bab ii - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/1215/5/bab 2.pdf · bahwa perempuan tidak...
TRANSCRIPT
41
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PATRIARKHI
A. Patriarkhi
Dalam kamus bahasa Inggris, patriarkhi asal katanya adalah
patriarch yang berarti kepala keluarga, sedangkan patriarchy adalah
sistem kemasyarakatan yang menentukan pihak laki-laki (ayah) sebagai
kepala keluarga.1
Patriarkhi (patriarch) pada awalnya dipakai untuk menyebut
suatu jenis keluarga yang dikuasai oleh kaum laki-laki., yaitu rumah
tangga besar patriarch yang terdiri dari kaum perempuan, laki-laki
muda, anak-anak, budak, dan pelayan rumah tangga yang semuanya
berada di bawah kekuasaan atau hukum bapak2.
Istilah ini kemudian mengalami perkembangan dalam hal
lingkup institusi sosial menjadi lebih luas lagi, dari tingkat masyarakat
sampai ke tingkat negara. Misalnya lembaga perkawinan, lembaga
pendidikan, institusi keagamaan, institusi ketenagakerjaan, media
massa, birokrasi negara dan lain-lain. Pada titik ini juga pengertian dari
‘hukum bapak’ berkembang menjadi hukum suami, hukum pimpinan
atau boss di kantor, hukum pejabat birokrasi, atau singkatnya adalah
1 John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2000), 421. 2 Kamla Bhasin, Menggugat Patriarki: Pengantar tentang Persoalan Dominasi terhadap Kaum Perempuan (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya dan Yayasan Kalyanamitra, 1996), 1-2.
42
‘hukum laki-laki’ yang secara umum berlaku atau beroperasi pada
hampir semua institusi sosial, ekonomi, hukum, politik, dan budaya.
Dengan demikian, patriarkhi adalah sebuah aturan kehidupan
yang hanya disandarkan kepada nilai-nilai yang berkembang di
lingkungan laki-laki. Secara teoritis, istilah patriarkhi sebenarnya lebih
dekat dengan disiplin sosiologis dari pada teologis. Kalangan sosiolog,
misalnya menggunakan istilah patriarki untuk menggambarkan situasi
masyarakat yang segala aturan kehidupannya didasarkan pada peraturan
dari pihak laki-laki.3
B. Sejarah Latar Belakang Ideologi Patriarkhi
1. Patriarkhi Zaman Neolithic
Data arkeologi menyatakan bahwa sistem sosial patriarki
berasal dari Mesopotamia Kuno pada zaman Neolithic ketika
langkah-langkah pertama menuju peradaban terjadi secara
bersamaan dengan munculnya negara-negara kota. Akan tetapi
beberapa ahli sejarah termasuk beberapa sarjana feminis mengakui
bahwa hegemoni laki-laki di wilayah ini mengacu pada satu masa
sebelum munculnya negara-negara kota.4
Antara tahun 3500 dan 3000 Sm, di Mesopotamia kota-kota
bermunculan dan pelan-pelan berubah menjadi negara kota, dan pada
3 Syafiq Hasyim, Hal-Hal Yang Tak Terpikirkan Tentang Isu-Isu Perempuan Dalam Islam
(Bandung: Mizan, 2001), 81. 4 Tim PSW UIN Syarif Hidayatullah, Perempuan: Dari Mitos Ke Realita (Jakarta: PSW UIN Jakarta, 2002), 2.
43
saat yang sama tulisan ditemukan. Munculnya negara-negara kota
berakibat pada bertambahnya persaingan militer terhadap hegemoni.
Hal ini memperkuat dominasi laki-laki yang menyebabkan
perkembangan masyarakat yang terstratifikasi dengan tentara dan
pendeta-pendeta kuil sebagai kelas atau golongan yang kaya. Para
pendeta memonopoli ketrampilan mencatat, merekam data dan
informasi5.
Sistem keluarga patriarki yang memastikan penyampaian
warisan dari ayah ke anak laki-laki dan mengontrol seksualitas
perempuan terhadap laki-laki menjadi melembaga, terekam ke dalam
hukum dan kemudian diberikan dukungan oleh negara. Dalam
pandangan ini, seksualitas perempuan menjadi kekayan laki-laki,
pertama milik ayah dan kemudian milik suami. Kesucian seks
perempuan (khususnya keperawanannya) memperoleh nilai ekonomi
untuk tawar menawar (menentukan kehormatan dan kekayaan ayah).
Keadaan seperti ini menyebabkan adanya prostitusi dan perbedaan
yang jelas antara perempuan terhormat (seks dan keturunannya hasil
dan milik satu orang) dan pelacur (seksnya milik semua orang).
Ketika masyarakat kota menjadi lebih kompleks dan lebih
khusus serta jumlah petani dan seniman terampil kian bertambah,
perempuan sebagai penduduk yang bekerja pun ditingglakan.
Dengan demikian, maka semkun lebih jauh merendahkan status
5 Ibid, 4.
44
mereka. Pengucilan perempuan dari kekuatan kerja mengurangi
kontribusi mereka terhadap ekonomi dan memperkuat kedudukan
sekunder mereka.
Di Mesopotamia ketika satu negara memenangkan
hegemoninya atas negara lain dan ketika kontrol laki-laki terhadap
perempuan menjadi kian melembaga maka undang-undang yang
berkaitan dengan keluarga patriarki sedikit demi sedikit berubah dan
membuat lebih menekan dan memaksa perempuan. Misalnya,
undang-undang Hamurabi (1750 SM) dibuat atas nama dewa perang
menjatuhkan hukuman yang berat bagi kejahatan tertentu, khususnya
yang bertentangan dengan kesucian ikatan keluarga dibandingkan
dengan undang-undang Sumeria yang lebih dulu telah ada dan
berlaku6.
Dalam undang-undang ini, perempuan masih memperoleh
beberapa haknya meskipun bagi laki-laki mudah sekali menceraikan
istrinya. Ia bisa memberikan sesuatu kepada istri yang diceraikanya
bila ia mau, namun bila ia tidak mau memberikan sesuatu, maka
istrinya pergi dengan tangan kosong. Selama periode negara-negara
kota Mesopotamia, dalam kasus apapun sumber kekuasaan dan
kekuatan adalah ayah dan suami. Perempuan dan anak-anak harus
patuh kepada kekuasaan mutlak mereka.
6 Ibid, 6.
45
Teks dari pertengahan millennium ketiga sebelum masehi
mengatakan bahwa gigi perempuan (istri) bisa dihancurkan dengan
batu bata bila si istri membantah pada suaminya, sedangkan hukum
undang-undang Hamurabi menyatakan bahwa anak laki-laki yang
memukul ayahnya, maka tangan anak tersebut akan dipotong.
Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya, dia
bisa saja mengirimkan anak perempuannya tersebut ke candi untuk
dijadikan biarawati, jika ayah menginginkannya. Kepala keluarga
juga bisa menggadaikan istri dan anak-anaknya untuk membayar
hutang-hutangnya. Bila dia tidak menebusnya kembali, maka mereka
akan menjadi budak bagi si pemberi hutang. Seorang laki-laki juga
dapat memaksa istri dan anak-anaknya untuk dihukum ditempatnya.
Hamurabi juga menyatakan bahwa si pemberi hutang
membunuh anak laki-laki yang punya hutang yang digadaikan
kepadanya, maka yang berhutang mempunyai hak untuk membunuh
anak laki-laki dari si pemberi hutang (ayat 170)7. Hukum Asyiria
juga mengatakan bila seorang suami memperkosa perempuan lain, ia
malah akan mengotori kehormatan istrinya sendiri, dan istrinya harus
diceraikan (ayat 185). Hukum Asyiria ini juga menyadari bahwa
memperkosa seorang perawan pada prinsipnya sama saja dengan
menyerang hak milik (kekayaan) seorang ayah dan hak-hak
ekonomi. Hukuman bagi pemerkosa yang lajang adalah dengan
7 Ibid, 6-8.
46
membayar nilai (harga) gadis itu kepada ayahnya dan si lelaki itu
harus mengawininya. Dengan demikian, menurut hukum jelaslah
bahwa perempuan tidak dianggap sebagai makhluk otonom dan
independen8.
Di Mesopotamia, selama periode ini, perkawinan pada
umumnya adalah monogami. Laki-laki bebas mengambil istri kedua
atau selir apabila istri pertama mandul. Dalam kasus apapun laki-laki
memiliki kebebasan untuk melakukan hubungan seksual dengan
budak-budak atau pelacur, tetapi sebaliknya istri yang berzina harus
dihukum sampai mati, walaupun menurut hukum Hamurabi seorang
suami harus menyelamatkan istrinya yang berzina. Apabila seorang
ayah yang melakukan hubungan seksual dengan anak
perempuannya, maka ia hanya dihukum dengan mengusirnya dari
kota, sebagai bukti kekuatan kepala keluarga dalam sistem patriarki
terhadap mereka yang menjadi tanggungannya9.
Dalam bukunya “Women and Gender in Islam: Historical
Roots of a Modern Debate”, Leila Ahmad menggambarkan beberapa
isi dalam kode Hammurabi dan Assyiria. Isi kode Hammurabi (1752
S.M):
a. Seorang laki-laki dapat menggadaikan istri atau anak-anaknya
selama tiga tahun dan melarang untuk memukul dan melukai
8 Ibid, 7-8. 9 Ibid, 8
47
wanita yang digadaikan tersebut dan bila tidak mampu
membayar utang, mereka dapat dijadikan budak-utang.
b. Laki-laki dapat dengan mudah menceraikan isterinya, jika
mereka tidak dapat melahirkan anak, tapi berhak memperoleh
uang denda (uang perceraian).
c. Perempuan dapat menuntut perceraian hanya dengan cara yang
sulit. Jika seorang perempuan sangat membenci suaminya
sehingga ia menyatakan “engkau boleh menceraikanku”, maka
catatannya akan diteliti di dewan kota, dan jika dia berhati-hati
dan tidak salah, sekalipun suaminya sudah pergi dan
menghinanya habis-habisan, maka perempuan tersebut
dinyatakan tidak salah, dia boleh mengambil maharnya dan
pulang ke rumah orang tuanya.
d. Kepala keluarga berhak mengatur perkawinan anak-anaknya dan
mempersembahkan anak wanitanya kepada para dewa, untuk
menjadi seorang pendeta dan tinggal di biara.
e. Perkawinan umumnya bersifat monogami, kecuali di kalangan
istana, sekalipun orang-orang awam boleh mempunyai istri
kedua atau selir bila istri pertama tidak bisa melahirkan anak.
Laki-laki diperbolehkan berhubungan seksual dengan budak
atau pelacur, namun perzinahan yang dilakukan oleh istri
48
(perempuan) dikenakan hukuman mati, sekalipun suami boleh
memilih untuk membiarkannya hidup.10
Isi hukum Assyria (1200 S.M):
a. Laki-laki diperbolehkan melakukan pemukulan atas agunan
gadai (perempuan, Istri, anak), bahkan menusuk telinga dan
menjambak mereka.
b. Seorang suami diperbolehkan menjambak rambut istrinya,
memotong atau melintir telinganya tanpa dikenai hukuman.
c. Hukuman bagi seorang pemerkosa yang telah menikah adalah
istrinya sendiri “dihinakan” dan diambil darinya untuk selama-
lamanya.
d. Hukuman bagi seorang pemerkosa yang belum menikah adalah
membayar harga seorang perawan kepada ayahnya dan
mengawiini perempuan yang telah diperkosa.11
Dalam kode-kode kedua hukum tersebut terlihat bahwa
perempuan dipandang sebagai benda yang dapat digantikan dengan
nilai ekonomis. Kedudukan mereka sebagai istri hanya dipandang
sebaai alat reproduksi untuk memperoleh keturunan dan suami
mempunyai hak mutlak terhadap mereka.
Sementara kawasan Timur Tengah Mediterania pada dasarnya
terdiri atas populasi Kristen dan Yahudi. Agama Kristen yang
dominan secara politik melahirkan gagasan-gagasan patriarkhis 10 Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, Trj: M.S. Nasrullah (Jakarta: lentera, 2000), 125-126. 11 Ibid, 126.
49
warisan dari agama Yahudi. Sanksi keaamaan dalam subordinasi
perempuan merupakan penegasan atas esensi perempuan yang
menempati kedudukan kedua melalui kisah-kisah Bibel,
sebagaimana tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk Adam.
Kaum feminis Yahudi telah berargumen bahwa orang-oran Kristen
cenderung mengkambinghitamkan (menyalahkan) agama Yahudi
sebagai sumber misiogini Kristen.12
2. Patriarkhi Pada Abad Pertengahan dan Pencerahan
Pada abad pertengahan, gereja berperan sebagai sentral
kekuatan, dan Paus sebagai pemimpin gereja, menempatkan dirinya
sebagai pusat dan sumber kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja
masih tetap mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai
hal yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja,
dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah Inkuisisi.13
Nasib perempuan barat tak luput dari kekejian doktrin-
doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat manusia.
Menurut McKay, dekade 1560 dan 1648 merupakan penurunan
status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi yang dilakukan
para pembaharu gereja tidak banyak membantu nasib perempuan.
Studi-studi spiritual kemudian dilakukan untuk memperbaharui
konsep Saint Paul’s tentang perempuan, yaitu perempuan dianggap
sebagai sumber dosa dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. 12 Ibid, 128 13 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam (Yogyakarta: Gema Insani Press, 2004). 158.
50
Walaupun beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang
berhubungan degan status perempuan di barat cukup bervariasi,
terdapat bukti-bukti kuat yang mengindikasikan bahwa perempuan
telah dianggap sebagai makluk inferior. Sebagian besar perempuan
diperlakukan sebagai anak kecil-dewasa yang bisa digoda atau
dianggap sangat tidak rasional. Bahkan pada tahun 1595, seorang
profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius
mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. Pelacuran
merebak dan dilegalkan oleh negara. Perempuan menikah di abad
pertengahan juga tidak memiliki hak untuk bercerai dari suaminya
dengan alasan apapun. 14
Maududi berpendapat, ada dua doktrin dasar gereja yang
membuat kedudukan perempuan di barat abad pertengahan tak
ubahnya seperti binatang. Pertama, gereja menganggap wanita
sebagai ibu dari dosa yang berakar dari setan jahat. Wanitalah yang
menjerumuskan lelaki ke dalam dosa dan kejahatan, dan
menuntunnya ke neraka. Tertullian (150M) sebagai Bapak Gereja
pertama menyatakan doktrin kristen tentang wanita bahwa “Wanita
yang membukakan pintu bagi masuknya godaan setan dan
membimbing kaum pria ke pohon terlarang untuk melanggar hukum
14 McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, Second
Edition (Boston: Houghton Mifflin Company , 1983). 437 - 541
51
Tuhan, dan mebuat laki-laki menjadi jahat serta menjadi bayangan
Tuhan”15.
Sedangkan John Chrysostom (345M-407M) seorang bapak
Gereja bangsa Yunani berkata : “Wanita adalah setan yang tidak bisa
dihindari, suatu kejahatan dan bencana yang abadi dan menarik, dan
sebuah resiko rumah tangga”.16
Tetapi, konsep utuh tentang perempuan dalam doktrin
Kristen dimulai dengan ditulisnya buku Summa Theologia oleh
Thomas Aquinas antara tahun 1266 dan 1272. Dalam tulisannya
Aquinas sepakat dengan Aristoteles, bahwa perempuan adalah laki-
laki yang cacat atau memiliki kekurangan (defect male). Menurut
Aquinas, bagi para filsuf, perempuan adalah laki-laki yang
diharamkan, dia diciptakan dari laki-laki dan bukan dari binatang.
Sedangkan Immanuel Kant berpendapat bahwa perempuan
mempunyai perasaan kuat tentang kecantikan, keanggunan, dan
sebagainya, tetapi kurang dalam aspek kognitif, dan tidak dapat
memutuskan tindakan moral.17
Doktrin gereja lainnya yang menentang kodrat manusia dan
memberatkan kaum wanita adalah menganggap hubungan seksual
antara pria dan wanita sebagai peristiwa kotor walaupun mereka
15 Maududi, Abul A’la, Al-Hijab Cetakan Kedelapan (Bandung: Gema Risalah Press, 1995), 23. 16 Ibid, 23. 17 Gadis Arivia, Pembongkaran Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat berperspektif Feminis, Disertasi, Universitas Indonesia (Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 2002). 95.
52
sudah dalam ikatan perkawinan sah. Hal ini berimplikasi bahwa
menghindari perkawinan adalah simbol kesucian dan kemurnian
serta ketinggian moral. Jika seorang pria menginginkan hidup dalam
lingkungan agama yang bersih dan murni, maka lelaki tersebut tidak
diperbolehkan menikah, atau mereka harus berpisah dari istrinya,
mengasingkan diri dan berpantang melakukan hubungan
badani.18 Sumber pemahaman misioginis di samping berasal daari
ajaran-ajaran agama dan ajaran holistic lain, pemahaman ini juga
difariasikan dari sumber-sumber para tokoh agama.19
Augustine, Origen, dan Tertullian yang merefleksikan
konsep tentang perempuan sebagai sesosok yang inferior, sekunder,
dan dibatasi penuh oleh faktor biologis. Bagi laki-laki, perempuan
dianggap sebagi sumber petaka, sumber godaan seksual, korupsi dan
kejahatan. Augustine merenungkan tentang ihwal mengapa Tuhan
menciptakan perempuan. Dia berpandangan bahwa Tuhan
menciptakan perempuan bukan sebagai sahabat laki-laki, sebab
tanpa perempuan, laki-laki lain akan memainkan peran ini secara
lebih baik. Perempuan jua bukan sebagai pembantunya, sebab laki-
laki lain akan lebih tepat.20 Sedankan Tertullian menulis tentang
perempuan dengan perlakuan yang sangat misioginis, ia
mengatakan:
18 Maududi, Al-Hijab. 23-24. 19 Ahmad Fudhaili, Perempuan di Lembaran Suci, Kritik atas Hadis-Hadis Shahih (Yogyakarta: Pilar Religia, 2005), 128. 20 Ibid, 128-129. Baca juga, Laela Ahmed, Wanita dan Gender dalam Islam Akar-Akar Historis Perdebatan Modern, Trj: M.S. Nasrullah (Jakarta: lentera, 2000)
53
“Engkaulah pintu gerban setan. Engkaulah pembuka segel pohon terlarang. Engkaulah orang pertama yang meninggalkan hukum tuhan. Engkaulah yang mempengaruhi dia yang setan tidak cukup gagah berani untuk menyerangnya. Dengan begu mudah enkau menghancurkan citra Tuhan, manusia. Karena gurun saharamu, yakni kematian, bahkan putra tuhan pun harus mati.”21 Pada awal mula abad pencerahan yaitu abad ke 17, Bacon
menulis esai yang mengambarkan kondisi perempuan Inggris pada
saat itu mengalami kehidupan yang sulit dan keras. Hal ini dapat
dilihat dari kehidupan Ratu Elizabeth. Saat itu yang bertindak
sebagai penguasa adalah Raja James I, dan ternyata ia sangat
membenci perempuan. Pembunuhan dan pembakaran terhadap
perempuan-perempuan yang dituduh sebagai ”nenek sihir”, yang
dipelopori oleh para pendeta, pada dasarnya merupakan ekspresi anti
perempuan. Hukuman yang brutal dijatuhkan kepada seorang
perempuan yang melanggar perintah suaminya. Tradisi ini
mengembangkan pemikiran bahwa perempuan menyimpan bibit-
bibit ”keburukan” sehingga harus terus menerus diawasi dan
ditertibkan oleh anggota keluarganya yang laki-laki atau suaminya
bila ia sudah menikah. Pemikiran ini membawa konsekuensi bagi
munculnya pemikiran lainnya, seperti ide bahwa lebih baik seorang
laki-laki tinggal sendiri, tidak menikah dan jauh dari perempuan.
Hidup tanpa nikah ini merupakan kehidupan ideal laki-laki, jauh dari
21 Ibid, 129.
54
pengaruh buruk dan beban anak-anak sehingga laki-laki bisa
berkonsentrasi pada dunia publiknya.22
Jelaslah, penindasan terhadap perempuan barat di bawah
pemerintahan gereja membuat suara-suara perempuan yang
menginginkan kebebasan semakin menggema di mana-mana.
Perempuan barat, menjadi makhluk lemah dan tidak berdaya dilihat
dari hampir seluruh aspek kehidupan. Hal itulah yang kemudian
mendorong para perempuan barat bergerak untuk mendapatkan
kembali hak individu dan hak sipil mereka yang terampas selama
ratusan tahun.
Pembebasan akal dari belenggu teologi gereja, rupanya
menghasilkan revolusi ilmu pengetahuan di abad -17 dan mendorong
lahirnya paham liberalisme yang pada akhirnya melahirkan revolusi
Perancis di akhir abad -18. Revolusi ini kemudian melahirkan
prahara sosial politik dan demokratisasi Eropa Barat. Bersamaan
dengan itu, kaum perempuan pun bangkit untuk memperjuangkan
hak-haknya. Inilah awal lahirnya gerakan feminism individualis
yang dipelopori oleh Mary Wolstrone Craft di Inggris dengan
bukunya, A Vindication of the Right of Women pada tahun 1792.23
22 Maududi, Al-Hijab, 52. 23 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam, Yaziar Radianti (terj) (Bandung: Pustaka, 1991,) vii.
55
C. Patriarkhi dalam Islam
Sistem masyarakat yang patriarki (hampir menguasai seluruh
segmen kehidupan) malah cenderung memperlakukan perempuan
secara tidak adil serta memposisikannya secara subordinat di bawah
laki-laki. Bahkan tidak jarang, untuk memperkuat sistem patriarki
tersebut, agama selalu diikut sertakan dalam memberikan legitimasi
dengan cara menafsirkan kitab suci, hadis atau teks-teks keagamaan
lainnya yang cenderung menguntungkan bagi pihak laki-laki. Religious-
teologis merupakan legitimasi yang diperlukan walaupun terkadang
disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. Peter L Brger,
mengungkapkan bahwa, legitimasi religious merupakan legitimasi yang
paling tinggi, karena melampaui hal-hal yang bisa dikatakan supra
empiric, dipandang sebagai the sacred canopy (langit-langit suci) untuk
pelindung.24
Islam sejak awal ditargetkan sebagai agama pembebasan,
terutama pembebasan terhadap kaum perempuan. Secara historis, al-
Qur'an turun di tengah masyarakat Arab yang patriarkhis (masyarakat
yang didominasi oleh laki-laki). Masyarakat Arab waktu itu bukan
hanya tribal oriented (berorientasi kabilah), tetapi juga male
oriented. Perempuan Arab, hampir tidak memiliki kedudukan apa-apa.
Perempuan di mata keluarga adalah aib, sehingga hal ini yang menjadi
salah satu alsan untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan.
24 Peter L Berger, The Sacred Sanopy (Garden City: Doubleday, 1979), 41.
56
Dapat dibayangkan bagaimana masyarakat Arab yang misoginis
dan dikenal sering membunuh anak perempuan, tiba-tiba diperintahkan
untuk melakukan pesta syukuran (aqiqah) atas kelahiran anak
perempuan, meskipun baru sebatas seekor kambing untuk anak
perempuan dan dua ekor kambing untuk anak laki-laki. Umar bin
Khatab pernah mengungkapkan kenyataan ini dengan mengatakan,
‘kunna> fi> al-ja>hili>yyah la> na’udd al-nisa>’ shai’an” (pada masa kelam
(jahiliyah), kami tidak menganggap perempuan sebagai makhluk yang
perlu diperhitungkan). Perbudakan perempuan dan poligami menjadi
praktik kebudayaan yang lumrah dalam masyarakat Arab saat itu.25
Islam datang salah satunya sebagai agama pembebasan atas
ketertindasan perempuan. Akan tetapi, bukanlah kebiasaan Islam
melakukan prektik kebudayaan secara reolusioner. Ajaran Islam yang
tertuang dalam al-Qur’an tidak pernah menggunakan bahasa prookatif,
apalagi radikal. Transformasi Islam selalu bersifat gradual, akomodatif,
dan kontineu. Islam melalui sang mediator Nabi Muhammad SAW
selalu berupaya memperbaiki kedzaliman budaya Arab secara persuasif
dengan mendialogkannya secara intensif, karena sesungguhnya
kehendak logis dari sistem kepercayaan Islam adalah keadilan dan
penghargaan terhadap martabat manusia.26
25 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein, Upaya Membangun Keadilan Gender (Jakarta: Rahima, 2011), 25. 26 Ibid, 26.
57
Islam adalah agama ketuhanan sekaligus agama kemanusiaan
dan kemasyarakatan sebagaimana dijelaskan dalam ayat al-Qur’an
berikut:
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujarat: 13)27 Dalam pandangan Islam juga, manusia mempunyai dua
kapasitas, yaitu sebagai hamba ('a>bid) dan sebagai representasi Tuhan
(khalifah), tanpa membedakan jenis kelamin, etnis, dan warna kulit,
sebagaimana ayat berikut ini:
.
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
27 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya. 517.
58
sebagian yang lain Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik"28. Begitu juga dalam Islam kualitas kesalehan tidak hanya
diperoleh melalui upaya penyucian diri (riya>d}ah nafsi>yyah), tetapi juga
lewat kepedulian terhadap penderitaan orang lain, sebagaimana ayat
berikut:
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan”.29 Islam juga, sejak awal menegaskan bahwa diskriminasi peran
dan relasi gender adalah salah satu pelanggaran hak asasi manusia yang
harus dihapus.30 Islam memerintahkan manusia untuk memperhatikan
konsep keseimbangan, keserasian, keselarasan, keutuhan, baik sesama
umat manusia maupun dengan lingkungannya. Konsep relasi gender
dalam Islam lebih dari sekedar mengatur keadilan dalam masyarakat,
tetapi secara teologis mengatur pola relasi mikrokosmos (manusia),
makrokosmos (alam), dan Tuhan. Hanya dengan demikian manusia
28 Ibid. 576. 29 Ibid. 113.
59
dapat menjalankan fungisnya sebagai khalifah dan hanya khalifah
sukses yang dapat mencapai derajat 'a>bid yang sesungguhnya.
Islam memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu
kepada ayat-ayat substantif yang sekaligus menjadi tujuan umum
syariat (maqa>s}id as-Shari>'ah), antara lain:
a. Mewujudkan keadilan dan kebajikan, sebagaimana ayat berikut:
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. al-Nahl : 90)31
b. Keamanan dan ketenteraman dan menyeru kepada kebaikan dan
mencegah kejahatan, sebagaimana dijelaskan ayat berikut:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. (QS. Ali IMran : 104)32
Ayat-ayat tersebut, seringkali dan seharusnya dijadikan
kerangka dalam menganalisis relasi gender dalam al-Qur'an. Laki-laki
dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
31 Ibid. 277. 32 Ibid. 63
60
menjalankan peran khalifah dan hamba. Peran sosial dalam masyarakat,
tidak ditemukan nash atau hadith yang melarang kaum perempuan aktif
di dalamnya, sebab al-Qur'an dan hadith banyak mengisyaratkan
kebolehan perempuan aktif menekuni berbagai profesi.
Perbedaan laki laki dengan perempuan sebenarnya tidak akan
menimbulkan masalah jika tidak menyangkut pembedaan dalam hal
kewajiban dan hak. Namun persoalan itu muncul pada sosial budaya
yang terjadi pada sebagian besar masyarakat Indonesia pemeluk agama
Islam yang konservatif terhadap pemahaman ajaran Islam dalam
interaksi sosial antara laki laki dan perempuan. Al-Qur’an
menyebutkan bahwa kaum laki laki adalah pemimpin bagi kaum
wanita, sebagai berikut:
“kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita).33
Berdasarkan ayat ini, maka kedudukan laki laki diposisikan
lebih tinggi dari pada perempuan, sehingga kewajiban dan haknya
berbeda pula. Perbedaan kewajiban dan hak tidaklah dipandang sebagai
suatu ketidakadilan atupun ketimpangan bagi mereka yang menerima
apa adanya, karena hal tersebut sebagai aturan yang harus dipatuhi.
33 Ibid. 77.
61
Tentu akan berbeda halnya ketika ayat tersebut dipandang dari berbagai
sudut penafsiran.
Imam Zamakhsyari, penafsir dari kalangan rasionalis,
mengatakan bahwa keunggulan laki-laki tersebut meliputi potensi nalar
(‘aql), ketegasan (al-hazm), semangat (al-‘azm), kekuatan fisik (al-
Qu>wwah), keberanian dan ketangkasan (al-furu>siy>yah dan wa al-
ara>mi>y).34 sedankan al-Razi penafsir dari kalangan Sunni, menyebut
keunggulan laki-laki antara lain, potensi pengetahuan (al-‘ilm), dan
kekuatan fisik (al-Qudrah)35.
Dari paparan tersebut Husein Muhammad menjelaskan bahwa
secara ringkas, semua ahli tafsir memberikan penjelasan yang hampir
sama yaitu keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut terletak pada:
akal-intelektual, kekuatan fisik, keteguhan mental dan kepandaian
menulis. Jadi, dalam hal-hal tersebut laki-laki dianugerahi potensi lebih
kuat dibandingkan perempuan. Akan tetapi, menarik juga dikemukakan
bahwa mereka segera menyebut kata “fi>-al-gha>lib” yang berarti pada
umumnya, atau “urfan” tradisinya.36 Kata-kata tersebut memperlihatkan
bahwa alasan-alasan itu diakui mereka sebagai sesuatu yang tidak
mutlak, menyeluruh atau bahkan setiap laki-laki.
Perempuan pada periode yang lebih maju telah menunjukkan
eksistensinya dalam berbagi bidang. Bahkan sudah banyak di antara
mereka yang terbukti mampu mengunguli superioritas laki-laki dalam 34 Zamakhsyari, al-Kassya>f (Bairut: Da>r al-Kitab al-Ara>bi>, tt), 523. 35 Al-Razi, al-Tafsi>r al-Kabi>r (Teheran: Da>r al-Kutub al-Ilmi>yyah, Juz x), 88. 36 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein, 54.
62
segi kematangan intelektual, spiritual dan bahkan keungulan dam
bidang kepemimpinan (leadership).
Selanjutnya dalam hubungannya dengan pernikahan ada ayat
yang mengemukakan bahwa :
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja. (QS. An Nisa. 3)37
Ayat ini dapat diinterpretasikan secara umum bahwa seoraang
laki-laki bila bisa berlaku adil boleh menikahi lebih dari seorang
perempuan dalam waktu yang sama (poligami). Pola perkawinan
poligami yang dibenarkan oleh agama Islam demikian ini dapat
dilatarbelakangi oleh berbagai motivasi, yang diantaranya sebagai
obyek pemuas nafsu secara terselubung ataupun eksploitasi lainnya.
Sebagian penganut paham ini beranggapan bahwa poligami sebagai
sunah, syarat keadilan yang secara eksplisit disebutkan dalam al-Qur’an
cenderung diabaikan atau hanya sebatas argument verbal belaka.38
37 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 3. 38 Husein Muhammad, Ijtihad Kyai Husein, 18.
63
Sedangkan sebagian lain seperti Rasyid Ridha membolehkan
poligami dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Pandangan ini
memandang keadilan sebagai syarat, tetapi menitikberatkan pada
keadilan formal-distributif, yakni bahwa suami harus memenuhi hak-
hak ekonomi dan kebutuhan seksual (gilir) para istri secara adil
(relatif).39 Tiga pandangan ini, pada tataran hukum positif pada saat ini
melahirkan UU Keluarga di Negara-negara Islam dengan subtansi
hukum yang juga beragam. Peradaban poligami sesungguhnya telah
lama bercokol bukan hanya di wilayah Jazirah Arabia, tetapi juga
banyak peradaban kuno lainnya seperti di Mesopotamia, Meditarenia
dan juga di belahan dunia lainnya.40 Artinya, tradisi poligami bukanlah
tradisi khas bangsa Arab akan tetapi merupakan baian dari peradaban
bangsa-bangsa lain.
Sedangkan dalam persoalan pembagian warisan terdapat ayat
yang menjelaskan sebagaimana berikut:
39 Rasyid Ridha, Panggilan Islam terhadap Wanita, tr. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), 55-56. Bandingkan dengan Nurjannah Isma’il, Perempuan dalam Pasungan: Bias Laki-laki dalam Penafsiran (Yogyakarta: LKiS, 2003), 212-213. 40 Muhammad Thalib, Tuntunan Pologami dan Keutamaannya (Bandung: IBS, 2001), 85-86.
64
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana41. Dari pembagian warisan tersebut di atas jelas bahwa anak laki
laki lebih diuntungkan dibandingkan anak perempuan, karena anak laki
laki mendapat bagian dua kali lipat dari bagian yang diberikan kepada
anak perempuan. Namun hal tersebut akan berbeda jika dilihat dari
sudut pandang yan lebih dalam, memang ayat tersebut secara implisit
cenderung membela laki-laki dan mendeskriditkan perempuan, akan
tetapi sebenarnya pembagian waris tersebut pada ujungnya akan
menemukan kesepadanan (musa>wah). Laki-laki yang mendapatkan
bagian bandingan dua dari warisan tersebut nantinya akan mendapatkan
satu lagi dari bagian istrinya yang di lain pihak telah mendapatkan 41 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya. 79.
65
warisan satu sehingga jumlah keseluruhan adalah tiga. Sedangkan
perempuan yang mendapatkan bagian satu nantinya akan mendapatkan
tambahan bagian dua dari pembagian yang diterima oleh suaminya,
sehingga pada akhirnya antara laki-laki dan perempuan sama-sama
mendapatkan jumlah tiga dari bagiannya yang ditambahkan dengan
bagian pasangannya. Demikianlah sesungguhnya Islam telah mengatur
ketentuan waris yang sesungguhnya sangat menghargai keadilan dan
kesetaraan antar sesama manusia.
Selanjutnya berkenaan dengan aturan shalat berjamaah, laki laki
tidak syah shalatnya jika menjadi makmum yang imamnya perempuan.
Imam perempuan hanya boleh diikuti oleh makmum perempuan saja.
Sedang imamnya seorang laki laki, maka makmumnya bisa terdiri dari
laki laki dan perempuan. Dalam shalat berjamaah yang makmumnya
laki laki dan perempuan, shaf pertama ditempati oleh laki laki dewasa
sampai shaf terakhir anak laki laki . Di belakang shaf anak anak laki
laki baru boleh ditempati shaf wanita dewasa sampai shaf paling
belakang adalah untuk anak anak perempuan.42
Dalam aturan shalat berjamaah tersebut di atas nampak jelas
adanya diskriminasi gender, bahkan wanita dewasa yang fasih ajaran
agama sekalipun tidak mempunyai hak untuk menjadi imam yang
makmumnya laki laki. Bahkan shaf atau barisan shalatpun posisi wanita
dewasa berada di belakang shaf anak anak laki laki. Dari aturan dalam
42 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam cet. 39( Bandung: PT.Sinar Baru Algensindo, 2006),113.
66
shalat berjamaah demikian itu nampak jelas bahwa wanita sekalipun
sangat fasih atau menguasai rukun shalat tidak mempunyai hak untuk
menjadi pemimpin atau imam shalat berjamaah bersama laki laki.
Banyak instrumen yang menjadi penguat dominasi laki laki
terhadap perempuan dengan segala bentuk penindasannya, sehingga
mengantarkan pengalaman pahit pada banyak kaum perempuan.
Kekuasaan laki laki yang superior diterapkan dengan berbagai cara,
seperti ideologisasi budaya patriarki sampai maskulinisasi makna
agama. Keberadaan agama sebagai alat legitimasi “kekaisaran laki laki”
sungguhlah amat efektif untuk memperkokoh posisi subordinat
perempuan terhadap laki laki.43
Dalam melihat peran serta posisi perempuan dalam Islam
sebenarnya harus menggunakan cara pandang yang komperhensif baik
dari sisi historis, teologis, maupun filosofis sehingga ditemukan
korelasi yang adil antara laki dan perempuan. Yusuf Al-Qaradhawi,
dalam pengantar buku Kebebasan Wanita44 memberikan contoh-contoh
kehidupan perempuan dalam masyarakat Islam seperti :
1. Kaum perempuan masyarakat Islam mempunyai kesempatan yang
luas untuk mendapat pendidikan, pelajaran dan menghadiri majlis
ilmu.
43 Masdar Farid Mas’udi, Islam Dan Hak-Hak Reproduksi Perempuan (Bandung: Mizan, 1997). 44 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), iv
67
2. Kaum perempuan dibolehkan menghadiri pertemuan umum di
masjid untuk turut memutuskan perkara yang berkaitan dengan
kehidupan masyarakat dan negara.
3. Kaum perempuan mempunyai hak dalam ekonomi, sebagaimana
Zainab binti Jahsy mempunyai pekerjaan dan kegiatan ekonomi
yang dilakukan dengan tangannya sendiri sehingga dapat
bersedekah dari hasil pendapatannya sendiri. Zainab binti Mas’ud
bekerja dengan tangannya sendiri dan memberikan belanja untuk
suami dan anak yatim yang dipeliharanya.
4. Ummu Athiyah ikut berperang bersama suaminya sebanyak enam
kali, sedangkan Ummu Haram menginginkan kematian syahid
bersama tentera pasukan laut.
5. Dalam politik, Ummu Hani ikut dalam melindungi pelarian perang,
dan menyelesaikan perkara saudara lelakinya.
6. Ummu Kalsum binti Uqbah, seorang remaja ikut berhijrah ke
Madinah, dan berpisah dengan keluarganya.
7. Perempuan berhak mempertahankan pilihannya dalam memilih
suami , berpisah dengan suami dan terlepas dari pengaruh
keluarganya.
8. Zainab binti Muhajir berdialog dengan khalifah Abu Bakar Al-
Siddiq, Ummu Darba pernah menyangkal pendapat khalifah Abdul
Malik bin Marwan, dan Ummu Ya’kub berdialog dengan Abdullah
bin Mas’ud yang dianggap sebagai penghulu fuqaha sahabat.
68
9. Atikah binti Zaid, isteri Khalifah Umar bin Al-Khattab
mempertahankan haknya dalam kesaksian jamaah.
10. Seorang remaja perempuan Bani Khatsamiyah bersusah payah
untuk menghajikan bapanya sendiri.
Al-Quran sebenarnya telah menetapkan tugas yang seimbang
bagi lelaki dan perempuan. Tugas ini diberikan sesuai dengan fitrah dan
kemampuan masing-masing berdasarkan fitrah alami perempuan yang
berbeda dengan kaum lelaki. Dari segi fisik, emosi dan psikologi, hanya
perempuan yang dapat menjalankan tugas keibuan dengan baik. Ini
kerana dibanding dengan lelaki, kaum perempuan lebih penyayang,
lebih ramah, cepat bertindak dan memberikan respons sesuai dengan
naluri keibuan. Sifat-sifat ini menjadi ciri utama perempuan dalam
menjalankan tugas dan kewajipan. Islam memberikan persamaan di
antara lelaki dan perempuan, namun hanya ada sedikit keterbatasan dan
perbedaan yang digariskan oleh Islam untuk kaum perempuan seperti
dalam hak harta warisan, dan ijab-kabul pernikahan, dalam
kepemimpinan keluarga, dan sebagainya. Perbedaan dalam peranan dan
hak yang telah ditentukan oleh Allah tidak bermakna adanya superioriti
ataupun inferioriti bagi pihak manapun, akan tetapi hanyalah untuk
menjaga kecenderungan fitrah masing-masing45.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa Islam telah
memberikan kebebasan kepada perempuan dalam bidang ekonomi,
45 Dinar Dewi Kania, Isu Gender : Sejarah dan Perkembangannya, Majalah Islamia, Vol.3, No.5, 2010, 55
69
sosial dan politik sebagaimana laki-laki, sebelum masyarakat Barat
memberikan kebebasan kepada mereka. Oleh sebab itu masyarakat
muslim tidak memerlukan gerakan pembebasan perempuan, gerakan
feminisme, dan kesamaan gender, sebab ajaran Islam dan sejarah
masyarakat muslim terdahulu sudah memberikan kedudukan terhormat
kepada kaum perempuan sesuai dengan kodrat dan fitrahnya
D. Patriarkhi dalam Pesantren
Untuk mengetahui bentuk tradisi patriarkhi dalam pesantren maka
dalam pembahasan ini dipaparkan gambaran umum kepemimpinan
pesantren serta kurikulum dan proses pembelajaran di dalamnya.
Dengan pemaparan data-data tersebut nampak bagaimana sesunguhnya
tradisi patriarkhi terjadi di pesantren dan mengapa tradisi tersebut
mengakar kuat hingga sekarang.
1. Kepemimpinan Pesantren
Terdapat dua terminologi yang penting untuk dipahami
terkait dengan studi kepemimpinan. Pertama, pemimpin (leader)
yaitu orang yang memimpin, mengetahui, atau mengepalai. Kedua,
aktivitas dan segala hal yang berhubungan dengan praktek
memimpin. Term kedua inilah yang dikenal dengan
kepemimpinan.46 Aktivitas kepemimpinan bukanlah semata-mata
produk dari seranngkaian kegiatan yang dilakukan seorang
46 Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1993), 16.
70
pemimpin dengan mengabaikan begitu saja relasi dengan pihak
lain.
Kepemimpinan Islam di Indonesia oleh jalaluddin Rahmat di
bagi ke dalam tiga fase, yaitu, fase ulama, fase organisator, dan
fase pemuka pendapat (opinion leader)47
a. Fase Ulama
Seseorang dapat menjadi seorang pemimpin Islam karena
ia memiliki pengetahuan agama yang mendalam sehingga bisa
dijadikan rujukan umat. Pada fase ini seorang pemimpin
melewati masa-masa mudanya di pesantren sebagai seorang
santri, kemudian menghabiskan sisa hidupnya sebagai seorang
kiai yang membina pesantren. Artinya, pesantren dituntut agar
menghasilkan output berupa “agen-agen” kiai untuk
disebarkan ke seluruh penjuru nusantara, sehingga melalui para
santrinya, seorang kiai dapat melebarkan pengaruhnya secara
nasional.
b. Fase Organisator
Fase ini merupakan reaksi kebijakan politik pemerintahan
kolonial Belanda. Dalam hal ini, umat Islam mendirikan
organisasi, seperti Syarikat Islam, Muhammadiyah, NU,
Persis, Jami’atul Khair, dan lain sebagainya. Yang disebut
pemimpin Islam pada fase ini adalah pemimpin organisasi 47 Jalaludin Rakhmat, Memepersoalkan Asal Usul Pemimpin Islam, dalam Maksum,
Mencari Pemimpin Umat: Polemik Tentang Kepemimpinan Islam ditengah Pluralitas Masyarakat (Bandung: Mizan, 1999), 28-34.
71
Islam itu sendiri. Tentunya, karir sang pemimpin disini tidak di
mulai dari pendidikan dan pengabdian di pesantren, tetapi di
organisasi. Setiap orang seharusnya menempuh secara pelan-
pelan maupun melalui lompatan besar, hirarki organisasi. Pada
fase ini yang paling penting adalah ketrampilan berorganisasi
(organization skill) yang dibutuhkan oleh seorang pemimpin.
c. Fase pemuka pendapat (opinion leader)
Jika pada fase pertama seorang pemimpin yang berlatar
ulama lahir dan besaar di pondok pesantren, pada fase kedua
pemangku tampuk pemimpin suatu organisasi muncul dan
ditempa di dalam organisasi, dan fase ketiga ini datang dari
media massa. Maksudnya, apa yang disebut sebagai pemimpin
Islam adalah mereka yang pandai melontarkan gagasan-
gagasan inovatif melalui media ceta, elektronik, diskusi,
seminar, dan lain-lain. Dari fase ketiga ini, kemudian banyak
bermunculan dua jenis pemimpin, yaitu mubalig dan
cendekiawan.48
Secara umum, dari segi kepemimpinan, pesantren masih
terpola secara sentralistik dan hierarkis, terpusat pada seorang kiai.
Kiai sebagai salah satu unsurmdominan dalam kehidupan sebuah
pesantren. Ia mengatur irama perkembangan dan keberlangsungan
kehidupan suatu pesantren dengan keahlian, kedalaman ilmu,
48 Ibid, lihat juga, abd Halim Soebahar, Modernisasi Pesantren, 63-64
72
karisma, dan keterampilannya. Tidak jarang sebuah pesantren tidak
memiliki manajemen pendidikan yang rapi, sebab segala sesuatu
terletak pada kebijaksanaan dan keputusan kiai.49
Kiai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu
pesantren. Biasanya Kiai merupakan pendiri pesantren sehingga
pertumbuhan pesantren tergantung pada kemampuan Kiai sendiri.
Dalam bahasa Jawa kata Kiai dapat dipakai untuk tiga macam jenis
pengertian yang berbeda sebagaimana dinyatakan oleh Hasyim
Munif, yaitu:
a. Sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang tertentu yang
dianggap keramat, misanya, “Kiai Garuda Kencana” dipakai
untuk sebutan kereta emas yang ada di keraton Yogyakarta.
b. Gelar kehormatan untuk orang-orang tua pada umumnya.
c. Gelar yang diberikan masyarakat kepada orang ahli ilmu.
Menurut Manfred, dalam Zamakhsyari Dhofir, Kiai
merupakan gelar oleh seorang tokoh ahli agama, pimpinan pondok
pesantren, guru penceramah, pemberi pengajian dan penafsir
tentang peristiwa-peristiwa penting di dalam masyarakat sekitar.50
Lebih lanjut Imam Suprayoga membagi tipologi seorang Kiai
dalam keterlibatannya di dunia politik pedesaan sebagai berikut:
49 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), 49. 50 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 55.
73
a. Kiai Spiritual
Dalam kegiatan politik maupun rekrutmen elit, Kiai
spiritual mengambil sikap berbentuk partisipasi pasif normatif.
Artinya ia ikut berpartisipasi sekalipun bersifat pasif, akan
tetapi jika terjadi penyimpangan terhadap norma politik, ia
akan bersikap kritis.
b. Kiai advokatif
Dalam afiliasi politik, kiai advokatif bersifat netral (tidak
menyatakan keberpihakannya kepada salah satu organisasi
politik), sedangkan dalam rekrutmen elit, keterlibatannya sama
dengan kiai adaptif yaitu berbentuk partisispasi spekulatif.
Artinya mereka mau memantu kandidat Kepala Desa yang
bersangkutan dengan catatan mereka memberi imbalan
material yang diperlukan untuk kepentingan dakwah.
c. Kiai mitra kritis
Kiai mitra kritis mengambil bentuk partisipasi aktif kritis
dalam dunia politik maupun rekrutmen elit. Artinya ia secara
nyata terlibat politik berupa ikut ambil bagian dan menjadi
penggerak kegiatan politik, dan tidak selalu seirama dengan
kemauan pemerintah.51
Khusus dalam penyelenggaraan pendidikan keterlibatan kiai
adalah sama, mereka menganggap bentuk lembaga pendidikan
51 Ibid, 55.
74
yang paling ideaal adalah pesantren, dengan menggabungkan
sistem klasikal dan sistem sekolah umum dan disisi lain tetap
memelihara dan mengembangkan sistem tradisionalnya yaitu
sistem pondok pesantren.
Sedang dalam pengembangan ekonomi masyarakat, hanya
kiai advokatif yang telah melakukan peran proaktifnya kreatifnya,
kiai ini mampu melaksanakan artikulsi ajaran agama dalam
pembelajaraan ekonomi umat ssecara konkrit dan hasilnya dapat
dirasakan oleh masyarakatnya.52
Dalam sistem pendidikan tradisional (salaf) pondok
pesantren Kiai adalah figur sentral yang mempunyai otoritas penuh
dalam menentukan kebijakan-kebijakan untuk perkembangan dan
kelangsungan suatu pondok pesantren. Perjalanan suatu pesantren
juga banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu,
kharisma, wibawa serta keterampilan Kiai yang bersangkutan
dalam mengelola. Oleh karena itulah Dzofier menyebutkan, bahwa
Kiai adalah salah satu unsur penting yang paling dominan dalam
kehidupan suatu pondok pesantren53.
Memahami ketokohan Kiai di pondok pesantren, di samping
keunggulannya di bidang ilmu dan kepribadian, Kiai juga
merupakan sumber pendanaan dalam pembiayaan (budgeting) atas
52 Ibid,154. 53 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren “Studi Pandangan Hidup Kiai dan Visinya Mengenai Masa Depan Indonesia”(Jakarta: LP3ES, 2011), 45.
75
pengelolaan pondok pesantren yang dipimpinnya.54 Hal inilah yang
mengaharuskan para Kiai mempunyai penghasilan lebih di sektor
ekonomi baik yang dikelola oleh lembaga ataupun pribadi.
Beberapa di antara mereka ada yang mendirikan kapontren, wartel,
klinik kesehatan dan lainnya.
Faktor lain yang mendukung status Kiai adalah sebuah
doktrin yang menganggap kiai sebagai figur pilihan yang mewarisi
ilmu-ilmu para nabi utusan (al-‘ulama>’ wara>that al-anbiya>’),
sehingga muncul asumsi dan mitos bahwa Kiai secara langsung
dapat menguasai ilmu-ilmu tertentu dari Allah tanpa melalui proses
belajar, dan hal tersebut tenar di kalangan pesantren dengan
sebutan ilmu “laduni”. Doktrin ini bukan hanya sekedar wacana
yang dikembangkan tetapi sudah menjadi anggapan di sebagian
besar masyarakat kalangan umum (awam).
Model kepemimpinan sistem tradisional pondok pesantren
kebanyakan bersifat otoriter dan paternalistik. Seorang pemimpin
yang paternalistik biasanya menganggap bawahan sebagai orang
yang belum dewasa, bersifat terlalu melindungi, jarang memberi
kesempatan kepada bawahan untuk mengambil keputusan, hampir
tidak memberi kesempatan kepada bawahan untuk berinisiatif
sendiri, jarang memberi kesempatan kepada bawahan untuk
mengembangkan kreasi dan fantasinya. Selain itu, dalam
54 Rahardjo, Pesantren dan Pembaharuan, 92.
76
menjalankan kepemimpinannya seorang Kiai mengedepankan
unsur karismanya sebagai daya tarik atas kepribadian dan sikapnya.
Eksistensi kiai sebagai pemimpin pesantren, ditinjau dari
tugas dan fungsinya, dapat dipandang sebagai sebuah fenomena
yang unik. Dikatakan unik karena kiai sebagai pemimpin sebuah
lembaga pendidikan Islam tidak sekadar bertugas menyusun
kurikulum, membuat peraturan atau tata tertib, merancang sistem
evaluasi, sekaligus melaksanakan proses belajar-mengajar yang
berkaitan dengan ilmu-ilmu agama di lembaga yang diasuhnya,
melainkan pula scbagai pembina dan pendidik umat serta menjadi
pemimpin masyarakat.55
Kepemimpinan individual kiai inilah yang sesungguhnya
mewarnai pola relasi di kalangan pesantren dan telah berlangsung
dalam rentang waktu yang lama, sejak pesantren berdiri pertama
hingga sekarang dalam kebanyakan kasus. Lantaran kepemimpinan
individual kiai itu pula, kokoh kesan bahwa pesantren adalah milik
pribadi kiai. Karena pesantren tersebut milik pribadi kiai,
kepemimpinan yang dijalankan adalah kepemimpinan individual.56
Model kepemimpinan tersebut memengaruhi eksistensi
pesantren. Bahkan belakangan ada pesantren yang dilanda masalah
kepemimpinan ketika ditinggal oleh kiai pendirinya. Hal itu
55 Imron Arifin, Kepemimpinan Kiai: Kasus Pondok Pesantren Tebuireng, (Malang: Kalimasada Press, 1993), 45. 56 Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, (Jakarta: Erlangga, 2004), 40.
77
disebabkan tidak adanya anak kiai yang mampu meneruskan
kepemimpinan pesantren yang ditinggalkan ayahnya baik dari segi
penguasaan ilmu keislaman maupun pengelolaan kelembagaan.
Karena itu, kesinambungan pesantren menjadi terancam.57
Kepemimpinan individual kiai yang bersifat otoriter tersebut
tidak hanya terbatas pada hubungan antara kiai sebagai pengasuh
dan santri sebagai bawaahan, akan tetapi juga berdampak pada
pandangan subordinasi terhadap peran dan posisi perempuan dalam
pesantren. Keberadaan nyai sebagai pengasuh lain di samping kiai
tidak begitu diperhitungkan, sehingga dalam praktik mayoritas
kepemimpinan pesantren, nyai tidak lebih hanya sebagai pengajar
dan pendamping kiai.
2. Kurikulum Serta Proses Pembelajaran dalam Pesantren
Kurikulum memiliki posisi yang signifikan dalam proses
pendidikan di pondok pesantren, sebab dengan kurikulum dapat
dilihat suatu tujuan pembelajaran di pesantren tersebut. Kurikulum
tidak hanya dimaksudkan sebagai struktur formal dalam proses
belajar mengajar ataupun sebagai bahan acuan dalam sistem
pendidikan; lebih dari itu, kurikulum merupakan cetak biru dari
pendidikan di pesantren58.
57 M. Dawam Rahardjo (ed.), Pergumulan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), 114. 58 Kurikulum pesantren dalam hal ini pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan non-formal, hanya mempelajari agama, bersumber pada kitab-kitab klasik meliputi bidang-bidang studi: Tauhid, Tafsir, Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tashawuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balagah, dan Tajwid), Mantiq, dan Akhlak, yang kesemuanya dapat
78
Elemen yang sudah menjadi tradisi di pesantren adalah
adanya pengajaran kitab-kitab Islam klasik yang dikarang oleh
ulama-ulama besar terdahulu tentang berbagai macam ilmu
pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Kitab klasik yang
diajarkan di pesantren terutama bermadzab Syafi’iyah.
Pengajaran kitab kuno ini bukan hanya sekedar mengikuti
tradisi pesantren pada umumnya, tetapi mempunyai tujuan tertentu,
yakni untuk mendidik calon ulama’ yang mempunyai pemahaman
komprehensip terhadap ajaran agama Islam.
Menurut keyakinan yang berkembang di pesantren,
mempelajari kitab-kitab kuning merupakan jalan untuk memahami
keseluruh ilmu agama Islam. Dalam pesantren masih terhadap
keyakinan yang kokoh bahwa ajaran-ajaran yang terkandung dalam
kitab kuning merupakan pedoman kehidupan yang sah dan relevan.
Sah artinya bahwa ajaran itu bersumber dari kitab Allah (al-
Qur’an) dan Sunnah Rasul (Hadith). Relevan artinya bahwa ajaran
itu masih tetap mempunyai kesesuaian dan berguna untuk
mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak.
Keseluruhan kitab klasik yang diajarkan di pesantren dapat
digolongkan menjadi 8 kelompok:
a. Nahwu (syntax) dan s}raf (morfologi), misalnya kitab
Juru>mi>yyah, Imr>it}y, Alfi>yah dan Ibn Aqi>l.
digolongkan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) kitab dasar, 2) kitab menengah, 3) kitab besar. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 34.
79
b. Fiqh (tentang hukum-hukum agama/syari’ah), misalnya kitab
Fath} al-Qari>b, Sulam Tawfi>q, al-Ummu dan Bida>yah al-
Mujtahid.
c. Usu>l Fiqh (tentang pertimbagnan penetapan hukum Islam),
misalnya Maba>di’ al-awwa>li>yah.
d. Hadith, misalnya Bulu>gh al-Mara>m, Shah}i>h} Bukha>ri>, Shah}i>h}
Muslim dan sebagainya.
e. Aqidah, tauhid atau ushu>l al-di>n (tentang pokok-pokok
keimanan), misalnya Aqi>dah al- Awwa>m, Ba’du al-amal.
f. Tafsir al-Qur’an, misalnya Tafsi>r al-Jala>lai>n, Tafsi>r al-
Mara>ghi.
g. Tasawuf dan etika (tentang sufi), misalnya kitab Ih}ya>’ ’Ulu>m
ad-di>n.
h. Tarikh, misalnya kitab Khula>shah Nu>r al-Yaqi>n.59
Kajian terhadap kitab klasik tersebut pada gilirannya telah
menumbuhkan warna tersendiri dalam bentuk paham dan nilai
tertentu.60 Namun, sesuai dengan pandangan keagamaan yang
dianut pesantren, khazanah studi ini mengalami proses
penyempitan setelah berada di tangan pesantren.61 Khazanah
intelektual yang dikembangkan oleh komunitas pesantren
didominasi oleh masalah-masalah yang bersifat normatif, ritualistik 59 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, 87. 60 Yasmadi, Modernisasi Pesantren Kritik Nurcholish Madjid terhadap Pendidikan Islam Tradisional (Jakarta: Ciputat Press, 2002), 90 61 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 7-13.
80
dan eskatologis62 dengan kajian yang hanya terbatas pada bidang
tafsir hadith, teologi, etika (tas}awwuf) dan ilmuilmu instrumen
lainnya, seperti morfologi (s}arf), sintaksis (nah}w), balaghah
(semantic dan eloquence), dan leksikografi (mu’jam).63 Sebagai
elemen dasar studi Islam di pesantren, literatur universal tersebut
dipelihara dan diajarkan dari generasi ke generasi selama berabad-
abad, secara langsung berkaitan dengan konsep kepemimpinan kiai
yang unik.64
Kitab kuning demikian pentingnya dalam lingkungan
pesantren sehingga dipandang sebagai salah satu komponen yang
membentuk wujud pesantren itu sendiri. Tanpa pengajaran kitab
kuning, suatu lembaga pendidikan tidak dapat disebut pesantren,
sebab salah satu unsurnya belum terpenuhi.
Kitab kuning, menurut van Bruinessen, banyak dianggap
sebagai berisi ilmu yang sudah bulat, tidak dapat ditambah, hanya
bisa diperjelas dan dirimuskan kembali.65 Sementara Dhofier
mengemukakan bahwa Kiai bukan sekedar membaca teks kitab
62 A. Malik Fajar, Reorientasi Pendidikan Islam (Jakarta: Fajar Dunia, 1999), 132. 63 Ulil Abshar Abdalla, Humanisasi Kitab Kuning: Refleksi dan Kritik atas Tradisi Intelektual Pesantren dalam Pesantren Masa Depan, ed. Marzuki Wahid, et.al (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 292. 64 Kepemimpinan kiai di pesantren sangat unik karena mereka memakai sistem kepemimpinan pra-modern. Relasi sosial antara kiai-ulama-santri dibangun atas landasan kepercayaan, bukan karena patron-klien sebagaimana dilakukan masyarakat pada umumnya. Ketaatan santri kepada kiai lebih dikarenakan mengharap barakah (grace), sebagaimana dipahami dalam konsep sufi. Lihat Abdurrahman Wahid, "Pondok Pesantren Masa Depan“ dalam Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, ed. Marzuki Wahid, et.al (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),14. 65 Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat: Tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), 44
81
kuning, ia juga mengulas, serta memberikan komentar dan
pandangan-pandangan pribadinya.66
Keterikatan pesantren pada kitab kuning pada gilirannya
menjelma menjadi suatu tradisi yang kaku, pengajaran kitab kuning
tetap tidak goyah walaupun banyak kritik yang dialamatkan
kepadanya. Kemajuan zaman dan berkembangnya ilmu
pengetahuan belum mampu banyak dalam mempengaruhi
transformasi kajian pesantren salaf dengan kitab kuningnya.
Disiplin keilmuan Islam yang memperoleh perhatian besar di
pesantren adalah fiqh (jurisprudence)67. Umumnya fiqh diartikan
sebagai kumpulan hukum amaliah yang disyariatkan Islam. Kajian
tentang hukum-hukum agama atau syari’at memang untuk jangka
waktu yang lama sekali mendominasi dunia pemikiran atau
intelektual Islam.68 Fiqh dijadikan sebagai referensi otoritatif yang
dianggap selalu relevan sepanjang waktu dan di segala ruang (fiqh
oriented).69 Mengingat posisinya yang demikian urgen, terutama
bagi keberagamaan dan kehidupan manusia, tak jarang pula fiqh
dianggap sebagai wahyu Tuhan (devine inspiration) yang secara
proporsional disetarakan dengan al-Qur’an dan al-Hadith.
66 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, 44. 67 Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual NU (Yogyakarta: LKiS, 2004), . 34. 68 Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan (Jakarta: Paramadina, 1997), 8. 69 Hasyim Muzadi, Nahdlatul Ulama di Tengah Genda Persoalan Bangsa (Jakarta: Logos, 1999), 7.
82
Pemahaman ini ternyata membawa implikasi munculnya sebuah
asumsi bahwa fiqh itu suci dan tak mungkin diubah lagi.70
Hal ini mempunyai resonansi langsung dengan watak
ortodoksi yang masih kuat mencirikan cara pandang keagamaan ahl
as-Sunnah wa al-jama>’ah, ideologi yang menjadi anutan komunitas
pesantren selama ini. Cara pandang semacam ini memberikan
tekanan yang begitu berlebihan pada aspek formalisme sebagai
imbas lebih jauh dari kecenderungan tekstualisme. Oleh karena itu
tidaklah mengherankan bahwa dalam latar demikian itu, kajian
filsafat sama sekali ditinggalkan.
E. Peran dan Posisi Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam
Kedudukan wanita dalam pandangan umat-umat sebelum Islam
sangatlah rendah dan hina dina, mereka tidak menganggapnya sebagai
manusia yang mempunyai roh, atau hanya menganggapnya dari roh
yang hina. Bagi mereka, wanita adalah pangkal keburukan dan sumber
bencana.71 Ketika itu pula, Islam datang sebagai petunjuk kabar
gembira dan peringatan bagi manusia. Pandangan terhadap perempuan
berubah dan menjadilah suatu kebahagiaan ummat pada waktu itu
seingga kedudukan kaum perempuan diangkat dan dihilangkanlah
70 Ahmad Syukron, Muamalah dalam Bingkai Filsafat Hukum Islam (Sebuah Tinjauan Definitif, Teleologis dan Filosofis) dalam Akademika Jurnal Studi Keislaman, vol.11 No.1, September 2002, 27. 71 Muhammad Albar, ‘Amal al-Mar'ah Fi> al-Mi>za>n, diterjemahkan oleh Amir Hamzah Fachruddin dengan judul Wanita Karier dalam Timbangan Islam: Kodrat Kewanitaan, Emansipasi dan Pelecehan Seksual (Cet. I; Jakarta: Pustaka Azzam, 1998), 1.
83
segala bentuk kezaliman dan kesewenang-wenangan72 Namun pada era
globalisasi ini seringkali kita mendengar teriakan seorang perempuan
yang menuntut hak-haknya, mereka yang mendengarnya banyak yang
mempercayai hal tersebut. Walhasil, apa yang telah disumbangkan
untuk kemuliaan setiap wanita akhirnya terlupakan, dan menganggap
Islam sebagai agama yang kurang memberikan keadilan dan
kesamaan.73
Dewasa ini agama memang telah mendapat ujian baru karena
sering dituduh sebagai sumber masalah, berbagai bentuk pelanggengan
ketidakadilan di masyarakat, termasuk ketidakadilan dalam pola relasi
laki-laki dan perempuan atau yang sering disebut dengan ketidakadilan
gender (gender incquality) “terutama ketika menyangkut polemik
kepemimpinan wanita”. Oleh karena agama berurusan dengan nilai-
nilai yang paling hakiki dari hidup manusia, maka legitimasi religius
yang keliru akan sangat berbahaya. Persoalannya, apakah pelanggengan
ketidakadilan gender itu bersumber dari watak agama itu sendiri
ataukah justru berasal dari pemahaman, penafsiran, dan pemikiran
keagamaan, yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur
72 Muhammad Anis Qasim Ja’far, Al- Huqu>q al-Siya>si>yyah li al-Mar'ah fi> al-Isla>m wa al- Fikr wa al-Tasyri>’ al-Mu’a>shir, diterjemahkan oleh Ikhwan Fauzih, dengan judul Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam Cet. I (Jakarta: Amzah, 2002), 9. 73 Maisar Binti Yasin, Makaanaki Tas'adiy, diterjemahkan oleh Ahmad Thobrani Mas'udi dengan Judul Wanita Karier dalam Perbincangan Cet. I (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), 14-15.
84
patriarki, ideologi kapitalisme, atau pengaruh kultur Timur Tengah abad
pertengahan.74
Dari pemaparan permasalahan singkat diatas maka diperlukan
upaya merefleksikan kembali posisi wanita dalam masyarakat yang
plural dan pandangan agama islam tentang peran dan posisi perempuan
dalam sebuah birokrasi atau kepemimpinan. Dengan harapan
didapatkan sebuah pemahaman yang relatif adil dan porposional akan
posisi laki-laki dan perempuan dan tercapainya seluruh hak-hak mereka
dalam menjalankan dinamika kehidupan
1. Kedudukan Wanita Dalam Islam
Islam secara tegas menjelaskan bahwa tujuan Islam
diwahyukan adalah untuk membebaskan manusia dari segala
bentuk belenggu ketidakadilan. Dan itu dilakukan dengan jalan
mengkafirkan segala bentuk sistem kehidupan yang tiranik,
despotik, dan diskriminatif. Termasuk menghilangkan diskriminasi
dalam relasi laki-laki dan perempuan75.
Salah satu tuntunan agama yang mendasar adalah keharusan
menghormati sesama manusia tanpa melihat jenis kelamin, gender,
ras, suku bangsa, dan bahkan agama.76 Perempuan dan laki-laki
adalah makhluk biopsikis. Oleh karena itu, perempuan dan laki-laki
mempunyai kesempatan mengembangkan diri menjadi manusia
74 Lihat, Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan Cet. I (Bandung: Mizan, 2004), 36-37 75 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, 39. 76 Ibid, 4.
85
yang berpribadi utuh. Mempunyai kekuatan Andro dan Gyme, Yin
dan Yang. Untuk mengembangkan ke arah itu, perempuan dan laki-
laki dapat bekerja sama saling mengembangkan diri melalui relasi
dalam bekerja.
Saling ketergantungan antara perempuan danlaki-laki
diwujudkan dalam bentuk partner-relationship yang hubungannya
horizontal, bukan vertikal (hubungan kekuasaan). Hubungan
horizontal akan menghasilkan saling ketergantungan yang bersifat
androgyme, prinsip feminine dan prinsip maskulin akan saling
mendorong dan melengkapi.77
Islam pun tidak membedakan hak atas laki-laki dan
perempuan yaitu bahwa nilai-nilai fundamental yang mendasari,
ajaran Islam seperti perdamaian pembebasan dan egaliterianisme
termasuk persamaan derajat antara lelaki dan perempuan banyak
tercermin dalam ayat al-Qur'an, kisah-kisah tentang peranan
penting kaum perempuan di zaman nabi Muhammad SAW, seperti
Siti Khadijah, Siti Aisyah dan lain-lain telah banyak ditulis.
Begitupula tentang sikap beliau yang menghormati kaum
perempuan dan memperlakukannya sebagai mitra dalam
perjuangan.78
77 Lihat, A. Nunuk P. Murniati, Getar Gender, Perempuan Indonesia dalam Perspektif Agama, Budaya, dan Keluarga Cet. I (Magelang: Indonesiatera, 2004), 62-63 78 Wahid Zaini dkk, Memposisikan Kodrat: Perempuan dan perubahan dalam perspektif Islam (Cet. 1; Jakarta: Mizan, 1999), 1.
86
Islam menyatakan bahwa perempuan dan laki-laki punya
kedudukan yang sama, tidak lebih dan tidak kurang, sebab
keduanya adalah makhluk yang berasal dari satu diri. Islam datang
dengan membawa takli>f (beban) syari'at yang dibebankan kepada
kaum wanita dan kaum pria. Hukum syari'at telah menerangkan
pemecahan terhadap aktifitas keduanya sejak awal kedatangannya,
Islam telah menjadikan perempuan sama dengan laki-laki ketika
Allah SWT mengeluarkan perintah kepada Adam perintah yang
sama diberikan kepada Hawa. Ketika Allah SWT. mengeluarkan
larangan hal itu ditujukan kepada keduanya79.
Jelaslah bahwa perempuan memiliki kompetensi khusus
terhadap perintah-perintah Allah SWT. Perempuan yang memiliki
kesiapan diri untuk beribadah dan taat kepada-Nya. Perempuan
sama dengan laki-laki dalam kemanusiaan dan hak-hak secara
umum kecuali dalam hal-hal tertentu dengan teks hukum khusus.
Perempuan memiliki hak dalam kedudukan terhormat dan
kebebasan.80
Dari apa yang telah dipaparkan di atas jelas terlihat bahwa
Islam betul-betul sangat memperhatikan kaum perempuan dari
berbagai aspek kehidupannya dan memberikan haknya
sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam
syari'at. Akan tetapi apa yang terjadi dalam kenyataan dewasa ini 79 Muhammad Anis Qasim Ja’far, Perempuan dan Kekuasaan: Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender dalam Islam, 10. 80 Ibid, 10
87
dijumpai kesenjangan antara ajaran Islam yang mulia tersebut
dengan kenyataannya dalam kehidupan sehari-hari. Khusus tentang
kesederajatan antara lelaki dan perempuan masih banyak tantangan
yang dijumpai dalam merealisasikan ajaran ini, bahkan ditengah
masyarakat Islam sekali pun. Kaum perempuan masih tertinggal
dalam banyak hal dari mitra lelaki mereka.
2. Kepemimpinan Wanita Perspektif Islam
Tentang polemik kepemimpinan wanita yang disandarkan
pada QS Al-Nisa (4) : 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah swt telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka”81
Dilihat dari asbab al-nuzul, ayat tersebut bukan berbicara
tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai “domestic
violence” atau kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi
dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Oleh karena itu, sangat
tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap maksud ayat
tersebut, yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi kapasitas
kepemimpinan perempuan. Laki-laki sebagai qawwa>m (yang dulu
81 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya. 77.
88
ayat tersebut diterjemahkan menjadi “pemimpin” dalam tafsir-tafsir
agama bias gender) telah dirasionalisasi sebagai “situasi
ketergantungan perempuan dalam bidang ekonomi dan keamanan”.
Kalau ketergantungan itu tidak ada lagi, maka posisi qawwa>m pun
bisa ditawar”82
Dalam ayat tersebut dinyatakan dengan kata qawwa>mu>n,
yang dalam bahas Indonesia diterjemahkan dengan “pemimpin bagi
kaum perempuan”, dipahami oleh mayoritas ahli tafsir sebagai
justifikasi superioritas laki-laki atas perempuan. Dalam ayat itu
disebutkan dua alasan mengapa laki-laki (suami) itu pemimpin atas
kaum perempuan. Alasan pertama ialah “karena Allah SWT telah
melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan). Alasan kedua ialah “karena mereka (laki-laki) telah
memberikan nafkah dari sebagian hartanya”83.
Tentang alasan pertama, al-Qur’an tidak menyebutkan
secara jelas kelebihan laki-laki atas perempuan. Sementara itu,
tentang alasan kedua al-Qur’an menyatakan secara lebih eksplisit
yaitu bahwa superioritas laki-laki terhadap perempuan itu karena
laki-laki memberi nafkah kepada perempuan. Karena itu, seorang
suami dapat memiliki aset yang lebih istimewa dibanding seorang
istri.
82 Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis Perempuan Pembaru Keagamaan, 307. 83 Ibid, 308.
89
Menurut para mufassir, memberi nafkah yang dimaksud
ialah pemberian mahar dan belanja kebutuhan istri dan keluarga.84
Terhadap alasan pertama para mufassir mengemukakan
berbagai penjelasan yang sangat bias laki-laki. Al-Nawawi
misalnya, menerangkan bahwa superioritas laki-laki atas
perempuan itu didasarkan atas bahwa laki-laki memiliki
kesempurnaan akal (kama>l al-aql), matan dalam perencanaan (husn
al-tadbi>r), penilaian yang tepat dan kelebihan kekuatan dalam amal
dan ketaatan. Oleh sebab itu, laki-laki diberi tugas istimewa
sebagai nabi, imam, wali, penegak syiar-syiar Islam, saksi dalam
berbagai masalah hukum, wajib melaksanakan jihad, shalat jum’at
dan lain-lain.85
Selanjutnya, Muhammad Asad mengartikan “qawwa>mun”
sebagai menjaga sepenuhnya (to take full care), dan menjaga itu
meliputi fisik dan non fisik. Sedangkan Al-Tahabari
mengartikannya dengan “penanggung jawab”. Hal ini berarti
bahwa laki-laki bertanggung jawab mendidik dan membimbing
istri agar menunaikan kewajibannya kepada Allah swt maupun
kepada suami86. Begitu pula Al-Zamakhsyari menekankan bahwa
kata itu berarti bahwa kaum lakilaki berkewajiban melaksanakan
‘amar ma’ru>f nahi> munkar (mengajak kepada kebaikan dan
84 Azizah al-Hibri, Wanita dalam Masyarakat Indonesia; Akses, Pemberdayaaan, dan Kesempatan Cet. I (Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press, 2001), 260-261. 85 Ibid, 260-261. 86 Ibid, 260-261.
90
melarang kepada kejelekan)kepada perempuan sebagaimana
penguasa kepada rakyatnya87.
Sedangkan Muhammad Ali al-Sabuniy menafsiri ayat
tersebut, Dalam hal tanggung jawab memberi nafkah dan
bimbingan (tawji>h), laki-laki lebih utama dari perempuan.
Keutamaan laki-laki atas perempuan seperti itu - menurut al-
Sabuniy- disebabkan oleh kelebihan kecerdasan dan keahlian
manajerial laki-laki atas perempuan yang telah dianugerahkan oleh
Allah SWT88
Berangkat dari penafsiran tersebut, sejumlah pemikir
muslim kontemporer, seperti Ashgar Ali Engineer berusaha
menafsirkan kembali ayat tersebut. Menurutnya, ungkapan “laki-
laki adalah qawwa>mu>n atas perempuan” merupakan pengakuan
bahwa dalam realitas sejarah kaum perempuan pada masa turunnya
wahyu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai
kewajiban perempuan. Sementara itu, laki-laki menganggap dirinya
lebih unggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka mencari
nafkah. Al-Qur’an hanya mengatakan “laki-laki menjadi
qawwa>mu>n dan tidak menyatakan bahwa laki-laki- harus menjadi
87 Ibid, 261-262. 88 Muhammad Ali al-Sabuniy, Safwat al-Tafasir, Jilid II (Beirut: Da>r al-Qur'a>n al-Kari>m, 1981), 95.
91
qawwa>mu>n. Menurut Ali Ashgar, ungkapan tersebut merupakan
pernyataan konteks luas, bukan normatif89.
Adapun menurut Fazlur Rahman, ungkapan al-Qur’an
“laki-laki adalah qawwa>mu>n atas perempuan karena Allah swt
telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan
karena mereka (laki-laki) memberi nafkah dari sebagian harta
bendanya" bukanlah perbedaan hakiki melainkan fungsional.
Artinya, jika seorang istri di bidang ekonomi dapat berdiri sendiri,
baik karena warisan maupun karena usaha sendiri dan memberikan
sumbangan bagi kepentingan rumah tangganya, maka keunggulan
suaminya akan berkurang, karena ia tidak memiliki keunggulan
dibanding dengan istrinya90.
Sejalan dengan Fazlur Rahman, Amina Wadud Muhsin
menyatakan bahwa kalimat "laki-laki adalah qawwa>mu>n atas
perempuan" tidaklah dimaksudkan bahwa superioritas itu melekat
pada setiap laki-laki secara otomatis, namun hal itu hanya terjadi
secara fungsional, dalam arti selama yang bersangkutan memenuhi
kriteria al-Qur’an.91
Sedangkan menanggapi hadis yang berbunyi:
ن ح ل فل م يـ ا قـو لو هم و ر أم أة ر ام
89 Azizah al-Hibri, Wanita dalam Masyarakat Indonesia; Akses, Pemberdayaaan, dan Kesempatan, 261-262. 90 Ibid,262-263 91 Ibid, 262-263
92
“Tidak akan bahagia suatu kaum yang menyerahkan suatu urusan kepada perempuan”.
Jika dikondisikan dengan zaman modernis maka jelas tidak
sejalan dengan akal sehat. Padahal sekiranya ada seorang
perempuan yang menurut hukum alamnya dapat
dipertanggungjawabkan, maka sudah pasti ia akan menerima
kepemimpinannya.92 Hukum alam ini dapat dilihat dalam soal
kemampuan memimpinnya dan kecakapan lainnya yang didasarkan
pada hukum kausalitas. Misalnya, bila seorang perempuan terbukti
telah berhasil menjadi pemimpin partai dan sukses memenangkan
sebuah pemilu, maka sudah pasti ia akan menerimanya dan tidak
menyatakan sebagai bertentangan dengan ajaran Islam.
Mengenai dua nash yang disebutkan, dalam hal ini Ahmad
Khan menggunakan penafsiran rasional dan sesuai dengan hukum
alam. Artinya, perempuan yang harus dipimpin dan tidak boleh
berurusan dalam kekuasaan adalah mereka yang belum memiliki
kemampuan dan kecakapan memadai, sebab dapat dipastikan akan
menghancurkan sebuah negeri. Namun bila sebaliknya yang terjadi,
maka kaum lelaki tidak punya alasan tidak memberi kesempatan
kepada perempuan untuk memimpin.93
92 Ibid, 264 93 Jalaluddin Rahman, Metodologi Pembaruan Sebuah Tuntutan Kelanggengan Islam; Studi Beberapa Orang Tokoh Pembaru, Orasi Guru Besar Pembaruan Pemikiran Islam. Dipresentasikan pada Rapat Senat Luar Biasa IAIN Alauddin Makassar, 2001. 34-35.
93
Teori Harun Nasution dapat pula digunakan untuk melihat
urusan tersebut. Baginya, kepemimpinan perempuan bukanlah
ajaran dasar sehingga harus diperpegangi secara absolut tanpa
perubahan dan ijtihad. Memang redaksi ayat misalnya, termasuk
dalam kategori qath’i>y (dasar), tapi pemahamannya bukanlah pasti
sebab ada keterkaitan dengan kondisi masyarakat Arab di saat
turunnya ayat tersebut. Kalau sekiranya sebuah bangsa memandang
seorang perempuan dapat memberi kebangkitan di saat telah
tenggelam akibat kepemimpinan kaum laki-laki, maka sudah pasti
kemashlahatan yang diharapkan harus didahulukan. Beliau juga
tidaklah memahami hukum yang diambil dari nash tersebut ada
kaitannya dengan adat kebiasaan yang terjadi pada suatu kaum
sebagai illat-nya. Namun kini, adat ketertinggalan kaum perempuan
dari peran sosial sudah tidak ada, maka dengan sendirinya hukum
tersebut dihapuskan, alias tidak lagi perlu diamalkan94.
Yang jelas, bahwa soal kepemimpinan perempuan adalah
urusan kehidupan berbangsa dan bernegara di dunia ini. Karena
demikian statusnya, maka hal tersebut dapat dilihat secara rasional
dan tidak perlu disakralkan. Soal kepemimpinan harus dikaitkan
dengan syarat-syarat kepemimpinan yang rasional-obyektif, bukan
emosional-subyektif. Masalah tersebut bisa didesakralisasi
sehingga dapat dibahas dan dibicarakan secara bebas melalui
94 Ibid, 34-35.
94
ijtihad-ijtihad politik yang sesuai dengan kebutuhan manusia.
Bahkan, soal kepemimpinan ini adalah ibadah sosial
kemasyarakatan. Seorang pemimpin diharapkan dapat menunaikan
tugasnya dengan baik sekaligus merupakan ibadah kepada Allah
dan pengabdiannya kepada sesamanya secara bersama. Dalam hal
seperti ini, terbuka luas adanya perubahan dan peninjauan ulang
sebuah hasil ijtihad lama
F. Resistensi
1. Tinjauan Umum Tentang Resistensi
Resistensi dikenal sebagai suatu reaksi dari hadirnya dominasi
yang kuat terhadap yang lemah. James C. Scott dalam Domination
and the Arts of Resistance menjelaskan resistensi yang dilakukan
dalam masyarakat melalui penjelasan antara hubungan kekuasaaan
diantara mereka yang berada di posisi dominant yang menguasai
dan yang berada diposisi subordinate yang dikuasai atau yang
berada di posisi lebih lemah95. Pernyataan Scott tentang adanya
pembagian antara yang dominant dan subordinate mirip dengan
pengklasifikasian yang dibuat oleh Marx terhadap kelas yang saling
berseberangan itu, yang menuliskan bahwa posisi dominant adalah
95 Pip Jones.Pengantar Teori-teori sosial: Dari Teori Fungsionalisme Hingga Post-Modernisme (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 2009), 79.
95
sebagai pemilik sarana produksi sedangkan kelas subordinate
sebagai kelas yang diekspolitasi96.
Hubungan kedua kelas tersebut selalu ada yang menjadi
minoritas kemudian menjadi sebuah hubungan yang dikatakan
Marx sebagai hubungan konflik. Dari hadirnya hubungan konflik
inilah kemudian resistensi dapat hadir diantara kaum minoritas
yang berada dalam subordinate. Sedangkan disisi lain menurut
Henry Murray, manusia memang memiliki kebutuhan untuk
melakukan dominasi terhadap yang lain, kebutuhan akan kekuasaan
(need forpower). Seseorang dengan termotivasi untuk memiliki
kekuasaan tertinggi biasanya mencari jabatan dan pekerjaan yang
membuat mereka bisa menyatakan kuasa atas orang lain97.
Dalam bukunya Scott menjelaskan tentang hadirnya hidden
transcript dalam resistensi yang dilakukan oleh masyarakat
subordinate. Hidden transcript berupa pembicaraan di belakang
panggung, gesture, gosip, rumor, termasuk juga simbol-simbol
yang tertera dalam sebuah perayaan karnival atau parade dan yang
tersembunyi dalam praktik kegiatan sehari-hari, dalam hubungan
yang dekat misalnya diantara sesama budak, teman-teman terdekat
dari para budak dan keluarganya98.
96 Ibid, 79. 97Howard S. Friedman, Miriam W.Schutack. Kepribadian:Teori Klasik dan Riset Modern (Jakarta:Erlangga,2008), 322. 98 James C. Scott.Domination and The Art of Resistance: Hidden Transcript ( London:Yale University Press London,1990), 191.
96
Scott mengatakan bahwa “It would be more accurate, in short,
to think of the hidden transcript as condition of practical resistance
than a substitute for it” (Akan lebih akurat, singkatnya, untuk
memikirkan transkrip tersembunyi sebagai kondisi perlawanan
praktis dari hal tersebut)99.
Resistensi juga dapat dilakukan tanpa disertai tindakan yang
frontal dan langsung dengan tindakan perlawanan yang sama, yang
dilakukan pihak yang lebih kuat mendominasi, dan menekan yang
lebih lemah, karena dominasi tidak selalu dalam bentuk penjajahan
atau kasat mata seperti penindasan fisik, ekonomi dan sosial tetapi
dalam bentuk simbolik yang sering secara sadar atau tidak disetujui
oleh korbannya.
Salah satu bentuk dari resistensi adalah gerakan perlawanan
perempuan atas dominasi laki-laki. Gerakan-gerakan tersebut
secara umum disebut feminisme dan dijelaskan pada sub bab
berikutnya.
2. Feminisme: Resistensi Kaum Perempuan terhadap
Ketidakadilan Gender
1. Pengertian Feminisme
Secara etimologis, feminisme berasal dari kata
“feminin”, artinya memiliki sifat sebagai perempuan.
Kemudian kata itu ditambah dengan ism menjadi feminism
99 Ibid, 191.
97
yang berarti hal ihwal tentang perempuan, atau dapat pula
berarti dengan paham terhadap perempuan.100 yang memiliki
arti hal-hal yang bersifat kewanitaan. Dari kata ini, kemudian
mendapat imbuhan “isme” sehingga memiliki arti gerakan
wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum
wanita dan kaum pria.101
Dalam perkembangannya, kata feminisme digunakan
untuk menunjuk suatu teori kesetaraan jenis kelamin (sexual
equality). Feminisme sebenarnya merupakan konsep yang
muncul dalam kaitannya dengan perubahan sosial (social
change), teori-teori pembangunan, kesadaran politik
perempuan dan gerakan pembebasan kaum perempuan,
termasuk dalam dewasa ini mengenai pemikiran kembali
institusi keluarga.102
Feminisme mencakup beberapa pengertian yaitu :
a. Feminisme merupakan pengalaman hidup, sebab
feminisme tidak terlepas dari sejarah munculnya yaitu dari
masyarakat patriarki. Dari sejarah hidup inilah kemudian
lahir kaum perempuan yang mempunyai kesadaran
feminis.
100 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis vs Tafsir Patriarkhi (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), 16. 101 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa , 2008), 424. 102 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis vs Tafsir Patriarkhi .16.
98
b. Feminisme sebagai alat perjuangan politik bagi
pembebasan manusia. Berangkat dari kesadaran
feminisme ini, perempuan ingin melepaskan diri dari
penindasan dan ketidakadilan yang selama ini dialaminya.
Perjuangan ini diletakkan dalam bentuk persamaan hukum
(legal status) hak memilih dan kesadaran dengan laki-laki.
Gerakan ini kemudian disebut sebagai liberation
movement, yakni suatu gerakan pembebasan yang intinya
menuntut persamaan dalam struktur sosial politik
c. Feminisme sebagai aktivits intelektual. Artinya gerakan
yang memberikan pemahaman tentang kehidupan sosial
perempuan itu tinggal, kekuatan apa yang dapat
dilaksanakan untuk melakukan perubahan ke arah
perbaikan nasib perempuan dan untuk mengetahui apa
yang harus diperjuangkan.103
2. Sejarah dan Perkembangan Feminisme
Untuk mengetahui bagaimana feminisme itu lahir dan
berkembang, kita harus melihat kondisi Barat (dalam hal ini
Eropa) pada abad pertengahan, yaitu masa ketika suara-suara
feminis mulai terdengar. Pada Abad pertengahan, gereja
berperan sebagai sentral kekuatan, dan Paus sebagai pemimpin
gereja, menempatkan dirinya sebagai pusat dan sumber
103 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis vs Tafsir Patriarkhi, (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), 19.
99
kekuasaan. Sampai abad ke-17, gereja masih tetap
mempertahankan posisi hegemoninya, sehingga berbagai hal
yang dapat menggoyahkan otoritas dan legitimasi gereja,
dianggap seabagai heresy dan dihadapkan ke Mahkamah
Inkuisisi.104
Nasib perempuan barat tak luput dari kekejian doktrin-
doktrin gereja yang ekstrim dan tidak sesuai dengan kodrat
manusia. Menurut McKay, dekade 1560 dan 1648 merupakan
penurunan status perempuan di masyarakat Eropa. Reformasi
yang dilakukan para pembaharu gereja tidak banyak membantu
nasib perempuan. Studi-studi spiritual kemudian dilakukan
untuk memperbaharui konsep Saint Paul’s tentang
perempuan, yaitu perempuan dianggap sebagai sumber dosa
dan merupakan makhluk kelas dua di dunia ini. Walaupun
beberapa pendapat pribadi dan hukum publik yang
berhubungan degan status perempuan di barat cukup
bervariasi, tetapi terdapat bukti-bukti kuat yang
mengindikasikan bahwa perempuan telah dianggap sebagai
makluk inferior. 105
Bersamaan dengan itu, kaum perempuan pun bangkit
untuk memperjuangkan hak-haknya. Inilah awal lahirnya
104 Adian Husaini, Tinjauan Historis Konflik Yahudi, Kristen, Islam (Yogyakarta: Gema Insani Press, 2004), 158. 105 McKay, John P, Bennet D. Hill and John Buckler, A History of Western Society, Second
Edition, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1983 ) 437 – 541.
100
gerakan feminism individualis yng dipelopori oleh Mary
Wolstrone Craft di Inggris dengan bukunya, A Vindication of
the Right of Women pada tahun 1792.106
Dari historis tersebut, terlihat bahwa feminisme
merupakan suatu konsep dan teori yang berasal dari barat.
Oleh sebab itu tidak mengherankan jika konsep tersebut
terkadang masih dianggap sebagai hal yang kurang tepat untuk
diterapkan dalam konteks masyarakat Indonesia khususnya dan
dunia Islam timur pada umunya. Hal ini disebabkan adanya
kerancuan feminisme sebagai ideologi dengan feminisme
sebagai keprihatinan terhadap derita kaum perempuan.107
Dalam perkembangan berikutnya, feminisme sebagai
suatu gerakan juga muncul di Amerika sekitar akhir abad -19
atau awal abad -20. Gerakan ini semula difokuskan untuk
mendapatkan hak memilih. Namun demikian setelah hak-hak
itu diperoleh pada tahun 1920, gerakan ini sempat tenggelam
lagi dan sekitar tahun 1960 ketika Betty Friedan menerbitkan
bukunya The Femine Mystique (1963) gerakan ini ternyata
sempat mengejutkan masyarakat, karena mampu memberikan
kesadaran baru, terutama bagi kaum perempuan bahwa
peran-peran tradisional selama ini ternyata menempatkan
106 Fatima Mernissi, Wanita dalam Islam, Yaziar Radianti (terj) (Bandung: Pustaka, 1991) vii. 107 Ibid.
101
mereka pada posisi yang tidak menguntungkan, yakni
subordinasi dan marginalisasi kaum perempuan.108
Pada akhir tahun 1980, teori feminism menunjukan pola
berulang. Hal analisisnya merefleksikan pandangan-pandangan
perempuan kelas menengah Amerika Utara dan Eropa Barat.
Namun, secara akademis justru muncul kecenderungan
maskulinis di Barat. Tanpa disadari para feminis akademis di
Barat telah terkooptasi oleh hirarki, mekanisme kerja, cara
berfikir, epistemilogi dan metodologi maskulin109 hal ini
dapat membahayakan feminismee itu sendiri. Karena suatu
gerakan yang awalnya dimaksudkan untuk ebuah
pembebasanm malah berbalik menjadi sebuah penindasan110.
Oleh karena itu, jika gerakan feminism Barat yang
cenderung “bersifat patriotik secara berlebihan” diterapkan
secara mentah-mentah dalam konteks Asia dan Indonesia
khususnya, maka menjadi kurang tepat dan akan mengalami
banyak kendala. Selain kultur budaya yang berbeda, sangatlah
mungkin ide-ide pembebasan perempuan yang dicita-citakan
akan berubah menjadi perlawanan atau bahkan menjadi
penindasan terhadap laki-laki. Maka yang diperlukan dalam
rangka membebaskan dan membentuk suatu sistem struktur
108 Ratna Megawangi, Feminisme : Menindas Peran Ibu Rumah Tangga dalam Ulumul
Qur’an , edisi khusus No 5&6 vol V, 1994, 30-41. 109 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis, 21. 110 Ibid. 21.
102
masyarakat yang lebih adil adalah bukan gerakan anti
feminisme yang tradisional-konservatif, atau pro feminism
modern yang progessif-chauvinistik melainkan suatu gerakan
pasca feminisme yang Islami dan integratif yang mampu
meletakkan perempuan sebagai mitra bagi laki-laki.
Sesungguhnya perempuan adalah mitra laki-laki yang
dapat bekerja secara harmonis yang dapat membebaskan
manusia secara keseluruhan dari motif naluri hewaniah dan
tarikan rutinitas mekanik di masa depan. Ide komplementaris
perempuan dan laki-laki selaras dengan pandangan al- Qur’an:
“ Dan Kami jadikan kamu berpasang-pasangan (QS. Al-Naba’ : 8)111
Gerakan feminisme dalam masyarakat muslim yang pertama
muncul di Mesir, dengan terbentuknya The Egyptian Feminist
Union pada tahun 1923 yang didirikan oleh Huda Shaarawi (
1879-1947). Di Indonesia, kajian feminisme muncul sekitar
tahun 1980. Hal itu terlihat dari munculnya para aktifis
gerakan perempuan, seperti Herawati, Wardah Hafidz,
Marwah Daud Ibrahim, Yulia Surya Kusuma, Ratna
Megawangi, dan lain sebagianya. Latar belakang munculnya
gerakan ini diantaranya karena ada kesadaran bahwa dalam
sejarah peradaban manusia, termasuk Indonesia, perempuan
111 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya.
103
telah diperlakukan secara kurang adil, bahkan dilecehkan.
Ironisnya, hal ini dilakukan secara sistematis dengan adanya
dominasi budaya yang patriarkis yang begitu kuat dalam
sejarah manusia. Oleh karena itu kritik yang tajam biasanya
diarahkan pada persoalan sistem patriarki, genderisme, dan
seksisme.112
Sistem masyarakat yang patriarkhi, hampir menguasai
seluruh segmen kehidupan, malah cenderung memperlakukan
perempuan secara tidak adil serta memposisikannya secara
subordinat di bawah laki-laki. Bahkan tidak jarang, untuk
memperkuat sistem patriarki tersebut, agama selalu diikut
sertakan dalam memberikan legitimasi dengan cara
menafsirkan kitab suci, hadis atau teks-teks keagamaan lainnya
yang cenderung menguntungkan bagi pihak laki-laki.
Religious-teologis merupakan legitimasi yang diperlukan
walaupun terkadang disalahgunakan untuk kepentingan
tertentu. Peter L Berger, mengungkapkan bahwa legitimasi
religious merupakan legitimasi yang paling tinggi, karena
melampaui hal-hal yang bisa dikatakan supra empiric,
dipandang sebagai the sacred canopy (langit-langit suci) untuk
pelindung.113
112 Ibid , 23. 113 Peter L Berger, The Sacred Sanopy (Garden City: Doubleday, 1979), 41.
104
3. Aliran Gerakan Feminisme
a. Feminisme Liberal
Fokus perjuangan perempuan dalam aliran ini adalah
melakukan perubahan ditingkat legislatif untuk
mendapatkan hak perempuan dalam bidang pendidikan, hak
milik, alat kontrasepsi, perceraian, pekerjaan, dan hak pilih.
Kaum liberal percaya bahwa kebebasan dan persamaan
berakar pada rasionalis, dan karena Tuhan rasional, maka
mereka menuntut hak yang sama seperti kaum lakilaki.
Tokoh-tokohnya adalah John Stuart Mills dan Harbet
Taylor Milles (suami isteri)114.
Marry Wallstonecraft dalam Vindication the Right of
Women menyatakan agar kaum perempuan menggunakan
otaknya (rasio) untuk mendapatkan yang mereka inginkan.
Ia menganjurkan agar perempuan lebih berani
mengekspresikan dirinya. Sementara John Stuart Mills
(1851) mengajukan proses atas hukum dan perkawinan
yang mana ia pandang sangat merugika perempuan. Kaum
feminisme liberal tidak mempermasalahkan ketidakadilan
struktural dan penindasan ideologi patriarki. Feminisme
liberal lebih memfokuskan pada perubahan undang-undang
114 Mansur Fakih et.al, Membincangkan Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), 228.
105
dan hukum yang dianggap dapat melestarikan sistem
patriarkhi115.
Gerakan pada pandangan feminis liberalis memiliki
konsep dasar individu. Ketidakadilan adanya pelanggaran
terhadap kebebasan individu yang berlangsung melalui
pembangunan dan perbaikan konsep pada kelompok
tertentu (tertindas). Kesetaraan hanya dapat dicapai
melakukan perubahan peraturan (hukum) dan pendidikan.
Analisis feminisme liberal yangmenjadi aliran mainstream
ini mendapatkan kritik dari aliran teori sosial feminisme
lain.116
b. Feminisme Marxis
Feminis Marxis merupakan reaksi atas feminis liberal
dan menolak gagasan biologis sebagai dasar pembedaan
gender. Penindasan perempuan adalah bagian dari
penindasan kelas dalam hubungan produksi, sehingga
persoalan perempuan selalu diletakkan dalam kerangka
kritik atas kapitalisme, karena laki-laki mengontrol produksi
menjadi bagian kekayaan (properti) belaka Aliran ini
berupaya menghilangkan struktur kelas dalam masyarakat
berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa
115 Ibid, 228. 116 Siti Handayani, et. al, Merekontruksi Realitas Dengan Perspektif Gender, ( Yogyakarta: SBBY,1997), 10.
106
ketimpangan peran antara kedua jenis kelamin itu
sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya alam.117
Di samping itu penindasan perempuan
dilanggengkan dengan pelbagai cara dan alasan. Misalnya
dengan “eksploitasi pulang ke rumah.” proses eksploitasi
bisa produktif (dalam industri) sehingga sangat bermanfaat
dalam rangka reproduksi buruh murah (buruh perempuan
sebagai buruh cadangan). Kondisi ini tentu saja sangat
menguntungkan industri dan memperkuat posisi tawar
kapitalis, hal ini dapat berimplikasi pada existensi buruh.118
Pembebasan individual adalah mustahil karena
seksisme adalah persoalan sosial yang berhembus dari
penindasan institusional terhadap perempun dalam
kapitalisme Dalam posisi ini baik laki-laki maupun
perempuan sama-sama tertindas (buruh) dari pemilik modal,
keterpukulan kaum laki-laki pekerja menjadi sebab
pengembangan kesadaran kelas sampai mereka menyadari
kepentingan kelas mereka di atas kepentingan mereka
sebagai individu dan hingga pada akhirnya bergabung
dengan kaum feminis119.
117 Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-qur’an, ( Jakarta: Paramadia, 2001), Cet. II, hlm. 65. 118 Ibid, 65 119 Ibid, 66
107
Perjuangan Marxis untuk mengembangkan kesadaran
ini dalam kelas pekerja karena analisis mereka membawa
mereka untuk mengerti bahwa perjuangan oleh perempuan
melawan penindasan mereka sebagai perempuan dan
perjuangan untuk menghilangkan ketidaksetaraan kelas
berjalan terus. Ini dilakukan hingga revolusi. Sebaliknya
hubungan yang erat antara penindasan gender dan kelas
memberikan arahan kepada perjuangan sosialisme sebuah
perjuangan terpadu juga. Tak ada revolusi sosialis tanpa
pembebasa perempuan, tak ada pembebasan perempuan
tanpa revolusi sosialis. Sesungguhnya persoalan perempuan
itu bersifat struktural dan penyelesaiannya pun terjadi bila
ada perubahan struktur kelas.120
Adapun tujuan feminisme marxis adalah
mendriskipsikan basis material ketundukan perempuan dan
hubungan antara model – model produksi dan status
perempuan serta menerapkan teori perempuan dalam kelas
pada peran keluarga. Pada dasarnya feminisme Marxisme
belum mampu menjawab mengapa penindasan perempuan
tidak berakhir bahkan dituduh sebagai kelompok yang buta
gender. Lebih dari itu semua feminis marxis justru
120 Ibid, 67.
108
melahirkan aliran baru yang banyak mengkritiknya yaitu
feminis sosialis dan ekofeminis121.
c. Feminisme Sosialis
Gerakan feminis sosialis berlangsung di dua front
yaitu ; melawan kapitalisme dan menghadapi hubungan
sosial dominasi lakilaki. Aliran ini bertujuan menghapuskan
ketidakadilan kelas dan gender. Disamping itu mengkritik
aliran marxis yang mengesampingkan dominasi laki-laki
yang merupakan penyebab subordinasi perempuan. Gerakan
dari ekofeminisme biasanya dianggap sebagai kajian dari
feminis kultural. Perpaduan antara kajian ilmu ekologi dan
feminisme akan mewujudkan lingkungan yang humanis.
Yang dikatakan sebagai lingkungan yang humanis adalah
lingkungan yang tertata ( built enveriovment).122
d. Feminisme Radikal
Feminisme gelombang kedua pertama kali
menggunakan istilah radikal untuk dimaksudkan sebagai
teori sosial yang lebih revolusioner dari pada teori-teori
New Left dari mana radikalisme muncul dikutip dari Mary
Doly menggunakan radikal yang dimaksudkan sebagai
metafisik dari pada radikal sebagai istilah politik atau sosial.
Feminisme radikal menyatakan bahwa patriarkhi adalah
121 Ibid, 67 122 Judi Wacjman, Feminisme Versus Tehnologi, ( Yogyakarta: SBBY dan OXFAM), 129
109
karakteristik yang ada dalam masyarakat dan bertujuan
menghancurkan sistem kelas jenis kelamin. Adapun yang
melatarbelakangi adalah dominasi laki-laki dan klaim
bahwa semua bentuk penindasan adalah perpanjangan dan
supremasi laki-laki, penindasan yang terjadi pada
perempuan menurut Ti Grace Atkinson adalah bahwa
sistem peran laki-laki perempuan secara politik
menindas.123
Adapun bentuk penindasan itu secara psikologis dan
bukan ekonomis. Feminisme radikal merupakan sebuah
fenomena baru tumbuh dalam gerakan pembebasan
Amerika Serikat diakhir tahun 1960-an. Mereka yang
terlihat pada umumnya adalah perempuan berkulit putih,
kelas menengah dan para perempuan berpendidikan tinggi.
Teori feminisme radikal mempunyai tujuan yang sama
dengan feminis lainnya. Namun mempunyai pandangan
berbeda terhadap aspek biologis. (nature).124
Feminis radikal sering menyerang institusi keluarga
yang berpotensi besar melanggengkan sistem patriarkhi. Hal
ini termanifestasikan dalam manifesto feminis radikal yang
berjudul Notes from the second sex (1970) yang
mengatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga
123 Ratna Megawangi, Membiarkan Berbeda, ( Bandung: Mizan,1999), 178 124 Ibid, 178.
110
formalisasi untuk menindas wanita. Kaum feminis radikal
ini menegaskan bahwa pengalaman dan kepentingan-
kepentingan mereka adalah pusat teori dan aksi mereka.
Satu-satunya teori adalah”oleh dan untuk mereka.” Salah
satu temanya yaitu tentang fundamental bahwa kelompok
perempuan yang merupakan kelompok sosial125.
Dengan demikian perempuan membuat kontrol laki-
laki di segala aspek kehidupan baik domestik maupun
publik. Bahkan untuk masalah yang sifatnya privacypun
juga tetap dalam controlling kaum feminis misalnya
perkawinan, reproduksi, keharusan seksual dan lain-lain. Di
sisi lain gerakan feminisme ini terjadi tumpang tindih
dengan pola-pola yang lain. Dengan kata lain para feminis
ingin mengkampanyekan bahwa seorang wanita dapat hidup
tanpa kehadiran seorang pria disisinya.126
Pada fase awal feminis radikal terperosok dalam
persoalan biologis namun pada akhir merambah ke 2 sektor
yaitu wilayah ekonomi dan tubuh kaum perempuan yang
mudah dieksploitasi Dalam pada itu, kendati feminisme
radikal mengakui adanya keragaman dikalangan kaum
perempuan, namun mereka lebih mengutamakan adanya
kesamaan dikalangan perempuan disamping menujukan
125 Ibid, 178 126 Ibid, 180
111
perbedaan antara kaum perempuan dan lelaki. Salah satu
pengertian yang mendasar di dalam konsepsi mereka
persaudaraan perempuan itu bersifat global (sisterhood is
global) artinya setiap perempuan di dunia lebih banyak
persamaannya127.
Dengan memandang kategori “seks” sebagai dasar
pembedaan dalam masyarakat serta kelas dan ras sebagai
faktor pendukung maka dominasi laki-laki, subordinasi
terhadap perempuan merupakan suatu model konseptual
yang bisa menjelaskan berbagai bentuk penindasan dan
patriarki adalah sistem hierarki seksual dimana laki-laki
memiliki kekuasaan superior dan penguasa ekonomi. Atas
dasar ini muncul slogan “The personal is political” yang
mana hal ini dapat member peluang politik bagi kaum
perempuan, karena dominasi laki-laki tidak hanya di arena
publik, tetapi juga domestik yang sangat pribadi. Maka
usaha-usaha untuk menghapuskan subordinasi justru
dimulai dari dalam rumah128.
Aliran tersebut terutama menyoroti dua konsep
“patriarkhi dan seksualitas” isu-isu yang menjadi perhatian
aliran ini diantaranya kekerasan fisik (physic violence) dan
127 Ibid, 179 128 Ibid, 179
112
seksual, lesbianisme, androgini dan tekanan pada budaya
dan ruang gerak perempuan menjadi perhatian khusus129.
Menurut Martha Shelley (1970) bahwa perempuan
lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan
mandiri130. Adapun strategi para feminis radikal dalam
rangka mewujudkan cita-citanya adalah pembebasan
perempuan dengan cara, Pertama melalui organisasi
perempuan yang terpisah dan memiliki otonomi. Kedua
melalui kultural feminisme yaitu menciptakan budaya yang
berpusat pada perempuan. Feminis lesbian yang di
identikan dengan feminis radikal menyatakan bahwa cita-
cita perempuan tidak akan pernah berhasil kalau masih
berhubungan dengan laki-laki sehingga perlu adanya
pemutusan hubungan laki-laki dan perempuan131.
4. Gerakan Feminisme Perempuan Islam
Pada tahun 1990-an, gerakan feminisme Barat mulai
mempengaruhi beberapa sarjana dan pemikir muslim, sehingga
muncullah gerakan feminisme muslim. Azza M.Karam
mendefinisikan feminisme muslim adalah : “suatu paham yang
mengadopsi pandangan feminism dunia di mana Islam dapat
dikontekstualisasikan dan ditafsirkan kembali dalam rangka
129 Ibid, 180 130 Manshur Fakih, Mansur Fakih et.al, Membincangkan Feminisme Diskursus Gender Perspektif Islam, 226 131 Abdul Mustakim, Tafsir Feminis, 29.
113
untuk mempromosikan konsep ekuitas dan kesetaraan antara
laki-laki dan perempuan dan kebebasan memilih sebagai
bagian penting dalam ekspresi iman”.132
Dalam The Oxford Encyclopedia of Modern Islamic
World dinyatakan bahwa : “feminisme moden dikenali dalam
masyarakat Islam sejak awal abad 20 meskipun mereka tidak
menggunakan istilah tersebut133.
Pemikiran feminisme di dunia Islam dapat ditelusuri
melalui pemikiran-pemikiran Aisha Taymuriyah (penulis
Mesir), Zainab Fawwaz (penulis Lebanon), Rokeya Sakhawat
Hossein, Nazar Haidar, Emilie Ruete (Zanzibar), Ta’jal
Sulthaniyah (Iran), Huda Shaarawi, Malak Hifni Naser,
Nabawiyah Musa (Mesir), dan Fame Aliye (Turki). Mereka
dikenal sebagai tokoh perintis dalam menumbuhkan kesedaran
mengenai persoalan gender, termasuk melawan kebudayaan
dan ideologi masyarakat yang hendak menghalangi kebebasan
perempuan”134.
Gerakan feminisme muslimah dilanjutkan oleh Aminah
Wadud, Rifaat Hasan dan Fatimah Naseef yang memberikan
perhatian pada kajian teks al-Quran yang berkaitan dengan
132 Azza M.Karam, Women, Islamism, and the State : Contemporary Feminism in Egypt, (London: MacMillan, 1998). 5 133 Arif mansyuri, Kontruksi tafsir Feminis : Studi Pemikiran Aminah Wadud atas Kesetaraan Gender dalam al-Quran (Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2006). 26-27. 134 Ibid, 27.
114
perempuan, sedangkan Fatima Mernissi dan Hidayaet Tuskal
memberikan perhatian kepada kajian teks hadis yang berkaitan
dengan perempuan, Aziza al-Hibri dan Shaheen Sardar Ali
memberikan perhatian kepada kajian terhadap hukum syariah
yang berkaitan dengan perempuan. Akhir-akhir ini muncul
muslimah yang mengkaji masalah homoseksual dan lesbian
seperti Irsyad Manji dan Musdah Mulia.
Pengaruh pemikiran Feminisme Barat dan Persamaan
Gender di dalam masyarakat muslim juga dilanjutkan dengan
munculnya institusi kajian seperti Femina Insitute (Indonesia),
Sisters in Islam (SIS), Musawwa (Malaysia), dan sebagainya.
Di samping itu terbit beberapa majalah, jurnal, tentang
feminisme dan persamaan gender seperti jurnal
“Perempuan”135.
135 Jurnal tentang perempuan diterbitkan tiap tiga bulan oleh Yayasan Jurnal Perempuan-Jakarta sejak tahun 1995.