bab i pendahuluan ketenagakerjaan

Upload: agustini-pujaan-hati-arditha

Post on 19-Jul-2015

60 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan sektor ketenagakerjaan sebagai bagian dari upaya pembangunan sumberdaya manusia merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dengan pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila, dan pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, diarahkan pada peningkatan harkat, martabat dan kemampuan manusia, serta kepercayaan pada diri sendiri dalam rangka mewujudkan masyarakat sejahtera, adil, dan makmur baik materiil maupun spiritual. Peran serta tenaga kerja dalam pembangunan nasional semakin meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan risiko yang dihadapinya. Oleh karena itu, kepada tenaga kerja perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan dan peningkatan kesejahteraan, sehingga pada gilirannya akan dapat meningkatkan produktivitas nasional.1 Bentuk perlindungan, pemeliharaan, dan peningkatan kesejahteraan dimaksud diselenggarakan dalam bentuk program jaminan sosial tenaga kerja yang bersifat dasar, dengan berasaskan usaha bersama, kekeluargaan, dan gotong-royong sebagaimana terkandung dalam jiwa dan semangat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.21 Ridwan 2

Halim, Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramitha, Jakarta, 1987, hal. 1. Wiwoho Soejono., Perjanjian Perburuhan dan Hubungannya dengan Perburuhan Pancasila, Melpon Putra, Jakarta, 1991, hal 9.

1Universitas Sumatera UtaraTenaga kerja dan perusahaan merupakan dua faktor yang

tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan terjadinya sinergi kedua faktor itu baru perusahaan akan berjalan dengan baik. Begitu pula sebaliknya, seahli apapun tenaga kerja tanpa adanya perusahaan hanya akan melahirkan produk pengangguran. Sisi lain, pengusaha sebagai pemilik perusahaan berada pada posisi yang kuat sebab didukung modal yang besar, sedangkan tenaga kerja hanya bermodalkan keahlian, intelektual, menjadikan tenaga kerja berada pada posisi yang lemah. Hal ini sering digunakan oleh pengusaha yang nakal berbuat semena-mena terhadap karyawannya dalam mendapatkan hak-haknya seperti hak upah yang layak, hak mendapatkan pesangon, hak istirahat, dan hak cuti serta hak mendapatkan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) berupa : 1. 2. 3. 4. Jaminan kecelakaan kerja, Jaminan kematian, Jaminan hari tua dan Jaminan pemeliharaan kesehatan. Hubungan buruh yang dalam penulisan ini disebut tenaga kerja dengan perusahaan sebagai majikan tunduk dibawah aturan ketenagakerjaan apabila diantara mereka telah ada hubungan kerja. Hubungan kerja antara tenaga kerja dan majikan terjadi apabila diantara mereka telah ada perjanjian kerja. Hubungan kerja sebagai bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antaraUniversitas Sumatera Utara

14 pekerja dengan pengusaha. Perjanjian kerja yang dalam bahasa Belanda disebut "Arbeidsoverenkoms", mempunyai beberapa pengertian.3 Hubungan kerja saat ini juga dikenal dengan hubungan industrial dikenal dengan Perjanjian Kerja Perorangan baik untuk pekerjaan tertentu maupun waktu tertentu dan Perjanjian Kerja untuk waktu tidak tertentu serta Perjanjian Kerja kolektif yang dibuat antara perwakilan pekerja Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dengan pengusaha atau gabungan pengusaha. Perjanjian kerja pada masa sekarang ini masih sangat diperlukan sebagai pendamping dari peraturan perundang-undangan yang berlaku karena secara umum peraturan perundang- undangan ketenagakerjaan kita belum mengatur secara terperinci tentang syarat- syarat kerja, hak dan kewajiban masing-masing pihak, khususnya dalam peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya. Untuk pengaturan

syarat- syarat kerja tersebut agar dapat dipedomani sehari-hari dalam hubungan kerja, maka perlu diatur melalui Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama. Perjanjian kerja sebagai suatu bentuk perikatan antara tenaga kerja dan majikan juga tunduk pada ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Pasal 1233 KUH Perdata menentukan bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, maupun karena undang-undang. Dari ketentuan tersebut diketahui bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian memang dikehendaki3 Lalu

Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 53. Universitas Sumatera Utara

15 para pihak sedangkan perikatan yang timbul karena undang-undang menurut Pasal 1352 KUH Perdata diperinci menjadi 2 (dua), yaitu perikatan yang timbul semata- mata karena undang-undang dan perikatan yang timbul dari undang-undang akibat dari perbuatan orang. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menentukan "semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) jo Pasal 1320 mengandung asas kebebasan berkontrak, maksudnya setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian serta bebas untuk menentukan bentuk dan isi dari perjanjian tersebut menurut yang dikehendaki dalam batas-batas tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Asas kebebasan berkontrak ini juga mendorong para pihak untuk saling mengadakan perjanjian yang bebas bentuknya, termasuk dalam perjanjian kerja. Pasal 1601 a KUH Perdata memberikan pengertian perjanjian kerja adalah suatu perjanjian di mana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak yang lain, majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah". Perjanjian kerja merupakan titik tolak lahirnya hubungan kerja antara seorang tenaga kerja dengan pengusaha/majikan. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajibanUniversitas Sumatera Utara

16 para pihak. Untuk sahnya suatu perjanjian kerja Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa : Perjanjian Kerja dibuat atas dasar (1) Kesepakatan kedua belah pihak, (2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, (3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan (4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berkaitan dengan Perjanjian Kerja ini Subekti menegaskan : Perjanjian Kerja adalah perjanjian antara seseorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian dimana ditandai oleh ciri-ciri adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperbatas (dierst verhadning) yaitu suatu hubungan yang berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah yang harus ditaati pihak yang lain.4 Berkenaan dengan hal ini, Ridwan Halim mengemukakan bahwa : Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian yang diadakan antara majikan tertentu dan karyawan atau karyawan tertentu yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak selaras dengan hak dan kewajiban mereka masing-masing, terhadap satu sama lainnya".5 Pakar hukum perburuhan lain memberikan pengertian dengan penekanan pada posisi keduabelah pihak. Wiwoho Soedjono mengemukakan bahwa "Pengertian Perjanjian Kerja merupakan hubungan antara seseorang yang bertindak sebagai pekerja atau buruh

dengan seseorang yang bertindak sebagai majikan".6 Dalam ketentuan perjanjian kerja ada unsur wewenang untuk memerintah, artinya antara keduabelah pihak ada kedudukan yang tidak sama yang disebut4 Subekti,

Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1989, hal. 57. Halim, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, Jakarta, 1987, hal 21. 6 Wiwoho, Soedjono, Op.Cit., hal 19. Universitas Sumatera Utara5 A.Ridwan

17 sub ordinasi seperti dikemukakan Djumialdji bahwa ada pihak yang kedudukannya di atas, ada yang memerintah dan ada pihak yang kedudukannya di bawah yaitu yang diperintah".7 Menyimak pengertian perjanjian kerja menurut KUH Perdata seperti tersebut di atas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja ialah "di bawah perintah pihak lain", di bawah perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan bawahan dan atasan (sub ordinasi). Dalam hal ini Lalu Husni mengatakan bahwa: Pengusaha sebagai pihak yang lebih tinggi secara sosial ekonomi memberikan perintah kepada pihak pekerja/buruh yang secara sosial ekonomi mempunyai kedudukan yang lebih rendah untuk melakukan pekerjaan tertentu. Adanya wewenang perintah inilah yang membedakan antara Perjanjian Kerja dengan perjanjian lainnya.8 Berdasarkan pengertian perjanjian kerja di atas, dapat ditarik beberapa unsur dari perjanjian kerja yakni : a. Adanya unsur work atau pekerjaan Dalam suatu Perjanjian Kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian), pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seizin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUH Perdata Pasal 1603a yang berbunyi : "Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya; hanya dengan seizin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya". b. Adanya unsur perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan yang diperjanjikan. c. Adanya upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja (Perjanjian Kerja),7Djumialdji,

F.X., Perjanjian Kerja, Edisi kedua, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 18 8 Lalu Husni, Op.Cit., hal. 55. Universitas Sumatera Utara

18 bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah untuk memperoleh upah.9 Suatu hal yang menjadi ciri khas pada perjanjian kerja tidak ditemui pada perjanjian lain, yaitu adanya pengaturan tentang penyelesaian perselisihan perburuhan. Para pihak yang membuat perjanjian kerja biasanya menentukan sendiri lembaga perselisihan mereka. Sedangkan mengenai syarat sahnya perjanjian kerja mengikuti ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, dimana untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu (1) sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, (2) Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, (3) Suatu hal tertentu dan (4) Suatu sebab yang halal. Ketentuan mengenai syarat sahnya perjanjian ini juga dipakai sebagai dasar dibuatnya suatu Perjanjian Kerja. Hal ini tertuang dalam Pasal 52 ayat (1) Undang- Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar : 1. Kesepakatan kedua belah pihak; 2. Kemampuan atau kecakapan melakukan

perbuatan hukum; 3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; 4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.10 Hubungan kerja juga dilakukan sesuai dengan waktu yang ditentukan. Pada unsur waktu ini dapat dibedakan atas :9Ibid.,

hal. 55-56. 10Ibid., hal. 57. Universitas Sumatera Utara

19 a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Perjanjian Kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk melakukan kerjaan tertentu. b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) Perjanjian Kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja tetap. PKWTT ini diatur didalam Peraturan Perusahaan. c. Perjanjian Kerja Harian atau Borongan Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (pemborong) mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan dimana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.11 Walaupun syarat dan ketentuan isi dari suatu perjanjian kerja telah diatur dengan ketentuan perundang-undangan, namun tetap saja perjanjian kerja tersebut masih memiliki kelemahan di dalam penerapannya. Dalam perjanjian kerja yang dibuat secara sukarela dengan tertulis tidak diatur ketentuan yang menguntungkan pekerja, bahkan cenderung merugikan bagi pekerja, dimana perusahaan dapat melakukan pemutusan hubungan kerja apabila terjadi suatu peristiwa yang merugikan perusahaan tanpa memberikan surat peringatan maupun hak apapun bagi tenaga kerja. Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa tenaga kerja dan perusahaan merupakan 2 (dua) faktor yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Dengan terjadinya sinergi kedua faktor itu baru perusahaan akan berjalan dengan baik. Namun demikian, dalam praktek terjadinya hubungan hukum antara tenaga kerja dan dan perusahaan dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja yang terlebih dahulu dipersiapkan oleh perusahaan.11 FX.

Djumialdji, Perjanjan Kerja, Bumi Aksara, Jakarta, 1997, hal 24 . Universitas Sumatera Utara

20 Hal ini dapat dilihat dari beberapa perjanjian kerja yang diperoleh dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan, khususnya terhadap Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) pada perusahaan-perusahaan di Kota Medan. Berdasarkan penelaahan terhadap beberapa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan Peraturan Perusahaan dimana di dalamnya tercantum Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) tersebut dimana di dalamnya belum mencerminkan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak pekerja. Hal ini diketahui dari periode tahun tahun 2008 sampai dengan periode tahun 2010 ditemukan adanya 20 (dua puluh) perjanjian kerja yang didaftarkan ke Dinas Tenaga Kerja Kota Medan. Diantara 20 (dua puluh) perjanjian kerja tersebut diantaranya kebanyakan berbentuk perjanjian kerja waktu tidak tertentu sehingga dianjurkan untuk dilakukan perubahan antara lain karena sangat merugikan tenaga kerja, dimana dalam perjanjian tersebut tidak sepenuhnya memenuhi asas kebebasan berkontrak dalam Hukum Perdata dan Ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Perubahan yang dilakukan disebabkan karena perjanjian yang dibuat menunjukkan adanya ketidakadilan yang merugikan tenaga kerja. Ketidakadilan pihak perusahaan tersebut dapat mendorong pekerja melakukan berbagai macam aksi seperti unjuk rasa dan pemogokan karena isi perjanjian kerja yang dibuat oleh perusahaan tersebut merugikan

pekerja yang bekerja di suatu perusahaan.Universitas Sumatera Utara

21 Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih lanjut mengenai perjanjian kerja yang dibuat perusahaan dan akibat hukumnya apabila terjadi pemutusan hubungan kerja. Penelaahan ini nantinya akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul Akibat Hukum Perjanjian Kerja yang Dibuat Perusahaan dengan Pekerja Ditinjau Dari Hukum Perdata dan Undang- Undang Ketenagakerjaan (Studi Terhadap Perjanjian Kerja yang Didaftarkan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan). B. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti dan dibahas lebih lanjut sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kerangka hukum perjanjian kerja yang dibuat oleh perusahaan dengan tenaga kerja yang didaftarkan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan ? 2. Apakah faktor penyebab terjadinya permasalahan dalam pembuatan atau pelaksanaan perjanjian kerja yang didaftarkan ? 3. Bagaimanakah akibat hukum dan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja atas perjanjian kerja tersebut ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :Universitas Sumatera Utara

22 1. Untuk mengetahui kerangka hukum perjanjian kerja yang dibuat oleh perusahaan dengan tenaga kerja yang didaftarkan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan. 2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya permasalahan dalam pembuatan atau pelaksanaan perjanjian kerja yang didaftarkan. 3. Untuk mengetahui akibat hukum dan perlindungan hukum terhadap tenaga kerja atas perjanjian kerja tersebut. D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis dalam pengembangan ilmu hukum pada umumnya. Secara Teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbang saran dalam ilmu pengetahuan hukum perburuhan secara umum dan hubungan industrial, pembuatan perjanjian kerja dan akibat hukumnya bagi para pekerja. Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada masyarakat, khususnya kepada para pihak yang terlibat dalam pembuatan perjanjian kerja serta instansi terkait dalam pengawasan ketenagakerjaaan, agar lebih mengetahui tentang hak dan kewajibannya dengan adanya perjanjian kerja tersebut serta akibat hukum yang dapat timbul atas perjanjian tersebut pada saat hubungan kerja berakhir. E. KeaslianPenelitian Berdasarkan hasil penelusuran sementara dan pemeriksaan yang telah penulis lakukan baik di kepustakaan penulisan karya ilmiah Magister Kenotariatan maupunUniversitas Sumatera Utara

23 di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, dan sejauh yang diketahui, terdapat salah satu penelitian lain yang membahas tentang tenaga kerja, yaitu : 1. Penelitian oleh Satiruddin Lubis, Nim 077011068/ MKn dengan judul Analisa Hukum Pengaturan Syarat-Syarat Kerja Dan Hak-Hak Normatif Dalam Perjanjian Kerja Bersama Studi Pada PT.Umada Di Medan. 2. Penelitian oleh Muhammad Fajrin Pane, Nim 067005017/HK dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja/Buruh Dalam Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dilihat dari judul tersebut terlihat bahwa perbedaan dengan penelitian

tentang Akibat Hukum Perjanjian Kerja yang Dibuat Perusahaan dengan Pekerja Ditinjau Dari Hukum Perdata Dan Undang-Undang Ketenagakerjaan (Studi Terhadap Perjanjian Kerja yang Didaftarkan pada Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan), belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, penelitian ini adalah asli adanya. Artinya secara akademik penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya, karena belum ada yang melakukan penelitian yang sama dengan judul penelitian ini. F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Soerjono Soekanto mengatakan bahwa bahwa perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, jugaUniversitas Sumatera Utara

24 sangat ditentukan oleh teori.12 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.13 Kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis.14 Dalam hubungannya dengan ketenagakerjaan dan perjanjian kerja dalam prakteknya dipandang ketentuan perundang-undangan tidak berpihak kepada masyarakat luas seperti kaum buruh atau pekerja, termasuk dalam hal ini dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tetapi justru berpihak kepada kepentingan segelintir orang seperti pengusaha. Kerangka teori yang berhubungan dengan hal tersebut sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato (427-347 SM), filsuf Yunani mengatakan bahwa untuk menciptakan kedamaian dan kesejahteraan di sebuah negara, hendaklah keadilan yang memerintah di negara tersebut.15 Menanggapi Plato, John Rawls mengatakan, sebuah masyarakat tertata dengan baik ketika masyarakat tersebut secara efektif diatur oleh konsepsi publik mengenai keadilan dan ketika dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya.16

Menurut Lawrence M. Friedmann, suatu sistem hukum terdiri dari 3 (tiga) unsur yaitu struktur (structure), substansi (substance) dan budaya hukum12 Soerjono 13 J.J.J.

Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta 1986, hal. 6. M. Wuisman, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, jilid I, Penyunting, M. Hisyam, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 203. 14 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Mandar Maju, Bandung ,1994, hal 80. 15 John Rawls. Teori Keadilan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2006. hal. 5. 16 Ibid., hal. 5.

Universitas Sumatera Utara

25 (legal culture). Jika seorang merasa dirugikan oleh warga masyarakat lain, tentu ia menggugat pihak lain itu agar bertanggung jawab secara hukum atas perbuatannya. Dalam hal ini diantara mereka mungkin saja sudah terdapat hubungan hukum berupa perjanjian di lapangan hukum keperdataan, tetapi dapat pula sebaliknya sama sekali tidak ada hubungan hukum demikian. Dalam Pancasila, mengenai perjanjian kerja juga memperoleh landasan idiil (filosifis) hukumnya pada sila kelima yaitu : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengertian keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia, di dalamnya terkandung suatu Hak seluruh rakyat Indonesia untuk diperlakukan sama (equality) di depan hukum. Hak adalah suatu kekuatan hukum, yakni hukum dalam pengertian subyektif yang merupakan kekuatan kehendak yang diberikan oleh tatanan hukum. Oleh karena hak dilindungi oleh tatanan hukum, maka pemilik hak memiliki kekuatan untuk mempertahankan haknya dari gangguan/ancaman dari pihak manapun juga.17 Radbruch juga menyebut keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum sebagai 3 (tiga) ide dasar hukum, yang berarti dapat dipersamakan dengan asas hukum. Di antara ketiga asas tersebut yang sering menjadi sorotan utama adalah masalah keadilan, dimana Friedman menyebutkan bahwa : In terms of law, justice will be judged as how law treats people and how it distributes its benefits and cost,

17 Hans

Kelsen, Teori Hukum Murni, (Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif), Terjemahan Raisul Muttaqien, Nusamedia & Nuansa Bandung, 2006, hal. 152.

Universitas Sumatera Utara

26 dan dalam hubungan ini Friedman juga menyatakan bahwa: every function of law, general or specific, is allocative.18 Sebagai asas hukum, dengan sendirinya menempatkan asas ini menjadi rujukan pertama baik dalam pengaturan perundang-undangan maupun dalam berbagai aktivitas yang berhubungan dengan perjanjian kerja oleh semua pihak yang terlibat di dalamnya. Keseimbangan perlindungan hukum terhadap para pihak atas suatu perjanjian kerja tidak terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan- hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Berdasarkan teori tersebut konsepsi publik keadilan yakni, masyarakat di mana (1) setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama, serta (2) institusi-institusi sosial dasar yang ada umumnya sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut.19 Menurut teori keadilan di atas dikatakan bahwa keadilan (equality) adalah suatu keadaan yang muncul dalam pikiran seseorang jika ia merasa bahwa rasio antara usaha dan imbalan adalah seimbang dengan rasio individu yang dibandingkannya. Inti dari teori keadilan ialah bahwa karyawan membandingkan usaha mereka terhadap imbalan dengan imbalan karyawan lainnya dalam situasi kerja yang sama. Teori menjadi motivasi ini didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dimotivasi oleh keinginan untuk diperlakukan secara adil dalam18 Peter

Mahmud Marzuki, The Need for the Indonesian Economic Legal Framework, Dimuat dalam Jurnal Hukum Ekonomi, (Edisi IX, Agustus, 1997), hal. 2 19 Ibid.,

Universitas Sumatera Utara

27 pekerjaan. Individu bekerja untuk mendapat tukaran imbalan dari organisasi atau perusahaan. Dalam hal ini ini Lalu Husni mengatakan bahwa : Sebagai suatu bentuk intervensi pemerintah terhadap mekanisme perburuhan melalui peraturan perundang-undangan yang telah membawa perubahan mendasar, yakni menjadikan sifat hukum perburuhan menjadi ganda yaitu bersifat privat yang melekat pada prinsip adanya hubungan kerja yang ditandai dengan adanya perjanjian kerja antara buruh dengan pengusaha atau majikan, sekaligus juga sifat publik dalam artian adanya sanksi pidana, sanksi administratif bagi pelanggar ketentuan di bidang ketenagakerjaan/perburuhan dan ikut campur tangannya pemerintah dalam menetapkan besarnya upah.20 Pemerintah (negara) harus mampu memposisikan dirinya sebagai regulator yang bijak melalui sarana pembentukan dan pelaksanaan Hukum Ketenagakerjaan dikarenakan Hukum Ketenagakerjaan akan menjadi sarana utama untuk menjalankan kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan itu sendiri. Kebijakan ketenagakerjaan (labor policy), di Indonesia dapat dilihat dalam UUD 1945 sebagai Konstitusi Negara, juga dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.21 Beberapa teori di atas merupakan dasar yang dijadikan pisau analisis guna menggambarkan kondisi yang mewarnai sistem perburuhan dan ketenagakerjaan dewasa ini. Sistem perundang-undangan seperti telah melegalkan buruh, eksploitasi secara besarbesaran, pengurasan keringat dan tenaga buruh demi akumulasi modal yang sebesarbesarnya. Tenaga kerja merupakan komoditi yang dikebiri hak-hak20 Lalu

Husni, Op.Cit., hal 10. Politik Hukum dalam Hukum Ketenagakerjaan Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan, Disertasi, SPS USU, Medan 2006, hal.30-31.21 Agusmidah,

Universitas Sumatera Utara

28 kemanusiaannya. Inilah wajah dari kapitalisme sebagai sebuah sistem yang menggerogoti tubuh-tubuh buruh dengan harga dan imbalan yang tidak seimbang. Hal ini tentunya sangat ironis, buruh sebagai tulang punggung produksi tidak mendapatkan upah yang sesuai dengan kerja yang mereka lakukan. Dalam suatu hubungan kerja, seharusnya pengusaha sebagai pihak pemberi kerja dan upah mempunyai kedudukan sosial ekonomi dan latar belakang pendidikan yang lebih tinggi, sehingga dalam melakukan hubungan hukum dengan pekerja sebagai pihak yang mempunyai kondisi yang lemah dalam segala aspeknya, kebebasan dalam melakukan hubungan hukum khususnya pembuatan perjanjian kerja ada di tangan pihak pengusaha. Salah satu upaya dalam melakukan perlindungan dan kepastian hukum dan menciptakan suatu kehidupan yang layak bagi kemanusian, antara lain adalah dengan pelaksanaan pembuatan Kesepakatan Kerja Bersama yang sekarang dikenal sebagai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Karena Kesepakatan Kerja Bersama merupakan suatu kesepakatan antara Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) dengan pengusaha yang akan dapat menjembatani aspirasi dari para pihak dan dalam penyelenggaraan hubungan kerja akan mendapat hak dan kewajiban yang kuat. Adanya suatu pengaturan mengenai jaminan sosial di dalam Kesepakatan Kerja Bersama akan sangat menguntungkan pihak pekerja karena benar-benar melindungi pekerja sebagai pihak yang lemah serta dapat mencerminkan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan terhadap tenaga kerja. Kesepakatan Kerja BersamaUniversitas Sumatera Utara

29 merupakan salah satu sarana utama untuk melaksanakan Hubungan Industrial Pancasila (HIP). Kartasapoetra yang dikutip Zainal Asikin mengatakan bahwa bentuk perlindungan hukum bagi tenaga kerja meliputi: a. Norma keselamatan kerja, yang meliputi keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat-alat kerja dalam proses melaksanakan pekerjaannya. b. Norma kesehatan kerja dan hygiene kesehatan perusahaan yang meliputi pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan kerja. c. Norma kerja, meliputi perlindungan terhadap waktu kerja, sistem pengupahan, cuti, istirahat tenaga kerja wanita, anak kesusilaan agama dan kewajiban sosial kemasyarakatan. d. Kepada tenaga kerja yang mendapat kecelakaan/menderita penyakit akibat kerja berhak atas ganti rugi perawatan dan rehabilitasi akibat kecelakaan kerja tersebut. 22 Zainal Asikin juga mengutip pendapat Imam Supomo yang membagi perlindungan bagi pekerja menjadi tiga macam, yaitu : 1. Perlindungan ekonomi, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha untuk memberikan kepada mereka suatu bentuk penghasilan yang cukup memenuhi keperluan sehari-hari beserta keluarganya (Jaminan Sosial). 2. Perlindungan Sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha kemasyarakatan, yang bertujuan memungkinkan pekerja itu mengenyam dan memperkembangkan perikehidupannya sebagai manusia pada umumnya dan sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga (Kesehatan Kerja). 3. Perlindungan Teknis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha untuk menjaga pekerja dari bahaya yang ditimbulkan pesawat atau alat kerja lainnya atau oleh bahan yang diolah atau dikerjakan perusahaan (Keselamatan Kerja).23)Zainal Asikin, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan (Pengertian, Sifat dan Hakekat Hukum Perburuhan, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hal. 96. 23 Ibid., hal. 97. Universitas Sumatera Utara22

30

Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada dasarnya bentuk perlindungan bagi tenaga kerja meliputi 3 (tiga) bagian utama, yaitu Jaminan sosial, kesehatan kerja dan keselamatan kerja. Setelah terjadinya hubungan kerja, selanjutnya yang sering menjadi permasalahan dalam Perjanjian Kerja adalah pada saat berakhirnya hubungan kerja atau Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Lalu Husni mengatakan bahwa : Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu peristiwa yang tidak diharapkan terjadinya, khususnya dari kalangan buruh/pekerja karena dengan PHK buruh/pekerja yang bersangkutan akan kehilangan mata pencaharian untuk menghadapi diri dan keluarganya, karena itu semua pihak yang terlibat dalam hubungan industrial (pengusaha, buruh/pekerja, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah), dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.24 Bila dilihat pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP-78/MEN/2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. KEP-150/ MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Ulang Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Bakti, dan Ganti Kerugian di Perusahaan, maka pengertian Pemutusan Hubungan Kerja sesuai dengan Pasal 1 angka 4 adalah "Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan izin Panitia Daerah atau Panitia Pusat".25 Di dalam Pasal 1 angka 19 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang24 Lalu

Husni, Op.Cit., hal 177. Keputusan Menteri No. Kep-78/MEN/2001 tentang Perubahan Atas Beberapa Pasal Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia No. Kep-150/MEN/2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Ulang Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Bakti, dan Ganti Kerugian di Perusahaan, Depnaker, Jakarta, 2001, hal. B-3.25 Anonimus,

Universitas Sumatera Utara

31 Ketenagakerjaan, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) diartikan pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha". Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha. Dalam literatur Hukum Perburuhan atau Hukum Ketenagakerjaan dikenal ada beberapa jenis antara lain (1) Pemutusan hubungan kerja oleh majikan/pengusaha, (2) Pemutusan hubungan kerja oleh buruh/pekerja, (3) Hubungan kerja putus demi hukum, dan (4) Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan. Dengan demikian jelaslah bahwa hubungan kerja adalah suatu hubungan antara majikan atau pengusaha dengan buruh atau pekerja yang umumnya berkenaan dengan segala persyaratan yang secara timbal balik harus dipenuhi oleh kedua belah pihak. Apabila kemudian hak dan kewajiban tidak terpenuhi seperti dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, maka dengan sendirinya menimbulkan sengketa atau perselisihan perburuhan Oleh karena itu, guna mewujudkan pemenuhan hak-hak dan kewajiban mereka masing-masing terhadap satu sama lainnya, termasuk sebagaimana disebutkan di atas yaitu lembaga yang akan menyelesaikan diantara mereka. Namun berkaitan pula dengan hal tersebut di atas, pemerintah melalui Pasal 141 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang KetenagakerjaanUniversitas Sumatera Utara

32 menunjuk Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI), sebelumnya menurut Pasal 1 angka 1 huruf f dan g Undang-Undang No. 22 Tahun 1957 Lembaga tersebut adalah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), sebagai lembaga resmi untuk

penyelesaian perselisihan perburuhan. Sekarang setelah keluar Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 lembaga yang berwenang dalam untuk penyelesaian perselisihan perburuhan adalah Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaga PPHI). Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa sekarang ini lembaga yang berwenang dalam penyelesaian perselisihan Perburuhan adalah Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI). Hal ini sesuai dengan pendapat Lalu Husni bahwa "Pengaturan penyelesaian dalam Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Undang-Undang No. 13 Tahun 2003) sesuai dengan Undang-Undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial nantinya dilakukan oleh Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial yang merupakan Peradilan Adhoc di Pengadilan Negeri.26 Dengan demikian dapat dikatakan pemutusan hubungan kerja baru sah bila telah ada izin dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud di atas. Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) merupakan wadah bagi para pekerja/buruh untuk menyalurkan aspirasi mereka, sedangkan26 Lalu

Husni., Op.Cit., hal 188-189. Universitas Sumatera Utara

33 Lembaga PPHI baik daerah maupun pusat merupakan suatu lembaga yang akan membantu menyelesaikan perselisihan perburuhan bila penyelesaian secara damai yang dilakukan oleh SPSI dengan pihak majikan atau pengusaha tidak berhasil. 2. Konsepsional Konsepsi yang dimaksud disini adalah kerangka konsepsional merupakan bagian yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan penulis. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus,27 yang disebut dengan definisi operasional. Dalam penelitian ini, dirumuskan serangkaian kerangka konsepsi atau definisi operasional sebagai berikut : 1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun masyarakat.28 2. Pengusaha adalah orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang menjalankan perusahaan milik sendiri.29 3. Perusahaan adalah:30 a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum baik milik swasta maupun27 Sumadi

Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta 1998, hal. 3. 28 Lihat Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 29 Lihat Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 30 Lihat Pasal 1 Butir 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Universitas Sumatera Utara

34 milik Negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. b. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. 4. Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.31 5. Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan dalam suatu perjanjian yang menurut Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.32 Akibat hukum ini perjanjian kerja menimbulkan hubungan kerja. 6. Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.33

7. Perjanjian kerja adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu (buruh) mengikatkan dirinya untuk di bawah perintah pihak lain (majikan), untuk sesuatu waktu tertentu, melakukan pekerjaan dengan menerima upah,34 sedangkan di dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan perjanjian kerja adalah sebagai perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau31 Pasal

1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata 32 Pasal 1601a Kitab Undang-undang Hukum Perdata 33 Lihat Pasal 1 Butir 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 34 Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata

Universitas Sumatera Utara

35 pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.35 8. Perjanjian Kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.36 9. Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didasarkan atas:37 a. Jangka waktu; atau b. Selesainya suatu pekerjaan tertentu. 10. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu: a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun c. Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d. Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.38 11. Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.4235 Lihat

Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 36 Lihat Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 37 Lihat Pasal 56 ayat (2) UndangUndang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 38 Lihat Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Universitas Sumatera Utara

36 12. Hubungan Industrial Pancasila (HIP) adalah suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.39 13. Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.40 14. Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.41 G. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian Objek penelitian adalah mengenai akibat hukum akibat hukum perjanjian kerja yang dibuat perusahaan dengan pekerja ditinjau dari ketentuan Hukum Perdata dan UndangUndang Ketenagakerjaan.39 Lihat

Pasal 1 Butir 16 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.. 40 Lihat Pasal 1 Butir 25 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. 41 Lihat Pasal 1 Butir 30 UndangUndang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Universitas Sumatera Utara

37 Penelitian ini difokuskan pada perjanjian kerja yang dibuat perusahaan yaitu Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). 2.

Sifat dan Jenis Penelitian Rancangan penelitian tesis ini merupakan penelitian yang menggunakan penelitian deskriptif analitis, yang menguraikan/ memaparkan sekaligus menganalisis tentang akibat hukum perjanjian kerja yang dibuat perusahaan dengan pekerja dan kaitannya dengan pemutusan hubungan kerja ditinjau dari hukum perjanjian. Jenis penelitian yang diterapkan adalah memakai penelitian dengan metode penulisan dengan yuridis normatif (penelitian hukum normatif), yaitu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku sebagai pijakan normatif. Pendekatan yang digunakan adalah melalui pendekatan dokumen karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan atau penelitian dokumen yang ditujukan atau dilakukan dengan melihat dan menelaah berbagai ketentuan undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dan relevan dengan perjanjian kerja yang menjadi objek penelitian ini atau dengan perkataan lain melihat hukum dari aspek normatif yang difokuskan pada perbandingan antara Hukum Perdata dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi teoriUniversitas Sumatera Utara

38 atau doktrin, pendapat atau pemikiran konseptual dan penelitian pendahulu yang berhubungan dengan objek telaah penelitian ini, yang dapat berupa peraturan perundangundangan, dan karya ilmiah lainnya. 4. Sumber data Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif, oleh karena itu makaupaya untuk memperoleh data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara melakukan penelitian kepustakaan, yaitu mengumpulkan data baik yang bersifat bahan hukum primer, sekunder maupun tersier seperti doktrin-doktrin dan perundangundangan atau kaedah hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. Sumber-sumber data kepustakaan diperoleh dari : (1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; a. Norma atau kaidah dasar yaitu Pancasila b. Peraturan dasar dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 c. Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1981 tentang Perlindungan, Upah, Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor PER-101/MEN/2004 tentang Pelaksanaan Ketentuan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. d. Peraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja yang diperoleh dari Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan.Universitas Sumatera Utara

39 (2) Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasilhasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. (3) Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini. Sebagai data penunjang dalam penelitian ini juga didukung dengan penelitian lapangan (field research) guna akurasi terhadap hasil penelitian yang dipaparkan, yang dapat berupa wawancara dengan pejabat instansi yang berwenang dalam pengawasan ketenagakerjaan dalam hal ini Dinas Sosial dan Tenaga Kerja Kota Medan. 5. Alat Pengumpulan Data Berdasarkan metode pendekatan penelitian ini, maka alat pengumpulan data yang

digunakan adalah sebagai berikut : a. Studi Dokumen, yaitu dengan meneliti dokumendokumen yaitu tentang perjanjian dan klausula baku dalam perjanjian. Dokumen ini merupakan sumber informasi yang penting yang merupakan dasar dilakukannya penelitian baik dari ketentuan norma dan perundang-undangan maupun kontrak atau perjanjian yang dibuat para pihak.Universitas Sumatera Utara

40 b. Wawancara42 dengan menggunakan pedoman wawancara (interview quide). Wawancara dilakukan terhadap narasumber dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya baik secara terarah maupun wawancara bebas dan mendalam (depth interview). 6. Analisis Data Di dalam penelitian hukum normatif, maka analisis data pada hakekatnya berarti kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi berarti, membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.43 Setelah itu keseluruhan data tersebut akan disistematisasikan sehingga menghasilkan klasifikasi yang selaras dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang baik pula.44 Selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif, yaitu dengan cara penguraian, menghubungkannya dengan peraturan-peraturan yang berlaku menghubungkannya dengan pendapat para pakar hukum dengan menggunakan metode deduktif dan induktif sehingga diperoleh kesimpulan sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.42 Herman

Warsito, Pengantar Metodologi Penelitian, Buku Panduan Mahasiswa, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, halaman. 71, yang menyatakan wawancara merupakan alat pengumpul data untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi arus informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) informasi dalam wawancara, yaitu pewawancara (interviewer), responden (interview) pedoman wawancara, dan situasi wawancara. hal. 106. 43 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1986, hal. 251. 44 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002,

Universitas Sumatera Utara

41