bab ii etika islam dan jawa a. konsep etika dalam...

24
15 BAB II ETIKA ISLAM DAN JAWA A. Konsep Etika Dalam Islam 1. Pengertian Etika Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos ataupun ta etika. Kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu ethos yang berarti kebiasaan (custom), adat istiadat. Ethos lebih berarti kesusilaan, perasaan batin atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melakukan perbuatan. 1 Pengertian leksikal ini berarti bahwa etika merupakan kebiasaan yang telah dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, menyatu dengan tradisi yang berkembang. Pengertian etika dan moral terdapat kesamaan, namun berbeda dalam pemakaian sehari-hari. Kalau moral dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Pengertian etika secara etimologi biasanya merujuk pada (a) analisis konsep- konsep, seperti harus, mesti, tugas dan lain sebagainya. (b) pencarian ke dalam moralitas atau tindakan moral, (c) pencarian kehidupan yang baik secara moral. 2 Pengertian ini berarti bahwa moral sudah menyangkut pertimbangan tindakan baik dan buruk. Akhlak dipadankan dengan character (karakter), bukan nature yang biasa dipadankan dengan tabi’ah dalam bahasa Arab. Nature (tabi’ah) tidak 1 Agus Makmurtono (et.al.), Etika Filsafat Moral, Jakarta: Wirasari, 1989, hlm. 9 2 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Jakarta: Rajawali Pers, 1987, hlm. 13

Upload: vuthuy

Post on 28-Mar-2018

246 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

15

BAB II

ETIKA ISLAM DAN JAWA

A. Konsep Etika Dalam Islam

1. Pengertian Etika

Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani ethos ataupun ta

etika. Kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu ethos yang berarti

kebiasaan (custom), adat istiadat. Ethos lebih berarti kesusilaan, perasaan

batin atau kecenderungan hati dengan mana seseorang melakukan perbuatan.1

Pengertian leksikal ini berarti bahwa etika merupakan kebiasaan yang telah

dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari, menyatu dengan tradisi yang

berkembang.

Pengertian etika dan moral terdapat kesamaan, namun berbeda dalam

pemakaian sehari-hari. Kalau moral dipakai untuk perbuatan yang sedang

dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada.

Pengertian etika secara etimologi biasanya merujuk pada (a) analisis konsep-

konsep, seperti harus, mesti, tugas dan lain sebagainya. (b) pencarian ke

dalam moralitas atau tindakan moral, (c) pencarian kehidupan yang baik

secara moral.2 Pengertian ini berarti bahwa moral sudah menyangkut

pertimbangan tindakan baik dan buruk.

Akhlak dipadankan dengan character (karakter), bukan nature yang

biasa dipadankan dengan tabi’ah dalam bahasa Arab. Nature (tabi’ah) tidak

1 Agus Makmurtono (et.al.), Etika Filsafat Moral, Jakarta: Wirasari, 1989, hlm. 9 2 Achmad Charis Zubair, Kuliah Etika, Jakarta: Rajawali Pers, 1987, hlm. 13

16

bisa diubah tetapi kalau akhlak masih bisa diubah. Sehingga pendidikan

diperlukan dalam rangka memperbaiki atau mengubah akhlak atau character-

nya.

Etika secara etimologi juga diartikan sebagai ilmu pengetahuan

tentang asas-asas akhlak (moral).3 Kata etika identik dengan perkataan moral

yang berasal dari bahasa Latin mos yang dalam bentuk jamaknya mores yang

berarti adat atau cara hidup. Pengertian etika dan moral memiliki kesamaan

tetapi berbeda dalam pemakaian sehari-hari. Moral dipakai untuk perbuatan

yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk sistem pengkajian nilai-

nilai yang ada. Moral lebih cenderung terhadap hal-hal yang bersifat praktis,

sedangkan etika lebih cenderung terhadap hal-hal yang bersifat teoritis.4

Persoalan etika sudah menjadi perdebatan dan bahan pemikiran yang

sangat umum dan lama. Bahkan sebelum tercipta klasifikasi dan verifikasi

keilmuan, etika sudah menghuni alam pikiran para filosof (ahli filsafat) pada

era filsafat Yunani klasik dan berikutnya. Beberapa diantaranya adalah :

a. Sokrates menyatakan bahwa etika (moral) berhubungan erat dengan

pengetahuan manusia. Apabila manusia memiliki pengetahuan yang baik

maka ia akan memiliki sikap hidup yang penuh rasa keagamaan yang

nantinya membentuk moral yang baik atau kebajikan (arete) sehingga

akan mencapai kesempurnaan manusia sebagai manusia. Seseorang yang

memiliki etika baik akan memiliki.5

b. Plato dengan pemaknaan yang dapat dikatakan hampir sama dengan

Sokrates juga menghubungkan antara tingkah laku (etika) dengan

3 WJS. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1982, hlm.

228 4 Achmad Charis Zubair, op.cit., hlm. 13 5 Asmoro Acmadi, Filsafat Umum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 47.

17

pengetahuan manusia dan bersifat intelektuil dan rasional. Dasar dari etika

Plato adalah ajarannya tentang idea. Plato membagi etika (budi) menjadi

dua kelompok yakni budi filosofi yang berasal atau timbul dari

pengetahuan dan pengertian dan budi biasa yang muncul dan terbawa oleh

kebiasaan yang dilakukan seseorang dan seringkali tidak didasarkan pada

keyakinan, melainkan pada “kebiasaan” yang berlaku.6

c. Aristoteles menyandarkan makna etika dengan hukum kesusilaan di mana

manusia dalam mencapai tujuan tertinggi dalam kehidupan (yakni

kebahagiaan) dimulai dari sempurnanya budi pekerti yang berlandaskan

pikiran murni.7 Kebahagiaan menurut Aristoteles adalah kehidupan yang

tidak menyusahkan atau menjadi beban serta dalam meraih kebahagiaan

juga tidak menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain.

Pemaknaan etika dari ketiga tokoh filsafat Yunani Klasik tersebut

secara umum mendefinisikan dan menghubungkan antara etika dan akal yakni

sebagai persatuan antara pola pikir yang baik (tinggi) untuk mewujudkan

tingkah laku yang baik.

Sedangkan pengertian etika secara terminologi dalam lingkup dunia

pemikiran modern dapat dijabarkan dalam beberapa pendapat tokoh di bawah

ini :

a. Prof. Dr. Ahmad Amin menggunakan pendekatan aksiologi (nilai) dalam

memberikan penjelasan mengenai etika sebagai suatu ilmu yang

menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya

dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh

6 Muhammad Hatta, Alam Pemikiran Yunani, Jakarta : 1982, hlm. 106-107 7 Asmoro Achmadi, op. cit., hlm. 56.

18

manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk

melakukan apa yang harus diperbuat.8

b. William Lillie mendefinisikan etika sebagai pengetahuan yang normatif

mengenai perbuatan manusia dalam kehidupan sehari-hari di dalam

masyarakat.9

c. Ki Hadjar Dewantara berpendapat bahwa etika merupakan ilmu yang

mempelajari tentang segala kebaikan dan keburukan di dalam manusia

semuanya, teristimewa yang mengenai gerak-gerik pikiran dan rasa yang

dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuan

yang dapat merupakan perbuatan.10

d. Ensiklopedi Indonesia menjelaskan etika sebagai ilmu tentang kesusilaan

yang menentukan bagaimana sepantasnya manusia hidup dalam

masyarakat, apa yang baik dan apa yang buruk, segala ucapan harus

senantiasa berdasarkan hasil pemeriksaan tentang keadaan hidup dalam

arti seluas-luasnya.11

Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka dapat disimpulkan

bahwa etika merupakan sistem ilmu yang mempelajari tingkah laku dan baik-

buruk perbuatan manusia.

2. Pandangan Islam tentang Etika

Ibn Maskaway berpendapat bahwa etika manusia berkaitan erat

dengan eskatologi (pandangan hidup setelah mati). Kematian menggambarkan

8 Ahmad Amin, al-Akhlak (terj. Farid Ma’ruf), Jakarta: Bulan Bintang, 1975, hlm. 14 9 Siti Taurat Ali (et.al.), Pengantar Etika Islam, Solo: Ramadhani, 1990, hlm. 7 10 Achmad Charis Zubair, op.cit., hlm. 15 11 Th. Susilastuti Suyoko, “Etika Hasan Shadily” dalam Ensiklopedi Indonesia, Jakarta:

Ichtiar Baru van Hoeve, 1982, hlm. 973

19

kesia-siaan kehidupan di dunia, di zaman orang yang berakal tidak akan

pernah terlena dengan kenikmatan duniawi. Tuhan memberikan kasih sayang

terhadap siapa saja yang melihat dan memahami serta mempersiapkan diri

untuk menghadapi kematian.12 Pendekatan ini berarti bahwa tujuan perbuatan

manusia harus dikembalikan kepada Allah karena akan ada

pertanggungjawaban pada Hari Kemudian setelah kematian (Q.S. al-Isra’ :

13-14).

Ajaran Islam memiliki konsepsi tentang etika yang diistilahkan dengan

akhlak, dimana dari aspek etimologi sendiri kata tersebut memiliki kaitan

dengan khaliq (Pencipta) dan makhluq. Etika dalam Islam memiliki

pengertian yang sepadan dengan akhlak. Akhlak (bahasa Arab) adalah bentuk

jamak dari khuluqun yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau

tabi’at. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan

khalqun, yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq

(Pencipta) dan makhluq (yang diciptakan). Perumusan pengertian akhlak

timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara

khaliq dengan makhluq.13 Etika dilihat dari segi bahasa, (akhlak) memiliki

hubungan yang erat dengan kejadian penciptaan (khalqun), Pencipta (khaliq)

dan yang diciptakan (makhluq) karena pada dasarnya etika atau akhlak

menjelaskan hubungan tersebut.14 Perkataan ini bersumber dari ayat yang

tercantum dalam al-Qur’an surat al-Qalam ayat 4:

كنإو ىلعل قلخ ميظع

12 Majid Fakhry, Etika Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, (judul asli: Ethical Theories in

Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawi), 1996, hlm. 70 13 Hamzah Yaqub, Etika Islam, Bandung: CV. Diponegoro, cet. 4, 1988, hlm. 11-12 14 Siti Taurat Ali (et.al.), op.cit., hlm. 32

20

Artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qalam: 4)15

Tuntunan etika Islam terhadap manusia, sehingga manusia memahami,

membedakan, memisahkan yang baik dari yang buruk, mengamalkan yang

baik dan menjauhi yang buruk semata-mata mengharap keridhaan Allah. Etika

Islam akan benar-benar dilaksanakan dengan baik apabila dalam diri manusia

timbul atau ada kesadaran yang baik dan yang buruk atau dikatakan pula

dengan kesadaran moral (kesadaran etis). Umat Islam harus komitmen

kepada kebenaran yang diajarkan oleh Islam, mempelajari Islam dengan

sungguh-sungguh serta mendekatkannya dengan alam nyata. Mengamalkan

baik saat sendirian maupun di tengah-tengah orang banyak. Mengetahui apa

yang menjadi hak dan kewajibannya. Semua itu dilandasi dengan kekuatan

iman dan bersabar dalam Islam.16

Muhammad 'Abdullah Draz dalam bukunya Dustural-Akhlak fi al-

Islam membagi ruang lingkup Akhlak kepada lima bagian:17

a. Akhlak Pribadi (al-Akhlak al-fardiyah). Terdiri dari: (a) yang

diperintahkan (al-awamir), (b) yang dilarang (an-na-wahi), (c) yang

dibolehkan (al-mubahat) dan (d) akhlak dalam keadaan darurat (al-

mukhalafah bi al-idhthirar).

b. Akhlak Berkeluarga (al-Akhlak al-usariyah}. Terdiri dari: (a) kewajiban

timbal balik orang tua dan anak (wajibat nahwa. al-ushul -wa al-furu’),

(b) kewajiban suami isteri (wajibat baina al-azwaj) dan (c) kewajiban

terhadap karib kerabat {wajibat naha al-aqaribh).

15 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara

Penterjemah al-Qur’an, Pelita V, Jakarta: CV. Indah Press, 1993/1994, hlm. 960 16 Siti Taurat Ali (et.al.), op.cit., hlm. 20 17 Muhammad Abdullah Draz, Dustur al-Akhlak Fi al-Qur’an, Beirut: Muassasah ar-Risalah

Kuawait dan Dar al-Buhuts al-ilmiyah, 1973, hlm. 687-771.

21

c. Akhlak Bermasyarakat (al-Akhlak al-ijtima'iyyah). Terdiri dari: (a) yang

dilarang (al-mabzhurat), (b) yang diperintahkan (al-awamir) dan (c)

kaidah-kaidah adab (qa'wa'idal-adab).

d. Akhlak Bernegara (akhlak ad-daulah}. Terdiri dari: (a) hubungan antara

pemimpin dan rakyat (al-'alaqah baina ar-rais wa as-sya'b), dan (b)

hubungan luar negeri (al-'alaqatal-kharijiyyah).

e. Akhlak Beragama (al-Akhlak ad-diniyyah).

Pendapat di atas mempunyai ruang lingkup yang luas, mencakup

seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal dengan Allah Swt. maupun

secara horisontal sesama makhluk-Nya.

Etika dalam pengertian akhlak, dapat dibagi dalam beberapa macam,

yaitu:

a. Akhlak terhadap Allah

Alam dan seisinya ini mempunyai pencipta dan pemelihara yang

diyakini, yakni Allah Swt. Jadi Allah yang memberi rahmat dan

menurunkan adzab kepada siapa saja yang dikehendakinya, manusia wajib

taat dan beribadah hanya kepadanya sebagai wujud rasa terima kasih

terhadap dengan segala yang dianugerahkan Allah kepada manusia.

Manifestasi dari pengabdian manusia terhadap Allah adalah sebagai

berikut:

1) Taqwa

Orang yang bertaqwa adalah orang yang takut kepada Allah

berdasarkan kesadaran, mengerjakan apa yang diperintahkannya,

menjauhi larangannya, dan takut terjerumus ke dalam perbuatan dosa.

22

Orang yang bertaqwa akan selalu membentengi diri dari kejahatan,

memelihara diri agar tidak perbuatan yang tidak diridhai oleh Allah,

bertanggung jawab terhadap perbuatan dan tingkah lakunya. Serta

memenuhi kewajibannya.18 Firman Allah dalam surat Ali Imran 102:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benarnya taqwa kepada-Nya; dan janganlah kamu sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. (QS. Ali Imran : 102)19

2) Syukur

Bersyukur artinya merasa senang dan berterima kasih karena

memperoleh nikmat darinya. Kemudian manambah semangat untuk

beribadah kepanya, hatinya bertambah iman dan semakin banyak

berdzikir kepada Allah.20

Syukur wajib bagi orang yang mendapatkan nikmat, sebagai

wujud dari iman. Kondisi yang mendorongnya adalah kegembiraan

dalam suka cita terhadap nikmat-nikmat Allah SWT. Kegembiraan

tersebut merupakan manifestasi syukur itu sendiri, karena

diperuntukkan bagi substansinya. Syukur tersebut merupakan buah

iman.21 Dan Allah tidak pernah berhenti memberikan nikamt kepada

18 Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000,

hlm. 361 19 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 20 Hamzah Ya’qub, Etika Islam, Bandung: Diponrgoro, 1993, Cet. 6, hlm. 143 21 Imam Al-Ghazali, Raudloh : Taman Jiwa Kaum Sufi, terj. Muhammad Lukman Hakim,

Surabaya: Risalah Gusti, 1995, hlm. 139

23

makhluknya, maka sudah sepantasnya manusia selalu bersyukur atas

nikmat apapun yang diberikan Allah.

3) Tawakal

Tawakal yaitu pencurahan diri atas segala pesolan kepada

Allah dan dengan keyakinan atas kekuasaan-Nya dapat memenuhi

juga dengan menampakkan sebab-sebab untuk mendapatkan sesuatu

yang dimaksud (ikhtiar) serta melepaskan diri dari bergantung dengan

sebab-sebab itu, dan bergantung pada yang menjadikan sebab-sebab

itu, dialah Allah SWT.22

Jadi orang yang bertawakal adalah orang yang menyerahkan

segala sesuatu hanya kepada Allah setelah adanya usaha yang

maksimal dari orang tersebut. Faktor pendorong tawakal adalah

keteguhan kalbu kepada Allah Swt. dalam ketentramannya. Orang

yang tawakal tidak pernah mempunyai ruang sempit, karena segalanya

dihubungkan dengan Allah. Orang yang tawakal harus menghindari

hal-hal yang dilarang, dengan kemuliannya ia menyerahkan diri

dengan cara melaksanakan apa yang diperintahkannya.23

4) Ikhlas

Ikhlas yaitu kewajiban manusia beribadah hanya kepada Allah

Swt. yang disertai dengan rasa ikhlas dan pasrah hanya kepada Allah

dan tidak boleh beribadah kepada apa dan siapapun selain Allah.

Ikhlas adalah ruh suatu amal kebajikan, amal ibadah yang

ditunaikan seseorang tidak disertai dengan rasa ikhlas, maka amal

22 Abdul Halim Al-Balali, Madrasah Pendidikan Jiwa, Jakarta: Gema Insani, 2003, hlm. 53 23 Imam Al-Ghazali, Raudloh : Taman Jiwa Kaum Sufi, op.cit., hlm. 141

24

yang demikian amal yang tidak mempunyai ruh.24 Dan amal yang

tidak mempunyai ruh adalah amal yang sia-sia yang tidak akan

mendapatkan pahala dari Allah.

5) Taubat

Manusia tidak akan pernah lepas dari salah dan dosa, untuk itu

ketika seseorang telah melakukan perbuatan dosa, hendaklah dia

segera sadar dan memohon ampunan kepada Allah, dengan taubat

yang sebenar-benarnya.

Betapa kecilnya manusia tidak mempunyai kekuatan dan

kekuasan untuk tidak bergantung kepadanya. Sudah sepantasnya

manusia mengabdikan hidupnya hanya untuk kepada Allah semata.

Titik pangkal akhlak terhadap Allah adalah pengakuan dan kesadaran

bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Karena Allah memiliki sifat

terpuji, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan menjangkau

hakikat-Nya.25

b. Akhlak Terhadap Diri Sendiri

Akhlak terhadap diri sendiri yang dimaksud adalah bagaimana

seseorang menjaga dirinya (jiwa dan raga) dari perbuatan yang dapat

menjerumuskan dirinya kepada perbuatan dosa atau bahkan perbuatan itu

berpengaruh terhadap orang lain. Akhlak terhadap diri sendiri itu meliputi:

24 Muhammad Al-Ghazali, Akhlak Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 1993, Cet. 4,

hlm. 139 25 M. Quraish Shihab, op.cit., hlm. 261

25

1) Jujur

Jujur artinya menyatakan sesuatu apa adanya. Kejujuran itu

menurut keseimbangan antara lidah dan hati, antara lahir dan batin.26

Sifat jujur akan mengalahkan sifat sombong yang mengarah kepada

kebohongan. Seorang muslim yang benar-benar mendirikan sholat dia

akan selalu menghiasi dirinya dengan kejujuran di dalam perkataan,

niat, keinginan, cita-cita dan perbuatannya, karena dalam Islam

kejujuran menempati derajat dan martabat yang mulia di sisi Allah dan

merupakan keutamaan akhlak.

2) Disiplin

Displin artinya taat kepada tata tertib, dalam kehidupan pribadi

diperlukan tata tertib yang mengikat diri agar dapat memanfaatkan

waktu yang ada. Disiplin akan terbentuk sikap tanggung jawab dan

terhindari dari sikap malas.27

Disiplin merupakan suatu sikap yang dimulai dari sebuah

kebiasaan, oleh karena itu disiplin perlu ditanamkan sejak dini pada

anak. Islam melatih kedisiplinan melalui berbagai ibadah yang harus

dijalani oleh umatnya. Misalnya, ibadah shalat, membutuhkan

kedisiplinan waktu dalam menjalankannya, yang berarti juga melatih

umatnya untuk selalu bersikap disiplin dalam segala tindakannya.

26 A. Zaenudin dan Muhammad Jamhari, Al-Islam, Jilid 2, Bandung: Pustaka Setia, 1998,

hlm. 95 27 Ibid, hlm. 96

26

3) Pemaaf

Sikap utama pemaaf selalu berkaitan erat dengan sifat sabar

dan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai masalah dan cobaan

hidup menurut seseorang untuk dapat mengendalikan emosi jiwanya.

Menjadi seseorang yang sabar, pemaaf dari kesalahan orang lain.

Al-Qur’an telah memberikan jalan yang lurus dalam

mengangkat jiwa kemanusiaan menuju puncak keindahan. Al-Qur’an

menciptakan bahwa seorang yang diperlakukan zalim diizinkan

membela diri dan membalasnya. Pembalasan itu hendaknya bukan atas

dasar balas dendam, juga tidaklah wajib membalas perlakuan zalim itu.

Cara yang paling baik menurut Islam bila mau membalas adalah

melakukan pembalasan itu penuh dengan rasa simpati, sekedar

membela diri. Dianjurkan untuk menunjukkan suatu keluhan, bersabar,

memaafkan dan toleran, dan yang demikian lebih terhormat dan

mengandung simpati.28

4) Hidup Sederhana

Islam mengandung ajaran-ajaran yang bertalian dengan

kehidupan para pemeluknya agar mereka dapat menata dan mengatur

kehidupannya, baik jasmani maupun rohani. Islam meletakkan dasar-

dasar utama mengenai makanan, pakaian, tempat tinggal dan cita-cita

kehidupan yang diinginkan, tidak tenggelam dalam kehidupan yang

kikir dan tidak boros terhadap kehidupan material.29

28 Muhammad Ali Hasyim, Apakah Anda Berkepribadian Muslim?, Jakarta: Gema Insani,

1995, hlm. 41 29 Anwar Masy’ari, Akhlak Al-Quran, Surabaya: Bina Ilmu, 1990, hlm. 113

27

Orang yang hidup sederhana adalah orang yang dapat

menggunakan apa yang telah dia miliki dengan tidak berlebih-lebihan.

Hidup sederhana dapat melatih seseorang untuk tidak mendewakan

materi semata, tetapi lebih kepada mangagungkan Tuhan dengan rasa

syukur terhadap apa yang telah dianugerahkannya melalui hidup

sederhana dan tidak berlebih-lebihan dalam membelanjakan hartanya.

5) Memelihara Kesucian Diri (Al-Ifafah)

Al ifafah (memelihara kesucian diri) termasuk dalam rangkaian

fadlilah atau akhlakul karimah yang dituntut dalam ajaran Islam.

Menjaga diri dari segala keburukan dan memelihara kehormatan

kendaklah dilakukan pada setiap waktu. Penjagaan diri secara ketat,

maka dapat dipertahankan untuk selalu berada pada status kesucian,

hal ini dilakukan mulai dari memelihara hati (qolbu) untuk tidak

membuat niat melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran agama.

Pemeliharaan hati (qolbu) tentu saja akan berdampak pada

pemeliharaan lidah, mata, tangan dan anggota tubuh lain dari segala

perbuatan yang tercela, karena mereka sadar bahwa segala gerak gerik

itu tentu tidak akan pernah lepas dari penglihatan Allah.

Sifat ifafah akan membuat seseorang dapat mengendalikan

emosi jiwanya, karena jiwa itu akan selalu terkontrol dengan adanya

pemeliharaan hati. Ifafah ini akan memunculkan sifat-sifat malu (al

haya) yaitu rasa malu terhadap Allah dan malu terhadap diri sendiri di

kala akan melanggar peraturan-peraturan Allah dan memunculkan

sifat keberanian, yaitu sikap mental di mana seseorang menguasai

28

jiwanya pada masa-masa kritis ketika ada pengaruh yang jahat atau

bahaya mengancam, ia berani melawan dengan kekuatan hatinya.30

c. Akhlak Terhadap Sesama Manusia

Di dunia ini tidak ada seseorang yang bisa hidup tanpa bergantung

pada orang lain. Sebagai makhluk sosial yang hidup di tengah-tengah

masyarakat. Islam menganjurkan umatnya untuk saling memperhatikan

satu sama lain dengan saling menghormati, tolong menolong dalam

kebaikan, berkata sopan, berlaku adil dan lain-lain. Sehingga tercipta

kelompok masyarakat yang hidup dalam ketentraman dan kedamaian.

1) Lemah lembut terhadap sesama manusia

Salah satu kewajiban seorang muslim terhadap sesamanya

adalah perbuatan lemah lembut terhadap sesama. Ini merupakan salah

satu wujud penghargaan dan penghormatan kepada sesamanya. Sikap

lemah lembut akan mempermudah seseorang dalam bergaul. Sikap ini

dapat ditunjukan dalam perkataan dan tingkah laku.

2) Kasih sayang (ar-rahmah)

Sifat kasih sayang itu adalah fitrah yang dianugerahkan oleh

Allah kepada sesama makhluk yang bernyawa. Pada hewan misalnya,

karena maka ia akan rela berkorban ketika anaknya diganggu. Hal ini

juga terjadi pada diri manusia, dimulai dari kasih sayang orang tua

terhadp anaknya, dan sebaliknya kecintaan anaknya terhadap orang

tuanya, higgga dalam lingkungan yang lebih luas, seperti lingkungan

30 Hamzah Ya’qub, op cit, hlm. 110-111

29

keluarga, tetangga, lingkungan kerja dan lebih luas lagi kasih sayang

anatara manusia.31

Naluri kasih sayang yang telah dianugerahkan Allah kepada

manusia hendaknya benar-benar tertanam dalam diri manusia sebagai

bekal dalam berhubungan dengan lingkungannya, dan sebagai bekal

dalam membangun persaudaraan antara manusia.

3) Tolong menolong

Tolong menolong adalah sikap yang senang menolong orang

lain, baik dalam bentuk material maupun dalam bentuk tenaga moril.32

Sikap ini dikemukakan dalam al-Qur’an surat al-Maidah: 2

اونواعتو ىلع ربلا ىوقتلاو الو اونواعت ىلع مثألا ناودعلاو ( ةدئاملا :2)

Artinya: ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Q.S. Al-Maidah: 2)33

Tolong menolong yang dianjurkan dalam Islam adalah tolong

menolong dalam kebaikan.

4) Berlaku adil

Prinsip keadilan ditegaskan dalam al-Qur’an yang mengatakan

bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan (manusia) belaku adil dan

kebaikan.

31 Hamzah Ya’qub, op cit., hlm. 123 32 Ibid, hlm. 125 33 Departemen Agama RI, op.cit., hlm. 156

30

Prinsip adil ini ada dua macam: 1) adil perseorangan, yaitu

tindakan memberi hak kepada yang mempunyai hak. Bila seseorang

mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang

lain tanpa mengurangi. 2) adil dalam segi kemasyarakatan dan

pemerintah, misalnya seorang hakim dalam memutuskan perkara

secara adil.34 Orang yang mempunyai sifat adil akan selalu tenang,

dalam menghadapi masalah, adil dalam mengambil keputusan, dan

memandang masalah secara obyektif tidak terpengaruh oleh hawa

nafsunya. Keadilam merupakan sendi kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat, oleh karena itu jika prinsip keadilan ini ditegakkan,

niscaya akan terwujudlah kesejahteraan dan kemakmuran.35

5) Menepati janji

Apabila seorang muslim mengadakan perjanjian maka harus

menjunjung tinggi perjanjian itu. Tanda iman seseirang dilihat dari

perkataan yang diucapkannya, disitulah iman seseorang bermuara,

bagaikan air mata yang bermuara ke pantai-Nya. Bahwa perkataannya

itu merupakan ikatan yang kukuh dalam memegang janji dalam

perkataan dan perbuatannya.36

Memegang janji adalah tanggung jawab terhadap komitmen

yang telah disepakati bersama. Menepati janji akan berkaitan dengan

kredibilitas seorang muslim dalam berhubungan dengan orang lain.

34 Anwar Masyari, op.cit., hlm, 81 35 Hamzah Ya’qub, op.cit, hlm. 107 36 Anwar Masyari, op.cit., hlam. 359

31

d. Akhlak terhadap lingkungan

Akhlak yang baik terhadap lingkungan. Yakni segala sesuatu

yang ada di sekitar manusia, seperti binatang, tumbuh-tumbuhan dan

lainnya. Islam sangat melarang kepada umatnya untuk merusak alam

lingkungannya. Penebangan pohon dan pembakaran hutan dengan tujuan

merusak dan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, merupakan

salah satu bentuk kejahatan yang tidak ditolerir. Sebab, mereka juga

makhluk Allah yang juga punya hak dan telah diatur pemanfaatannya bagi

kemaslahatan manusia.37

Allah menciptakan isi bumi ini bermacam-macam bentuk dan

sifatnya. Manusia adalah salah satu ciptaan Allah yang mempunyai derajat

yang paling tinggi, karena ia dibekali akal pikiran yang membedakannya

dengan ciptaan Allah yang lain. Allah menciptakan hewan dan tumbuh-

tumbuhan untuk memberikan keseimbangan kehidupan manusia agar

dimanfaatkanya dalam melangsungkan hidupnya, sekaligus manusia wajib

melestarikannya.

Hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya dapat

dikembangkan antara lain memelihara dan menyeyangi binatang dan

tumbuh-tumbuhan, tanah air, udara serta semua alam semesta yang

sengaja diciptakan Allah untuk kepentingan manusia dan makhluk

lainnya.

B. Etika Dalam Pandangan Jawa

Etika dalam pandangan Jawa berarti kesusilaan. Dalam etika Jawa

dipermasalahkan adanya baik dan buruk (good-evil) yang mempengaruhi perilaku

37 http://www.waspada.co.id/serbaserbi/albayan/artikel.php?articleid=51187

32

manusia dan juga berhubungan dengan adanya Tuhan (Theodice). Baik-buruk,

dalam filsafat Jawa dianggap tidak terlepas dari eksistensi manusia yang terjelma

dalam berbagai keinginan dan dikaitkan dengan empat nafsu, yaitu mutmainah,

amarah, lawwamah dan supiah.

Keinginan baik (mutmainnah) akan selalu berhadapan dengan keinginan

buruk untuk menjelmakan perilaku manusia kesempurnaan, dimana akan terjelma

sifat Allah dengan tercapainya manunggaling kawula gusti. Pertentangan baik-

buruk akan diatasi dengan peningkatan kesadaran yang disebut kedewasaan jiwa

manusia.

Kesusilaan tidak terlepas dari laku dalam perjalanan menuju

kesempurnaan. Tingkat kedewasaan manusia akan membentuk watak yang

menentukan laku aslinya. Hal ini digambarkan dalam simbolik wayang dengan

watak-watak pendeta, pendheta-Ratu, satria, diyu (yaksa). Tingkat kedewasaan

dan watak manusia tidak hanya dapat diperoleh dengan usaha sendiri sewaktu

hidupnya, melainkan juga diperoleh sejak lahir.38

Sumber ajaran etika Jawa antara lain dapat didapatkan dari ajaran para

filosof Jawa yang termuat dalam karya sastra peninggalan manusia Jawa

terdahulu. Mpu Kanwa (1019-1042) menuliskan renungan tentang tata-laku susila

(etika) didapatkan dalam dialog antara Arjuna dan Batara Indra. Etika dalam hal

ini bukan merupakan refleksi teoritis belaka, melainkan merupakan kelakuan baik

sebagai sarana mencapai kesempurnaan, yaitu menjalankan dharma ksatria untuk

mencapai tahap pembebasan mental. Mpu Tantular (1350-1389) dalam kitab

Sotasoma dan Arjuna Wijaya menekankan etika manusia yang dijalankan atas

dasar dharma yang lebih ditekankan pada hubungan terhadap sesama manusia,

sesuai dengan ajaran Budha Mahayana. Pakubuwana IV (1789-1820) menjelaskan

38 Abdullah Tjipto Prawiro, Filsafat Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1986, hlm. 36

33

dalam kitab Wulangreh bahwa ajaran etika manusia menekankan pada kebutuhan

jasmani, yaitu menghindarkan diri dari sifat memanjakan badan jasmani dengan

mengurangi makan dan tidur, mengendalikan hawa nafsu dan keinginan yang

selalu bergelora di dalam hatinya, mengendalikan lisan, memupuk budi luhur,

mengembangkan sifat ksatria, menjalankan ibadah syari’at Islam dengan tertib,

serta mengambil teladan dari para leluhur yang telah membuktikan dapat

mencapai pengetahuan agung berupa mengerti dan menghayati manunggaling

kawula Gusti.39

Hildred Geertz dalam Magnis Suseno, berpendapat dua kaidah yang

paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa yaitu yang disebut

prinsip kerukunan dan prinsip hormat.40

Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”

tanpa perselisihan dan pertentangan. Prinsip kerukunan ini terutama bersifat

negatif : karena prinsip itu menuntut untuk mencegah segala cara yang bisa

menganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Salah satu persyaratan

untuk berlaku rukun adalah menomorduakan atau bahkan melepaskan

kepentingan pribadi demi kesepakatan bersama. Prinsip kerukunan sebenarnya

lebih merupakan “prinsip pencegahan konflik”. Selanjutnya prinsip ini akhirnya

akan lebih menekankan penjagaan keselarasan dalam pergaulan.

Prinsip hormat pada dasarnya bahwa setiap orang dalam berbicara,

membawa diri harus selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain sesuai

dengan derajat dan kedudukan sosialnya. Koordinat normatif yang menentukan

kehidupan praktis Jawa meliputi : sikap batin, tindakan yang tepat dalam dunia

39 Ibid, hlm. 34-44 40 Frans Magnis Suseno, Etika Jawa, (cetakan keenam), Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama, 1996

34

dan tempat yang tepat.41 Sikap batin menurut etika Jawa meliputi beberapa sikap

(pokok) didalamnya yaitu : hawa nafsu, egoisme (pamrih), nrimo, ikhlas, jujur

(temen), bersahaja (prasaja), tenggang rasa (tepa selira). Jadi idealnya seseorang

dikatakan memiliki sikap batin yang tepat jika dia dapat mengendalikan hawa

nafsu, tidak egoisme (tanpa pamrih) serta dapat bersikap nrimo, ikhlas dan

berlaku jujur, bersahaja dan memiliki tenggang rasa.

Maksud dari tindakan yang tepat dalarn dunia adalah bahwa manusia

hendaknya tidak mengikatkan diri pada dunia, tetapi bukan untuk menarik diri

dari dunia. Jadi artinya manusia harus melepaskan nafsu dan pamrihnya.

Karenanya tindakan tepat di dunia tidak lain adalah paduan antara wajib bekerja

keras (rame ing nggawe) dan tanpa pamrih (sepi ing pamrih).

Ditegaskan bahwa etika Jawa itu bersifat relatif terhadap tempat. Artinya

apa yang harus dilakukan masing-masing ditentukan oleh tempatnya dalam

masyarakat, bukan apa yang dianggap baik dan berguna ataupun sebagai tuntutan

suara hati yang menentukan.

C. Etika Islam Dalam Sastra Jawa

Sebelum kedatangan agama-agama monotheisme (pengakuan terhadap

Keesaan Tuhan) di Pulau Jawa, masyarakat Jawa telah memiliki kepercayaan

terhadap kekuatan dan kekuasaan yang Maha Tinggi. Melalui ritual-ritual yang

bersifat dinamisme dan animisme, masyarakat Jawa menunjukkan pengakuan diri

bahwasanya kehidupannya sangat bergantung dengan Dzat Yang Maha Tinggi

tersebut. Pemberian sesaji sebagai tolak balak maupun sebagai rasa syukur atas

limpahan nikmat merupakan salah satu bukti nyata pengakuan manusia.

41 Ibid

35

Selain ritual yang ditujukan untuk penyembahan terhadap Dzat Yang

Maha Tinggi, pengakuan masyarakat Jawa terhadap kekuasaan Tuhan juga

dituangkan dalam tulisan-tulisan puisi. Kumpulan syair-syair religuitas

masyarakat Jawa terangkum dalam salah satu karya sastra Jawa yang disebut

Mantra. Tidak sembarang orang dapat dan diperbolehkan membaca mantra

karena dianggap sangat sakral dan hanya orang tertentu yang boleh

membacanya.42 Hal ini menunjukkan bahwasanya masyarakat Jawa telah

menempatkan Tuhan dalam diri mereka.

Peradaban masyarakat Jawa juga dapat dikatakan unik. Bersumber dasar

pada kepercayaan animisme dan dinamisme, peradaban dan kebudayaan Jawa

perlahan berinteraksi dengan berbagai agama yang masuk dan diterima oleh

masyarakat Jawa. Keaktifan masyarakat Jawa dalam menyadap dan mengolah

budaya-budaya asing telah menghasilkan banyak perubahan dalam tatanan

budaya masyarakat Jawa. Pihak kerajaan sebagai pemegang kekuasaan wilayah

pada masa itu sangat gencar untuk selalu menjadikan nilai-nilai agama baru

sebagai “senjata” untuk mempertahankan kedudukan dan kekuasaan terhadap

rakyat.43 Sehingga hasil akhir dari perpaduan itu sendiri lebih banyak berpihak

pada lahirnya budaya asing yang di-Jawakan.44

Hal yang sama juga berlaku dalam perkembangan agama Islam. Selain

respon aktif dari masyarakat Jawa, kelahiran budaya-budaya baru yang bernuansa

Islam dan Jawa juga dipengaruhi oleh metode dakwah Walisanga. Para wali

42 Lih. Asmoro Achmadi, “Korelasi Islam dan Jawa dalam Bidang Sastra”, dalam Abdul Jamil

dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Demia, 2000, hlm. 144. 43 Menurut J.W.M. Baker pemelukan agama yang dilakukan oleh masyarakat Jawa tidak

diiringi dengan penghayatan terhadap ajaran agama secara murni. Hal ini menimpa pada agama Hindu dan Budha, bahkan “nasib” kedua agama ini sangat ironi karena hanya dijadikan “bemper” bagi pelanggengan kekuasaan seorang Raja. Lih. Anasom (ed), Merumuskan Kembali Interelasi Islam-Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2004, hlm. 24-25.

44 Jawanisasi budaya asing terdeteksi dari adanya istilah Islam Kejawen, Kristen Jawa (Gereja Kristen Jawa), dan sebagainya.

36

dalam melakukan dakwah tidak menolak atau menghilangkan secara keseluruhan

budaya yang telah ada pada masyarakat Jawa. Mereka cenderung tidak merubah

budaya-budaya yang telah terbentuk dan mendarah daging secara total, namun

hanya menyisipkan nilai-nilai Islam dalam budaya baru sehingga membentuk

budaya yang merupakan perpaduan antara Islam dan Jawa. Hal ini berlaku pada

seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam dunia sastra.

Di Jawa, bahasa dan kepribadian semuanya terkait erat dengan hierarki

sosial. Keterkaitan kepribadian dan hierarki sosial ini digambarkan dalam struktur

wacana, dan dengan berbagai macam keterangan yang diucapnya. Kontrak sosial

ini, yang mengikat perspektif di atas kepada kepribadian dan makna yang

dibentuk oleh sekelompok pembicara.

Dalam tradisi sastra Jawa, etika merupakan tema yang paling sering

digunakan oleh para pujangga. Hal ini dimungkinkan karena corak sastra jawa

yang istanasentris, di mana dalam tradisi istanasentris tersebut sastra merupakan

kepanjangan dari penguasa (Raja). Dengan kata lain, sastra jawa telah menjadi

alat untuk mempertahankan kewibawaan Raja.

Dalam konpensasi untuk mempertahankan wibawa raja-raja Jawa melalui

karya sastra masa itu, para pujangga menggubah sastra-sastra Jawa kuno dan

dibumbui dengan sadapan dan olahan unsur-unsur Islam Sufi dalam karyanya,

agar karyanya bisa diterima baik oleh masyarakat pesantren ataupun Kejawen.

Kerja para sastrawan Kejawen sangat berjasa dalam pengislaman sastra dan

bahasa Jawa. Maka bahasa dan sastra Jawa baru semacam Serat Centhini, Serat

Wedhatama, Serat Wulangreh, Serat Sanasunu, Babad Tanah Jawi, Babad

Demak, Serat Ambiya, Serat Menak Jayengrana, Serat Paramayoga, Wirid

Hidayat Jati, berbagai macam sastra suluk, dan lain-lainnya, sangat berjasa

dalam membuka dan mendekatkan hati masyarakat dengan pesantren yang

sangat tertarik dan sangat bangga dengan dongeng Walisanga, karya dalam cerita

37

Babad Tanah Jawa, Babad Demak, yang sebenarnya hanya cerita-cerita rekaan

para sastrawan Kejawen. Bahkan hingga dewasa ini para kyai belum bisa

membedakan antara sejarah dengan cerita-cerita dongeng Walisanga yang dibuat

oleh para sastrawan pada zaman Mataram di atas, apalagi masyarakat akar

rumputnya. Pengaruh sufisme memang sangat menghambat pertumbuhan cara

berfikir ilmiah. Zaman penyebaran Islam ke Indonesia memang zaman dominasi

Islam Sufi, yang ditandai dengan kebangkrutan dan kemunduran cara berfikir

ilmiah di mana muncul pameo bahwa pintu ijtihad telah ditutup, yang berarti

tidak ada mujtahid lagi. Jadi para Kyai penyebar agama Islam di Jawa di

samping sangat sibuk mengkaji kitab-kitab kuning, juga kurang mengerti tentang

masalah strategi kebudayaan. Bagi para Kyai pengikut tarekat yang penting

adalah menyiarkan agama dan mengajar mengaji. Sebaliknya para sastrawan dan

pujangga Kejawen, mereka ini harus berkarya, dan untuk mengembangkan sastra

kejawen pada masa itu (zaman Islam) di samping dengan mengubah cerita-cerita

Jawa Kuno, perlu pula diperkaya dan diperhalus dengan menyadap dan

mengolah unsur-unsur Islam di samping pelaksanaannya strategi kebudayaan,

juga merupakan sumber bahan-bahan baru bagi karya-karya mereka. Strategi ini

bisa dipandang sebagai peng-Islam-an warisan sastra Jawa agar dapat dipasarkan

di lingkungan masyarakat pesantren.

Usaha ini berhasil mencuatkan perkembangan sastra Jawa baru, di mana

bahasa dan sastra Jawa menjadi semakin bergaya feodal dengan menciptakan

bahasa Jawa ngoko (untuk kelas rendahan), kromo untuk (menghormati orang-

orang tua), dan kromo inggil (untuk menghormati kelas priyayi). Penciptaan

cerita mitos tentang Walisanga oleh para pujangga Kejawen berhasil pula

menyodorkan mitologi Walisanga, sekaligus menyodorkan proses peralihan

zaman, dari zaman Kebudayaan (zaman Majapahit, Hindu) ke zaman Kewalen

(zaman Islam). Maka pada zaman Kewalen (zaman Islam), apabila ada priyayi

atau orang bertapa yang memberi wangsit (wahyu) bukan dewa lagi, tetapi Sunan

38

Kalijaga (Wali). Wayang yang ceritanya bersumber dari serat Mahabarata dan

Ramayana yang jelas-jelas Hinduisme saja dicoba untuk di-Islam-kan. Misalnya

dikatakan bahwa wayang itu bikinan para Wali, dan bahwa raja Ngamarta punya

azimat yang sangat keramat, yaitu serat Kalimasada (Kalimat Syahadat). Lebih

aneh lagi cerita dalam Serat Paramayoga karya Ranggawarsita. Di dalam serat

ini diceritakan bahwa Iblis punya anak perempuan bernama Dajlah. Pada suatu

ketika Dajlah disulap oleh Iblis, punya rupa seperti isterip Nabi Sis, putra Nabi

Adam. Kemudian isteri Nabi Sis disembunyikan Iblis, dan Dajlah bisa tidur

bersama dengan Nabi Sis hingga mengandung, dan punya anak laki-laki

dinamakan Sayid Anwar (berupa cahaya). Karena Sayid Anwar punya darah

Iblis, maka tidak patuh pada ayahnya, pergi mengembara ke Timur atau India,

dan menurunkan para Dewa dalam Hinduisme (dalam cerita wayang).45

Apabila melihat paparan di atas maka terdapat kesamaan ruang lingkup

etika dalam Islam dan Jawa. Keduanya menjadikan hubungan manusia dengan

Tuhan dan hubungan antara manusia dengan sesama makhluk sebagai pokok

masalah yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh umat manusia. Meski

terjadi interelasi (percampuran atau pertautan nilai; Islam di-Jawakan atau Jawa

di-Islamkan) dalam karya sastra Jawa, warna Islam masih menjadi dominan isi

sastra. Secara garis besar, dengan masih berdasar pada paparan di atas, nilai-nilai

etika Islam yang terdapat dan mewarnai sastra Jawa meliputi :46

1. Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha

Kuasa)

2. Unsur kebajikan (upaya memberi petunjuk/nasehat kepada siapapun yang

berisi anjuran maupun larangan)

45 Purwadi, Sosiologi Mistik Ranggawarsita: Membaca Sasmita Jaman Edan, Persada,

Yogyakarta, 2003, hlm. 21 46 Abdul Jamil dkk, op. cit., hlm. 147.