bab i roy -...

33
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hal utama yang menjadi problematik normatif adalah kekurangan norma dalam pengaturan hukum udara di Indonesia dalam hal ini keterkaitan dengan pertanggungungjawaban pidana korporasi akibat kecelakaan pesawat udara. Dasar hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam Undang-undang No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan yang kemudian diubah dengan Undang-undang No. 33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan Undang-undang No. 72 Tahun 1976, kemudian dengan Undang-undang No. 15 Tahun 1992, beberapa kali Undang- undang tentang penerbangan diperbaharui namun belum menyatakan bahwa korporasi dapat dipertanggungungjawabkan. Demikian juga pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini belum mengatur tentang tindak pidana korporasi. Dan saat ini Undang-undang tentang penerbangan telah disempurnakan lagi dengan lahirnya Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan sipil. Berdasarkan Undang- undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan sipil bahwa, telah menyatakan korporasi adalah sebagai subyek tindak pidana. Artinya terjadi kekosongan hukum sebelum Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan diberlakukan. Melihat banyaknya kecelakaan pesawat udara yang terjadi di Indonesia, terutama kasus dalam hal pertanggungjawabannya. Kasus-kasus kecelakaan penerbangan, pemerintah hanya dapat menyelesaikan dengan cara perdata dan administrasi. Sehingga cendrung hukum pidana di Indonesia masih bersifat tidak tegas.

Upload: lamhanh

Post on 29-May-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hal utama yang menjadi problematik normatif adalah kekurangan norma dalam

pengaturan hukum udara di Indonesia dalam hal ini keterkaitan dengan

pertanggungungjawaban pidana korporasi akibat kecelakaan pesawat udara. Dasar

hukum penerbangan sipil dalam hukum udara Indonesia diatur dalam Undang-undang

No. 83 Tahun 1958 tentang penerbangan yang kemudian diubah dengan Undang-undang

No. 33 Tahun 1964, yang disempurnakan lagi dengan Undang-undang No. 72 Tahun

1976, kemudian dengan Undang-undang No. 15 Tahun 1992, beberapa kali Undang-

undang tentang penerbangan diperbaharui namun belum menyatakan bahwa korporasi

dapat dipertanggungungjawabkan. Demikian juga pada Kitab Undang-undang Hukum

Pidana (KUHP) yang saat ini belum mengatur tentang tindak pidana korporasi. Dan saat

ini Undang-undang tentang penerbangan telah disempurnakan lagi dengan lahirnya

Undang-undang No.1 Tahun 2009 tentang penerbangan sipil. Berdasarkan Undang-

undang No. 1 Tahun 2009 tentang penerbangan sipil bahwa, telah menyatakan korporasi

adalah sebagai subyek tindak pidana. Artinya terjadi kekosongan hukum sebelum

Undang-undang No.1 tahun 2009 tentang penerbangan diberlakukan.

Melihat banyaknya kecelakaan pesawat udara yang terjadi di Indonesia,

terutama kasus dalam hal pertanggungjawabannya. Kasus-kasus kecelakaan

penerbangan, pemerintah hanya dapat menyelesaikan dengan cara perdata dan

administrasi. Sehingga cendrung hukum pidana di Indonesia masih bersifat tidak tegas.

Page 2: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

2

Hal ini akibat karena di dalam pengaturan Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP) subyek hukum pidana hanyalah manusia (natuurlijke persson) korporasi tidak

diakui sebagai subyek hukum pidana. Sementara Undang-undang di luar Kitab Undang-

undang Hukum Pidana (KUHP) telah mengatur bahwa korporasi juga merupakan subyek

tindak pidana, sehingga bila korporasi melakukan tindak pidana dapat dimintai

pertanggungjawabannya.

Dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) Tahun 2015,

dinyatakan bahwa korporasi adalah sebagai subyek tindak pidana, namun hingga kini

konsep itu belum disahkan untuk berlakunya.

Sistem Pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2009 Tentang Penerbangan, pasal 1 angaka 55 menyatakan, setiap orang adalah

orang perseorangan atau Korporasi. Sehingga dalam hal pertanggungjawaban pidana

korporasi dapat terwujud berdasarkan kepastian hukum. Penelitian ini merupakan

penelitian normatif yang dilakukan dengan pengumpulan bahan hukum primer, sekunder

melalui studi kepustakaan. Bahan hukum yang dikaji adalah Undang-undang Nomor 1

Tahun 2009 tentang penerbangan dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Bahan hukum tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif dan dipaparkan secara

deskriptif analistis.

Berdasarkan hasil dari penelitian ini bahwa, pertama, pengaturan tindak pidana

penerbangan di Indonesia melalui hukum pidana (sarana penal) telah dirumuskan dalam

UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Tetapi pada praktiknya pengaturan

tindak pidana penerbangan cendrung diselesaikan melalui sarana non penal, yaitu secara

perdata dan administrasi. Kedau pertanggungjawaban pidana korporasi akibat

Page 3: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

3

kecelakaan pesawat udara juga dirumuskan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009

tetang penerbangan. Maka disimpulkan bahwa korporasi sebagai subyek hukum dapat

bertanggungjawab secara hukum pidana akibat kecelakaan pesawat udara di Indonesia.

Tujuan penyelenggaraan penerbangan adalah mewujudkan penyelenggaraan

penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga wajar dan

menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat.1 Sedangkan salah satu tujuan

negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Hal ini tercantum

dalam Alinea Keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) yang mengatur:

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan

untuk memajukan kesejahtraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut

melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan

keadilan sosial.”2

Selanjutnya, konteks melindungi segenap bangsa Indonesia ini terdapat dalam

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang

1 Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

2 Lihat, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen IV

(Yogyakarta, 2005), hlm. 115

Page 4: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

4

sama dihadapan hukum (equality before the law). Pengaturan dari konstitusi ini

menunjukan bahwa pemerintah harus melindungi segenap keperluan dan kepentingan

warga negaranya, termasuk dalam bidang trasnportasi udara. Oleh karena itu,

penerbangan sudah tentu menjadi transportasi yang sangat dibutuhkan dan yang sering

digunakan, mengingat mobilitas masyarakat yang terus meningkat, sehingga jelas,

penerbangan menjadi suatu bisnis yang menjanjikan bagi para pelaku usaha. Tidak

heran, jika ada banyak perusahaan penerbangan di Indonesia.

Dengan banyaknya perusahaan penerbangan menunjukkan adalah sesuatu wajar

jika terdapat persaingan usaha yang ketat diantara maskapai penerbangan sipil, yang

mengharuskan maskapai-maskapai tersebut “berlomba” menciptakan keunggulan-

keunggulan dari maskapai penerbangan sipil lain, seperti tiket murah, fasilitas lengkap,

dan terpenting adalah masalah keamanan dan keselamatan selama penerbangan. Tetapi

yang ditemui adalah kurangnya perhatian maskapai penerbangan terhadap faktor

keamanan dan keselamatan pesawat yang berdampak pada banyaknya kecelakaan

pesawat di sepanjang tahun, yang tidak sedikit menelan korban jiwa.

Pada operasioanal penerbangan muncul masalah-masalah kecelakaan pesawat,

memang sudah menjadi masalah bagi dunia, termasuk Indonesia, terlihat dari banyaknya

kecelakaan pesawat yang terjadi sepanjang tahun.

Page 5: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

5

Tabel 1.1

Daftar Jumlah Kecelakaan Pesawat Udara dalam Rentang Waktu

Tahun 2005 s/d 2018

Tahun Nama penerbangan Rute Jumlah Korban

2007 Garuda Indonesia Jakarta-

Yogyakarta

21, Penumpang Meninggal Dunia

2009 Merpati Nusantara

Air Hilang di Papua

15, Penumpang Meninggal Dunia

2013 Lion Air Bandung- Bali 45, Penumpang mengalami Luka-

luka

Sumber: https://nasional.tempo.co, 29 Desember 2014

Mengamati kecelakaan pesawat, perhatian penulis tertuju kepada daftar

kecelakaan pesawat tersebut di atas, yang mana tidak ada dari daftar kecelakaan tersebut

yang diselesaikan secara pidana termasuk mempidanakan korporasi. Seluruhnya

diselesaikan secara administratif dan perdata, seperti membayar ganti rugi kepada koban

selamat atau keluarga korban yang meninggal dunia, padahal undang-undang telah

mengatur mengenai ketentuan tindak pidana penerbangan. Pada perkembangannya,

korporasi diakui sebagai subjek hukum, termasuk didalamnya korporasi/perusahaan

penerbangan. Selama melakukan kegiatan operasional yang pasti korporasi/perusahan

banyak mengambil bagian baik itu berupa keputusan-keputusan yang terkait dengan

operasional bahkan terkait juga dengan perawatan pada penerbangan. Menjadi

pertanyaan, dapatkah korporasi/perusahaan tersebut dapat dipidana? Yang tidak

Page 6: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

6

memenuhi akan aturan keselamatan bisa dikatakan memiliki niat untuk membunuh,

adakah unsur kesengajaan atau tidak. Dalam hal ini harus dibuktikan mens reanya. Jika

tidak, apakah itu adalah kelalaian, sebab dalam Pasal 359 KUHP diatur mengenai

kelalaian yang mengakibatkan matinya seseorang sehingga dapat dipidana. Korporasi

merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli-ahli hukum pidana dan

kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang hukum lain khususnya dalam

hukum perdata, disebut dengan badan hukum (rechts persoon).3 Korporasi seringkali

juga didefinisikan sebagai badan hukum (baik dalam hukum privat maupun badan

hukum publik) yang mendapat pengakuan dari negara sebagai subyek hukum, dimana

dapat berbentuk peseroan terbatas, yayasan, partai politik, organisasi non pemerintah,

koperasi dan bentuk lembaga lain yang dapat status badan hukum dari yang berwenang

(pemerintah).4 Hal ini berarti pidana korporasi dapat dipertanggungjawaban dalam

hukum pidana.

Beranjak dari hal pertanggungungjwaban pidana bagaimana korporasi itu dapat

mempertanggungjawabkan pidananya jika terjadi kecelakaan pesawat udara. Penulis

ingin melakukan penelitian dan mengkaji serta memaparkan bagaimana formulasi

kebijakan pengaturan tindak pidana pada penerbangan sipil dan sistem

pertanggungungjawaban pidana korporasi penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat

udara dalam kaitannya dengan upaya pemidanaan kejahatan koporasi di bidang

3 Zulkarnain, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Malang,

2016), hlm. 1 4 Ibid.

Page 7: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

7

penerbngan sipil dengan diberlakunya Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan. Mengingat bahwa KUHP Indonesia menganut subyek pidana adalah

orang/manusia, bukan korporasi.

Dengan demikian penulis akan mengkonkritkan permasalahan tersebut di atas

dengan sebuah kajian yang berjudul: “Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Penerbangan Sipil Akibat Kecelakaan Pesawat Udara Ditinjau dari Hukum Positif

Indonesia.”

B. Perumusan Masalah

Bertolak pada latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini terdapat

beberapa permasalahan pokok yang akan diteliti. Permasalahan tersebut dirumuskan

sebagai berikut:

1. Bagaimana pengaturan tindak pidana korporasi penerbangan sipil ditinjau dari

hukum positif?

2. Bagaimana sistem pertanggungjawaban pidana korporasi penerbangan sipil akibat

kecelakaan pesawat udara?

C. Tujuan dan Kegunaan

1. Tujuan Penulisan

Penulisan dalam skipsi ini mempunyai tujuan untuk mendapatkan pengetahuan yang

lebih komprehensif berkaitan dengan tanggung jawab pidana korporasi penerbagan

sipil akibat kecelakaan pesawat udara ditinjau dari aspek hukum positif Indonesia.

Page 8: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

8

Maka berdasarkan rumusan masalah tersebut di atas yang menjadi tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk memaparkan pengaturan tindak pidana korporasi penerbangan sipil

ditinjau dari hukum positif.

b. Untuk menganalisis sistem pertanggungjawaban pidana korporasi penerbangan

sipil akibat kecelakaan pesawat udara.

2. Kegunaan Penulisan

Manfaat yang dapat diharapkan dengan adanya penelitian ini tentang peran

korporasi/perusahaan dalam hal tanggung jawab pidana akibat terjadinya suatu

kecelakaan pesawat udara ditinjau dari hukum positif Indonesia. Maka penulisan

hukum ini memberi manfaat sebagai berikut:

a. Secara Teoritis

Pada umumnya apa yang menjadikan suatu harapan yaitu hasil dari penelitian

yang dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan ilmu

pengetahuan hukum yang menyangkut pertanggungjawaban

korporasi/perusahaan penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat udara, yang

kemudian ditinjau dari aspek hukum positif Indonesia.

b. Secara Praktis

1) Bagi Pemerintah

Dalam penelitian ini akan menjadi suatu cakrawala baru atau sebagai materi

untuk menambah informasi bagi pemerintah dalam membentuk suatu

perundang-undangan penerbangan terkait pertanggungjawaban pidana

Page 9: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

9

korporasi penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat udara yang ditinjau

dari aspek hukum positif Indonesia.

2) Bagi masyarakat diharapkan kepada masyarakat secara luas mengetahui

serta menambah wawasan bagaimana pertanggungjawaban pidana

korporasi/perusahaan penerbangan sipil akibat kecelakaan pesawat udara

menyebabkan kematian yang ditinjau dalam hukum positif Indonesia.

3) Bagi Universitas Widyagama Malang

Dengan adanya penelitian ini penulis dapat memberikan ilmu pengetahuan

sebagai penambahan pendidikan dalam ilmu hukum khusunya bagi

mahasiswa yang berminat untuk melakukan penelitian hukum tentang

pertanggungjawaban pidana korporasi/perusahaan penerbangan sipil akibat

kecelakaan pesawat udara ditinjau dari hukum positf Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Tinjauan Pustaka mempunyai arti peninjauan kembali pustaka-pustaka yang

terkait (review of related literature). Sesuai dengan arti tersebut, suatu tinjauan pustaka

berfungsi sebagai peninjauan kembali (review) pustaka (laporan penelitian, dan

sebagainya) tentang masalah yang berkaitan.

1. Tindak Pidana

a. Definisi Tindak Pidana

Tindak pidana (strafbaar feit) adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut. Orang yang

Page 10: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

10

melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatan dengan

pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan

apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat

menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang dilakukan.5

P.A.F Lamintang mendefinisikan tindak pidana sebagai perbuatan

melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai

perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, dimana penjatuhan pidana

terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya

kepentingan umum.6

Jenis-jenis tindak pidana dibedakan atas dasar-dasar tertentu, sebagai

berikut:

1) Menurut KUHP dibedakan antara lain kejahatan dimuat dalam Buku II dan

Pelanggaran dimuat dalam Buku III.

2) Menurut cara merumuskannya, dibedakan dalam tindak pidana formil

(formeel delicten) dan tindak pidana materil (materiil delicten). Tindak

pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan bahwa larangan

melakukan perbuatan tertentu. Tindak pidana materil inti larangannya ada

pada menimbulkan akibat yang dilarang, karena itu siapa yang menimbulkan

akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana.

5 Andi Hamzah, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana (Bandung, 2001), hlm.

22 6 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bandung, 1996), hlm. 16

Page 11: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

11

3) Menurut bentuk kesalahan, tindak pidana dibedakan menjadi tindak pidana

sengaja (dolus delicten) dan tindak pidana tidak sengaja (culpa delicten).

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KHUP pada umumnya

dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur, yang terdiri dari unsur-unsur subyektif

dan unsur obyektif. Unsur Subyektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri

si pelaku atau yang berhubungan dengan si pelaku. Sedangkan unsur obyektif

adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di

dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus

dilakukan.7

Menurut P.A.F. Lamintang unsur-unsur tindak pidana dapat dibedakan

yaitu, unsur subyektif dan unsur obyektif ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

1) Unsur obyektif adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan yang

terjadi, dalam keadaan dimana tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Unsur

obyektif terdri dari:

a) Melanggar hukum (wedenrechtelijkheid).

b) Kausalitas, yaitu hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab

dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

7 Ibid, hlm. 193.

Page 12: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

12

2) Unsur Subyektif adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang

berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk ke dalamnya yaitu segala

sesuatu yang ada dalam diri dan pikirannya. Unsur ini terdiri dari:

a) Kesengajaan (dolus) dan ketidaksegajaan (culpa).Maksud (voornemen)

pada suatu percobaan seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1)

KUHP.

b) Macam-macam maksud (oogmerk) seperti yang terdapat dalam

kejahatan, pencurian, penipuan, pemerasan,pemalsuan dan lain

sebagainya.

c) Perasaan takut atau (vress).

d) Merencanakan terlebih dahulu atau (voorbedachte raad).

c. Subyek Tindak Pinada

Menurut Wirjono Prodjodikoro dikatakan bahwa subyek hukum pidana

atau subyek hukum tindak pidana meliputi:8

1) Orang

Wirjono Prodjodikoro mengatakan bahwa dalam pandangan KUHP, yang

dapat menjadi subyek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum.

Ini terlihat dari perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP yang

menampakkan daya berpikir sebagai syarat dari subyek tindak pidana itu,

8 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung, 2003),

hlm. 27.

Page 13: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

13

juga terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal

KUHP.

2) Badan Hukum/Korporasi

Dengan diakuinya, korporasi sebagai subyek hukum pidana, berarti

korporsasi dapat dipertanggungjawabkan. Peter Gillies9 menyatakan bahwa

korporasi atau perusahaan adalah orang atau manusia dimata hukum, dan

karenanya mampu melakukan sesuatu sebagaimana yang dilakukan oleh

manusia, diakui oleh hukum seperti memiliki kekayaan, melakukan kontrak

dan dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan.

2. Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) adalah suatu

mekanisme untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka

dipertanggungjawabkan atau suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Roeslan

Saleh, mengatakan bahwa dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal

pertanggungjawaban. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya

perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana,

tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai

9 Peter Gillies, Criminal Law, The Law Book Company Limited (Sidney, 1990), hlm. 125.

Page 14: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

14

kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang

mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.10

Untuk dapat dipidana si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang

dilakukannya memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-uandang.

Selain itu, pertanggungjwaban pidana dalam hukum positif dirumuskan dalam azas

geen straf zonder schuld atau azas “tiada pidana tanpa kesalahan.” Terkait kesalahan

sendiri dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

a. Kemampuan bertanggungjawab menurut Moeljatno, bahwa untuk adanya

kemampuan bertanggung jawab harus ada:11

1) Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk

sesuai dengan hukum dan yang melawan hukum (faktor akal).

2) Kemampuan untuk menetukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tadi (faktor perasaan).

b. Sengaja (Dolus/Opset) dan Lalai (Culpa/Alpa)

1) Sengaja

Sengaja tidak didefinisikan di dalam KUHP. Petunjuk untuk mendapatkan

arti kesengajaan dapat diambil dari M.v.T (Memorie van Toelicthing) yang

mengartikan kesengajaan sebagai menghendaki apa yang dilakukan orang

10 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian

Dasar Hukum Pidana (Jakarta, 2004), hlm. 75. 11 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana (Jakarta,

1993), hlm. 79

Page 15: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

15

yang melukukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan

juga mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukannya.12

Pengertian perbuatan pidana kesengajaan dapat dibedakan dalam tiga corak

sikap batin yang menunjuk atau bentuk dari sikap kesengajaan yaitu sebagai

berikut:

a) Kesengajaan sebagai maksud untuk mencapai tujuan (dolus directus).

Sengaja sebgaimana yang dimaksud bahwa apabila sipembuat

menghendaki akibat perbuatannya. Perbuatan si pembuat bertujan utnuk

menimbulkan akibat yang dilarang;

b) Kesengajaan dengan sadar kepastian, yang dalam hal ini perbuatan

mempunyai dua akibat yang memang dituju si pembuat, dan akibat yang

memang diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai

tujuan itu, selanjutnya akibat perbuatan itupun dapat dipastikan terjadi;

c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis) dalam hali

ini ada keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-

benar terjadi. Jika pembuat tetap melakukan yang dikehendakinya

walaupun ada suatu kemungkinan akibat lain yang sama sekali tidak

diinginkan.

2) Kelalaian

Menurut M.v.t, kealpaan adalah keadaan yang sedemikian membahayakan

keamanan orang atau barang atau mendatangkan kerugian terhadap

12 Sudarto, Hukum Pidana Jilid 1 A (Semarang, 1975), hlm. 102.

Page 16: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

16

seseorang yang sedemikan besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi sehingga

undang-undang bertidak terhadap kurang kehati-hatian, sikap sembrono atau

teledor.13

c. Tidak Ada Alasan Pemaaf

Pengahapusan pidana dan menyangkut perbuatan atau pembuatnya, maka

dibedakan dalam dua jenis alasan penghapusan pidana yaitu:

1) Alasan Pembenar Menghapus sifat melawan hukum, perbuatan yang

dilakukan dalam keadaan darurat (Pasal 48 KUHP), karena pembelaan

terpaksa (Pasal 49 ayat (1) KUHP), menjalankan peraturan perundang-

undangan (Pasal 50 KUHP), menjalankan perintah jabatan yang sah (Pasal

51 KUHP).

2) Alasan pemaaf, adalah orang tidak dapat dicela atau ia tidak bersalah tidak

mampu bertanggungjawabkan sehingga tidak dipidana (Pasal 44 KHUP),

perbuatan yang dilakukan karena terdapat daya paksa (Pasal 48 KUHP),

perbatan karena pembelaan terpaksa melampaui batas (Pasal 49 ayat (2)

KUHP), perbuatan yang dilakukan untuk menjalankan perintah jabatan yang

tidak sah (Pasal 51 ayat (1) KUHP).

3. Tindak Pidana Penerbangan

Prilaku indisipliner atau ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-

undangan yang telah disyaratkan, memang pada umumnya menjadi penyebab

13 Ibid, hlm. 105

Page 17: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

17

terjadinya kecelakaan pesawat udara dan tentu saja konsekuensinya tindakan ini

akan membawa bentuk pertanggungjawaban terhadap para pelaku.

Di Indonesia hanya ada satu kasus kecelakaan pesawat udara yang

dikriminalisasikan yaitu pesawat udara Boing 737 Garuda indonesia yang terperosok

di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pada hari rabu tanggal 7 Maret 2007 pagi.

Dalam kecelakaan ini 199 orang selamat, seorang awak kabin dan 21 penumpang

meninggal, seorang awak kabin dan 11 penumpang luka berat. Pengadilan Negeri

Sleman menghukum dua tahun penjara tetapi dibebaskan di Pengadilan Tinggi

Yogyakarta. Pilot dikenakan pidana Pasal 479 KUHP, yakni kelalaian yang

menyebabkan kematian.

Dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan kententuan Pasal 313

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, Menteri Perhubungan

berwenang untuk menetapkan program penegakan hukum dan mengambil tindakan

hukum (sanksi administrasi dan sanksi pidana) dibidang keselamatan penerbangan.

Definisi dari penegakan hukum ini adalah merupakan cara untuk mengambil

tindakan kepada personil pernerbangan berlisensi dan penyedia jasa penerbangan

bersertifikat yang tidak memenuhi persyarat minimum yang ditentukan dalam

Peraturan Keselamatan Penerbanagan Sipil (PKPS).

Kecelakaan pesawat tentu memiliki keterkaitan dengan faktor penyebab

kecelakaan pesawat itu sendiri. K. Martono berpendapat bahwa terdapat berbagai

faktor penyebab kecelakaan seperti faktor manusia (man), pesawat terbang itu

sendiri (machine), lingkungan (environment), penggunaan pesawat udara (mission)

dan pengelolaan (management) yang diuraikan sebagai berikut:

Page 18: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

18

a. Faktor manusia.

Faktor manusia biasanya yang dimintakan pertanggungjawabannya adalah

kapten penerbang, padahal sebenarnya tidak selalu demikian karena manusia

dalam hubungan ini adalah setiap orang atau tenaga yang terlibat langsung

dalam proses keselamatan penerbangan, antara lain teknisi, awak pesawat

terbang, pengawas lalu lintas, maupun tenaga operasi.

b. Pesawat terbang.

Di samping manusia, pesawat terbang juga dapat mengalami keletihan, oleh

karena itu, setiap pesawat terbang (machine) sejak dari awal desain sampai

dengan pelaksanaan perawatan, termasuk pemeriksaan berkala dan pengantian

komponen, penyimpanan komponent-komponent pesawat dan masa berlaku dari

komponent-komponent tersebut harus mempunyai sejarah dari komponent itu

(historical servive recorde), untuk pengoperasiannya harus dilakukan sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

c. Masalah lingkungan.

Masalah lingkungan juga merupakan salah satu faktor kecelakaam baik bersifat

alamiah maupun perbuatan manusia. Faktor lingkungan yang bersifat alamiah

seperti angin yang datang tiba-tiba (wind shear), awan berputar-putar yang biasa

disebut Cumulonimbus (CB), topan, salju, gempa bumi dan letusan gunung

berapi.

Page 19: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

19

d. Pengelolaan.

Setiap penerbangan selalu diawasi oleh petugas pengawas lalu lintas udara atau

Air Tarafic Control (ATC) sejak lepas landas (take off) sampai saat pesawat

terbang berhenti diantara appron bandar udara tujuan.

Sehubungan dengan itu, adapun unsur atau aspek hukum pidana dari tindak

pidana penerbangan adalah:

a. Dari segi subjek.

b. Dari segi unsur kesalahan, baik dolus maupun culpa.

c. Dari segi akibat, yaitu kecelakaan menyebabkan matinya orang.

Unsur yang pertama adalah unsur subjek yaitu pembuat dan yang

bertanggungjawab. Pada Pasal 401 Undang-undang nomor 1 Tahun 2009 tentang

penerbangan, ini terdapat frasa “setiap orang”, yang dimaksud adalah orang

perseorang atau korporasi yang berarti maskapai penerbangan sipil sebagai korporasi

dapat menjadi subjek tindak pidana.

Kemudian unsur kesalahannya adalah mengoperasikan pesawat udara yang

tidak memenuhi standar kelaikudaraan. Maskapai penerbangan pasti tahu pesawat

mana saja yang sudah memiliki sertifikat laikudara. Selain itu akibat dari

mengoperasikan pesawat terbang yang belum laikudara adalah membahayakan

keselamatan dan keamanan yang dapat dijangkau oleh rasio manusia. Sehingga

sebenarnya, pengoperasian pesawat udara yang tidak memenuhi standar

kelaikudaraan dilakukan dengan sengaja.

Unsur selanjutnya yang harus terpenuhi adalah akibat yang ditimbulkan oleh

perbuatan tersebut yaitu kematian seseorang dan kerugian harta benda. Pasal ini

Page 20: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

20

tidak memuat frasa “kecelakaan pesawat” sebagai sebab kematian seseorang

tersebut, tetapi dapat dimengerti bahwa mengoperasikan pesawat yang tidak

laikudara dan menimbulkan kematian seseorang tentulah karena terjadi “kecelakaan

pesawat”.

Mengenai pertanggungjawabannya pidana korporasi penerbangan dapat dilihat

pada Pasal 441 ayat (2) Undang-Undang Penerbangan menyebutkan bahwa dalam

hal tindak pidana di bidang penerbangan dilakukan oleh suatu korporasi maka

penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau

pengurusnya. Artinya, dimungkinkan korporasi saja, pengurus saja, atau kedua-

duanya.

4. Pengertian Korporasi

Korporasi secara etimologis berasal dari kata corporatie (Belanda),

corporation (Inggris), corparatio (Latin), corporation (Jerman) atau istilah

“corporare” yang berarti badan. Corporatio berarti membadankan, atau hasil

pekerjaan membadankan, atau badan yang dijadikan orang. Dalam Black’s Law

Dictionary, didefinisikan korporasi sebagai badan hukum adalah:14

“An entity (usually a bussiness) having authority under law to act as a single

person ditinct from the shareholders who own it and having rights to issue stock

and exist indefinitely, a group or succsesion of person established in accordance

with legal personality distinct from the natural person who make it up, exists

14 Bryan A. Garne, ed, Black’s Law Dictionary Sevent Edition (St. Paul Minim, 1999), hlm.

341.

Page 21: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

21

indefinitely apart from them, and has the legal powers that is constitution gives it.”

(Terjemahanya: Korporasi merupakan sebuah entitas atau satu kesatuan yang

pada umumnya melakukan aktivitas bisnis yang memiliki kewenangan secara

hukum untuk melakukan perbuatan sebagaimana layaknya orang-perorang yang

berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemegang saham secara pribadi, dan

tak terbatas, atau suatu kelompok yang berbeda dengan person alamiah, dan

mempunyai kekuasaan secara hukum sepanjang konstitusi memberikan untuk

itu).

Para ahli mengemukan beberapa definsi tentang korporasi yaitu:15

a. Meijers, badan hukum (korporasi) meliputi sesuatu yang menjadi pendukung

hak dan kewajiban;

b. Utrecht, badan hukum adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang)

menjadi pendukung hak, yaitu setiap pendukung hak yang tak berjiwa (bukan

manusia);

c. Subekti, badan hukum adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat

memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan hukum seperti manusia;

d. Susanto, korporasi adalah suatu ciptaan hukum yakni, pemeberian status sebagai

subyek hukum yang berwujud manusia secara alamiah.

15 Zulkarnain, Loc. Cit. hlm.24

Page 22: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

22

5. Pengertian Perusahaan

Istilah Perusahaan adalah istilah ekonomi yang dipakai dalam Kitab

Undang-undang Hukum Dagang. Yang dimaksud dengan perusahaan adalah

keseluruhan perbuatan, yang dilakukan secara tidak terputus-putus, dengan terang-

terangan dalam kedudukan tertentu untuk mencari laba.16

Maka salah satu yang termasuk kegiatan menjalankan perusahaan adalah meliputi

sektor penerbangan. Dalam hal ini pendirian perusahaan penerbangan sudah tentu

wajib mendaftarkan perusahaannya untuk mendapatkan Surat Izin Usaha

Perdagangan (SIUP). Diketahui bahwa perusahaan yang bergerak dibidang

penerbangan adalah merupakan PT (perseroan terbatas) yang selanjutnya disebut

Perseroan, adalah badan hukum17, di mana perusahaan terbatas mempunyai bebarapa

bidang secara struktural atau pengurus masing-masing bidang yang berarti suatu

perhimpunan, perkumpulan atau persatuan yang dalam pengertian adalah korporasi.

Korporasi adalah orang buatan.18 Korporasi dapat melakukan apa saja yang dapat

dilakukan oleh manusia alamiah, atau dengan kata lain korporasi dapat juga disebut

dengan perusahaan, perusahaan adalah mempunyai hak dan kewajiban sebagaimana

16

Djoko Imbawani Atmadjaja, Hukum Dagang Indonesia (Malang, 2012 ), hlm. 21 17 Lihat, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perseroan Terbatas Nomor 40

( Jakarta, 2007), Pasal 1, angka (1) 18

Dwidja Priyatno, Kebijakan Formulasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

(Bandung, 2017), hlm. 24

Page 23: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

23

subyek hukum, dan mampu mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan hukum

layaknya orang alamiah (natuurlijke person).

6. Korporasi sebagai Subyek Hukum Pidana

Subyek hukum adalah setiap penyandang hak dan kewajiaban. Dalam kajian

ilmu hukum sudah dikenal dua macam subyek hukum yaitu subyek hukum yang

berupa orang secara alamiah (naturlijke persoon), dan orang dalam arti badan

hukum (recht persoon/legal persoon) seperti Perseroan Terbatas, Koperasi.

Pada mulanya, yang menjadi subyek hukum adalah orang alamiah, Hal ini

terjadi karena dianut aliran klasik yang individualisme, indeterminis, diberlakunya

asas universitas delinquere non potest atau societas delinquere non potest (suatu

badan hukum tidak bisa dipidana), culpabilitas atau geen straft zonder schuld, dan

asas pemebalasan. Sehingga atas dasar itu, Projodikoro19 menyatakan bahwa yang

dapat menjadi subyek hukum pidana adalah hanya seorang manusia. Pendapat

Prodjodikoro tersebut menguatkan pandangan Simons20 yang menyatakan bahwa

perkumpulan atau organisasi yang mempunyai bentuk badan hukum, bukanlah

subyek hukum pidana dan tidak dapat dianggap sebagai pelaku dari strafbaarfeit dan

tindak dapat melakuakan tindak pidana.

19 Wirjono Projodikoro, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia (Bandung, 1986), hlm. 55. 20 D. Simons, Leerboek van Nederlandches Strafrecht, terjemahan Lamintang, Kitab

Pelajaran Hukum Pidana, Pioner Jaya (Bandung, 1989), hlm. 193.

Page 24: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

24

Menurut Dwidja Priyatno, ada dua pandangan yang berbeda dan saling

bertentangan terkait dengan apakah atau tidak suatu korporasi/ badan hukum

dimasukan sebagai subyek hukum pidana. Bahwa:21

a. Pihak yang tidak setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:

1) Meyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan

hanya terdapat pada person alamiah.

2) Bahwa yang merupaka tingkalaku materiil, yang merupak syarat dapat

dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh

person alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan

sebagainya).

3) Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang tidak

dapat dikenakan pada korporasi.

4) Bahwa tuntutan dan pemidaan terhadap korporasi dengan sendirinya

mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.

5) Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menetukan norma-norma atas

dasar apa yang bisa diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu

sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.

b. Yang setuju menempatkan korporasi sebgai subyek hukum pidana menyatak

alasan-alasan sebgai berikut:

21 Dwija Priyatno, “Suatu Tinjauan Terhadap Pertanggungjawaban korporasi dalam

Hukum Pidana dan Prospeknya” (Tesis Program Pascasarjana UNDIP, Semarang, 1991), hlm.

31-32.

Page 25: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

25

1) Pemidaan pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap

delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya

perlu pula kemungkinan pemidaaan korporasi, korporasi dan pengurus, atau

pengurus saja.

2) Dalam kehiupan sosial ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan

yang penting pula.

3) Hukum Pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu

melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-

ketentuan yang adan dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya

ditentukan pada sehi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka

tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu

menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.

4) Pemidaan korporasi merupakan salah satu upaya untuk menghindarkan

tindakan pemidaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.

7. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Tanggung jawab adalah suatu keadaan wajib menanggung sesuatu, sehingga

apabila atas tanggungjawab tersebut kemudian menyimpang, maka patut

dipersalahkan. Pertanggungjawaban adalah perbuatan bertanggungjawab yang

diembannya. Sedangkan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan oleh

negara kepada seseorang yang melalukan kesalahan atau terbukti bersalah

melakukan tindak pidana.

Sebagaimana dikemukakan di atas, pertanggungjawaban pidana sangat

bergantung pada kesalahan dari pembuat (azas liability based on fault atau geen

Page 26: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

26

straf zonder schuld). Namun, pertanggungjawaban pidana bagi korporasi sedikit ada

penyimpangan dari teori pertanggungjawaban pidana pada umumnya. Mengenai

unsur “kesalahan” dalam pertanggungjawaban korporasi tidak mutlak diberlakukan,

meskipun adanya kesalahan harus tetap diperhatikan dalam persoalan ini. Pendapat

Muladi, yang menyatakan bahwa dalam masalah pertanggungjawaban pidana, asas

kesalahan atau asas tidak ada pidana tanpa kesalahan tidak mutlak berlaku. Pada

pandangan baru ini cukuplah fakta yang menderitakan si korban dijadikan dasar

untuk menutut pertanggungjawaban pidana si pelaku sesuai dengan adagium “res

ipsa loquitur”, bahwa fakta sudah berbicara sendiri. Dalam doktrin strict liability

atau tanggungjawab mutlak. Menurut doktrin ini apabila seseorang (korporasi)

menjalankan jenis kegiatan yang dapat digolongakan sebagai extrahazardous atau

ultrahazardous atau abnormally dangerous, maka ia wajib memikul segala kerugian

yang ditimbulkan walaupun ia sudah bertindak sangat hati-hati (tidak ada

kesalahan). Sehingga secara singkat, strict liability diartikan sebagai liability without

fault (pertanggungungjawaban pidana tanpa kesalahan).22

a. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai

penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorang sehingga sah jika

dijatuhi pidana. Penentu apakah seseorang patut dicela karena perbuatannya,

dimana wujud celaan tersebut adalah pemidanaan. Tekanannya justru pada

fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada

22 Ibid, hlm. 87

Page 27: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

27

pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga keseimbangan

antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan

penentuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya. Dengan

demikian, “it operates to filter those deserving pinishment for their wrong form

those who do not and to grade liability according to their degree fault.” Aturan

mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana,

yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan

pidana yang dikenakan sebatas kesalahan tersebut.23

b. Korporasi Sebagai Pelaku Tindak Pidana

Konsep badan hukum (korporasi) itu sebenarnya merupakan konsep dari

stelsel hukum perdata. Konsep ini tumbuh subur hingga pada akhirnya bidang-

bidang hukum lain di luar stelsel hukum perdata sulit untuk tidak

memperhatikan eksistensi badan hukum tersebut.24

Rudi Prasetya, mengatakan bahwa timbulnya konsep badan hukum

bermula sekedar konsep hukum perdata sebagai kebutuhan untuk menjalankan

kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi (badan hukum)

merupakan suatu ciptaan hukum, yakni pemberian status subjek hukum kepada

suatu badan, disamping subjek hukum yang bersifat manusia alamiah. Dengan

23 Chairul Huda, Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan

Pertanggungjawaban Pidana (Jakarta, 2011), hlm. 17 24 H. Setiono, Kejahatan Korporasi, Analisis Kriminologis dan Pertanggungjawaban

Korporasi dalam Hukum Pidana Indoneisa (Malang, 2004), hlm. 7

Page 28: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

28

demikian, badan hukum dianggap dapat menjalankan atau melakukan suatu

tidakan hukum.25

c. Korporasi Mampu Bertanggungjawab

Agar korporasi bisa memiliki kemampuan bertanggung jawab, maka

terdapat dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, ukuran untuk menentuakan

bahwa suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi harus didasarkan pada teori

pelaku fungsional (fungsional daderschap) atau teori identifikasi. Sebab,

sebagaimana korporasi hanya bisa melakukan perbuatan tertentu termasuk

melakukan tindak pidana melalui perantara pengurusnya. Kedua, sebagai

konsekuensi dari yang pertama, maka korporasi juga memiliki kemampuan

bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan. Hal ini karena eksistensi

korporasi tidaklah dibentuk tanpa suatu tujuan atau aktifitas pencapaian

tujuannya selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia. Oleh karena itu,

kemampuan bertanggungjawab yang ada pada pengurus korporasi dilimpahkan

menjadi kemampuan bertanggungjawab dari korporasi sebagai subjek hukum

pidana.26

d. Penentuan Kesalahan Korporasi

Untuk menentukan bahwa suatu korporasi yang terbukti melakukan

suatu perbuatan yang dilarang memiliki kesalahan, harus dipastikan terlebih

25 Hamzah Hatrik , Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia,

Strict Liability dan Vicarious Liability (Jakarta, 1996), hlm. 29 26 Ibid

Page 29: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

29

dahulu bahwa tindak pidana korporasi yang digunakan sebagai basis teoretis

untuk menentukan salah tidaknya korporasi adalah teori pelaku fungsional atau

teori identifikasi. hal ini penting karena pandangan tradisional KUHP yang

masih dominan sehingga saat ini masih dipengaruhi asas “societas delinquere

non-potest”, akibatnya korporasi tidak mungkin terdapat kesalahan pada dirinya

karena ia tidak memiliki kalbu. setelah itu, tidak pidana yang dilakukan

korporasi harus merupakan perbuatan yang melawan hukum dan tanpa adanya

alas yang menghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan. Pada diri

korporasi juga harus terdapat hal-hal yang sampai pada suatu kesimpulan bahwa

ia termasuk pelaku yang memiliki kemampuan bertanggungjawab pidana atas

tindak pidana yang dilakukan.27

Korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana tanpa melalui perantara

pengurusnya baik berdasarkan teori pelaku fungsional aupun teori identifikasi,

maka penentuan kesalahan korporasi adalah dengan melihat apakah pengurus,

yang bertindak untuk dan atas atau nama korporasi memiliki kesalahan. jika

jawabannya adalah ia, maka korporasi dinyatakan bersalah atas tindak pidana

yang dilakukannya. demikian juga sebaliknya. Mardjono Reksodiputro

menyatakan bahwa kesalahan yang ada di diri pengurus korporasi dialihkan atau

menjadi kesalahan korporasi itu sendiri.28

27 Ibid., hlm. 152

28 Ibid

Page 30: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

30

E. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yang

mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek. Penelitian hukum normatif adalah

suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan suatu aturan, prinsip-prinsip

maupun doktrin-doktrin untuk menjawab permasalahan yang dihadapi.29 Tipe

penelitian hukum yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan pertimbangan

bahwa titik tolak penelitian analisis berdasarkan studi komparasi pada peraturan

perundang-undangan yang mengatur secara relavan tentang pertanggungjawaban

hukum di mana terjadinya suatu kecelakaan kecelakaan pesawat udara.

2. Metode Pendekatan

Adapun pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah

pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua

undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isi hukum yang sedang

ditangani. Kemudian pendekatan konseptual (conceptual approach) beranjak dari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum.

Dan berikutnya pendekatan perbandingan (comparative approach) untuk

membandingkan hasil telaah yang dicapai penulis.

29 Soejono Soekanto, et, al., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta,

1985 ), hlm, 15

Page 31: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

31

3. Jenis dan Sumber Data

a. Jenis Data

Analisis yang digunakan yaitu data sekunder. Data sekunder adalah data atau

informasi yang menjadi bahan acuan lainnya yang diperoleh dan dikumpulkan

peneliti melalui menelaah literatur-literatur berupa peraturan perundang-

undangan, buku-buku, situs internet maupun artikel-artikel.

b. Sumber Data

1) Bahan Hukum Primer adalah bahan hukum yang bersifat autoriatif

yang berupa:

a) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

b) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

2) Bahan hukum Sekunder, yaitu buku-buku, skripsi, tesis dan disertai jurnal-

jurnal hukum terkait dengan permasalahan yang penulis angkat, yaitu

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Penerbangan Sipil akibat Kecelakaan

Pesawat Udara ditinjau dari Hukum Positif.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Penulis

menggunakan kamus hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dan

juga bahan-bahan dari internet yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

4. Teknik Penggumpulan Data

Untuk memperoleh suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi ini, maka penulis

menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan,

mengumpulkan semua data-data penelitian yang telah di dokumentasikan dalam

Page 32: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

32

bentuk structure yang secara khusus terkait tentang peraturan perundang-undangan

penerbangan maupun data-data lainnya yang menyangkut hukum pidana.

5. Metode Analisis Data

Dari data primer dan data sekunder yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis

dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan mendiskripsikan

permasalahan hukum yang ditemukan melalui penelitian dengan menggunakan

analisis teori hukum dan peraturan-peraturan di bidang penerbangan.

F. Sistematika Penulisan

Untuk lebih mudah dimengerti dan dipahami dalam penulisan hukum secara

benar dan tersusun dengan jelas, maka diperlukan suatu penataan dengan cara sistimatika

penulisan. Oleh karena itu penulis akan menyusun penulisan ini dalam 4 (empat) bab

dengan sitimatika sebagai berikut:

BAB I : merupakan bagian utama yang berisi tentang pemikiran pengambilan

judul oleh peneliti untuk merumuskan hal-hal yang menjadi poko

bahasan dalam skripsi ini mulai dari latar belakang penulisan, tujuan

penulisan, manfaat penulisan serta materi bahasan dan metode dalam

penelitian juga sistimatika penulisan.

BAB II : merupakan hasil temuan dan penelitian dalam bab ini yang

didapatsecara kepustakaan yang meliputi tentang pengaturan tindak

pidana korporasi ditinjau dari hukum positif dan sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi penerbangan sipil akibat

kecelakaan pesawat udara.

Page 33: BAB I roy - widyagama.orgwidyagama.org/pustaka/repo/files/original/e96387978d4a1c0cde71b90d52c38392.pdfPasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa: Setiap orang berhak atas pengakuan,

33

BAB III : dalamnya akan diuraikan hasil analisis data berupa komparasi

(perbandingan) terkait pengauran tindak pidana korporasi ditinjau dari

hukum posituf dan menganalisis sisten pertanggungjawaban pidana

korporasi akibat kecelakaan pesawat udara baik itu dalam Kitab

Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan undang-

undang tentang penerbangan sipil.

BAB IV : dalam bab ini akan menjelaskan tentang kesimpulan dari hasil analisis

dalam pembahasan disertai dengan saran sebagai rekomendasi

sumbangan pemikiran atau bentuk pemecahan masalah dari inti

permasalahan.