bab i pendahuluan - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa,...

37
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Gejolak politik yang muncul dalam bentuk kekerasan sosial dan berimbas pada terpuruknya ketahanan ekonomi, religus, sosial dan budaya masyarakat merupakan sebuah kenyataan faktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga sekarang ini. Bahwa masyarakat kecil menjadi korban kebijakan, keputusan dan kekuasaan segelintir orang atau sekelompok orang tertentu, bukan lagi menjadi sebuah wacana yang dirahasiakan tetapi telah menjadi rahasia umum yang diwacanakan oleh semua kalangan. Ted Robert Gurr menegaskan bahwa setiap kekerasan yang terjadi dalam masyarakat merupakan kekerasan politik yang muncul karena ketidaksesuaian antara keinginan atau harapan dengan kemampuan, atau karena terjadinya kesenjangan di dalam masyarakat, yang kemudian berkembang dan menimbulkan frustrasi dan ketidakpuasan kolektif. Menurutnya, betapa pun besarnya perasaan tidak puas dan frustrasi kolektif tersebut, namun itu tidak akan menjadi kekerasan kolektif jika tidak terjadi politisasi terhadapnya. 1 Melengkapi pandangan ini, Charles Tilly menyatakan bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted Robert Gurr, dalam John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, 4-5.

Upload: nguyenkhuong

Post on 26-May-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.

Gejolak politik yang muncul dalam bentuk kekerasan sosial dan berimbas

pada terpuruknya ketahanan ekonomi, religus, sosial dan budaya masyarakat

merupakan sebuah kenyataan faktual yang dihadapi oleh bangsa Indonesia hingga

sekarang ini. Bahwa masyarakat kecil menjadi korban kebijakan, keputusan dan

kekuasaan segelintir orang atau sekelompok orang tertentu, bukan lagi menjadi

sebuah wacana yang dirahasiakan tetapi telah menjadi rahasia umum yang

diwacanakan oleh semua kalangan.

Ted Robert Gurr menegaskan bahwa setiap kekerasan yang terjadi dalam

masyarakat merupakan kekerasan politik yang muncul karena ketidaksesuaian antara

keinginan atau harapan dengan kemampuan, atau karena terjadinya kesenjangan di

dalam masyarakat, yang kemudian berkembang dan menimbulkan frustrasi dan

ketidakpuasan kolektif. Menurutnya, betapa pun besarnya perasaan tidak puas dan

frustrasi kolektif tersebut, namun itu tidak akan menjadi kekerasan kolektif jika tidak

terjadi politisasi terhadapnya.1 Melengkapi pandangan ini, Charles Tilly menyatakan

bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari

1 Ted Robert Gurr, dalam John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2004, 4-5.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

2

pusat terjadinya proses-proses politik dalam masyarakat, ketimbang mencerminkan

ketidakpuasan masyarakat tersebut”.2 Jadi berdasarkan pemikiran inilah, tergambar

dengan jelas bahwa kekerasan-kekerasan sosial yang menyebabkan keterpurukan

hidup masyarakat selama ini bukan hanya karena faktor-faktor alamiah dan

masyarakat itu sendiri tetapi juga karena rekayasa kelompok tertentu yang memiliki

kekuasaan atau fasilitas tertentu untuk kepentingan tertentu pula.3 Karena itu, upaya

untuk menuntaskan atau menyelesaikan masalah tersebut tidak mudah untuk

dilakukan dan hal ini terjadi bukan karena masyarakat tidak menyadarinya tetapi

kompleksitasnya akar dan alur4 sebuah masalah yang menyebabkan idealisme untuk

memecahkannya tidak berjalan semudah membalik telapak tangan.

Keprihatinan terhadap hal tersebut juga diungkapkan oleh J.B. Banawiratma,

yang menegaskan bahwa terpuruknya masyarakat kecil disebabkan oleh ketidakadilan

struktural yang terjadi dalam struktur-struktur birokrasi, komunitas (gereja termasuk

2 John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban , 6. 3 Berdasarkan penelitiannya, Charles Tilly menolak menjadikan kekerasan sebagai objek analisisnya, karena menurutnya, insiden kekerasan kolektif sesungguhnya hanyalah merupakan akibat dari proses normal persaingan antar kelompok untuk memperoleh kekuasaan dan tujuan tertentu. Praktek politisasi dan persaingan antar kelompok-kelompok politik dengan tujuan-tujuan kekuasaan yang terjadi pada pusat proses-proses politik dalam masyarakatlah yang mesti menjadi sorotan kajian dan objek analisis. Contohnya adalah konflik sosial yang terjadi di Maluku pada tahun 1999. Meskipun pengungkapan akar persoalannya oleh beberapa ahli masih merupakan sebuah proses yang belum final namun John Pieris menemukan bahwa frustrasi dan ketidakpuasan rakyat Maluku – baik yang beragama Islam maupun Kristen – disebabkan oleh saling interpenetrasi antara faktor persaingan politik kekuasaan, ekonomi dan budaya yang berskala nasional (pusat), yang berimplikasi pada aras lokal (daerah). John Pieris, Tragedi Maluku: Sebuah Krisis Peradaban, 6-7. 4 Maksudnya upaya untuk menyelesaikan persoalan (contohnya konflik Maluku tahhun 1999) yang melibatkan berbagai kekuatan politik di aras nasional, regional dan lokal tidak mudah untuk diselesaikan.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

3

di dalamnya) dan pasar.5 Jadi masyarakat kecil menjadi korban interaksi yang tidak

adil dari ketiga kekuasaan besar, yang menyebabkan mereka tidak berdaya dan bukan

hanya menyangkut dimensi ekonomi semata tetapi juga sosial, politik, agama dan lain

sebagainya. Karena itu, upaya penanggulangan persoalan mereka tidak boleh hanya

didasarkan pada karya-karya karitatif dan sosial semata, tetepi diperlukan juga karya

pemberdayaan (transformatif). Dan pemberdayaan ini membutuhkan kesadaran kritis

dan kesatuan komunitas yang kuat. Hal ini penting karena yang dihadapi adalah

kekuatan dalam jaringan-jaringan kekuasaan yang sangat kuat (sistem dan struktur

yang tidak adil).6 Sebagai contoh : Kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural

adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur

sosial masyarakat itu tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang

sebenarnya tersedia bagi mereka. Golongan demikian itu misalnya terdiri dari para

petani yang tidak memiliki tanah sendiri, atau para petani yang tanah miliknya begitu

kecil sehingga hasilnya tidak cukup untuk memberi makan kepada dirinya sendiri dan

keluarganya; kaum buruh yang tidak terpelajar dan tidak terlatih (unskilled laborers);

dan pengusaha tanpa modal dan tanpa fasilitas dari pemerintah dll.7

Namun harus diakui bahwa selain faktor eksogen8 (faktor alamiah seperti

keadaan alam, iklim dan bencana alam; dan faktor buatan atau struktur seperti

5 Hal ini dikemukakan oleh beliau dalam perkuliahan ’Gereja Dalam Konteks Indonesia’, Program Pasca Sarjana Fakultas Teologi Duta Wacana Yogyakarta, semester gasal (2007) pada bulan Oktober. 6 J.B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif : Menuju Pemberdayaan Kaum Miskin Dengan Perspektif Adil Gender, HAM dan Lingkungan Hidup, Kanisius, Yogyakarta, 2002, 15. 7 Alfian dkk (ed.), Kemiskinan Struktural : Suatu Bunga Rampai, Yayasan Ilmu–Ilmu Sosial, Jakarta, 1984, 5. 8 Faktor yang berasal dari luar individu.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

4

kolonialisme, sifat pemerintahan, sistem ekonomi dan sebagainya) yang

menyebabkan keterpurukan hidup masyarakat kecil tersebut terdapat juga faktor

endogen9 yang ikut membentuk kondisi kehidupan mereka misalnya sifat fatalis,

malas, boros, konformis dan sebagainya.10 Kedua faktor ini saling mempengaruhi

dalam membentuk eksistensi masyarakat Indonesia. Dan pemerintah di semua jenjang

kepemimpinan cukup peka terhadap persoalan yang dihadapi tersebut. Namun

terkadang kondisi masyarakat hanya dijadikan sebagai proyek eksploitasi kekayaan

atau hanya menjadi fasilitas pendukung bagi orang-orang terdekat.11

Gereja adalah persekutuan yang memiliki panggilan untuk menatalayani

kehidupan umat dalam rangka menghadirkan syalom Allam di tengah dunia. Dan

masyarakat kecil juga adalah bagian integral dari pelayanan gereja tersebut yang

perlu mendapat perhatian gereja. Dalam gereja ada persekutuan atau komunitas basis

primer dan basis sekunder12 yang terdiri dari golongan masyarakat lemah dan tidak

berdaya, yang berjuang bersama dalam rangka pemulihan hak-hak hidup mereka. Ini

berarti, sekecil apapun kontribusi gereja bagi masyarakat haruslah menyentuh sisi

pemberdayaan dimensi sosial tersebut. Namun dalam kenyataannya juga, struktur,

birokrasi dan dogma gereja bisa menjadi sebuah kekuatan yang menambah

9 Faktor yang berasal dari dalam individu tersebut 10 Kesimpulan dari pendapat beberapa ahli seperti Bayo Ala (1981), Ndaru Mursito (1981), Koentjaraningrat (1983), Geertz (1983) dan Scoot (1983). Nyanyu Rahmawati, Identifikasi Faktor Penyebab Kemiskinan Petani di Pedesaan : Pendekatan melalui dimensi kultural dalam Agro – Ekonomika No. 1 tahun XXIII, Yayasan Agro – Ekonomika, Juni 1993, 69. 11 Alfian dkk (ed.), Kemiskinan Struktural, 10 – 11. 12 Komuitas Basis Primer adalah komunitas basis akar rumput. Sedangkan Komunitas Basis sekunder adalah komunitas kecil yang tidak terdiri dari orang-orang miskin tetapi berorientasi pada pemberdayaan kaum miskin atau pendukung komunitas basis primer, komunitas akar rumput. J. B. Banawiratma, 10 Agenda Pastoral Transformatif, 16.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

5

keterpurukan umat tersebut. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa gereja harus terus

melakukan transformasi pada dirinya sendiri sehingga fungsinya dapat dijalankan

secara maksimal dan tertanggung jawab.

Teologi adalah salah satu wujud penghayatan iman gereja dalam konteksnya

dan melalui teologi juga, gereja berkiprah untuk membentangkan misinya dalam

rangka pembaharuan dan pemberdayaan ’dunia’. Dan dalam arak-arakan semangat

transformasi inilah maka penulis mencoba untuk mengkaji teks 1 Raja-raja 12 : 1 - 33

dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41 dengan menggunakan kritik ideologi berdasarakan

perspektif masyarakat kecil. Dan yang penulis maksudkan dengan masyarakat kecil

dalam tulisan ini adalah masyarakat dalam kerajaan Israel (Israel selatan dan Israel

utara) dan juga bangsa Israel sebagai bagian dari masyarakat dunia yang dari sisi

kuantitas dan kualitas kekuatan eksternal dan internal kerajaannya sangat kecil dan

rapuh dalam pertarungan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan

jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain pada saat itu. Teks dan perspketif ini

dipilih karena dalam pengamatan penulis terhadap penuturan sejarah yang terdapat

dalam teks-teks tersebut memperlihatkan tiga hal yang penting yaitu :

1. Runtuhnya kerajaan Israel karena kebijakan (pajak) pemerintahan Rehabeam

yang memberatkan dan menyengsarakan rakyat (1 Raja-raja 12 : 3, 4, 12, 15,

16, 20).

2. Munculnya Israel utara dengan pemerintahan yang baru (Yerobeam) dilatar-

belakangi oleh tuntutan demokrasi rakyat yang menginginkan perubahan

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

6

kebijakan pemerintahan Rehabeam menyangkut pajak tersebut (1 Raja-Raja

12 : 3, 4, 12, 15, 16, 20).

3. Runtuhnya kerajaan Israel utara juga dilatar-belakangi oleh kesalahan

pemerintahnya (Yerobeam - 2 Raja-Raja 17 : 21 – 22).

Ketiga alasan ini dengan tegas memperlihatkan peranan pemerintah dan masyarakat

dalam menciptakan integritas kebangsaan. Dominasi salah satu komponen bangsa

terhadap komponen lain memiliki dampak yang sangat fatal. Karena itu, masyarakat

dan setiap komponen bangsa harus dilibatkan dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan secara adil. Namun sejauh manakah porsi tersebut diberikan kepada

mereka merupakan sebuah tanda tanya besar dalam pergumulan tesis ini.

Di sisi lain, cerita dan data historis yang didapatkan oleh penulis ketika

membaca beberapa literatur tentang keberadaan Israel selatan dan Israel utara

memperlihatkan adanya dua kenyataan yang bertentangan antara satu dengan yang

lain. Penuturan cerita dalam kitab Raja-raja secara keseluruhan terkesan sangat

memihak kepada kerajaan Israel selatan (Yehuda), yang merupakan representasi dari

pemerintahan Daud. Namun data historis tidak mengindikasikan adanya keunggulan

atau kehebatan kerajaan tersebut dari Israel utara tetapi justru sebaliknya.

Pertanyaannya adalah mengapa penulis memakai strategi tersebut? Apakah Israel

selatan sesungguhnya adalah kerajaan kuat yang mendominasi sejarah ataukah

sebaliknya hanya kerajaan lemah yang tepuruk dan memiliki semangat apokaluptik

atau fantasi untuk bangkit dari keterpurukannya tersebut? Apakah Israel utara adalah

kerajaan kuat yang membayangi eksistensi Israel selatan sehingga mereka tidak bisa

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

7

berbuat apa-apa? Atau sebaliknya Israel utara hanyalah kerajaan kecil yang

eksistensinya dibayang-bayangi oleh Israel selatan? Bagi penulis, masih banyak

kemungkinan pertanyaan lain yang bisa muncul ketika siapa pun membaca teks-teks

tersebut.

Kitab 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41 merupakan bagian

yang utuh dari kitab Raja-raja secara keseluruhan yang berbicara tentang munculnya

kerajaan Israel utara dan segala konsekuensi yang mereka alami pada pasca pecahnya

kerajaan Israel di bawah pemerintahan Rehabeam (1 Raja-raja 12).13 Keunikan yang

didapati oleh penulis dalam 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 adalah gambaran bahwa

munculnya Israel utara di bawah kepemimpinan Yerobeam adalah kehendak Tuhan

dan tuntutan demokrasi masyarakat Israel ( 1 Raja-raja 12 : 3, 4, 12, 15, 16, 20)

namun selanjutnya kepentingan Yerobeam-lah (representasi dari kepentingan

pemerintah) yang menjadi ukuran dalam menentukan kebijakan-kebijakan

pemerintahan (bnd. 1 Raja-raja 12 : 25 – 33). Sehingga hilanglah pemerintahan yang

berasal dari rakyat dan untuk rakyat.

Selanjutnya peristiwa penting yang dialami sebagai klimaks dari seluruh

eksistensi kerajaan Israel utara adalah runtuhnya kerajaan tersebut di bawah

pemerintahan Hosea (2 Raja-raja 17 : 7 - 23) dengan tidak ada harapan pemulihan

lagi, berbeda dengan kerajaan Yehuda (kerajaan Israel selatan yang meneruskan

13 Gottwald membagi kitab Raja-raja secara keseluruhan dalam 3 bagian yaitu : A. 1 Raja-raja 1 – 11 berisi tradisi tentang kerajaan yang satu; B. 1 Raja-raja 12 – 2 Raja-raja 17 berisi tradisi tentang kerajaan Israel utara; dan C. 2 Raja-raja 18 – 25 berisi tradisi tentang kerajaan Israel selatan (Yehuda). Lihat Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible : A Social-Literary Introduction, Fortress Press, Philadelphia, 1985, 310, 337, 365.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

8

dinasti Daud), yang juga hancur tetapi akhirnya dipulihkan lagi (2 Raja-raja 17 : 18 ;

25). Keruntuhan tersebut diklaim sebagai hukuman Allah bagi mereka karena hidup

menurut dosa yang dilakukan oleh Yerobeam (pemerintah) - 2 Raja-raja 17 : 21, 22.

Pertanyaannya adalah dimana kekritisan masyarakat atau umat terhadap

pemerintah (bandingkan dengan tindakan mereka kepada Rehabeam ketika meminta

keringanan pajak)? Apakah kedekatan dan kenikmatan dalam masa pemerintahan

Yerobeam menyebabkan hilangnya suara tersebut? Ataukah tekanan pemerintahan

yang menjegal suara tersebut sehingga suara kritisnya nyaris tak terdengar?

Mungkinkah pemerintahan Yerobeam adalah pemerintahan yang tidak sesuai dengan

nurani rakyat? Ataukah justru sebaliknya, sehingga membangkitkan kemarahan atau

kecemburuan dari kelompok tertentu yang masih mendambakan pemerintahan di

bawah keturunan Daud?

Keberpihakan sejarah kepada kerajaan Yehuda seperti yang dituturkan dan

diwariskan dalam kitab ini tentunya mengundang sejumlah tanya. Sebab kondisi ini

malah menciptakan interpretasi yang tidak adil dan tidak seimbang di kemudian hari

menyangkut eksistensi kedua kerajaan tersebut. Karena selama ini eksistensi kerajaan

Yehuda sebagai pewaris takhta Daud-lah yang dianggap lebih kuat jika dibandingkan

dengan kerajaan Israel utara. Padahal dalam konteks mikro dari 1 Raja-raja 12 : 1- 33

digambarkan bahwa kerajaan Israel utara adalah kolaborasi dari sepuluh suku Israel

dibanding Yehuda yang hanya terdiri dari satu suku Israel (suku Yehuda, 1 Raja-raja

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

9

11: 32; 12 : 17, 21).14 Ini mengindikasikan bahwa Israel selatan (Yehuda) hanyalah

kerajaan kecil jika dibandingkan dengan Israel utara15 dan sebagian besar rakyat ingin

terpisah dari pemerintahan pada saat itu yang mungkin saja merugikan mereka selama

ini (bnd. 1 Raja-raja 12 : 16 - 21).16

Namun kebenaran di balik keinginan untuk memisahkan diri dan membangun

pemerintahan sendiri sama sekali tidak diperhitungkan dalam penuturan sejarah yang

terdapat dalam kitab ini. Sebaliknya tindakan mereka dianggap sebagai sebuah ”dosa

ganda” yang mendatangkan kehancuran,17 sehingga setiap raja yang memerintah

kerajaan Israel utara dikutuk, meskipun ada yang setia kepada Tuhan (Yehu - 2 Raja-

raja 10), dan dari sisi ekonomi dan politik mendatangkan kesejahteraan bagi rakyat

(bnd. Raja Omri).18 Yang terjadi adalah penulis kisah ini semakin menekankan

realitas kepemimpinan Israel utara yang korup dan sewenang-wenang (bnd. Kisah

Raja Ahab dan Nabot dalam 1 Raja-raja 16 - 22), yang seolah-olah melegitimasi

alasan keruntuhan Israel utara tersebut pada pada tahun 722 SM. Bahkan dalam 2

14 Setelah Salomo mati kerajaan terpecah menjadi 2 (1 Raja-raja 12). Bagian utara negeri menjadi kerajaan Israel yang mencakup sepuluh suku dan bagian selatan menjadi kerajaan Yehuda. C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, Kanisius, Yogyakarta, 1992, 158. Band. J. Maxwell – John H. Hayes, A History Of Ancient Israel And Judah, Westminster Press, Philadelphia, 1986, 233-234. Di sisi lain, ketika kita membaca teks 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 maka kesan yang muncul menyangkut jumlah suku yang termasuk dalam kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan Rehabeam adalah dua suku yaitu Yehuda dan Benyamin. Tetapi apakah kesan tersebut benar atau salah serta apa kepentingannya akan dibuktikan dalam bagian tafsiran nanti. 15 Bnd. John Bright, A History Of Israel : Thoroughly Update and Revised Featuring New Information From Recent Archaeological and Historical Findings Including the Ebla Tablet, Third Edition, Westminster Press, Philadelphia, 1981, 232. 16 Bnd. juga pendapat Gottwald bahwa penyebab pecahnya Kerajaan Israel menjadi dua karena tekanan kebijakan ekonomi dan politik dari Salomo. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible, 342. 17 C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 158. 18 Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible, 344.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

10

Raja-raja 17 : 7 – 23 itu sendiri, tergambar dengan jelas kesalahan dari kedua

kerajaan tersebut.19

Di sisi lain, sejarah kerajaan Yehuda (Israel selatan) pada umumnya juga

merupakan sejarah kemerosotan dan ketidaksetiaan kepada Allah meskipun terus

diperintahi oleh raja-raja dari keturunan Daud.20 Kebanyakan raja Yehuda tidak setia

kepada Tuhan dan memuja dewa-dewi sehingga menyebabkan mereka juga dikutuk.

Hanya dua raja yang dipuji karena kesetiaannya (Hiskia dan Yosia - 2 Raja-raja 18 :

13; 22 : 2).21 Reputasi pemerintahan yang buruk ini pula yang menyebabkan kerajaan

tersebut hancur (2 Raja-raja 25). Namun bagi penulis kitab Raja-raja, kehancurannya

itu tidak mutlak dan tetap ada harapan atau masa depan bagi keturunan Daud (bnd. 2

Raja-raja 25 : 27 – 30).22 Bahkan Gottwald mengemukakan bahwa23 :

” For the sake of David, the sin of southern kings are viewed as less fatal than the

sins of northern kings, and several southern rulers are given high marks for their

piety : Asa, Jehoshaphat, Joash, Hezekiah and Josiah”.

19 Pada 2 Raja-raja 17 : 7, 8, 9 digambarkan tentang kesalahan Israel selatan yang mendatangkan kehancuran atas mereka yaitu menyembah ilah lain, hidup menurut adat istiadat bangsa lain, menuruti ketetapan yang dibuat oleh raja-raja Israel, mendirikan bukit-bukit pengorbanan, tugu-tugu dan tiang-tiang berhala. Sedangkan pada ayat 23 – 18a digambarkan tentang kesalahan Israel utara yang mendatangkan kehancuran bagi mereka yaitu menolak ketetapan dan perjanjian dengan Tuhan, membuat dua anak lembu tuangan, patung Asyera, sujud menyembah kepada semua tentara langit, beribadah kepada baal, mempersembahkan anak-anaknya sebagai korban dalam api, melakukan tenung, telaah dan memperbudak diri dengan melakukan yang jahat di mata Tuhan. 20 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 158-159. 21 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 158-159. Bnd juga Gottwald, The Hebrew Bible, 299-300. 22 Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 158-159. 23 Gottwald, The Hebrew Bible, 299.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

11

Bukankah ini adalah sesuatu yang ironis? Apakah ini sebuah keadilan ataukah

ketidakadilan? Bukankah pilihan Israel utara untuk memisahkan diri dari Yehuda

(Israel selatan) dilatar-belakangi oleh alasan yang dapat dipertanggung-jawabkan?24

Bahkan sebagai bagian dari umat Allah, mereka seharusnya juga diberikan

kesempatan yang sama seperti kerajaan Yehuda untuk pulih setelah masa-masa

kehancurannya tersebut? Fakta teks ini memberikan kesan yang sangat jelas tentang

keberpihakan penulis teks ini kepada kerajaan Yehuda di bawah pemerintahan

keturunan Daud.25

Michael Fishbane dan Nahum Sarna mengemukakan bahwa 1 Raja-raja 12 -

2 Raja-raja 17 : 41 mengandung sebuah teologi pembenaran tentang pembuangan

kerajaan Israel utara, yang merupakan teks sentral dalam sejarah Deuteronomi (kitab

ulangan).26 Martin Noth mengganggap teks tersebut sebagai sebuah pidato besar yang

sangat ditekankan dalam sejarah Deuteronomi.27 Sedangkan Richard Nelson

mengklaim bahwa teks tersebut menyediakan bukti yang penting untuk memahami

redaksi sejarah Deuteronomi.28 Namun bagi Marc Brettler, para ahli tersebut tidak

24 Bnd. tujuan protes yang dilakukan oleh Yerobeam kepada Rehabeam dalam J. Maxwell – John H. Hayes, A History Of Ancient Israel And Judah, 233. 25 Menurut Gottwald, kitab Raja-raja mesti dilihat sebagi produk dari sejarah Deuteronomi yang pada hakekatnya, disusun sebagai sebuah propaganda untuk reformasi Yosia terhadap kultus dan kebijakan politiknya untuk merestorasi kerajaan Daud pada masa sesudah kemunduran Asyur dan Israel utara. Dalam kerangka pemikiran sejarah Deuteronomi tersebut, kehancuran kerajaan Israel utara merupakan sesuatu yang sudah sepantasnya terjadi. Norman K. Gottwald, The Hebrew Bible, 295, 300. 26 Komentar Michael Fishbane dan Nahum Sarna, dalam Marc Brettler, Ideology, History and Theology In 2 Kings XVII 7-23 dalam Vestus Testamentum XXXIX, 3, 1989, 268. 27 Vestus Testamentum XXXIX, 3, 1989, 268. 28 Vestus Testamentum XXXIX, 3, 1989, 268.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

12

menyadari kompleksitasnya teks-teks tersebut dan multi ideologi yang terkandung di

dalamnya.29

Pendapat Brettler ini sekaligus mengindikasikan bahwa proses membaca dan

menerjemahkan teks tersebut selama ini sangat dipengaruhi oleh kerangka berpikir

sejarah Deuteronomi, yang bagi Groenen sangat menekankan aspek keagamaan.30

Dimana sumber tersebut tidak bermaksud melapor hal ihwal para raja Israel, yang

dapat memanipulasi sejarahnya sendiri untuk meluhurkan dan memuliakan dirinya.

Tetapi terutama memilih dari bahan yang tersedia, apa yang dapat menyingkapkan

dan menonjolkan rencana Tuhan. Jadi bukan apa yang dari segi politik atau militer

paling penting untuk disajikan oleh mereka, melainkan apa yang penting dari sudut

pandangan agama sejati yang ditonjolkan.31 Berdasarkan kerangka berpikir sejarah

Deuteronomi itulah, semua peristiwa dinilai, dikutuk atau dipuji. Dasar penilaian

terhadap masing-masing raja adalah kesetiaannya kepada Tuhan dan perjanjian

29 Vestus Testamentum XXXIX, 3, 1989, 268. 30 Bnd. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 155 dan John Gray, I and II Kings, Westminster Press, Philadelphia, 1975, 9. 31 Bnd. Menurut Brueggemann, ada tiga unsur yang saling terkait dalam ideologi yang direpresentasikan oleh Salomo. Pertama, keberhasilan diukur dari tingkat kesejahteraan dan kelimpahan materi (1 Raja-raja 4 : 20 - 23); kedua, kesuksesan materi tadi tidak bisa dilepaskan dari upaya-upaya opresif entah untuk menghasilkan kesuksesan materi tersebut seperti dengan meminta pajak yang mencekik, entah untuk mencegah pemberontakan karena terdesaknya mereka yang dijadikan sumber penghasilan materi (1 Raja-raja 5 : 13 - 18, 9 : 15 – 22); dan ketiga adalah unsur yang berkenan dengan agama yakni penerapan hidup keagamaan yang terkontrol dan bersifat statis. Agama hanya boleh mendukung penguasa dan melayani kepentingan penguasa saja. Hubungan segi tiga antara kekayaan, kekuasaan dan agama yang statis ini memiliki peranan yang sangat menentukan bagi kelangsungan ideologi imperialis. Walter Brueggemann, Prophetic Imagination, Fortre Press, United states of America, 1978, 14; Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 9 dan John Gray, I and II Kings, 5.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

13

Tuhan dengan umat-Nya, sesuai dengan pandangan kitab Ulangan. Dan ukuran yang

dipakai adalah Raja Daud.32

Persoalannya adalah apakah raja-raja Yehuda (keturunan Daud) secara

keseluruhan adalah mereka yang bisa mempertanggung-jawabkan kepercayaan dan

kesetiaannya kepada Tuhan?33 Dan apakah kepercayaan, kesetiaan dan kebijakan

yang ditempuh oleh raja-raja Israel utara adalah sesuatu yang salah dan tidak bisa

dipertanggung-jawabkan (bnd. 1 Raja-raja 12 : 25 - 33)? Ataukah sebaliknya justru

kebijakan mereka-lah yang benar? Siapa yang bertanggung jawab dalam menyusun

kriteria untuk menilai benar-tidaknya sebuah agama dan seorang raja dalam

pemerintahannya?34 Sebab sepertinya kriteria tersebut hanya mengakomodir

kepentingan para penguasa dari Yehuda dan mengabaikan Israel utara, yang lahir

karena desakan nasib rakyat kecil yang diperlakukan secara tidak adil selama ini.

Bukankah Allah itu adil dan memihak kepada pembebasan orang-orang yang lemah

dan tertindas? Dan apakah kesetiaan kepada Allah hanya merupakan sebuah kesetiaan

untuk menjalankan kultus, yang terlepas dari implementasinya di tengah-tengah

realitas kehidupan di tengah berbagai dimensi, baik politik, ekonomi, sosial-budaya

dan lain-lain, yang sesungguhnya merupakan perwujudan dari ketaatan dan kesetiaan

32 C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama, 9. 33 Jika sumber kitab Raja-raja adalah sejarah Deuteronomi dengan ukuran yang didasarkan pada Raja Daud ini berarti kepentingan dari Daud dan keturunannya sebagai pembuat ukuran atau aturan itulah yang menjadi indikatornya. Dan demi kepentingan tersebut, segala sesuatu bisa dibenarkan atau diabaikan. 34 Menyangkut kriteria tersebut dapat dibaca dalam J. Maxwell – John H. Hayes, A History Of Ancient Israel And Judah, 222.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

14

yang sejati itu?35 Apakah dengan demikian sumber dari sejarah Deuteronomis

mengandung ideologi yang perlu dipertanyakan?

Dengan demikian, pertanyaan selanjutnya adalah apakah penggambaran teks

yang tidak memihak kepada kerajaan Israel utara tersebut sungguh-sungguh

merepresentasikan adanya ketidakadilan yang dirasakan oleh kerajaan tersebut akibat

tindakan kerajaan Israel selatan? Dan apakah masyarakat kecil tidak terabaikan dalam

proses penyelenggaraan pemerintahan Israel utara selama ini? Ataukah sebaliknya

upaya untuk menonjolkan posisi Israel selatan (Yehuda) dalam teks Raja-raja pun

kemungkinan mengandung ideologi lain yang lahir dari konteks keterpurukan Israel

selatan tersebut karena tekanan dari Israel utara atau bangsa-bangsa lainya pada saat

itu?

Hal ini menjadi mungkin juga karena seruan-seruan profetis terhadap

kejahatan yang mendatangkan kehancuran bagi kerajaan Israel utara dan Israel

selatan sebagian besar berasal dari para nabi (1 Raja-raja 11 : 29 - 39; 12 : 22 - 24; 13

: 2 - 3; 14 : 1 -16; 17; 18; 19; 20; 21; 22; dan 2 Raja-raja 1 - 25) yang dalam

perspektif masyarakat Israel kuno adalah ’mata dan tangan umat’ (bnd. Yesaya. 29 :

35 Bandingkan pendapat Robert Coote dan Mary Coote bahwa Apa yang paling penting dalam memahami Alkitab adalah bahwa kultus orang kaya dan berkuasa, yang mempunyai keahlian menulis serta memproduksi Kitab Suci, cenderung melegitimasikan institusi negara dan Bait Suci. Karena Kitab Suci ini sama seperti pendukung mereka yang kuat dan kaya. Karena itu, menjadikan perlindungan atas orang miskin sebagai suatu program pokok secara teoritis, yang menyatakan pemihakan Allah pada orang miskin, maka Kitab Suci ini bisa berbalik melawan penguasa-penguasa atau institusi-institusi yang menciptakan mereka, atau mengambil keuntungan setelah kematian mereka. Sebagai hasil pembalikan semacam itu, mengembalikan Kitab Suci dari pihak penguasa ke pihak yang dikuasai, kita mempunyai Akitab. Robert B. Coote dan Mary P. Coote, Kuasa, Politik dan Proses Pembuatan Alkitab : Suatu Pengantar (terjemahan Minda Perangin-angin), BPK. Gunung Mulia, Jakarta, 2004, 23.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

15

10),36 yang membawa kesejahteraan (Yesaya 30 : 10) dan penghukuman bagi umat

(Yeremia 2 : 30, 26 : 20)37 serta menjadi perantara umat dengan Allah tetapi juga

perwakilan umat di hadapan Allah untuk menyampaikan kehendak Allah kepada

umat serta permohonan umat kepada Allah (Amos 7 : 2, 10 : 4; Hosea 9 : 14).38

Bahkan nabi juga bisa dipanggil oleh raja untuk kepentingan tertentu atau menghadap

raja berdasarkan inisiatifnya yang berdampak besar pada kehidupan politiknya jika

raja mendengar mereka.39 Persoalannya adalah apakah nabi-nabi tersebut bisa

menjaga kemurnian suara profetisnya40 tersebut atau dengan kata lain tidak menjadi

kaki tangan dari para penguasa untuk kepentingannya juga (bnd. 1 Raja-raja 13 : 11-

32)?

Jadi teks Raja-raja ini bisa juga merupakan sebuah ungkapan hati, seruan,

protes dan perjuangan dari masyarakat atau malah upaya untuk melegitimasi

kekuasaan salah satu dari kedua kerajaan tersebut. Dan jika sejarah tersebut adalah

sebuah ungkapan hati, harapan dan fantasi masyarakat yang tertekan dalam tirani

pemerintahan yang membelenggu kehidupan mereka maka, sejauh manakah gereja

memberikan apresiasi dan perhatian bagi harapan atau fantasi tersebut? Apakah

harapan atau fantasi masyarakat yang menderita hanyalah sebuah mimpi di siang

bolong yang tidak memiliki arti apa-apa dalam teologi gereja? Irasionalkah? Ataukan

36 J. Lindblom, Prophecy In Ancient Israel, Oxford Basil Blackwell MCMLXXIII, London dan Aylesbury, 1962, 203. 37 J. Lindblom, Prophecy In Ancient Israel, 203. 38 J. Lindblom, Prophecy In Ancient Israel, 204. 39 J. Lindblom, Prophecy In Ancient Israel, 203. 40 Artinya mereka bertindak atau bersuara sesuai dengan panggilan mereka dan tidak mengabaikan panggilan tersebut hanya karena kepentingan- kepentingan sesaat yang dikejar.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

16

merupakan kekuatan yang menguatkan dan memberikan semangat untuk bertahan

dan berjuang dalam mengatasi penderitaan mereka?41

Berdasarkan hal inilah, maka metode yang akan dipakai dalam tulisan ini

adalah kritik ideologi dari perspektif masyarakat kecil. Maksudnya :

1. Masyarakat Israel utara dan selatan yang terpuruk bukan karena mereka tidak

memiliki kekuatan atau kemampuan tetapi karena struktur-struktur

pemerintahan negara dan agama yang tidak adil atau direkayasa untuk

kepentingan tertentu. Suara mereka tidak diperhitungkan sama sekali dalam

proses pengambilan keputusan. Mereka adalah korban-korban kebijakan dan

strategi politik yang cenderung memihak kepada penguasa atau kaum

mayoritas yang sudah sewajarnya dibela dan dibebaskan.

2. Bangsa Israel (Yehuda) dalam kapasitas sebagai bangsa kecil di tengah

masyarakat dunia pada saat itu karena kondisi keterpurukan yang tidak

memungkinkan mereka untuk mengandalkan kekuatan politik, militer,

ekonomi, sosial, budaya dalam percaturan politik bangsa-bangsa pada saat itu.

41 Bandingkan pendapat Neusner bahwa pengalaman berada dalam ancaman kebinasaan yang datang bertubi-tubi dari bangsa lain, membuat orang Yahudi harus menaruh kepercayaan kepada apa yang ia sebut ” the power of imagination ”. Yang dimaksud dengan imajinasi oleh Neusner adalah berbagai karya seni seperti puisi, drama, musik, tarian dan film dimana orang Yahudi terkenal piawai. Tetapi motivasi mereka bukanlah sekedar melayani kepentingan seni itu sendiri. Mereka memakai seni sebagai sarana untuk melangsungkan kehidupan. Salah satu dari karya seni itu adalah Alkitab. Melalui Alkitab, orang Yahudi ingin menolak segala macam peristiwa yang hendak mengakhiri hidup mereka. Bagi Neusner, imajinasi tidak sama dengan hal yang tidak berguna. Justru sebaliknya, imajinasi berfungsi untuk memberikan harapan akan masa depan. Walter Brueggemann, An Introduction to the Old Testament, The Canon and Christian Imagination, Louisville, London : Westminster John Knox Press, 2003, hal. 346 dan Robert Setio, Teologi Hikmat : Membaca Alkitab Melampaui Kritik Ideologi (Makalah), 2007, hal. 7

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

17

Idealisme di balik gagasan ini hendak menegaskan bahwa sudut pandang

dalam menulis, membaca dan menafsir sebuah teks oleh umat sangat menentukan

proses implementasinya dalam konteks riil hidup bermasyarakat. Penuturan kisah

dalam kitab Raja-raja sarat dengan ideologi kelompok tertentu, yang jika tidak

disadari dan dikritisi akan menciptakan penilaian yang salah atau berat sebelah.

Pendekatan tafsir yang sengaja dipakai dalam tulisan ini mencoba untuk melakukan

penyeimbangan agar masyarakat Israel tidak selalu disudutkan atau didiskriminasikan

dalam proses penafsiran dengan memberi ruang yang cukup lebar untuk mereka

bersuara tetapi juga memungkinkan adanya apresiasi yang baik terhadap penghayatan

imannya kepada Allah dalam konteksnya pada saat itu.

Keragaman ideologi di balik sebuah teks ini mestinya disadari oleh Gereja

agar implementasinya dapat dilakukan dengan benar dan tidak ikut menambah

keterpurukan masyarakat kecil. Sebab keterpurukan ini akan tetap lestari dalam hidup

bermasyarakat dan bergereja jika pola berteologi gereja pun tidak memperlihatkan

orientasinya sebagai wujud keberpihakannya kepada para korban tersebut. Apalagi

dalam berhadapan dengan realitas faktual masa kini dimana masyarakat semakin

kritis dalam mengungkapkan ideologi yang terselib pada berbagai persitiwa sejarah

nasional Indonesia yang dipelajarinya selama ini. Contohnya muncul berbagai

keraguan masyarakat terhadap ideologi di balik sejarah tentang Gerakan 30

September 1965 Partai Komunis Indonesia (G30S PKI) atau juga sejarah tentang

munculnya Republik Maluku Selatan (RMS) pada tahun 1950 di Maluku.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

18

Tesis ini tidak bermaksud untuk menelusuri kebenaran sejarah dari peristiwa-

peristiwa tersebut yang disadari oleh penulis sebagai sebuah misteri yang tidak

mudah untuk diungkapkan. Dan juga tidak bermaksud untuk menegaskan bahwa

sejarah tersebut benar atau salah. Tetapi munculnya peristiwa-persitiwa tersebut

sebagai wacana aktual di tengah masyarakat Indonesia saat ini, memperlihatkan

kesadaran dan kepekaan masyarakat tersebut akan ada-tidaknya perbedaan antara

sejarah dan fakta yang mungkin saja telah ditemukan serta siapa yang bertanggung

jawab dalam penulisan dan interpretasi sejarah tersebut di kemudian hari. Apakah

cerita tersebut adalah sebuah kebenaran historis? Atau hanya rekayasa dari seseorang

atau sekelompok orang tertentu yang berkuasa di saat itu untuk kepentingan tertentu

pula (pelangengan kekuasaan mereka)? Apa ukuran yang dipakai dalam proses

penyeleksian peristiwa dalam membentuk sebuah sejarah? Siapa yang menetapkan

ukuran tersebut? Dan apakah ukuran itu adalah sesuatu yang dapat dipertanggung-

jawabkan nilai-nilai kebenaran dan keadilannya? Ataukah sebaliknya? Apalagi

sejarah tersebut telah mengorbankan ”orang, kelompok atau masyarakat tertentu”

yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung di dalamnya. Bahkan

mungkin bukan hanya dalam kaitan dengan peristiwa tersebut, tetapi juga kehidupan

sehari-hari ketika berinteraksi sebagai bagian dari anggota masyarakat, gereja dan

negara. Bukankah ideologi merupakan perwujudan sistem yang ada dalam paraktek

hidup masyarakat sehari-hari?42

42 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, Yale University Press, New Haven and London, 1995, 273.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

19

Pentingnya membangun dan mendorong kekritisan umat dan atau masyarakat

terhadap berbagai ideologi yang bisa saja merugikan kepentingan mereka di

kemudian hari, ternyata merupakan sebuah kebutuhan faktual dalam proses

pemberdayaan umat atau masyarakat untuk melakukan transformasi kehidupan

sebagai sebuah sejarah di masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang dalam

rangka menghadirkan syalom Allah di tengah dunia ini. Dan ini sekaligus

mengindikasikan pentingnya kritik ideologi yang berimplikasi pada semua dimensi

kehidupan umat atau masyarakat (agama, sosial-politik).

Jadi, akhirnya tulisan ini diharapkan tidak hanya menjadi sebuah kajian

eksegetis tetapi juga memberi kontribusi dalam rangka menciptakan keseimbangan

dalam proses interpretasi dan implementasi teks-teks Alkitab yang dilakukan oleh

umat dalam realitas hidup berjemaat dan bermasyarakatnya.

B. Perumusan Masalah :

Permasalahan yang hendak dikaji dalam tulisan ini adalah :

1. Mengapa kisah tentang kerajaan Israel selatan dan Israel utara dalam 1 Raja-

raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-Raja 17 : 1 – 41 digambarkan seperti demikian?

a. Teks tersebut lebih banyak didominasi oleh kisah tentang kerajaan

Israel selatan (Yehuda) dari pada Israel utara. Padahal dari sisi historis,

Israel selatan hanya kerajaan kecil jika dibandingkan dengan Israel

utara dan munculnya Israel utara (di bawah kepemimpinan Yerobeam)

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

20

sebagai sebuah kerajaan baru adalah kehendak Tuhan dan juga

berdasarkan tuntutan demokratis masyarakat Israel akibat tekanan dari

Raja Israel (Rehabeam).

b. Memperlihatkan adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah

terhadap masyarakat kecil (baik Israel selatan maupun Israel utara)

dalam proses penyelengaraan pemerintahannya.

2. Apa makna 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41 jika dikaji

melalui kritik ideologi berdasarkan perspektif masyarakat kecil?

3. Apa relevansi 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 – 41 bagi

masyarakat kecil di Ambon?

C. Tujuan Penulisan :

Tujuan penulisan tesis ini adalah :

1. Mengetahui ideologi yang melatar-belakangi pengisahan cerita tentang

kerajaan Israel selatan dan Israel utara dalam 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2

Raja-raja 17 : 41, sehingga diketahui mengapa teks tersebut lebih didominasi

oleh kisah tentang kerajaan Israel selatan dan lebih banyak mengorbankan

masyarakat kecil.

2. Mengetahui makna 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41 jika

dikaji melalui kritik ideologi berdasarkan perspektif masyarakat kecil.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

21

3. Untuk mengetahui relevansi 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 – 41

bagi masyarakat kecil di Ambon.

D. Hipotesis :

Diduga bahwa proses penuturan sejarah tentang kerajaan Israel utara dan

Israel selatan yang terdapat dalam 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 - 41,

yang bersumber dari sejarah Deuteronomi sangat didominasi oleh ideologi

sentralisasi kekuasaan yang dipakai pada zaman pemerintahan Yosia, raja Yehuda.

Ideologi ini telah mengkonstruksi sejarah Israel yang diskriminatif terhadap kerajaan

Israel utara dan raja-raja sebelum serta setelah Daud. Dan dalam rangka melegitimasi

ideologi tersebut penulis teks memanipulasi arti kesetiaan kepada Allah sebagai

ukuran untuk menilai data dan peran tokoh-tokoh tertentu dalam sejarah Israel.

E. Metode Penulisan :

Metode yang akan dipakai dalam penulisan tesis ini adalah kritik ideologi dari

perspektif masyarakat kecil.

Ideologi adalah paham, teori dan tujuan yang dimiliki atau konsep bersistem

yang dijadikan sebagai landasan pendapat yang memberi arah dan tujuan hidup bagi

orang, kelompok atau masyarakat tertentu.43 Hal ini juga dipahami oleh Louis

Althusser yang mendefinisikan ideologi sebagai sebuah representasi dari sistem yang

43 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi terbaru, 334.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

22

terdapat dalam praktek sehari-hari (terutama ritual) dari suatu masyarakat (pikiran ini

juga diakomodir oleh Fredric Jameson dan Terry Eagleton).44 Secara metaforis,

Eagleton menyebutkan sistem tersebut sebagai ”teks” tentang relasi kekuasaan dari

sebuah masyarakat. Karena itu, salah satu tugas dari kritik ideologi adalah ’membaca’

teks tersebut. Teks tersebut merupakan representasi dan reproduksi dari suatu

ideologi.45 Ideologi juga terdapat dalam relasi wacana dan kekuasaan. Ideologi

ditemukan dalam wacana dari setiap teks, baik apa yang dikatakan dan tidak

dikatakan oleh teks.46 Pusat dari banyak diskusi tentang ideologi dan kritik ideologi

adalah isu tentang kekuasaan dan relasi antara kekuasaan (secara personal, kelompok,

sosial).

Kritik ideologi berkonsentrasi pada teori dan kritik terhadap proses produksi

makna sebagai sebuah realitas sosial dan politik.47 Kritik ideologi mengungkapkan

tiga dimensi perjuangan yang ada dalam produksi makna yaitu :

1). Menyatakan ketegangan relasi antara produksi makna dan bahasa;

2). Menyoroti banyak wacana yang terdapat dalam teks;

3). Membuka kompleksitas relasi kekuasaan yang menghasilkan teks,

membangun konteks dari teks dan penerimanya serta pengaruhnya

terhadap pembaca teks tersebut dalam lokasi sosial tertentu.48

44 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 273. 45 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 275. 46 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 274. 47 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 272. 48 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 273.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

23

J.B. Thompson mengemukakan bahwa ideologi ”memiliki arti dalam

pelayanan kekuasaan” dan kekuasaan yang dimaksudkan tidak hanya berkaitan

dengan isu dominasi kelas, tetapi juga seks, ras, etnis dan gender.49 Dari sudut padang

tersebut maka tujuan utama dari kritik ideologi adalah mengungkapkan dan

memetakan struktur dan dinamika relasi kekuasaan tersebut dalam ekspresi bahasa,

konflik ideologi yang terdapat dalam wacana, dan di dalam daging dan darah

pembaca teks dari konteks sosial mereka yang nyata dan hubungan-hubungannya.

Ketika menegaskan bahwa setiap pembacaan teks mengandung ideologi

berarti mengemukakan dasar dari tindakan pembacaan tersebut yaitu persoalan etis.

Kekuatan etis ini terdapat dalam konsep Althusser tentang ideologi sebagai sebuah

”praktek material” yaitu ”relasi kehidupan antara orang-orang dengan dunia mereka”.

Karena itu, pertanyaan etis termasuk dalam jantung diskusi ideologi.50 ”Relasi

Kehidupan” antara orang-orang tersebut bertujuan untuk mengungkapkan dan

menegaskan perbedaan serta konflik dari relasi-relasi manusia tersebut sebagai

sebuah sistem dan realitas kerja sama, yaitu sesuatu yang lebih dari tindakan dan

keinginan individual.

Sebagai sebuah praktek yang signifikan, ideologi dari sebuah teks dikaitkan

secara struktural kepada dorongan etis dan interpretasi penuh. Akhirnya kritik

ideologi, boleh disimpulkan bahwa pada dasarnya harus dilakukan dengan karakter

49 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 273 50 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 275.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

24

etis dan sebagai respons terhadap teks dan relasi kehidupan mereka yang diwakili

serta yang dihasilkan ketika membaca teks.

Sementara itu, Emmanuel Levinas mengemukakan bahwa ketika membaca

teks Alkitab serta bagaimana harus memahami wacana ideologi, pergumulan dan

konflik yang ada dalam Alkitab, pembaca diperhadapkan pada tantangan dan

tanggung jawab terhadap pertanyaan dan tindakan etis.51 Terhadap hal ini, Robert

Setio mengemukakan bahwa kecenderungan untuk bergerak lebih jauh dalam hal

mengajukan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan nilai-nilai etis yang dipahami

sekarang belum terlalu banyak dilakukan. Kecenderungan yang muncul adalah ketika

diperhadapkan dengan ide-ide yang sebenarnya bermasalah secara etis, maka kita

mencoba untuk memperlunak kesan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip etis

yang kita yakini melalui berbagai cara. Jika yang mempunyai masalah itu adalah

sesuatu yang berasal dari teks Alkitab sendiri maka cara untuk mengatasi

permasalahan tersebut adalah dengan mencari teks lain yang pada akhirnya dapat

mengubah kesan adanya permasalahan etis tersebut.52 Sebagai contoh : teks Paulin

tertentu yang berbias gender (I Korintus 11 : 1 – 16) karena menempatkan perempuan

pada posisi inferior dibandingkan laki-laki. Teks tersebut dijelaskan sedemikian rupa

dan kesan anti perempuan menjadi kabur sehingga tujuannya tidak diarahkan kepada

semua perempuan tetapi perempuan tertentu saja yaitu mereka yang banyak berbicara

51 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 275. 52 Robert Setio, ”Manfaat Kritik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja”, dalam PENUNTUN : Jurnal Teologi dan Gereja, volume 5 - no. 20, Komisi Pengkajian Teologi GKI Sinode Wilayah Jawa Barat, Jawa Barat, 2004, 384.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

25

dan rambutnya acak-acakan (mereka yang menjadi imam dan tugasnya memimpin

ritus). Namun hal tersebut tidak dapat menghilangkan kesan inferior perempuan

dalam pikiran-pikiran Paulus. Dan dewasa ini, bukan hanya kaum feminis saja yang

memperjuangkan nasibnya akibat ketidakadilan yang dirasakan. Tetapi juga kaum

marginal lainnya seperti orang-orang hitam, orang-orang Asia, anak-anak dan lain-

lain. Atau yang dalam istilah Daniel Patte ”kaum advokasi”.53 Ia memakai istilah

dalam dunia peradilan ini untuk menggambarkan situasi yang terdapat dalam

penafsiran Alkitab.

Berkaitan dengan apa yang dikatakan oleh Patte, maka masyarakat kecil juga

adalah bagian dari kaum advokasi yang perlu diberikan tempat dalam proses

penafsiran Alkitab tersebut. Karena hak-hak mereka juga sering terabaikan dan

bahkan diekploitasi (kemiskinan dan kekayaan masyarakat) untuk kepentingan

tertentu. Bagi Patte, adalah tidak etis untuk menganggap bahwa hasil-hasil tafsir yang

selama ini sudah kita peroleh mewakili semua kaum. Bahkan Sheila Briggs

menegaskan bahwa ”Alkitab menjadi sebuah benda ideologi yang di dalamnya

keinginan-keinginan darurat kelas menengah dilukiskan”.54 Jadi kritik ideologi yang

dilakukan tersebut, di satu sisi hendak mengakui keunggulan dari alasan dan budaya

53 Para advokat bekerja untuk membela mereka yang secara hukum sedang dikenai tuduhan atau dirugikan. Artinya mereka yang perlu dibela itu adalah mereka yang lemah secara hukum. Entah dengan membebaskan yang tidak bersalah, atau meringankan hukuman yang bersalah. Patokannya adalah keadilan. Robert Setio, ”Manfaat Kritik Ideologi Bagi Pelayanan Gereja”, dalam PENUNTUN : Jurnal Teologi dan Gereja, volume 5 - no. 20, 385. 54 Sheila Briggs,” The Deceit of the sublime : An Investigation into the origin of ideological criticism of the Bible in the early nineteenth-century German Biblical studies “, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA No. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, Scholars Press, Society of Biblical Literature, Atlanta, 1992, 1.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

26

dari kelas menengah tetapi juga di sisi lain menyadari sumber kegelisahan dari kelas

tersebut.55 Dengan cara tersebut kritik ideologi melakukan penilaian yang seimbang

terhadap teks untuk menghasilkan interpretasi yang seimbang pula.

Pernyataan Patte dan Briggs mengindikasikan bahwa penulisan dan penafsiran

Alkitab yang tidak dilakukan secara hati-hati (tanpa menyadari ideologi yang

terkandung di dalamnya) oleh umat bisa melahirkan pemahaman dan tindakan umat

yang tidak adil dan tidak seimbang di kemudian hari sehingga rantai ketidakadilan

tidak dapat diputuskan. Apalagi konteks umat yang dihadapi dewasa ini adalah

konteks dimana Alkitab itu sendiri hanya diterima sebagai instrumen keagamaan

yang memiliki nilai yang sangat tinggi dalam masyarakat bahkan menjadi standar etis

untuk mengukur setiap pemahaman dan tindakan masyarakat tertentu. Berbeda

dengan dunia barat dimana Alkitab selain digunakan di gereja-gereja, juga digunakan

sebagai objek penelitian akademis. Ini menujukkan bahwa menjadikan Alkitab

sebagai objek kritikan sama sekali tidak mengurangi kadar iman umat tetapi

sebaliknya semakin menambah cakrawala berpikir umat tentang isi Alkitab itu sendiri

sebab menambah kegelisahan umat untuk mengeksplorasi lebih dalam kekayaan

makna dari Alkitab itu sendiri. Dan kekritisan tersebut tidak bisa dibatasi dalam

ukuran atau model tertentu. Atau sama seperti yang dikatakan oleh Briggs, tidak

boleh mengikuti perspektif kaum elite atau menengah saja sebab itu bisa menciptakan

55 Sheila Briggs, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA No. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts,1.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

27

ketidakadilan. Tetapi menurut Patte, harus terbuka juga terhadap model-model

penafsiran kaum yang dimarginalkan. 56

Salah satu contoh penerapan kritik ideologi terhadap teks Alkitab misalnya

nampak dalam tulisan Renita J. Weems.57 Ia mencoba menelusuri ideologi yang

terkandung dalam Keluaran 1 : 8 – 22. Menurutnya, studi terhadap Keluaran 1 : 8 –

22 yang dilakukan selama ini tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap

konflik ideologi dalam teks tersebut terutama yang berkaitan dengan hubungan para

budak dan tuannya serta antara perempuan dan laki-laki yang muncul dalam karakter

Firaun dan para bidan (Shiprah dan Puah). Dan konflik ideologi yang terdapat dalam

teks tersebut berhubungan dengan konteks sosial ketika teks tersebut dihasilkan.

Maksudnya adalah teks tersebut merupakan produksi sosial yaitu mereka yang

berasal dari kondisi sosial yang sangat khusus dan sejumlah material serta hasilnya

bertujuan untuk memelihara dan mengusulkan sejumlah pandangan tentang hubungan

antara kekuasaan dan identitas sosial.58 Jadi, teks-teks Alkitab mengambil bagian

dari perdebatan ideologi, perdebatan yang selalu menjadi pusat dari isu-isu kekuasaan

dimana sastra menjadi sebuah bentuk wacana publik yang berusaha menantang atau

mempertahankan keberadaan seseorang secara sosial. Ini berarti, beberapa

56 Robert Setio, ” Metode Tafisr Ideologis dan Relevansinya Bagi Pembangunan Teologi Politis, dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana : Teologi dan Politik, no. 59, Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta, 2004, 85; dan Robert Setio,” Manfaat Kritik Ideologi bagi Pelayanan Gereja”, dalam PENUNTUN : Jurnal Teologi dan Gereja, volume 5, no. 20, 386. 57 Renita J. Weems, “ The Hebrew Women Are Not Like The Egyptian Women : The Ideology Of Race, Gender And Sexual Reproduction In Exodus 1”, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA, no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 25 – 33. 58 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA No. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 26.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

28

konfigurasi relasi kekuasaan pada masa produksinya tidak hanya dikuasai oleh

penulis, tetapi keduanya melekat di dalam teks. Jadi cerita konfrontasi antara para

bidan dan Firaun dalam kitab Keluaran tidak hanya memelihara kenangan tentang

perempuan dan budak Ibrani yang berada dalam situasi sosial di masa lampau. Cerita

tersebut juga mengadvokasi hal-hal lainnya, seperti kesamaan atau perbedaan strata

sosial bagi perempuan dan budak-budak Ibrani di masa kini. Karena itu Weems

berusaha menganalisa bagaimana asumsi tentang ras dan gender yang secara khusus

dikonstruksikan dalam perjuangan ideologi pada Keluaran 1 : 8 - 22.

Weems memulainya dengan menganalisa ideologi yang terkandung dalam

Keluaran 1 : 8 - 22 dengan secara serius memperhatikan suara cerita dan perspektif

ideologi yang tergambar di dalam teks. Dari sudut pandang siapakah cerita tersebut

diceritakan? Kepentingan kelas, gender dan etika siapakah yang dilindungi dan

menjadi komoditi cerita tersebut? Apakah penulisnya adalah seorang Ibrani ataukah

seseorang yang sangat simpatik dengan nasib orang Ibrani nampak dengan jelas. Bisa

juga, cerita tersebut berisi kepentingan narator Mesir untuk memelihara cerita tentang

tantangan para bidan atau jalan keluar yang dipakai oleh orang-orang Ibrani dari

perbudakan.59

Simpati politik dari penulis relevan karena sebagai para pembaca, kita harus

mengingat bahwa kita berbicara tentang orang-orang Mesir dalam kitab Keluaran

tidak berasal dari perspektif orang-orang Mesir. Tetapi berasal dari seorang Ibrani

59 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 26.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

29

atau seseorang yang simpati terhadap orang Ibrani. Jadi sejak nasib orang Ibrani dan

Mesir berada di tangan narator Ibrani, orang-orang Mesir bertahan dalam cerita ini

hanya sebagai sejumlah kekuatan yang diijinkan oleh narator.60 Dalam pengisahannya

tersebut, narator sering kali menduga bahwa ia cukup mengenal kondisi sosial dan

nilai-nilai budaya serta intelektual, politik, dan latar belakang kepercayaan orang-

orang Ibrani yang ideal untuk berkomunikasi dengan mereka. Dan sama seperti

retorika yang baik, narator membingkai ceritanya sedemikian rupa untuk

menghilangkan prasangka, menggantikan, menguatkan, memilih, menertawakan,

membongkar atau membangun di atas prasangkanya tentang pembacanya yang

ideal.61

Menurut Weems,62 perjuangan ideologi yang tergambar dalam Keluaran 1 : 8

- 22 sebagai berikut : cerita dalam Keluaran 1 : 8 - 22 menawarkan beberapa petunjuk

penting mengenai kondisi material, konfigurasi kekuatan sosial, dan efek dari

pemerintahan kelas di Mesir pada masa itu. Dan perbudakan adalah sentral untuk

perkembangannya. Cerita tersebut mengidentifikasi kondisi ekonomi dan politik yang

khusus dimana identitas sosial, politik dan keagamaan Israel terlupakan. Juga menjadi

tanda bagi para pembaca bahwa konflik dan kekuasaan merupakan basis dari cerita

ini – juga identitas orang-orang Ibrani itu sendiri.

60 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 27. 61 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 27. 62 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 27.

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

30

Berdasarkan sudut pandang narator, Keluaran 1 : 8 - 22 merupakan

representasi dari sebuah usaha untuk memelihara kenangan tentang konsekuensi

sosial dan politik dari perbudakan, serta untuk mengingat tindakan politik dan

ekonomi yang sekali-kali dilakukan untuk menghambat warisan kepercayaan Israel

yang unik. Lembaga perbudakan secara tidak langsung mengidentifikasi dalam teks,

mereka yang memiliki kekuasaan dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Juga

pemilik dari para budak dan membedakan mereka yang menggunakan kekuasaan

untuk mendefinisi realitas dari mereka yang tidak memiliki kekuasaan. Singkatnya,

perbudakan membangun konteks bagi ketegangan dalam teks antara penindas dan

yang ditindas.

Tema-tema tentang ras, gender dan reproduksi seksual dibangun dalam teks

sedemikian rupa untuk menyediakan kerangka bagi sebuah pengujian perdebatan

ideologi yang ada dalam teks. Rincian perdebatan tersebut disimpulkan dalam cara

penulis menggambarkan asumsi-asumsi Firaun tentang perbedaan antara orang-orang

Mesir dan Ibrani.

Cerita Keluaran dimulai ketika cerita Kejadian berakhir. Prolognya dimulai

dari Keluaran 1 : 1 - 2 : 25 yaitu daftar anak-anak Yakub yang karena kelaparan di

Kanaan telah migrasi ke Mesir ( Keluaran 1 : 1 - 5). Dua belas anak tersebut adalah

representasi suku-suku atau bangsa Israel, yang merupakan generasi pertama yang

hidup di luar Kanaan, Mesir. Keberuntungan politik dan ekonomi suku-suku Israel

sangat aman pada masa Yusuf masih hidup, yang diangkat oleh Firaun sebagai

Gubernur. Namun sejak Yusuf dan kesebelas saudaranya meninggal, nasib orang-

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

31

orang Israel tidak menentu. Meskipun demikian kematian tidak menjadi akhir dari

bangsa Israel tersebut. Generasi tersebut semakin bertambah banyak (Keluaran 1 : 7).

Hal sebaliknya tidak terjadi pada identitas keagamaan, status sosial dan politik

mereka yang semakin memburuk. Firaun baru menduduki takhta, dan dalam satu

generasi, status orang-orang Ibrani berubah dari para pengungsi menjadi budak.63 Dia

melakukan banyak strategi untuk menekan keberadaan orang-orang Ibrani dalam

Keluaran 1 : 9 - 11, 12 - 14, 15 - 21.

Di sisi lain, cerita keluaran juga menjadi sebuah cerita perempuan.

Persetujuan Firaun dengan bidan Shiprah dan Puah dalam Keluaran 1 : 15 - 22

menjadi bagian penting dalam tulisan ini. Dalam Keluaran 1 : 16, Firaun menyuruh

bidan-bidan tersebut untuk membunuh bayi laki-laki orang Ibrani dan membiarkan

bayi perempuan Ibrani hidup ketika mereka dilahirkan. Ia berasumsi bahwa kelahiran

anak laki-laki dan perempuan memiliki beberapa hal yang sangat berbeda dalam

implikasi sosial dan politik. Dimana anak laki-laki merupakan ancaman psikologi

yang lebih mengerikan terhadap kerajaan dari pada anak perempuan. Bentuk ancaman

ada dua macam yaitu dari sisi militer dan politik, mereka dapat berkoalisi dengan

musuh Mesir untuk menghancurkannya (Keluaran 1:10); sedangkan dari sudut

pandang biologis, anak laki-laki akan melahirkan keturunan laki-laki pula. Berbeda

dengan perempuan yang lebih penurut.

63Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 28.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

32

Namun perintah Firaun ini tidak ditaati oleh para bidan tersebut (Keluaran 1 :

17) dan mereka malah membohonginya (Keluaran 1 : 19). Bagi Weems, cara tersebut

adalah senjata tradisonal orang-orang lemah, khususnya perempuan dalam Perjanjian

Lama untuk melawan mereka yang memiliki kekuasaan : senjata penipuan ketika

”kebenaran” tidak diartikan oleh kekuasaan, tetapi menjadi prioritas klas bawah untuk

interpretasi dan menentukannya sesuai realitas mereka sendiri. Penolakan untuk

menceritakan ”kebenaran” menjadi serupa dengan penolakan untuk taat. Dan

penolakan untuk taat adalah penolakan untuk mengakui tuntutan hegemoni.64 Karena

itu, penolakan untuk taat terbukti menjadi sesuatu yang lebih efektif dalam

menghadapi ideologi Mesir (karena para bidan takut Tuhan dan oleh sebab itu, tidak

taat kepada Firaun – Keluaran 1 : 21).

Untuk persoalan perbedaan. Orang Mesir berasumsi bahwa orang Ibrani

berbeda dari mereka sehingga perlu ditakuti. Di akhir cerita, asumsi bahwa anak laki-

laki lebih berbahaya dari pada anak perempuan; serta mengancam kerajaan lebih dari

anak perempuan, tidak hanya diungkapkan tetapi juga ditertawakan. Jadi inti

keseluruhan cerita bertumpuh pada asumsi tentang perbedaan. Karena perbedaan

melekat pada kultur cerita serta memanifestasikan dirinya dalam relasi kekuasaan

yaitu perbedaan antara Mesir dan Ibrani, budak dan tuan, anak laki-laki dan

perempuan, serta laki laki dan perempuan.

64 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 29.

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

33

Keluaran 1 dalam konteks ideologi dari kisah Keluaran. Keluaran 1 : 8 – 22

adalah bagian dari prolog (Keluaran 1 : 1 – 2 : 22) dan bagian berikutnya (Keluaran 1

: 15 - 22) berfungsi sebagai bagian pertama dari tiga konfrontasi antara Ibrani dan

raja Mesir. Masing-masingnya dan kombinasi kekuatan dari ketiga kisah tersebut

diangkat secara bersama-sama untuk mengungkapkan klaim Firaun sebagai penguasa

yang illegitimate dan bodoh. Mereka melakukan sesuatu secara bertahap tetapi

sistematis untuk mendemitologisasikan reputasi Firaun sebagai perwujudan

kepemimpinan Ilahi. Kenyataannya, tiga adegan konfrontasi tersebut

mempertanyakan tiga prinsip dasar yang di atasnya diduga bahwa dominasi hegemoni

penguasa yaitu kebijaksanaan Ilahi, otoritas dan kekuasaan.65

Adegan konfrontasi yang pertama terdapat dalam prolog, meluncurkan

penyerangan pertama dalam melawan hegemoni Mesir; khususnya Keluaran 1 : 15 –

2 : 10, menantang ide Firaun sebagai pemimpin yang bijaksana. Melalui konstruksi

cerita dimana ide Firaun sebagai personifikasi kebijaksanaan Ilahi diruntuhkan,

narator memulai proses dekonstruksi ideologi Mesir. Kebijaksanaan Firaun tersebut

dipertanyakan : pertama, perempuan dipakainya, kemungkinan yang tidak

berpendidikan dan rendah dalam status sosialnya sebagai bidan kepada perempuan

Ibrani dan memperdayakannya. Kemudian anak perempuan Mesirnya sendiri bekerja

sama dengan budak Ibrani dan mengangkat anak laki-laki Ibrani sebagai asuhannya

(dimana Firaun, seperti pembaca tidak menyadarinya).

65 Renita J. Weems, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 31.

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

34

Cerita ’Tulah’ dalam Keluaran 7 - 11 memperlihatkan adegan konfrontasi

yang kedua. Pada masa itu, otoritas Firaun ditantang. Pertanyaannya dalam Keluaran

5 : 2 (Siapa itu Yahwe?) menjadi pentas bagi kehancuran ideologinya dalam adegan

ini. Firaun tetap tidak mengakui otoritas Yahwe meskipun sudah berhadapan dengan

tindakan-tindakan Musa dan Harun (Keluaran 10 : 7).

Perjuangan ideologi antara para budak dan tuannya mencapai klimaks dalam

bagian ketiga dan merupakan akhir adegan konfrontasi. Dalam keluaran 14, dalam

adegan Laut Merah, hak untuk mementukan nasib Ibrani terletak pada kekuatan

militer Mesir (Keluaran 14 : 7 - 8) adalah pengungkapan terakhir terhadap klaim yang

curang tersebut. Di Laut Merah, dengan 600 kereta tempur dan pasukan pilihan,

Firaun tidak bisa menandingi para budak dan tuannya, Yahwe. Kekuatan Ilahi

melawan kekuatan Mesir dan akhirnya dikalahkan.

Dampak sosial dari Keluaran 1. Cerita dalam Keluaran 1 merupakan

kesaksian kepada dan produk dari konflik sosial. Teks tersebut memelihara memori

perjuangan antara penguasa (Mesir) dan mereka yang tidak memiliki kekuasaan

(Ibrani). Ia menggambarkan usaha dari penguasa untuk mendominasi dan kekuatan

dari yang tidak memiliki kekuasaan untuk bertahan : kekuatan penguasa untuk

mengartikan realitas dan kekuatan dari yang tidak memiliki kekuasaan untuk

mendefinisikan kembali realitas tersebut. Kekuatan penguasa untuk mengeksploitasi

tenaga manusia dan kekuatan dari yang tidak memiliki kekuasaan untuk menolak.

Karena itu, Keluaran 1 adalah cerita yang tidak sederhana, innoncent dan naif. Teks

tersebut berusaha untuk mempengaruhi pembaca Ibraninya. Ia mengundang

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

35

pembacanya untuk berefleksi di atas pemahaman apa artinya menjadi Ibrani di luar

tanah Kanaan. Ia mengundang mereka untuk berefleksi pada apa artinya menjadi

seorang perempuan Ibrani dan ibu di Mesir selama waktu itu. Ia menantang mereka

bahkan untuk menegaskan kembali atau meninggalkan sikap yang ada atau norma-

norma budaya dalam sudut pandang cerita (seperti interaksi dengan Mesir, beberapa

aturan penguasa dan keberadaan peran perempuan dan laki-laki).

Membaca secara ideologi adalah sebuah usaha yang disengajakan untuk

melawan arus – dari teks, dari norma-norma kedisiplinan, dari tradisi dan dari

budaya. Ini merupakan sebuah cara membaca yang mengganggu karena kritik

ideologi membutuhkan kesadaran diri yang sangat tinggi dan meminta penjelasan

yang eksplisit dan terus terang akan keadilan. Dan karena keadilan menjadi standar

dalam usaha tersebut maka setiap bangunan ideologi harus dikonfrontasikan

denganya.66

Berdasarkan uraian di atas maka boleh disimpulkan bahwa kritik ideologi

berasumsi bahwa baik teks maupun pembaca yang berusaha untuk memahami teks

tidak bebas dari ideologi. Oleh karenanya, keduanya perlu menjadi sasaran analisa

ideologi.67 Tujuan dari analisa atau kritik ideologi adalah mengungkapkan :

1). Ideologi yang melatar-belakangi pengarang/ penulis/ redaksi teks;

2). Ideologi yang melatar-belakangi pembaca (penafsir) teks;

3). Ideologi yang hendak dibentuk melalui teks; dan

66 Regina M. Schwartz (ed.), The Postmodern Bible, The Bible and Culture Collective, 275. 67 Robert setio, dalam Jurnal Teologi GEMA Duta Wacana : Teologi dan Politik, no. 59, 93.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

36

4). Ideologi yang hendak dibentuk oleh suatu tafsir.

Briggs menegaskan bahwa kritik ideologi berusaha untuk melakukan

transparansi terhadap praktek-praktek ideologi tersebut. Dan kebenaran, nilai moral

dan kualitas sastra dari Alkitab kemudian dinilai berdasarkan kriteria atau prinsip-

prinsip modern.68 Dalam kaitan dengan tesis ini, yang mencoba memakai perspektif

masyarakat kecil dalam membaca teks 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 dan 2 Raja-raja 17 : 1 -

41 maka ideologi yang ditemukan dalam penggalian terhadap teks dan pembacanya

akhirnya akan dikonfrontasikan dengan nilai yang terkadung dalam pertanyaan

sebagai berikut : apakah dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di dalam

sebuah negara, kepentingan dan keterlibatan masyarakat kecil juga diperhitungkan?

Dan apakah mereka sudah diperlakukan secara benar dan adil? Atau sebaliknya hanya

menjadi objek eksploitasi kekuasaan sesorang atau sekelompok orang tertentu dan

untuk tujuan tertentu pula? Di sisi lain, masyarakat kecil pun tidak terlepas dari kritik

yang sama sebab masyarakat juga bisa saja terlibat secara langsung maupun tidak

langsung dalam praktek-praktek ketidakadilan dengan membiarkan dan menikmati

keuntungan dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang ditetapkan. Keseimbangan

peran dan kontrol antara pemerintah dan masyarakat dalam proses penyelenggaraan

sebuah negera adalah hal penting dalam menghadirkan tatanan kehidupan berbangsa

dan bernegara yang harmonis, adil dan benar.

68 Sheila Briggs, dalam David Jobling (ed.), Jurnal SEMAIA no. 59 : Ideological Criticism of Biblical Texsts, 1.

Page 37: BAB I PENDAHULUAN - sinta.ukdw.ac.idsinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/...bahwa, ”revolusi dan kekerasan politik lebih cenderung muncul secara langsung dari 1 Ted

37

Prinsip-prinsip ini juga sekaligus memperlihatkan bahwa penulis pun

memiliki ideologi tertentu di balik perspektif yang digunakan dalam penulisan tesis

ini dan karena itu pun tidak bebas terhadap kritikan namun pada akhirnya tesis ini

bermaksud untuk menciptakan keseimbangan dalam hasil penafsiran dan

implementasinya dalam kehidupan umat dewasa ini.

F. Sistematika Penulisan :

Untuk mempermudah penulisan dan pemahaman terhadap tesis ini maka

sistematika penulisan yang direncanakan adalah sebagai berikut :

BAB I Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,

perumusan masalah, tujuan penulisan, hipotesa, metodologi

penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II Berisi ideologi dalam 1 Raja-raja 12 : 1 - 33 dan 2 Raja-raja 17

: 1 - 41.

BAB III Berisi relevansi dari 1 Raja-raja 12 : 1 – 33 dan 2 Raja-raja 17 :

1 – 41 bagi masyarakat kecil di Ambon.

BAB IV Berisi kesimpulan dari seluruh uraian tesis ini.