bab ii flebitis mau ambik bayar dulu
DESCRIPTION
okTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Terapi Cairan Intravena
2.1.1 Pengertian
Terapi cairan intravena merupakan pemberian cairan untuk penggantian
cairan, pemberian obat, dan penyediaan nutrien jika tidak ada pemberian dengan
cara lain (Smeltzer & Bare, 2001).
Terapi intravena adalah salah satu cara atau bagian dari pengobatan untuk
memasukkan obat atau vitamin kedalam tubuh pasien (Darmawan, 2008).
Terapi intravena adalah memasukkan jarum atau kanula kedalam vena
(pembuluh balik) untuk dilewati cairan infuse/pengobatan, dengan tujuan agar
sejumlah cairan atau obat dapat masuk kedalam tubuh melalui vena dalam jangka
waktu tertentu (Lukman, 2007).
Pemberian cairan intravena yaitu memasukkan cairan atau obat langsung
kedalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan
menggunakan infuse set (Potter dkk, 2005).
2.2.2 Tujuan
Menurut Hidayat (2008), tujuan utama terapi intravena adalah
mempertahankan atau mengganti cairan tubuh yang mengandung air, elektrolit,
vitamin, protein, lemak dan kalori yang tidak dapat dipertahankan melalui oral,
mengoreksi dan mencegah gangguan cairan dan elektrolit, memperbaiki
keseimbangan asam basa, memberikan transfusi darah, menyediakan medium
untuk pemberian obat intravena, dan membantun pemberian nutrisi parenteral.
7
8
2.2.3 Keuntungan dan Kerugian
Menurut Perry dan Potter (2005), keuntungan dan kerugian terapi
intravena adalah:
1. Keuntungan
Keuntungan terapi intravena antara lain : efek teraupetik segera dapat tercapai
karena penghantaran obat ke tempat target berlangsung cepat, absorpsi total
memungkinkan dosis obat lebih tepat dan terapi lebih dapat diandalkan,
kecepatan pemberian dapat dikontrol sehingga efek teraupetik dapat
dipertahankan maupun dimodifikas, rasa sakit dan iritasi obat-obat tertentu
jika diberikan intramuscular atau subkutan dapat dihindari, sesuai untuk obat
yang tidak dapat diabsorpsi dengan ruta lain karena molekul yang besar,
iritasi atau ketidakstabilan dalam traktus gastrointestinalis.
2. Kerugian
Kerugian terapi intravena adalah tidak bisa dilakukan “drug recall” dan
mengubah aksi obat tersebut sehingga resiko toksisitas dan sensivitas tinggi,
kontrol pemberian yang tidak baik bisa menyebabkan “speed shock” dan
komplikasi tambahan dapat timbul, yaitu: kontaminasi mikroba melalui titik
akses ke sirkulasi dalam periode tertentu, iritasi vascular, misalnya flebitis
kimia, dan inkompabilitas obat dan interaksi dari berbagai obat tambahan.
2.2.4 Lokasi Pemasangan Terapi Intravena
Menurut Potter dan Perry (2005), tempat atau lokasi vena perifer yang
sering digunakan pada pemasangan infus adalah vena supervisial atau perifer
kutan terletak didalam fasia subkutan dan merupakan akses paling mudah untuk
9
terapi intravena.Daerah tempat imfus yang memungkinkan adalah permukaan
dorsal tangan (vena supervisial dorsalis, vena basalika, vena sefalika), lengan
bagian dalam (vena basalika, vena sefalika, vena kubital median, vena median
lengan bawah, dan vena radialis), permukaan dorsal (vena safena magna, ramus
dorsalis).
Menurut Dougherty, dkk (2010), pemilihan lokasi pemasangan terapi
intravena mempertimbangkan beberapa faktor yaitu:
1. Umur pasien: misalnya pada anak kecil, pemilihan sisi adalah sangat penting
dan mempengaruhi beberapa lama intravena terakhir.
2. Prosedur yang diantisipasi: misalnya jika pasien harus menerima jenis terapi
tertentu atau mengalami beberapa prosedur seperti pembedahan, pilih sisi
yang tidak terpengaruh oleh apapun.
3. Aktivitas pasien: misalnya gelisah, bergerak, tak bergerak, perubahan tingkat
kesadaran.
4. Jenis intravena: jenis larutan dan obat-obatan yang akan diberikan sering
memaksa tempat-tempat yang optimum (misalnya hiperalimentasi adalah
sangat mengiritasi vena-vena perifer).
5. Durasi terapi intravena: terapi jangka panjang memerlukan pengukuran untuk
memelihara vena, pilih vena yang akurat dan baik, rotasi sisi dengan hati-hati,
rotasi sisi fungsi dari distal ke proksimal (misalnya mulai ditangan dan
pindah ke lengan).
10
6. Ketersediaan vena perifer bila sangat sedikit vena yang ada, pemilihan sisi
dan rotasi yang berhati-hati menjadi sangat penting, jika sedikit vena
pengganti.
7. Terapi intravena sebelumnya: flebitis sebelumnya membuat vena menjadi
tidak baik untuk digunakan, kemoterapi sering membuat vena menjadi buruk
(misalnya mudah pecah atau sklerosis).
8. Pembedahan sebelumnya: jangan gunakan ekstremitas yang terkena pada
pasien dengan kelenjar limfe yang telah diangkat (misalnya pasien
mastektomi) tanpa izin dari dokter.
9. Sakit sebelumnya: jangan gunakan ekstremitas yang sakit pada pasien stroke.
10. Kesukaan pasien: jika mungkin, pertimbangkan kesukaan pasien alami untuk
sebelah kiri atau kanan dan juga sisi.
2.2.5 Jenis-Jenis Larutan Intravena
Berdasarkan osmolalitasnya, menurut Potter dan Perry (2005), cairan
intravena (infuse) dibagi menjadi 3, yaitu:
1. Cairan bersifat isotonis: osmolaritas (tingkat kepekatan) cairannya mendekati
serum (bagian cair dari komponen darah) sehingga terus berada didalam
pembuluh darah. Bermanfaat pada pasien yang mengalami hipovolemi
(kekurangan cairan tubuh, sehingga tekanan darah terus menurun). Memiliki
resiko terjadinya overload (kelebihan cairan), khususnya pada penyakit gagal
jantung dan hipertensi. Contohnya adalah cairan Ringer-Laktat (RL), dan
normal salin/larutan garam fisiologis (NaCl 0,9%).
11
2. Cairan bersifat hipotonis: osmolaritasnya lebih rendah dibandingkan serum
(konsentrasi ion Na+ lebih rendah dibandingkan serum), sehingga larut dalam
serum, dan menurunkan osmolaritas serum. Maka cairan ditarik dalam
pembuluh darah kejaringan sekitarnya (prinsip cairan berpindah dari
osmolaritas rendah ke osmolaritas tinggi), sampai akhirnya mengisi sel-sel
yang dituju. Digunakan pada keadaan sel mengalami dehidrasi, misalnya pada
pasien cuci darah (dialysis) dalam terapi diuretic, juga pada pasien
hiperglikemia (kadar gula darah tinggi) dan ketoasidosis daibetik. Komplikasi
yang membahayakan adalah perpindahan tiba-tiba cairan dari dalam
pembuluh darah ke sel, menyebabkan kolaps kardiovaskular dan peningkatan
tekanan intracranial (dalam otak) pada beberapa orang.
Contohnya adalah NaCl 45% dan Dekstrosa 2,5%.
3. Cairan bersifat hipertonis: osmolaritasnya lebih tinggi dibandingkan serum,
sehingga menarik cairan dan elektrolit dari jaringan dan sel ke dalam
pembuluh darah. Mampu menstabilkan tekanan darah, meningkatkan
produksi urin, dan mengurangi edema (bengkak). Penggunaannya
kontradiktif dengan cairtan hipotonik. Misalnya dektrose 5%, NaCl 45%
hipertonik, dekstrose 5%+ringer-lactat
12
2.2.6 Komplikasi Pemasangan Terapi Intravena
Menurut Hinlay (2006), komplikasi dari pemasangan infus, yaitu:
1. Flebitis
Inflamasi vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Kondisi
ini dikarakteristikan dengan adanya daerah yang memerah dan hangat
disekitar daerah insersi/penusukan atau sepanjang vena, dan pembengkakan.
2. Infiltrasi
Infiltrasi terjadi ketika cairan IV memasuki ruang subkutan di sekeliling
tempat fungsi vena. Infiltrasi ditunjukan dengan adanya pembengkakan
(akibat peningkatan cairan di jaringan), palor (disebabkan oleh sirkulasi yang
menurun) di sekitar area imsersi, ketidaknyamanan dan penurunan kecepatan
aliran secara nyata.
Infiltrasi mudah dikenali jika tempat penusukan lebih besar daripada tempat
yang sama di ekstremitas yang berlawanan. Suatu cara yang dipercaya untuk
memastikan infiltrasi adalah dengan memasang torniket diatas atau di daerah
proksimal dari tempat pemasangan infuse dan mengencangkan torniket
tersebut secukupnya untuk mengentikan aliran vena. Jika infuse tetap menetes
meskipun ada obstruksi vena, berarti terjadi infiltrasi.
3. Iritasi vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri selama diinfus, kemerahan pada kulit diatas
area insersi. Iritasi vena bisa terjadi karena cairan dengan pH tinggi, pH
rendah atau osmolaritas yang tinggi (misalnya: phenytoin, vancomycin,
eritromicyn dan nafciilin).
13
4. Hematoma
Hematoma terjadi sebagai akibat kebocoran darah ke jaringan disekitar area
insersi. Hal ini disebabkan oleh pecahnya dinding vena yang berlawanan
selama penusukan vena, jarum keluar vena, dan tekanan yang tidak sesuai
yang diberikan ketempat penusukan setelah jarum atau kateter dilepaskan.
Tanda dan gejala hematoma yaitu ekimosis, pembengkakan segera pada
tempat penusukan, dan kebocoran daerah pada tempat penusukan.
5. Tromboflebitis
Tromboflebitis menggambarkan adanya bekuan ditambah peradangan dalam
vena. Karakteristik tromboflebitis adalah adanya nyeri yang terlokalisasi,
kemerahan, rasa hangat, dan pembengkakan disekitar area insersi atau
sepanjang vena, imobilisasi aktivitas karena adanya rasa tidak nyaman dan
pembengkakan, kecepatan aliran yang tersendat, demam, malaise dan
leukositosis.
6. Trombosis
Trombosis ditandai dengan nyeri, kemerahan, bengkak pada vena, dan aliran
infuse berhenti. Trombosis disebabkan oleh injuri sel endotel dinding vena,
pelekatan platelet.
7. Oklusi
Oklusi ditandai dengan tidak adanya penambahan aliran ketika botol
dinaikkan, aliran balik darah diselang infus, dan tidak nyaman pada area
pemasangan/insersi. Oklusi disebabkan oleh gangguan aliran IV, aliran balik
darah ketika pasien berjalan, dan selang diklem terlalu lama.
14
8. Spasme vena
Kondisi ini ditandai dengan nyeri sepanjang vena, kulit pucat disekitar vena,
aliran berhenti meskipunklem sudah dibuka maksimal. Spasme vena bisa
disebabkan oleh pemberian darah atau cairan yang dingin, iritasi vena oleh
obat atau cairan yang mudah mengiritasi vena dan aliran yang teralu cepat.
9. Reaksi vasovagal
Digambarkan dengan klien tiba-tiba terjadi kollaps pada vena, dingin,
berkeringat, pingsan, pusing, mual dan penurunan tekanan darah. Reaksi
vasovagal bisa disebabkan oleh nyeri atau kecemasan.
10. Kerusakan syaraf, tendon dan ligamen
Kondisi ini ditandai dengan nyeri ekstrem, kebas/mati rasa, dan kontraksi
otot. Efek lambat yang bisa muncul adalah paralysis, mati rasa dan
deformitas. Kondisi ini disebabkan oleh tekhnik pemasangan yang tidak tepat
sehingga menimbulkan injuri disekitar syaraf, tendon, dan ligament.
2.2 Konsep Flebitis
2.2.1 Pengertian
Secara sederhana flebitis berarti peradangan vena (Smeltzer & Bare 2002).
Flebitis adalah reaksi inflamasi vena baik yang disebabkan oleh iritasi kimia
maupun mekanik. Flebitis berat hampir selalu diikuti bekuan darah atau
tromboflebitis (Graber, 2010).
Flebitis merupakan peradangan pada tunika intima pembuluh darah vena,
yang sering dilaporkan sebagai komplikasi pemberian terapi infus (INS, 2006).
15
2.2.2 Tanda dan Gejala
Flebitis mengacu pada temuan klinis seperti nyeri tekan pada daerah isersi
kateter intrvena, nyeri sepanjang kateter intravena, kemerahan sepanjang garis
vena yang ditusuk, pembengkakan dan timbulnya pus pada tempat penusukan, dan
ada atau tanpa adanya peningkatan suhu tubuh (Smletzer & Bare, 2002).
Flebitis berat ditandai dengan adanya peradangan dinding vena dan
biasanya disertai pembentukan bekuan darah, hal ini disebut tromboflebitis
(Smeltzer & Bare, 2002).
2.2.3 Penyebab
Menurut Darmawan (2008) penyebab flebitis adalah flebitis kimia, flebitis
mekanis dan flebitis bacterial.
1. Flebitis Kimia
a. Jenis cairan infus
Ph dan osmolaritas cairan infuse yang ekstrem selalu diikuti resiko
flebitis tinggi. Ph larutan dekstrosa berkisar antara 3-5, dimana keasaman
diperlukan untuk mencegah karamelisasi desktrosa selama proses
sterilisasi autoklaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino
dan lipid yang digunakan dalam nutrisi parenteral bersifat lebih
flebitogenik dibandingkan normal salin (Darmawan, 2008).
b. Jenis obat yang dimasukkan melalui infus
Obat suntik yang bisa menyebabkan peradangan vena yang hebat, antara
lain Kalium Klorida, Vancomicyn, Amphotrecin B, Cephalosporins,
Diazepam, Midazolam dan banyak obat kemoterapi. Larutan infus
16
dengan osmolaritas > 900 mOs m/L harus diberikan melalui vena sentral.
Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna
dalam pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap flebitis
(Darmawan, 2008).
c. Jenis kateter infus
Kateter yang terbuat dari sikikon dan poliuretan kurang bersifat iritasi
disbanding politetrafluoroetilen (Teflon) karena permukaan lebih halus,
lebih termoplastik dan lentur. Resiko tinggi untuk flebitis dimiliki kateter
yang terbuat dari polivinil klorida atau polietilen (Darmawan, 2008).
2. Flebitis Mekanis
a. Lokasi pemasangan infus
Penempatan kanula pada vena proksimal sangat dianjurkan untuk larutan
infuse denhan osmolaritas > 500 mOs m/L. Misalnya Dextrose 5%, Nacl
0.9%, produk darah, dan albumin. Hindarkan vena pada punggung tangan
jika mungkin, terutama pada pasien usia lanjut, karena akan mengganggu
kemandirian lansia (Darmawan, 2008).
b. Ukuran kanula
Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kanula. Kanula yang
dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan flebitis mekanis.
Ukuran kanula harus dipilih sesuai dengan ukruan vena dan difiksasi
dengan baik (Darmawan, 2008).
17
3. Flebitis Bakterial
a. Teknik pencucian tangan yang buruk
Infeksi dirumah sakit dapat disebabkan oleh mikroorganisme yang
didapat dari orang lain (cross infection). Oleh karena itu perlu usaha
pencegahan dan pengendalian penyakit infeksi dengan meningkatkan
perilaku cuci tangan yang baik (Darmawan, 2008).
b. Teknik aseptik tidak baik
Faktor yang paling dominan menimbulkan kejadian flebitis adalah
perawat pada saat melaksanakan pemasangan infuse tidak melaksanakan
tindakan aseptic dengan baik dan sesuai dengan standar operasional
prosedur (Darmawan, 2008).
c. Teknik pemasangan kanula yang buruk
Tindakan penatalaksanaan infus yang buruk, pasien akan terpapar pada
resiko terkena infeksi nosokomial berupa flebitis (Darmawan, 2008).
d. Lama pemasangan kanula
Kontaminasi infus dapat terjadi selama pemasangan kateter intravena
sebagai akibat dari cara kerja yang tidak sesuai prosedur serta pemakaian
yang terlalu lama. The Center for Disease Control and Prevention
menganjurkan penggantian kateter setiap 72-96 jam untuk membatasi
potensi infeksi (Darmawan, 2008).
e. Perawatan infus
Perawatan infus bertujuan untuk mempertahankan tekhnik steril,
mencegah masuknya bakteri kedalam aliran darah, pencegahan/
18
meminimalkan timbulnya infeksi, dan memantau area insersi sehingga
dapat mengurangi kejadian flebitis (Darmawan, 2008).
f. Faktor pasien
Faktor pasien yang dapat mempengaruhi angka flebitis mencakup usia,
jenis kelamin dan kondisi dasar (yaitu diabtes melitus, infeksi, luka
bakar) (Darmawan, 2008).
Berikut merupakan skala flebitis untuk menetukan derajat keparahan
flebitis.
Tabel 2.1 VIP Score (Visual Infusion Phlebitis Score) oleh Andrew Jackson
Sko
rKeadaan Area Penusukan Penilaian
0 Tempat suntikan tampak sehat Tak ada tanda flebitis
1 Salah satu dari tanda berikut jelas :
a. Nyeri area penusukan
b. Adanya eritema di area
penusukan
Mungkin tanda dini
flebitis
2 Dua dari tanda berikut jelas :
a. Nyeri area penusukan
b. Eritema
c. Pembengkakan
Stadium dini flebitis
3 Semua dari berikut jelas :
a. Nyeri sepanjang kanula
b. Eritema
Stadium moderat flebitis
19
c. Pembengkakan
4 Semua dari berikut jelas :
a. Nyeri sepanjang kanula
b. Eritema
c. Indurasi
d. Vena teraba keras
Stadium lanjut atau awal
tromboflebitis
5 Semua dari berikut jelas :
a. Nyeri sepanjang kanula
b. Eritema
c. Pembengkakan
d. Vena teraba keras
e. Pireksia
Stadium lanjut
tromboflebitis
Sumber: Infusion Nursing Society, 2006
2.2.4 Pencegahan Flebitis
Menurut Darmawan (2008), pencegahan flebitis adalah:
1. Mencegah flebitis bacterial: Pedoman ini menekankan kebersihan tangan,
teknik aseptic, perawatan daerah infuse serta antisepsis kulit.
Walaupun lebih disukai sediaan Chlorhexidine 2%, Tinctura Yodium,
Iodofor atau alcohol 70% juga bisa digunakan.
2. Selalu waspada dan jangan meremehkan teknik aseptic: Stopcock
sekalipun (yang digunakan untuk penyuntikan obat atau pemberian infuse
IV, dan pengambilan sampel darah) merupakan jalan masuk kuman yang
potensial kedalam tubuh.
20
3. Rotasi kanula: Mengganti tempat (rotasi) kanula ke lengan kontralateral
setiap hari ada 15 pasien menyebabkan bebas flebitis.
4. Balutan aseptic (aceptic dressing)
Dianjurkan aseptic dressing untuk mencegah flebitis. Kasa steril diganti
setiap 24 jam.
5. Laju pemberian
Para ahli umumnya sepakat bahwa makin lambat infuse larutan hipertonik
diberikan makin rendah resiko flebitis. Namun, ada paradigma berbeda
untuk pemberian infuse obat injeksi dengan osmolaritas tinggi.Osmolaritas
boleh mencapai 1000 mOs/mL jika durasi hanya beberapa jam. Durasi
sebaiknya kurang dari 3 jam untuk mengurangi waktu kontak campuran
yang iritatif dengan dinding vena. Ini membutuhkan kecepatan pemberian
tinggi (150-330 mL/jam. Vena perifer yang paling besar dan kateter yang
sekecil dan sependek mungkin dianjurkan untuk mencapai laju infus yang
diinginkan, dengan filter 0.45 mm. Kanula harus diangkat bila terlihat
tanda dini nyeri atau kemerahan. Infus relative cepat ini lebih relevan
dalam pemberian infuse juga sebagai jalan masuk obat, bukan terapi cairan
maintenance atau nutrisi parenteral.
6. Titrasi Keasaman
Titrasi keasaman dari suatu larutan infuse tidak pernah dipertimbangkan
dalam kejadian flebitis. Tritasi keasaman mengukur jumlah alkali yang
dibutukan untuk menetralkan pH dalam larutan infuse. Potensi flebitis dari
larutan tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrasi keasaman
21
sendiri. Bahkan pada pH larutan infus. Potensi flebitis dari larutan infuse
tidak bisa ditaksir hanya berdasarkan pH atau titrasi keasaman sendiri.
Bahkan pada pH atau titrasi keasaman sendiri.
Bahkan pada pH 4,0 larutan glukosa 10% jarang meneyebabkan perubahan
karena titrasi keasaman nya sangat rendah (0,16 mEq/L). Dengan
demikian makin rendah titrasi keasaman larutan infuse makin rendah
resiko flebitisnya.
7. Heparin dan hidrokortison
Heparin sodium, bila ditambahkan ke cairan infuse sampai kadar akhir 1
unit m/L, mengurangi masalah dan menambah waktu pasang kateter.
Resiko flebitis yang berhubungan dengan pemberian cairan tertentu (misal
kalium, klorida, lidocaine dan antimicrobial) juga dapat dikurangi dengan
pemberian aditif IV tertentu, seperti hidrokortison. Pada uji klinis dengan
pasien penyakit koroner, hidrokortison secara bermakna mengurangi
kekerapan flebitis, tetapi penggunaan heparin pada larutan yang
mengandung lipid dapat disertai dengan pembentukan endapan kalsium.
8. In-line filter
In-line filter dapat mengurangi kekerapan flebitis tetapi tidak ada data
yang mendukung efektivitasnya dalam mencegah infeksi yang terkait
dengan alat intrvaskular dan sistem infuse (Darmawan, 2008).
22
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Flebitis
1. Faktor Internal
a. Usia
Kategori usia menurut Depkes RI (2009): masa balita : 0 – 5 tahun, masa
kanak-kanak : 5 – 11 tahun, masa remaja awal : 12 – 16 tahun, masa
remaja akhir : 17 – 25 tahun, masa dewasa awal : 26 – 35 tahun, masa
dewasa akhir : 36 – 45 tahun, masa lansia awal : 46 – 55 tahun, masa
lansia akhir : 56 – 65 tahun, dan masa manula > 65 tahun.
Pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada usia lanjut (>
60 tahun) vena menjadi rapuh, tidak elastis dan mudah hilang (kolaps),
pasien anak vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat
mengakibatkan kateter bergeser dan hal ini yang menyebabkan flebitis.
b. Jenis Kelamin
Menurut Tully, et al (1981) ; Tager, et al (1993) ; Maki dan Ringer
(1991) ; Dibble, et al (1991) dalam Campbell (1998) menemukan bahwa
jenis kelamin mempunyai pengaruh terhadap kejadian flebitis, dimana
jenis kelamin perempuan meningkatkan resiko terjadinya flebitis.
c. Status gizi
Pada pasien dngan gizi buruk mempunyai vena tipis sehingga mudah
rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya kurang sehingga
jika terjadi luka mudah terkena infeksi.
Untuk menilai keadaan gizi pasien dapat menggunakan rumus Indeks
Massa Tubuh adalah: Berat badan (dalam Kg) / tinggi badan (dalam cm)
23
Kriteria penilaian :
1) Obesitas tipe 2 (>30)
2) Obesitas tipe 1 (25 s/d <30)
3) Overweight (23 s/d <25)
4) Normal (18,5 s/d <23)
5) Underweight (<18,5)
d. Stres
Tubuh berespon terhadap stres dan emosi fisik melalui adaptasi imun.
Rasa takut akan ceder tubuh dan nyeri serig terjadi pada anak-anak,
konsekuensi rasa takut ini dapat mendalam dimana anak-anak yang
mengalami rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan merasa lebih
takut terhadap nyeri dan cenderung menghindar perawatan medis, dengan
menghindari pelaksanaan pemasangan infus/berontak saat dipasang
sehingga menyebabkan flebitis karena pemasangan yang berulang dan
respn imun yang menurun.
e. Keadaan Vena
Vena yang sering mengalami pemasangan infus mudah terkena flebitis.
f. Jenis penyakit
Setiap pasien yang dirawat dirumah sakit umumnya mengalami
penurunan kekebalan tubuh baik disebabkan karena penyakitnya maupun
karena efek dari pengobatan.
Riwayat penyakit seperti pembedahan, luka bakar, gangguan kardio
vaskuler, gangguan ginjal, gangguan pencernaan, gangguan persyarafan,
24
dan juga keganasan dapat menimbulkan masalah keseimbangan cairan,
elektrolit, dan asam basa. Semua kondisi tersebut membutuhkan terapi
intravena baik sebagai terapi utama maupun sebagai akses medikasi.
Pemberian terapi intravena dapat menimbulkan resiko terjadinya infeksi,
termasuk flebitis, karena adanya portal the entry and exit yang
merupakan akses masuknya mikroorganisme kedalam tubuh jika tidak
dilakukan tindakan pencegahan yang adekuat ( Potter & Perry, 2005).
g. Kepatuhan Pasien
Kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara
pengobatan atau perilaku yang disarankan oleh dokter dan orang lain.
2. Faktor Eksternal
a. Jenis cairan (faktor kimiawi)
Osmolaritas dan Ph cairan infus yang tinggi selalu diikuti oleh resiko
flebitis. Mikropartikel yang erbentuk bila partikel obat tidak larut
sempurna selama pencampuran juga merupakan faktor kontribusi
terhadap flebitis.
b. Lokasi pemasangan (faktor mekanis)
Flebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Pada penempatan
kateter yang baik akan diperhatikan : bahan (resiko tinggi untuk flebitis
dimiliki kateter dengan bahan yang terbuat dari polivinil klorida), ukuran
kateter (ukuran kateter harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan
difiksasi dengan baik), lokasi pemasangan : Vena metakarpal, Vena
sefalika, Vena basilika, Vena sefalika mediana, Vena basilika mediana,
25
Vena antebrakial mediana (dalam pemasangan diperlukan skill yang
memadai dan pemilihan lokasi perlu diperhatikan dimana kateter yang
dipasang pada daerah lekukan sering mengakibatkan phlebitis bila pasien
banyak gerak), dan lama pemasangan.14) The Centers for Disease
Control and Intravenous Nurses Society menganjurkan penggantian
kateter secara rutin tiap 72-96 jam untuk membatasi potensi terjadinya
phlebitis.
Weinstein (2007) dalam Daugherty (2008) mengatakan bahwa vena
sefalika merupakan vena dengan ukuran besar. Berdasarkan ukuran dan
posisinya, maka vena ini dapat menjadi pilihan terbaik untuk pemberian
transfusi karena ukuran venanya siap untuk mengakomodasi kateter yang
berukuran besar, dan berdasarkan posisinya yang berada dilengan bawah.
Vena metakarpal merupakan vena yang mudah diakses dan dapat dilihat
serta di palpasi. Vena ini sangat baik untuk kanulasi karena posisi kateter
akan datar, dan vena metakarpal ini memberikan bebat alami (Weinstein
2007 dalam Daugherty 2008). Tetapi vena ini dikontraindikasikan pada
lansia karena turgor kulit sudah berkurang dan kehilangan lapisan
subkutan, sehingga membuat vena kurang stabil, vena lebih rapuh, serta
distensi vena yang menurun (Handaway 2001, dalam Daugherty 2008).
2.3 Aseptic Dressing (Faktor Bakterial)
Faktor yang berkontribusi terhadap adanya phlebitis bakterial salah
satunya adalah teknik aseptik dressing yang tidak baik. Pendeteksian dan penilain
phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik dressing. Menurut Lee
26
KE (2000), perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan
pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi kuman, sehingga
kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Daerah insersi pada
pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh,
dengan perawatan infus tiap 24 jam dapat memutus perkembangbiakan daripada
kuman (Zahra, 2010). Menurut Joanne (1998), phlebitis bisa disebabkan karena
timbulnya kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode
tertentu. Penggantian balutan yang jarang dan tidak teratur dilakukan
mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan dan pemutusan
perkembangbiakan kuman terjadi lebih lama sehingga kurang perhatian pada
gejala awal dari phlebitis