bab ii etika islam dan jawa a. konsep etika dalam...
TRANSCRIPT
15
BAB II
ETIKA ISLAM DAN JAWA
A. Konsep Etika Dalam Islam
1. Pengertian Etika
Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos ataupun ta
etika. Kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu ethos yang berarti
kebiasaan (custom), adat istiadat. Ethos lebih berarti kesusilaan, perasaan
batin atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melakukan perbuatan.1
Pengertian leksikal ini berarti bahwa etika merupakan kebiasaan yang telah
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, menyatu dengan tradisi yang
berkembang.
Pengertian etika dan moral terdapat kesamaan, namun berbeda dalam
pemakaian sehari-hari. Kalau moral dipakai untuk perbuatan yang sedang
dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.
Pengertian etika secara etimologi biasanya merujuk pada (a) analisis konsep-
konsep, seperti harus, mesti, tugas dan lain sebagainya. (b) pencarian ke
dalam moralitas atau tindakan moral, (c) pencarian kehidupan yang baik
secara moral.2 Pengertian ini berarti bahwa moral sudah menyangkut
pertimbangan tindakan baik dan buruk.
Akhlak dipadankan dengan character (karakter), bukan nature yang
biasa dipadankan dengan tabi’ah dalam bahasa Arab. Nature (tabi’ah) tidak
1 Agus Makmurtono (et.al.), Etika Filsafat Moral, Jakarta: Wirasari, 1989, hlm. 9 2 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Jakarta: Rajawali Pers, 1987, hlm. 13
16
bisa diubah tetapi kalau akhlak masih bisa diubah. Sehingga pendidikan
diperlukan dalam rangka memperbaiki atau mengubah akhlak atau character-
nya.
Etika secara etimologi juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan
tentang asas-asas akhlak (moral).3 Kata etika identik dengan perkataan moral
yang berasal dari bahasa Latin mos yang dalam bentuk jamaknya mores yang
berarti adat atau cara hidup. Pengertian etika dan moral memiliki kesamaan
tetapi berbeda dalam pemakaian sehari-hari. Moral dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk sistem pengkajian nilai-
nilai yang ada. Moral lebih cenderung terhadap hal-hal yang bersifat praktis,
sedangkan etika lebih cenderung terhadap hal-hal yang bersifat teoritis.4
Persoalan etika sudah menjadi perdebatan dan bahan pemikiran yang
sangat umum dan lama. Bahkan sebelum tercipta klasifikasi dan verifikasi
keilmuan, etika sudah menghuni alam pikiran para filosof (ahli filsafat) pada
era filsafat Yunani klasik dan berikutnya. Beberapa diantaranya adalah :
a. Sokrates menyatakan bahwa etika (moral) berhubungan erat dengan
pengetahuan manusia. Apabila manusia memiliki pengetahuan yang baik
maka ia akan memiliki sikap hidup yang penuh rasa keagamaan yang
nantinya membentuk moral yang baik atau kebajikan (arete) sehingga
akan mencapai kesempurnaan manusia sebagai manusia. Seseorang yang
memiliki etika baik akan memiliki.5
b. Plato dengan pemaknaan yang dapat dikatakan hampir sama dengan
Sokrates juga menghubungkan antara tingkah laku (etika) dengan
3 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982, hlm.
228 4 Achmad Charis Zubair, op.cit., hlm. 13 5 Asmoro Acmadi, Filsafat Umum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 47.
17
pengetahuan manusia dan bersifat intelektuil dan rasional. Dasar dari etika
Plato adalah ajarannya tentang idea. Plato membagi etika (budi) menjadi
dua kelompok yakni budi filosofi yang berasal atau timbul dari
pengetahuan dan pengertian dan budi biasa yang muncul dan terbawa oleh
kebiasaan yang dilakukan seseorang dan seringkali tidak didasarkan pada
keyakinan, melainkan pada “kebiasaan” yang berlaku.6
c. Aristoteles menyandarkan makna etika dengan hukum kesusilaan di mana
manusia dalam mencapai tujuan tertinggi dalam kehidupan (yakni
kebahagiaan) dimulai dari sempurnanya budi pekerti yang berlandaskan
pikiran murni.7 Kebahagiaan menurut Aristoteles adalah kehidupan yang
tidak menyusahkan atau menjadi beban serta dalam meraih kebahagiaan
juga tidak menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain.
Pemaknaan etika dari ketiga tokoh filsafat Yunani Klasik tersebut
secara umum mendefinisikan dan menghubungkan antara etika dan akal yakni
sebagai persatuan antara pola pikir yang baik (tinggi) untuk mewujudkan
tingkah laku yang baik.
Sedangkan pengertian etika secara terminologi dalam lingkup dunia
pemikiran modern dapat dijabarkan dalam beberapa pendapat tokoh di bawah
ini :
a. Prof. Dr. Ahmad Amin menggunakan pendekatan aksiologi (nilai) dalam
memberikan penjelasan mengenai etika sebagai suatu ilmu yang
menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya
dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh
6 Muhammad Hatta, Alam Pemikiran Yunani, Jakarta : 1982, hlm. 106-107 7 Asmoro Achmadi, op. cit., hlm. 56.
18
manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk
melakukan apa yang harus diperbuat.8
b. William Lillie mendefinisikan etika sebagai pengetahuan yang normatif
mengenai perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari di dalam
masyarakat.9
c. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa etika merupakan ilmu yang
mempelajari tentang segala kebaikan dan keburukan di dalam manusia
semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang
dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuan
yang dapat merupakan perbuatan.10
d. Ensiklopedi Indonesia menjelaskan etika sebagai ilmu tentang kesusilaan
yang menentukan bagaimana sepantasnya manusia hidup dalam
masyarakat, apa yang baik dan apa yang buruk, segala ucapan harus
senantiasa berdasarkan hasil pemeriksaan tentang keadaan hidup dalam
arti seluas-luasnya.11
Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan
bahwa etika merupakan sistem ilmu yang mempelajari tingkah laku dan baik-
buruk perbuatan manusia.
2. Pandangan Islam tentang Etika
Ibn Maskaway berpendapat bahwa etika manusia berkaitan erat
dengan eskatologi (pandangan hidup setelah mati). Kematian menggambarkan
8 Ahmad Amin, al-Akhlak (terj. Farid Ma’ruf), Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 14 9 Siti Taurat Ali (et.al.), Pengantar Etika Islam, Solo: Ramadhani, 1990, hlm. 7 10 Achmad Charis Zubair, op.cit., hlm. 15 11 Th. Susilastuti Suyoko, “Etika Hasan Shadily” dalam Ensiklopedi Indonesia, Jakarta:
Ichtiar Baru van Hoeve, 1982, hlm. 973
19
kesia-siaan kehidupan di dunia, di zaman orang yang berakal tidak akan
pernah terlena dengan kenikmatan duniawi. Tuhan memberikan kasih sayang
terhadap siapa saja yang melihat dan memahami serta mempersiapkan diri
untuk menghadapi kematian.12 Pendekatan ini berarti bahwa tujuan perbuatan
manusia harus dikembalikan kepada Allah karena akan ada
pertanggungjawaban pada Hari Kemudian setelah kematian (Q.S. al-Isra’ :
13-14).
Ajaran Islam memiliki konsepsi tentang etika yang diistilahkan dengan
akhlak, dimana dari aspek etimologi sendiri kata tersebut memiliki kaitan
dengan khaliq (Pencipta) dan makhluq. Etika dalam Islam memiliki
pengertian yang sepadan dengan akhlak. Akhlak (bahasa Arab) adalah bentuk
jamak dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabi’at. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan
khalqun, yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq
(Pencipta) dan makhluq (yang diciptakan). Perumusan pengertian akhlak
timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara
khaliq dengan makhluq.13 Etika dilihat dari segi bahasa, (akhlak) memiliki
hubungan yang erat dengan kejadian penciptaan (khalqun), Pencipta (khaliq)
dan yang diciptakan (makhluq) karena pada dasarnya etika atau akhlak
menjelaskan hubungan tersebut.14 Perkataan ini bersumber dari ayat yang
tercantum dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4:
كنإو ىلعل قلخ ميظع
12 Majid Fakhry, Etika Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (judul asli: Ethical Theories in
Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi), 1996, hlm. 70 13 Hamzah Yaqub, Etika Islam, Bandung: CV. Diponegoro, cet. 4, 1988, hlm. 11-12 14 Siti Taurat Ali (et.al.), op.cit., hlm. 32
20
Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam: 4)15
Tuntunan etika Islam terhadap manusia, sehingga manusia memahami,
membedakan, memisahkan yang baik dari yang buruk, mengamalkan yang
baik dan menjauhi yang buruk semata-mata mengharap keridhaan Allah. Etika
Islam akan benar-benar dilaksanakan dengan baik apabila dalam diri manusia
timbul atau ada kesadaran yang baik dan yang buruk atau dikatakan pula
dengan kesadaran moral (kesadaran etis). Umat Islam harus komitmen
kepada kebenaran yang diajarkan oleh Islam, mempelajari Islam dengan
sungguh-sungguh serta mendekatkannya dengan alam nyata. Mengamalkan
baik saat sendirian maupun di tengah-tengah orang banyak. Mengetahui apa
yang menjadi hak dan kewajibannya. Semua itu dilandasi dengan kekuatan
iman dan bersabar dalam Islam.16
Muhammad 'Abdullah Draz dalam bukunya Dustural-Akhlak fi al-
Islam membagi ruang lingkup Akhlak kepada lima bagian:17
a. Akhlak Pribadi (al-Akhlak al-fardiyah). Terdiri dari: (a) yang
diperintahkan (al-awamir), (b) yang dilarang (an-na-wahi), (c) yang
dibolehkan (al-mubahat) dan (d) akhlak dalam keadaan darurat (al-
mukhalafah bi al-idhthirar).
b. Akhlak Berkeluarga (al-Akhlak al-usariyah}. Terdiri dari: (a) kewajiban
timbal balik orang tua dan anak (wajibat nahwa. al-ushul -wa al-furu’),
(b) kewajiban suami isteri (wajibat baina al-azwaj) dan (c) kewajiban
terhadap karib kerabat {wajibat naha al-aqaribh).
15 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara
Penterjemah al-Qur’an, Pelita V, Jakarta: CV. Indah Press, 1993/1994, hlm. 960 16 Siti Taurat Ali (et.al.), op.cit., hlm. 20 17 Muhammad Abdullah Draz, Dustur al-Akhlak Fi al-Qur’an, Beirut: Muassasah ar-Risalah
Kuawait dan Dar al-Buhuts al-ilmiyah, 1973, hlm. 687-771.
21
c. Akhlak Bermasyarakat (al-Akhlak al-ijtima'iyyah). Terdiri dari: (a) yang
dilarang (al-mabzhurat), (b) yang diperintahkan (al-awamir) dan (c)
kaidah-kaidah adab (qa'wa'idal-adab).
d. Akhlak Bernegara (akhlak ad-daulah}. Terdiri dari: (a) hubungan antara
pemimpin dan rakyat (al-'alaqah baina ar-rais wa as-sya'b), dan (b)
hubungan luar negeri (al-'alaqatal-kharijiyyah).
e. Akhlak Beragama (al-Akhlak ad-diniyyah).
Pendapat di atas mempunyai ruang lingkup yang luas, mencakup
seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah Swt. maupun
secara horisontal sesama makhluk-Nya.
Etika dalam pengertian akhlak, dapat dibagi dalam beberapa macam,
yaitu:
a. Akhlak terhadap Allah
Alam dan seisinya ini mempunyai pencipta dan pemelihara yang
diyakini, yakni Allah Swt. Jadi Allah yang memberi rahmat dan
menurunkan adzab kepada siapa saja yang dikehendakinya, manusia wajib
taat dan beribadah hanya kepadanya sebagai wujud rasa terima kasih
terhadap dengan segala yang dianugerahkan Allah kepada manusia.
Manifestasi dari pengabdian manusia terhadap Allah adalah sebagai
berikut:
1) Taqwa
Orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah
berdasarkan kesadaran, mengerjakan apa yang diperintahkannya,
menjauhi larangannya, dan takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa.
22
Orang yang bertaqwa akan selalu membentengi diri dari kejahatan,
memelihara diri agar tidak perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah,
bertanggung jawab terhadap perbuatan dan tingkah lakunya. Serta
memenuhi kewajibannya.18 Firman Allah dalam surat Ali Imran 102:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya; dan janganlah kamu sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran : 102)19
2) Syukur
Bersyukur artinya merasa senang dan berterima kasih karena
memperoleh nikmat darinya. Kemudian manambah semangat untuk
beribadah kepanya, hatinya bertambah iman dan semakin banyak
berdzikir kepada Allah.20
Syukur wajib bagi orang yang mendapatkan nikmat, sebagai
wujud dari iman. Kondisi yang mendorongnya adalah kegembiraan
dalam suka cita terhadap nikmat-nikmat Allah SWT. Kegembiraan
tersebut merupakan manifestasi syukur itu sendiri, karena
diperuntukkan bagi substansinya. Syukur tersebut merupakan buah
iman.21 Dan Allah tidak pernah berhenti memberikan nikamt kepada
18 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000,
hlm. 361 19 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 20 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Bandung: Diponrgoro, 1993, Cet. 6, hlm. 143 21 Imam Al-Ghazali, Raudloh : Taman Jiwa Kaum Sufi, terj. Muhammad Lukman Hakim,
Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 139
23
makhluknya, maka sudah sepantasnya manusia selalu bersyukur atas
nikmat apapun yang diberikan Allah.
3) Tawakal
Tawakal yaitu pencurahan diri atas segala pesolan kepada
Allah dan dengan keyakinan atas kekuasaan-Nya dapat memenuhi
juga dengan menampakkan sebab-sebab untuk mendapatkan sesuatu
yang dimaksud (ikhtiar) serta melepaskan diri dari bergantung dengan
sebab-sebab itu, dan bergantung pada yang menjadikan sebab-sebab
itu, dialah Allah SWT.22
Jadi orang yang bertawakal adalah orang yang menyerahkan
segala sesuatu hanya kepada Allah setelah adanya usaha yang
maksimal dari orang tersebut. Faktor pendorong tawakal adalah
keteguhan kalbu kepada Allah Swt. dalam ketentramannya. Orang
yang tawakal tidak pernah mempunyai ruang sempit, karena segalanya
dihubungkan dengan Allah. Orang yang tawakal harus menghindari
hal-hal yang dilarang, dengan kemuliannya ia menyerahkan diri
dengan cara melaksanakan apa yang diperintahkannya.23
4) Ikhlas
Ikhlas yaitu kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah
Swt. yang disertai dengan rasa ikhlas dan pasrah hanya kepada Allah
dan tidak boleh beribadah kepada apa dan siapapun selain Allah.
Ikhlas adalah ruh suatu amal kebajikan, amal ibadah yang
ditunaikan seseorang tidak disertai dengan rasa ikhlas, maka amal
22 Abdul Halim Al-Balali, Madrasah Pendidikan Jiwa, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 53 23 Imam Al-Ghazali, Raudloh : Taman Jiwa Kaum Sufi, op.cit., hlm. 141
24
yang demikian amal yang tidak mempunyai ruh.24 Dan amal yang
tidak mempunyai ruh adalah amal yang sia-sia yang tidak akan
mendapatkan pahala dari Allah.
5) Taubat
Manusia tidak akan pernah lepas dari salah dan dosa, untuk itu
ketika seseorang telah melakukan perbuatan dosa, hendaklah dia
segera sadar dan memohon ampunan kepada Allah, dengan taubat
yang sebenar-benarnya.
Betapa kecilnya manusia tidak mempunyai kekuatan dan
kekuasan untuk tidak bergantung kepadanya. Sudah sepantasnya
manusia mengabdikan hidupnya hanya untuk kepada Allah semata.
Titik pangkal akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran
bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Karena Allah memiliki sifat
terpuji, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan menjangkau
hakikat-Nya.25
b. Akhlak Terhadap Diri Sendiri
Akhlak terhadap diri sendiri yang dimaksud adalah bagaimana
seseorang menjaga dirinya (jiwa dan raga) dari perbuatan yang dapat
menjerumuskan dirinya kepada perbuatan dosa atau bahkan perbuatan itu
berpengaruh terhadap orang lain. Akhlak terhadap diri sendiri itu meliputi:
24 Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 1993, Cet. 4,
hlm. 139 25 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 261
25
1) Jujur
Jujur artinya menyatakan sesuatu apa adanya. Kejujuran itu
menurut keseimbangan antara lidah dan hati, antara lahir dan batin.26
Sifat jujur akan mengalahkan sifat sombong yang mengarah kepada
kebohongan. Seorang muslim yang benar-benar mendirikan sholat dia
akan selalu menghiasi dirinya dengan kejujuran di dalam perkataan,
niat, keinginan, cita-cita dan perbuatannya, karena dalam Islam
kejujuran menempati derajat dan martabat yang mulia di sisi Allah dan
merupakan keutamaan akhlak.
2) Disiplin
Displin artinya taat kepada tata tertib, dalam kehidupan pribadi
diperlukan tata tertib yang mengikat diri agar dapat memanfaatkan
waktu yang ada. Disiplin akan terbentuk sikap tanggung jawab dan
terhindari dari sikap malas.27
Disiplin merupakan suatu sikap yang dimulai dari sebuah
kebiasaan, oleh karena itu disiplin perlu ditanamkan sejak dini pada
anak. Islam melatih kedisiplinan melalui berbagai ibadah yang harus
dijalani oleh umatnya. Misalnya, ibadah shalat, membutuhkan
kedisiplinan waktu dalam menjalankannya, yang berarti juga melatih
umatnya untuk selalu bersikap disiplin dalam segala tindakannya.
26 A. Zaenudin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam, Jilid 2, Bandung: Pustaka Setia, 1998,
hlm. 95 27 Ibid, hlm. 96
26
3) Pemaaf
Sikap utama pemaaf selalu berkaitan erat dengan sifat sabar
dan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai masalah dan cobaan
hidup menurut seseorang untuk dapat mengendalikan emosi jiwanya.
Menjadi seseorang yang sabar, pemaaf dari kesalahan orang lain.
Al-Qur’an telah memberikan jalan yang lurus dalam
mengangkat jiwa kemanusiaan menuju puncak keindahan. Al-Qur’an
menciptakan bahwa seorang yang diperlakukan zalim diizinkan
membela diri dan membalasnya. Pembalasan itu hendaknya bukan atas
dasar balas dendam, juga tidaklah wajib membalas perlakuan zalim itu.
Cara yang paling baik menurut Islam bila mau membalas adalah
melakukan pembalasan itu penuh dengan rasa simpati, sekedar
membela diri. Dianjurkan untuk menunjukkan suatu keluhan, bersabar,
memaafkan dan toleran, dan yang demikian lebih terhormat dan
mengandung simpati.28
4) Hidup Sederhana
Islam mengandung ajaran-ajaran yang bertalian dengan
kehidupan para pemeluknya agar mereka dapat menata dan mengatur
kehidupannya, baik jasmani maupun rohani. Islam meletakkan dasar-
dasar utama mengenai makanan, pakaian, tempat tinggal dan cita-cita
kehidupan yang diinginkan, tidak tenggelam dalam kehidupan yang
kikir dan tidak boros terhadap kehidupan material.29
28 Muhammad Ali Hasyim, Apakah Anda Berkepribadian Muslim?, Jakarta: Gema Insani,
1995, hlm. 41 29 Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Quran, Surabaya: Bina Ilmu, 1990, hlm. 113
27
Orang yang hidup sederhana adalah orang yang dapat
menggunakan apa yang telah dia miliki dengan tidak berlebih-lebihan.
Hidup sederhana dapat melatih seseorang untuk tidak mendewakan
materi semata, tetapi lebih kepada mangagungkan Tuhan dengan rasa
syukur terhadap apa yang telah dianugerahkannya melalui hidup
sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan hartanya.
5) Memelihara Kesucian Diri (Al-Ifafah)
Al ifafah (memelihara kesucian diri) termasuk dalam rangkaian
fadlilah atau akhlakul karimah yang dituntut dalam ajaran Islam.
Menjaga diri dari segala keburukan dan memelihara kehormatan
kendaklah dilakukan pada setiap waktu. Penjagaan diri secara ketat,
maka dapat dipertahankan untuk selalu berada pada status kesucian,
hal ini dilakukan mulai dari memelihara hati (qolbu) untuk tidak
membuat niat melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama.
Pemeliharaan hati (qolbu) tentu saja akan berdampak pada
pemeliharaan lidah, mata, tangan dan anggota tubuh lain dari segala
perbuatan yang tercela, karena mereka sadar bahwa segala gerak gerik
itu tentu tidak akan pernah lepas dari penglihatan Allah.
Sifat ifafah akan membuat seseorang dapat mengendalikan
emosi jiwanya, karena jiwa itu akan selalu terkontrol dengan adanya
pemeliharaan hati. Ifafah ini akan memunculkan sifat-sifat malu (al
haya) yaitu rasa malu terhadap Allah dan malu terhadap diri sendiri di
kala akan melanggar peraturan-peraturan Allah dan memunculkan
sifat keberanian, yaitu sikap mental di mana seseorang menguasai
28
jiwanya pada masa-masa kritis ketika ada pengaruh yang jahat atau
bahaya mengancam, ia berani melawan dengan kekuatan hatinya.30
c. Akhlak Terhadap Sesama Manusia
Di dunia ini tidak ada seseorang yang bisa hidup tanpa bergantung
pada orang lain. Sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah
masyarakat. Islam menganjurkan umatnya untuk saling memperhatikan
satu sama lain dengan saling menghormati, tolong menolong dalam
kebaikan, berkata sopan, berlaku adil dan lain-lain. Sehingga tercipta
kelompok masyarakat yang hidup dalam ketentraman dan kedamaian.
1) Lemah lembut terhadap sesama manusia
Salah satu kewajiban seorang muslim terhadap sesamanya
adalah perbuatan lemah lembut terhadap sesama. Ini merupakan salah
satu wujud penghargaan dan penghormatan kepada sesamanya. Sikap
lemah lembut akan mempermudah seseorang dalam bergaul. Sikap ini
dapat ditunjukan dalam perkataan dan tingkah laku.
2) Kasih sayang (ar-rahmah)
Sifat kasih sayang itu adalah fitrah yang dianugerahkan oleh
Allah kepada sesama makhluk yang bernyawa. Pada hewan misalnya,
karena maka ia akan rela berkorban ketika anaknya diganggu. Hal ini
juga terjadi pada diri manusia, dimulai dari kasih sayang orang tua
terhadp anaknya, dan sebaliknya kecintaan anaknya terhadap orang
tuanya, higgga dalam lingkungan yang lebih luas, seperti lingkungan
30 Hamzah Ya’qub, op cit, hlm. 110-111
29
keluarga, tetangga, lingkungan kerja dan lebih luas lagi kasih sayang
anatara manusia.31
Naluri kasih sayang yang telah dianugerahkan Allah kepada
manusia hendaknya benar-benar tertanam dalam diri manusia sebagai
bekal dalam berhubungan dengan lingkungannya, dan sebagai bekal
dalam membangun persaudaraan antara manusia.
3) Tolong menolong
Tolong menolong adalah sikap yang senang menolong orang
lain, baik dalam bentuk material maupun dalam bentuk tenaga moril.32
Sikap ini dikemukakan dalam al-Qur’an surat al-Maidah: 2
اونواعتو ىلع ربلا ىوقتلاو الو اونواعت ىلع مثألا ناودعلاو ( ةدئاملا :2)
Artinya: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maidah: 2)33
Tolong menolong yang dianjurkan dalam Islam adalah tolong
menolong dalam kebaikan.
4) Berlaku adil
Prinsip keadilan ditegaskan dalam al-Qur’an yang mengatakan
bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan (manusia) belaku adil dan
kebaikan.
31 Hamzah Ya’qub, op cit., hlm. 123 32 Ibid, hlm. 125 33 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 156
30
Prinsip adil ini ada dua macam: 1) adil perseorangan, yaitu
tindakan memberi hak kepada yang mempunyai hak. Bila seseorang
mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang
lain tanpa mengurangi. 2) adil dalam segi kemasyarakatan dan
pemerintah, misalnya seorang hakim dalam memutuskan perkara
secara adil.34 Orang yang mempunyai sifat adil akan selalu tenang,
dalam menghadapi masalah, adil dalam mengambil keputusan, dan
memandang masalah secara obyektif tidak terpengaruh oleh hawa
nafsunya. Keadilam merupakan sendi kemakmuran dan kesejahteraan
masyarakat, oleh karena itu jika prinsip keadilan ini ditegakkan,
niscaya akan terwujudlah kesejahteraan dan kemakmuran.35
5) Menepati janji
Apabila seorang muslim mengadakan perjanjian maka harus
menjunjung tinggi perjanjian itu. Tanda iman seseirang dilihat dari
perkataan yang diucapkannya, disitulah iman seseorang bermuara,
bagaikan air mata yang bermuara ke pantai-Nya. Bahwa perkataannya
itu merupakan ikatan yang kukuh dalam memegang janji dalam
perkataan dan perbuatannya.36
Memegang janji adalah tanggung jawab terhadap komitmen
yang telah disepakati bersama. Menepati janji akan berkaitan dengan
kredibilitas seorang muslim dalam berhubungan dengan orang lain.
34 Anwar Masyari, op.cit., hlm, 81 35 Hamzah Ya’qub, op.cit, hlm. 107 36 Anwar Masyari, op.cit., hlam. 359
31
d. Akhlak terhadap lingkungan
Akhlak yang baik terhadap lingkungan. Yakni segala sesuatu
yang ada di sekitar manusia, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan dan
lainnya. Islam sangat melarang kepada umatnya untuk merusak alam
lingkungannya. Penebangan pohon dan pembakaran hutan dengan tujuan
merusak dan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, merupakan
salah satu bentuk kejahatan yang tidak ditolerir. Sebab, mereka juga
makhluk Allah yang juga punya hak dan telah diatur pemanfaatannya bagi
kemaslahatan manusia.37
Allah menciptakan isi bumi ini bermacam-macam bentuk dan
sifatnya. Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang mempunyai derajat
yang paling tinggi, karena ia dibekali akal pikiran yang membedakannya
dengan ciptaan Allah yang lain. Allah menciptakan hewan dan tumbuh-
tumbuhan untuk memberikan keseimbangan kehidupan manusia agar
dimanfaatkanya dalam melangsungkan hidupnya, sekaligus manusia wajib
melestarikannya.
Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya dapat
dikembangkan antara lain memelihara dan menyeyangi binatang dan
tumbuh-tumbuhan, tanah air, udara serta semua alam semesta yang
sengaja diciptakan Allah untuk kepentingan manusia dan makhluk
lainnya.
B. Etika Dalam Pandangan Jawa
Etika dalam pandangan Jawa berarti kesusilaan. Dalam etika Jawa
dipermasalahkan adanya baik dan buruk (good-evil) yang mempengaruhi perilaku
37 http://www.waspada.co.id/serbaserbi/albayan/artikel.php?articleid=51187
32
manusia dan juga berhubungan dengan adanya Tuhan (Theodice). Baik-buruk,
dalam filsafat Jawa dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma
dalam berbagai keinginan dan dikaitkan dengan empat nafsu, yaitu mutmainah,
amarah, lawwamah dan supiah.
Keinginan baik (mutmainnah) akan selalu berhadapan dengan keinginan
buruk untuk menjelmakan perilaku manusia kesempurnaan, dimana akan terjelma
sifat Allah dengan tercapainya manunggaling kawula gusti. Pertentangan baik-
buruk akan diatasi dengan peningkatan kesadaran yang disebut kedewasaan jiwa
manusia.
Kesusilaan tidak terlepas dari laku dalam perjalanan menuju
kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang
menentukan laku aslinya. Hal ini digambarkan dalam simbolik wayang dengan
watak-watak pendeta, pendheta-Ratu, satria, diyu (yaksa). Tingkat kedewasaan
dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri sewaktu
hidupnya, melainkan juga diperoleh sejak lahir.38
Sumber ajaran etika Jawa antara lain dapat didapatkan dari ajaran para
filosof Jawa yang termuat dalam karya sastra peninggalan manusia Jawa
terdahulu. Mpu Kanwa (1019-1042) menuliskan renungan tentang tata-laku susila
(etika) didapatkan dalam dialog antara Arjuna dan Batara Indra. Etika dalam hal
ini bukan merupakan refleksi teoritis belaka, melainkan merupakan kelakuan baik
sebagai sarana mencapai kesempurnaan, yaitu menjalankan dharma ksatria untuk
mencapai tahap pembebasan mental. Mpu Tantular (1350-1389) dalam kitab
Sotasoma dan Arjuna Wijaya menekankan etika manusia yang dijalankan atas
dasar dharma yang lebih ditekankan pada hubungan terhadap sesama manusia,
sesuai dengan ajaran Budha Mahayana. Pakubuwana IV (1789-1820) menjelaskan
38 Abdullah Tjipto Prawiro, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 36
33
dalam kitab Wulangreh bahwa ajaran etika manusia menekankan pada kebutuhan
jasmani, yaitu menghindarkan diri dari sifat memanjakan badan jasmani dengan
mengurangi makan dan tidur, mengendalikan hawa nafsu dan keinginan yang
selalu bergelora di dalam hatinya, mengendalikan lisan, memupuk budi luhur,
mengembangkan sifat ksatria, menjalankan ibadah syari’at Islam dengan tertib,
serta mengambil teladan dari para leluhur yang telah membuktikan dapat
mencapai pengetahuan agung berupa mengerti dan menghayati manunggaling
kawula Gusti.39
Hildred Geertz dalam Magnis Suseno, berpendapat dua kaidah yang
paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa yaitu yang disebut
prinsip kerukunan dan prinsip hormat.40
Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”
tanpa perselisihan dan pertentangan. Prinsip kerukunan ini terutama bersifat
negatif : karena prinsip itu menuntut untuk mencegah segala cara yang bisa
menganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Salah satu persyaratan
untuk berlaku rukun adalah menomorduakan atau bahkan melepaskan
kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama. Prinsip kerukunan sebenarnya
lebih merupakan “prinsip pencegahan konflik”. Selanjutnya prinsip ini akhirnya
akan lebih menekankan penjagaan keselarasan dalam pergaulan.
Prinsip hormat pada dasarnya bahwa setiap orang dalam berbicara,
membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai
dengan derajat dan kedudukan sosialnya. Koordinat normatif yang menentukan
kehidupan praktis Jawa meliputi : sikap batin, tindakan yang tepat dalam dunia
39 Ibid, hlm. 34-44 40 Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, (cetakan keenam), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1996
34
dan tempat yang tepat.41 Sikap batin menurut etika Jawa meliputi beberapa sikap
(pokok) didalamnya yaitu : hawa nafsu, egoisme (pamrih), nrimo, ikhlas, jujur
(temen), bersahaja (prasaja), tenggang rasa (tepa selira). Jadi idealnya seseorang
dikatakan memiliki sikap batin yang tepat jika dia dapat mengendalikan hawa
nafsu, tidak egoisme (tanpa pamrih) serta dapat bersikap nrimo, ikhlas dan
berlaku jujur, bersahaja dan memiliki tenggang rasa.
Maksud dari tindakan yang tepat dalarn dunia adalah bahwa manusia
hendaknya tidak mengikatkan diri pada dunia, tetapi bukan untuk menarik diri
dari dunia. Jadi artinya manusia harus melepaskan nafsu dan pamrihnya.
Karenanya tindakan tepat di dunia tidak lain adalah paduan antara wajib bekerja
keras (rame ing nggawe) dan tanpa pamrih (sepi ing pamrih).
Ditegaskan bahwa etika Jawa itu bersifat relatif terhadap tempat. Artinya
apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam
masyarakat, bukan apa yang dianggap baik dan berguna ataupun sebagai tuntutan
suara hati yang menentukan.
C. Etika Islam Dalam Sastra Jawa
Sebelum kedatangan agama-agama monotheisme (pengakuan terhadap
Keesaan Tuhan) di Pulau Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kepercayaan
terhadap kekuatan dan kekuasaan yang Maha Tinggi. Melalui ritual-ritual yang
bersifat dinamisme dan animisme, masyarakat Jawa menunjukkan pengakuan diri
bahwasanya kehidupannya sangat bergantung dengan Dzat Yang Maha Tinggi
tersebut. Pemberian sesaji sebagai tolak balak maupun sebagai rasa syukur atas
limpahan nikmat merupakan salah satu bukti nyata pengakuan manusia.
41 Ibid
35
Selain ritual yang ditujukan untuk penyembahan terhadap Dzat Yang
Maha Tinggi, pengakuan masyarakat Jawa terhadap kekuasaan Tuhan juga
dituangkan dalam tulisan-tulisan puisi. Kumpulan syair-syair religuitas
masyarakat Jawa terangkum dalam salah satu karya sastra Jawa yang disebut
Mantra. Tidak sembarang orang dapat dan diperbolehkan membaca mantra
karena dianggap sangat sakral dan hanya orang tertentu yang boleh
membacanya.42 Hal ini menunjukkan bahwasanya masyarakat Jawa telah
menempatkan Tuhan dalam diri mereka.
Peradaban masyarakat Jawa juga dapat dikatakan unik. Bersumber dasar
pada kepercayaan animisme dan dinamisme, peradaban dan kebudayaan Jawa
perlahan berinteraksi dengan berbagai agama yang masuk dan diterima oleh
masyarakat Jawa. Keaktifan masyarakat Jawa dalam menyadap dan mengolah
budaya-budaya asing telah menghasilkan banyak perubahan dalam tatanan
budaya masyarakat Jawa. Pihak kerajaan sebagai pemegang kekuasaan wilayah
pada masa itu sangat gencar untuk selalu menjadikan nilai-nilai agama baru
sebagai “senjata” untuk mempertahankan kedudukan dan kekuasaan terhadap
rakyat.43 Sehingga hasil akhir dari perpaduan itu sendiri lebih banyak berpihak
pada lahirnya budaya asing yang di-Jawakan.44
Hal yang sama juga berlaku dalam perkembangan agama Islam. Selain
respon aktif dari masyarakat Jawa, kelahiran budaya-budaya baru yang bernuansa
Islam dan Jawa juga dipengaruhi oleh metode dakwah Walisanga. Para wali
42 Lih. Asmoro Achmadi, “Korelasi Islam dan Jawa dalam Bidang Sastra”, dalam Abdul Jamil
dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Demia, 2000, hlm. 144. 43 Menurut J.W.M. Baker pemelukan agama yang dilakukan oleh masyarakat Jawa tidak
diiringi dengan penghayatan terhadap ajaran agama secara murni. Hal ini menimpa pada agama Hindu dan Budha, bahkan “nasib” kedua agama ini sangat ironi karena hanya dijadikan “bemper” bagi pelanggengan kekuasaan seorang Raja. Lih. Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2004, hlm. 24-25.
44 Jawanisasi budaya asing terdeteksi dari adanya istilah Islam Kejawen, Kristen Jawa (Gereja Kristen Jawa), dan sebagainya.
36
dalam melakukan dakwah tidak menolak atau menghilangkan secara keseluruhan
budaya yang telah ada pada masyarakat Jawa. Mereka cenderung tidak merubah
budaya-budaya yang telah terbentuk dan mendarah daging secara total, namun
hanya menyisipkan nilai-nilai Islam dalam budaya baru sehingga membentuk
budaya yang merupakan perpaduan antara Islam dan Jawa. Hal ini berlaku pada
seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam dunia sastra.
Di Jawa, bahasa dan kepribadian semuanya terkait erat dengan hierarki
sosial. Keterkaitan kepribadian dan hierarki sosial ini digambarkan dalam struktur
wacana, dan dengan berbagai macam keterangan yang diucapnya. Kontrak sosial
ini, yang mengikat perspektif di atas kepada kepribadian dan makna yang
dibentuk oleh sekelompok pembicara.
Dalam tradisi sastra Jawa, etika merupakan tema yang paling sering
digunakan oleh para pujangga. Hal ini dimungkinkan karena corak sastra jawa
yang istanasentris, di mana dalam tradisi istanasentris tersebut sastra merupakan
kepanjangan dari penguasa (Raja). Dengan kata lain, sastra jawa telah menjadi
alat untuk mempertahankan kewibawaan Raja.
Dalam konpensasi untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa melalui
karya sastra masa itu, para pujangga menggubah sastra-sastra Jawa kuno dan
dibumbui dengan sadapan dan olahan unsur-unsur Islam Sufi dalam karyanya,
agar karyanya bisa diterima baik oleh masyarakat pesantren ataupun Kejawen.
Kerja para sastrawan Kejawen sangat berjasa dalam pengislaman sastra dan
bahasa Jawa. Maka bahasa dan sastra Jawa baru semacam Serat Centhini, Serat
Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Sanasunu, Babad Tanah Jawi, Babad
Demak, Serat Ambiya, Serat Menak Jayengrana, Serat Paramayoga, Wirid
Hidayat Jati, berbagai macam sastra suluk, dan lain-lainnya, sangat berjasa
dalam membuka dan mendekatkan hati masyarakat dengan pesantren yang
sangat tertarik dan sangat bangga dengan dongeng Walisanga, karya dalam cerita
37
Babad Tanah Jawa, Babad Demak, yang sebenarnya hanya cerita-cerita rekaan
para sastrawan Kejawen. Bahkan hingga dewasa ini para kyai belum bisa
membedakan antara sejarah dengan cerita-cerita dongeng Walisanga yang dibuat
oleh para sastrawan pada zaman Mataram di atas, apalagi masyarakat akar
rumputnya. Pengaruh sufisme memang sangat menghambat pertumbuhan cara
berfikir ilmiah. Zaman penyebaran Islam ke Indonesia memang zaman dominasi
Islam Sufi, yang ditandai dengan kebangkrutan dan kemunduran cara berfikir
ilmiah di mana muncul pameo bahwa pintu ijtihad telah ditutup, yang berarti
tidak ada mujtahid lagi. Jadi para Kyai penyebar agama Islam di Jawa di
samping sangat sibuk mengkaji kitab-kitab kuning, juga kurang mengerti tentang
masalah strategi kebudayaan. Bagi para Kyai pengikut tarekat yang penting
adalah menyiarkan agama dan mengajar mengaji. Sebaliknya para sastrawan dan
pujangga Kejawen, mereka ini harus berkarya, dan untuk mengembangkan sastra
kejawen pada masa itu (zaman Islam) di samping dengan mengubah cerita-cerita
Jawa Kuno, perlu pula diperkaya dan diperhalus dengan menyadap dan
mengolah unsur-unsur Islam di samping pelaksanaannya strategi kebudayaan,
juga merupakan sumber bahan-bahan baru bagi karya-karya mereka. Strategi ini
bisa dipandang sebagai peng-Islam-an warisan sastra Jawa agar dapat dipasarkan
di lingkungan masyarakat pesantren.
Usaha ini berhasil mencuatkan perkembangan sastra Jawa baru, di mana
bahasa dan sastra Jawa menjadi semakin bergaya feodal dengan menciptakan
bahasa Jawa ngoko (untuk kelas rendahan), kromo untuk (menghormati orang-
orang tua), dan kromo inggil (untuk menghormati kelas priyayi). Penciptaan
cerita mitos tentang Walisanga oleh para pujangga Kejawen berhasil pula
menyodorkan mitologi Walisanga, sekaligus menyodorkan proses peralihan
zaman, dari zaman Kebudayaan (zaman Majapahit, Hindu) ke zaman Kewalen
(zaman Islam). Maka pada zaman Kewalen (zaman Islam), apabila ada priyayi
atau orang bertapa yang memberi wangsit (wahyu) bukan dewa lagi, tetapi Sunan
38
Kalijaga (Wali). Wayang yang ceritanya bersumber dari serat Mahabarata dan
Ramayana yang jelas-jelas Hinduisme saja dicoba untuk di-Islam-kan. Misalnya
dikatakan bahwa wayang itu bikinan para Wali, dan bahwa raja Ngamarta punya
azimat yang sangat keramat, yaitu serat Kalimasada (Kalimat Syahadat). Lebih
aneh lagi cerita dalam Serat Paramayoga karya Ranggawarsita. Di dalam serat
ini diceritakan bahwa Iblis punya anak perempuan bernama Dajlah. Pada suatu
ketika Dajlah disulap oleh Iblis, punya rupa seperti isterip Nabi Sis, putra Nabi
Adam. Kemudian isteri Nabi Sis disembunyikan Iblis, dan Dajlah bisa tidur
bersama dengan Nabi Sis hingga mengandung, dan punya anak laki-laki
dinamakan Sayid Anwar (berupa cahaya). Karena Sayid Anwar punya darah
Iblis, maka tidak patuh pada ayahnya, pergi mengembara ke Timur atau India,
dan menurunkan para Dewa dalam Hinduisme (dalam cerita wayang).45
Apabila melihat paparan di atas maka terdapat kesamaan ruang lingkup
etika dalam Islam dan Jawa. Keduanya menjadikan hubungan manusia dengan
Tuhan dan hubungan antara manusia dengan sesama makhluk sebagai pokok
masalah yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh umat manusia. Meski
terjadi interelasi (percampuran atau pertautan nilai; Islam di-Jawakan atau Jawa
di-Islamkan) dalam karya sastra Jawa, warna Islam masih menjadi dominan isi
sastra. Secara garis besar, dengan masih berdasar pada paparan di atas, nilai-nilai
etika Islam yang terdapat dan mewarnai sastra Jawa meliputi :46
1. Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa)
2. Unsur kebajikan (upaya memberi petunjuk/nasehat kepada siapapun yang
berisi anjuran maupun larangan)
45 Purwadi, Sosiologi Mistik Ranggawarsita: Membaca Sasmita Jaman Edan, Persada,
Yogyakarta, 2003, hlm. 21 46 Abdul Jamil dkk, op. cit., hlm. 147.