bab ii antikoagulan baru
DESCRIPTION
fyrytrytrytrytrftTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Dasar Teori
1. Eritrosit (Sel darah merah)
Eritrosit merupakan bagian darah yang termasuk dalam
korpuskuli. Sel darah merah merupakan sel yang berbentuk cakram
bikonkaf yang mempunyai diameter 8 mikron. Komponen eritrosit
terdiri atas membran eritrosit, hemoglobin, dan sistem enzim yaitu
pyruvate kinase, dan enzim G6PD (Glucose 6-phosphate
dehydrogenase) (Bakta, 2007). Fungsi utama sel darah merah
adalah mentransport hemoglobin, yang selanjutnya membawa
oksigen dari paru-paru ke jaringan (Guyton, 2012).
Proses pembentukan eritrosit membutuhkan sel induk CFU-E,
BFU-E, normoblast (eritroblast) serta memerlukan bahan
pembentukan eritrosit seperti besi, vitamin B12, asam folat,
protein. Daalam pembentukan eritrosit memerlukan mekanisme
regulasi: faktor pertumbuhan hemopoetik dan hormon eritropoitin
(Bakta, 2007). Tingkat oksigenisasi jaringan mengatur
pembentukan sel-sel darah merah yang mengangkut oksigen ke
jaringan. Eritropoietin merupakan hormon yang dihasilkan oleh sel-
sel interstisium peritubulus ginjal. Hormon ini merangsang CFU-E
untuk mempercepat pertumbuhan dan meningkatkan pematangan.
5
6
Kapasitas eritropoietin untuk menghasilkan eritropoiesis
bergantung pada kecukupan zat gizi dan mineral (terutama besi,
asam folat, dan vitamin B12) ke sumsum tulang. Apabila sumsum
tulang merespon, produksi eritrosit akan meningkat (Sacher,2004).
Hemositoblast
Eritroblast basofil
Eritroblast polikromatik
Normoblast
Retikulosit
EritrositGambar 1: Maturasi eritrosit (Guyton, 2012)
Metabolisme eritrosit terjadi pada jalur Embden-Meyhof dan
jalur heksona monofosfat (Pentosa fosfat). Pada jalur Embden-
Meyerhof, glukosa dimetabolisme menjadi laktat. Setiap molekul
glukosa yang dipakai menghasilkan dua molekul ATP, dan dengan
demikian dihasilkan dua ikatan fosfat energi tinggi. ATP
menyediakan energi untuk mempertahankan volume, bentuk, dan
kelenturan eritrosit. Eritrosit memiliki tekanan osmotik lima kali
lipat plasma dan adanya kelemahan intrinsik membran
menyebabkan pergerakan Na+ dan K+ yang terjadi terus menerus.
Jalur heksona monofosfat (Pentosa fosfat) terjadi perubahan
glukosa-6-fosfat menjadi 6-fosfo-glukonat dan kemudian menjadi
ribulosa-5-fosfat. NADPH dihasilkan dan berkaitan dengan
7
glutation yang mempertahankan gugus sulfhidril (SH) tetap utuh
dalam sel termasuk SH dalam hemoglobin dan membran eritrosit
(A.V.Hoffbrand, 2005).
Struktur eritrosit terdiri atas pembungkus luar atau stroma yang
berisi masa hemoglobin. Sel darah merah memerlukan protein
karena strukturnya terbentuk dari asam amino dan juga zat besi
untuk eritropoesis. Wanita memerlukan lebih banyak zat besi
dibangingkan dengan laki-laki karena beberapa diantaranya
dibuang sewaktu mentruasi. Pembentukan sel darah merah di
dalam sumsum tulang dan perkembangannya melalui beberapa
tahap: mula-mula besar dan berisi nukleus tetapi tidak ada
hemoglobin, kemudian dumuati hemoglobin dan akhirnya
kehilangan nukleusnya dan baru diedarkan ke dalam sirkulasi
darah. Proses eritropoesis terjadi selama 7 hari dan jumlah normal
eritrosit yang dihasilkan adalah 4,5-6,5 juta/mm3 pada pria,
sedangkan pada wanita 3,9-5,6 juta/mm3 (A.V. Hoffbrand, 2005).
Membran eritrosit terdiri atas lipid dua lapis (lipid bilayer),
protein membran integral, dan suatu rangka membran. Sekitar 50%
membran adalah protein, 40% lemak, dan 10% karbohidrat.
Karbohidrat hanya terdapat pada permukaan luar, sedangkan
protein terdapat diperifer atau integral, menembus lipid dua lapis.
Rangka membran terbentuk oleh protein-protein struktural
yang mencakup spektrin α dan β, ankirin, protein 4.1 dan aktin.
8
Protein-protein tersebut membentuk jaring horisontal pada sisi
dalam membran eritrosit dan penting untuk mempertahankan
bentuk bikonkaf (A.V.Hoffbrand, 2005).
Faktor-faktor klinis yang mempengaruhi jumlah eritrosit
adalah kurangnya asupan gizi, infeksi kronik, dataran tinggi,
dehidrasi, konsumsi suplemen penambah darah. Kurangnya asupan
gizi seperti Fe, asam folat, vitamin dan B12 dapat menyebabkan
jumlah eritrosit yang diproduksi berkurang dan infeksi kronik
seperti infeksi cacing juga dapat mengakibatkan penurunan jumlah
eritrosit.
Faktor geografis yang semakin tinggi dapat mengakibatkan
jumlah eritrosit meningkat, hal tersebut bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan oksigen dalam tubuh. Konsumsi suplemen penambah
darah sepeti tablet Fe dapat membuat jumlah eritrosit meningkat.
2. Pemeriksaan eritrosit
Pemeriksaan laboratorium eritrosit merupakan pemeriksaan
yang digunakan untuk mengetahui jumlah sel eritrosit seseorang
yang dinyatakan dalam sel/µl darah. Menghitung jumlah sel
eritrosit dapat menggunakan cara manual dan cara automatic. Cara
manual dapat menggunakan metode pipet atau metode tabung
dengan menggunakan larutan pengencer Hayem sedangkan pada
metode automatic menggunakan Hematology analyzer. Sampel
9
yang dapat digunakan pada pemeriksaan hitung jumlah eritrosit
yaitu darah kapiler dan darah vena dengan antikoagulan EDTA
a. Metode Pipet
Tujuan dari pemeriksaan hitung jumlah sel eritrosit
metode pipet adalah untuk mengetahui jumlah sel eritrosit
dalam sel/ µl darah. Darah diencerkan dalam pipet thoma
eritrosit dengan menggunakan larutan Hayem kemudian
dimasukkan ke dalam kamar hitung. Jumlah sel eritrosit
dihitung dalam volume tertentu dengan menggunakan faktor
konversi jumlah eritrosit/µl darah dapat diperhitungkan
(Gandasoebrata, 2009).
b. Metode tabung
Tujuan dari pemeriksaan hitung jumlah sel eritrosit
metode tabung adalah untuk mengetahui jumlah sel eritrosit
dalam sel/ µl darah. Darah diencerkan menggunakan larutan
Hayem dalam tabung serologi kemudian dimasukkan ke dalam
kamar hitung. Jumlah sel eritrosit dihitung dalam volume
tertentu dengan menggunakan faktor konversi jumlah sel/µl
darah dapat diperhitungkan.
c. Metode automatic
Sel akan dideteksi dalam impedansi ketika partikel
tersuspensi dalam cairan konduktif melewati aperture kecil.
Arus searah konstan mengalir diantara elektroda pada kedua
10
sisi aperture. Setiap sel melewati aperture menyebabkan
perubahan dalam impedansi listrik dari suspensi sel darah
konduktif (darah diencerkan). Perubahan impedansi ini
terdeteksi oleh elektronik Abacus 3CT dan diubah menjadi
pulsa tegangan listrik. Amplitudo dari masing-masing pulsa
tegangan sebanding dengan volume partikel.
3. Faktor-faktor yang harus diperhatikan pada pemeriksaan eritrosit
a. Tahap praanalitik
1) Perbandingan antara antikoagulan dengan darah harus
sesuai jika penggunaan antikoagulan berlebih akan
menyebabkan hitung jumlah eritrosit dan leukosit
menurun (Nurrachmat, 2005).
2) Penggunaan tourniquet tidak boleh terlalu lama karena
dapat menyebabkan hemokonsentrasi pada darah.
3) Pencampuran darah dengan antikoagulan yang kurang
homogen dapat menyebabkan bekuan darah pada tabung
penampung darah.
4) Cara penyimpanan dan tanggal kadaluarsa reagen harus
diperhatikan
5) Alat yang tidak rutin dikalibrasi akan mempengaruhi hasil
pemeriksaan. Alat yang digunakan untuk pemeriksaan
harus rutin dikalibrasi agar hasil yang dikeluarkan sesuai.
11
b. Tahap Analitik
1) Pemipetan darah yang kurang tepat.
2) Menggunakan pipet yang basah
3) Terjadi gelembung udara di dalam pipet pada waktu
menghisap larutan pengencer.
4) Tidak mengocok pipet segera setelah mengambil larutan
pengencer
5) Tidak membuang beberapa tetes dari isi pipet sebelum
mengisi kamar hitung.
6) Terdapat gelembung udara pada kamar hitung
7) Menggunakan obyektif 10x saat menghitung jumlah
eritrosit sehingga tidak teliti hasilnya.
8) Salah menghitung sel yang menyinggung garis-garis batas
9) Kaca penutup tergeser karena disentuh dengan lensa
mikroskop
10) Reagen Hematology Analayzer yang digunakan tidak
sesuai
11) Pencampuran darah dan reagen pereaksi yang kurang
homogen sebelum dilakukan pemeriksaan pada
Hematology Analyzer.
12) Operasional Hematology Analyzer
12
c. Tahap Postanalitik
Kesalahan pada tahap postanalitik biasanya terjadi saat
pelaporan hasil seperti pelaporan yang kurang teliti
(Nurrachmat, 2005).
4. Antikoagulan
Antikoagulan digunakan dalam pemeriksaan hematologi agar
darah tidak membeku. Beberapa jenis antikoagulan tidak dapat
dipakai karena berpengaruh terhadap bentuk eritrosit atau leukosit.
Antikoagulan yang dapat digunakan pada pemeriksaan hematologi
yaitu Heparin, Natrium sitrat dalam larutan 3,8%, campuran
amoniumoxalat dan kaliumoxalat, Ethylene Diamine Tetraacetic
Acid (EDTA).
Heparin berdaya seperti antitrombin, tidak berpengaruh
terhadap bentuk eritrosit dan leukosit. Praktek sehari-hari heparin
kurang banyak dipakai karena mahal harganya. Natrium sitrat
dalam larutan 3,8% dapat dipakai untuk beberapa macam
percobaan hemoragik dan untuk laju endap darah cara Westergren.
Campuran amoniumoxalat dan kaliumoxalat yang digunakan
dalam bentuk kering agar tidak mengencerkan darah yang
diperiksa. EDTA tidak berpengaruh terhadap besar dan bentuk
eritrosit. EDTA sangat baik dipakai sebagai antikoagulan pada
hitung trombosit karena dapat mencegah trombosit menggumpal
(Gandasoebrata, 2009).
13
5. Antikoagulan EDTA
Pemeriksaan hitung jumlah eritrosit biasanya menggunakan
antikoagulan Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (EDTA). EDTA
yang digunakan untuk pemeriksaan tergantung dari jenis garam dan
konsentrasi garam EDTA tersebut. Ada tiga macam EDTA yaitu
Disodium Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (Na2EDTA),
Dipotassium Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (K2EDTA), dan
Tripotassium Ethylene Diamine Tetraacetic Acid (K2EDTA).
K2EDTA biasa digunakan dalam bentuk kering, K3EDTA biasanya
digunakan dalam cairan (Patel, 2009). Garam natrium dan kalium
akan mengubah ion kalsium dari darah menjadi bentuk yang bukan
ion. EDTA tidak berpengaruh terhadap besar dan bentuknya
eritrosit dan tidak juga terhadap bentuk leukosit. Selain itu EDTA
mencegah trombosit bergumpal.
Antikoagulan Na2EDTA dapat digunakan dalam dua bentuk
yaitu berupa larutan dan bentuk zat kering. Sampai saat ini
Na2EDTA dalam bentuk kering masih banyak digunakan
diberbagai laboratorium dan untuk memudahkan pengukuran maka
dibuat dalam bentuk larutan 10%. Tiap 1mg Na2EDTA
menghindarkan membekunya 1 ml darah. Pemakaian antikoagulan
Na2EDTA lebih dari 2 mg dapat menyebabkan nilai hematokrit
lebih rendah dari sebenarnya (Gandasoebrata, 2009).
14
6. Pengaruh volume antikoagulan Na2EDTA terhadap jumlah eritrosit
Na2EDTA merupakan antikoagulan yang paling sering
digunakan. Na2EDTA mencegah membekuan darah dengan cara
mengubah ion kasium dari darah menjadi bentuk yang bukan ion
(Gandasoebrata, 2009). Na2EDTA bersifat hiperosmolar yang dapat
menyebabkan eritrosit mengerut. Penggunaan antikoagulan
Na2EDTA yaitu 1 mg/ 1 ml darah untuk Na2EDTA kering dan 10
µl/ 1 ml darah untuk EDTA cair. Namun di dalam praktek,
Na2EDTA cair yang digunakan yaitu 1 tetes Na2EDTA per 1ml
darah (Santosa, 2005).
Konsentrasi Na2EDTA yang berlebih akan menyebabkan
eritrosit mengerut dan perubahan degeneratif, serta sifat larutan
yang hipertonis menyebabkan cairan di dalam eritrosit keluar dari
membran eritrosit sehingga sel eritrosit akan mengerut sehingga
jumlah menurun karena Na2EDTA bersifat hiperosmolar
(Nurachmat, 2005). Penggunaan Na2EDTA yang berebih juga
dapat merusak membran eritrosit dan leukosit (Patel, 2009).
Perubahan struktur pada membran eritrosit terutama pada spektrin
dan aktrin serta Ca2+. Perubahan pada Ca2+ dapat mengganggu
stabilitas membran eritrosit karena kalsium berperan meningkatkan
konsentrasi dan stabilitas struktur membran phospholipid sehingga
bentuk eritrosit tidak cakram bikonkaf (Sukorini,2007).
Peningkatan konsentrasi antikoagulan dapat meningkatkan pH
15
plasma karena ion natrium merupakan komponen alkali
(Ratnaningsih, 2006). Antikoagulan merangsang hemolisis karena
konsentrasi Na2EDTA yang tinggi menyebabkan kerusakan
membran eritrosit akibat stress omotik (De, 2014)
17
C. Hipotesis
Ada pengaruh volume antikoagulan Na2EDTA 10% terhadap jumlah
eritrosit