bab ii bener -...

33
23 BAB II A. PENGERTIAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM Seringkali kita mengalami kerancuan ketika berbicara hukum Islam. Bahkan, tidak jarang ada salah pemakaian kata ketika disandingkan dengan istilah syari’at dan fiqih. Dalam tulisannya Qadry A Azizy membedakan terma hukum Islam dan fiqih sebagai berikut 1 . Pertama, istilah fiqih berarti faham (fahm/understanding) yang menjadi kebalikan dari dan sekaligus menjadi suplemen terhadap istilah ‘ilm (menerima pelajaran) terhadap nash, yakni al Qur’an, Sunnah atau Hadits. Kedua, fiqih dan ilm keduanya mengacu pada pengetahuan (knowledge) yang berarti menjadi identik. Ketiga, fiqih berarti suatu jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan Islam atau ilmu-ilmu keislaman. Kalau ditelisik, pada awalnya penggunaan term fiqih 2 mencakup hukum- hukum agama secara global (kaffah), menyeluruh, baik itu yang berkaitan dengan al aqa’id (kepercayaan), maupun yang berkenaan dengan hukum-hukum amaliyyah (praktis) dan akhlak. Tidak heran kalau kemudian muncul istilah– istilah lain seperti al fiqih al asghar dan al fiqih al akbar. Ulama yang pertama mengenalkan term tersebut adalah Abu Hanifah. Berbeda dengan at Tirmidzi, ia 1 A Qadri Azizy, Ph.D., Hukum Nasional;Eklektisisme Hukum Islam dan Umum, Jakarta: Teraju, 2004, hlm 21-22. 2 Fiqih berarti juga yurisprudensi atau kumpulan hukum-hukum syari’at Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci. Dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar hukum syar’iyah menurut jumhur ulama adalah al Qur’an, al Sunnah, al Ijma, dan al Qiyas. Untuk lebih detail mengenai definisi dan objek fiqih lihat Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 2-6.

Upload: dangtuyen

Post on 10-Nov-2018

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

23

BAB II

A. PENGERTIAN, SEJARAH DAN PERKEMBANGAN HUKUM ISLAM

Seringkali kita mengalami kerancuan ketika berbicara hukum Islam.

Bahkan, tidak jarang ada salah pemakaian kata ketika disandingkan dengan istilah

syari’at dan fiqih. Dalam tulisannya Qadry A Azizy membedakan terma hukum

Islam dan fiqih sebagai berikut1. Pertama, istilah fiqih berarti faham

(fahm/understanding) yang menjadi kebalikan dari dan sekaligus menjadi

suplemen terhadap istilah ‘ilm (menerima pelajaran) terhadap nash, yakni al

Qur’an, Sunnah atau Hadits. Kedua, fiqih dan ilm keduanya mengacu pada

pengetahuan (knowledge) yang berarti menjadi identik. Ketiga, fiqih berarti suatu

jenis disiplin dari jenis-jenis pengetahuan Islam atau ilmu-ilmu keislaman.

Kalau ditelisik, pada awalnya penggunaan term fiqih2 mencakup hukum-

hukum agama secara global (kaffah), menyeluruh, baik itu yang berkaitan dengan

al aqa’id (kepercayaan), maupun yang berkenaan dengan hukum-hukum

amaliyyah (praktis) dan akhlak. Tidak heran kalau kemudian muncul istilah–

istilah lain seperti al fiqih al asghar dan al fiqih al akbar. Ulama yang pertama

mengenalkan term tersebut adalah Abu Hanifah. Berbeda dengan at Tirmidzi, ia

1 A Qadri Azizy, Ph.D., Hukum Nasional;Eklektisisme Hukum Islam dan Umum, Jakarta:

Teraju, 2004, hlm 21-22. 2 Fiqih berarti juga yurisprudensi atau kumpulan hukum-hukum syari’at Islam mengenai

perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci. Dalil-dalil yang digunakan sebagai dasar hukum syar’iyah menurut jumhur ulama adalah al Qur’an, al Sunnah, al Ijma, dan al Qiyas. Untuk lebih detail mengenai definisi dan objek fiqih lihat Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 2-6.

24

memahami fiqih tentang sesuatu berarti mengetahui sampai kepada

kedalamannya.3

Sementara, sebagian ulama memaknai fiqih sebagai pengetahuan tentang

hukum-hukum perbuatan mukallaf secara terinci berdasarkan dalil-dalil dari al

Qur’an dan al Sunnah dengan cara menggali hukum (istimbat al ahkam),

penjelasan dan penerapan hukum. 4

Seiring dengan perkembangan zaman definisi fiqih pun terus meluas,

sebagaimana yang telah ditulis oleh Fazlurrahman5 dan Rasyid Ridha. Rahman

(panggilan Fazlur Rahman) mengatakan Definisi fiqih sekarang telah menjadi

suatu nama ilmu yang mempunyai istilah khusus dikalangan ulama-ulama Islam

3 Ta’rif fiqih secara detail dijelaskan oleh Hasby as Shidiqi dengan membagi dalam beberapa

periode diantaranya ta’rif fiqih masa sahabat dan masa abad kedua. Masa sahabat, fiqih dimaknai segala rupa pengetahuan agama yang tidak mudah diketahui masa yang pertama. Dan masa abad kedua, fiqih dimaknai sebagai ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban. Pada periode ini, Abu Hanifah memaknai fiqih sebagai ilmu yang menerangkan segala yang diwajibkan, disunatkan, dimakruhkan, diharamkan dan dibolehkan. Lihat, Hasby as Shidiqi, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm 24.

4 Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994 hlm 2-6

5 Rahman panggilan untuk Fazlurrahman adalah intelektual muslim yang lahir pada 1919 di Pakistan. Ilmuwan yang berasal dari kota yang sama seperti Syah Waliyullah al Dahlawi, Sayyid Ahmad Khan, Amir Alidann M Iiqbal. Rahman di besarkan dari keluarga dengan tradisi madzhab Hanafi, sebuah madzhab sunni yang bercorak lebih rasionalis karena lebih menggunakan ra’y daripada riwayat (hadits) di samping memperoleh pendidikan secara formal dari madrasah, ia juga mendapatkan pendidikan langsung dari ayahnya yang berasal dari Deoband sebuah madrasah terkenal di anak Benua Indo-Pakistan. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya di departemen ketimuran Universitas Punjab, Lahore dan lulus tahun 1942 dengan gelar M.A. dalam bidang sastera Arab, tahun 1946 Rahman mengambil program doktor di Universitas Oxford, Inggris. Tahun 1949 ia mendapat gelar Ph.D dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Ia terkenal lewat karya monumentalnya Major Themes of the Qur’an yang kemudian diterjemahkan menjadi tema pokok al Qur’an. (baca tulisan Ali Masrur dalam Studi al Qur’an Kontemporer; Wacana Baru berbagai metodologi Tafsir, Yogyakarta:Tiara Wacana 2002.

25

(Fazlur Rahman, 1979). Sedang Rasyid Ridho6 menyebutkan fiqih yakni “Al

fahmuddaqiq lil haqaiq al ladzi yakuunul ‘aalim hakiiman ‘aamilan mutqifann”.

Pemahaman fiqih yang demikian meluas, sampai fiqih difahami sebagai

kehendak pembicara sebagaimana yang diucapkan, dengan kata lain paham dan

mengerti kehendak Allah SWT dengan segala firmannya. Padahal, tingkat

pemahaman manusia sangat beragam antara yang satu dengan yang lain, artinya

fiqih lebih identik dengan ilm al syari’ah, dan ilm al syari’ah7 itu mempunyai

kebenaran yang relatif dan zhanniy (dikatakan zhanniy sebab ia adalah apa yang

dicapai oleh mujtahid dengan zhann-nya) artinya fiqih itu sifatnya relatif dan

zhanny.

Karena zhanny-nya itulah kemudian terus menerus mengalami

perkembangan dan metamorfose, termasuk relasinya dengan syari’ah karena

berbicara fiqih tidak lepas dengan syari’ah. Secara sederhana syari’ah difahami

sebagai hukum-hukum atau tata aturan yang disampaikan Allah SWT kepada

hamba-Nya, baik itu al Qur’an (al wahy al matluww) maupun al Sunnah (al wahy

ghairu al matluww). Sekalipun dalam term lain syari’ah lebih berkonotasi kepada

hukum Islam yang tidak tetap dan berkembang, berubah sesuai dengan ruang dan

waktu, sehingga syari’ah tidak hanya berasal dari al wahy al matluww dan al

6 Rasyid Ridha lahir di sebuah desa dekat Tripoli. Ia memulai pendidikannya dengan cara tradisional disebuah sekolah al Qur’an setempat. Setelah selesai kemudian ia melanjutkan di sekolah Husain al Jisr. Di sekolah inilah ia untuk pertama kalinya ia mencicipi ilmu modern dan dunia baru Eropa dan Amerika. Diantara karya-karya klasik Islam, Rasyid Ridha sangat terpengaruh oleh Ihya ulum al dien al Ghazali dan dalam pengertian tertentu karya al Ghazali tersebut tetap menjadi pengaruh terdalam bagi hidup Rasyid Ridha.

7 Untuk lebih jelas membedakan fiqh dan syari’ah lihat Hasby as Shiddiqie, Pengantar Hukum Islam, Bulan Bintang: Jakarta, 1975, hal 22 –31.

26

wahy ghairu al matluww akan tetapi, mencakup juga ijtihad, dan ijma, baik

ijtihad itu berupa qiyas, yakni lebih melihat kepada relasi al wahy al matluww

dan adilah-adilah.

Hubungannya dengan fiqih adalah bahwa untuk mengetahui keseluruhan

apa yang dikehendaki Allah SWT, yang sebagian telah tertulis dan sebagian tidak

tertulis/tersirat itu harus ada pemahaman yang mendalam tentang syari’at hingga

secara amaliyah, syari’at itu dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi apapun.

Hasil dari pemahaman itu dituangkan dalam bentuk ketentuan yang terperinci

tentang tindak tanduk manusia mukallaf diramu dan diformulasikan sebagai hasil

pemahaman terhadap syari’at itulah yang kemudian disebut dengan fiqih.

Pemahaman terhadap hukum syara’ pun tak jauh berbeda dengan fiqih,

secara otomatis mengalamai perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan

perubahan situasi dan kondisi manusia yang menjalankannya. Dari uraian tadi,

jelaslah bahwa fiqih merupakan refleksi dari perkembangan perikehidupan

masyarakat sesuai dengan kondisi zamannya, dan mazhab fiqih tidak lain dari

refleksi perkembangan kehidupan masyarakat dalam alam Islam, karenanya

berubah setiap saat. Berbeda dengan tasyri’, ahli hukum Islam mendefinisikan

tasyri’ sebagai pembentukan garis-garis besar hukum Islam, pembentukan teori-

teori hukum Islam8. Atau sederhananya pembentukan hukum Islam secara

sistematis, pembentukan hukum-hukum teoritis dan praktis. Dengan lain kata, ada

dua unsur yang terdapat dalam term tasyri, yakni unsur wahyu dan akal. Dari dua

27

unsur itulah kemudian dikenal tasyri samawi (aturan berasal dari Tuhan) dan

tasryi wadiy (tasyri buatan manusia dengan berdasar pada wahyu Allah SWT).

Bedanya syari’at9 dengan tasyri’ adalah kalau syari’at berada pada level

materi hukumnya sedangkan tasyri itu sendiri adalah penetapan materi syari’at iru

sendiri. Lain syari’at lain hukum Islam, kalau syari’at muncul dalam al Qur’an

sebanyak 5 kali, begitu pula kata fiqih atau yang seakar dengan kata itu muncul

dalam 20 ayat secara terpisah dalam al Qur’an. demikian pula terdapat kata

‘hukum Allah SWT’ dalam al Qur’an surat al Mukminun ayat 10 yang berarti

hukum syara’.

Fiqih, sesungguhnya adalah hasil dialektika antara teks-teks otoritatif (al-

Qur’an dan dalam kadar tertentu juga al-Hadits) dan realitas kemanusiaan,

dialektika antara wahyu dan akal, dialektika antara yang samawi dan ardhi yang

dibaca secara cerdas oleh anak-anak zamannya. Hanafi (W. 150 H)10, Maliki (W.

9 Secara etimologi syari’at berarti sumber atau aliran air yang digunakan untuk minum, dalam

perkembangannya kata syari’at digunakan orang Arab untuk mengacu pada jalan (agama) yang lurus (al Thariqah al Mustaqimah) karena keduanya mempunyai keterkaitan makna. Sumber/aliran air merupakan kebutuhan pokok manusia untuk memelihara keselamatan jiwa dan tubuh mereka, sedangkan at-thariqah al Mustaqimah merupakan kebutuhan pokok yang akan menyelamatkan dan membawa kebaikan bagi umat manusia. Dari akar kata ini Syari’at diartikan sebagai agama yang lurus yang diturunkan Allah SWT bagi umat manusia. Sedangkan menurut as Syatibi, Sesungguhnya syari’at sama dengan agama. Beda dengan Manna al Qattan (ahli fiqih dari Mesir) mendefinisikan Syari’at sebagai segala ketentuan Allah bagi hambanya yang meliputi akidah, ibadah, akhlak dan tata kehidupan umat manusia untuk mencapai kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru, 1996 Jilid I hlm 334 -335

10 Nama aslinya an Nu’man atau lebih dikenal dengan imam Hanafi. Ia lahir pada 80 H (659 M), satu pendapat mengatakan bahwa ia berasal dari Anbar dan ia pernah tinggal di Tarmuz dan Nisa. Ada juga yang mengatakan bahwa Abu Hanifah berasal dari bangsa Persia. Abu Hanifah terkenal sebagai seorang alim dalam ilmu fiqih dan tauhid. Sebagian ahli sejarah menyebut Imam Abu Hanifah belajar kepada Ibrohim, Umar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud dan Abdullah bin Abbas dalam bidang fiqih. Beberapa kitab yang terkenal dan merupakan buah tangannya adalah al- Kharaj,al-Athar dan Arras ‘ala siari al-Auzali. Untuk lebih panjang lebar baca Ahmad al Syurbasyi judul terj Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Semarang: Amzah, 2001, hlm 12 - 70

28

179 H)11, Hambali (W. 241 H)12 dan lain-lain adalah contoh pemikir yang

melakukan pembacaan terhadap dialektika tersebut. Kata dialektika perlu

digarisbawahi untuk memberikan kesan bahwa kedua belah pihak yang berdialog

diletakkan dalam posisi tawar yang sejajar, tidak ada yang menang dan tidak ada

yang dikalahkan.

Dialektika itulah yang kemudian melahirkan aturan-aturan tata nilai yang

benar-benar membumi sebagai dimensi kemanusiaan namun tetap memiliki nilai

samawi sebagai dimensi keilahiyannya. Tata nilai itulah yang pada akhirnya

disebut dengan hukum Islam (fiqih). Kesalahan besar (mungkin juga

ketidakmengertian) yang pernah dan sedang terjadi dalam rentang perjalanan

sejarah fiqih adalah mengubah watak dialogis fiqih menjadi corak monologis. Di

bawah tekanan corak kedua ini, akhirnya fiqih lambat laun namun pasti menuju

kematiannya. Dalam tarikan nafas yang sama, peran akal, nilai tawar realitas-

empiris dan hajat riil kemanusiaan terabaikan dan disia-siakan.

Anehnya justru manusia sendiri yang melakukan pembunuhan terhadap

unsur-unsur penting bangunan fiqih itu. Pada akhirnya fiqih dipahami sebagai

11 Imam Malik di lahirkan pada zaman pemerintahan al Walid bin Abdul Malik al-Umawi. Ia lahir di Zulmarwah sebuah tempat yang berada disebelah utara Madinah al Munwarah. Kemudian beliau tinggal di al Akik sebelum akhirnya ia menetap di Madinah. Ada Ikhtilaf di kalangan sejarawan tentang tahun kelahiran Imam Malik ada yang menyebut 90 H, 94 H, 95 H dan 97 H. ia pernah berguru kepada Abdul Rahman bin Harmuz al ‘Araj selama kurang lebih 7 tahun. Ia juga berguru kepada Rabi’ah bin Abdul Rahman Furukh, Ja’far bin Muhammad al Bakir. Imam Malik sangat masyhur sebagai ulama yang alim dalam bidang hadits Ahmad al Syurbasyi judul terj Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab, Semarang: Amzah, 2001. hlm 71 –73.

12 Imam Ahmad bin Hanbal atau Imam Hambali di lahirkan di kota Bagdad pada bulan Rabiul Awal tahun 164 H. pertama kali ia belajar kepada Abi Yusuf Ya’kub bin Ibrohim al Qadli, ia belajar ilmu fiqih dan hadits. Ia juga belajar kepada Husyaim bin Basyir bin Abi Khasim al Hanbal, Umair bin Abdullah, Abdul Rahman bin Mahdi dan Abi Bakar bin Iyasi. Ibnu Hambal terkenal sebagai orang yang sangat kuat penerimaannya terhadap hadits-hadits Rosulullah.

29

hasil pemikiran ulama Arab klasik yang final dan berlaku universal. Inilah yang

oleh al-Qarafi ( W. 684 H) disebut ‘kesesatan (dalam) agama’. Al-Qarafi

menyatakan “al-jumud ala al-manqulat abadan dhalalun fi al-din wa jahlun

bimaqosidi ulama al-muslimin wa al-salafi al-madhin” (ketundukan tanpa batas

terhadap produk hukum tertentu adalah kesesatan dalam agama dan

ketidakmengertian terhadap tujuan ulama salaf masa lalu). Ulama-ulama mazhab

sendiri yang pemikiran hukumnya diikuti oleh hampir seluruh umat Islam di

dunia, tidak pernah menganggap dirinya sebagai manusia suci (ma’shum) yang

terbebas dari kesalahan.

Semua ulama mazhab menyerukan untuk tidak mengamini pemikirannnya

secara (membabi) buta. Imam Ahmad bin Hanbal – yang dikenal dengan ulama

tradisionalis-literalistik–misalnya, menyatakan kepada sahabat-sahabatnya:

“janganlah kalian bertaqlid kepadaku, jangan pula pada Syafi’i, al-Auza’i dan

lain-lain. Pilihlah hukum Tuhan dari sumber mana mereka menemukannya.

”Tidak diragukan lagi, ijtihad-ijtihad baru harus kita buka kembali lebar-lebar

seiring dengan kebutuhan untuk memberikan jawaban atas problem-problem

kemanusiaan yang semakin kompleks. Sudah saatnya kata “ijtihad” diakrabkan

dengan keseharian masyarakat muslim dan diatas semua itu betul-betul

diaplikasikan dalam upaya produktivitas fiqih. Untuk kepentingan ijtihad ini,

metodologi ushul fiqih perlu mendapat ruang yang sewajarnya.

30

Menurut al-Ghazali, syarat utama yang harus dipenuhi dalam proses

ijtihad adalah perangkat metode ushul fiqih. Kebenaran hasil ijtihad13 salah

satunya ditentukan oleh ketepatan dalam menggunakan metode ini. Ushul fiqih

adalah seperangkat metode untuk melakukan pembacaan terhadap dialektika

antara teks dan realitas empiris masyarakat. Sebab itulah, agenda besar ushul fiqih

adalah analisis teks dan analisis maqasid al-syari’ah. Analisis teks diarahkan

untuk memahami al-Qur’an dan juga al-Hadits secara benar.

Sedangkan analisis maqashid al-syari’ah ditujukan untuk

mempersambungkan makna teks terhadap realitas empiris dan kebutuhan riil

masyarakat. Analisis teks dan analisis maqashid al-syariah harus dijalankan

secara padu ketika seseorang hendak mengijtihadi problem kemanusiaan. Ijtihad

yang hanya bertumpu pada teks akan melahirkan corak fiqih yang kering dari

nilai-nilai kemanusiaan. Sebaliknya ijtihad yang hanya berpijak pada maqashid

al-syariah akan mengakibatkan tampilan wajah fiqih yang liar dan sulit diterima

nalar logika masyarakat, khususnya masyarakat yang masih mempercayai teks,

terlebih teks suci. Untuk memenuhi kebutuhan analisis teks, ushul fiqih

menghadirkan kaidah-kaidah kebahasaan yang luar biasa rumit sekaligus menarik.

1. Sejarah Perkembangan Hukum Islam

Kalau kita mau menengok sejarah Islam masa awal, saat kerajaan

berada di bawah pimpinan Khalifah Mu'awiyah (661-680 M) (yang masa

kekhalifahannya disebut Ibn Taymiyyah sebagai permulaan masa ‘kerajaan

13 Op Cit, hlm 140

31

dengan rahmat’- al-mulk bi al rahmah)14 kaum Muslim dapat dikatakan

kembali pada keadaan seperti zaman Abu Bakar dan 'Umar (zaman al-

Syaykhani, ‘Dua Tokoh’) yang amat dirindukan orang banyak, termasuk para

‘aktivis militan’ yang membunuh 'Utsman (dan yang kemudian [ikut]

mensponsori pengangkatan 'Ali namun akhirnya berpisah dan menjadi

golongan Khawarij).15

Apapun kualitas kekhalifahan Mu'awiyah itu, namun dalam hal

masalah penegakan hukum mereka tetap sedapat mungkin berpegang dan

meneruskan tradisi para Khalifah di Madinah dahulu, khususnya tradisi

'Umar. Karena itu ada semacam ‘koalisi’ antara Damaskus dan Madinah (tapi

suatu koalisi yang tak pernah sepenuh hati, akibat masalah keabsahan

kekuasaan Bani Umayyah itu). Tapi ‘koalisi’ itu mempunyai akibat cukup

penting dalam bidang fiqih, yaitu tumbuhnya orientasi kehukuman (Islam)

kepada Hadits atau tradisi yang berpusat di Madinah dan Makkah serta

mendapat dukungan langsung atau tak langsung dari rezim Damaskus.

Sementara banyak tokoh Madinah sendiri tetap mempertanyakan

keabsahan rezim Umayyah itu, Irak dengan kota-kota Kufah dan Basrah

adalah kawasan yang selalu potensial menentang Damaskus secara efektif. Ini

kemudian berdampak tumbuhnya dua orientasi dengan perbedaan yang cukup

14 Saat Muawiyah memimpin, ia berhasil mengembalikan persatuan kerajaan. Muawiyah

dikenal sebagai pemimpin yang kuat dan cakap. Secara detail sejarah tentang muawiyah ditulis oleh Karen Armstrong, ISLAM: A SHORT HISTORY , Sepintas Sejarah Islam, Surabaya: Ikon Teralitera, 2004, hlm 62-100.

15 Karen Armstrong, Opcit, hlm hal 43.

32

penting: Hijaz (Makkah-Madinah)16 dengan orientasi Haditsnya, dan Irak

(Kufah-Basrah) dengan orientasi penalaran pribadi (ra'y)-nya.

Pada zaman itu (zaman Tabi'in), dalam ifta' (pemberian fatwa)17 ada

dua aliran: aliran yang cenderung pada kelonggaran dan bersandar atas

penalaran, qias, penelitian tentang tujuan-tujuan hukum dan alasan-alasannya,

sebagai dasar ijtihad. Tempatnya ialah Irak. Dan aliran yang cenderung tidak

kepada kelonggaran dalam hal tersebut, dan hanya bersandar kepada bukti-

bukti atsar (peninggalan atau ‘petilasan,’ yakni, tradisi atau Sunnah) dan nash-

nash. Tempatnya ialah Hijaz. Adanya dua aliran itu merupakan akibat yang

wajar dari situasi masing-masing Hijaz dan Irak.

Hijaz adalah tempat tinggal kenabian. Di situ Rasul menetap,

menyampaikan seruannya, kemudian para Sahabat beliau menyambut,

mendengarkan, memelihara sabda-sabda beliau dan menerapkannya. Dan

(Hijaz) tetap menjadi tempat tinggal banyak dari mereka (para Sahabat) yang

datang kemudian sampai beliau wafat. Kemudian mereka ini mewariskan apa

saja yang mereka ketahui kepada penduduk (berikut)-nya, yaitu kaum Tabi'in

yang bersemangat untuk tinggal di sana.

16 Sejak awal Hijaz sebagai daerah labil dan dominan konflik. Hijaz dilanda oleh beberapa

kerusuhan dan pemberontakan diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Abdullah ibnu Zubair. Karen Armstrong, Opcit, hlm 52

17Pada masa itu, Ahli fatwa dimaknai sebagai mereka yang dapat memahamkan al Qur’an dan as Sunnah dengan sempurna. Yang termasuk ahli fatwa saat itu adalah Abu Bakar as Shidieq (w 13 H), Umar bin Khattab (w 23 H), Utsman bin Affan (w 35 H), Ali bin Abi Thalib (w 40 H), Abu Musa al Asy’ari (w 44 H), Abdullah ibn Mas’ud (w 32 H), Zaid bin Tsabit (w 45 H) Lihat Prof Dr Hasbi As Shidiqie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, hlm 73

33

Sedangkan Irak telah mempunyai peradabannya sendiri, sistem

pemerintahannya, kompleksitas kehidupannya, dan tidak mendapatkan bagian

dari Sunnah kecuali melalui para Sahabat dan Tabi'in yang pindah kesana.

Dan yang dibawa pindah oleh mereka itu pun masih lebih sedikit daripada

yang ada di Hijaz. Padahal peristiwa-peristiwa (hukum) di Irak itu,

disebabkan masa lampaunya, adalah lebih banyak daripada yang ada di Hijaz;

begitu pula kebudayaan penduduknya dan terlatihnya mereka itu kepada

penalaran, adalah lebih luas dan lebih banyak. Karena itulah keperluan

mereka kepada penalaran lebih kuat terasa, dan penggunaannya juga lebih

banyak. Penyandaran diri kepadanya juga lebih jelas nampak, mengingat

sedikitnya Sunnah pada mereka itu tidak memadai untuk semua tuntutan

mereka. Ini masih ditambah dengan kecenderungan mereka untuk banyak

membuat asumsi-asumsi dan perincian karena keinginan mendapatkan

tambahan pengetahuan, penalaran mendalam dan pelaksanaan yang banyak.

Jika dikatakan bahwa orang-orang Hijaz adalah Ahl al-Riwayah18

(‘Kelompok Riwayat,’ karena mereka banyak berpegang kepada penuturan

masa lampau, seperti Hadits, sebagai pedoman) dan orang-orang Irak adalah

Ahl al-Ra'y19 (‘Kelompok Penalaran’, dengan isyarat tidak banyak

18 Secara sederhana beberapa ulama menyebut ahl al riwayah bagi mereka yang dalam

menentukan hukum memakai sandaran hadits saja setelah kibaullah. Diantara pemuka ahli hadits/ahl al riwayah masa awal adalah Said ibn al Musayyab (Madinah) dan Amir ibn Syurahil (Syurahbil). Lihat Hasby, Pengantar Hukum Islam, Op.cit hlm 93

19 Ahl al Ra’yu adalah mereka yang dalam menentukan hukum menggunakan penalaran sebagai landasan pijka hukum atau lebih dikenal dengan ahli Qiyas. Beberapa nama masyhur ahl qiyas pada peroide awal adalah Ibrahim an Nakha’i yang juga guru dari Hammad dan Hammad ini adalah

34

mementingkan ‘riwayat’), sesungguhnya itu hanya karakteristik gaya

intelektual masing-masing daerah itu. Sedangkan pada peringkat individu,

cukup banyak dari masing-masing daerah yang tidak mengikuti karakteristik

umum itu. Maka di kalangan orang-orang Hijaz terdapat seorang sarjana

bernama Rabi'ah yang tergolong "Kelompok Penalaran," dan di kalangan para

sarjana Irak, kelak, tampil seorang penganut dan pembela "Kelompok

Riwayat" yang sangat tegar, yaitu Ahmad ibn Hanbal. Disamping itu,

membuat generalisasi bahwa sesuatu kelompok hanya melakukan satu metode

penetapan hukum atau tasry', apakah itu penalaran atau penuturan riwayat,

adalah tidak tepat. Terdapat persilangan antara keduanya, meskipun masing-

masing tetap dapat dikenali ciri utamanya dari kedua kategori tersebut. Ini

semakin memperkaya pemikiran hukum zaman Tabi'in.

Pada periode ini, mulai ada dinamisasi hukum Islam, fiqih dipandang

sebagai sesuatu yang independen, ruang perdebatan antara fuqaha mulai

terbuka lebar, pertanyaan seperti “Apakah hadits saja yang boleh dipakai

sesudah al Qur’an, ataukah boleh juga dipergunakan ra’yu dan

menetapkannya sebagai suatu dasar juga dari dasar-dasar hukum?

2. Memotret realitas hukum Islam masa tabi’in

Dari abstraksi diatas, dalam bidang fiqih seperti juga dalam bidang-

bidang yang lain masa Tabi'in adalah masa peralihan dari masa sahabat Nabi

guru dari imam Abu Hanifah dan yang kedua Rabi’ah ibn Abdurrahman Faruch (w 136) yang juga guru dari Imam Maliki, Hasby, Ibid, hlm 93

35

dan masa tampilnya imam-imam mazhab.20 Di satu pihak masa itu bisa

disebut sebagai kelanjutan wajar masa sahabat Nabi, di lain pihak pada masa

itu juga mulai disaksikan munculnya tokoh-tokoh dengan sikap yang secara

nisbi lebih mandiri, dengan penampilan kesarjanaan di bidang keahlian yang

lebih mengarah pada spesialisasi.

Yang disebut "para pengikut" (makna kata Tabi'in) ialah kaum Muslim

generasi kedua (mereka menjadi Muslim ditangan para Sahabat Nabi). Dalam

pandangan keagamaan banyak ulama masa Tabi'in itu, bersama dengan masa

para Sahabat sebelumnya dan masa Tabi'in al-Tabi'in (‘para pengikut dari para

pengikut’ yakni, kaum Muslim generasi ketiga), dianggap sebagai masa-masa

paling otentik dalam sejarah Islam, dan ketiga masa itu sebagai kesatuan

suasana yang disebut salaf (Klasik).

Walaupun begitu tidaklah berarti masa generasi kedua ini bebas dari

persoalan dan kerumitan. Justru sifat transisional masa ini ditandai berbagai

gejala kekacauan pemahaman keagamaan tertentu, yang bersumber dari sisa

dan kelanjutan berbagai konflik politik, terutama yang terjadi sejak peristiwa

pembunuhan 'Utsman, Khalifah III. Tumbuhnya partisan-partisan politik yang

berjuang keras memperoleh pengakuan dan legitimasi bagi klaim-klaim

20 Paska Nabi SAW wafat ada beberapa referensi yang menyebut perkembangan hukum Islam terkait erat dengan hukum Romawi, karena perluasan wilayah Islam saat itu tidak hanya romawi, akan tetapi terkait juga dengan beberapa wilayah seperti Persia dan Sasania. Sehingga asumsi adanya pengaruh hukum Persia dan Sasania ke dalam hukum Islam sangat memungkinkan, munculnya istilah diwan adalah salah satu istilah ynag diadposi dari du wuilayah ‘jajahan’ tersebut. Secara panjang lebar Muhammad Hamidullah dkk, memaparkan secara panjang lebar tentang pengaruh Hukum Romawi terhadap Hukum Islam dalam Fikih Islam dan Hukum Romawi, Refleksi Atas Hukum Lama Atas Hukum Baru, Yogyakarta: Gama Media, 2003

36

mereka, seperti Khawarij, Syi'ah,21 Umawiyyah, dan sebagainya, telah

mendorong berbagai pertikaian paham. Dan pertikaian itu antara lain menjadi

sebab bagi berkecamuknya praktek pemalsuan hadits atau penuturan dan

cerita tentang Nabi dan para sahabat.

Tahun empat puluh Hijriah adalah batas pemisah antara kemurnian

Sunnah dan kebebasannya dari kebohongan dan pemalsuan di satu pihak, dan

ditambah-tambahnya Sunnah itu serta digunakannya sebagai alat melayani

berbagai kepentingan politik dan perpecahan internal Islam. Khususnya

setelah perselisihan antara 'Ali dan Mu'awiyah berubah menjadi peperangan

dan yang banyak menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa, serta setelah

orang-orang Muslim terpecah-pecah menjadi berbagai kelompok. Sebagian

besar orang-orang Muslim memihak 'Ali dalam perselisihannya dengan

Mu'awiyah, sedangkan kaum Khawarij menaruh dendam terhadap 'Ali dan

Mu'awiyah sekaligus setelah mereka itu sendiri sebelumnya merupakan

pendukung 'Ali yang bersemangat. Setelah 'Ali r.a. wafat dan Mu'awiyah

habis masa kekhilafahannya (juga wafat) anggota rumah tangga Nabi (Ahl al-

21 Dalam Islam istilah Syiah lebih dikenal sebagai nama kelompok muslim yang pengikut Ali

bin Abi Thalib dan penyokongnya. Mereka berpendapat bahwa penggantian Nabi Muhammad dalam bidang pemerintahan adalah hak istimewa kalangan keluarga Nabi SAW. Ada beberapa pendapat tentang kapan munculnya Syiah. Pertama, Pendapat yang mengatakan bahwa Syiah muncul ketika Nabi SAW masih hidup. pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Husain Kasyif al-Gita (Irak) dan Ahmad Amin (Mesir) Argumentasinya bahwa sejak masa Nabi SAW masih hidup terdapat beberapa sahabat yang sudah bersimpati kepada Ali bin Abi Thalib diantaranya Salman al Farisi (w.35 H/655 M), Abu Dzar al Ghifari (w.32 H) Ammar bin Yassir (w.37 H) dan Mikdad bin Aswad. Kedua, Pendapat yang memandang bahwa Syiah muncul setelah Nabi SAW meninggal. Pendapat ini dikemukakan oleh Abu Qasim al Hussain bin Ruh an Naubakhti (tokoh Syi’ah abad 3 yang pertama kali menulis tentang syiah dan Ibn Khaldun (w. 808 H). untuk lebih jelas baca Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, bagian 5

37

Bait) bersama sekelompok orang-orang Muslim menuntut hak mereka akan

kekhalifahan, serta meninggalkan keharusan taat pada Dinasti Umayyah.

Begitulah, peristiwa-peristiwa politik menjadi sebab terpecahnya

kaum Muslim dalam berbagai golongan dan partai. Disesalkan, pertentangan

ini kemudian mengambil bentuk sifat keagamaan, yang kelak mempunyai

pengaruh yang lebih jauh bagi tumbuhnya aliran-aliran keagamaan dalam

Islam. Setiap partai berusaha menguatkan posisinya dengan al-Qur'an dan

Sunnah, dan wajarlah bahwa al-Qur'an dan Sunnah itu untuk setiap kelompok

tidak selalu mendukung klaim-klaim mereka. Maka sebagian golongan itu

melakukan interpretasi al-Qur'an tidak menurut hakikatnya dan membawa

nash-nash Sunnah pada makna yang tidak dikandungnya. Sebagian lagi

meletakkan pada lisan Rasul hadits-hadits yang menguatkan klaim mereka,

setelah hal itu tidak mungkin mereka lakukan terhadap al-Qur'an karena ia

sangat terlindung (terpelihara) dan banyaknya orang Muslim yang

meriwayatkan dan membacanya.

Dari situlah mulai pemalsuan Hadits dan pencampuradukan yang sahih

dengan yang palsu.22 Sasaran pertama yang dituju para pemalsu hadits itu

ialah sifat-sifat utama para tokoh. Maka mereka palsukanlah banyak hadits

tentang kelebihan imam-imam mereka dan para tokoh kelompok mereka. Ada

yang mengatakan bahwa yang pertama melakukan hal itu ialah kaum Syi'ah -

22 Fazlur Rahman dkk banyak mengkritik ulama klasik dalam mengklasifikasikan dan

meneliti keotentikan sebuah hadits. Lihat tulisan Fazlurahman dkk dalam Wacana Studi Hadits Kontemporer, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2002.

38

dengan perbedaan berbagai kelompok mereka. Dihadapkan keruwetan itu,

para Tabi'in -dengan dipimpin tokoh-tokoh yang mulai tumbuh dengan

penampilan kesarjanaan- mencoba melakukan sesuatu yang amat berat namun

kemudian membuahkan hasil yang agung, yaitu penyusunan dan pembakuan

Hukum Islam melalui fiqih atau ‘proses pemahaman’ yang sistimatis.

Antara Islam sebagai agama dan Hukum terdapat kaitan langsung yang

tidak mungkin diingkari. Meskipun baru setelah tinggal menetap di Madinah

Nabi saw. melakukan kegiatan legislasi, namun ketentuan-ketentuan yang

bersifat kehukuman telah ada sejak di Makkah, bahkan justru dasar-dasarnya

telah diletakkan dengan kokoh dalam periode pertama itu.23 Dasar-dasar itu

memang tidak semuanya langsung bersifat kehukuman atau legalistik, sebab

selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etika. Maka sejak di Makkah Nabi

mengajarkan tentang cita-cita keadilan sosial yang antara lain mendasari

konsep-konsep tentang harta yang halal dan yang haram (semua harta yang

diperoleh melalui penindasan adalah haram), keharusan menghormati hak

milik sah orang lain, kewajiban mengurus harta anak yatim secara benar,

perlindungan terhadap kaum wanita dan janda, dan seterusnya. Itu semua

tidak akan tidak melahirkan sistem hukum, sekalipun keadaan di Makkah

23 Periode Hukum Islam tahap pertama (periode Makkah) yakni periodisasi hukum Islam

selama Nabi SAW tinggal dan menetap di Makkah , sejak beliau diangkat menjadi Nabi SAW hingga beliau berhijrah ke Madinah, kurang lebih 12 tahun. Sementara periodisasi hukum Islam tahap 2 adalah periodisasi hukum Islam di Madinah atau paska Nabi SAW melakukan hijrah ke Madinah pada tanggal 2 Rabiul awal , saat nabi berusia 53 tahun dengan ditemani oleh Amir ibn Hurairah dan Ibn Arwan. Nabi menetap di Madinah selama 10 tahun sampai wafatnya beliau. Lihat M. Hasby, Pengantar ilmu Fiqih, Jakarta: Bulan Bintang, 1967 hlm 34 - 35

39

belum mengizinkan bagi Nabi untuk melaksanakannya. Maka tindakan Nabi

dan kebijaksanaannya di Madinah adalah kelanjutan yang sangat wajar dari

apa yang telah dirintis pada periode Makkah itu.

Pada masa para sahabat yang kemudian disusul masa para Tabi'in,

prinsip-prinsip yang diwariskan Nabi itu berhasil digunakan, menopang

ditegakkannya kekuasaan politik Imperium Islam yang meliputi daerah antara

Nil sampai Amudarya, dan kemudian segera melebar dan meluas sehingga

membentang dari semenanjung Iberia sampai lembah sungai Indus. Daerah-

daerah itu, yang dalam wawasan geopolitik Yunani kuno dianggap sebagai

heatland Oikoumene (Daerah Berperadaban -Arab: al-Da'irat al-Ma'murah)

telah mempunyai tradisi sosial-politik yang sangat mapan dan tinggi,

termasuk tradisi kehukumannya. Di sebelah Barat tradisi itu merupakan

warisan Yunani-Romawi, dan Indo-Iran umumnya. Karena itu mudah

dipahami jika timbul semacam tuntutan intelektual untuk berbagai segi

kehidupan masyarakat yang harus dijawab para penguasa yang terdiri dari

kaum Muslim Arab itu.

Tuntutan intelektual itu mendorong tumbuhnya suatu genre kegiatan

ilmiah yang sangat khas Islam, bahkan Arab, yaitu Ilmu Fiqih. Tapi sebelum

ilmu itu tumbuh secara utuh, agaknya yang telah terjadi pada masa tabi'in itu

ialah semacam pendekatan ad hoc dan praktis-pragmatis terhadap persoalan-

persoalan hukum, dengan menggunakan prinsip-prinsip umum yang ada

dalam Kitab Suci, dan dengan melakukan rujukan pada Tradisi Nabi dan para

40

Sahabat serta masyarakat lingkungan mereka yang secara ideal terdekat,

khususnya masyarakat Madinah.

Pendekatan ini dimungkinkan karena watak dasar Hukum Islam yang

lapang dan luwes, sehingga mampu menampung setiap perkembangan yang

terjadi. Berkenaan dengan hal ini al-Sayyid Sabiq menjelaskan,

Bahwa hal-hal yang tidak berkembang menurut perkembangan zaman

dan tempat, seperti 'aqa'id dan 'ibadat, diberikan secara sepenuhnya

terperinci, dengan dijelaskan oleh nash-nash yang bersangkutan; maka tidak

seorang pun dibenarkan menambah atau mengurangi. Tetapi yang

berkembang menurut perkembangan zaman dan tempat, seperti berbagai

kepentingan kemasyarakatan (al-mashalih al-madaniyyah), urusan politik dan

peperangan, diberikan secara garis besar, agar bersesuaian dengan

kepentingan manusia di semua zaman dan agar dapat dipedomani oleh para

pemegang wewenang (ulu al-amr) dalam menegakkan keadilan dan

kebenaran.24

Para ahli hukum Islam sudah terbiasa mengatakan secara benar bahwa

letak kekuatan Islam ialah sifatnya yang akomodatif terhadap setiap

perkembangan zaman dan peralihan tempat (shalih li kull zaman wa makan-

sesuai untuk setiap zaman dan tempat). Untuk mengerti masalah ini sangat

menarik mengutip lebih lanjut keterangan al-Sayyid Sabiq,

24 Al-Sayyid Sabiq, Fiqh al -Sunnah, Kuwait: Dar al-Bayan 1968/1388, jil. I hlm.13.

41

Penetapan Hukum (al-tasyri')25 Islam merupakan salah satu dari

berbagai segi yang amat penting yang disusun oleh tugas suci Islam dan yang

memberi gambaran segi ilmiah dari tugas suci itu. Penetapan hukum

keagamaan murni, seperti hukum-hukum ibadat, tidak pernah timbul kecuali

dari wahyu Allah kepada Nabi-Nya s.a.w., baik dari Kitab ataupun Sunnah,

atau dengan suatu ijtihad yang disetujuinya. Dan tugas Rasul tidak keluar dari

lingkaran tugas menyampaikan (tabligh) dan menjelaskan (tabyin). "Tidaklah

ia (Nabi) berbicara atas kemauan sendiri; tidak lain itu adalah wahyu yang

diwahyukan kepadanya." (QS. al-Najm/53:34).

Adapun penetapan hukum yang berkaitan dengan perkara duniawi

bersifat kehakiman, politik dan perang, maka Rasul saw. diperintahkan

bermusyawarah mengenai itu semua. Dan Nabi pernah mempunyai suatu

pendapat, tapi ditinggalkannya dan menerima pendapat para sahabat,

sebagaimana terjadi pada waktu perang Badar dan Uhud. Dan para Sahabat ra.

pun selalu meruduk kepada Nabi saw., guna menanyakan apa yang tidak

mereka ketahui, dan meminta tafsiran tentang makna-makna berbagai nash

yang tidak jelas bagi mereka. Mereka juga mengemukakan kepada Nabi

pemahaman mereka tentang nash-nash itu, sehingga Nabi kadang-kadang

membenarkan pemahaman mereka itu, dan kadang-kadang beliau

menerangkan letak kesalahan dalam pendapat mereka itu.26

25 Prof Dr Hasbi As Shidiqie, Pengantar Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 hlm. 62 26 Ibid., h. 17.

42

Sudah tentu keluasan dan fleksibilitas semangat umum Hukum Islam

itu dipertahankan, dan bertahan, melewati zaman Nabi sendiri, kemudian

zaman para Sahabat, dan diteruskan ke zaman para Tabi'in. Tapi jika pada

zaman Nabi tempat rujukannya ialah Nabi sendiri, dengan otoritas yang diakui

semua. Pada zaman para sahabat Nabi itu diwarisi banyak tokoh, yang

kemudian bertindak sebagai tempat rujukan. Tapi sejak pertikaian politik pada

paroh kedua kekhalifahan 'Utsman, tanda-tanda menyebarnya, dan kemudian

berselisihnya, tempat rujukan itu sudah mulai nampak. Seperti dilukiskan

Siba'i yang telah dikutip di atas, penyebaran dan perselisihan otoritas itu

memuncak pada sekitar sesudah 40 H. ketika banyak partisan mulai berusaha

keras memperebutkan legitimasi untuk klaim-klaim mereka. Ini terjadi tanpa

peduli dengan sambutan sebagian besar umat Islam kepada tahun 41 Hijri

sebagai "Tahun Persatuan" atau "Tahun Solidaritas" (Am al-Jama'ah), sebab

"persatuan" dan "solidaritas" itu agaknya hanya terbatas pada kenyataan

kembalinya kesatuan politik (formal) umat Islam di bawah Khalifah

Mu'awiyah ibn Abi Sufyan di Damaskus.

Hukum Islam atau yang biasa disebut fiqih27 merupakan ajaran yang

paling populer dari seluruh ajaran Islam. Bahkan, terkesan di masyarakat

Muslim bahwa fiqih adalah totalitas ajaran Islam. Sehingga ketika fiqih

membeku dan tidak lagi mampu merespon laju kemajuan dalam segala bidang

27 Op Cit, Hlm 22

43

kehidupan, seakan-akan seluruh ajaran Islam telah runtuh. Di sini fiqih (dan

ulamanya) dicap sebagai biang kemandulan terhadap pencerahan problem

kemanusiaan.28

B. EPISTEMOLOGI DALAM FILSAFAT ILMU

Dalam filsafat ilmu, epistemologi merupakan bagian cabang filsafat,

selain aksiologi dan ontologi.29secara khusus epistemologi lebih membicarakan

teorti pengetahuan secara mendalam. Kalau dirunut, istilah epoistemologi berasal

dari bahasa Yunani episteme dan logos. Episteme bisa diartikan sebagai

pengetahuan atau kebenaran dan logos diartikan sebagai pikiran atau teori. Secara

etimologi, epistemologi berarti teori pengetahuan atau dalam bahasa Indonesia

disebut sebagai filsafat pengetahuan.30

Dalam kajian epistemologi beberapa hal yang menjadi pembahasan

adalah, pertama, asal mula pengetahuan, diantaranya adalah apakah sumber-

28 Penelusuran tentang kemandulan fiqih dan aspek-aspeknya juga diteliti oleh Khalil Abdul Karim. Bahkan, dalam karyanya Al Judzur al Tarikhiyah li al Syari’ah al Islamiyah, terj. Kamran As’ad, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan, Abdul Karim terlihat ‘getol’ mengungkap beberapa ritus umat Islam yang ternyata hampir punya keterkaitan dengan sejarah Arab, baik puasa, Haji, Sakralisasi Bulan Ramadhan dan lain-lain. Menurutnya, kesemuanya punya nilai lokalitas yang perlu dikritisi guna pengembangan dan pembaharuan dalam fiqih, sehingga fiqih tetap akomodatif dengan kondisi masa dan zaman manapun. Lihat Khalil Abdul Karim Al Judzur al Tarikhiyah li al Syari’ah al Islamiyah, terj. Kamran As’ad, Syari’ah; Sejarah Perkelahian Pemaknaan,Yogyakarta: LKiS, 2003.

29 Penjelasan secara terinci tentang epistemologi, aksiologi dan ontologi dapat di lihat di beberapa buku filsafat misalnya. Louis Q Kattsoff, Pengantar Filsafat,alih bahasa Soejono Sumargono Yogyakarta: Tiara Wacana, 1998, cet I, hlm 76. Menurut Louis, Antologi berasal dari bahasa Yunani “On” yang berarti ada. dalam konteks filsafat ontologi berarti teori tentang yang ada (being) sebagai objek pengetahuan. Sedangkan aksiologi lebih pada membicarakan persoalan nilai guna (values), termasuk didalamnya bagaimana memperoleh pengetahuan. Lihat Riseri Frondizi, Pengantar filsafat Nilai Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2001.

30 Noeng Muhajir, Metodologi Pengetahuan Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998 edisi III cet-8

44

sumber pengetahuan itu, dari manakah pengetahuan yang benar itu datang?

Bagaimana cara kita mendapatkannya? Kedua, persoalan hakikat (realitas)

pengetahuan, diantaranya adalah apakah karakteristik (watak) pengetahuan itu?

kalau ada, apakah kita dapat mengetahuinya? Ketiga, persoalan kajian terhadap

kebenaran. Diantaranya, apakah pengetahuan kita itu benar?selanjutnya,

bagaimana membedakan pengetahuan itu benar atau salah?

Pada posisi ini diskursus filsafat, akan mengurai bagaimana otoritas akal

(rasio, verstand), pengalaman (impresi) dan intuisi. Bagaimana cara pembuktian

validitas kebenaran yang dikonotasikan dengan kenyataan (koherensi,

korespondensi, hermeneutics, dan pragmatis) untuk memahami horizon

pengetahuan manusia sebagai upaya mendekati kebenaran tadi? Ada beberapa

pendekatan yang bisa dilakukan untuk mengetahui hakikat kebenaran ini.

Pertama, teori realisme, teori ini menggambarkan bahwa hakikat pengetahuan

adalah gambaram dari yang ada di alam nyata. Kedua, teori idealisme, lebih

melihat bahwa hakikat pengetahuan lebih didasarkan pada hakikat segala sesuatu

yakni jiwa dan ide, sehingga jiwa dianggap memiliki kedudukan utama dalam

alam semesta.

Kedua aliran ini saling bersiteguh dalam mempertahankan keyakinan

masing-masing. Dalam sejarah filsafat Plato (427 –347 M) dan Aristoteles

merupakan prototype pergumulan kedua aliran ini. Plato berpendapat bahwa

pengamatan inderawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya

yang berubah-ubah sehingga ia menemukan bahwa diseberang sana (di luar

45

wilayah pengetahuan inderawi ) ada sesuatu yang disebut idea. Dunia idea

bersifat kekal, tetap dan tidak berubah-ubah. Dengan ide bawaan ini manusia

dapat mengenal dan memahami segala sesuatu dan disitulah timbulnya ilmu

pengetahuan. Aristoteles menyanggah pendapat ini dengan mengatakan bahwa

ide-ide bawaan tidak ada. Menurutnya, pengetahuan dan pemahaman yang

bersifat univesal bukanlah bawaan sejak lahir, namun hal itu dicapai lewat proses

panjang pengalaman empirik.

Berkaitan dengan metode dan sumber epistemologi ada empat pendekatan

yang bisa dilakukan. Pertama, empirisme yaitu aliran epistemologi yang

berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui pengalaman panca indera.

Oleh karena itu metode yang menjadi tumpuan aliran ini adalah metode

eksperimen. Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632 – 1704) yang

mengemukakan teori tabula rasa yang maksudnya bahwa manusia pada mulanya

kosong dari pengetahuan, lantas pengalamannya mengisi jiwa yang kosong itu,

lantas ia memiliki pengetahuan. Kedua, rasionalisme, aliran epistemologi yang

berpendapat bahwa sumber dari seluruh pengetahuan manusia adalah rasio dan

akal. Tokoh dalam aliran ini adalah Rene Descartes (1596 – 1650) dengan

semboyannya cogito ergo sum, menurutnya dalam menyusun sebuah pengetahuan

harus dimulai dari ide yang tegas. Ketiga, intuisionisme yaitu aliran epistemologi

yang meyakini bahwa sumber pengetahuan adalah intuisi. Tokoh aliran ini adalah

Henri Bergson (1859 – 1941), keempat adalah dialog rasionalis-empiris. Tokoh

yang muncul dalam aliran ini adalah Immanuel Kant, bagi dia pengetahuan yang

46

sesungguhnya adalah pengetahuan yang bersifat kombinatif antara pengetahuan

empiris dan rasionalis.

Pandanganyang berbeda ditulis oleh Louis Q Qattsof bahwa sumber

pengetahuan dapat dibedakan menjadi lima bagian. Empirik (empirisme), Rasio

(rasionalisme), Fenomena (fenomenologisme), Intuisi (intuisionisme), metode

ilmiah.

Pertama, Empirisme atau empirik. Kata ini berasal dari kata Yunani

‘emperia’ yang berarti pengalaman. Dalam pandangan aliran empirisme

pengetahuan hanya bisa didapat dengan pengalaman. Pengalaman yang dimaksud

adalah pengalamana inderawi. Bagaimana manusia tahu kalau api itu panas dan

bisa membakar?31 Jawabnya karena kita menyentuhnya dengan alat peraba kita.

Bagaimana manusia mengetahui kalau es itu membeku? Maka jawabnya karena

manusia melihatnya. Maka dalam aliran ini sebenarnya ada tiga unsur yang saling

terkait. Yaitu unsur yang mengetahui (subyek), unsur kedua yang diketahaui

(objek) dan ketiga menunjukan pada diferensia yaitu alat-alat panca indera.32

Tokoh yang mempelopori aliran ini adalah Thomas Hobbes, F Bacon, J Locke,

dan C Berkeley. Dari berbagai segi, aliran ini banyak kelemahan. Pertama,

pengetahuan indera sangat terbatas. Benda yang jauh bisa kelihatan menjadi kecil, 31 Murtadla Mutahari dalam tulisannya menyebut bahwa indera sebagai salah satu epistemologi, sehingga setiap manusia kehilangan salah satu inderanya, maka ia juga akan kehilangan salah satu bentuk epistemologinya.Sebagaimana Aristoteles menyebut “Barang siapa kehilangan satu indera, maka ia telah kehilangan satu ilmu (man faqada hissan faqad faqada ‘ilman). Lihat Murtadha Muthahhari, Mas ‘aleye Syenokh, terj Muhammad Jawad Bafaqih, Mengenal Epistemologi, Jakarta: Lentera, 2001, hlm 50 – 51.

32 Lihat Ahmad Tafsir, T Jun Surjaman (ed), Filsafat Umum akal dan hati sejak Thales sampai Capra Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999, cet VII hlm 23 –24.

47

padahal bendanya besar sehingga ia bisa melaporkan satu kesimpulan tentang

pengetahuan yang salah.

Kedua, indera bisa menipu, rasa Gula yang manis bisamenjadi pahit

rasanya bagi orang yang terkena penyakit malaria. Maka hasil cernaan indera

menjadi salah. Ketiga, obyek yang menipu. Contoh, fatamorgana, ilusi, obyeknya

ada (being) akan tetapi indera tidak bisa menjangkaunya. Keempat indera dan

obyek bisa menipu. Dalam hal ini indera (mata) tidak bisa melihat kerbau secara

keseluruhan dan kerbau juga tidak bisa memperlihatkan badannya secara

keseluruhan.

Aliran yang kedua adalah rasionalisme yang meyakini bahwa sumber

pengetahuan terletak pada akal (rasio). Akan tetapi bukan berarti aliran ini

mengingkari terhadap kebenaran pengetahuan yang didapat oleh pengalaman,

melainkan pengalaman hanya dipandang sebagai perangsang bagi akal dan

memberikan bahan-bahan yang menyebabkan akal bisa bekerja. Standar

kebenaran dan kesalahan dari pendapat ini terletak dalan idea kita dan bukan

terdapat dalam identitas suatu barang. Jika kebenaran menunjuk pada kenyataan,

maka kebenaran hanya ada dalam fikiran dan hanya diperoleh dengan akal budi

(vernunf) semata

Rene Descartes (1596 – 1650) adalah tokoh yang mengawali aliran ini

sekalipun kalau ditelusuri sejarah rasionalisme Aristoteles telah mendahului

mengkampanyekan ‘proyek’ ini. Aliran ini sebenarnya penyempurna saja

terhadap aliran empirisme dengan keterbatasan alat penginderanya. Kenapa benda

48

yang jauh bisa kelihatan kecil, karena bayangan yang jatuh dimata kecil. Gula

bisa pahit dilidah orang yang demam, karena orang yang demam lidahnya tidak

normal.

Jika aliran empirisme menggunakan metode induksi, maka aliran

rasionalisme cenderung memakai metode deduksi dan lebih banyak menggunakan

logika dalam pengambilan keputusannya.

C. EPISTEMOLOGI DALAM KHAZANAH INTELEKTUAL ISLAM

Secara umum ada perbedaan yang cukup signifikan antara epistemologi

Islam dan epistemologi secara umum. Titik perbedaan ini berada pada level

sumber pengetahuan, kalau dalam epistemologi Islam sumber pengetahuan adalah

wahyu dan ilham sedangkan epistemologi secara umum memandang kebenaran

hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan

kebenaran, sedangkan menurut epistemologi Islam posisi manusia hanya sekadar

khalifatullah yang berusaha ‘mencari kebenaran’ bukan menentukan kebenaran.33

Di beberapa literatur klasik persoalan epistemologi (nidzam al ma’rifah),

sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pergulatan intelektual dan karya

mereka jauh sebelum al Jabiri menulis Naqd al Aql al Araby, itu terbukti dengan

maraknya kitab-kitab klasik karangan ulama pada masanya juga hidupnya

mujadalah (dialog) antar ulama dengan argumentasi dan teologi masing-masing.

Epistemologi bayani misalnya, para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun sudah

33 Harun Nasution, Falsafah Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1973, hlm 10

49

sejak lama menggunakan metode ini. Sama halnya dengan metode burhani dan

irfani yang sejak awal juga banyak digunakan.

Pada masa awal, apa yang dimaksud berfikir (aql), dalam tradisi Arab

adalah lebih merupakan tindakan atau penjelasan bagaimana seseorang harus

berbuat, yang dalam epistemologi Islam disebut ‘bayani’. 34Kamus istilah Arab

sendiri mengartikan akal sebagai ‘suluk’ dan ‘akhlak’ yakni jalan dan perilaku.

Sementara itu, dalam tradisi Yunani, akal lebih merupakan pemikiran yang

berkaitan dengan upaya mencari sebab dari sesuatu yang dalam epistemologi

Islam dikenal sebagai ‘burhani’.

Perbedaan pola pikir diatas semata – mata karena adanya perbedaan

pijakan yang digunakan. Dalam pola pikir Arab – Islam, pijakan utama adalah

kata atau bahasa, sementara fikir Yunani berpijak pada makna dan logika. Dalam

perdebatan yang terkenal antara Abu Sa’id al Syirafi (893 – 979) yang ahli bahasa

dan penganut metode bayani Arab dengan Abu Bisyr Matta (870 – 940) yang ahli

logika Yunani dan penganut burhani35 terlihat jelas perbedaan tersebut. Menurut

al Syirafi, kata atau bahasa muncul lebih dahulu daripada makna, setidaknya

terjadi secara bersamaan, dan setiap kata atau bahasa lebih merupakan cerminan

34 A Khudori Sholeh, dalam tulisannya menjelaskan panjang lebar bagaimana interaksi Bayani dan Burhani Yunani, termasuk ketegangan teologi dan filsafat, sehingga dari situlah wacana murni” atau khas yang selama ini digembar-gemborakan oleh kalangan intelektual Muslim terlihat jelas. Lihat Khudori Sholeh, Wacana Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. 35 Al Jabiri, Bunyah,al Aql al Arabi, Markaz al Tsaqafi al – Arabi, 1991. Cuplikan tentang perdebatan ini juga bisa dilihat dalam tulisan Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam, terj. HM Amin Abdullah, hlm 12 – 13.

50

dari budaya masyarakat masing-masing.36 Sebaliknya menurut Abu Bisyr Matta,

prinsip-prinsip logika ada lebih dahulu – dalam pikiran – kemudian keluar dan

menyatu dalam bahasa, dan karena itu sistem logika berlaku umum terhadap

seluruh bahasa yang ada, tidak hanya bahasa tertentu.

Lebih jelas tentang perbedaan kedua faham diatas bisa digambarkan dalam

konsepsi berikut. Dalam bayani Arab – Islam, prinsip kerja intelektual dimulai

dengan dari (1) kata – kata atau penyebutan yang merupakan lambang sesuatu, (2)

adanya makna yang menjelaskan maksud kata dan lambang – lambang

penyebutan, (3) adanya benda-benda alam yang diberi nama atau sesuatu yang

harus dilakukan, berdasarkan kata dan lambang yang disebutkan.

Jelasnya, dalam prinsip pemikiran Arab – Islam, benda – benda atau

perilaku merupakan objek dan perwujudan dari makna yang ada dalam pikiran,

dan makna dalam pikiran tidak lain adalah perwujudan atau penjelasan dari kata-

kata atau kalimat yang diucapkan. Sebaliknya, Burhani Yunani didasarkan pada

benda-benda eksternal yang ditangkap oleh indera. Prinsip kerjanya adalah (1)

adanya benda – benda alam yang diindera, (2) terjadinya gambaran atau persepsi

dalam pikiran, (3) pengungkapan atas gambaran yang ada dalam fikiran tersebut

lewat bahasa atau kata.37 Dengan begitu, dalam burhani, kata atau bahasa

hakekatnya tidak lain adalah copian dari susunan makna yang ada dalam fikiran,

36 Al Jabiri, Bunyah, 421 37 Al Jabiri, Bunyah, 421.

51

dan susunan makna yang ada dalam fikiran tidak lain adalah copian dari benda –

benda yang ada dialam semesta.

Dengan adanya perbedaan yang tajam antara pola pikir Yunani dengan

Arab – Islam seperti di atas, maka bisa dipastikan bahwa masuknya pemikiran

Yunani kedalam alam pikir Arab – Islam menimbulkan reaksi yang cukup keras.

Masuknya sistem berfikir logis atau burhani; tasawur, tashdiq, menjadi persoalan

tersendiri bagi para sarjana muslim periode awal yang masih dihadapkan pada

persoalan kata dan makna secara anomali.

D. PERSOALAN EPISTEMOLOGI DALAM HUKUM ISLAM

Berbicara epistemologi dalam hukum Islam bukanlah persoalan yang

sederhana.38 Apalagi kalau ditelusuri, al Qur’an sebagai hudan,petunjuk memiliki

banyak ayat yang menjelaskan persoalan hukum. Bahkan, kalau kita lihat surat al-

An’am: 57 yang menyebutkan “menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah”.

Sepintas akan terlihat sumber dari hukum adalah al Qur’an dan bersandar hanya

kepada Allah swt.

Beberapa istilah yang harus kita fahami berkaitan dengan hukum adalah

syari’at dan fiqih. Sekalipun dalam beberapa tulisan, istilah-istilah tersebut seolah

38 Muhammad Abed al Jabiri, Ad-Din wa ad-Daulah wa Tathbiq as Syari’ah, terj. Mujiburrahman, Agama, Negara dan Penerapan Syari’ah, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2001, hlm 184.

52

sama arti (muradif).39 Sisi lain istilah-istilah ini seolah ambigu dan dalam perspektif

lain syariat dan fiqih dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Syari’ah sebagai hukum

dan fiqih sebagai ilmu untuk mengetahui ilmu tersebut.

Posisi fiqih dan syari’at menjadi agak tumpang tindih ketika kita mencoba

berbincang epistemologi dalam hukum Islam. Satu hal misalnya, dalam rentetan

sejarah pemikiran Islam klasik, bagaimana kita melihat ‘perang’ antara kelompok

rasionalisme dan tradisionalisme dalam memandang dan menentukan hukum

Islam. Kalau ditelisik, setidaknya ada tiga corak pemikiran hukum yang sampai

sekarang masih terus mewarnai panorama pemikiran Islam kontemporer. Pertama,

kaum Mu’tazilah, kaum yang cenderung memuliakan kekuatan akal di atas

segala-galanya, mereka lebih mengakui validitas kebenaran yang dihasilkan oleh

akal. Lalu, apa bila ada kontradiksi antara akal dan wahyu dalam pandangan

Mu’tazilah mana yang dimenangkan? Mu’tazilah ada upaya mengkompromikan

akal dan wahyu dengan mentakwil matan wahyu verbal sehingga tidak ada

pertentangan diantara keduanya (akal dan wahyu). Kedua, kaum Salafiyah, kaum

yang lebih mempercayai bahwa wahyu adalah suara Tuhan yang tidak bisa

diotak-atik, atau dengan bahasa lain 'sudah merupakan harga mati'.

Kaum Salafi bahkan tidak memberikan peran akal dalam wahyu. Ketiga,

kaum As’ariyah yang berusaha moderat, mensintesakan kedua pendapat diatas,

dengan berusaha memposisikan akal (atau dalil ‘aql) dan wahyu (atau dalil naql)

39 Untuk mengetahui definisi hukum Islam, fiqih dan Syari’ah A Qadry Azizy mengulas panjanglebar dalam Eklektisisme Hukum Nasional; Kompetisi antara Hukum Islam dan Hukum Nasional, Yogyakarta: Gama Media, 2002.

53

secara linear atau sejajar, tidak menonjolkan atau memperioritaskan salah satu

dari keduanya. Namun usaha mensintesakan (penggabungan akal dan wahyu)

sedikit gagal, terbukti dalam menimbang-nimbang antara keduanya lebih condong

pada wahyu. Bisa dikatakan Al-Asy'ariah adalah anti tesis yang ketiga

Imam Ali (KW) berkata, 'Al-qur'an bayna daftay-il kitâab lâ yantiqu, wa

innamâ yatakallamu bihi al-rijâl' (Al-Qur'an yang ada di antara lembaran ini

adalah mushaf yang tidak bisa bicara, dan hanya dengan [perantaraan] manusia dia

bisa bicara). Beranjak dari sini, interpertasi terhadap Al-Qur'an adalah sebuah

keharusan untuk menghidupkan teks verbal wahyu. Dalam dunia Sunni interpetasi

itu diistilahkan dengan 'tafsir', dan non-sunni mengistilahkan dengan 'takwil'.

Nashr Hamid berkata, 'Kaum Sunni menisbatkan istilah takwil pada pemahaman

kelompok yang menyimpang. Seperti takwil Mu’tazilah, Khawarij, filsafat dan

tasawuf. Padahal Al-Qur'an sendiri lebih banyak memakai istilah 'takwil' dari

pada 'tafsir'. Istilah 'tafsir' dalam Al-Qur'an hanya satu kali, sedangkan 'takwil

lebih dari 10 kali. Penggunaan tafsir baru popular sejak abad IV H (IX M) setelah

sebelumnya penggunaan istilah takwil lebih popular.40 Penisbatan yang negative

pada istilah 'takwil' ini oleh ulama Sunni disebabkan benturan politik dan

ideologi'. Namun, walau bagaimanapun, takwil dan tafsir adalah hasil interaksi

atau dialektika antara akal, teks wahyu, dan realitas.

40 Kata Ta’wil muncul dalam al Qur’an sebanyak 17 kali, sehingga beberapa mufasir menyebut sebenarnya kata ta’wil lebih polpuler letimbang kata tafsir, hal tersebut sudah disitir oleh al Qir’an surat ali Imron ayat 7. ta Wil berasal dari kata aul yang berarti , yang berarti kembali kepada asalnya. Kata ta’wil merupakan bentuk taf’il dari kata kerja awwala, yu’awwilu, ta’wilan. Lihat Hasbi as Shidiqi dalam Sejarah dan Pengantar ilmu al Qur’an atau Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980 hlm 195

54

Islam pernah mengalami jaman keemasan (Golden Age) di saat

dibukannya kran kebebasan berfikir, dan berfilsafat. Sikap inklusivisme dalam

berinteraksi dengan pemikiran yang datang dari luar sangat gamblang. Tidak

segan-segan umat Islam mempelajari, bahkan lebih jauh mengadopsi pemikiran

Yunani kuno lewat proses transliting (menterjemahkan) buku-buku berbahasa

Yunani.

Pemikiran rasional41 dipengaruhi oleh persepsi tentang seberapa tinggi

kedudukan akal seperti terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Persepsi ini

bertemu dengan persepsi yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sainsnya

yang berada di kota-kota pusat peradaban Yunani di dunia Islam klasik, seperti

Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syria) dan Bactra (Persia). Di

sana memang telah berkembang pemikiran rasioal Yunani. (Harun Nasution:

1995).

Di saat dunia Islam dalam klimaks keemasannya, peradaban barat masih

dalam masa kegelapan (Dark Age). Masyarakatnya masih sangat mempercayai

takhayul, rigid dan terbelakang disemua lini. Hegemoni gereja telah menyumbat

kebebasan berfikir. Banyak pemikir dihukum oleh dewan gereja gara-gara

pemikiranya bertentangan dengan doktrin gereja.

41 Pada masa awa Islam, pemikiran rasional atau rasionalisme lebih dioidentikkan dengan aliran Mu’tazilah. Para ulama mendefinisikan Mu’tazilah sebagai satu kelompok dari qadiriyah yang menyelisihi pendapat umat Islam dalam permasalahan hukum pelaku dosa besar yang dipimpin oleh Washil bin Atho dan Amr bin Ubaid pada zaman Hasan al Basri. Seputar rasionalisme, aliran, sejarah dan faham mu’tazilah bisa dilihat dalam buku Defender of Reason in Islam; Mu’tazilah from medieval School to Medern Age terj. Muhammad Syukri, Post Mu’tazilah, Genealogi Konflik Rasionalisme dan Tradisionalisme Islam”Yogyakarta: IRCiSoD, 2002.

55

Di saat itu pula ada sebagian komunitas masyarakat barat yang belajar

filsafat dan science di dunia Islam. Kemudian lambat tapi pasti barat sedikit demi

sedikit mengalami perubahan. Bermula dari reformasi agama (al-islâh al-dînî)

pada abad ke 15, renaisence atau aufklarung pada abad ke 16, rasionalisasi pada

abad ke 17, enlightment (tanwîr) atau abad pencerahan pada abad ke 18 dan era

ilmu pengetahuan pada abad ke 19. Perubahan atau kebangkitan barat itu, kata

Hasan Hanafi tidak akan terjadi kecuali dengan menyerap ilmu filsafat dan sains

yang datang dari dunia Islam melalui penerjemahan dari bahasa Arab kedalam

bahasa Latin dan bahasa Ibrani.

Memutar kembali rekaman sejarah masa keemasan Islam, bukan

bermaksud mengenang romantika sejarah an sich, tapi lebih dari sekedar itu,

meneladaninya untuk kita aplikasikan di masa sekarang. Satu syarat dan barang

kali termasuk resep mujarab dalam upaya membangkitkan kembali (reawakening)

peradaban Islam dari tidur panjangnya-kalau kita mengaca diri pada era keemasan

itu-yaitu, menyemangatkan dan mentradisikan kembali diktum filsafat dalam

dunia Islam, serta memperkecil volume hegemoni 'rezim' teks wahyu yang sering

dipahami secara kaku dan rigid.