pelaku terbatas dan keseluruhan cerita memberikan kesan tunggal. Selanjutnya, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015: 5) menyatakan bahwa sesuai dengan namanya, cerpen secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru yang kecil‟ kemudian diartikan sebagai cerita pendek. Jika dibaca, jalan peristiwanya lebih padat, sedangkan latar maupun kilas baliknya disinggung sambil lalu saja. Di dalam cerpen hanya ditemukan sebuah peristiwa yang didukung oleh peristiwa-peristiwa kecil lainnya. Cerita pendek juga memberikan kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi. Menurut Nurgiyantoro (2015:12-14) ada beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman mengenal cerpen, yaitu sebagai berikut. a. Menurut bentuk fisiknya, cerita pendek (atau disingkat menjadi cerpen) adalah cerita yang pendek. b. Ciri dasar lain cerpen adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan kejadian yang pernah terjadi (nonfiksi) berdasarkan kenyataan yang

Upload: others

Post on 16-Nov-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Hakikat Cerpen

Sebuah karya fiksi merupakan bangunan cerita dan menampilkan sebuah

dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Wujud formal fiksi hanya berupa kata,

dan kata-kata. Dengan demikian, karya fiksi menampilkan dunia dalam

kemungkinan. Kata merupakan sarana terwujudnya bangunan cerita. Selain itu,

merupakan sarana pengucapan sastra. Sebuah cerpen merupakan cerita fiksi

bentuk prosa yang singkat, padat, unsur-unsur ceritanya terpusat pada satu

peristiwa pokok, sehingga jumlah pengembangan pelaku terbatas dan keseluruhan

cerita memberikan kesan tunggal.

Selanjutnya, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015: 5) menyatakan bahwa

sesuai dengan namanya, cerpen secara harfiah novella berarti „sebuah barang baru

yang kecil‟ kemudian diartikan sebagai cerita pendek. Jika dibaca, jalan

peristiwanya lebih padat, sedangkan latar maupun kilas baliknya disinggung

sambil lalu saja. Di dalam cerpen hanya ditemukan sebuah peristiwa yang

didukung oleh peristiwa-peristiwa kecil lainnya. Cerita pendek juga memberikan

kesan tunggal yang dominan dan memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu

situasi. Menurut Nurgiyantoro (2015:12-14) ada beberapa hal yang dapat

dijadikan pedoman mengenal cerpen, yaitu sebagai berikut.

a. Menurut bentuk fisiknya, cerita pendek (atau disingkat menjadi cerpen) adalah

cerita yang pendek.

b. Ciri dasar lain cerpen adalah sifat rekaan (fiction). Cerpen bukan penuturan

kejadian yang pernah terjadi (nonfiksi) berdasarkan kenyataan yang

11

sebenarnya. Akan tetapi, benar-benar hasil rekaan pengarang. Sumber cerita

yang ditulis berdasarkan kenyataan kehidupan.

c. Ciri cerpen yang lain adalah bersifat naratif atau penceritaan.

d. Cerpen sebagai karya fiksi dibangun oleh unsur-unsur pembangun yang sama.

e. Cerpen dibangun dari dua unsur, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Selain itu,

memiliki unsur peristiwa, plot, tema, tokoh, latar, dan sudut pandang. Karena

bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba ringkas, tidak

sampai pada detil-detil khusus yang "kurang penting" dan lebih bersifat

memperpanjang cerita.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa cerita

pendek (atau disingkat menjadi cerpen) merupakan karya fiksi yang bersifat

rekaan, naratif atau penceritaan yang serba ringkas (jalan ceritanya padat,

sedangkan latar maupun kilas baliknya disinggung sambil lalu saja). Selain itu,

dibangun oleh dua unsur, yaitu unsur intrinsik (tokoh, alur, setting, dan

penokohan) dan unsur ekstrinsik (psikologi pengarang, psikologi pembaca,

keadaan lingkungan seperti ekonomi, sosial, dan politik).

2.2 Unsur-unsur Pembangun Cerpen

Dalam karya sastra terdapat aspek yang penting untuk membangun karya

sastra, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Kedua unsur tersebut merupakan

unsur pembangun karya sastra yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Oleh

sebab itu, unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik harus dipandang sama, sehingga

peneliti tidak bisa menganggap bahwa unsur intrinsik merupakan unsur yang

12

terpenting. Akan tetapi, dalam proses menganalisis suatu cerpen diperbolehkan

memfokuskan pada unsur intrinsik tanpa mengabaikan unsur ekstrinsiknya.

Nurgiantoro (2015:30) menyatakan bahwa unsur intrinsik merupakan unsur-

unsur yang membangun karya sastra. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan suatu

teks hadir sebagai karya sastra. Unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai

jika orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah cerpen adalah unsur

yang secara langsung turut serta dalam membangun cerita. Kepaduan

antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah cerpen berwujud.

Unsur yang dimaksud, yaitu plot, latar, tokoh, dan penokohan.

a. Plot atau Alur

Setiap karya fiksi pasti menyajikan cerita. Cerita itu terdiri atas peristiwa-

peristiwa. Peristiwa-peristiwa tersebut tidak semata-mata diajarkan begitu saja,

tetapi memiliki hubungan kausalitas antara satu dengan yang lainya. Plot

merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang

menganggapnya sebagai bagian yang terpenting di antara berbagai unsur fiksi

yang lain.

Plot sering disebut sebagai alur atau jalan cerita. Cerita dalam cerpen akan

lebih menarik jika jalan cerita yang disuguhkan pengarang beruntun, peristiwa

demi peristiwa saling berurutan. Namun, tidak jarang sebuah karya fiksi membuat

pembaca kebingungan dengan alur cerita. Biasanya pengarang menceritakan

sebuah kejadian yang sudah lampau atau sudah terjadi. Hal ini biasanya disebut

dengan flashback atau alur mundur. Pengarang menceritakan kembali kejadian

yang sudah pernah terjadi.

13

Hal ini sejalan dengan apa yang ditegaskan oleh Aminuddin (2013:83)

bahwa plot atau alur dalam cerpen atau karya fiksi adalah rangkaian cerita yang

dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa, sehingga menjalin suatu cerita yang

dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Plot cerpen umumnya tunggal,

hanya terdiri atas satu urutan peristiwa yang diikuti sampai cerita berakhir (bukan

selesai, sebab banyak cerpen yang tidak berisi penyelesaian yang jelas,

penyelesaian diserahkan kepada interpretasi pembaca).

Menurut Nurgiyantoro (2015:14), urutan peristiwa dapat dimulai dari mana

saja Misalnya, dari konflik yang telah meningkat, tidak harus bermula dari

perkenalan (para tokoh dan latar). Kalaupun ada unsur perkenalan tokoh dan latar,

biasanya tidak berkepanjangan. Karena cerpen berplot tunggal, konflik yang

dibangun dan klimaks yang diperoleh pun biasanya tunggal pula.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa plot dalam

cerpen merupakan cerita yang berisi urutan kejadian. Namun, setiap kali kejadian

dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau

menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain.

b. Latar atau Setting

Karya fiksi pada dasarnya berhadapan dengan sebuah dunia yang dilengkapi

para tokoh-tokoh penghuni. Banyak permasalahan yang terdapat dalam dunia

tersebut. Namun, hal tersebut belum lengkap sebab para tokoh yang sudah

dilengkapi dengan pengalaman-pengalaman dalam menjalani kehidupan tentunya

memerlukan berbagai ruang lingkup tampat, waktu, dan sosial, sebagaimana

manusia menjalani hidupnya dalam dunia nyata.

14

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2015:302), latar atau setting disebut

juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu,

dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan.

Selain itu, juga mengacu pada pekerjaan dan cara-cara hidup tokoh sehari-hari.

Latar yang mengacu pada waktu tampak pada peristiwa sejalan, sedangkan latar

yang mengacu pada lingkungan religius, moral, intelektual, sosial, emosional

tokoh-tokohnya biasanya bersifat spiritual karena terikat dengan topik yang

dibicarakan dalam karya fiksi.

Di sisi lain, menurut Nurgiyantoro (2015:16), pelukisan latar cerita pendek

tidak memerlukan detil-detil khusus tentang keadaan latar, misalnya yang

menyangkut keadaan tempat dan sosial. Cerpen hanya memerlukan pelukisan

secara garis besar saja, atau bahkan hanya secara implisit, asal telah mampu

memberikan gambaran dan suasana tertentu yang dimaksudkan. Walau demikian,

cerita yang baik akan melukiskan detil-detil tertentu yang dipandang perlu dan

fungsional. Selain itu, tidak akan terjatuh pada pelukisan berkepanjangan yang

justru terasa membosankan dan mengurangi kadar ketegangan cerita.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa latar

memberikan pijakan cerita yang jelas. Hal ini penting untuk memberikan kesan

realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah

sungguh-sungguh ada dan terjadi. Dengan demikian, pembaca merasa

dimudahkan dalam memahami cerita.

c. Tokoh

Seperti halnya dengan unsur plot dan latar atau setting, tokoh merupakan hal

penting dalam membangun karya fiksi. Menurut Nurgiyantoro (2015:246), tokoh

15

dapat disebut dengan tulang punggung cerita yang tidak dapat dilepaskan dalam

karya fiksi. Tanpa tokoh akan menimbulkan permasalahan mengenai siapa yang

diceritakan dalam karya itu, siapa yang mengalami peristiwa demi peristiwa

dalam cerita. Oleh sebab itu, tokoh sangat penting dalam membangun karya fiksi.

Hal ini sejalan dengan pendapat Aminuddin (2013:79) bahwa tokoh adalah pelaku

yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi, sehingga peristiwa itu mampu

menjalin suatu cerita. Tokoh merupakan individu rekaan yang mengalami

peristiwa atau berlakuan dalam berbagai peristiwa dalam cerita.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tokoh

merupakan pelaku cerita (character) rekaan pengarang yang mengalami berbagai

peristiwa. Selain itu, juga memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu

seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

Menurut Nurgiyantoro (2015:246-248), tokoh dapat dibagi menurut fungsi

dalam cerita, antara lain tokoh utama (hoofdpersoon), tokoh bawahan

(nevenfiguur), dan tokoh latar (biifigur) Tokoh tidak selalu manusia, dalam karya

sastra anak terkadang tokoh digambarkan dari hewan atau benda. Setiap objek

hidup yang berperan dalam cerita, drama atau puisi adalah tokoh.

Selain itu, juga dapat dilihat berdasarkan perkembangannya dalam cerita,

yaitu melalui perubahan-perubahan watak yang terjadi dalam perjalanan cerita.

Berdasarkan perkembangan tersebut tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh bulat

dan tokoh datar. Tokoh bulat adalah tokoh kompleks dalam perkembangan lakuan

memeperlihatkan berbagai segi wataknya yang tidak sekadar hitam putih.

Kelemahan dan kekuatannya tidak ditampilkan sekaligus melainkan berangsur-

16

angsur. Tokoh pipih adalah tokoh sederhana. Tokoh ini bersifat statis, dalam

perkembangan lakuan tokoh ini sedikit atau tidak sama sekali berubah.

Pada bab ini, penulis terpusat pada analisis tokoh utama. Gambaran dan

perkembangan tokoh utama akan dianalisis sesuai dengan perjalanannya dalam

cerita, apakah tokoh tersebut termasuk tokoh bulat atau tokoh pipih.

d. Penokohan

Menurut Nurgiyantoro (2015:248) penokohan adalah cara pengarang

menampilkan tokoh. Istilah penokohan mencakup masalah siapa tokoh cerita,

bagaimana perwatakan, penempatan, dan pelukisannya dalam sebuah cerita

sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca. Penokohan

juga menunjuk pada teknik perwujudan dan pengembangan tokoh dalam sebuah

cerita.

Penggambaran atau pemunculan karakter setiap tokoh dapat ditampilkan

pengarang dengan berbagai macam cara (Aminuddin, 2013:79-81). Penjelasan itu

dapat disebutkan secara langsung, misalnya seorang yang lemah lembut, dan

dapat juga digambarkan lewat fisiknya. Misalnya, tokoh itu digambarkan

memiliki mata yang kemerah-merahan, kulitnya hitam kasar dan bibir sedikit

tebal. Selain itu, pengarang juga dapat menampilkan tokoh sebagai pelaku yang

hidup di alam mimpi, pelaku yang memiliki semangat perjuangan dalam

mempertahankan hidupnya, pelaku yang memiliki cara sesuai dengan kehidupan

manusia yang sebenarnya, maupun pelaku yang egois, kacau dan mementingkan

diri sendiri

Dengan demikian, istilah penokohan dalam sebuah karya tidak semata-mata

hanya berhubungan dengan masalah siapa tokoh cerita, masalah pemilihan jenis

17

dan perwatakan para tokoh cerita, tetapi juga bagaimana melukiskan kehadiran

dan penghadirannya secara tepat sehingga mampu menciptakan dan mendukung

tujuan artistik cerita fiksi yang bersangkutan.

2.3 Representasi

Kata representasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu representation.

Representasi bisa juga diartikan sebagai gambaran (Echols dan Shadily dalam

Rafiek, 2012:67). Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta

sebuah objek, sehingga eksplorasi sebuah makna dapat dilakukan dengan

maksimal (Ratna dalam Suparman, 2012: 8). Jika dikaitkan dengan bidang sastra,

representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap

suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai

kreator. Representasi dalam sastra muncul sehubungan dengan adanya pandangan

atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanya merupakan cermin,

gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra

dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan (mimesis).

Faruk (dalam Suparman, 2012: 10) mengungkapkan bahwa representasi

sebagai bagian dari karya sastra merupakan sebuah kombinasi antara kekuatan

fiktif dan imajinatif. Dua kekuatan ini mampu menangkap secara langsung

bangunan dunia sosial yang memang berada di luar dan melampaui dunia

pengalaman langsung, objek, serta gerak-gerik. Karya sastra dapat

merepresentasikan objek dan gerak gerik yang berbeda dari objek dan gerak-gerik

yang terdapat dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi strukturasi

18

atas objek dan gerak gerik, sastra dapat merepresentasikan persamaannya melalui

strukturasi dalam dunia sosial.

Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (dalam Suparman, 2012: 9) yang

menyatakan bahwa representasi adalah (1) penggambaran yang melambangkan

atau mengacu pada kenyataan eksternal, (2) pengungkapan ciri-ciri umum yang

universal dari alam manusia, (3) penggambaran karakteristik general dari alam

manusia yang dilihat secara subyektif oleh senimannya, (4) penghadiran bentuk-

bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta, serta dikemukakan

lewat pandangan filosofis seniman. Keempat klasifikasi yang diungkapkan oleh

Sumardjo menunjukkan bahwa selain bersifat objektif, representasi juga bersifat

subjektif. Klasifikasi satu dan dua menunjukkan bahwa representasi memiliki sifat

yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang dilihat,

dirasakan, dialami langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi tiga

dan empat menunjukkan bahwa representasi bersifat subyektif karena realitas

digambarkan secara subjektif melalui struktur mental atau struktur nalar

senimannya.

Pandangan Sumardjo tentang representasi sangat ditentukan oleh

kemampuan interpretasi sastrawan. Traine (dalam Suparman, 2012:9)

mengungkapkan tiga konsep yang menentukan kualitas interpretasi sastrawan,

yaitu ras, waktu, dan lingkungan. Struktur mental ini menyebabkan timbulnya

dunia gagasan yang masih berupa benih, selanjutnya oleh pengarang diwujudkan

dalam bentuk karya sastra. Ras dikaitkan dengan sifat-sifat suatu bangsa seperti

bentuk tubuh, suasana kejiwaan, dan tingkah laku. Waktu dikaitkan dengan jiwa

zaman. Pada zaman tertentu suatu bangsa mempunyai pola kejiwaan yang sama,

19

sehingga merupakan gambaran tertentu tentang suatu bangsa. Selanjutnya,

lingkungan merupakan letak geografis dan iklim. Tentu saja letak geografis dan

iklim akan memengaruhi kondisi masyarakat sosialnya. Kondisi masyarakat inilah

yang kemudian direpresentasikan sastrawan dalam karya sastranya.

Berdasarkan kedua pendapat tersebut, representasi lebih mudah dipahami

jika dikaitkan dengan hakikat karya sastra. Sebuah karya sastra tercipta dari

imajinasi pengarang. Imajinasi pengarang umumnya mengacu pada kehidupan

nyata, baik itu yang dialami oleh pengarang sendiri, maupun dari fenomena sosial

yang terjadi di lingkungan sekitar masyarakat. Di dalam sebuah penggambaran

imajinatif pengarang dalam sebuah karya sastra, biasanya juga terdapat

interpretasi pengarang yang disajikan dalam bentuk alur cerita (cerpen).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa representasi dalam dunia sastra

tidak sekadar penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam kurun

waktu tertentu. Akan tetapi, lebih mengarah kepada penggambaran situasi sosial

melalui proses kreatif pengarang tersebut. Posisi pengarang dalam proses

representasi fenomena sosial dalam karya sastra sangat dipengaruhi oleh ras,

waktu, serta lingkungan yang melatarbelakanginya. Dalam penelitian ini, peneliti

mengacu pada pendapat Sumardjo yang mengatakan bahwa representasi adalah

penggambaran (pencerminan) yang melambangkan kenyataan seperti yang telah

diuraikan di atas.

2.4 Konsep Maskulinitas

Maskulin adalah sifat yang melekat pada laki-laki, serta menggambarkan

keadaan yang cenderung bebas, agresif, dan tidak emosional (Dagun, 1992:3).

20

Maskulinitas juga diartikan sebagai sekumpulan karakteristik tingkah laku yang

diasosiasikan dengan anggota jenis kelamin tertentu (Tessa dalam Aisyah,

2000:56). Berdasarkan kedua pengertian tersebut maskulinitas menunjukkan suatu

kualitas yang diasosiasikan dengan laki-laki atau konsep diri (jenis kelamin) yang

memiliki karakteristik (ciri-ciri) secara khusus dikaitkan dengan sifat kelaki-

lakian. Penggunaan istilah maskulinitas menjadi lebih menarik daripada sekadar

menggunakan istilah “kepriaan” karena melibatkan karakteristik psikologis,

seperti keberanian. Hal ini tampak pada tabel berikut.

Tabel 2.1 Sifat Maskulin

Sifat ideal

maskulin

Sangat agresif

Sangat bebas

Tidak emosional

Hampir memendamkan emosi

Sangat objektif

Tidak mudah terpengaruh

Dominan

Tidak terpengaruh kemelut yang kecil

Aktif

Menggunakan logika

Orientasi dunia

Tidak mudah tersinggung

Sulit menangis

Sangat percaya diri

Tampil sebagai pemimpin

Menyukai situasi agresif

Sangat ambisi

Kasar

Riuh rendah

Tidak mudah meluapkan perasaan

Sumber: Dagun, 1992:3-4

Berdasarkan tabel di atas, laki-laki dikaitkan pada standar maskulin yang

baku. Hal ini sejalan dengan pemikiran Jung (seorang neo-freudian) mengenai

gender tradisional yang dilekatkan terhadap laki-laki (dalam Putri, 2013:12-13).

Beliau menulis “menyembunyikan sifat-sifat feminin merupakan suatu keutamaan

21

bagi laki-laki”. Lebih lanjut Bem Sex-Role inventory (BSRI) menegaskan

mengenai dimensi maskulinitas mencakup ciri-ciri sifat (1) mempertahankan

pendapat atau keyakinan sendiri, (2) berjiwa bebas atau tidak terganggu pendapat

orang, (3) berkepribadian kuat, (4) penuh kekuatan atau fisik, (5) mampu

memimpin atau punya jiwa kepemimpinan, (6) berani mengambil risiko, (7) suka

mendominasi atau menguasai, (8) punya pendirian atau berani bersikap, (9)

agresif, (10) percaya diri, (11) bersikap analitis atau melihat hubungan sebab-

akibat, (12) mudah membuat keputusan, (13) mandiri, (14) egois, (15) bersifat

kelaki-lakian, (16) berani bersaing atau berkompetisi, (17) bersikap atau bertindak

sebagai pemimpin.

Selain itu, karakteristik biologis dari laki-laki dan perempuan merupakan

dasar dari perbedaan gender yang berfokus pada bagaimana kromosom X dan Y,

serta kegiatan hormon yang juga mempengaruhi berbagai kualitas individu seperti

fungsi tubuh, pemikiran, dan suasana hati. Hubungan antara jenis kelamin dan

gender tidak benar-benar alamiah. Ann Oakley menambahkan bahwa gender

adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan (dalam

Istibsyaroh, 2008:84). Perbedaan biologis, yaitu perbedaan jenis kelamin yang

bermuara dari kodrat Tuhan, sementara gender adalah perbedaan yang bukan

kodrat Tuhan, tetapi diciptakan oleh kaum laki-laki dan perempuan, melalui

proses sosial dan budaya yang panjang.

Gender mengacu ke peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan

secara sosial. Peran tersebut berubah dari waktu ke waktu dan beragam menurut

budaya dan antarbudaya. Sebaliknya, identitas sex biologis ditentukan oleh ciri-

ciri genetika dan anatomis (dalam Istibsyaroh, 2008:84). Akan tetapi, secara

22

khusus tampak bahwa secara biologis (kromosom dan hormon otak)

mempengaruhi perkembangan, fisiologi, berpikir, dan perilaku, sehingga dapat

terlihat di mana pilihan individu dipengaruhi oleh faktor bawaan dan relatif stabil.

Salah satu fokus dari faktor biologis yang mempengaruhi kualitas individu,

yaitu kromosom. Kromosom adalah struktur genetika yang terdapat pada inti sel

manusia. Sel manusia biasanya mengandung 46 kromosom (26 pasang

kromosom). Kromosom dibedakan atas 2 tipe, yaitu tipe kromosom yang tidak

ada hubungannya dengan penentuan jenis kelamin (yang disebut sebagai autosom)

dan kromosom yang menentukan jenis kelamin individu, disebut kromosom

kelamin. Kromosom kelamin ada dua macam, yaitu X dan Y. Manusia laki-laki

mempunyai autosom 22 pasang dan sepasang kromosom kelamin XY, sedangkan

pada perempuan mempunyai 22 pasang autosom dan sepasang kromosom kelamin

XX (Dagun, 1992:6).

Kebanyakan laki-laki memiliki struktur kromosom XY karena mereka

mewarisi kromosom X dari ibu mereka dan kromosom Y dari ayah. Kebanyakan

perempuan memiliki struktur kromosom XX karena mereka mewarisi kromosom

X dari setiap orang tua (Dagun, 1992:6). Pada tahun 1996 ahli genetika

melaporkan bukti bahwa beberapa gen yang mengendalikan kecerdasan terletak

hanya pada kromosom X. Ini berarti bahwa kecerdasan laki-laki diwariskan dari

ibu mereka, sedangkan perempuan dapat mewarisi kecerdasan dari kedua orang

tuanya.

Peneliti genetik juga telah melaporkan bahwa gen yang bertanggung jawab

untuk keterampilan sosial hanya aktif pada kromosom X laki-laki (Dagun,

1992:101). Hal ini dapat menjelaskan mengapa perempuan umumnya lebih mahir

23

daripada pria saat berinteraksi dalam situasi sosial karena perempuan mewarisi

kromosom X dari kedua orang tuanya, sedangkan laki-laki mewarisi kromosom X

hanya dari ibu mereka.

Sifat yang ada pada diri manusia juga dipengaruhi oleh hubungan individu

dengan faktor-faktor lingkungannya. Dengan kata lain, sifat yang terlihat dari

individu merupakan interaksi antara gen dengan lingkungannya. Dalam hal ini,

sangat mungkin terjadi mutasi genetik, yaitu suatu perpindahan kromosom yang

diakibatkan oleh keadaan tertentu. Individu laki-laki yang mempunyai kromosom

kelamin XXY akan bersifat seperti perempuan karena terdapat kromosom X

berlebih dalam dirinya, begitu juga halnya dengan wanita. Hal ini juga akan

menjadi blueprint bagi seseorang atas perilaku yang dihasilkannya. Namun

lingkungan juga masih memiliki peranan penting dalam hal ini.

Fokus kedua dari faktor biologis adalah kegiatan hormonal yang berperan

dalam membentuk perilaku dan berkaitan dengan gender (Dagun, 1992:7). Dalam

hal ini, hormon seks mempengaruhi perkembangan otak serta tubuh. Hormon seks

adalah hormon yang dikeluarkan oleh jaringan di gonad (testis pada pria dan

ovarium pada wanita) dan juga oleh kelenjar adrenal, yang terdiri dari tiga jenis

utama, terdapat pada kedua jenis kelamin. Hanya saja berbeda jumlah dan

proporsinya antara pria dan wanita setelah remaja.

Androgen (bagian terpentingnya adalah testosteron) merupakan hormon

maskulin yang dihasilkan di testis (Dagun, 1992:9). Androgen mulai bekerja

menghasilkan perubahan fisik pada pria ketika memasuki masa remaja, misalnya

suara yang lebih mendalam dan pertumbuhan rambut di wajah, dada, dan

beberapa tempat lainnya. Testosteron juga mempengaruhi rangsangan seksual

24

pada pria dan wanita. Hormon utama laki-laki inilah yang dominan dengan

beberapa perilaku agresif (Dagun, 1992:18). Puncak siklus testosteron yang buruk

bahkan dapat menyebabkan mereka berperilaku seperti menggunakaan obat-

obatan, berperilaku kasar, dan berbagai kekerasan lainnya untuk mengekspresikan

amarah.

Di sisi lain, estrogen merupakan hormon feminin yang mengakibatkan

perubahan fisik pada wanita ketika menginjak masa remaja, seperti perkembangan

payudara dan mengalami menstruasi (Dagun, 1992:54). Progesteron sendiri

berkontribusi pada pertumbuhan dan pemeliharaan lapisan uterus dalam

menyiapkan telur yang dibuahi, di luar fungsi-fungsi lainnya. Estrogen dan

progesteron utamanya dihasilkan di ovarium. Selain itu, juga dihasilkan di testis

dan kelenjar adrenal.

Seorang pria yang mempunyai kadar hormon estrogen tinggi akan bersifat

feminin, seperti seorang wanita. Begitu juga dengan wanita yang mempunyai

kadar hormon androgen tinggi akan terlihat maskulin seperti laki-laki. Dengan

kata lain, faktor genetik ini sudah ada sejak anak dalam kandungan. Hal ini terkait

dengan tingginya kadar hormon. Hormonlah yang membuat seseorang itu menjadi

seorang pria atau wanita. Hal ini sejalan dengan pendapat Durand dan Barlow

(dalam Mahfudhotin, 2012: 28) yang mengatakan bahwa tingkat hormon

testosteron atau esterogen yang lebih tinggi pada periode kritis tertentu dalam

perkembangan dapat memaskulinkan janin perempuan atau memfemininkan janin

laki-laki. Dengan kata lain, jika perkembangan hormon dalam janin sempurna,

maka kelak akan lahir ke dunia sebagai pria sejati dan wanita tulen. Sebaliknya,

25

jika ada sesuatu yang kurang dalam proses tersebut, maka akan terlahir sebagai

pria feminin atau wanita maskulin (Dagun, 1992:8).

Meskipun hampir tidak ada peneliti membantah pengaruh biologi tentang

gender, ada kontroversi besar tentang seberapa kuat dan seberapa tetap kekuatan

biologi itu. Mereka yang memegang versi ekstrim teori biologis mempertahankan

bahwa kromosom dan program faktor biologis lainnya menentukan maskulin dan

perilaku feminin (Allan Bloom dalam Dagun, 1992:7).

2.4.1 Maskulinitas dalam Berpikir

Soemanto (dalam Kurniawan, 2013:8) mendefinisikan bahwa berpikir

mempunyai arti meletakkan hubungan antarbagian pengetahuan yang diperoleh

manusia. Adapun yang dimaksud pengetahuan di sini mencakup segala konsep,

gagasan, dan pengertian yang telah dimiliki atau diperoleh manusia. Di sisi lain,

Chulsum dan Novia (2014:534).mengatakan bahwa berpikir adalah penggunaan

akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, menemukan jalan

keluar dan menimbang-nimbang dalam hati. Berdasarkan kedua pendapat

tersebut, berpikir dapat diartikan sebagai proses yang dinamis dalam menempuh

tiga langkah berpikir, yaitu pembentukan pengertian, pembentukan pendapat dan

pembentukan keputusan.

Dalam hal ini, kegiatan hormon mempengaruhi berbagai kualitas individu

dalam berpikir. Seorang laki-laki memiliki kelebihan, seperti dominasi dalam

pekerjaan dan sebagai pemimpin. Laki-laki hanya berpikir dari dalam dirinya.

Oleh karena itu, dianggap rumit dalam berpikir, orientasi diri. Karena itu pula ia

mengalami kesulitan dalam dirinya sendiri (Dagun, 1992:192). Dalam hal ini,

laki-laki dianggap kurang memperlihatkan emosi dalam berpikir (tanpa pengaruh),

26

tetapi lebih mengedepankan rasional. Emosi diartikan sebagai perasaan yang

mendalam (Dagun, 1992:50).

Dagun (1992:3) menjelaskan bahwa maskulinitas dalam berpikir meliputi

(1) sangat objektif atau tanpa adanya pengaruh pandangan pribadi, (2) sangat

menggunakan logika, (3) terpusat atau berorientasi pada diri sendiri, (4) gengsi

lebih tinggi, dan (5) analitis atau melihat hubungan sebab-akibat. Hal ini sejalan

dengan pendapat Miladiyah (2012) yang mengatakan bahwa bagi laki-laki,

berpikir adalah diam. Tabiat pokok para laki-laki adalah perhatian pada sesuatu

yang di luar, sehingga ketika ia mengalami kesukaran, maka akan menarik diri

dan mulai berpikir secara diam. Ia berusaha memecahkan permasalahan yang

dialami. Demikianlah cara laki-laki bersikap agar telepas dari kesukaran dan

kelelahan.

Lelaki yang merasa lelah akan berusaha mencari kelegaan dengan berusaha

mendapatkan tempat yang cukup tenang, jauh dari kebisingan. Secara umum

berusaha menghindarkan diri untuk tenggelam pada perdebatan dalam bentuk

apapun. Ia tidak ingin berbicara, baik pada permasalahan yang dihadapi maupun

teman lainnya.

Hal tersebut dapat terlihat dari cara berpikirnya yang terkonsentrasi

(terpusat) pada kebutuhannya dan hanya memperhatikan dirinya saja. Selain itu,

juga berpikir secara sentratif (memusat) dengan mengaitkan satu hal dengan hal

lainnya, kemudian secara bertahap membentuk sebuah gambaran yang dapat ia

mengerti. Cara berpikir inilah yang mendasari sikap dan tindakan yang akan

ditunjukkannya. Contoh sederhana adalah saat berbelanja. Bagi lelaki yang cara

berpikirnya terkonsentrasi akan langsung membeli barang yang dibutuhkannya

27

dan mengabaikan lainnya. Contoh lainnya ketika menyelesaikan masalah

kadangkala harus satu persatu, dipikirkan secara seksama, dan harus sesuai

dengan logika.

Bagi laki-laki akan sulit sekali merubah pikirannya dalam waktu sekejab.

Jika dalam kondisi konsentrasi penuh melakukan suatu hal, maka akan sulit

baginya untuk membagi konsentrasi pada hal lainnya (Dagun, 1992:50). Interaksi

dengan dunia luar adalah pergulatan dengan dunia luar. Pergulatan yang

membutuhkan energi besar dan keharusan untuk memenangkannya dan menjadi

orang yang berada di urutan teratas.

Saat di luar rumah, berjuang dan berkorban untuk mendapatkan

kebutuhannya, laki-laki juga sangat suka berbicara. Akan tetapi, pada saat di

rumah ia menjadi pendiam karena baginya rumah bukan tempat untuk berjuang.

Rumah adalah tempat untuk beristirahat, mengistirahatkan otaknya (Dagun,

1992:68).

Akan tetapi, laki-laki juga bersedia memberikan bantuan kepada perempuan.

Tujuannya adalah untuk membuat dia merasa diperlukan. Sementara dalam dunia

kaum laki-laki, memberikan bantuan suka rela dianggap sesuatu yang tak dapat

diterima. Kadang ditafsirkan sebagai penghinaan atas sebuah ketidakmampuan

(gengsi laki-laki lebih tinggi).

2.4.2 Maskulinitas dalam Bersikap

Secara umum, sikap berarti perbuatan yang didasarkan pada pendirian

(Depdiknas dalam Suparman, 2012:11). Di sisi lain, Myers (2012:164)

menyatakan bahwa sikap adalah suatu reaksi evaluatif yang menyenangkan atau

tidak menyenangkan terhadap sesuatu atau seseorang (sering kali berakar pada

28

kepercayaan seseorang, dan muncul dalam perasaan, serta perilaku seseorang.

Sikap juga diartikan sebagai pernyataan evaluatif terhadap objek, orang, atau

peristiwa. Hal ini mencerminkan perasaan seseorang terhadap sesuatu. Sementara

itu, Gerungan (dalam Suparman, 2012:11) mengungkapkan bahwa sikap dapat

berupa sikap pandangan atau sikap perasaan, tetapi sikap tersebut disertai dengan

kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap objek itu.

Berdasarkan ketiga pendapat tersebut, bersikap adalah bagaimana seseorang

mengambil sikap atau menunjukkan reaksi atau respon terhadap sesuatu.

(Chulsum dan Novia, 2014:621). Dengan kata lain, bersikap memberikan suatu

cara yang efisien untuk menyelesaikan sesuatu (Myers, 2012:164). Ketika harus

memberikan respon secara cepat, cara untuk merasakan hal tersebut dapat

memberikan petunjuk bagaimana untuk bereaksi. Misalnya, orang yang percaya

suatu kelompok etnis tertentu adalah pemalas dan agresif mungkin merasa tidak

menyukai orang tersebut, sehingga berniat untuk berperilaku secara diskriminatif.

Setiap manusia yang normal sejak lahir telah membawa pembawaan jenis

kelamin masing-masing, laki-laki atau perempuan. Pada jenis kelamin itu terdapat

pula perbedaan sikap dan sifatnya terhadap dunia luar (Purwanto, 1988:29).

Ketika anak 10 tahun ditanya, siapakan yang lebih cerdas pria atau wanita? Ia

menjawab, pria lebih pintar karena mengerjakan sesuatu pakai pikiran, serta

mampu sukses dalam pekerjaannya. Ketika anak berusia 8 tahun, muncul sikap

toleransi pada anak karena dipengaruhi faktor biologi. Tetapi, pada usia 10 tahun

muncul perasaan cemas, cemas akan tanggapan orang tua atau teman jika

melakukan sikap salah (Dagun, 1992:23). Mereka mulai menyadari bahwa harus

29

bersikap berbeda. Selain itu, juga dapat mengetahui bahwa ciri dan kekhasan laki-

laki bukan hanya faktor biologi saja, tetapi juga faktor kepentingan sosial.

Dengan demikian, manusia tidak dilahirkan dengan sikap pandangan atau

sikap perasaan tertentu, tetapi beragam attitude itu dibentuk sepanjang

perkembangannya. Dagun (1992:3) menyatakan bahwa maskulinitas dalam

bersikap meliputi (1) tidak suka berbicara atau berbicara seperlunya, (2) sangat

percaya diri, (3) sangat terus terang atau apa adanya, (4) tidak mudah meluapkan

perasaan, (5) angkuh, yaitu memandang rendah kepada orang lain, (6)

individualistis, yaitu mementingkan diri sendiri sesuai dengan kehendaknya, dan

(7) siap bertahan terhadap situasi dan kondisi tertentu.

2.4.3 Maskulinitas dalam Bertindak

Secara umum, bertindak adalah melakukan sesuatu atau melakukan tindakan

(Chulsum dan Novia, 2014:663). Dalam hal ini, kegiatan hormonal berperan

dalam membentuk perilaku atau tindakan yang berkaitan dengan gender (Dagun,

1992:7). Hormon seks adalah hormon yang dikeluarkan oleh jaringan di gonad

(testis pada pria dan ovarium pada wanita) dan juga oleh kelenjar adrenal, yang

terdiri dari tiga jenis utama, terdapat pada kedua jenis kelamin. Selain itu, juga

mempengaruhi perkembangan otak serta tubuh. Hanya saja berbeda jumlah dan

proporsinya antara pria dan wanita setelah remaja. Akan tetapi, peran gender

dalam bertindak masih terpengaruh pola pemikiran tradisional. Karakter laki-laki

digambarkan tegar, memenuhi kebutuhan sendiri, dan agresif (Dagun, 1992:20).

Pandangan ini sudah melekat dan turun temurun.

Otak lelaki memiliki bagian otak yang lebih besar dibandingkan perempuan.

Padahal, ini adalah bagian yang bertanggungjawab terhadap perilaku kasar

30

seseorang. Karena bagian ini lebih besar dan lebih aktif pada seorang lelaki, maka

tidak heran lelaki berperilaku lebih kasar dibandingkan dengan perempuan. Kalau

sedang emosi, cenderung untuk mengandalkan fisik. Selain itu, menurut Dagun

(1992:186), pada laki-laki otak yang cenderung lebih besar adalah yang kanan

karena sisi bagian kanan lebih memberi respon aktif pada hormon seks.

Dagun (1992:3) menyatakan bahwa maskulinitas dalam bertindak meliputi

(1) suka mendominasi atau berkuasa, (2) bertindak sebagai pemimpin, (3)

bersedia menanggung risiko, (4) bersedia mengambil keputusan, (5) mampu

memenuhi kebutuhan sendiri, dan (6) berambisi. Berdasarkan pemapamaran

mengenai ciri-ciri dan karakteristik maskulin (berpikir, bersikap, dan bertindak),

maka dapat diklasifikasikan dalam tema sebagai berikut.

Tabel 2.2 Dikotomi Maskulin Berdasarkan Tema

Tema Maskulin Keterangan

Afeksi (emosi) Tidak emosional

Hampir memendamkan emosi

Tidak terpengaruh kemelut

kecil

Tidak mudah tersinggung

Sulit menangis

Maskulin digambarkan

sebagai makhluk yang

miskin afeksi, cenderung

menutup diri dari berbagai

bentuk afeksi.

Kognisi

(pikiran)

Memakai logika

Objektif (tidak mudah

terpengaruh atau melihat

keadaan sebenarnya)

Terpusat atau berorientasi pada

diri

Gengsi lebih tinggi

Maskulin ditonjolkan

sebagai sosok yang

analitis, rasional Mudah

membuat keputusan.

Sikap Tidak suka berbicara

Sangat percaya diri

Sangat terus terang

Tidak mudah meluapkan

perasaan

Angkuh

Individualistis

Siap bertahan

Ciri dan kekhasan laki-

laki bukan hanya

dipengaruhi faktor biologi

saja, tetapi juga faktor

kepentingan sosial.

31

Konasi

(tindakan)

Kasar

Agresif

Aktif

Suka mendominasi

Berani bersaing atau

berkompetisi

Bertindak sebagai pemimpin

Bersedia menanggung risiko

Bersedia mengambil keputusan

Mampu memenuhi kebutuhan

sendiri

Berambisi

Dalam bertindak maskulin

dipengaruhi oleh hormon

dan pemikiran tradisional

(laki-laki lebih dominan).

Pekerjaan Orientasi dunia Maskulin mendominasi

pada ranah publik karena

digambarkan memiliki

fisik yang besar, agresif,

dominan, kuat, rasional,

sebagai pelindung,

mencari nafkah, dan

sebagai kepala rumah

tangga.

Sumber: Dagun (dalam Putri, 2013:14)