bab ii - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak...

74
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PATRIARKHI A. Patriarkhi Dalam kamus bahasa Inggris, patriarkhi asal katanya adalah patriarch yang berarti kepala keluarga, sedangkan patriarchy adalah sistem kemasyarakatan yang menentukan pihak laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga. 1 Patriarkhi (patriarch) pada awalnya dipakai untuk menyebut suatu jenis keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki., yaitu rumah tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki muda, anak-anak, budak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya berada di bawah kekuasaan atau hukum bapak 2 . Istilah ini kemudian mengalami perkembangan dalam hal lingkup institusi sosial menjadi lebih luas lagi, dari tingkat masyarakat sampai ke tingkat negara. Misalnya lembaga perkawinan, lembaga pendidikan, institusi keagamaan, institusi ketenagakerjaan, media massa, birokrasi negara dan lain-lain. Pada titik ini juga pengertian dari ‘hukum bapak’ berkembang menjadi hukum suami, hukum pimpinan atau boss di kantor, hukum pejabat birokrasi, atau singkatnya adalah 1 John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2000), 421. 2 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya dan Yayasan Kalyanamitra, 1996), 1-2.

Upload: vuhanh

Post on 03-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

41

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PATRIARKHI

A. Patriarkhi

Dalam kamus bahasa Inggris, patriarkhi asal katanya adalah

patriarch yang berarti kepala keluarga, sedangkan patriarchy adalah

sistem kemasyarakatan yang menentukan pihak laki-laki (ayah) sebagai

kepala keluarga.1

Patriarkhi (patriarch) pada awalnya dipakai untuk menyebut

suatu jenis keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki., yaitu rumah

tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki

muda, anak-anak, budak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya

berada di bawah kekuasaan atau hukum bapak2.

Istilah ini kemudian mengalami perkembangan dalam hal

lingkup institusi sosial menjadi lebih luas lagi, dari tingkat masyarakat

sampai ke tingkat negara. Misalnya lembaga perkawinan, lembaga

pendidikan, institusi keagamaan, institusi ketenagakerjaan, media

massa, birokrasi negara dan lain-lain. Pada titik ini juga pengertian dari

‘hukum bapak’ berkembang menjadi hukum suami, hukum pimpinan

atau boss di kantor, hukum pejabat birokrasi, atau singkatnya adalah

1 John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2000), 421. 2 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya dan Yayasan Kalyanamitra, 1996), 1-2.

Page 2: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

42

‘hukum laki-laki’ yang secara umum berlaku atau beroperasi pada

hampir semua institusi sosial, ekonomi, hukum, politik, dan budaya.

Dengan demikian, patriarkhi adalah sebuah aturan kehidupan

yang hanya disandarkan kepada nilai-nilai yang berkembang di

lingkungan laki-laki. Secara teoritis, istilah patriarkhi sebenarnya lebih

dekat dengan disiplin sosiologis dari pada teologis. Kalangan sosiolog,

misalnya menggunakan istilah patriarki untuk menggambarkan situasi

masyarakat yang segala aturan kehidupannya didasarkan pada peraturan

dari pihak laki-laki.3

B. Sejarah Latar Belakang Ideologi Patriarkhi

1. Patriarkhi Zaman Neolithic

Data arkeologi menyatakan bahwa sistem sosial patriarki

berasal dari Mesopotamia Kuno pada zaman Neolithic ketika

langkah-langkah pertama menuju peradaban terjadi secara

bersamaan dengan munculnya negara-negara kota. Akan tetapi

beberapa ahli sejarah termasuk beberapa sarjana feminis mengakui

bahwa hegemoni laki-laki di wilayah ini mengacu pada satu masa

sebelum munculnya negara-negara kota.4

Antara tahun 3500 dan 3000 Sm, di Mesopotamia kota-kota

bermunculan dan pelan-pelan berubah menjadi negara kota, dan pada

3 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Perempuan Dalam Islam

(Bandung: Mizan, 2001), 81. 4 Tim PSW UIN Syarif Hidayatullah, Perempuan: Dari Mitos Ke Realita (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2002), 2.

Page 3: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

43

saat yang sama tulisan ditemukan. Munculnya negara-negara kota

berakibat pada bertambahnya persaingan militer terhadap hegemoni.

Hal ini memperkuat dominasi laki-laki yang menyebabkan

perkembangan masyarakat yang terstratifikasi dengan tentara dan

pendeta-pendeta kuil sebagai kelas atau golongan yang kaya. Para

pendeta memonopoli ketrampilan mencatat, merekam data dan

informasi5.

Sistem keluarga patriarki yang memastikan penyampaian

warisan dari ayah ke anak laki-laki dan mengontrol seksualitas

perempuan terhadap laki-laki menjadi melembaga, terekam ke dalam

hukum dan kemudian diberikan dukungan oleh negara. Dalam

pandangan ini, seksualitas perempuan menjadi kekayan laki-laki,

pertama milik ayah dan kemudian milik suami. Kesucian seks

perempuan (khususnya keperawanannya) memperoleh nilai ekonomi

untuk tawar menawar (menentukan kehormatan dan kekayaan ayah).

Keadaan seperti ini menyebabkan adanya prostitusi dan perbedaan

yang jelas antara perempuan terhormat (seks dan keturunannya hasil

dan milik satu orang) dan pelacur (seksnya milik semua orang).

Ketika masyarakat kota menjadi lebih kompleks dan lebih

khusus serta jumlah petani dan seniman terampil kian bertambah,

perempuan sebagai penduduk yang bekerja pun ditingglakan.

Dengan demikian, maka semkun lebih jauh merendahkan status

5 Ibid, 4.

Page 4: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

44

mereka. Pengucilan perempuan dari kekuatan kerja mengurangi

kontribusi mereka terhadap ekonomi dan memperkuat kedudukan

sekunder mereka.

Di Mesopotamia ketika satu negara memenangkan

hegemoninya atas negara lain dan ketika kontrol laki-laki terhadap

perempuan menjadi kian melembaga maka undang-undang yang

berkaitan dengan keluarga patriarki sedikit demi sedikit berubah dan

membuat lebih menekan dan memaksa perempuan. Misalnya,

undang-undang Hamurabi (1750 SM) dibuat atas nama dewa perang

menjatuhkan hukuman yang berat bagi kejahatan tertentu, khususnya

yang bertentangan dengan kesucian ikatan keluarga dibandingkan

dengan undang-undang Sumeria yang lebih dulu telah ada dan

berlaku6.

Dalam undang-undang ini, perempuan masih memperoleh

beberapa haknya meskipun bagi laki-laki mudah sekali menceraikan

istrinya. Ia bisa memberikan sesuatu kepada istri yang diceraikanya

bila ia mau, namun bila ia tidak mau memberikan sesuatu, maka

istrinya pergi dengan tangan kosong. Selama periode negara-negara

kota Mesopotamia, dalam kasus apapun sumber kekuasaan dan

kekuatan adalah ayah dan suami. Perempuan dan anak-anak harus

patuh kepada kekuasaan mutlak mereka.

6 Ibid, 6.

Page 5: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

45

Teks dari pertengahan millennium ketiga sebelum masehi

mengatakan bahwa gigi perempuan (istri) bisa dihancurkan dengan

batu bata bila si istri membantah pada suaminya, sedangkan hukum

undang-undang Hamurabi menyatakan bahwa anak laki-laki yang

memukul ayahnya, maka tangan anak tersebut akan dipotong.

Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya, dia

bisa saja mengirimkan anak perempuannya tersebut ke candi untuk

dijadikan biarawati, jika ayah menginginkannya. Kepala keluarga

juga bisa menggadaikan istri dan anak-anaknya untuk membayar

hutang-hutangnya. Bila dia tidak menebusnya kembali, maka mereka

akan menjadi budak bagi si pemberi hutang. Seorang laki-laki juga

dapat memaksa istri dan anak-anaknya untuk dihukum ditempatnya.

Hamurabi juga menyatakan bahwa si pemberi hutang

membunuh anak laki-laki yang punya hutang yang digadaikan

kepadanya, maka yang berhutang mempunyai hak untuk membunuh

anak laki-laki dari si pemberi hutang (ayat 170)7. Hukum Asyiria

juga mengatakan bila seorang suami memperkosa perempuan lain, ia

malah akan mengotori kehormatan istrinya sendiri, dan istrinya harus

diceraikan (ayat 185). Hukum Asyiria ini juga menyadari bahwa

memperkosa seorang perawan pada prinsipnya sama saja dengan

menyerang hak milik (kekayaan) seorang ayah dan hak-hak

ekonomi. Hukuman bagi pemerkosa yang lajang adalah dengan

7 Ibid, 6-8.

Page 6: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

46

membayar nilai (harga) gadis itu kepada ayahnya dan si lelaki itu

harus mengawininya. Dengan demikian, menurut hukum jelaslah

bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan

independen8.

Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan pada

umumnya adalah monogami. Laki-laki bebas mengambil istri kedua

atau selir apabila istri pertama mandul. Dalam kasus apapun laki-laki

memiliki kebebasan untuk melakukan hubungan seksual dengan

budak-budak atau pelacur, tetapi sebaliknya istri yang berzina harus

dihukum sampai mati, walaupun menurut hukum Hamurabi seorang

suami harus menyelamatkan istrinya yang berzina. Apabila seorang

ayah yang melakukan hubungan seksual dengan anak

perempuannya, maka ia hanya dihukum dengan mengusirnya dari

kota, sebagai bukti kekuatan kepala keluarga dalam sistem patriarki

terhadap mereka yang menjadi tanggungannya9.

Dalam bukunya “Women and Gender in Islam: Historical

Roots of a Modern Debate”, Leila Ahmad menggambarkan beberapa

isi dalam kode Hammurabi dan Assyiria. Isi kode Hammurabi (1752

S.M):

a. Seorang laki-laki dapat menggadaikan istri atau anak-anaknya

selama tiga tahun dan melarang untuk memukul dan melukai

8 Ibid, 7-8. 9 Ibid, 8

Page 7: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

47

wanita yang digadaikan tersebut dan bila tidak mampu

membayar utang, mereka dapat dijadikan budak-utang.

b. Laki-laki dapat dengan mudah menceraikan isterinya, jika

mereka tidak dapat melahirkan anak, tapi berhak memperoleh

uang denda (uang perceraian).

c. Perempuan dapat menuntut perceraian hanya dengan cara yang

sulit. Jika seorang perempuan sangat membenci suaminya

sehingga ia menyatakan “engkau boleh menceraikanku”, maka

catatannya akan diteliti di dewan kota, dan jika dia berhati-hati

dan tidak salah, sekalipun suaminya sudah pergi dan

menghinanya habis-habisan, maka perempuan tersebut

dinyatakan tidak salah, dia boleh mengambil maharnya dan

pulang ke rumah orang tuanya.

d. Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan

mempersembahkan anak wanitanya kepada para dewa, untuk

menjadi seorang pendeta dan tinggal di biara.

e. Perkawinan umumnya bersifat monogami, kecuali di kalangan

istana, sekalipun orang-orang awam boleh mempunyai istri

kedua atau selir bila istri pertama tidak bisa melahirkan anak.

Laki-laki diperbolehkan berhubungan seksual dengan budak

atau pelacur, namun perzinahan yang dilakukan oleh istri

Page 8: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

48

(perempuan) dikenakan hukuman mati, sekalipun suami boleh

memilih untuk membiarkannya hidup.10

Isi hukum Assyria (1200 S.M):

a. Laki-laki diperbolehkan melakukan pemukulan atas agunan

gadai (perempuan, Istri, anak), bahkan menusuk telinga dan

menjambak mereka.

b. Seorang suami diperbolehkan menjambak rambut istrinya,

memotong atau melintir telinganya tanpa dikenai hukuman.

c. Hukuman bagi seorang pemerkosa yang telah menikah adalah

istrinya sendiri “dihinakan” dan diambil darinya untuk selama-

lamanya.

d. Hukuman bagi seorang pemerkosa yang belum menikah adalah

membayar harga seorang perawan kepada ayahnya dan

mengawiini perempuan yang telah diperkosa.11

Dalam kode-kode kedua hukum tersebut terlihat bahwa

perempuan dipandang sebagai benda yang dapat digantikan dengan

nilai ekonomis. Kedudukan mereka sebagai istri hanya dipandang

sebaai alat reproduksi untuk memperoleh keturunan dan suami

mempunyai hak mutlak terhadap mereka.

Sementara kawasan Timur Tengah Mediterania pada dasarnya

terdiri atas populasi Kristen dan Yahudi. Agama Kristen yang

dominan secara politik melahirkan gagasan-gagasan patriarkhis 10 Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, Trj: M.S. Nasrullah (Jakarta: lentera, 2000), 125-126. 11 Ibid, 126.

Page 9: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

49

warisan dari agama Yahudi. Sanksi keaamaan dalam subordinasi

perempuan merupakan penegasan atas esensi perempuan yang

menempati kedudukan kedua melalui kisah-kisah Bibel,

sebagaimana tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam.

Kaum feminis Yahudi telah berargumen bahwa orang-oran Kristen

cenderung mengkambinghitamkan (menyalahkan) agama Yahudi

sebagai sumber misiogini Kristen.12

2. Patriarkhi Pada Abad Pertengahan dan Pencerahan

Pada abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral

kekuatan, dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya

sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja

masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai

hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja,

dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah Inkuisisi.13

Nasib perempuan barat tak luput dari kekejian doktrin-

doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.

Menurut McKay, dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan

status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan

para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan.

Studi-studi spiritual kemudian dilakukan untuk memperbaharui

konsep Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap

sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. 12 Ibid, 128 13 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam (Yogyakarta: Gema Insani Press, 2004). 158.

Page 10: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

50

Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang

berhubungan degan status perempuan di barat cukup bervariasi,

terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan

telah dianggap sebagai makluk inferior. Sebagian besar perempuan

diperlakukan sebagai anak kecil-dewasa yang bisa digoda atau

dianggap sangat tidak rasional. Bahkan pada tahun 1595, seorang

profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius

mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. Pelacuran

merebak dan dilegalkan oleh negara. Perempuan menikah di abad

pertengahan juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya

dengan alasan apapun. 14

Maududi berpendapat, ada dua doktrin dasar gereja yang

membuat kedudukan perempuan di barat abad pertengahan tak

ubahnya seperti binatang. Pertama, gereja menganggap wanita

sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanitalah yang

menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan

menuntunnya ke neraka. Tertullian (150M) sebagai Bapak Gereja

pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita bahwa “Wanita

yang membukakan pintu bagi masuknya godaan setan dan

membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum

14 McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, Second

Edition (Boston: Houghton Mifflin Company , 1983). 437 - 541

Page 11: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

51

Tuhan, dan mebuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan

Tuhan”15.

Sedangkan John Chrysostom (345M-407M) seorang bapak

Gereja bangsa Yunani berkata : “Wanita adalah setan yang tidak bisa

dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, dan

sebuah resiko rumah tangga”.16

Tetapi, konsep utuh tentang perempuan dalam doktrin

Kristen dimulai dengan ditulisnya buku Summa Theologia oleh

Thomas Aquinas antara tahun 1266 dan 1272. Dalam tulisannya

Aquinas sepakat dengan Aristoteles, bahwa perempuan adalah laki-

laki yang cacat atau memiliki kekurangan (defect male). Menurut

Aquinas, bagi para filsuf, perempuan adalah laki-laki yang

diharamkan, dia diciptakan dari laki-laki dan bukan dari binatang.

Sedangkan Immanuel Kant berpendapat bahwa perempuan

mempunyai perasaan kuat tentang kecantikan, keanggunan, dan

sebagainya, tetapi kurang dalam aspek kognitif, dan tidak dapat

memutuskan tindakan moral.17

Doktrin gereja lainnya yang menentang kodrat manusia dan

memberatkan kaum wanita adalah menganggap hubungan seksual

antara pria dan wanita sebagai peristiwa kotor walaupun mereka

15 Maududi, Abul A’la, Al-Hijab Cetakan Kedelapan (Bandung: Gema Risalah Press, 1995), 23. 16 Ibid, 23. 17 Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat berperspektif Feminis, Disertasi, Universitas Indonesia (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002). 95.

Page 12: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

52

sudah dalam ikatan perkawinan sah. Hal ini berimplikasi bahwa

menghindari perkawinan adalah simbol kesucian dan kemurnian

serta ketinggian moral. Jika seorang pria menginginkan hidup dalam

lingkungan agama yang bersih dan murni, maka lelaki tersebut tidak

diperbolehkan menikah, atau mereka harus berpisah dari istrinya,

mengasingkan diri dan berpantang melakukan hubungan

badani.18 Sumber pemahaman misioginis di samping berasal daari

ajaran-ajaran agama dan ajaran holistic lain, pemahaman ini juga

difariasikan dari sumber-sumber para tokoh agama.19

Augustine, Origen, dan Tertullian yang merefleksikan

konsep tentang perempuan sebagai sesosok yang inferior, sekunder,

dan dibatasi penuh oleh faktor biologis. Bagi laki-laki, perempuan

dianggap sebagi sumber petaka, sumber godaan seksual, korupsi dan

kejahatan. Augustine merenungkan tentang ihwal mengapa Tuhan

menciptakan perempuan. Dia berpandangan bahwa Tuhan

menciptakan perempuan bukan sebagai sahabat laki-laki, sebab

tanpa perempuan, laki-laki lain akan memainkan peran ini secara

lebih baik. Perempuan jua bukan sebagai pembantunya, sebab laki-

laki lain akan lebih tepat.20 Sedankan Tertullian menulis tentang

perempuan dengan perlakuan yang sangat misioginis, ia

mengatakan:

18 Maududi, Al-Hijab. 23-24. 19 Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis-Hadis Shahih (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 128. 20 Ibid, 128-129. Baca juga, Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, Trj: M.S. Nasrullah (Jakarta: lentera, 2000)

Page 13: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

53

“Engkaulah pintu gerban setan. Engkaulah pembuka segel pohon terlarang. Engkaulah orang pertama yang meninggalkan hukum tuhan. Engkaulah yang mempengaruhi dia yang setan tidak cukup gagah berani untuk menyerangnya. Dengan begu mudah enkau menghancurkan citra Tuhan, manusia. Karena gurun saharamu, yakni kematian, bahkan putra tuhan pun harus mati.”21 Pada awal mula abad pencerahan yaitu abad ke 17, Bacon

menulis esai yang mengambarkan kondisi perempuan Inggris pada

saat itu mengalami kehidupan yang sulit dan keras. Hal ini dapat

dilihat dari kehidupan Ratu Elizabeth. Saat itu yang bertindak

sebagai penguasa adalah Raja James I, dan ternyata ia sangat

membenci perempuan. Pembunuhan dan pembakaran terhadap

perempuan-perempuan yang dituduh sebagai ”nenek sihir”, yang

dipelopori oleh para pendeta, pada dasarnya merupakan ekspresi anti

perempuan. Hukuman yang brutal dijatuhkan kepada seorang

perempuan yang melanggar perintah suaminya. Tradisi ini

mengembangkan pemikiran bahwa perempuan menyimpan bibit-

bibit ”keburukan” sehingga harus terus menerus diawasi dan

ditertibkan oleh anggota keluarganya yang laki-laki atau suaminya

bila ia sudah menikah. Pemikiran ini membawa konsekuensi bagi

munculnya pemikiran lainnya, seperti ide bahwa lebih baik seorang

laki-laki tinggal sendiri, tidak menikah dan jauh dari perempuan.

Hidup tanpa nikah ini merupakan kehidupan ideal laki-laki, jauh dari

21 Ibid, 129.

Page 14: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

54

pengaruh buruk dan beban anak-anak sehingga laki-laki bisa

berkonsentrasi pada dunia publiknya.22

Jelaslah, penindasan terhadap perempuan barat di bawah

pemerintahan gereja membuat suara-suara perempuan yang

menginginkan kebebasan semakin menggema di mana-mana.

Perempuan barat, menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat

dari hampir seluruh aspek kehidupan. Hal itulah yang kemudian

mendorong para perempuan barat bergerak untuk mendapatkan

kembali hak individu dan hak sipil mereka yang terampas selama

ratusan tahun.

Pembebasan akal dari belenggu teologi gereja, rupanya

menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan di abad -17 dan mendorong

lahirnya paham liberalisme yang pada akhirnya melahirkan revolusi

Perancis di akhir abad -18. Revolusi ini kemudian melahirkan

prahara sosial politik dan demokratisasi Eropa Barat. Bersamaan

dengan itu, kaum perempuan pun bangkit untuk memperjuangkan

hak-haknya. Inilah awal lahirnya gerakan feminism individualis

yang dipelopori oleh Mary Wolstrone Craft di Inggris dengan

bukunya, A Vindication of the Right of Women pada tahun 1792.23

22 Maududi, Al-Hijab, 52. 23 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam, Yaziar Radianti (terj) (Bandung: Pustaka, 1991,) vii.

Page 15: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

55

C. Patriarkhi dalam Islam

Sistem masyarakat yang patriarki (hampir menguasai seluruh

segmen kehidupan) malah cenderung memperlakukan perempuan

secara tidak adil serta memposisikannya secara subordinat di bawah

laki-laki. Bahkan tidak jarang, untuk memperkuat sistem patriarki

tersebut, agama selalu diikut sertakan dalam memberikan legitimasi

dengan cara menafsirkan kitab suci, hadis atau teks-teks keagamaan

lainnya yang cenderung menguntungkan bagi pihak laki-laki. Religious-

teologis merupakan legitimasi yang diperlukan walaupun terkadang

disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Peter L Brger,

mengungkapkan bahwa, legitimasi religious merupakan legitimasi yang

paling tinggi, karena melampaui hal-hal yang bisa dikatakan supra

empiric, dipandang sebagai the sacred canopy (langit-langit suci) untuk

pelindung.24

Islam sejak awal ditargetkan sebagai agama pembebasan,

terutama pembebasan terhadap kaum perempuan. Secara historis, al-

Qur'an turun di tengah masyarakat Arab yang patriarkhis (masyarakat

yang didominasi oleh laki-laki). Masyarakat Arab waktu itu bukan

hanya tribal oriented (berorientasi kabilah), tetapi juga male

oriented. Perempuan Arab, hampir tidak memiliki kedudukan apa-apa.

Perempuan di mata keluarga adalah aib, sehingga hal ini yang menjadi

salah satu alsan untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan.

24 Peter L Berger, The Sacred Sanopy (Garden City: Doubleday, 1979), 41.

Page 16: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

56

Dapat dibayangkan bagaimana masyarakat Arab yang misoginis

dan dikenal sering membunuh anak perempuan, tiba-tiba diperintahkan

untuk melakukan pesta syukuran (aqiqah) atas kelahiran anak

perempuan, meskipun baru sebatas seekor kambing untuk anak

perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki. Umar bin

Khatab pernah mengungkapkan kenyataan ini dengan mengatakan,

‘kunna> fi> al-ja>hili>yyah la> na’udd al-nisa>’ shai’an” (pada masa kelam

(jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang

perlu diperhitungkan). Perbudakan perempuan dan poligami menjadi

praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arab saat itu.25

Islam datang salah satunya sebagai agama pembebasan atas

ketertindasan perempuan. Akan tetapi, bukanlah kebiasaan Islam

melakukan prektik kebudayaan secara reolusioner. Ajaran Islam yang

tertuang dalam al-Qur’an tidak pernah menggunakan bahasa prookatif,

apalagi radikal. Transformasi Islam selalu bersifat gradual, akomodatif,

dan kontineu. Islam melalui sang mediator Nabi Muhammad SAW

selalu berupaya memperbaiki kedzaliman budaya Arab secara persuasif

dengan mendialogkannya secara intensif, karena sesungguhnya

kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam adalah keadilan dan

penghargaan terhadap martabat manusia.26

25 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender (Jakarta: Rahima, 2011), 25. 26 Ibid, 26.

Page 17: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

57

Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan

dan kemasyarakatan sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur’an

berikut:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujarat: 13)27 Dalam pandangan Islam juga, manusia mempunyai dua

kapasitas, yaitu sebagai hamba ('a>bid) dan sebagai representasi Tuhan

(khalifah), tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, dan warna kulit,

sebagaimana ayat berikut ini:

.

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari

27 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya. 517.

Page 18: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

58

sebagian yang lain Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik"28. Begitu juga dalam Islam kualitas kesalehan tidak hanya

diperoleh melalui upaya penyucian diri (riya>d}ah nafsi>yyah), tetapi juga

lewat kepedulian terhadap penderitaan orang lain, sebagaimana ayat

berikut:

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.29 Islam juga, sejak awal menegaskan bahwa diskriminasi peran

dan relasi gender adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang

harus dihapus.30 Islam memerintahkan manusia untuk memperhatikan

konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama

umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender

dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan dalam masyarakat,

tetapi secara teologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia),

makrokosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia

28 Ibid. 576. 29 Ibid. 113.

Page 19: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

59

dapat menjalankan fungisnya sebagai khalifah dan hanya khalifah

sukses yang dapat mencapai derajat 'a>bid yang sesungguhnya.

Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu

kepada ayat-ayat substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum

syariat (maqa>s}id as-Shari>'ah), antara lain:

a. Mewujudkan keadilan dan kebajikan, sebagaimana ayat berikut:

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. al-Nahl : 90)31

b. Keamanan dan ketenteraman dan menyeru kepada kebaikan dan

mencegah kejahatan, sebagaimana dijelaskan ayat berikut:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali IMran : 104)32

Ayat-ayat tersebut, seringkali dan seharusnya dijadikan

kerangka dalam menganalisis relasi gender dalam al-Qur'an. Laki-laki

dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam

31 Ibid. 277. 32 Ibid. 63

Page 20: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

60

menjalankan peran khalifah dan hamba. Peran sosial dalam masyarakat,

tidak ditemukan nash atau hadith yang melarang kaum perempuan aktif

di dalamnya, sebab al-Qur'an dan hadith banyak mengisyaratkan

kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.

Perbedaan laki laki dengan perempuan sebenarnya tidak akan

menimbulkan masalah jika tidak menyangkut pembedaan dalam hal

kewajiban dan hak. Namun persoalan itu muncul pada sosial budaya

yang terjadi pada sebagian besar masyarakat Indonesia pemeluk agama

Islam yang konservatif terhadap pemahaman ajaran Islam dalam

interaksi sosial antara laki laki dan perempuan. Al-Qur’an

menyebutkan bahwa kaum laki laki adalah pemimpin bagi kaum

wanita, sebagai berikut:

“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).33

Berdasarkan ayat ini, maka kedudukan laki laki diposisikan

lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga kewajiban dan haknya

berbeda pula. Perbedaan kewajiban dan hak tidaklah dipandang sebagai

suatu ketidakadilan atupun ketimpangan bagi mereka yang menerima

apa adanya, karena hal tersebut sebagai aturan yang harus dipatuhi.

33 Ibid. 77.

Page 21: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

61

Tentu akan berbeda halnya ketika ayat tersebut dipandang dari berbagai

sudut penafsiran.

Imam Zamakhsyari, penafsir dari kalangan rasionalis,

mengatakan bahwa keunggulan laki-laki tersebut meliputi potensi nalar

(‘aql), ketegasan (al-hazm), semangat (al-‘azm), kekuatan fisik (al-

Qu>wwah), keberanian dan ketangkasan (al-furu>siy>yah dan wa al-

ara>mi>y).34 sedankan al-Razi penafsir dari kalangan Sunni, menyebut

keunggulan laki-laki antara lain, potensi pengetahuan (al-‘ilm), dan

kekuatan fisik (al-Qudrah)35.

Dari paparan tersebut Husein Muhammad menjelaskan bahwa

secara ringkas, semua ahli tafsir memberikan penjelasan yang hampir

sama yaitu keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut terletak pada:

akal-intelektual, kekuatan fisik, keteguhan mental dan kepandaian

menulis. Jadi, dalam hal-hal tersebut laki-laki dianugerahi potensi lebih

kuat dibandingkan perempuan. Akan tetapi, menarik juga dikemukakan

bahwa mereka segera menyebut kata “fi>-al-gha>lib” yang berarti pada

umumnya, atau “urfan” tradisinya.36 Kata-kata tersebut memperlihatkan

bahwa alasan-alasan itu diakui mereka sebagai sesuatu yang tidak

mutlak, menyeluruh atau bahkan setiap laki-laki.

Perempuan pada periode yang lebih maju telah menunjukkan

eksistensinya dalam berbagi bidang. Bahkan sudah banyak di antara

mereka yang terbukti mampu mengunguli superioritas laki-laki dalam 34 Zamakhsyari, al-Kassya>f (Bairut: Da>r al-Kitab al-Ara>bi>, tt), 523. 35 Al-Razi, al-Tafsi>r al-Kabi>r (Teheran: Da>r al-Kutub al-Ilmi>yyah, Juz x), 88. 36 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein, 54.

Page 22: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

62

segi kematangan intelektual, spiritual dan bahkan keungulan dam

bidang kepemimpinan (leadership).

Selanjutnya dalam hubungannya dengan pernikahan ada ayat

yang mengemukakan bahwa :

Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja. (QS. An Nisa. 3)37

Ayat ini dapat diinterpretasikan secara umum bahwa seoraang

laki-laki bila bisa berlaku adil boleh menikahi lebih dari seorang

perempuan dalam waktu yang sama (poligami). Pola perkawinan

poligami yang dibenarkan oleh agama Islam demikian ini dapat

dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, yang diantaranya sebagai

obyek pemuas nafsu secara terselubung ataupun eksploitasi lainnya.

Sebagian penganut paham ini beranggapan bahwa poligami sebagai

sunah, syarat keadilan yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an

cenderung diabaikan atau hanya sebatas argument verbal belaka.38

37 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 3. 38 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein, 18.

Page 23: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

63

Sedangkan sebagian lain seperti Rasyid Ridha membolehkan

poligami dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Pandangan ini

memandang keadilan sebagai syarat, tetapi menitikberatkan pada

keadilan formal-distributif, yakni bahwa suami harus memenuhi hak-

hak ekonomi dan kebutuhan seksual (gilir) para istri secara adil

(relatif).39 Tiga pandangan ini, pada tataran hukum positif pada saat ini

melahirkan UU Keluarga di Negara-negara Islam dengan subtansi

hukum yang juga beragam. Peradaban poligami sesungguhnya telah

lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga

banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia, Meditarenia

dan juga di belahan dunia lainnya.40 Artinya, tradisi poligami bukanlah

tradisi khas bangsa Arab akan tetapi merupakan baian dari peradaban

bangsa-bangsa lain.

Sedangkan dalam persoalan pembagian warisan terdapat ayat

yang menjelaskan sebagaimana berikut:

39 Rasyid Ridha, Panggilan Islam terhadap Wanita, tr. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), 55-56. Bandingkan dengan Nurjannah Isma’il, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKiS, 2003), 212-213. 40 Muhammad Thalib, Tuntunan Pologami dan Keutamaannya (Bandung: IBS, 2001), 85-86.

Page 24: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

64

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana41. Dari pembagian warisan tersebut di atas jelas bahwa anak laki

laki lebih diuntungkan dibandingkan anak perempuan, karena anak laki

laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian yang diberikan kepada

anak perempuan. Namun hal tersebut akan berbeda jika dilihat dari

sudut pandang yan lebih dalam, memang ayat tersebut secara implisit

cenderung membela laki-laki dan mendeskriditkan perempuan, akan

tetapi sebenarnya pembagian waris tersebut pada ujungnya akan

menemukan kesepadanan (musa>wah). Laki-laki yang mendapatkan

bagian bandingan dua dari warisan tersebut nantinya akan mendapatkan

satu lagi dari bagian istrinya yang di lain pihak telah mendapatkan 41 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya. 79.

Page 25: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

65

warisan satu sehingga jumlah keseluruhan adalah tiga. Sedangkan

perempuan yang mendapatkan bagian satu nantinya akan mendapatkan

tambahan bagian dua dari pembagian yang diterima oleh suaminya,

sehingga pada akhirnya antara laki-laki dan perempuan sama-sama

mendapatkan jumlah tiga dari bagiannya yang ditambahkan dengan

bagian pasangannya. Demikianlah sesungguhnya Islam telah mengatur

ketentuan waris yang sesungguhnya sangat menghargai keadilan dan

kesetaraan antar sesama manusia.

Selanjutnya berkenaan dengan aturan shalat berjamaah, laki laki

tidak syah shalatnya jika menjadi makmum yang imamnya perempuan.

Imam perempuan hanya boleh diikuti oleh makmum perempuan saja.

Sedang imamnya seorang laki laki, maka makmumnya bisa terdiri dari

laki laki dan perempuan. Dalam shalat berjamaah yang makmumnya

laki laki dan perempuan, shaf pertama ditempati oleh laki laki dewasa

sampai shaf terakhir anak laki laki . Di belakang shaf anak anak laki

laki baru boleh ditempati shaf wanita dewasa sampai shaf paling

belakang adalah untuk anak anak perempuan.42

Dalam aturan shalat berjamaah tersebut di atas nampak jelas

adanya diskriminasi gender, bahkan wanita dewasa yang fasih ajaran

agama sekalipun tidak mempunyai hak untuk menjadi imam yang

makmumnya laki laki. Bahkan shaf atau barisan shalatpun posisi wanita

dewasa berada di belakang shaf anak anak laki laki. Dari aturan dalam

42 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam cet. 39( Bandung: PT.Sinar Baru Algensindo, 2006),113.

Page 26: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

66

shalat berjamaah demikian itu nampak jelas bahwa wanita sekalipun

sangat fasih atau menguasai rukun shalat tidak mempunyai hak untuk

menjadi pemimpin atau imam shalat berjamaah bersama laki laki.

Banyak instrumen yang menjadi penguat dominasi laki laki

terhadap perempuan dengan segala bentuk penindasannya, sehingga

mengantarkan pengalaman pahit pada banyak kaum perempuan.

Kekuasaan laki laki yang superior diterapkan dengan berbagai cara,

seperti ideologisasi budaya patriarki sampai maskulinisasi makna

agama. Keberadaan agama sebagai alat legitimasi “kekaisaran laki laki”

sungguhlah amat efektif untuk memperkokoh posisi subordinat

perempuan terhadap laki laki.43

Dalam melihat peran serta posisi perempuan dalam Islam

sebenarnya harus menggunakan cara pandang yang komperhensif baik

dari sisi historis, teologis, maupun filosofis sehingga ditemukan

korelasi yang adil antara laki dan perempuan. Yusuf Al-Qaradhawi,

dalam pengantar buku Kebebasan Wanita44 memberikan contoh-contoh

kehidupan perempuan dalam masyarakat Islam seperti :

1. Kaum perempuan masyarakat Islam mempunyai kesempatan yang

luas untuk mendapat pendidikan, pelajaran dan menghadiri majlis

ilmu.

43 Masdar Farid Mas’udi, Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Bandung: Mizan, 1997). 44 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), iv

Page 27: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

67

2. Kaum perempuan dibolehkan menghadiri pertemuan umum di

masjid untuk turut memutuskan perkara yang berkaitan dengan

kehidupan masyarakat dan negara.

3. Kaum perempuan mempunyai hak dalam ekonomi, sebagaimana

Zainab binti Jahsy mempunyai pekerjaan dan kegiatan ekonomi

yang dilakukan dengan tangannya sendiri sehingga dapat

bersedekah dari hasil pendapatannya sendiri. Zainab binti Mas’ud

bekerja dengan tangannya sendiri dan memberikan belanja untuk

suami dan anak yatim yang dipeliharanya.

4. Ummu Athiyah ikut berperang bersama suaminya sebanyak enam

kali, sedangkan Ummu Haram menginginkan kematian syahid

bersama tentera pasukan laut.

5. Dalam politik, Ummu Hani ikut dalam melindungi pelarian perang,

dan menyelesaikan perkara saudara lelakinya.

6. Ummu Kalsum binti Uqbah, seorang remaja ikut berhijrah ke

Madinah, dan berpisah dengan keluarganya.

7. Perempuan berhak mempertahankan pilihannya dalam memilih

suami , berpisah dengan suami dan terlepas dari pengaruh

keluarganya.

8. Zainab binti Muhajir berdialog dengan khalifah Abu Bakar Al-

Siddiq, Ummu Darba pernah menyangkal pendapat khalifah Abdul

Malik bin Marwan, dan Ummu Ya’kub berdialog dengan Abdullah

bin Mas’ud yang dianggap sebagai penghulu fuqaha sahabat.

Page 28: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

68

9. Atikah binti Zaid, isteri Khalifah Umar bin Al-Khattab

mempertahankan haknya dalam kesaksian jamaah.

10. Seorang remaja perempuan Bani Khatsamiyah bersusah payah

untuk menghajikan bapanya sendiri.

Al-Quran sebenarnya telah menetapkan tugas yang seimbang

bagi lelaki dan perempuan. Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan

kemampuan masing-masing berdasarkan fitrah alami perempuan yang

berbeda dengan kaum lelaki. Dari segi fisik, emosi dan psikologi, hanya

perempuan yang dapat menjalankan tugas keibuan dengan baik. Ini

kerana dibanding dengan lelaki, kaum perempuan lebih penyayang,

lebih ramah, cepat bertindak dan memberikan respons sesuai dengan

naluri keibuan. Sifat-sifat ini menjadi ciri utama perempuan dalam

menjalankan tugas dan kewajipan. Islam memberikan persamaan di

antara lelaki dan perempuan, namun hanya ada sedikit keterbatasan dan

perbedaan yang digariskan oleh Islam untuk kaum perempuan seperti

dalam hak harta warisan, dan ijab-kabul pernikahan, dalam

kepemimpinan keluarga, dan sebagainya. Perbedaan dalam peranan dan

hak yang telah ditentukan oleh Allah tidak bermakna adanya superioriti

ataupun inferioriti bagi pihak manapun, akan tetapi hanyalah untuk

menjaga kecenderungan fitrah masing-masing45.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam telah

memberikan kebebasan kepada perempuan dalam bidang ekonomi,

45 Dinar Dewi Kania, Isu Gender : Sejarah dan Perkembangannya, Majalah Islamia, Vol.3, No.5, 2010, 55

Page 29: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

69

sosial dan politik sebagaimana laki-laki, sebelum masyarakat Barat

memberikan kebebasan kepada mereka. Oleh sebab itu masyarakat

muslim tidak memerlukan gerakan pembebasan perempuan, gerakan

feminisme, dan kesamaan gender, sebab ajaran Islam dan sejarah

masyarakat muslim terdahulu sudah memberikan kedudukan terhormat

kepada kaum perempuan sesuai dengan kodrat dan fitrahnya

D. Patriarkhi dalam Pesantren

Untuk mengetahui bentuk tradisi patriarkhi dalam pesantren maka

dalam pembahasan ini dipaparkan gambaran umum kepemimpinan

pesantren serta kurikulum dan proses pembelajaran di dalamnya.

Dengan pemaparan data-data tersebut nampak bagaimana sesunguhnya

tradisi patriarkhi terjadi di pesantren dan mengapa tradisi tersebut

mengakar kuat hingga sekarang.

1. Kepemimpinan Pesantren

Terdapat dua terminologi yang penting untuk dipahami

terkait dengan studi kepemimpinan. Pertama, pemimpin (leader)

yaitu orang yang memimpin, mengetahui, atau mengepalai. Kedua,

aktivitas dan segala hal yang berhubungan dengan praktek

memimpin. Term kedua inilah yang dikenal dengan

kepemimpinan.46 Aktivitas kepemimpinan bukanlah semata-mata

produk dari seranngkaian kegiatan yang dilakukan seorang

46 Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam (Yogyakarta: Gajah Mada University

Press, 1993), 16.

Page 30: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

70

pemimpin dengan mengabaikan begitu saja relasi dengan pihak

lain.

Kepemimpinan Islam di Indonesia oleh jalaluddin Rahmat di

bagi ke dalam tiga fase, yaitu, fase ulama, fase organisator, dan

fase pemuka pendapat (opinion leader)47

a. Fase Ulama

Seseorang dapat menjadi seorang pemimpin Islam karena

ia memiliki pengetahuan agama yang mendalam sehingga bisa

dijadikan rujukan umat. Pada fase ini seorang pemimpin

melewati masa-masa mudanya di pesantren sebagai seorang

santri, kemudian menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang

kiai yang membina pesantren. Artinya, pesantren dituntut agar

menghasilkan output berupa “agen-agen” kiai untuk

disebarkan ke seluruh penjuru nusantara, sehingga melalui para

santrinya, seorang kiai dapat melebarkan pengaruhnya secara

nasional.

b. Fase Organisator

Fase ini merupakan reaksi kebijakan politik pemerintahan

kolonial Belanda. Dalam hal ini, umat Islam mendirikan

organisasi, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, NU,

Persis, Jami’atul Khair, dan lain sebagainya. Yang disebut

pemimpin Islam pada fase ini adalah pemimpin organisasi 47 Jalaludin Rakhmat, Memepersoalkan Asal Usul Pemimpin Islam, dalam Maksum,

Mencari Pemimpin Umat: Polemik Tentang Kepemimpinan Islam ditengah Pluralitas Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 28-34.

Page 31: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

71

Islam itu sendiri. Tentunya, karir sang pemimpin disini tidak di

mulai dari pendidikan dan pengabdian di pesantren, tetapi di

organisasi. Setiap orang seharusnya menempuh secara pelan-

pelan maupun melalui lompatan besar, hirarki organisasi. Pada

fase ini yang paling penting adalah ketrampilan berorganisasi

(organization skill) yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin.

c. Fase pemuka pendapat (opinion leader)

Jika pada fase pertama seorang pemimpin yang berlatar

ulama lahir dan besaar di pondok pesantren, pada fase kedua

pemangku tampuk pemimpin suatu organisasi muncul dan

ditempa di dalam organisasi, dan fase ketiga ini datang dari

media massa. Maksudnya, apa yang disebut sebagai pemimpin

Islam adalah mereka yang pandai melontarkan gagasan-

gagasan inovatif melalui media ceta, elektronik, diskusi,

seminar, dan lain-lain. Dari fase ketiga ini, kemudian banyak

bermunculan dua jenis pemimpin, yaitu mubalig dan

cendekiawan.48

Secara umum, dari segi kepemimpinan, pesantren masih

terpola secara sentralistik dan hierarkis, terpusat pada seorang kiai.

Kiai sebagai salah satu unsurmdominan dalam kehidupan sebuah

pesantren. Ia mengatur irama perkembangan dan keberlangsungan

kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu,

48 Ibid, lihat juga, abd Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, 63-64

Page 32: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

72

karisma, dan keterampilannya. Tidak jarang sebuah pesantren tidak

memiliki manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatu

terletak pada kebijaksanaan dan keputusan kiai.49

Kiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu

pesantren. Biasanya Kiai merupakan pendiri pesantren sehingga

pertumbuhan pesantren tergantung pada kemampuan Kiai sendiri.

Dalam bahasa Jawa kata Kiai dapat dipakai untuk tiga macam jenis

pengertian yang berbeda sebagaimana dinyatakan oleh Hasyim

Munif, yaitu:

a. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang tertentu yang

dianggap keramat, misanya, “Kiai Garuda Kencana” dipakai

untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta.

b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.

c. Gelar yang diberikan masyarakat kepada orang ahli ilmu.

Menurut Manfred, dalam Zamakhsyari Dhofir, Kiai

merupakan gelar oleh seorang tokoh ahli agama, pimpinan pondok

pesantren, guru penceramah, pemberi pengajian dan penafsir

tentang peristiwa-peristiwa penting di dalam masyarakat sekitar.50

Lebih lanjut Imam Suprayoga membagi tipologi seorang Kiai

dalam keterlibatannya di dunia politik pedesaan sebagai berikut:

49 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), 49. 50 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 55.

Page 33: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

73

a. Kiai Spiritual

Dalam kegiatan politik maupun rekrutmen elit, Kiai

spiritual mengambil sikap berbentuk partisipasi pasif normatif.

Artinya ia ikut berpartisipasi sekalipun bersifat pasif, akan

tetapi jika terjadi penyimpangan terhadap norma politik, ia

akan bersikap kritis.

b. Kiai advokatif

Dalam afiliasi politik, kiai advokatif bersifat netral (tidak

menyatakan keberpihakannya kepada salah satu organisasi

politik), sedangkan dalam rekrutmen elit, keterlibatannya sama

dengan kiai adaptif yaitu berbentuk partisispasi spekulatif.

Artinya mereka mau memantu kandidat Kepala Desa yang

bersangkutan dengan catatan mereka memberi imbalan

material yang diperlukan untuk kepentingan dakwah.

c. Kiai mitra kritis

Kiai mitra kritis mengambil bentuk partisipasi aktif kritis

dalam dunia politik maupun rekrutmen elit. Artinya ia secara

nyata terlibat politik berupa ikut ambil bagian dan menjadi

penggerak kegiatan politik, dan tidak selalu seirama dengan

kemauan pemerintah.51

Khusus dalam penyelenggaraan pendidikan keterlibatan kiai

adalah sama, mereka menganggap bentuk lembaga pendidikan

51 Ibid, 55.

Page 34: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

74

yang paling ideaal adalah pesantren, dengan menggabungkan

sistem klasikal dan sistem sekolah umum dan disisi lain tetap

memelihara dan mengembangkan sistem tradisionalnya yaitu

sistem pondok pesantren.

Sedang dalam pengembangan ekonomi masyarakat, hanya

kiai advokatif yang telah melakukan peran proaktifnya kreatifnya,

kiai ini mampu melaksanakan artikulsi ajaran agama dalam

pembelajaraan ekonomi umat ssecara konkrit dan hasilnya dapat

dirasakan oleh masyarakatnya.52

Dalam sistem pendidikan tradisional (salaf) pondok

pesantren Kiai adalah figur sentral yang mempunyai otoritas penuh

dalam menentukan kebijakan-kebijakan untuk perkembangan dan

kelangsungan suatu pondok pesantren. Perjalanan suatu pesantren

juga banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu,

kharisma, wibawa serta keterampilan Kiai yang bersangkutan

dalam mengelola. Oleh karena itulah Dzofier menyebutkan, bahwa

Kiai adalah salah satu unsur penting yang paling dominan dalam

kehidupan suatu pondok pesantren53.

Memahami ketokohan Kiai di pondok pesantren, di samping

keunggulannya di bidang ilmu dan kepribadian, Kiai juga

merupakan sumber pendanaan dalam pembiayaan (budgeting) atas

52 Ibid,154. 53 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren “Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia”(Jakarta: LP3ES, 2011), 45.

Page 35: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

75

pengelolaan pondok pesantren yang dipimpinnya.54 Hal inilah yang

mengaharuskan para Kiai mempunyai penghasilan lebih di sektor

ekonomi baik yang dikelola oleh lembaga ataupun pribadi.

Beberapa di antara mereka ada yang mendirikan kapontren, wartel,

klinik kesehatan dan lainnya.

Faktor lain yang mendukung status Kiai adalah sebuah

doktrin yang menganggap kiai sebagai figur pilihan yang mewarisi

ilmu-ilmu para nabi utusan (al-‘ulama>’ wara>that al-anbiya>’),

sehingga muncul asumsi dan mitos bahwa Kiai secara langsung

dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu dari Allah tanpa melalui proses

belajar, dan hal tersebut tenar di kalangan pesantren dengan

sebutan ilmu “laduni”. Doktrin ini bukan hanya sekedar wacana

yang dikembangkan tetapi sudah menjadi anggapan di sebagian

besar masyarakat kalangan umum (awam).

Model kepemimpinan sistem tradisional pondok pesantren

kebanyakan bersifat otoriter dan paternalistik. Seorang pemimpin

yang paternalistik biasanya menganggap bawahan sebagai orang

yang belum dewasa, bersifat terlalu melindungi, jarang memberi

kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan, hampir

tidak memberi kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif

sendiri, jarang memberi kesempatan kepada bawahan untuk

mengembangkan kreasi dan fantasinya. Selain itu, dalam

54 Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, 92.

Page 36: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

76

menjalankan kepemimpinannya seorang Kiai mengedepankan

unsur karismanya sebagai daya tarik atas kepribadian dan sikapnya.

Eksistensi kiai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari

tugas dan fungsinya, dapat dipandang sebagai sebuah fenomena

yang unik. Dikatakan unik karena kiai sebagai pemimpin sebuah

lembaga pendidikan Islam tidak sekadar bertugas menyusun

kurikulum, membuat peraturan atau tata tertib, merancang sistem

evaluasi, sekaligus melaksanakan proses belajar-mengajar yang

berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya,

melainkan pula scbagai pembina dan pendidik umat serta menjadi

pemimpin masyarakat.55

Kepemimpinan individual kiai inilah yang sesungguhnya

mewarnai pola relasi di kalangan pesantren dan telah berlangsung

dalam rentang waktu yang lama, sejak pesantren berdiri pertama

hingga sekarang dalam kebanyakan kasus. Lantaran kepemimpinan

individual kiai itu pula, kokoh kesan bahwa pesantren adalah milik

pribadi kiai. Karena pesantren tersebut milik pribadi kiai,

kepemimpinan yang dijalankan adalah kepemimpinan individual.56

Model kepemimpinan tersebut memengaruhi eksistensi

pesantren. Bahkan belakangan ada pesantren yang dilanda masalah

kepemimpinan ketika ditinggal oleh kiai pendirinya. Hal itu

55 Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasada Press, 1993), 45. 56 Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2004), 40.

Page 37: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

77

disebabkan tidak adanya anak kiai yang mampu meneruskan

kepemimpinan pesantren yang ditinggalkan ayahnya baik dari segi

penguasaan ilmu keislaman maupun pengelolaan kelembagaan.

Karena itu, kesinambungan pesantren menjadi terancam.57

Kepemimpinan individual kiai yang bersifat otoriter tersebut

tidak hanya terbatas pada hubungan antara kiai sebagai pengasuh

dan santri sebagai bawaahan, akan tetapi juga berdampak pada

pandangan subordinasi terhadap peran dan posisi perempuan dalam

pesantren. Keberadaan nyai sebagai pengasuh lain di samping kiai

tidak begitu diperhitungkan, sehingga dalam praktik mayoritas

kepemimpinan pesantren, nyai tidak lebih hanya sebagai pengajar

dan pendamping kiai.

2. Kurikulum Serta Proses Pembelajaran dalam Pesantren

Kurikulum memiliki posisi yang signifikan dalam proses

pendidikan di pondok pesantren, sebab dengan kurikulum dapat

dilihat suatu tujuan pembelajaran di pesantren tersebut. Kurikulum

tidak hanya dimaksudkan sebagai struktur formal dalam proses

belajar mengajar ataupun sebagai bahan acuan dalam sistem

pendidikan; lebih dari itu, kurikulum merupakan cetak biru dari

pendidikan di pesantren58.

57 M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergumulan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), 114. 58 Kurikulum pesantren dalam hal ini pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan Tajwid), Mantiq, dan Akhlak, yang kesemuanya dapat

Page 38: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

78

Elemen yang sudah menjadi tradisi di pesantren adalah

adanya pengajaran kitab-kitab Islam klasik yang dikarang oleh

ulama-ulama besar terdahulu tentang berbagai macam ilmu

pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Kitab klasik yang

diajarkan di pesantren terutama bermadzab Syafi’iyah.

Pengajaran kitab kuno ini bukan hanya sekedar mengikuti

tradisi pesantren pada umumnya, tetapi mempunyai tujuan tertentu,

yakni untuk mendidik calon ulama’ yang mempunyai pemahaman

komprehensip terhadap ajaran agama Islam.

Menurut keyakinan yang berkembang di pesantren,

mempelajari kitab-kitab kuning merupakan jalan untuk memahami

keseluruh ilmu agama Islam. Dalam pesantren masih terhadap

keyakinan yang kokoh bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam

kitab kuning merupakan pedoman kehidupan yang sah dan relevan.

Sah artinya bahwa ajaran itu bersumber dari kitab Allah (al-

Qur’an) dan Sunnah Rasul (Hadith). Relevan artinya bahwa ajaran

itu masih tetap mempunyai kesesuaian dan berguna untuk

mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.

Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat

digolongkan menjadi 8 kelompok:

a. Nahwu (syntax) dan s}raf (morfologi), misalnya kitab

Juru>mi>yyah, Imr>it}y, Alfi>yah dan Ibn Aqi>l.

digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2) kitab menengah, 3) kitab besar. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 34.

Page 39: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

79

b. Fiqh (tentang hukum-hukum agama/syari’ah), misalnya kitab

Fath} al-Qari>b, Sulam Tawfi>q, al-Ummu dan Bida>yah al-

Mujtahid.

c. Usu>l Fiqh (tentang pertimbagnan penetapan hukum Islam),

misalnya Maba>di’ al-awwa>li>yah.

d. Hadith, misalnya Bulu>gh al-Mara>m, Shah}i>h} Bukha>ri>, Shah}i>h}

Muslim dan sebagainya.

e. Aqidah, tauhid atau ushu>l al-di>n (tentang pokok-pokok

keimanan), misalnya Aqi>dah al- Awwa>m, Ba’du al-amal.

f. Tafsir al-Qur’an, misalnya Tafsi>r al-Jala>lai>n, Tafsi>r al-

Mara>ghi.

g. Tasawuf dan etika (tentang sufi), misalnya kitab Ih}ya>’ ’Ulu>m

ad-di>n.

h. Tarikh, misalnya kitab Khula>shah Nu>r al-Yaqi>n.59

Kajian terhadap kitab klasik tersebut pada gilirannya telah

menumbuhkan warna tersendiri dalam bentuk paham dan nilai

tertentu.60 Namun, sesuai dengan pandangan keagamaan yang

dianut pesantren, khazanah studi ini mengalami proses

penyempitan setelah berada di tangan pesantren.61 Khazanah

intelektual yang dikembangkan oleh komunitas pesantren

didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritualistik 59 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 87. 60 Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90 61 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 7-13.

Page 40: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

80

dan eskatologis62 dengan kajian yang hanya terbatas pada bidang

tafsir hadith, teologi, etika (tas}awwuf) dan ilmuilmu instrumen

lainnya, seperti morfologi (s}arf), sintaksis (nah}w), balaghah

(semantic dan eloquence), dan leksikografi (mu’jam).63 Sebagai

elemen dasar studi Islam di pesantren, literatur universal tersebut

dipelihara dan diajarkan dari generasi ke generasi selama berabad-

abad, secara langsung berkaitan dengan konsep kepemimpinan kiai

yang unik.64

Kitab kuning demikian pentingnya dalam lingkungan

pesantren sehingga dipandang sebagai salah satu komponen yang

membentuk wujud pesantren itu sendiri. Tanpa pengajaran kitab

kuning, suatu lembaga pendidikan tidak dapat disebut pesantren,

sebab salah satu unsurnya belum terpenuhi.

Kitab kuning, menurut van Bruinessen, banyak dianggap

sebagai berisi ilmu yang sudah bulat, tidak dapat ditambah, hanya

bisa diperjelas dan dirimuskan kembali.65 Sementara Dhofier

mengemukakan bahwa Kiai bukan sekedar membaca teks kitab

62 A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 132. 63 Ulil Abshar Abdalla, Humanisasi Kitab Kuning: Refleksi dan Kritik atas Tradisi Intelektual Pesantren dalam Pesantren Masa Depan, ed. Marzuki Wahid, et.al (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 292. 64 Kepemimpinan kiai di pesantren sangat unik karena mereka memakai sistem kepemimpinan pra-modern. Relasi sosial antara kiai-ulama-santri dibangun atas landasan kepercayaan, bukan karena patron-klien sebagaimana dilakukan masyarakat pada umumnya. Ketaatan santri kepada kiai lebih dikarenakan mengharap barakah (grace), sebagaimana dipahami dalam konsep sufi. Lihat Abdurrahman Wahid, "Pondok Pesantren Masa Depan“ dalam Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid, et.al (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),14. 65 Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), 44

Page 41: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

81

kuning, ia juga mengulas, serta memberikan komentar dan

pandangan-pandangan pribadinya.66

Keterikatan pesantren pada kitab kuning pada gilirannya

menjelma menjadi suatu tradisi yang kaku, pengajaran kitab kuning

tetap tidak goyah walaupun banyak kritik yang dialamatkan

kepadanya. Kemajuan zaman dan berkembangnya ilmu

pengetahuan belum mampu banyak dalam mempengaruhi

transformasi kajian pesantren salaf dengan kitab kuningnya.

Disiplin keilmuan Islam yang memperoleh perhatian besar di

pesantren adalah fiqh (jurisprudence)67. Umumnya fiqh diartikan

sebagai kumpulan hukum amaliah yang disyariatkan Islam. Kajian

tentang hukum-hukum agama atau syari’at memang untuk jangka

waktu yang lama sekali mendominasi dunia pemikiran atau

intelektual Islam.68 Fiqh dijadikan sebagai referensi otoritatif yang

dianggap selalu relevan sepanjang waktu dan di segala ruang (fiqh

oriented).69 Mengingat posisinya yang demikian urgen, terutama

bagi keberagamaan dan kehidupan manusia, tak jarang pula fiqh

dianggap sebagai wahyu Tuhan (devine inspiration) yang secara

proporsional disetarakan dengan al-Qur’an dan al-Hadith.

66 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, 44. 67 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LKiS, 2004), . 34. 68 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 8. 69 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Genda Persoalan Bangsa (Jakarta: Logos, 1999), 7.

Page 42: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

82

Pemahaman ini ternyata membawa implikasi munculnya sebuah

asumsi bahwa fiqh itu suci dan tak mungkin diubah lagi.70

Hal ini mempunyai resonansi langsung dengan watak

ortodoksi yang masih kuat mencirikan cara pandang keagamaan ahl

as-Sunnah wa al-jama>’ah, ideologi yang menjadi anutan komunitas

pesantren selama ini. Cara pandang semacam ini memberikan

tekanan yang begitu berlebihan pada aspek formalisme sebagai

imbas lebih jauh dari kecenderungan tekstualisme. Oleh karena itu

tidaklah mengherankan bahwa dalam latar demikian itu, kajian

filsafat sama sekali ditinggalkan.

E. Peran dan Posisi Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam

Kedudukan wanita dalam pandangan umat-umat sebelum Islam

sangatlah rendah dan hina dina, mereka tidak menganggapnya sebagai

manusia yang mempunyai roh, atau hanya menganggapnya dari roh

yang hina. Bagi mereka, wanita adalah pangkal keburukan dan sumber

bencana.71 Ketika itu pula, Islam datang sebagai petunjuk kabar

gembira dan peringatan bagi manusia. Pandangan terhadap perempuan

berubah dan menjadilah suatu kebahagiaan ummat pada waktu itu

seingga kedudukan kaum perempuan diangkat dan dihilangkanlah

70 Ahmad Syukron, Muamalah dalam Bingkai Filsafat Hukum Islam (Sebuah Tinjauan Definitif, Teleologis dan Filosofis) dalam Akademika Jurnal Studi Keislaman, vol.11 No.1, September 2002, 27. 71 Muhammad Albar, ‘Amal al-Mar'ah Fi> al-Mi>za>n, diterjemahkan oleh Amir Hamzah Fachruddin dengan judul Wanita Karier dalam Timbangan Islam: Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), 1.

Page 43: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

83

segala bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan72 Namun pada era

globalisasi ini seringkali kita mendengar teriakan seorang perempuan

yang menuntut hak-haknya, mereka yang mendengarnya banyak yang

mempercayai hal tersebut. Walhasil, apa yang telah disumbangkan

untuk kemuliaan setiap wanita akhirnya terlupakan, dan menganggap

Islam sebagai agama yang kurang memberikan keadilan dan

kesamaan.73

Dewasa ini agama memang telah mendapat ujian baru karena

sering dituduh sebagai sumber masalah, berbagai bentuk pelanggengan

ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi

laki-laki dan perempuan atau yang sering disebut dengan ketidakadilan

gender (gender incquality) “terutama ketika menyangkut polemik

kepemimpinan wanita”. Oleh karena agama berurusan dengan nilai-

nilai yang paling hakiki dari hidup manusia, maka legitimasi religius

yang keliru akan sangat berbahaya. Persoalannya, apakah pelanggengan

ketidakadilan gender itu bersumber dari watak agama itu sendiri

ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran, dan pemikiran

keagamaan, yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur

72 Muhammad Anis Qasim Ja’far, Al- Huqu>q al-Siya>si>yyah li al-Mar'ah fi> al-Isla>m wa al- Fikr wa al-Tasyri>’ al-Mu’a>shir, diterjemahkan oleh Ikhwan Fauzih, dengan judul Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam Cet. I (Jakarta: Amzah, 2002), 9. 73 Maisar Binti Yasin, Makaanaki Tas'adiy, diterjemahkan oleh Ahmad Thobrani Mas'udi dengan Judul Wanita Karier dalam Perbincangan Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 14-15.

Page 44: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

84

patriarki, ideologi kapitalisme, atau pengaruh kultur Timur Tengah abad

pertengahan.74

Dari pemaparan permasalahan singkat diatas maka diperlukan

upaya merefleksikan kembali posisi wanita dalam masyarakat yang

plural dan pandangan agama islam tentang peran dan posisi perempuan

dalam sebuah birokrasi atau kepemimpinan. Dengan harapan

didapatkan sebuah pemahaman yang relatif adil dan porposional akan

posisi laki-laki dan perempuan dan tercapainya seluruh hak-hak mereka

dalam menjalankan dinamika kehidupan

1. Kedudukan Wanita Dalam Islam

Islam secara tegas menjelaskan bahwa tujuan Islam

diwahyukan adalah untuk membebaskan manusia dari segala

bentuk belenggu ketidakadilan. Dan itu dilakukan dengan jalan

mengkafirkan segala bentuk sistem kehidupan yang tiranik,

despotik, dan diskriminatif. Termasuk menghilangkan diskriminasi

dalam relasi laki-laki dan perempuan75.

Salah satu tuntunan agama yang mendasar adalah keharusan

menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender,

ras, suku bangsa, dan bahkan agama.76 Perempuan dan laki-laki

adalah makhluk biopsikis. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki

mempunyai kesempatan mengembangkan diri menjadi manusia

74 Lihat, Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan Cet. I (Bandung: Mizan, 2004), 36-37 75 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, 39. 76 Ibid, 4.

Page 45: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

85

yang berpribadi utuh. Mempunyai kekuatan Andro dan Gyme, Yin

dan Yang. Untuk mengembangkan ke arah itu, perempuan dan laki-

laki dapat bekerja sama saling mengembangkan diri melalui relasi

dalam bekerja.

Saling ketergantungan antara perempuan danlaki-laki

diwujudkan dalam bentuk partner-relationship yang hubungannya

horizontal, bukan vertikal (hubungan kekuasaan). Hubungan

horizontal akan menghasilkan saling ketergantungan yang bersifat

androgyme, prinsip feminine dan prinsip maskulin akan saling

mendorong dan melengkapi.77

Islam pun tidak membedakan hak atas laki-laki dan

perempuan yaitu bahwa nilai-nilai fundamental yang mendasari,

ajaran Islam seperti perdamaian pembebasan dan egaliterianisme

termasuk persamaan derajat antara lelaki dan perempuan banyak

tercermin dalam ayat al-Qur'an, kisah-kisah tentang peranan

penting kaum perempuan di zaman nabi Muhammad SAW, seperti

Siti Khadijah, Siti Aisyah dan lain-lain telah banyak ditulis.

Begitupula tentang sikap beliau yang menghormati kaum

perempuan dan memperlakukannya sebagai mitra dalam

perjuangan.78

77 Lihat, A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga Cet. I (Magelang: Indonesiatera, 2004), 62-63 78 Wahid Zaini dkk, Memposisikan Kodrat: Perempuan dan perubahan dalam perspektif Islam (Cet. 1; Jakarta: Mizan, 1999), 1.

Page 46: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

86

Islam menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki punya

kedudukan yang sama, tidak lebih dan tidak kurang, sebab

keduanya adalah makhluk yang berasal dari satu diri. Islam datang

dengan membawa takli>f (beban) syari'at yang dibebankan kepada

kaum wanita dan kaum pria. Hukum syari'at telah menerangkan

pemecahan terhadap aktifitas keduanya sejak awal kedatangannya,

Islam telah menjadikan perempuan sama dengan laki-laki ketika

Allah SWT mengeluarkan perintah kepada Adam perintah yang

sama diberikan kepada Hawa. Ketika Allah SWT. mengeluarkan

larangan hal itu ditujukan kepada keduanya79.

Jelaslah bahwa perempuan memiliki kompetensi khusus

terhadap perintah-perintah Allah SWT. Perempuan yang memiliki

kesiapan diri untuk beribadah dan taat kepada-Nya. Perempuan

sama dengan laki-laki dalam kemanusiaan dan hak-hak secara

umum kecuali dalam hal-hal tertentu dengan teks hukum khusus.

Perempuan memiliki hak dalam kedudukan terhormat dan

kebebasan.80

Dari apa yang telah dipaparkan di atas jelas terlihat bahwa

Islam betul-betul sangat memperhatikan kaum perempuan dari

berbagai aspek kehidupannya dan memberikan haknya

sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam

syari'at. Akan tetapi apa yang terjadi dalam kenyataan dewasa ini 79 Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, 10. 80 Ibid, 10

Page 47: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

87

dijumpai kesenjangan antara ajaran Islam yang mulia tersebut

dengan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang

kesederajatan antara lelaki dan perempuan masih banyak tantangan

yang dijumpai dalam merealisasikan ajaran ini, bahkan ditengah

masyarakat Islam sekali pun. Kaum perempuan masih tertinggal

dalam banyak hal dari mitra lelaki mereka.

2. Kepemimpinan Wanita Perspektif Islam

Tentang polemik kepemimpinan wanita yang disandarkan

pada QS Al-Nisa (4) : 34

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah swt telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”81

Dilihat dari asbab al-nuzul, ayat tersebut bukan berbicara

tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai “domestic

violence” atau kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi

dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Oleh karena itu, sangat

tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap maksud ayat

tersebut, yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi kapasitas

kepemimpinan perempuan. Laki-laki sebagai qawwa>m (yang dulu

81 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya. 77.

Page 48: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

88

ayat tersebut diterjemahkan menjadi “pemimpin” dalam tafsir-tafsir

agama bias gender) telah dirasionalisasi sebagai “situasi

ketergantungan perempuan dalam bidang ekonomi dan keamanan”.

Kalau ketergantungan itu tidak ada lagi, maka posisi qawwa>m pun

bisa ditawar”82

Dalam ayat tersebut dinyatakan dengan kata qawwa>mu>n,

yang dalam bahas Indonesia diterjemahkan dengan “pemimpin bagi

kaum perempuan”, dipahami oleh mayoritas ahli tafsir sebagai

justifikasi superioritas laki-laki atas perempuan. Dalam ayat itu

disebutkan dua alasan mengapa laki-laki (suami) itu pemimpin atas

kaum perempuan. Alasan pertama ialah “karena Allah SWT telah

melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain

(perempuan). Alasan kedua ialah “karena mereka (laki-laki) telah

memberikan nafkah dari sebagian hartanya”83.

Tentang alasan pertama, al-Qur’an tidak menyebutkan

secara jelas kelebihan laki-laki atas perempuan. Sementara itu,

tentang alasan kedua al-Qur’an menyatakan secara lebih eksplisit

yaitu bahwa superioritas laki-laki terhadap perempuan itu karena

laki-laki memberi nafkah kepada perempuan. Karena itu, seorang

suami dapat memiliki aset yang lebih istimewa dibanding seorang

istri.

82 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, 307. 83 Ibid, 308.

Page 49: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

89

Menurut para mufassir, memberi nafkah yang dimaksud

ialah pemberian mahar dan belanja kebutuhan istri dan keluarga.84

Terhadap alasan pertama para mufassir mengemukakan

berbagai penjelasan yang sangat bias laki-laki. Al-Nawawi

misalnya, menerangkan bahwa superioritas laki-laki atas

perempuan itu didasarkan atas bahwa laki-laki memiliki

kesempurnaan akal (kama>l al-aql), matan dalam perencanaan (husn

al-tadbi>r), penilaian yang tepat dan kelebihan kekuatan dalam amal

dan ketaatan. Oleh sebab itu, laki-laki diberi tugas istimewa

sebagai nabi, imam, wali, penegak syiar-syiar Islam, saksi dalam

berbagai masalah hukum, wajib melaksanakan jihad, shalat jum’at

dan lain-lain.85

Selanjutnya, Muhammad Asad mengartikan “qawwa>mun”

sebagai menjaga sepenuhnya (to take full care), dan menjaga itu

meliputi fisik dan non fisik. Sedangkan Al-Tahabari

mengartikannya dengan “penanggung jawab”. Hal ini berarti

bahwa laki-laki bertanggung jawab mendidik dan membimbing

istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah swt maupun

kepada suami86. Begitu pula Al-Zamakhsyari menekankan bahwa

kata itu berarti bahwa kaum lakilaki berkewajiban melaksanakan

‘amar ma’ru>f nahi> munkar (mengajak kepada kebaikan dan

84 Azizah al-Hibri, Wanita dalam Masyarakat Indonesia; Akses, Pemberdayaaan, dan Kesempatan Cet. I (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001), 260-261. 85 Ibid, 260-261. 86 Ibid, 260-261.

Page 50: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

90

melarang kepada kejelekan)kepada perempuan sebagaimana

penguasa kepada rakyatnya87.

Sedangkan Muhammad Ali al-Sabuniy menafsiri ayat

tersebut, Dalam hal tanggung jawab memberi nafkah dan

bimbingan (tawji>h), laki-laki lebih utama dari perempuan.

Keutamaan laki-laki atas perempuan seperti itu - menurut al-

Sabuniy- disebabkan oleh kelebihan kecerdasan dan keahlian

manajerial laki-laki atas perempuan yang telah dianugerahkan oleh

Allah SWT88

Berangkat dari penafsiran tersebut, sejumlah pemikir

muslim kontemporer, seperti Ashgar Ali Engineer berusaha

menafsirkan kembali ayat tersebut. Menurutnya, ungkapan “laki-

laki adalah qawwa>mu>n atas perempuan” merupakan pengakuan

bahwa dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa turunnya

wahyu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai

kewajiban perempuan. Sementara itu, laki-laki menganggap dirinya

lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari

nafkah. Al-Qur’an hanya mengatakan “laki-laki menjadi

qawwa>mu>n dan tidak menyatakan bahwa laki-laki- harus menjadi

87 Ibid, 261-262. 88 Muhammad Ali al-Sabuniy, Safwat al-Tafasir, Jilid II (Beirut: Da>r al-Qur'a>n al-Kari>m, 1981), 95.

Page 51: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

91

qawwa>mu>n. Menurut Ali Ashgar, ungkapan tersebut merupakan

pernyataan konteks luas, bukan normatif89.

Adapun menurut Fazlur Rahman, ungkapan al-Qur’an

“laki-laki adalah qawwa>mu>n atas perempuan karena Allah swt

telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan

karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian harta

bendanya" bukanlah perbedaan hakiki melainkan fungsional.

Artinya, jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri,

baik karena warisan maupun karena usaha sendiri dan memberikan

sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan

suaminya akan berkurang, karena ia tidak memiliki keunggulan

dibanding dengan istrinya90.

Sejalan dengan Fazlur Rahman, Amina Wadud Muhsin

menyatakan bahwa kalimat "laki-laki adalah qawwa>mu>n atas

perempuan" tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat

pada setiap laki-laki secara otomatis, namun hal itu hanya terjadi

secara fungsional, dalam arti selama yang bersangkutan memenuhi

kriteria al-Qur’an.91

Sedangkan menanggapi hadis yang berbunyi:

ن ح ل فل م يـ ا قـو لو هم و ر أم أة ر ام

89 Azizah al-Hibri, Wanita dalam Masyarakat Indonesia; Akses, Pemberdayaaan, dan Kesempatan, 261-262. 90 Ibid,262-263 91 Ibid, 262-263

Page 52: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

92

“Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”.

Jika dikondisikan dengan zaman modernis maka jelas tidak

sejalan dengan akal sehat. Padahal sekiranya ada seorang

perempuan yang menurut hukum alamnya dapat

dipertanggungjawabkan, maka sudah pasti ia akan menerima

kepemimpinannya.92 Hukum alam ini dapat dilihat dalam soal

kemampuan memimpinnya dan kecakapan lainnya yang didasarkan

pada hukum kausalitas. Misalnya, bila seorang perempuan terbukti

telah berhasil menjadi pemimpin partai dan sukses memenangkan

sebuah pemilu, maka sudah pasti ia akan menerimanya dan tidak

menyatakan sebagai bertentangan dengan ajaran Islam.

Mengenai dua nash yang disebutkan, dalam hal ini Ahmad

Khan menggunakan penafsiran rasional dan sesuai dengan hukum

alam. Artinya, perempuan yang harus dipimpin dan tidak boleh

berurusan dalam kekuasaan adalah mereka yang belum memiliki

kemampuan dan kecakapan memadai, sebab dapat dipastikan akan

menghancurkan sebuah negeri. Namun bila sebaliknya yang terjadi,

maka kaum lelaki tidak punya alasan tidak memberi kesempatan

kepada perempuan untuk memimpin.93

92 Ibid, 264 93 Jalaluddin Rahman, Metodologi Pembaruan Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam; Studi Beberapa Orang Tokoh Pembaru, Orasi Guru Besar Pembaruan Pemikiran Islam. Dipresentasikan pada Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Makassar, 2001. 34-35.

Page 53: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

93

Teori Harun Nasution dapat pula digunakan untuk melihat

urusan tersebut. Baginya, kepemimpinan perempuan bukanlah

ajaran dasar sehingga harus diperpegangi secara absolut tanpa

perubahan dan ijtihad. Memang redaksi ayat misalnya, termasuk

dalam kategori qath’i>y (dasar), tapi pemahamannya bukanlah pasti

sebab ada keterkaitan dengan kondisi masyarakat Arab di saat

turunnya ayat tersebut. Kalau sekiranya sebuah bangsa memandang

seorang perempuan dapat memberi kebangkitan di saat telah

tenggelam akibat kepemimpinan kaum laki-laki, maka sudah pasti

kemashlahatan yang diharapkan harus didahulukan. Beliau juga

tidaklah memahami hukum yang diambil dari nash tersebut ada

kaitannya dengan adat kebiasaan yang terjadi pada suatu kaum

sebagai illat-nya. Namun kini, adat ketertinggalan kaum perempuan

dari peran sosial sudah tidak ada, maka dengan sendirinya hukum

tersebut dihapuskan, alias tidak lagi perlu diamalkan94.

Yang jelas, bahwa soal kepemimpinan perempuan adalah

urusan kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia ini. Karena

demikian statusnya, maka hal tersebut dapat dilihat secara rasional

dan tidak perlu disakralkan. Soal kepemimpinan harus dikaitkan

dengan syarat-syarat kepemimpinan yang rasional-obyektif, bukan

emosional-subyektif. Masalah tersebut bisa didesakralisasi

sehingga dapat dibahas dan dibicarakan secara bebas melalui

94 Ibid, 34-35.

Page 54: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

94

ijtihad-ijtihad politik yang sesuai dengan kebutuhan manusia.

Bahkan, soal kepemimpinan ini adalah ibadah sosial

kemasyarakatan. Seorang pemimpin diharapkan dapat menunaikan

tugasnya dengan baik sekaligus merupakan ibadah kepada Allah

dan pengabdiannya kepada sesamanya secara bersama. Dalam hal

seperti ini, terbuka luas adanya perubahan dan peninjauan ulang

sebuah hasil ijtihad lama

F. Resistensi

1. Tinjauan Umum Tentang Resistensi

Resistensi dikenal sebagai suatu reaksi dari hadirnya dominasi

yang kuat terhadap yang lemah. James C. Scott dalam Domination

and the Arts of Resistance menjelaskan resistensi yang dilakukan

dalam masyarakat melalui penjelasan antara hubungan kekuasaaan

diantara mereka yang berada di posisi dominant yang menguasai

dan yang berada diposisi subordinate yang dikuasai atau yang

berada di posisi lebih lemah95. Pernyataan Scott tentang adanya

pembagian antara yang dominant dan subordinate mirip dengan

pengklasifikasian yang dibuat oleh Marx terhadap kelas yang saling

berseberangan itu, yang menuliskan bahwa posisi dominant adalah

95 Pip Jones.Pengantar Teori-teori sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2009), 79.

Page 55: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

95

sebagai pemilik sarana produksi sedangkan kelas subordinate

sebagai kelas yang diekspolitasi96.

Hubungan kedua kelas tersebut selalu ada yang menjadi

minoritas kemudian menjadi sebuah hubungan yang dikatakan

Marx sebagai hubungan konflik. Dari hadirnya hubungan konflik

inilah kemudian resistensi dapat hadir diantara kaum minoritas

yang berada dalam subordinate. Sedangkan disisi lain menurut

Henry Murray, manusia memang memiliki kebutuhan untuk

melakukan dominasi terhadap yang lain, kebutuhan akan kekuasaan

(need forpower). Seseorang dengan termotivasi untuk memiliki

kekuasaan tertinggi biasanya mencari jabatan dan pekerjaan yang

membuat mereka bisa menyatakan kuasa atas orang lain97.

Dalam bukunya Scott menjelaskan tentang hadirnya hidden

transcript dalam resistensi yang dilakukan oleh masyarakat

subordinate. Hidden transcript berupa pembicaraan di belakang

panggung, gesture, gosip, rumor, termasuk juga simbol-simbol

yang tertera dalam sebuah perayaan karnival atau parade dan yang

tersembunyi dalam praktik kegiatan sehari-hari, dalam hubungan

yang dekat misalnya diantara sesama budak, teman-teman terdekat

dari para budak dan keluarganya98.

96 Ibid, 79. 97Howard S. Friedman, Miriam W.Schutack. Kepribadian:Teori Klasik dan Riset Modern (Jakarta:Erlangga,2008), 322. 98 James C. Scott.Domination and The Art of Resistance: Hidden Transcript ( London:Yale University Press London,1990), 191.

Page 56: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

96

Scott mengatakan bahwa “It would be more accurate, in short,

to think of the hidden transcript as condition of practical resistance

than a substitute for it” (Akan lebih akurat, singkatnya, untuk

memikirkan transkrip tersembunyi sebagai kondisi perlawanan

praktis dari hal tersebut)99.

Resistensi juga dapat dilakukan tanpa disertai tindakan yang

frontal dan langsung dengan tindakan perlawanan yang sama, yang

dilakukan pihak yang lebih kuat mendominasi, dan menekan yang

lebih lemah, karena dominasi tidak selalu dalam bentuk penjajahan

atau kasat mata seperti penindasan fisik, ekonomi dan sosial tetapi

dalam bentuk simbolik yang sering secara sadar atau tidak disetujui

oleh korbannya.

Salah satu bentuk dari resistensi adalah gerakan perlawanan

perempuan atas dominasi laki-laki. Gerakan-gerakan tersebut

secara umum disebut feminisme dan dijelaskan pada sub bab

berikutnya.

2. Feminisme: Resistensi Kaum Perempuan terhadap

Ketidakadilan Gender

1. Pengertian Feminisme

Secara etimologis, feminisme berasal dari kata

“feminin”, artinya memiliki sifat sebagai perempuan.

Kemudian kata itu ditambah dengan ism menjadi feminism

99 Ibid, 191.

Page 57: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

97

yang berarti hal ihwal tentang perempuan, atau dapat pula

berarti dengan paham terhadap perempuan.100 yang memiliki

arti hal-hal yang bersifat kewanitaan. Dari kata ini, kemudian

mendapat imbuhan “isme” sehingga memiliki arti gerakan

wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum

wanita dan kaum pria.101

Dalam perkembangannya, kata feminisme digunakan

untuk menunjuk suatu teori kesetaraan jenis kelamin (sexual

equality). Feminisme sebenarnya merupakan konsep yang

muncul dalam kaitannya dengan perubahan sosial (social

change), teori-teori pembangunan, kesadaran politik

perempuan dan gerakan pembebasan kaum perempuan,

termasuk dalam dewasa ini mengenai pemikiran kembali

institusi keluarga.102

Feminisme mencakup beberapa pengertian yaitu :

a. Feminisme merupakan pengalaman hidup, sebab

feminisme tidak terlepas dari sejarah munculnya yaitu dari

masyarakat patriarki. Dari sejarah hidup inilah kemudian

lahir kaum perempuan yang mempunyai kesadaran

feminis.

100 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis vs Tafsir Patriarkhi (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), 16. 101 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa , 2008), 424. 102 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis vs Tafsir Patriarkhi .16.

Page 58: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

98

b. Feminisme sebagai alat perjuangan politik bagi

pembebasan manusia. Berangkat dari kesadaran

feminisme ini, perempuan ingin melepaskan diri dari

penindasan dan ketidakadilan yang selama ini dialaminya.

Perjuangan ini diletakkan dalam bentuk persamaan hukum

(legal status) hak memilih dan kesadaran dengan laki-laki.

Gerakan ini kemudian disebut sebagai liberation

movement, yakni suatu gerakan pembebasan yang intinya

menuntut persamaan dalam struktur sosial politik

c. Feminisme sebagai aktivits intelektual. Artinya gerakan

yang memberikan pemahaman tentang kehidupan sosial

perempuan itu tinggal, kekuatan apa yang dapat

dilaksanakan untuk melakukan perubahan ke arah

perbaikan nasib perempuan dan untuk mengetahui apa

yang harus diperjuangkan.103

2. Sejarah dan Perkembangan Feminisme

Untuk mengetahui bagaimana feminisme itu lahir dan

berkembang, kita harus melihat kondisi Barat (dalam hal ini

Eropa) pada abad pertengahan, yaitu masa ketika suara-suara

feminis mulai terdengar. Pada Abad pertengahan, gereja

berperan sebagai sentral kekuatan, dan Paus sebagai pemimpin

gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber

103 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis vs Tafsir Patriarkhi, (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), 19.

Page 59: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

99

kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap

mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai hal

yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja,

dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah

Inkuisisi.104

Nasib perempuan barat tak luput dari kekejian doktrin-

doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat

manusia. Menurut McKay, dekade 1560 dan 1648 merupakan

penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi

yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu

nasib perempuan. Studi-studi spiritual kemudian dilakukan

untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang

perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa

dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Walaupun

beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang

berhubungan degan status perempuan di barat cukup

bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang

mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai

makluk inferior. 105

Bersamaan dengan itu, kaum perempuan pun bangkit

untuk memperjuangkan hak-haknya. Inilah awal lahirnya

104 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam (Yogyakarta: Gema Insani Press, 2004), 158. 105 McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, Second

Edition, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1983 ) 437 – 541.

Page 60: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

100

gerakan feminism individualis yng dipelopori oleh Mary

Wolstrone Craft di Inggris dengan bukunya, A Vindication of

the Right of Women pada tahun 1792.106

Dari historis tersebut, terlihat bahwa feminisme

merupakan suatu konsep dan teori yang berasal dari barat.

Oleh sebab itu tidak mengherankan jika konsep tersebut

terkadang masih dianggap sebagai hal yang kurang tepat untuk

diterapkan dalam konteks masyarakat Indonesia khususnya dan

dunia Islam timur pada umunya. Hal ini disebabkan adanya

kerancuan feminisme sebagai ideologi dengan feminisme

sebagai keprihatinan terhadap derita kaum perempuan.107

Dalam perkembangan berikutnya, feminisme sebagai

suatu gerakan juga muncul di Amerika sekitar akhir abad -19

atau awal abad -20. Gerakan ini semula difokuskan untuk

mendapatkan hak memilih. Namun demikian setelah hak-hak

itu diperoleh pada tahun 1920, gerakan ini sempat tenggelam

lagi dan sekitar tahun 1960 ketika Betty Friedan menerbitkan

bukunya The Femine Mystique (1963) gerakan ini ternyata

sempat mengejutkan masyarakat, karena mampu memberikan

kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan bahwa

peran-peran tradisional selama ini ternyata menempatkan

106 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam, Yaziar Radianti (terj) (Bandung: Pustaka, 1991) vii. 107 Ibid.

Page 61: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

101

mereka pada posisi yang tidak menguntungkan, yakni

subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan.108

Pada akhir tahun 1980, teori feminism menunjukan pola

berulang. Hal analisisnya merefleksikan pandangan-pandangan

perempuan kelas menengah Amerika Utara dan Eropa Barat.

Namun, secara akademis justru muncul kecenderungan

maskulinis di Barat. Tanpa disadari para feminis akademis di

Barat telah terkooptasi oleh hirarki, mekanisme kerja, cara

berfikir, epistemilogi dan metodologi maskulin109 hal ini

dapat membahayakan feminismee itu sendiri. Karena suatu

gerakan yang awalnya dimaksudkan untuk ebuah

pembebasanm malah berbalik menjadi sebuah penindasan110.

Oleh karena itu, jika gerakan feminism Barat yang

cenderung “bersifat patriotik secara berlebihan” diterapkan

secara mentah-mentah dalam konteks Asia dan Indonesia

khususnya, maka menjadi kurang tepat dan akan mengalami

banyak kendala. Selain kultur budaya yang berbeda, sangatlah

mungkin ide-ide pembebasan perempuan yang dicita-citakan

akan berubah menjadi perlawanan atau bahkan menjadi

penindasan terhadap laki-laki. Maka yang diperlukan dalam

rangka membebaskan dan membentuk suatu sistem struktur

108 Ratna Megawangi, Feminisme : Menindas Peran Ibu Rumah Tangga dalam Ulumul

Qur’an , edisi khusus No 5&6 vol V, 1994, 30-41. 109 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis, 21. 110 Ibid. 21.

Page 62: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

102

masyarakat yang lebih adil adalah bukan gerakan anti

feminisme yang tradisional-konservatif, atau pro feminism

modern yang progessif-chauvinistik melainkan suatu gerakan

pasca feminisme yang Islami dan integratif yang mampu

meletakkan perempuan sebagai mitra bagi laki-laki.

Sesungguhnya perempuan adalah mitra laki-laki yang

dapat bekerja secara harmonis yang dapat membebaskan

manusia secara keseluruhan dari motif naluri hewaniah dan

tarikan rutinitas mekanik di masa depan. Ide komplementaris

perempuan dan laki-laki selaras dengan pandangan al- Qur’an:

“ Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan (QS. Al-Naba’ : 8)111

Gerakan feminisme dalam masyarakat muslim yang pertama

muncul di Mesir, dengan terbentuknya The Egyptian Feminist

Union pada tahun 1923 yang didirikan oleh Huda Shaarawi (

1879-1947). Di Indonesia, kajian feminisme muncul sekitar

tahun 1980. Hal itu terlihat dari munculnya para aktifis

gerakan perempuan, seperti Herawati, Wardah Hafidz,

Marwah Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna

Megawangi, dan lain sebagianya. Latar belakang munculnya

gerakan ini diantaranya karena ada kesadaran bahwa dalam

sejarah peradaban manusia, termasuk Indonesia, perempuan

111 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya.

Page 63: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

103

telah diperlakukan secara kurang adil, bahkan dilecehkan.

Ironisnya, hal ini dilakukan secara sistematis dengan adanya

dominasi budaya yang patriarkis yang begitu kuat dalam

sejarah manusia. Oleh karena itu kritik yang tajam biasanya

diarahkan pada persoalan sistem patriarki, genderisme, dan

seksisme.112

Sistem masyarakat yang patriarkhi, hampir menguasai

seluruh segmen kehidupan, malah cenderung memperlakukan

perempuan secara tidak adil serta memposisikannya secara

subordinat di bawah laki-laki. Bahkan tidak jarang, untuk

memperkuat sistem patriarki tersebut, agama selalu diikut

sertakan dalam memberikan legitimasi dengan cara

menafsirkan kitab suci, hadis atau teks-teks keagamaan lainnya

yang cenderung menguntungkan bagi pihak laki-laki.

Religious-teologis merupakan legitimasi yang diperlukan

walaupun terkadang disalahgunakan untuk kepentingan

tertentu. Peter L Berger, mengungkapkan bahwa legitimasi

religious merupakan legitimasi yang paling tinggi, karena

melampaui hal-hal yang bisa dikatakan supra empiric,

dipandang sebagai the sacred canopy (langit-langit suci) untuk

pelindung.113

112 Ibid , 23. 113 Peter L Berger, The Sacred Sanopy (Garden City: Doubleday, 1979), 41.

Page 64: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

104

3. Aliran Gerakan Feminisme

a. Feminisme Liberal

Fokus perjuangan perempuan dalam aliran ini adalah

melakukan perubahan ditingkat legislatif untuk

mendapatkan hak perempuan dalam bidang pendidikan, hak

milik, alat kontrasepsi, perceraian, pekerjaan, dan hak pilih.

Kaum liberal percaya bahwa kebebasan dan persamaan

berakar pada rasionalis, dan karena Tuhan rasional, maka

mereka menuntut hak yang sama seperti kaum lakilaki.

Tokoh-tokohnya adalah John Stuart Mills dan Harbet

Taylor Milles (suami isteri)114.

Marry Wallstonecraft dalam Vindication the Right of

Women menyatakan agar kaum perempuan menggunakan

otaknya (rasio) untuk mendapatkan yang mereka inginkan.

Ia menganjurkan agar perempuan lebih berani

mengekspresikan dirinya. Sementara John Stuart Mills

(1851) mengajukan proses atas hukum dan perkawinan

yang mana ia pandang sangat merugika perempuan. Kaum

feminisme liberal tidak mempermasalahkan ketidakadilan

struktural dan penindasan ideologi patriarki. Feminisme

liberal lebih memfokuskan pada perubahan undang-undang

114 Mansur Fakih et.al, Membincangkan Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 228.

Page 65: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

105

dan hukum yang dianggap dapat melestarikan sistem

patriarkhi115.

Gerakan pada pandangan feminis liberalis memiliki

konsep dasar individu. Ketidakadilan adanya pelanggaran

terhadap kebebasan individu yang berlangsung melalui

pembangunan dan perbaikan konsep pada kelompok

tertentu (tertindas). Kesetaraan hanya dapat dicapai

melakukan perubahan peraturan (hukum) dan pendidikan.

Analisis feminisme liberal yangmenjadi aliran mainstream

ini mendapatkan kritik dari aliran teori sosial feminisme

lain.116

b. Feminisme Marxis

Feminis Marxis merupakan reaksi atas feminis liberal

dan menolak gagasan biologis sebagai dasar pembedaan

gender. Penindasan perempuan adalah bagian dari

penindasan kelas dalam hubungan produksi, sehingga

persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka

kritik atas kapitalisme, karena laki-laki mengontrol produksi

menjadi bagian kekayaan (properti) belaka Aliran ini

berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat

berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa

115 Ibid, 228. 116 Siti Handayani, et. al, Merekontruksi Realitas Dengan Perspektif Gender, ( Yogyakarta: SBBY,1997), 10.

Page 66: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

106

ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu

sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam.117

Di samping itu penindasan perempuan

dilanggengkan dengan pelbagai cara dan alasan. Misalnya

dengan “eksploitasi pulang ke rumah.” proses eksploitasi

bisa produktif (dalam industri) sehingga sangat bermanfaat

dalam rangka reproduksi buruh murah (buruh perempuan

sebagai buruh cadangan). Kondisi ini tentu saja sangat

menguntungkan industri dan memperkuat posisi tawar

kapitalis, hal ini dapat berimplikasi pada existensi buruh.118

Pembebasan individual adalah mustahil karena

seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari

penindasan institusional terhadap perempun dalam

kapitalisme Dalam posisi ini baik laki-laki maupun

perempuan sama-sama tertindas (buruh) dari pemilik modal,

keterpukulan kaum laki-laki pekerja menjadi sebab

pengembangan kesadaran kelas sampai mereka menyadari

kepentingan kelas mereka di atas kepentingan mereka

sebagai individu dan hingga pada akhirnya bergabung

dengan kaum feminis119.

117 Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-qur’an, ( Jakarta: Paramadia, 2001), Cet. II, hlm. 65. 118 Ibid, 65 119 Ibid, 66

Page 67: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

107

Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran

ini dalam kelas pekerja karena analisis mereka membawa

mereka untuk mengerti bahwa perjuangan oleh perempuan

melawan penindasan mereka sebagai perempuan dan

perjuangan untuk menghilangkan ketidaksetaraan kelas

berjalan terus. Ini dilakukan hingga revolusi. Sebaliknya

hubungan yang erat antara penindasan gender dan kelas

memberikan arahan kepada perjuangan sosialisme sebuah

perjuangan terpadu juga. Tak ada revolusi sosialis tanpa

pembebasa perempuan, tak ada pembebasan perempuan

tanpa revolusi sosialis. Sesungguhnya persoalan perempuan

itu bersifat struktural dan penyelesaiannya pun terjadi bila

ada perubahan struktur kelas.120

Adapun tujuan feminisme marxis adalah

mendriskipsikan basis material ketundukan perempuan dan

hubungan antara model – model produksi dan status

perempuan serta menerapkan teori perempuan dalam kelas

pada peran keluarga. Pada dasarnya feminisme Marxisme

belum mampu menjawab mengapa penindasan perempuan

tidak berakhir bahkan dituduh sebagai kelompok yang buta

gender. Lebih dari itu semua feminis marxis justru

120 Ibid, 67.

Page 68: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

108

melahirkan aliran baru yang banyak mengkritiknya yaitu

feminis sosialis dan ekofeminis121.

c. Feminisme Sosialis

Gerakan feminis sosialis berlangsung di dua front

yaitu ; melawan kapitalisme dan menghadapi hubungan

sosial dominasi lakilaki. Aliran ini bertujuan menghapuskan

ketidakadilan kelas dan gender. Disamping itu mengkritik

aliran marxis yang mengesampingkan dominasi laki-laki

yang merupakan penyebab subordinasi perempuan. Gerakan

dari ekofeminisme biasanya dianggap sebagai kajian dari

feminis kultural. Perpaduan antara kajian ilmu ekologi dan

feminisme akan mewujudkan lingkungan yang humanis.

Yang dikatakan sebagai lingkungan yang humanis adalah

lingkungan yang tertata ( built enveriovment).122

d. Feminisme Radikal

Feminisme gelombang kedua pertama kali

menggunakan istilah radikal untuk dimaksudkan sebagai

teori sosial yang lebih revolusioner dari pada teori-teori

New Left dari mana radikalisme muncul dikutip dari Mary

Doly menggunakan radikal yang dimaksudkan sebagai

metafisik dari pada radikal sebagai istilah politik atau sosial.

Feminisme radikal menyatakan bahwa patriarkhi adalah

121 Ibid, 67 122 Judi Wacjman, Feminisme Versus Tehnologi, ( Yogyakarta: SBBY dan OXFAM), 129

Page 69: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

109

karakteristik yang ada dalam masyarakat dan bertujuan

menghancurkan sistem kelas jenis kelamin. Adapun yang

melatarbelakangi adalah dominasi laki-laki dan klaim

bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dan

supremasi laki-laki, penindasan yang terjadi pada

perempuan menurut Ti Grace Atkinson adalah bahwa

sistem peran laki-laki perempuan secara politik

menindas.123

Adapun bentuk penindasan itu secara psikologis dan

bukan ekonomis. Feminisme radikal merupakan sebuah

fenomena baru tumbuh dalam gerakan pembebasan

Amerika Serikat diakhir tahun 1960-an. Mereka yang

terlihat pada umumnya adalah perempuan berkulit putih,

kelas menengah dan para perempuan berpendidikan tinggi.

Teori feminisme radikal mempunyai tujuan yang sama

dengan feminis lainnya. Namun mempunyai pandangan

berbeda terhadap aspek biologis. (nature).124

Feminis radikal sering menyerang institusi keluarga

yang berpotensi besar melanggengkan sistem patriarkhi. Hal

ini termanifestasikan dalam manifesto feminis radikal yang

berjudul Notes from the second sex (1970) yang

mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga

123 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, ( Bandung: Mizan,1999), 178 124 Ibid, 178.

Page 70: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

110

formalisasi untuk menindas wanita. Kaum feminis radikal

ini menegaskan bahwa pengalaman dan kepentingan-

kepentingan mereka adalah pusat teori dan aksi mereka.

Satu-satunya teori adalah”oleh dan untuk mereka.” Salah

satu temanya yaitu tentang fundamental bahwa kelompok

perempuan yang merupakan kelompok sosial125.

Dengan demikian perempuan membuat kontrol laki-

laki di segala aspek kehidupan baik domestik maupun

publik. Bahkan untuk masalah yang sifatnya privacypun

juga tetap dalam controlling kaum feminis misalnya

perkawinan, reproduksi, keharusan seksual dan lain-lain. Di

sisi lain gerakan feminisme ini terjadi tumpang tindih

dengan pola-pola yang lain. Dengan kata lain para feminis

ingin mengkampanyekan bahwa seorang wanita dapat hidup

tanpa kehadiran seorang pria disisinya.126

Pada fase awal feminis radikal terperosok dalam

persoalan biologis namun pada akhir merambah ke 2 sektor

yaitu wilayah ekonomi dan tubuh kaum perempuan yang

mudah dieksploitasi Dalam pada itu, kendati feminisme

radikal mengakui adanya keragaman dikalangan kaum

perempuan, namun mereka lebih mengutamakan adanya

kesamaan dikalangan perempuan disamping menujukan

125 Ibid, 178 126 Ibid, 180

Page 71: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

111

perbedaan antara kaum perempuan dan lelaki. Salah satu

pengertian yang mendasar di dalam konsepsi mereka

persaudaraan perempuan itu bersifat global (sisterhood is

global) artinya setiap perempuan di dunia lebih banyak

persamaannya127.

Dengan memandang kategori “seks” sebagai dasar

pembedaan dalam masyarakat serta kelas dan ras sebagai

faktor pendukung maka dominasi laki-laki, subordinasi

terhadap perempuan merupakan suatu model konseptual

yang bisa menjelaskan berbagai bentuk penindasan dan

patriarki adalah sistem hierarki seksual dimana laki-laki

memiliki kekuasaan superior dan penguasa ekonomi. Atas

dasar ini muncul slogan “The personal is political” yang

mana hal ini dapat member peluang politik bagi kaum

perempuan, karena dominasi laki-laki tidak hanya di arena

publik, tetapi juga domestik yang sangat pribadi. Maka

usaha-usaha untuk menghapuskan subordinasi justru

dimulai dari dalam rumah128.

Aliran tersebut terutama menyoroti dua konsep

“patriarkhi dan seksualitas” isu-isu yang menjadi perhatian

aliran ini diantaranya kekerasan fisik (physic violence) dan

127 Ibid, 179 128 Ibid, 179

Page 72: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

112

seksual, lesbianisme, androgini dan tekanan pada budaya

dan ruang gerak perempuan menjadi perhatian khusus129.

Menurut Martha Shelley (1970) bahwa perempuan

lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan

mandiri130. Adapun strategi para feminis radikal dalam

rangka mewujudkan cita-citanya adalah pembebasan

perempuan dengan cara, Pertama melalui organisasi

perempuan yang terpisah dan memiliki otonomi. Kedua

melalui kultural feminisme yaitu menciptakan budaya yang

berpusat pada perempuan. Feminis lesbian yang di

identikan dengan feminis radikal menyatakan bahwa cita-

cita perempuan tidak akan pernah berhasil kalau masih

berhubungan dengan laki-laki sehingga perlu adanya

pemutusan hubungan laki-laki dan perempuan131.

4. Gerakan Feminisme Perempuan Islam

Pada tahun 1990-an, gerakan feminisme Barat mulai

mempengaruhi beberapa sarjana dan pemikir muslim, sehingga

muncullah gerakan feminisme muslim. Azza M.Karam

mendefinisikan feminisme muslim adalah : “suatu paham yang

mengadopsi pandangan feminism dunia di mana Islam dapat

dikontekstualisasikan dan ditafsirkan kembali dalam rangka

129 Ibid, 180 130 Manshur Fakih, Mansur Fakih et.al, Membincangkan Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, 226 131 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis, 29.

Page 73: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

113

untuk mempromosikan konsep ekuitas dan kesetaraan antara

laki-laki dan perempuan dan kebebasan memilih sebagai

bagian penting dalam ekspresi iman”.132

Dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic

World dinyatakan bahwa : “feminisme moden dikenali dalam

masyarakat Islam sejak awal abad 20 meskipun mereka tidak

menggunakan istilah tersebut133.

Pemikiran feminisme di dunia Islam dapat ditelusuri

melalui pemikiran-pemikiran Aisha Taymuriyah (penulis

Mesir), Zainab Fawwaz (penulis Lebanon), Rokeya Sakhawat

Hossein, Nazar Haidar, Emilie Ruete (Zanzibar), Ta’jal

Sulthaniyah (Iran), Huda Shaarawi, Malak Hifni Naser,

Nabawiyah Musa (Mesir), dan Fame Aliye (Turki). Mereka

dikenal sebagai tokoh perintis dalam menumbuhkan kesedaran

mengenai persoalan gender, termasuk melawan kebudayaan

dan ideologi masyarakat yang hendak menghalangi kebebasan

perempuan”134.

Gerakan feminisme muslimah dilanjutkan oleh Aminah

Wadud, Rifaat Hasan dan Fatimah Naseef yang memberikan

perhatian pada kajian teks al-Quran yang berkaitan dengan

132 Azza M.Karam, Women, Islamism, and the State : Contemporary Feminism in Egypt, (London: MacMillan, 1998). 5 133 Arif mansyuri, Kontruksi tafsir Feminis : Studi Pemikiran Aminah Wadud atas Kesetaraan Gender dalam al-Quran (Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006). 26-27. 134 Ibid, 27.

Page 74: BAB II - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/Bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan independen8. Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan

114

perempuan, sedangkan Fatima Mernissi dan Hidayaet Tuskal

memberikan perhatian kepada kajian teks hadis yang berkaitan

dengan perempuan, Aziza al-Hibri dan Shaheen Sardar Ali

memberikan perhatian kepada kajian terhadap hukum syariah

yang berkaitan dengan perempuan. Akhir-akhir ini muncul

muslimah yang mengkaji masalah homoseksual dan lesbian

seperti Irsyad Manji dan Musdah Mulia.

Pengaruh pemikiran Feminisme Barat dan Persamaan

Gender di dalam masyarakat muslim juga dilanjutkan dengan

munculnya institusi kajian seperti Femina Insitute (Indonesia),

Sisters in Islam (SIS), Musawwa (Malaysia), dan sebagainya.

Di samping itu terbit beberapa majalah, jurnal, tentang

feminisme dan persamaan gender seperti jurnal

“Perempuan”135.

135 Jurnal tentang perempuan diterbitkan tiap tiga bulan oleh Yayasan Jurnal Perempuan-Jakarta sejak tahun 1995.