bab ii bok
DESCRIPTION
skripsi jeriTRANSCRIPT
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Transportasi
Transportasi pada dasarnya kegiatan memindahkan sesuatu (orang atau
barang) dari satu tempat ke tempat lain, baik dengan atau tanpa sarana. Proses
pemindahan ini melalui suatu jalur perpindahan, yaitu lintasan yang mungkin sudah
disediakan oleh alam seperti sungai, laut dan udara atau jalur lintasan hasil angan
manusia, misalnya jalan raya, jalan rel kereta api dan pipa.
Kegiatan transportasi selalu diusahakan adanya perbaikan dan kemajuan
sesuai dengan perkembangan jaman agar menjadi Lebih efisien, yaitu berusaha untuk
mengangkut orang atau barang dengan waktu yang lebih cepat, biaya lebih murah,
dengan resiko sekecil mungkin.
1.1. Angkutan Umum Perkotaan
Daerah perkotaan merupakan daerah yang memiliki kegiatan sosial ekonomi
yang cukup komplek dengan tingkat intensitas dan frekuensi pergerakan yang cukup
tinggi. Kondisi tersebut membutuhkan suatu sisterm pengangkutan yang sesuai
dengan jumlah dan tingkat pelayanan untuk masyarakat perkotaan. Yang dimaksud
dengan jumlah angkutan umum perkotaan adalah setiap kendaraan yang dioperasikan
untuk melayani penumpng atau masyarakat umum yang melakukan perjalanan
didalam kota itu sendiri, ataupun kendaraan angkutan umum dan daerah lain disekitar
kota yang mernpunyai satu kesatuan dengan kota yang bersangkutan.
8
9
Pemerintah Daerah Kabupaten Kotawaringin Barat sebagai pemegang
kebijaksanaan menetapkan warna kendaraan dan jumlah kendaraan angkutan kota
untuk masing-masing trayek yaitu seperti dalarn tabel 2.1 .serta daerah pelayanan dan
panjang trayek pada Tabel 2.2.
Tabel 2.1 Warna dan Jumlah Kendaraan Angkutan Kota
No. Kode Trayek Warna Angkutan KotaJumlah Armada
Angkuta Kota
1
2
3
Kota
Bundaran Pancasila
Bamban
Kuning
Kuning
Kuning
15
7
10
10
Tabel 2.2 Kode Daerah Pelayanan dan Panjang Trayek Angkntan Kota
No. Kode Trayek Trayek (Daerah Pelayanan)Panjang Rute
(Km)
1 Kota Berangkat:
Kampung Baru – JI. Antasari -
Jl.Rangga Sahtek - Jl. Pra
Kusumayuda - Jl.Hasanudin
Kembali:
JI. Antasari
3,3
2,1
2 Bundaran Pancasila Berangkat;
Kampung Baru - Jl. Udan Said Jl.
A. Yani - Jl. Mat Nor –
Jl. Sukma Arya Ningrat- Bundaran
Pancasila
Kembali:
Bundaran Pancasila - Jl. Sukma
Arya Ningrat - Jl. Mat Nor - Jl. A.
Yani - Jl. Udan Said - Kampung
Baru
9
9
3 Bamban Berangkat:
Kampung Baru - Jl. Udan Said Jl.
Paju Negara - Jl. Diponegoro – Jl.
Hasanudin- Bamban
Kembali:
Bamban - Jl. Hasanudin - Jl.
Antasari - Kmpung Baru
8
6
11
2.3 Perspektif Kinerja Sistem Transportasi
Menurut Manheim (1979: 171), kegiatan transportasi melibatkan berbagai
pihak yang mempunyai pandangan dan kepentingan yang berbeda. Masing-masing
pihak mempunyai pandangan sendiri mengenai kinerja sistem transportasi. Kinerja
sistem transportasi dapat dilihat dari beberapa sudut pandang (perspektif) yaitu:
a. Dari sudut pandang pengguna (user)
Dari sudut pandang pengguna jasa transportasi performansi system
transportasi adalah tingkat pelayanan yang dapat dinikmati dalam setiap
penggunaan transportasi untuk perjalanan yang mereka lakukan. Yang menjadi
indicator penilaian tingkat pelayanan adalah total waktu perjalanan, total waktu
menunggu, total ongkos, probabilitas kerusakan atau kehilangan barang, dan jarak
berjalan kaki untuk menjangkau kendaraan, disamping aspek kenyamanan dalam
kendaraan.
b. Dari sudut pandang penyedia jasa (operator)
Pada umumnya penyedia jasa (operator) memandang kinerja berdasarkan
dimensi finansial dan sub system yang mereka tangani, yaitu kinerja dan sarana,
tenaga kerja dan Fasilitas operasi yang digunakan. Bagaimanapun, untuk setiap
pelayanan (operasi) yang dilakukan membutuhkan biaya karena mengkonsumsi
sejumlah sumber daya. Oleh karena itu, operator lebih berkepentingan terhadap
jumlah keuntungan (net revenue) yang dihasilkan dari sejumlah biaya yang
mereka keluarkan untuk memberikan pelayanan transportasi.
12
2.4 Pergerakan di Wilayah Perkotaan
Pergerakan di wilayah perkotaan pada dasarnya timbul akibat adanya sebaran
spasial pola tata guna lahan untuk berbagai aktifitas masyarakat. Akibatnya terjadi
terpisah-pisah-nya lokasi permukiman dengan lokasi tempat sekolah. Oleh karena itu,
untuk menjangkau suatu aktifitas tertentu maka orang atau sekelompok orang
melakukan perjalanan. Dalam ilmu transportasi pergerakan suatu wilayah terbentuk
berdasarkan karakteristik non spasial dan spasial.
2.4.1 Karakteristik Pergerakan Non Spasial
Pergerakan non spasial berkaitan dengan aspek-aspek sebagai berikut:
a. Sebab Terjadinya Pergerakan
Dapat dikelompokkan berdasarkan maksud perjalanan sesuai dengan
karakteristik dasar yang sesuai dengan ekonomi sosial budaya dan
pendidikan. Pergerakan untuk maksud Ekonomi dapat berupa pergerakan ke
dan dari tempat bekerja untuk pergerakan yang berkaitan dengan bekerjan, ke
dan dari pusat perbelanjaan / toko untuk pergerakan yang berkaitan dengan
kegiatan berbelanja atau bisnis pribadi serta pergerakan untuk keperluan
pribadi. Pergerakan untuk maksud sosial dapat berupa pergerakan ke dan dari
rumah teman, ke tempat pertemuan bukan rumah. Pergerakan ke dan dari
sekolah, kampus serta tempat lain untuk kegiatan pendidikan. Pergerakan
untuk maksud rekreasi dan hiburan dapat berupa pergerakan ke dan dari
tempat rekreasi atau hiburan, untuk yang bersifat rekreasi.
13
b. Waktu Terjadinya Pergerakan
Waktu terjadinya pergerakan sangat tergantung pada kapan seseorang
melakukan aktifitas untuk kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian waktu
perjalanan tergantung dari maksud perjalanan. Perjalanan dengan maksud
bekerja biasanya mengikuti waktu kerjanya, maksud pendidikan biasanya
Mengikuti pola waktu sekolah dan maksud berbelanja memilih pola
menyebar. Jika ditinjau secara keseluruhan, maka pola perjalanan masyarakat
perkotaan pada dasarnya merupakan gabungan dari pola perjalanan untuk
maksud bekerja, berbelanja serta kegiatan pendidikan dan kegiatan sosial
lainnya.
c. Jenis moda yang digunakan
Dalam melakukan perjalanan orang biasanya dihadapkan pada pilihan
apakah akan menggunakan kendaraan pribadi, atau angkutan umum. Dalam
menentukan jenis pilihan sarana angkutan yang digunakan, biasanya akan
mempertimbangkan maksud perjalanan, jarak tempuh, biaya dan tingkat
kenyamanan. Untuk perjalanan dekat (kurang dari 2 km) umumnya orang
masih suka berjalan kaki, walaupun masih ada yang mempergunakan
kendaraan. Selanjutnya dengan meningkatnya jarak perjalanan, maka orang
cenderung menggunakan kendaraan.
14
2.4.1 Pergerakan Spasial
Sedangkan karakteristik pergerakan spasial berkaitan dengan aspek-aspek
sebagai berikut:
a. Pola perjalanan orang
Pola perjalanan orang di perkotaan sangat mempengaruhi pola sebaran
tata guna lahan suatu kota, dalam hal ini yang sangat berpengaruh adalah
sebaran spasial dari lokasi industri, perkantoran, pendidikan, permukiman,
dan perkotaan.
b. Pola perjalanan barang
Pola perjalanan barang sangat dipengaruhi oleh aktifitas produksi dan
konsumsi, dimana hal ini sangat bergantung pada pola sebaran tata guna lahan
untuk permukiman (konsumsi), industri dan pertanian (produksi). Bisa
dikatakan bahwa pola perjalanan barang secara menyeluruh berkaitan dengan
daerah produksi/industri, daerah pertanian dan daerah permukiman serta
perbelanjaan.
2.5 Perilaku Perjalanan
Pola perilaku perjalanan sering dipengaruhi waktu atau musim, maksudnya
bahwa pada waktu atau musim tertentu jumlah permintaan jasa transportasi akan
meningkat dari pada waktu tertentu menurun, baik ditinjau dari kurun waktu satu
bulan atau tahunan. Dalam hal ini dapat diambil contoh sebagai berikut:
1. Pada angkutan dalam kota jumlah permintaan jasa angkutan meningkat pada
saat sekitar berangkat atau pulang kantor / sekolah.
15
2. Pada angkutan antar kota jumlah permintaan jasa angkutan penumpang
meningkat pada saat sekitar hari libur.
Disamping itu masalah tarif ongkos dan tingkat pelayanan dan moda
angkutan kota juga akan mempengaruhi minat masyarakat pengguna moda yang
dikehendaki. Diperkirakan apabila tarif moda diturunkan atau ditingkatkan, maka
jumlah perjalanan pada moda tersebut akan bertambah. Begitu juga jumlah manusia
dengan karakteristik dan frekuensinya akan menentukan permintaan atau keinginan
mereka untuk melakukan perjalanan guna melaksanakan berbagai maksud,
disamping tingkat kemampuan mereka untuk mengeluarkan uang dan sumber daya
lainnya untuk membiayai perjalanan tersebut.
2.6. Tarif Jasa Transportasi
Tarif ini dapat diartikan berbeda-beda tergantung sudut pandang masing-
masing pihak yang secara langsung berkepentingan. Dalam kontek demikian, maka
tarif jasa transportasi adalah:
1. Dari sudut pandang pemakai jasa transportasi adalah harga yang harus dibayar
untuk menggunakan jasa transportasi.
2. Dari sudut pandang operator, tarif adalah harga dan jasa yang diberikan.
3. Dari sudut pandang pemerintah, sebagai pihak yang menentukan besaran tarif,
besaran tarif yang berlaku akan sangat mempengaruhi besarnya pengeluaran dan
pendapatan daerah pada sektor transportasi.
16
2.7. Klasifikasi Tarif
Didalam menangani kebijakan tarif, tujuan apapun yang ingin dicapai pada
akhirnya akan mempertimbangkan dua hal yaitu:
1. Tingkatan tarif atau besaran tarif yang dikenakan mempunyai rentang dan tarif
bebas atau gratis atau gratis sama sekali sampai pada tingkatan tarif yang
dikenakan akan menghasilkan keuntungan pada pelayanan.
2. Struktur tarif yang merupakan cara bagaimana tarif tersebut dibayarkan.
Beberapa pilihan yang umum adalah tarif seragam (flat fare) dan tarif yang
berdasarkan jarak (distance base fare).
2.7.1 Tarif Seragam
Dalam struktur tarif seragarn, tarif dikenakan tanpa memperhatikan jarak
yang dilalui. Struktur tarif ini menawarkan sejumlah keuntungan, diantaranva:
1. Kemudahan dalam pengumpulan data ongkos, sehingga memungkinkan transaksi
yang cepat terutama sekali bermanfaat dalam kendaraan berukuran besar dan
dioperasikan oleh satu orang.
2. Struktur ini memudahkan pengecekan karcis penumpang dan persediaan karcis.
Struktur tarif ini juga mempunyai kerugian yaitu tidak memperhitungkan
kemungkinan untuk menarik penumpang yang melakukan perjalanan jarak
pendek dengan membuat perbedaan tarif. struktur tarif seragam ini di satu pihak
merugikan penumpang yang melakukan perjalanan jarak pendek, sebaliknya
penumpang yang melakukan perjalanan panjang menikmati keuntungannya.
17
Gambar 2.1 Struktur Tarif Seragam
2.7.2 Tarif Berdasarkan Jarak (Distance Based Fare)
Dalam struktur tarif ini, tarif dibedakan secara mendasar oleh jarak yang
ditempuh. Perbedaan dibuat berdasarkan tarif kilometer, tahapan dan zona.
a. Tarif kilometer
Struktur tarif ini sangat tergantung pada jarak yang ditempuh, yakni
penetapan besarnya tarif merupakan perkalian ongkos tetap perkilometer dengan
panjang perjalanan, dimana jarak dan tarif minimum ditentukan terlebih dahulu.
Sistem tarif ini mempunyai kesulitan dalam pengumpulan ongkos, karena
sebagian besar penumpang melakukan perjalanan jarak pendek dalam
menggunakan angkutan lokal dan ini membutuhkan waktu yang lama dalam
pengumpulannya.
Gambar. 2.2 Struktur Tarif Kilometer
Tarif ( RP )
Jarak tempuh (Km)
Tarif ( RP )
Jarak tempuh (Km)
18
b. Tarif Bertahap
Struktur tanf ini dihitung berdasarkan jarak yang ditempuh oleh penumpang.
Tahapan adalah suatu penggal dari rute yang jaraknya antara satu atau lebih
tempat pemberhentian sebagai dasar perhitungan tarif. Untuk jaringan
pengangkutan yang dilalui dibagi dalam penggal rute yang mempunyai panjang
yang sama.
Gambar 2.3 Struktur Tarif Bertahap
c. Tarif Zona
Struktur tarif ini merupakan bentuk penyederhanaan dari tarif bertahap, jika
daerah pelayanan transportasi dibagi dalam zona-zona. Pusat kota biasanya
sebagai zona terdalam dan dikelilingi oleh zona terluar yang tersusun seperti
sebuah sabuk. Daerah pelayanan transportasi juga di bagi dalam zona- zona yang
berdekatan. Jika terdapat jalan melintang dan melingkar, panjang jalan ini harus
dibatasi dengan membagi zona-zona kedalam sektor-sektor. Skala jarak dan tarif
dibentuk dengan cara yang sama dengan struktur tarif bertahap, misalnya
berdasarkan suatu tingkatan tarif.
Tarif ( RP )
Jarak tempuh (Km)
19
Kerugian pada struktur tarif ini adalah bagi penumpang yang hanya
melakukan suatu perjalanan jarak pendek didalam dua zona yang berdekatan,
mereka harus membayar ongkos untuk dua zona. Sebaliknya suatu perjalanan
yang panjang dapat menjadi lebih murah apabila dilakukan djdalam sebuah zona
dibandingkan dengan perjalanan pendek yang melintas batas zona.
Gambar 2.4 Struktur Tarif Zona
Tarif angkutan kota Kapuas yang berlaku saat ini dapat ditunjukkan pada tabel 2.3
Tabel 2.3 Tarif Angkutan KotaNo Trayek Tarif Umum Tarif Pelajar
1
2
3
Kota
Bundaran Pancasila
Bamban
Rp 3000,00
Rp. 3000,00
Rp. 3000,00
Rp. 2000,00
Rp. 2000,00
Rp. 2000,00
1000
700
500
Pusat
Zona 1
Zona 2
Jarak Tempuh (km)
Tarif (Rp)
20
2.8. Sistem Penentuaa Tarif Jasa Transportasi
Untuk menentukan kebijaksanaan besaran tarif, salah satu cara yang umum
ditempuh adalah dengan menentukan terlebih dahulu tujuan kebijaksanaan tersebut
ini tidak hanya membutuhkan rumusan tujuan yang relevan dan nyata, tetapi juga
prosedur yang spesifik untuk meyakinkan bahwa kebijaksanaan yang ditetapkan
menuju arah yang benar dan perkembangannya terus diperhatikan. masalah yang
umum dihadapi adalah tanggung jawab terhadap sistem angkutan yang dipikul oleh
pemerintah sebagai penentu kebijaksanaan dan pengawas keuangan, dan operator
angkutan umum yang bertanggung jawab terhadap pengoperasian angkutan umum
dari hari ke hari. Jadi rumusan dan pelaksanaan tujuan dari kebijaksanaan tarif ini
harus memperhatikan tujuan-tujuan sosial dan ekonorni dari sebagian besar
masyarakat.
Besaran tarif yang ditetapkan harus mencerminkan pemberian kesempatan
perjalanan yang lebih besar kepada masyarakat yang kurang mampu, mengurangi
kekacauan pada angkutan kota, meningkatkan kinerja angkutan kota, dan
memberikan pendapatan yang cukup kepada operator. Tarif yang ditetapkan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas haruslah dilandasi perhitungan biaya
pokok produksi persatuan unit out put dan sesuai derigan kemampuan masyarakat
untuk membayar.
21
2.9. Tarif berdasarkan Biaya Operasional Kendaraan ( BOK ) Angkutan Kota
Biaya operasi kendaraan adalah suatu batasan penghasilan yang harus
dipenuhi oleh hasil operasi kendaraan angkutan dalam satuan waktu operasi
tertentu, dimana meliputi seluruh pembiayaan yang harus ditanggulangi agar
pengoperasian kendaraan angkutan menjadi lancar. Komponen biaya operasi
kendaraan ini terdiri dari:
a. Biaya langsung
Biaya langsung adalah biaya yang berkaitan langsung dengan produk jasa
yang dihasilkan.
b. Biaya tidak langsung
Biaya tidak langsung adalah yang secara tidak langsung berhubungan
dengan produk jasa yang dihasilkan.
Ditinjau dari kegiatan usaha angkutan, maka biaya yang dikeluarkan untuk
suatu produksi jasa angkutan yang akan dijual kepada pemakai jasa, dapat
dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
a. Yang dikeluarkan untuk pengelolaan perusahaan.
b. Yang dikeluarkan untuk operasional kendaraan.
c. Yang dikeluarkan untuk retribusi, iuran, sumbangan dan lain-lain
yang berkenaan dengan kepemilikan usaha, kendaraan, dan operasinya.
Berdasarkan penggolongan biaya tersebut diatas, maka struktur perhitungan
biaya pokok jasa angkutan jalan raya adalah sebagai berikut:
22
A. Biaya Langsung
a. Penyusutan kendaraan
b. Bunga modal kendaraan
c. Sopir
d. Bahan bakar minyak
e. Ban
f. Service kecil
g. Service besar
h. Kampas rem dan kampas kopling
i. Cuci mobil
j. Retribusi
k. STNK
l. KIR
m. Asuransi
B. Biaya tidak Langsung
a. Biaya pegawai selain sopir
b. Biaya pengelolaan
Berdasarkan pengelompokan biaya itu, struktur perhitungan biaya pokok
jasa angkutan adalah sebagai berikut:
a. Biaya langsung, dengan komponen-komponen yang ada yaitu :
1. Biaya tetap
a. Biaya penyusutan.
Dihitung dengan metode garis lurus.
23
Penyusutan =
Nilai residu kendaraan adalah 20% dari harga kendaraan.
b. Bunga modal.
Bunga modal dihitung dengan rumus:
Bunga modal =
Dimana n adalah masa pengembalian.
c. Gaji sopir.
Penghasilan sopir kendaraan berupa gaji, dan tunjangan sosial.
Gaji sopir dihitung dengan rumus:
Gaji =
2. Biaya tidak tetap
a. Bahan bakar minyak (BBM).
Penggunaan BBM tergantung dari jenis kendaraannya. Penggunaan BBM
dihitung dengan rumus:
BBM =
b. Biaya ban.
Biaya ban dihitung dengan rumus:
Biaya ban =
c. Servis kecil.
Servis kecil dilakukan denga patokan Km tempuh antar servis, yang pada
dasarnya penggantian oli mesin dan penambahan gemuk serta minyak
rem.
24
Servis kecil dihitung dengan rumus:
Biaya servis kecil =
d. Servis besar
Servis besar dilakukan setelah beberapa kali servis kecil atau dengan
patokan Km tempuh.
Biaya servis besar =
e. Biaya kampas kopling dan biaya kampas rem.
Biaya ini dihitung dengan rumus:
Biaya kampas =
f. Biaya AC
Biaya ini dihitung dengan rumus:
Biaya AC =
g. Biaya cuci mobil.
Biaya ini dihitung dengan rumus:
Biaya cuci mobil =
h. Biaya retribusi.
Biaya ini dihitung dengan rumus:
Biaya retribusi =
i. Biaya STNK.
Perpanjangan STNK dilakukan setiap tahun sekali dan biayanya sesuai
dengan peraturan yang berlaku.
25
Biaya ini dapat dihitung dengan rumus:
Biaya STNK =
j. Biaya KIR
KIR kendaran dilakukan sekali setiap 6 bulan.
Biaya ini dapat dihitung dengan rumus:
Biaya KIR =
k. Biaya karyawan.
Biaya ini dihitung dengan rumus:
Biaya karyawan =
l. Biaya pengelolaan.
Biaya ini terdiri dari biaya pengelolaan arrnada. Biaya ini terdiri dari
biaya kantor, administrasi kantor, listrik, air, telepon, pajak perusahaan
dan biaya ijin usaha. Biaya ini dihitung dengan rumus:
Biaya pengelolaan =
2.10 Produksi Pelayanan Angkutan Umum
Parameter produksi Pelayanan umum mempunyai tiga alternatif besaran yang
dapat ditinjau, yaitu :
a. Jumlah seat - trip per satuan Waktu.
Seat - trip adalah besaran yang menuniukkan jumlah tempat duduk trip
tersedia dan suatu pelayanan angkutan umum per satuan waktu. Besaran ini
pada dasarnya hanya menunjukkan kapasitas angkut yang dapat diberikan
oleh suatu sistem angkutan umum per satuan waktu. Besaran ini tidak
tergantung pada kondisi penumpang, karena besaran ini pada dasamya hanya
26
menunjukkan kapasitas, bukan kondisi faktual tingkat pengisian. Jika suatu
sistem angkutan umum pada suatu rute mengoperasikan moda dengan
kapasitas angkut sebesar M tempat duduk (seat) dan sistem angkutan umum
dimaksud dapat melakukan trip sebanyak N kali setiap tahunnya, maka
besarnya produksi pelayanan angkutan umum pertahunnya dengan besaran
seat - trip adalah dapat dihitung dengan persamaan (2.3) berikut:
Total seat – trip = Kapasitas Angkut x Jumlah Trip Per Tahun
= M X N
Untuk menghitung total seat - trip ini diperlukan kapasitas dan jumlah
trip yang dapat dilakukan persatuan waktu.
b. Jumlah penumpang - kilometer per satuan waktu
Adalah besaran yang menunjukkan karakteristik penumpang yang
terangkut dari suatu pelayanan umum. Karakteristik dimaksud meliputi
karakteristik panjang perjalanan dan juga karakteristik jumlah penumpang.
Dengan sendirinya, karena tiap rute mempunyai karakteristik panjang
perjalanan yang berbeda, maka besaran produksi perjalanan angkutan umum
dengan dimensi ini sangat bervariasi untuk setiap rutenya karena tergantung
jumlah dan panjang perjalanan penumpang. Untuk menghitung besarn total
produksi pelayanan angkutan umum dengan menggunakan dimensi
penumpang - kilometer ini perlu dibuat profil pengisian (loading profile)
angkutan dalam satu trip. Profil pengisian ini merupakan grafik yang akan
menggambarkan besar kecilnya penumpang didalam kendaraan pada setiap
27
perhentian untuk satu tripnya. Untuk mempermudah perhitungan, maka luas
grafik tersebut dapat dihitung dengan mengalikan jumlah penumpang didalam
kendaraan (on board) dengan jarak ratarata antar perhentian (link).
c. Jumlah Penumpang - Trip
Adalah besaran yang menunjukkan produksi pelayanan angkutan
umum yang karakteristik perjalanan penumpangnya tidak dipresentasikan.
Jadi besaran ini hanya menunjukkan banyaknya penumpang terangkut dan
suatu pelayanan angkutan tanpa memperhatikan sama sekali panjang
perjalanan penumpang. Jika suatu angkutan umum mengangkut penumpang
pada perhentian awal sebanyak 15 orang dan tak satupun dan penumpang
yang turun sampai perhentian akhir, maka jumlah produksi penumpang - trip
yang dihasilkan adalah 15 orang penumpang - trip. Besaran rute yang
dilayani. untuk rute yang penumpangnya tidak turun, kecuali diperhentian
akhir akan menghasilkan total produksi angkutan umum yang kecil, meskipun
tingkat pengisiannya tinggi. Jadi besaran total produksi pelayanan angkutan
umum ini sangat tergantung pada loading-profile dari rute yang dimaksud.
2.11 Tarif Berdasarkan Kemampuan Membayar Penumpang (Ablity
To Pay)
Kemampuan membayar adalah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh
pemakai jasa angkutan kota sesuai dengan kemampuan belinya yang didasarkan atas
pendapatan perbulan, alokasi pendapatan untuk transportasi khususnya angkutan kota
dari total panjang perjalanan tiap bulan. Kemampuan daya beli ini menjadi pedoman
28
dalam menentukan pilihan apakah menggunakan angkutan kota atau angkutan yang
lain. Bila biaya yang harus ditanggung mempunyai proporsi yang sangat besar dan
tingkat pendapatannya, maka pemakai jasa akan mempertimbangkan untuk memilih
menggunakan moda angkutan yang lebih murah. Jika tidak ada pilihan lain maka
pemakai akan tetap menggunakan angkutan kota, karena disamping pendapatan,
utilitas adalah merupakan salah satu faktor dalam memihh moda yang akan
digunakan.
Kemampuan membayar merupakan salah acuan untuk menentukan besaran
tarif angkutan kota. Untuk menentukan berapa besarnya biaya yang dialokasikan dari
total pendapatan setiap bulannya, peneliti akan secara langsung mensurvei dengan
melakukan interview pada setiap responden ke rumah-rumah.
1.11.1. Faktor yang dipakai untuk survei ATP
Faktor-faktor yang digunakan untuk menentukan ATP terhadap jasa angkutan
kota adalah pendapatan responden, kebutuhan transportasi, biaya transportasi,
intensitas perjalanan dan tarif angkutan kota. Adapun variabel dan faktor tersebut
dapat ditunjukkan pada tabel 2.4
Tabel 2.4 Faktor Penentu Analisis ATP Angkutan Kota.
faktor Variabel
Pendapatan responden Tota Pendapatan responden
Kebutuhan Transportasi Aktivitas responden
Biaya transportasi Persentase pendapatan yang digunakan untuk biaya
29
transportasi
Intensitas Perjalanan Rata-rata panjang perjalanan
TarifAngkutan Kota Biaya yang hams dikeluarkan dan pernakai atas
pelayanan yang dinikmati
2.12. Tarif Berdasarkan Willingness To Pay
Besaran tarif yang ditetapkan hams mencerminkan pemberian kesempatan
perjalanan yang lebih besar kepada masyarakat yang kurang mampu, mengurangi
kekacauan pada angkutan kota, meningkatkan kinerja angkutan kota, dan
memberikan pendapatan yang cukup kepada operator. Tarif yang ditetapkan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan diatas haruslah dilandasi perhitungan biaya
operasi kendaraan persatuan unit out put dan sesuai dengan kemampuan masyarakat
untuk membayar.
Willingness To Pay dapat diartikan sebagai kemampuan membayar oleh
masyarakat terhadap nilai tarif angkutan kota. yang didasarkan pada kesadaran
masyarakat terhadap besaran nilai tarif yang rasional. Dengan memperhatikan
parameter berdasarkan Biaya Pokok Produksi ( BPP ) parameter Willingness To Pay
pada dasarnya ada 3 (tiga) kemungkinan yang dapat terjadi, yaitu:
1. Nilai Willingness To Pay berada cukup jauh diatas nilai BPP
Pada kondisi ini besaran tarif dapat ditetapkan dengan leluasa, yaitu
diantara kedua nilai tersebut, diatas BPP dan dibawah Willingness To Pay.
2. Nilai Willingness To Pay sangat dekat dengan nilai BPP, tetapi masih
berada diatasnya.
30
Pada kondisi ini besaran tarif dapat ditetapkan di bawah Willingness
To Pay dengan keadaan yang nilainya diatas atau sama dengan BPP.
Tetapi keadaan ini terkadang menyebabkan margin keuntungan yang
diperoleh pihak operator sangat kecil atau bahkan tidak ada sama sekali.
Untuk memperbesar margin keuntungan yang cukup bagi operator dan
juga memperhatikan kepentingan masyarakat luas dengan menetapkan
besaran tarif dibawah Willingness To Pay, maka dapat disarankan agar
kekurangan margin keuntungan operator ini ditutup oleh pemerintah dalam
bentuk subsidi.
3. Nilai Willingness To Pay terletak cukup jauh dibawah nilal BPP.
Pada kondisi ini penetapan besaran tarif menjadi jauh lebih sulit,
karena sangat tidak mungkin untuk memperhatikan kepentingan operator
dan kepentingan masyarakat secara simultan. Jika besaran tarif yang
ditetapkan diatas BPP akan menyebabkan besaran tarif jauh diatas
Willingness To Pay, yang berarti masyarakat umum tidak mampu
membayar jasa yang ditawarkan.
Di lain pihak jika besaran tarif ditetapkan di bawah Willingness To Pay
akan menyebabkan besaran tarif jauh dibawah BPP, yang berarti margin
keuntungan yang diperoleh operator menjadi negatif atau rugi. Untuk
mengantisipasi masalah ini pemerintah harus turun tangan, yaitu
menetapkan tarif yang lebih rendah dan Willingness To Pay dan dalam
waktu bersamaan memberikan intensif pada operator sedemikian sehingga
pendapatan per penumpang lebih besar dan BPP, atau dengan kata lain
31
operator tetap mendapat margin keuntungan. Bentuk intensif yang
diberikan adalah berupa subsidi.
2.13 Penelitian yang Pernah Dilakukan Sebelumnya.
Contoh penelitiian dapat dilihat dari hasil penelitian yang pernah
dilaksanankan sebagai berikut :
Susanti, Leni (2004), meneliti tentang Evaluasi Aggkutana Kota Berdasarkan
Analisa Ability To Pay (ATP), Willingness To Pay (WTP) dan Pengeluaran
Nyata di Trayek A Kota Kapuas.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kemampuan daya beli dan
persepsi masyarakat terhadap tariff angkutan kota, maka perlu dilakukan
evaluasi terhadap tariff angkutan kota yang berlaku sekarang apakah sesuai
berdasarkan pendekatan Biaya Pokok Produksi dengan analisa Ability To Pay
(ATP), Wllingness TO pay (WTP) dan Pengeluaran nyata masyarakat pada
pemukiman Denmar Permai III yang dilewati rute trayek A kota Kapuas.
Berdasarkan hasil studi dan analisa menunjukkan bahwa tariff yang berlaku
pada saat ini sebesar Rp. 1.000,00 masih berada dibbawah tariff yang
semestinya berlaku berdasarkan pendekatan Biaya Pokok Produksi sebesar
Rp. 1.508,82. Kelompok responden dengan pendapatan sampai dengan Rp.
1.000.000,00 perbulan mempunyai ATP sebesar Rp. 1.615,98; WTP sebesar
Rp. 1.406,55 dan pengeluaran Nyata Rp. 1.553,03. Sedangkan untuk
kelompok responden dengan pendapatandiatas Rp. 1.000.000,00 per bulan
32
mempunyai ATP sebesar Rp. 1.562,27; WTP sebesar Rp.1.068,20 dan
pengeluaran nyata sebesar Rp. 1.451,07.
Hasil studi ini, dengan adanya nilai ATP, WTP dan pengeluaran Nyata dapat
dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan tariff angkutan kota
yang sesuai berdasarkan pendekatan Biaya Pokok Produksi (BPP).