bab i pendahuluanfi’liyah) yang ada pada cerpen. penelitian tentang klausa verbal sebelumnya...

46
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama manusia melalui suatu perantara. Manusia mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan perasaan yang mereka miliki melalui bahasa. Menurut Kridalaksana (2001: 21) bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer dan konvensional yang digunakan dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan mengidentifikasi, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, bahasa dapat dikatakan sebagai alat yang dapat mengidentifikasi diri. Ilmu yang mempelajari tentang bahasa salah satunya adalah Ilmu sintaksis. Sintaksis merupakan ilmu tatabahasa yang membicarakan hubungan antara kata dalam tuturan (speech) baik lisan maupun tulisan. Sintaksis, menurut Chaer (1994 : 206), adalah ilmu yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata lain, atau unsur-unsur lain sebagai satuan ujaran. Unsur bahasa yang termasuk di dalam lingkup sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat. Sejalan dengan itu Verhaar (1983: 70) juga menyatakan bahwa bidang sintaksis menyelidiki semua hubungan antar-kata dan antar-kelompok kata (atau antar-frasa) dalam satuan dasar sintaksis itu (kalimat). Sintaksis dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ilmu nahwu. Ni‟mah (t.t.: 10) menerangkan bahwa ilmu nahwu dikhususkan untuk mempelajari kedudukan atau fungsi kata dalam susunan kalimat dan meneliti i’ra>b (keadaan akhir) kata-kata tersebut serta bagaimana cara untuk meng-i’ra>b-nya. Ilmu nahwu (sintaksis) merupakan salah satu cabang ilmu yang mendasar dalam mempelajari

Upload: others

Post on 08-Jan-2020

15 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama manusia melalui

suatu perantara. Manusia mengungkapkan ide, gagasan, pikiran, dan perasaan

yang mereka miliki melalui bahasa. Menurut Kridalaksana (2001: 21) bahasa

adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer dan konvensional yang digunakan

dalam berkomunikasi, berinteraksi, dan mengidentifikasi, baik secara lisan

maupun tulisan. Dengan demikian, bahasa dapat dikatakan sebagai alat yang dapat

mengidentifikasi diri.

Ilmu yang mempelajari tentang bahasa salah satunya adalah Ilmu sintaksis.

Sintaksis merupakan ilmu tatabahasa yang membicarakan hubungan antara kata

dalam tuturan (speech) baik lisan maupun tulisan. Sintaksis, menurut Chaer (1994

: 206), adalah ilmu yang membicarakan kata dalam hubungannya dengan kata

lain, atau unsur-unsur lain sebagai satuan ujaran. Unsur bahasa yang termasuk di

dalam lingkup sintaksis adalah frasa, klausa, dan kalimat. Sejalan dengan itu

Verhaar (1983: 70) juga menyatakan bahwa bidang sintaksis menyelidiki semua

hubungan antar-kata dan antar-kelompok kata (atau antar-frasa) dalam satuan

dasar sintaksis itu (kalimat).

Sintaksis dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah ilmu nahwu. Ni‟mah

(t.t.: 10) menerangkan bahwa ilmu nahwu dikhususkan untuk mempelajari

kedudukan atau fungsi kata dalam susunan kalimat dan meneliti i’ra>b (keadaan

akhir) kata-kata tersebut serta bagaimana cara untuk meng-i’ra>b-nya. Ilmu nahwu

(sintaksis) merupakan salah satu cabang ilmu yang mendasar dalam mempelajari

Page 2: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

2

bahasa Arab. Ilmu tersebut sangat diperlukan dalam memahami teks-teks

berbahasa Arab, mengingat banyaknya perbedaan dalam memahami teks yang

disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang kaidah-kaidah yang ada

didalamnya.

Dijelaskan diatas bahwa salah satu unsur bahasa yang termasuk dalam

sintaksis adalah klausa. Menurut Abdul Chaer (2009:150) Klausa adalah satuan

sintaksis yang bersifat predikatif. Artinya, di dalam satuan atau konstruksi itu

terdapat sebuah predikat, bila di dalam satuan tidak terdapat predikat, maka satuan

itu bukan sebuah klausa.

Kridalaksana, (2008: 124) mendefinisikan klausa sebagai satuan

gramatikal yang berupa kelompok kata, sekurang-kurangnya terdiri atas subjek

dan predikat dan berpotensi menjadi kalimat. Definisi tersebut menunjukkan

bahwa klausa itu bukan kalimat, melainkan bagian dari kalimat. Kalimat itu

sendiri diartikan sebagai satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang

biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan, serta

disertai dengan intonasi final (Chaer, 2007:240). Intonasi final ini merupakan

salah satu sebab yang membedakan antara klausa dengan kalimat. Jika kalimat

memperhatikan intonasi final maka klausa sebaliknya. Sejalan dengan

Kridalaksana yang membedakan antara klausa dan kalimat, dalam bahasa Arab

dikenal adanya istilah jumlah dan kala>m. Dalam hal ini Asrori (2004: 67)

berusaha membedakan kedua istilah tersebut. Ia berpendapat bahwa klausa dapat

disepadankan dengan jumlah, adapun kalimat dapat disepadankan dengan kala>m.

Kemudian, Asrori (2004: 67) menyatakan bahwa istilah klausa dalam bahasa Arab

memang kurang dikenal di kalangan pengkaji sintaksis bahasa Arab. Hal tersebut

Page 3: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

3

disebabkan oleh terbatasnya bahasan-bahasan atau bab-bab khusus mengenai

klausa dalam buku-buku nahwu. Di dalam buku-buku nahwu terdapat tiga istilah

kunci yaitu kalimah, jumlah, dan kala>m. Jumlah dan kala>m merupakan dua istilah

bahasa Arab yang lazim disepadankan dengan istilah bahasa Indonesia yaitu,

kalimat. Sedangkan kalimah lazim disepadankan dengan kata. Hal itu berarti

dalam bahasa Arab tidak terdapat istilah khusus untuk menyatakan klausa.

Meskipun demikian bukan berarti dalam bahasa Arab tidak terdapat konsep

klausa, terbukti dengan adanya pernyataan-pernyataan sintaksis yang mengacu

pada konstruksi di atas frasa tetapi tidak dapat berdiri sendiri, misalnya khabar

jumlah, yaitu konstruksi di atas frasa yang berkedudukan sebagai predikat (2004:

73). Khabar jumlah dapat dicontohkan sebagai berikut :

سافر أبوه اىل مكةيزلمد(1)

Muchammadun yusa>firu abu>hu ila> Makkah

„Ayahnya Muhammad bepergian ke Mekkah‟

Konstruksi bergaris bawah di atas merupakan konstruksi di atas tataran

frasa tetapi juga di bawah tataran kalimat. Konstruksi tersebut bukan kalimat

karena ia tidak berdiri sendiri. Dalam konteks satuan di atas konstruksi yusa>firu

abu>hu ila> makkah ‟ayahnya bepergian ke Mekkah‟ merupakan klausa yang

berkedudukan sebagai predikat dari subjek (2004: 73).

Al Ghulayaini (2004: 18) menjelaskan dengan lebih terperinci perbedaan

antara jumlah dan kala>m. Kala>m adalah jumlah yang mempunyai faidah terhadap

makna yang sempurna yang cukup dengan dirinya. Apabila suatu jumlah itu

belum mempunyai suatu faidah terhadap suatu makna yang sempurna yang cukup

dengan dirinya, maka tidak disebut dengan kala>m.

Page 4: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

4

Penjelasan di atas memberikan pengertian bahwa dalam bahasa Arab juga

mengenal tentang adanya klausa. Ma‟ruf (2002: 64) mengungkapkan bahwa

dalam bahasa Arab terdapat enam susunan (tarki>b) yaitu; isna>di>, idha>fi>, baya>ni>,

‘athfi>, mazji>, dan ‘adadi>. Dari keenam jenis susunan tersebut terdapat satu jenis

yang berpotensi untuk menjadi klausa atau kalimat, yaitu tarki>b isna>di>, atau biasa

dikenal dengan jumlah, sedangkan lima jenis yang lainnya hanya sebatas pada

frasa. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa istilah jumlah

adalah istilah yang sesuai untuk disepadankan dengan istilah klausa dalam bahasa

Indonesia.

Al-Ghulayaini (2007: 17), dalam bukunya menyebut istilah jumlah dan al-

murakkab al-isnadi yang mempunyai pengertian ma> ta'allafa min musnad wa

musnad ilaihi (sesuatu yang tersusun atas musnad (subjek) dan musnad ilaih

(predikat). Pengertian tersebut sejalan dengan pengertian yang disampaikan oleh

Ramlan (2001: 79) yang menerangkan bahwa dalam bahasa Indonesia klausa

diartikan sebagai satuan gramatik yang terdiri dari P(predikat), baik disertai

S(subjek), O (objek), Pel (pelengkap), dan Ket (keterangan) atau tidak. Dengan

ringkas klausa ialah susunan dari (S) P (O), (Pel) (Ket). Tanda kurung

menandakan bahwa apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya

boleh ada, boleh juga tidak ada. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa

klausa adalah satuan gramatik yang unsur-unsurnya minimal terdiri atas Subjek-

Predikat dan maksimal unsurnya terdiri atas Subjek-Predikat-Objek-Pelengkap-

Keterangan.

Menurut Al Khuli (1987: 348), dalam bahasa Arab terdapat dua jenis

jumlah (klausa), yaitu jumlah ismiyah dan jumlah fi’liyah. Di dalam bahasa

Page 5: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

5

Indonesia jumlah ismiyah dapat diartikan sebagai klausa nominal sedangkan

jumlah fi’liyah diartikan sebagai klausa verbal. Jumlah ismiyah (klausa nominal)

merupakan jumlah (klausa) yang diawali dengan ism atau kata benda, contohnya:

نيف أخيح(2)

Chani>f akhi>

„Hanif adalah kakakku‟

Contoh di atas merupakan jumlah ismiyah (klausa nominal) karena

diawali dengan ism yaitu chani>f. Jika jenis klausa tersebut adalah jumlah ismiyah

maka konstruksi subjek berupa mubtada´ dan predikat berupa khabar.

Sedangkan jumlah fi’liyah (klausa verbal) adalah jumlah (klausa) yang

diawali dengan fi’l atau kata kerja, contohnya:

جيلس زلمد على الكرسي(3)yajlisu Muchammadun ‘alal-kursiyyi „Muhammad duduk di atas kursi‟

Contoh di atas merupakan jumlah fi’liyah (klausa verbal) karena diawali

dengan fi’l yaitu yajlisu „duduk‟. Jika jenis klausa tersebut adalah jumlah fi’liyah

maka konstruksinya terdiri dari subjek berupa fa>‘il dan predikat berupa fi’l.

Menurut Asrori (2004: 67), analisis jumlah atau klausa dapat dilakukan

berdasarkan beberapa hal salah satunya analisis berdasarkan struktur intern

klausa. Struktur intern klausa dianalisis dengan memperhatikan ada tidaknya

unsur inti klausa yaitu subjek atau musnad ilaih (MI) dan predikat atau musnad

(M). Jika klausa menghadirkan kedua unsur inti klausa maka klausa tersebut

disebut klausa lengkap, sedangkan klausa yang tidak menghadirkan salah satu

unsur inti klausa maka disebut klausa tidak lengkap. Maksud ketidakhadiran unsur

Page 6: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

6

inti tersebut adalah adanya sebuah pelesapan unsur karena terdapat persamaan

pada unsur sebelumnya.

Contoh:

(Asrori 2004: 77)ة و كانت قرية خاليةيعصر ةمكة اآلن مدين(4)

Makkatul-a>n madi>natun ‘ashriyatun wa ka>nat qariyyatan khaliyyatan

„Mekah sekarang adalah kota yang ramai dan dulunya adalah desa

yang sepi‟

(Asrori 2004 : 77)ار و يدخلون السوقجحيضر الت(5)

Yachdhuru’t-Tuja>ru wa yadkhulu>na’s-su>qa

„Para pedagang sudah datang dan memasuki pasar‟

Kalimat (4) mengandung dua klausa yaitu makkatul-a>n madi>natun

‘ashriyatun „Mekah sekarang adalah kota yang ramai‟ dan ka>nat qariyyatan

kha>liyatan „dulunya adalah desa yang sepi‟. Kalimat (5) mengandung klausa

yachdhuru’t-Tuja>ru ‘para pedagang sudah datang‟ dan yadkhulu>na’s-su>qa

„memasuki pasar‟. Klausa makkatul-a>n madi>natun ‘ashriyatun merupakan klausa

lengkap karena menghadirkan S/MI makkatun dan P/M madi>natun ‘ashriyatun.

Begitu juga dengan klausa yachdhuru a’t-tuja>ru yang menghadirkan S/MI a’t-

tujaru dan P/M yahdhuru. Sedangkan klausa ka>nat qariyyatan khaliyyatan dan

yadkhulu>na’s-su>qa merupakan klausa tidak lengkap karena tidak menghadirkan

(melesapkan) S/MI.

Penelitian ini difokuskan pada pembahasan klausa verbal (dalam linguistik

umum) yang selanjutnya akan disebut dengan jumlah fi’liyah (dalam linguistik

Page 7: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

7

Arab). Pemilihan jumlah fi’liyah dalam penelitian ini dikarenakan adanya asumsi

penulis yang beranggapan bahwa jumlah fi’liyah dalam objek yang dikaji adalah

jumlah atau klausa yang lebih sering ditemukan dalam kalimat dari pada jumlah

ismiyah atau klausa nominal. Untuk itu, analisis akan dilakukan dengan

mengambil klausa verbal yang ada dalam kalimat majemuk dan kalimat tunggal

pada objek dengan tujuan ingin mengetahui berapa banyak klausa verbal (jumlah

fi’liyah) yang ada pada cerpen.

Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh

beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan oleh Irdana

Surya (2010), dalam penelitiannya yang berjudul analisis Klausa Verbal dalam

Hikayat Jundiyyun Muslimu>n dalam Buku Al-Qira>’atu Al-Arabiyyatu Karya Ibnu

Malik Dkk. Penelitian ini menggunakan analisis diskriptif dengan tujuan

mengetahui berapa banyak klausa verbal yang ada dalam objek. Kesimpulan yang

diperoleh dalam penelitian tersebut adalah ditemukannya 54 klausa verbal dalam

objek dengan rincian yaitu: 8 klausa lengkap, 38 klausa tidak lengkap, 39 klausa

verbal aktif, dan 3 klausa pasif. Kemudian, berdasarkan urutan fungtornya

ditemukan 5 klausa dengan urutan subjek dan predikat, serta 2 klausa dengan

urutan fungtor subjek, predikat dan objek. Relevansi penelitian Surya (2010)

dengan penelitian yang dilakukan penulis yaitu terkait dengan kajian yang diteliti

yaitu kajian sintaksis berupa klausa verbal. Perbedaan penelitian ini terletak pada

objek materialnya.

Penelitian lain juga telah dilakukan oleh Gilar Rizki Nugroho (2014),

dalam skripsinya yang berjudul “Klausa pada Kalimat Majemuk dalam Bahasa

Arab Berstuktur Minimal pada Fungsi Sintaksisnya dalam Buku Tazkiyyatu’n-

Page 8: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

8

Nufu>s: Analisis Sintaksis”. Dalam penelitiannya tersebut, ia meneliti klausa

berdasarkan konstruksi dan ragam klausa pada kalimat majemuk dalam bahasa

Arab berstuktur minimal pada fungsi sintaksisnya. Penelitian yang dilakukan

berupa penelitian kualitatif dengan menggunakan desain penelitian studi pustaka

(library research). Hasil analisis klausa yang dilakukan berhasil menarik

kesimpulan bahwa dalam objek yang dikaji terdapat 1.957 klausa pada kalimat

majemuk dalam bahasa arab berstuktur minimal pada fungsi sintaksisnya. Dari 50

data yang dianalisis menunjukkan 20 klausa berkonstruksi mubtada´ (topik) dan

khobar (komen), dan 30 klausa berkonstruksi fi’l (verba) dan fa>‘il-nya (pelaku).

Dari 50 data terdapat 10 klausa introduktif, 8 klausa konjungtif, 7 klausa

kondisional (subordinat), 5 klausa sakramental (subordinat), 9 klausa interfektif, 2

klausa eplikatif dan 9 klausa subordinat. Relevansi penelitian Nugroho (2014)

dengan penelitian yang dilakukan peneliti adanya persamaan pada kajiannya yaitu

membahas kajian sintaksis bahasa Arab yang berupa klausa. Perbedaan penelitian

ini terletak pada objek penelitian. Penelitian Nugroho membahas klausa

berstruktur minimal dalam buku Tazkiyyatun’-Nufu>s, sedangkan peneliti

membahas klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i .

Selanjutnya, Harduwining Astuti (2010) juga melakukan penelitian

mengenai klausa, penelitiannya itu diberi judul “Klausa Verbal dalam Wacana

Hukum dan Kriminal pada Surat Kabar Kedaulatan Rakyat Edisi Maret 2010”.

Tujuan dari penelitian yang dilakukan adalah untuk mendeskripsikan jenis-jenis

klausa verbal, struktur klausa verbal, dan perilaku sintaksis verbal yang ada pada

objek. Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian Astuti yaitu: (1)jenis

klausa verbal berjumlah 169 klausa yang meliputi klausa verbal ajektif, klausa

Page 9: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

9

verbal intransitif, klausa verbal aktif, klausa verbal pasif, klausa verbal refleksif,

dan klausa verbal resiprokal; (2) struktur klausa verbal terdiri dari 10 pola (3)

perilaku sintaksis verbal yang terdapat dalam Wacana Hukum dan Kriminal terdiri

dari 7 perilaku sintaksis Relevansi penelitian Astuti (2010) dengan penelitian yang

dilakukan peneliti adanya persamaan pada kajiannya yaitu membahas kajian

sintaksis klausa. Perbedaan penelitian ini terletak pada objek penelitian. Penelitian

Astuti membahas klausa verbal berbahasa Indonesia, sedangkan peneliti

membahas klausa verbal berbahasa Arab.

Berdasarkan pada tinjauan pustaka diatas dapat disimpulkan bahwa

penelitian tentang klausa verbal sudah pernah dilakukan. Namun, dari pengamatan

yang telah dilakukan penulis, sejauh ini penelitian klausa verbal dalam cerpen

Uchibbuka kal-Ma>´i karya Li>na Ki>lani> belum pernah dilakukan, khususnya oleh

mahasiswa Jurusan Sastra Arab Universitas Sebelas Maret Surakarta. Oleh karena

itu, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah penelitian ilmu

bahasa, khususnya dalam kajian sintaksis berbahasa Arab.

Cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i merupakan salah satu cerita dari kumpulan

cerpen karya Li>na Ki>lani>> dalam bukunya yang berjudul Uchibbuka kal-Ma>́ i.

Cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i menceritakan kisah seorang raja dan ketiga putrinya.

Dalam kisah ini diceritakan bahwa raja ingin mengetahui seberapa besar cinta

ketiga putri itu kepadanya. Putri pertama berkata bahwa cintanya seperti istana

dan seluruh isinya, putri kedua berkata bahwa cintanya seperti semua harta dan

fasilitas yang ada di kerajaan, adapun putri bungsu raja berkata bahwa ia

mencintai raja seperti ia mencintai air. Perkataan itu membuat raja salah paham

karena menurut raja, air adalah sesuatu yang tidak berharga. Hal itu membuat raja

Page 10: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

10

marah dan mengusir sang putri dari istana. Hingga suatu hari datang kemarau

panjang yang membuat banyak penduduk sakit dan tanaman-tanaman mati karena

kekurangan air. Kejadian tersebut membuat raja mengerti perkataan putri

bungsunya. Raja menyadari bahwa air adalah sesuatu yang paling penting dalam

kehidupan. Raja menyesali kesalahannya pada sang putri sehingga raja berusaha

mencarinya. Dalam kisah itu diceritakan bahwa putri tinggal di dekat aliran

sungai. Singkat cerita, putri itu mengetahui bahwa raja mencarinya, kemudian ia

berusaha menghilangkan benda-benda yang menyumbat aliran sungai. Akhirnya,

tidak lama setelah raja mencari putrinya tiba-tiba ia melihat aliran sungai mengalir

deras dan setelah itu kehidupan raja kembali seperti semula.

Penulis menjadikan cerpen ini sebagai objek penelitian karena penulis

mempunyai asumsi bahwa cerita ini merupakan cerita fiktif yang dikhususkan

untuk anak-anak sehingga bahasa yang digunakan cukup sederhana dan mudah

dipahami. Hal ini mempermudah penulis dalam melakukan analisis. Selain itu,

berdasarkan pengamatan penulis terhadap cerpen ini, penulis melihat banyak

kalimat majemuk yang menandakan banyaknya klausa, khususnya klausa verbal.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang ada dalam

cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i dapat dirumuskan sebagai berikut;

(1) Bagaimana struktur intern klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-

Ma>´i karya Li>na Ki>lani>>?

(2) Bagaimana jenis klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i

karya Li>na Ki>lani>>?

Page 11: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

11

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian ini adalah;

(1) Mendeskripsikan struktur intern klausa verbal dalam cerpen

Uchibbuka kal-Ma>´i karya Li>na Ki>lani>.

(2) Mendeskripsikan jenis klausa verbal dalam cerpenUchibbuka kal-

Ma>´i karya Li>na Ki>lani>

D. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dimaksudkan agar penelitian menjadi lebih fokus dan

terarah, sehingga mencapai sasaran yang diinginkan. Pembatasan masalah dalam

penelitian ini adalah klausa verbal pada kalimat tunggal dan kalimat majemuk

yang ada dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i karya Li>na Ki>lani>. Kalimat tunggal

yang dimaksud adalah kalimat yang hanya terdiri dari satu klausa. Sedangkan,

kalimat majemuk adalah kalimat yang mengandung dua klausa atau lebih.

E. Landasan Teori

1. Sintaksis

1.1 Pengertian Sintaksis

Ramlan (1981 : 1) berpendapat bahwa sintaksis ialah bagian atau cabang

dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan

frase. Dalam tataran sintaksis kata merupakan satuan terkecil, yang secara

hierarkial menjadi komponen pembentuk satuan sintaksis yang lebih besar yaitu

frase. Maka di sini, kata hanya dibicarakan sebagai satuan terkecil dalam

sintaksis, yaitu dalam hubungannya dengan unsur-unsur pembentuk satuan yang

lebih besar, yaitu frase, klausa, dan kalimat dalam pembicaraan kata sebagai

pengisi satuan sintaksis.

Page 12: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

12

Sintaksis dalam bahasa Arab disebut ilmu nahwu yaitu ilmu yang

mempelajari perubahan akhir kata maupun tetapnya kata tersebut. Al Ghulayaini

(2006: 8) mendefinisikan ilmu nahwu:

هبا احوال الكلمات العربية من اإلعراب )و ىو ما يعرف اليوم بالنحو( علم بأصول تعرف أو لزوم حالة نعرف ما جيب عليو أن يكون آخر الكلمة من رفع.أو جر أو جزم ابناء. فبه

. بعد انتظامها يف اجلملةةواحدAl-i’ra>bu (wa huwa ma> yu’rafu al-yaum bi a’n-nachwi) ‘ilmun bi ushu>lin tu’rafu biha> achwa>lul-kalima>ti al-‘arabiyyati min bina>´in. Fabiha na’rifu ma> yajibu ‘alaihi an yaku>na a>khirul-kalimati min raf’in au jarrin au jazmin au luzu>mi cha>latin wa>chidatin ba’da intizha>miha> fi>l-jumlati.

I’ra>b (atau yang sekarang dikenal dengan istilah nahwu) adalah

ilmu yang mempelajari keadaan-keadaan kata-kata berbahasa Arab

dari segi i’ra>b dan bina’-nya. Dengan ilmu nahwu dapat diketahui

keadaan akhir kata, apakah rafa’ (nominatif), nasab (akusatif), jar (genetif), jazm (jusif) , atau bahkan tetap pada satu keadaan setelah

tersusun dalam suatu klausa.

1.2 Kategori Sintaksis

Kategori sintaksis juga disebut sebagai kategori atau kelas kata (Alwi, et.al

2003:36). Chaer (2009: 27) menjelaskan bahwa kategori sintaksis adalah jenis

atau tipe kata atau frasa yang menjadi pengisi fungsi-fungsi sintaksis, seperti

subjek, predikat, objek, atau keterangan. Kategori sintaksis tersebut berkenaan

dengan istilah nomina, verba, adjektiva, adverbia, numeralia, preposisi, konjungsi,

dan pronomina. Pengisi fungsi tersebut dapat berupa frasa, sehingga selain kelas

kata yang nomina, terdapat pula frasa nominal. Begitu juga dengan adjektiva,

adverbia, numeralia, preposisi, konjungsi, dan pronomina yang dapat berupa

frasa sebagai pengisi fungsi sintaksis.

Menurut Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, dkk, 2003: 36),

bahasa Indonesia memiliki empat kategori sintaksis yang utama, yaitu: (1) verba

Page 13: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

13

atau kata kerja, (2) nomina atau kata benda, (3) adjektiva atau kata sifat, dan (4)

adverbia atau kata keterangan. Di samping kategori utama, terdapat juga kata

tugas yang terdiri atas preposisi atau kata depan, konjungtor atau kata sambung,

dan partikel.

Dalam bahasa Arab jenis kata dibedakan menjadi tiga kategori dasar yaitu

ism (nomina), fi’l (verba), dan charfun (partikel) (Al-Ghulayaini, 2007:14). Al-

Khuli menyebut kelas kata dalam bahasa Arab sebagai anwa>’ul kalimah dan

membaginya lebih rinci menjadi empat kategori yaitu al-asma>’ (noun), al-af‘a>l

(verb), a’n-nu‘u>t (adjective), dan a’z-zhuru>f (adverb) (1982:311)1.

1.3 Fungtor

Fungtor adalah bagian kalimat yang menduduki jabatan tertentu (Suparno,

1982 dalam Asrori, 2004). Asrori (2004: 74) menjelaskan bahwa definisi di atas

bukan hanya diterapkan pada kalimat tetapi juga dapat diterapkan pada klausa,

sebab unsur kalimat dan klausa pada dasarnya sama. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa bagian dari klausa yang menduduki jabatan tertentu juga disebut dengan

fungtor.

Telah dikemukakan bahwa klausa mempunyai dua unsur inti, yaitu S dan

P. Dalam bahasa Arab, fungtor S dapat disepadankan dengan musnad ilaih dan

fungtor P dapat disepadankan dengan musnad. Al-Ghulayaini (2007: 17)

mendefinisikan musnad sebagai ma> chakamta bihi ‘ala syai’in (sesuatu yang

menyifati atau menghukumi), sedangkan musnad ilaih di definisikan dengan ma>

chakamta ‘alaihi bisyai’in (sesuatu yang disifati atau dihukumi).

1Dalam bahasa Arab a’n-nu’ut dan a’z-zhuruf dapat dimasukkan ke dalam kelas ism.

Page 14: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

14

Kedua istilah tersebut kurang dikenal di kalangan pembelajar bahasa Arab,

karena kedua istilah itu digunakan dalam ilmu balaghah (retorika bahasa Arab),

bukan di dalam nahwu. Istilah-istilah yang digunakan dalam nahwu antara lain:

mubtada´, fa>‘il, na>´ibul fa>‘il, ism ka>na, ism inna, khabar, dan fi’l. Tetapi istilah-

istilah nahwu tersebut masing-masing mempunyai pengertian khusus yang tidak

seratus persen sama dengan konsep musnad ilaih (S) dan musnad (P). Karena itu

musnad ilaih (MI) dan musnad (M) lebih sepadan dengan S dan P (Asrori, 2004:

74). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep musnad ilaih lebih

umum sehingga dapat mewakili seluruh konsep subjek dalam bahasa arab seperti

mubtada´, fa>‘il, na>´ibul fa>‘il, ism ka>na, dan ism inna. Adapun musnad dapat

mewakili konsep khabar, dan fi’l.

Selain fungtor S dan P terdapat fungtor O (objek) dan K (keterangan).

Fungtor O sepadan dengan maf’u>l bih (MB). Dalam bahasa Arab fungtor K dapat

dirinci menjadi maf’u>l fi>h (MF) „keterangan tempat dan waktu‟, maf’u>l muthlaq

(MMu) „keterangan penegas, frequensi, dan model‟, maf’u>l li ajlih (ML)

„keterangan maksud/sebab‟, maf’u>l ma’ah (MMa) ‟keterangan penyerta‟, dan cha>l

(Ch) ‟keterangan keadaan‟. Dalam bahasa Arab, pada satuan-satuan K pada

umumnya mempersyaratkan adanya i’ra>b manshu>b (vokal akhir [a]) (2004:74).

2. Klausa

2.1 Pengertian Klausa

Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri atas subjek (S) dan predikat

(P) baik disertai objek (O), pelengkap (Pel) dan keterangan (Ket) maupun tidak;

atau klausa adalah (S) P (O) (Pel) (Ket) dengan keterangan bahwa yang ada dalam

kurung merupakan unsur manasuka (Ramlan , 2001 : 89). Sejalan dengan itu

Page 15: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

15

Ibrahim, et.al. (1996, dalam Asrori, 2004: 68) juga menyatakan bahwa kluasa

adalah satuan gramatikyang terdiri atas S dan P, baik disertai O, Pel, Ket, atau

tidak. Pendapat yang sama disampaikan oleh Badudu (1988 :20-25) yang

menyatakan bahwa fungsi struktur klausa dibagi atas subjek (S), predikat (P),

objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (Ket).

Beberapa karakteristik klausa, menurut Badudu (1988:10-15), diantaranya

adalah: (1) kesatuanbahasa terkecil yang lengkap dan bagian terkecil dari paragraf

(2) sekurang-kurangnya terdiri atas S-P dan dapat dibedakan berdasarkan susunan

S-P nya; (3) tidak memiliki intonasi final yang membedakannya dengan kalimat:

(a) deklaratif atau indikatif (berita), (b) interogatif (tanya), (c) imperatif

(perintah), dan eklamasi (seru). Mendukung pernyataan yang menyebutkan bahwa

kalimat dan klausa merupakan satuan yang berbeda, dalam hal ini Kridalaksana

mengemukakan bahwa klausa hanya berpotensi untuk menjadi kalimat. Hal

tersebut menandakan bahwa klausa memang bukan kalimat. Dalam kamus

linguistiknya Kridalaksana (1983: 71) menyatakan bahwa kalimat adalah satuan

bahasa yang secara relatif berdiri sendiri mempunyai pola intonasi final, baik

secara aktual maupun potensial terdiri atas klausa.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa klausa dikatakan mempunyai

potensi untuk menjadi kalimat karena meskipun bukan kalimat, dalam banyak hal

klausa tidak berbeda dengan kalimat, kecuali dalam hal belum adanya intonasi

akhir atau tanda baca yang menjadi ciri kalimat.

Badri (1986, dalam Asrori, 2004: 69) menggunakan istilah at-tarki>b yang

mendefinisikan klausa sebagai satuan linguistik yang terdiri atas dua unsur pokok,

Page 16: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

16

yaitu musnad ilaih (pokok kalimat, tema, mubtada´, fa>il, ism inna, dan lainnya)

dan musnad (predikat, khabar, rema, khabar inna, khabar ka>na).

Al-Ghulayaini (2007: 17) menyebut klausa dalam bahasa Arab dengan

istilah jumlah yang merupakan suatu susunan yang terdiri dari subjek (musnad)

dan predikat (musnad ilaih). Al-Ghulayaini juga menyebut jumlah sebagai

murrakab isna>di>. Istilah al-isnad merupakan pengertian dari:

رلتهدزىًن (6) :د يف قولكااحلكم بشيء,كاحلكم على زىًن باالجته

Al-chukmu bisyai´in, kal-chukma ‘ala > zuhairin bil-ijtiha>di fi> qaulik: (6)Zuhairun mujtahidun

„Mensifati sesuatu dengan sesuatu, misalnya mensifati Zuhair

dengan kesungguhannya dalam perkataan: (6)“Zuhair adalah orang

yang sungguh-sungguh”.‟

Adapun Dahdah mendefinisikan jumlah sebagai:

ية تتضمن مسنداً ومسنًدا إليو يكوِّنان عمدة ىذه اجلملة وحيّققان ادلعىن ادلفيددوحدة إسنا

Wachdatun isna>diyyatun tatadhammanu musnadan wa musnadan ilaihi yukawwinani ‘umdata hadzihil-jumlati wa yuchaqqiqa>nil-ma’na>l-mufi>da.

‘Jumlah adalah sebuah satuan predikatif yang mengandung musnad

(predikat) dan musnad ilaih (subjek), keduanya menyusun bagian

jumlah ini serta menegaskan makna yang sempurna‟ (2000:116).

Berbeda dengan Dahdah, Al-Ghulayaini mengartikan jumlah sebagai

susunan yang terdiri dari S dan P tanpa mensyaratkan adanya makna yang utuh.

Pendapat Al-Ghulayaini didukung oleh adanya konsep jumlah syarthiyah (klausa

syarat) dan khabar jumlah (predikat yang berupa klausa) dalam bahasa Arab.

Keduannya dapat dimasukkan dalam kategori jumlah, namun tidak disebut

Page 17: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

17

sebagai kala>m yang mempunyai syarat makna yang sempurna dan dapat berdiri

sendiri.

Telah dijelaskan sebelumnya bahwa apabila suatu jumlah belum

mempunyai faidah terhadap suatu makna yang sempurna yang cukup dengan

dirinya, maka tidak disebut dengan kala>m (2004: 18) seperti:

جتتهد يف عملك إن(7)In tajtahid fi> ‘amalika

„Jika engkau bersungguh-sungguh dalam amalmu‟

Satuan tersebut merupakan susunan yang belum mempunyai faidah, karena jawab

syarat dari satuan itu belum disebut dan tidak diketahui, maka hal itu tidak disebut

dengan kala>m, tetapi jika telah menyebutkan jawabnya, maka kalimat dibawah ini

menjadi kala>m seperti:

جتتهد يف عملك تنجح إن (8)

In tajtahid fi> ‘amalika tanjach

„Jika engkau bersungguh-sungguh dalam amalmu, engkau pasti sukses‟

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa istilah klausa dalam

bahasa Indonesia dapat disepadankan dengan istilah jumlah dalam bahasa Arab.

Konsep jumlah tidak bertentangan dengan konsep klausa dalam bahasa Indonesia

karena dari beberapa definisi yang telah disebutkan, jumlah juga diartikan sebagai

satuan yang mengandung subjek dan predikat serta tidak berdiri sendiri.

Asrori (2004: 69) memberi kesimpulan dari berbagai pengertian mengenai

klausa. Ia memaparkan bahwa dari berbagai definisi yang ada, semua menetapkan

dua hal, (a) berupa satuan kebahasaan dan (b) minimal dibentuk oleh S dan P, atau

Page 18: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

18

tema rema, atau musnad ilaih dan musnad. Dari dua unsur yang membentuk

klausa tersebut dapat diketahui bahwa klausa merupakan tataran yang lebih besar

daripada frasa. Hubungan antar unsur frasa tidak melebihi batas fungsi atau tidak

predikatif. Sedangkan hubungan antar unsur dalam klausa harus bersifat

predikatif dan harus melebihi batas fungsi. Berikut ini adalah contoh yang

digunakan Asrori (2004: 69), untuk menjelaskan berbagai definisi klausa yang

sudah disebutkan di atas.

(9) si bayi tidur

S P

(10) si bayi tidur nyenyak

S P K

(11) nenek mengaduk tepung

S P O

(12) nenek mengaduk tepung di dapur

S P O K

Dalam kalimat (9) terdapat klausa , yaitu „si bayi tidur‟ yang terdiri atas „si

bayi‟ yang menduduki fungsi S dan „tidur‟yang menduduki fungsi P. Pada (9) P

tidak diikuti O karena P berupa verba intransitif (tidak membutuhkan objek).

Adapun Ket yang pada dasarnya merupakan unsur manasuka dapat ditambahkan

sebagaimana tampak pada (10). Pada satuan (10) tersebut, P diikuti Ket kegiatan,

yaitu „nyenyak‟.

Kemudian, satuan (11) mengandung klausa „nenek mengaduk tepung‟

yang terdiri atas fungtor S „nenek‟, P „mengaduk‟, dan O „tepung‟. Pada (11),

fungtor O harus hadir karena P berupa verba transitif (verba yang membutuhkan

objek). Dalam hal ini (11) bisa ditambahkan fungtor Ket sebagaimana tampak

pada (12) (2004, 69-70).

Page 19: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

19

Klausa dalam bahasa Arab dapat dicontohkan dalam satuan(13) األب يبتسم

صورتويشاىد al-Abu yabtasimu yusya>hidu shu>ratahu „ayah tersenyum melihat

gambarnya‟(2004: 71). Satuan tersebut terdiri dari dua klausa, yaitu 1) al-Abu

yabtasimu dan 2) yusya>hidu shuratahu. Klausa 1) secara eksplisit terdiri dari

fungtor S al-Abu dan fungtor P yabtasimu. Klausa 2) terdiri atas yusya>hidu yang

menduduki fungsi P dan shuratihi yang menduduki fungsi O. Klausa 2)

sebenarnya memiliki S yaitu al-Abu tetapi dilesapkan karena sama dengan S pada

klausa 1) (2004: 71).

2.2 Jenis Klausa

Klausa dapat digolongkan menjadi beberapa golongan, berikut adalah

penggolongannya :

2.2.1 Jenis Klausa dalam Bahasa Indonesia

Menurut Ramlan (2001: 123) di dalam bahasa Indonesia, ada tiga dasar

yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan klausa. Ketiga dasar itu adalah

klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya, klasifikasi klausa berdasarkan

ada tidaknya unsur negasi yang menegatifkan P, dan klasifikasi klausa

berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P. Berikut penjelasannya :

1) Klausa Berdasarkan Struktur Internnya

Klasifikasi klausa berdasarkan struktur internnya mengacu pada hadir

tidaknya unsur inti klausa, yaitu S dan P. Meskipun S merupakan unsur inti,

namun unsur S sering dihilangkan akibat penggabungan klausa, dan dalam

kalimat jawaban. Adapun fungsi P sebagai unsur inti klausa lebih

seringdihadirkan. Atas dasar itu, maka hasil klasifikasi klausa berdasarkan

Page 20: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

20

struktur internnya dibagi menjadi dua yaitu klausa lengkap dan klausa tidak

lengkap:

a. Klausa Lengkap

Klausa lengkap ialah klausa yang kedua unsur intinya yaitu S dan P

dihadirkan. Klausa ini diklasifikasikan lagi berdasarkan urutan S dan P menjadi

dua yaitu klausa versi dan klausa inversi. Klausa versi (klausa susun biasa) adalah

klausa yang S-nya terletak di depan P. Contoh :

(14) badan orang itu sangat besar

S P

(15) para tamu masuklah ke ruang tamu

S P Ket

Kemudian, klausa lengkap inversi adalah klausa lengkap yang P-nya mendahului

S. Contoh :

(16) sangat besar badan orang itu

P S

(17) masuklah para tamu ke ruang tamu

P S Ket

Dalam klausa-klausa diatas „badan orang itu‟ menduduki fungsi S, „sangat besar‟

menduduki fungsi P, „para tamu‟ menduduki fungsi S, „masuklah‟ menduduki

fungsi P, dan „ke ruang tamu‟ menduduki fungsi Ket

b. Klausa Tidak Lengkap

Klausa tidak lengkap yaitu klausa yang tidak menghadirkan S. Klausa tak

lengkap sudah tentu terdiri dari unsur P, disertai O, Pel, Ket, atau tidak. Contoh:

(18) sedang bermain-main

P

(19) menulis surat

P O

(20) telah berangkat ke Jakarta

P Ket

Page 21: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

21

Klausa (18) terdari P, klausa (19) terdiri dari P diikuti O, dan klausa (20) terdiri

dari P diikuti Ket.

2) Klausa Berdasarkan Ada Tidaknya Unsur Negasi yang Menegatifkan P

Unsur negasi yang dimaksud adalah tidak, tak, bukan, belum, dan jangan.

Berdasarkan ada tidaknya klausa negatif yang secara gramatik menegatifkan atau

mengingkarkan P, klausa dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu :

a. Klausa Positif

Klausa poisitif ialah klausa yang tidak memiliki kata negatif yang

menegatifkan P. Misalnya:

(21) mereka diliputi oleh perasaan senang

S P O

(22) mertua itu sudah dianggapnya sebagai ibunya

S P Ket

b. Klausa negatif

Klausa negatif ialah klausa yang memiliki kata-kata negatif yang secara

gramatik menegatifkan P. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya kata-kata

negatif itu ialah tidak, tak, tiada, bukan, belum, dan jangan. Misalnya:

(23) mereka tidak malas

S P

(24) orang tuanya sudah tiada

S P

3) Klausa Berdasarkan Kategori Frasa yang Menduduki Fungsi P

Berdasarkan kategori frasa yang menduduki fungsi P, klausa dapat

diklasifikasikan menjadi empat golongan, yaitu :

a. Klausa Nominal

Klausa nominal ialah klausa yang P-nya berupa frasa yang termasuk

kategori frasa nomina. Contoh :

Page 22: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

22

(25) ia guru

S P

(26) mereka itu karyawan suatu perusahaan swasta di jakarta

S P Ket

b. Klausa Verbal

Klausa verbal ialah klausa yang P-nya berupa kata atau frasa yang

termasuk kategori verba. Kata golongan verba ialah kata yang pada tataran klausa

cenderung menduduki fungsi P. Contoh :

(27) petani mengerjakan sawahnya dengan tekun

S P

(28) udaranya panas

S P

c. Klausa Bilangan

Klausa bilangan ialah klausa yang P-nya terdiri dari kata atau frasa

golongan bilangan. Contoh :

(29) roda truk itu enam

(30) kerbau petani itu hanya dua ekor

d. Klausa Depan

Klausa depan ialah klausa yang P-nya berupa frasa depan, yaitu frasa yang

diawali oleh kata depan atau preposisi sebagai penanda. Contoh :

(31) beras itu dari delanggu

S P

(32) orang tuanya di rumah

S P

2.2.2 Jenis Klausa dalam Bahasa Arab

Al-Ghulayaini (2007: 579) memaparkan bahwa dalam bahasa Arab jenis-

jenis klausa dibagi menjadi beberapa bagian yang didasari pada kategori kata

yang mengawalinya dan didasari oleh fungsinya di dalam kalimat.

Page 23: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

23

Berdasarkan kategori kata yang mengawali susunan klausa, maka klausa

atau jumlah dalam bahasa Arab dibagi menjadi dua jenis, yaitu:

1) Jumlah Fi’liyah (Klausa Verbal)

Al-Ghulayaini (2007: 579) memberi pengertin terhadap jumlah fi’liyah,

yaitu sebagai berikut:

))سبق السيف العذل((, أو الفعل (33)فاعل, حنو: الما تألف من الفعل و اجلملة الفعلية: )) (35)لوم((, أو الفعل الناقص و امسو و خربه حنو: ظ))ينصر ادل(34)ونائب الفاعل, حنو :

اجملتهد سعيدا(( يكونMa> ta’allafa minal-fi’l wal-fa>‘il, nachwa:‚sabaqa a’s-saifu al-‘adzla‛, au fi’l wa na >́ ibil-fa>’il, nachwa: ‚yunsharu al-madhlu>m‛, au al-fi’l naqish wa ismuhu wa khabaruhu, nachwa: ‚yaku>nu al-mujtahidu sa’i>dan‛. ‘Jumlah fi’liyah terdiri dari fi’l dan fa>‘il, seperti ‘pedang

mendahului celaan‟(peribahasa untuk menyatakan sesuatu yang

telah terjadi tidak bisa terulang kembali), atau na>´ibul fa>‘il seperti

„orang yang dizhalimi ditolong‟, atau fi’l naqish beserta ism dan

khabar-nya seperti „orang yang rajin akan beruntung‟‟.‟

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah fi’liyah

merupakan jumlah yang diawali oleh musnad yang berupa fi’l atau kata kerja.

Adapun musnad ilaih atau subjeknya dapat berupa fa>’il ataupun na>´ibul fa>’il.

2) Jumlah Ismiyah (Klausa Nominal)

Al-Ghulayaini (2007: 579)memberi pengertin terhadap jumlah ismiyah,

adalah sebagai berikut:

)) احلّق منصر (( أو شلّا أصلو (36)ما كانت مؤلفة من ادلبتدأ واخلرب ,حنو : اجلملة اإلمسية: ال (40)ما أحد مسافرا. (39)و.يف ال ريب (38)إن الباطل سلذول.(37) مبتدأ و خرب, حنو:

ن أحد خًنا من أحد إال بالعافية((إ (41)رجل قائما.Jumlah ismiyah: Ma> ka>nat mu'allafatan minal-mubtada´i wal-khabari, nachwa: ‚al-chaqqu munshirun‛ au mimma> ashluhu mubtada´un wa khabarun, nachwa ‚inna’l-ba>thila makhdzulun, la> raiba fi>hi, ma> achadun musa>firan, la> rajulun qa>iman. In achadun khairan min achadin illa bil-’a>fiyyati‛.

Page 24: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

24

‘Jumlah ismiyah merupakan apa-apa yang terdiri dari mubtada´ dan khabar seperti, ‟kebaikan itu penolong‟ atau dari apa-apa yang

aslinya mubtada´ dan khabar seperti „sesungguhnya kebatilan itu

terlantar,tidak ada keraguan didalamnya, tidak ada satupun musafir,

tidak ada laki-laki yang berdiri, sesungguhnya seseorang tidak akan

menjadi lebih baik dari yang lainnya kecuali dengan permohonan

maaf‟.‟ Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa jumlah ismiyah

merupakan jumlah yang diawali oleh musnad ilaih yang berupa ism dan disebut

dengan mubtada´. Adapun musnad-nya berupa khabar.

Selanjutnya, berdasarkan kedudukan atau fungsi suatu klausa di dalam

susunan kalimat, klausa atau jumlah dalam bahasa Arab dibagi pula menjadi dua

jenis, yaitu:

1) Al-Jumlatul-lati> laha> Machallun minal-I’ra>b (Klausa yang Menempati

Fungsi dalam Susunan Kalimat)

Al-jumlatul-lati> laha> machallun minal-i’ra>b merupakan klausa yang

menempati fungsi di dalam susunan kalimat. Baik jumlah ismiyah atau jumlah

fi’liyah terkadang menduduki suatu jabatan atau fungsi tertentu (baik predikat,

objek, keterangan, dll.) yang biasanya diisi oleh kata atau frasa. Al Ghulayaini

(2007: 579-580) menyebutkan beberapa ketentuan pada jenis ini, yaitu:

,فإن تأويل : ))خالد يعمل اخلًن(42)((إن أّولت مبفرد مرفوع ,كان زللها الرفع ,حنو: كان (43)((. وإن أّولت مبفرد منصوب, كان زللها النصب, حنو: ))للخًن خالد عامل((

كانت رلرور,. وإن أّولت مبفرد ))كان خالد عامال للخًن((, فإن تأويل ))خالد يعمل اخلًنمررت برجل عامل ((,فإن تأويل ))مررت برجل يعمل اخلًن(((44)يف زلّل جّر حنو:

ن ذلا زلّل من د ,ألهنا غًن واقعة موقعو ,مل يك. وإن مل يصّح تأويل اجلملة مبفر ))للخًن ."جاء الذي كاتب"ال يصح أن تقول : ,إذ ))جاء الذي كتب(((45)اإلعرب,حنو:

In uwwilat bi mufradin marfu>’in, ka>na machalluha>’r-rafa’a, nachwa :‘kha >lidun ya’malul-khaira’, fa inna ta'wilun: ‘kha>lidun

Page 25: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

25

‘amilun lil-khairi’. Wa in uwwilat bi mufradin manshu>bin, ka>na machalluha a’n-nashaba, nachwa: ‘ka>na khal>idun ya’malul-khaira’, fa inna ta´wi>lun : ‘ka>na kha >lidun ‘amilan lil-khairi’. Wa in uwwilat bi mufradin majru>rin, k>anat fi> machalli jarrin, nachwa: ‘marartu bi rajulin ya’malul-khairi’, fa inna ta´wi>lun :’marartu bi rajulin ’a>milin lil-khairi’. Wa in lam yashichchu ta´wi>lun al-jumlati bi mufradin , li annaha> ghairu wa>qi’atin mauqi’ahu, lam yakun laha> machallun minal-i’ra>b, nachwa: ‘ja>́ al-ladzi> kataba’, idz la> yashichchu an taqu>la : ‘ja>´al-ladzi> ka>tibun’

„Jika dapat dijelaskan dengan mufrad marfu>’, maka kedudukannya

adalah rafa’, seperti “Khalid mengerjakan kebaikan”, maka dapat

diganti”Khalid pekerja untuk kebaikan”. Dan jika dijelaskan

dengan mufrad manshu>b, maka kedudukannya adalah nashab,

seperti “dulu Khalid bekerja untuk kebaikan”, maka dapat

diganti“dulu Khalid adalah pekerja untuk kebaikan”. Jika dapat

dijelaskan dengan kata mufrad majru>r maka kedudukannya adalah

jar, seperti “aku telah bersua dengan pemuda yang bekerja untuk

kebaikan”maka dapat digantikan “aku telah bersua dengan

pemuda yaitu seorang pekerja untuk kebaikan”. Dan jika tidak

memungkinkan suatu klausa didudukkan dalam satu fungsi tertentu

maka dia digolongkan pada klausa yang tidak memiliki fungsi atau

posisi dalam i’ra>b seperti “orang yang menulis datang” maka tidak

boleh dikatakan “orang yang penulis datang”(2007:579)‟

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan i’ra>b

bagi jumlah (klausa) yang menempati posisi ism mufrad bergantung pada

fungsinya di dalam kalimat. Misalnya, jika suatu jumlah menempati fungsi

predikat atau khabar maka jumlah tersebut sebenarnya menempati posisi i’ra>b

rafa’. Khabar yang berupa susunan jumlah biasanya membuat kedudukan i’ra>b-

nya di dalam kalimat menjadi kurang jelas apakah kedudukannya rafa’ , nashab ,

jar atau jazm. Apabila khabar tersebut berbentuk jumlah fi’liyah maka untuk

memperjelas kedudukannya dapat dibuktikan dengan mengganti fi’l-nya menjadi

ism sehingga posisi i’ra>b-nya lebih terlihat. Dari kutipan di atas dicontohkan

dengan kalimat khalidun ya’malul-khaira, khabar-nya adalah klausa ya’malu

kemudian diganti dengan ‘a>milun’. Untuk klausa yang menduduki fungsi lainnya

dapat dilihat dari contoh-contoh yang telah dipaparkan oleh Al-Ghulayaini di atas.

Page 26: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

26

Al-Ghulayaini membagi jumlah yang mengambil posisi dalam i’ra>b

menjadi tujuh (2007: 580) yaitu:

a. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Khabaran (Klausa yang Menempati Fungsi

Predikat)

Al-jumlatu al-wa>qi’atu khabaran merupakan klausa yang menempati

fungsi sebagai predikat atau khabar. Misalnya:

يعمل اخلًن خالد(46)

Khalidun ya’malul-khaira

„Khalid mengerjakan kebaikan‟

Verba ya’malu merupakan khabar dari mubtada´ Khalidun yang merupakan ism

marfu>‘. Klausa (jumlah) tersebut menempati posisi i’ra>b rafa’ karena menduduki

fungsi khabar. Untuk memperjelas bahwa jumlah tersebut menempati posisi i’ra>b

rafa’, maka dapat dirubah ke dalam bentuk ism sehingga menjadi khalidun

‘amilun lil khair (Khalid pekerja yang baik). Hal ini juga berlaku untuk khabar

yang jatuh sebagai khabar inna dan ka>na. Untuk khabar ka>na posisi i’ra>b -nya

adalah nashab.

b. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Cha>lan (Klausa yang Menempati Fungsi

Keterangan Keadaan)

Al-jumlatu al-wa>qi’atu cha>lan merupakan klausa yang menempati fungsi

cha>l atau keterangan keadaan. Contoh:

(61يوسف:(يبكونىم عشآء اأب او وجآء(47)

wa ja>'u> aba>hum ‘isya'an yabku>na

Page 27: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

27

„kemudian mereka datang kepada ayah mereka pada petang hari

sambil menangis‟(QS.Yusuf: 16).

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah yabku>na menjadi keterangan

keadaan bagi susunan di atas. Jadi dapat disimpulkan bahwa jumlah tersebut

mengambil posisi i’ra>b nashab sebagai cha>l.

c. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Maf’u>lan Bihi (Klausa yang Menempati Fungsi

Objek)

Al-jumlatu al-wa>qi’atu maf’u>lan bihi merupakan klausa yang menempati

fungsi objek atau maf’u>lun bih. Contoh :

جتتمع بعد التفرقاألمة أظن(48)

adzunnul-ummata tajtami’u ba’da’t-tafarruqi

„aku berharap suatu umat bersatu setelah bercerai berai‟

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah tajtami’u menjadi sasaran dari

perbuatan adzunnu ‘berharap’ sehingga ia menempati posisi i’ra>b nashab sebagai

maf’u>l bih.

d. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Mudha>fan Ilaihi (Klausa yang Menempati Fungsi

Mudha>f Ilaih)

Al-jumlatu al-wa>qi’atu mudha>fan ilaihi merupakan klausa yang

menempati fungsi mudha>f ilaihi. Seperti dalam contoh:

(111)ادلائدة: ينفع الصادقٌن صدقهم ىذا يوم (49)

ha>dza yaumu yanfa’u’s-sha>diqi>na shidquhum

Page 28: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

28

„Inilah saat orang yang benar memperoleh manfaat dari

kebenarannya‟ (QS. Al-Ma´idah: 119).

Klausa yanfa’u’s-sha>diqi>na shidquhum bersandar pada ism yaumu sehingga ia

menempati posisi i’ra>b jar sebagai mudhaf ilaih.

e. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Jawa>ban li Syarthin Ja>zimin (Klausa yang

Menempati Fungsi Jawaban dari Klausa Syarat)

Al-jumlatu al-wa>qi’atu jawa>ban li syarthin ja>zimin merupakan klausa

yang menjadi jawab syarat dan berkedudukan jazm . Contohnya adalah:

(33)الرعد:فما لو ,من ىادومن يضلل اهلل (50)

wa man yudhlili'lla>hu fa ma> lahu min ha>din

„Dan barang siapa disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun

yang member petunjuk baginya‟(QS. A‟r-Ra‟d: 33)

Dapat dilihat dari contoh di atas bahwa jumlah ‘fa ma> lahu min ha>din’

merupakan jawa>b dari jumlah syart „wa man yudhlili'lla>hu.

f. Al-Jumlatu al-Wa>qi’atu Shifatan (Klausa yang Menempati Fungsi

Adjektif)

Al-jumlatu al-wa>qi’atu shifatan merupakan jumlah yang menempati

fungsi adjektifa atau shifat. Seperti :

يسعى و جآء من أقصا ادلدينة رجل (51)

wa ja>́ a min aqsha-lmadi>nati rajulun yas’a>

„Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki‟ (QS.Yasin: 20).

Page 29: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

29

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa klausa ‘yas’a>’ bersandar pada kata rajulun

dan mensifatinya. Sehingga, posisi i’ra>b-nya sesuai dengan kata yang diikutinya

yaitu rafa’.

g. Ta>bi’atul-Jumlati Laha> Machallun minal-I’ra>b (Klausa Subordinat yang

Menempati fungi dalam Susunan Kalimat)

Ta>bi’atul-jumlati laha> machallun minal-i’ra>b merupakan klausa yang

menjadi pengikut bagi klausa sebelumnya serta menduduki jabatan tertentu di

dalam susunan kalimat. Contoh:

يكتب علّي يقرأ و(52)

‘Aliyyun yaqra’u wa yaktubu

„Ali membaca dan menulis‟.

Dari contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah ‘yaktubu’ bersambung dengan

jumlah sebelumnya yaitu „yaqra´u’ yang menempati posisi i’ra>b rafa’ sebagai

khabar. Karena jumlah tersebut menjadi athaf atau pengikut bagi jumlah

sebelumnya maka posisi i’ra>b-nya sama dengan jumlah yang diikutinya.

2) Al-Jumlatul-lati> la> Machalla laha> minal-I’ra>b (Klausa yang Tidak

Mempunyai Fungsi dalam Susunan Kalimat)

Al-jumlatul-lati> la> Machalla laha> minal-i’ra>b merupakan klausa yang tidak

mempunyai fungsi di dalam susunan kalimat atau tidak mempunyai kedudukan

i’ra>b. Al Ghulayaini (2007: 581-582) membagi klausa ini menjadi beberapa

keadaan, yaitu sebagai berikut :

Page 30: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

30

a. Al-Jumlah Al-Ibtida>́ iyyah (Klausa Introduktif)

Al-Ghulayaini mendefinisakan al-jumlah al-ibtida>́ iyyah atau yang

disepadankan dengan klausa introduktif (Nugroho, 2014: 32) sebagai berikut :

إنا أعطيناك (53) (( االبتدائية : وىي اليت تكون يف مفتتح الكالم كقولو تعاىل (:1الكوثر)))الكوثر

Al-ibtida´iyyatu wa hiyal-lati> taku>nu fi> muftatachi>l-kala>mi ka qaulahu ta>’ala ‚ inna> a’thaina > kal-kautsar‛

‘Al-ibtidaiyyah yaitu jumlah (klausa) yang berada di awal kalimat,

seperti firman Allah “Sungguh, Kami telah memberimu nikmat

yang banyak” (QS. Al-Kautsar: 1).‟

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa klausa ini

merupakan klausa yang terdapat pada awal kalimat.

b. Al-Jumlah al-Isti´na>fiyyah

الستئناف كالم ,اجلملة االستئنافية : وىي اليت تقع يف أثناء الكالم منقطعًة عما قبلهاقالت رّب إين وضعتها (54) ((جديد. و قد تقرتن بالفاء أو بواو االستئنافيتٌن كقولو تعاىل

فلما أتامها (55)(((, و 33)ال عمران: ))الذكر كاألنثىس وليأنثى واهلل أعلم مبا وضعت (111)األعراف: ))فتعاىل اهلل عما يشركونصاحلا جعال لو شركاء فيما أتامها

Al-jumlatu al-isti´na>fiyyatu wa hiyal-lati> taqa’u fi> atsna>'il-kala>mi munqathi’atan ‘amma qablaha>, li isti´na>fi kala>min jadi>din. wa qad taqtarinu bil-fa´i au bil-wawil-isti´na>>fi kaqaulihi> ta’a>la: ‚qa>lat rabbi inni> wadha’tuha > untsa> wa'alla>hu a’lamu bima> wadha’at wa laisa’dz-dzakaru kal-untsa>‛ (Ali ‘imra>n:36), wa ‚fa lamma ata>huma> sha>lichan ja’ala> lahu, syuraka>´a fi>ma> ata>huma>, fa ta’ala’l-la>hu ‘amma> yusyriku>na‛ (Al-A’raf: 190).

Jumlah isti´nafiyyah merupakan jumlah yang terletak ditengah

kalimat yang terputus dengan jumlah sebelumnya. Untuk

membuka kalimat baru. Terkadang dihubungkan dengan huruf ‘fa’ atau dengan ‘wau’isti´nafiyyah seperti firman Allah “Maka ketika

dia melahirkannya, dia berkata Ya Tuhanku aku telah melahirkan

anak perempuan, padahal Allah lebih tahu apa yang dia lahirkan,

dan laki-laki tidak sama dengan anak perempuan” („Ali „imran:

36),serta “Maka setelah Dia memberi keduanya anak yang sholeh,

Page 31: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

31

mereka menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah

dianugerahkan-Nya itu, maka Maha tinggi Allah bagi apa yang

mereka persekutukan)”(QS. Al-A‟raf: 190).‟

Jumlah (klausa) ini merupakan jumlah yang makna atau pengertiannya

terputus dari jumlah sebelumnya, sehingga seolah-olah menjadi kalimat yang

baru, seperti contoh yang telah disebutkan di atas.

c. Al-Jumlatu a’t-Ta’li>liyah (Klausa Sebab)

وصّل ((:(56)اىلكقولو تع ,وىي اليت تقع يف أثناء الكالم تعليال دلا قبلها,اجلملة التعليلية (57) (((, و قد تقرتن بالفاء التعليل ,حنو:113)التوبة:))إّن صالتك سكن ذلمعليهم ,

))فإهنا زينة العقالءمتّسك بالفضيلة ,

Al-jumlatu at’ta’li>liyyah, wa hiyal-lati> taqa’u fi> atsna >’il-kala>mi ta’li>lan lima> qablaha>, ka qaulihi> ta’a>la> ‚wa shalli ‘alaihim, inna shalataka sakanun lahum‛(a’t-taubah :103), wa qad taqtarinu bil-fa>´i’t-ta’li>li, nachwa: ‛tamassak bil-fadhi>lati, fa innaha> zi>natul-‘uqala>´i

‘Jumlah ta’liliyyah, adalah sesuatu yang terletak di tengah kalimat

yang menjadi sebab dari klausa sebelumnya, seperti firman Allah

“Berdoalah untuk mereka, sesungguhnya doamu itu menentramkan

jiwa mereka” (A‟t-Taubah :103), dan dihubungkan dengan fa’ ta’lil> seperti: ”peganglah suatu keutamaan sesungguhnya itu adalah

hiasan bagi orang-orang yang berakal”.’

Klausa ini merupakan klausa yang berada di tengah ataupun di akhir

kalimat kemudian menjadi sebab atau alasan bagi klausa sebelumnya. Terkadang

jenis jumlah atau klausa ini diawali dengan huruf fa’ ta’lil>.

d. Al-Jumlatu Shilatil-Maushu>li (Klausa Relatif)

Al-Jumlatu shilatil-maushu>li didefinisikan Al Ghulayaini sebagai jumlah

atau klausa yang menjadi shillah lil-maushu>l seperti berikut ini:

(11)األعلى:))تزكىقد أفلح من (((49):الواقعة صلة للموصل كقولو تعاىل

Page 32: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

32

Al-wa>qi’atu shilatan lil-maushu>li ka qaulihi> ta’a>la> ‚qad aflacha man tazakka>‛

‘Shilah lil-maushu>l seperti firman Allah: ‚Sungguh beruntung

orang yang menyucikan diri (QS. Al-A’la: 14)”.‟

Jumlah ini merupakan jumlah yang menjadi shilah bagi maushu>l yaitu

yang terletak setelah ism maushu>l seperti al-ladzi>, al-lati>, man dan lainnya. Dalam

contoh di atas dapat dilihat bahwa kata „tazakka’ menjadi shilah bagi „man’.

e. Al-Wa>qi’atu Jawaban li’s-Syarti Ghoiri Jazim (Klausa Kondisional)

Pengertianal-jumlatu jawaban li’s-syarti ghairi jazim adalah sebagai

berikut:

ولوال دفع اهلل الناس بعضهم (58)((:لوال كقولو تعاىلو الواقعة جوابا لشرط غًن جازم كإذا ولو (151)البقرة: ))األرض تلفسدببعض

Al-wa>qi’atu jawaban lisyartin ghoiri ja>zim ka idza, lau, laula ka qaulihi> ta’a>la ‘wa laula> dafa’u’llahin’na>sa ba’dhahum bi ba’dhil-lafasadatil-ardhu‛

Jawab lisyartin ghoiri jazim dengan idza, lau, laula. Seperti firman

Allah: “Dan kalau Allah tidak melindungi sebagian manusia

dengan sebagian yang lain, niscaya rusaklah bumi ini (QS. Al-

Baqarah: 251)”.‟

Klausa ini merupakan klausa yang menjadi jawab syarth yaitu yang

biasanya klausa syarat-nya diawali kata idza, lau, atau laula. Dalam contoh di

atas dapat dilihat bahwa jawab -nya terletak pada klausa atau jumlah lafasadatil-

ardh.

f. Al Wa>qi’atu Jawa>ban lil-Qasami (Klausa Sakramental)

(55)األنبياء: ))ألكيدن أصنامكموتاهلل ))(59): لواقعة جوابا للقسم كقولو تعاىلاجلملة ا

Al-jumlatu al-wa>qi’atu jawaban lil qasam ka qaulihi> ta’a >la ‚wa ta’lla>hi la aki>danna ashna>makum‛

Page 33: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

33

Jumlah yang menjadi jawa>b qasam seperti firman Allah ta’a>la> ‚Demi Allah, sungguh, aku akan melakukan tipu daya terhadap

berhala-berhalamu setelah kamu pergi meninggalkannya” (QS. Al-

Anbiya :57).‟

Klausa ini merupakan klausa yang menjadi jawa>b setelah charf qasam

yaitu ta’,ba’, danwau. Dalam contoh di atas dapat dilihat bahwa jawa>b-nya

terletak pada klausa atau jumlah ‘la aki>danna ashna>makum’.

g. Al-Jumlah al-I’tira>dhiyyah (Klausa Interfektif)

الكالم تقوية وتسديدا اجلملة االعرتاضية , وىي اليت تعرتض بٌن شيئٌن متالزمٌن إلفادة , و الشرط واجلواب, واحلال و ونصوبم, الفعل و ومرفوع دلبتداء واخلرب, الفعل ووحتسينا, كا

صاحبها, و الصفة و ادلوصوف, و حرف اجلر ومتعلقو و القسم وجوابو كقولو تعاىل: (11)البقرة:((فاتقوا النار اليت وقودىا الناس واحلجارة--لن تفعلواو --فإن مل تفعلوا ))(60)

Al-jumlatu al-i’tira>dhiyyah, wa hiyal-lati> ta’taridhu baina syai'aini mutala>zimaini li ifa>datil-kala>mi taqwiyyatan wa tasadi>dan wa tachsi>nan, kal-mubtada´i wal-khabari, wal-fi’li wa marfu>’ihi, wal-fi’li wa manshu>bihi, wa al-syarthi wal-jawa>bi, wal-cha>li wa shachibiha, wal-shafati wa al-maushu>fi, wa charfil-jari wa muta’aliqihi wal-qasami wa jawa>bihi ka qaulihi ta’a>la :‛fa in lam taf’alu>--wa lan taf’alu>-- fa>’t-taqu’n-na>ral-lati> wa qu>duha>’n-na>su wal-chija>ratu‛ (Al-Baqarah:24) ‘Al-jumlatu al-I’tirodhiyyah, yaitu jumlah (klausa) yang menjadi

penjelas serta penegas diantara dua satuan bahasa yang saling

berkaitan seperti mubtada´ dan khabar-nya, fi’l dan marfu>‘-nya,

fi’l dan manshub-nya, syarat dan jawab-nya, chal dan shohibul chal, sifat dan maushuf-nya, jar dan acuannya serta qosam dan

jawab-nya, seperti firman Allah :”Jika kamu tidak mampu

membuatnya--dan pasti kamu tidak mampu--maka takutlah kamu

akan api neraka yang bahan bakarnya manusia dan batu yang

disediakan bagi orang-orang kafir” (QS. Al-Baqarah :24).‟

Jumlah ini merupakan jumlah yang menyisip di antara dua hal. Misalnya,

suatu jumlah yang menyisip di antara mubtada dan khabarnya atau di antara fi’l

dan fa>’il-nya. Dalam contoh di atas dapat dilihat bahwa jumlah ‘wa lan taf’alu’

menyisip di antara jawab dan syarth.

Page 34: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

34

h. A’t-Ta>bi’atu li Jumlatin la Machalla laha > minal-I’ra>b (Klausa Subordinat

yang Tidak Menempati Fungsi dalam Susunan Kalimat)

A’t-Ta>bi’atu li jumlatin la machalla laha> minal-i’ra>b atau yang

disepadankan dengan klausa subordinat pada klausa pada kalimat majemuk

(Nugroho, 2014: 39), pengertiannya sebagai berikut:

إذا هنضت األمة ,بلغت من اجملد الغاية, و (61)((ب, حنو ار عالتابعة جلملة ال زلّل ذلا من اإل ))الّسؤدد النهايةادركت من

A’t-ta>bi’atu li jumlatin la> machalla laha> minal-i’ra>bi, nachwa: ‘idza nahadhat al-ummatu, balaghat minal-majdi al-gha>yata wa adrakati mina’s-su'dadi a’n-niha>yata’ „Pengikut bagi jumlah yang tidak menempati posisi dalam i’ra>b,

seperti “Apabila sebuah umat bangkit, maka kesungguhan telah

menyampaikan mereka kepada sebuah tujuan dan menemukan

mereka kepada pangkat tertinggi”.‟

Klausa ini merupakan klausa yang menjadi pengikut bagi klausa

sebelumnya yang biasanya di tandai dengan wau atau fa’ athaf. Dalam contoh di

atas dapat dilihat bahwa klausa atau jumlah wa adrakati mina’s-su'dadi a’n-

nihayyata menjadi athaf bagi jumlah balaghat minal-majidi al-gha>yata.

i. Al Jumlah a’t-Tafsiriyah (Klausa Eplikatif)

مقرونة بأي , 2)رلّردة حبرف التفسًن, كما رأيت, و1)اجلملة التفسًنية ,ثالثة أقسام و منو قولو ))أن وافناكتبت اليو:((مقرونة بأن حنو 3)و))أي اذىبأشرت إليو , (((62)حنو:

(15)ادلؤمنون: ))الفلكأن اصنع فأوحينا إليو : (((63)تعاىل:

Al-jumlatu a’t-tafsiriyyah, tsalatsatu aqsamin: 1) mujarradatun bi charfi’t-tafsi>ri, kama> ra’aita wa 2) maqru>natun bi ai, nachwa: ‚asyartu ilaihi, ai adzhabu‛ wa 3)maqru>natun bi an nachwa: ‚katabtu ilaihi: an wa>finan‛ wa minhu qaulihi ta’a>la> ‚fa auchaina> ilaihi: ani’shna’il-fulka‛ „Jumlah tafsiriyyah terdiri dari tiga macam: 1) yang terlepas dari

charf tafsi>r, seperti yang telah diketahui, 2) yang dihubungkan

Page 35: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

35

dengan ai, seperti “aku menunjukkan kepadanya bahwa aku pergi”

dan seperti “aku mewajibkan kepadanya yaitu suatu pelaksanaan”.

3) yang dihubungkan dengan an, seperti firman Allah “lalu Kami

wahyukan kepadanya :buatlah kapal” (QS. Al-Mu‟minun: 27)‟

Klausa ini merupakan klausa yang menjadi penjelas bagi klausa

sebelumnya yang biasanya ditandai dengan ai atau an atau tidak menggunakan

charf tafsi>r.

Selanjutnya Asrori (2004: 76), berusaha menjembatani konsep klausa

dalam bahasa Indonesia dengan klausa bahasa Arab. Salah satunya dalam segi

struktur internalnya. Jika bahasa Indonesia mengenal adanya klausa lengkap dan

klausa tidak lengkap maka dalam bahasa Arab jenis klausa tersebut juga dapat

diterapkan. Telah dijelaskan bahwa klausa mempunyai unsur inti, yaitu S dan P

atau MI dan M. Meskipun S/MI dan P/M merupakan unsur inti klausa namun

salah satu dari kedua unsur tersebut sering tidak dimunculkan akibat dari

penggabungan klausa, atau berada dalam kalimat jawaban, ataupun dalam klausa-

khususnya klausa BA- yang fungtor S/MI-nya dapat diindikasikan secara spesifik

oleh morfem yang ada pada P/M. Klausa yang mengandung fungtor S dan P atau

MI dan M disebut klausa lengkap, sedangkan yang tidak mengandung fungtor

S/MI disebut klausa tidak lengkap (2004: 77)2.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa klausa lengkap dan

klausa tidak lengkap dapat dicontohkan dalam satuan ة و كانت قرية يعصر ةمكة اآلن مدين

klausa pertama makkatual-a>n madi>natun ‘ashriyatun’‟Mekah sekarang adalahخالية

2Tidak mengandurng S/MI dimaksudkan tidak menyebut S secara jelas yaitu hanya melesapkan

S/MI yang sebenarnya ada pada klausa sebelumnya.

Page 36: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

36

kota yang ramai‟ merupakan klausa lengkap karena secara implisit menyebutkan

MI-nya yaitu makkah. Sedangkan klausa kedua ka>nat qarriyatan kha>liyatan

‘dulunya adalah desa yang sepi’ MI-nya tidak disebutkan secara eksplisit

melainkan menyebutnya secara implisit saja dengan menyertakan morfem /ت/

untuk menandakan adanya pelesapan MI yang mengacu pada kata makkah

sehingga, klausa tersebut disebut klausa tidak lengkap.

3. Klausa Verbal

Klausa Verbal merupakan klausa yang predikatnya berkategori kata kerja

(Sukini, 2010:46). Sukini (2010 : 46) menyebutkan bahwa berdasarkan struktur

internalnya, dalam bahasa Indonesia klausa verbal dibagi menjadi dua jenis yaitu

klausa verbal transitif dan klausa verbal intransitif. Klausa verbal transitif adalah

klausa verbal yang menghendaki hadirnya objek. Contoh:

(64) Rudi mengagumi Yuli

S P O

Sedangkan klausa verbal intransitif adalah klausa yang predikat verbalnya tidak

memerlukan kehadiran objek.Contoh :

(65) Mereka berkumpul di aula

S P O

Seperti penjelasan sebelumnya, dalam bahasa Arab Dahdah (2000 : 117)

mendefinisikan klausa verbal atau jumlah fi’liyah3 sebagai klausa yang dibangun

dan diawali oleh verba (fi’l) dan diikuti oleh subjek (fa>‘il) sebagai konstituen

dasar atau inti disertai oleh objek (maf’u>l bihi), keterangan dan pelengkap (jar

3Dalam bahasa Indonesia suatu klausa dikatakan klausa verbal jika predikat berupa kata verba,

sedangkan dalam bahasa Arab suatu klausa/jumlah dikatakan jumlah fi’liyah apabila jumlah

tersebut didahului verba. Jadi meskipun predikat berupa verba tetapi jika verba tersebut tidak

mengawali suatu jumlah maka jumlah tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai jumlah fi’liyah. Hal ini mengacu pada definisi yang dikemukakan oleh Al-Ghulayaini, Al-Khuli dll. terkaitjumlah fi’liyah.

Page 37: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

37

majrur) sebagai konstituen pelengkap. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh

Ni‟mah dalam Qawa>’idul-Lughah Al-‘Arabiyyah (t.t.: 19). Kedua konstruksi di

bawah ini adalah klausa verbal karena predikat atau musnad-nya berupa kata

verbal:

(t.t. : 19)الرجل حضر(66)

chadhara’r-rijalu (t.t. : 19)

„pemuda itu telah hadir‟

(t.t. : 19)الطالب الدرس يكتب(67)

yaktubu’th-tha>libu’d-darsa (t.t. : 19)

„murid menulis pelajaran‟

(030: 7002الغالييين,) يرفع قدر صاحبو العلم(68)

Al-‘ilmu yarfa’u qadra sha>chibihi (Al-Ghulayaini,2007: 580)

„Ilmu meninggikan derajat pemiliknya‟

Telah dijelaskan bahwa dalam bahasa Arab klausa verbal atau jumlah

fi’liyah dibangun oleh musnad yang berupa fi’l dan musnad laih yang berupa fa>il

atau na>´ibul fa>il. Fa>‘il (pelaku) artinya isim marfu>‘ yang terletak setelah fi’l

ma’lu>mdan menunjukkan pelaku suatu perbuatan (Ni‟mah, t.t.: 43). Sedangkan

na>´ibul fa>‘il merupakan maf’u>l yang tidak disebutkan fa>‘il-nya (Anwar, 2009:

80). Na>́ ibul fa>‘il berada pada fi’il majhu>l.

Pendapat tersebut didukung oleh Dahdah (2000: 117) yang menerangkan

bahwa jika predikat (musnad) berupa fi’l ma’lu>m (verba aktif) maka musnad ilaih

berupa fa>‘il. Jika musnad berupa fi’l majhu>l (verba pasif) maka musnad ilaih-nya

berupa na>'ibul fa >‘il (Dahdah, 2000: 117).

Page 38: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

38

زيدان جاء (69) ja>́ a Zaida>ni „dua Zaid itu telah datang‟ (Anwar, 2009 : 72)

ضرب زيد(70) dhuriba Zaidun „Zaid telah dipukul‟(Anwar, 2009 :72)

Konstruksi (65) adalah jumlah fi’liyah ma’lu>miyah, yang terdiri dari fi’l ma’lu>m

„ja>́ a’ dan fa >’il ‘a’z-Zaida>ni’. Adapun konstruksi (66) merupakan jumlah fi’liyah

majhu>liyah. Terdiri dari fi’l majhu>l ‘dhuriba’ dan na>´ibul fa>’il ‘Zaidun’.

Pada pengertian sebelumnya Al Ghulayaini (2007 :579) menggolongkan

fi’l naqish seperti ka>na sebagai salah satu dari konstruksi yang masuk ke dalam

jumlah fi’liyah, akan tetapi mengingat ketidakjelasan fungsinya di dalam suatu

susunan, terlebih jika disejajarkan dengan konsep linguistik umum, maka, fi’l

naqish tidak dimasukkan ke dalam kategori jumlah fi’liyah karena fi’l naqish

merupakan fi’l yang tidak dapat berdiri sendiri, dalam artian fi’l naqish harus

dilekati dengan ism-nya. Tanpa adanya ism yang melekat maka fi’l tersebut tidak

mempunyai arti apapun. Hal ini mengacu pada pengertian jumlah fi’liyah menurut

Ni‟mah (t.t.: 169) yang tidak menyertakan fi’l naqish sebagai bagian dari

konstruksi jumlah fi’liyah. Untuk memperjelas pemaparan di atas, dapat dilihat

dari contoh yang dikemukakan Asrori (2004:85) yang memasukkan fi’l ka>na

sebagai bagian dari subjek karena fi’l ka>na tidak dapat menduduki fungsi

predikat, seperti susunan dibawah ini :

كان ملك ينصح احلكام(71)

(kana)malikun yunsichul-chuka>ma S P O

Page 39: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

39

„raja memberi nasihat para hakim‟

Dari contoh di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun ka>na

merupakan suatu fi’l, tetapi karena ka>na adalah fi’l naqish yang tidak dapat

berdiri sendiri maka susunan yang diawali dengan fi’l tersebut tidak digolongkan

ke dalam kategori jumlah fi’liyah. Adapun jumlah fi’liyah-nya terletak pada

khabar ka>na dalam contoh di atas adalah satuan yunshichul-chukama.

Kemudian, dari semua definisi dapat disimpulkan bahwa salah satu

konstruksi pembentuk jumlah fi’liyah adalah fi’l. Dalam hal ini, fi’l yang

dimaksud harus berupa fi’l ta>m, atau fi’l yang mempunyai makna sempurna. Fi’l

atau verba merupakan hal yang sangat inti dalam pembentukan jumlah fi’liyah.

Alwi et.al, (2003:90) menyatakan bahwa verba merupakan unsur yang sangat

penting dalam kalimat karena dalam kebanyakan hal verba berpengaruh besar

terhadap unsur-unsur lain yang harus atau boleh ada dalam kalimat tersebut.

Kridalaksana (1993: 226) menyatakan bahwa verba adalah kelas kata yang

biasanya berfungsi sebagai predikat dalam beberapa bahasa lain verba mempunyai

ciri morfologis seperti kata, aspek, dan pesona atau jumlah. Sebagian verba

memiliki unsur semantis perbuatan, keadaan dan proses, kelas kata dalam bahasa

Indonesia ditandai dengan kemungkinan untuk diawali dengan kata tidak dan

tidak mungkin diawali dengan kata seperti sangat, lebih, dan sebagainya.

Al-Ghulayaini (2007:16) menyebutkan bahwa al-fi’l huwa ma dalla ‘ala

ma’nan fi nafsihi muqtarinun bizamanin „Verba adalah sesuatu yang

menunjukkan suatu makna yang terikat oleh waktu tertentu‟. Definisi ini

memberikan suatu gambaran bahwa satu hal yang dominan untuk membatasi

sebuah verba adalah adanya keterikatan kata tersebut dengan waktu tertentu

Page 40: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

40

berkaitan dengan terjadinya peristiwa tersebut. Kemudian, berdasarkan definisi

tersebut fi’l (verba) dibagi menjadi tiga macam, yaitu: fi’l ma>dhi> (kata kerja

lampau), fi’l mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang), dan fi’il amr (kata

perintah).

Fi’l ma>dhi> (kata kerja lampau) adalah fi’l (verba) yang menunjukkan suatu

perbuatan yang terjadi dimasa lampau (past tense), dan merupakan fi’l yang

akhirnya selalu ber-harakat fathah, Contoh: jalasa „dia telah duduk‟. Fi’l

mudhari’ (kata kerja sekarang/akan datang) adalah fi’l (verba) yang menunjukkan

suatu perbuatan yang dilakukan pada masa sekarang atau akan datang (present

tense). Fi’l ini didahului salah satu dari empat huruf tambahan (hamzah, nun, ya’,

ta’) dan fi’l mudhari’ akhirnya selalu dibaca rafa’, kecuali ketika dimasuki amil

yang me-nashab-kan atau men-jazm-kan. Contoh dari fi’l mudhari’ adalah satuan

yajlisu„ sedang duduk‟. Sedangkan fi’l amr adalah kata kerja dalam bentuk

perintah. Fi’l yang selalu dibaca jazm, contoh: ijlis „duduklah‟. Adapun fi’l

(verba) dapat diketahui dengan adanya قد(qad) atau س (sin) atau سوف(saufa) atau

.(ta ta’nits sukun) ت

Di atas telah disebutkan adanya istilah fi’l ma’lu >m dan fi’l majhu >l. Berikut

adalah penjelasan menurut Al Ghulayaini (2007: 41). Berdasarkan peran

subjeknya fi’l dibagi menjadi dua, yaitu :

الفعل ادلعلوم: ما ذكر فاعلو يف الكالم

Al-fi’lul-ma’lu>m ma dzukira fa>‘iluhu fi>l-kala>mi ‘fi’l ma’lu >m ialah fi’l yang fa>‘il-nya disebutkan dalam kalimat‟

Page 41: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

41

لغرض من األغراض وفاذالفعل اجملهول : مامل ذكر فاعلو يف الكالم بل كان زل

Al-fi’lul-majhu>l ma> lam dzukira fa>‘iluhu fi>l-kala>m bal ka>na machdzufan lighardin minal-aghra>dh ‘fi’l majhu>l ialah fi’l yang fa>‘il-nya tidak disebutkan dalam kalimat

akan tetapi dihapus dengan tujuan tertentu‟

Kemudian berdasarkan ada tidaknya valensi yang menduduki fungsi objek

yang menyertainya dalam bahasa Indonesia dikenal adanya istilah verba transitif

dan intransitif. Kedua verba tersebut disepadankan dengan istilah fi’l muta’addi>y

dan fi’l lazi>m. Al Ghulayaini (2007: 30) mendefinisikan fi’l muta’addi>y sebagai

fi’l yang menghendaki kehadiran maf’u>l bih seperti dalam satuan fatacha tha>riqun

al-andalusa „Thariq membuka Andalusia‟. Sedangkan fi’l lazi>m merupakan fi’l

fi’l yang tidak menuntut kehadiran maf’u>l bih atau objek seperti dalam satuan

dzahaba Sa’i>dun ‘Said pergi‟ (2007: 39).

F. Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini adalah semua klausa verbal yang terdapat pada

kalimat tunggal dan kalimat majemuk yang terdapat dalam sumber data. Sumber

data dalam penelitian ini adalah cerpen yang berjudul Uchibbuka kal-Ma>´i karya

Li>na Ki>lani>>.

G. Metode Penelitian

Peneliti memerlukan suatu metode untuk memecahkan masalah yang telah

dirumuskan. Sudaryanto (1993:5), membagi tahapan metode menjadi tiga urutan,

tahapan pertama berupa penyediaan data, tahapan kedua berupa penganalisisan

data yang telah disediakan, dan tahapan ketiga berupa penyajian hasil analisis

data. Tahapan-tahapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Page 42: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

42

1. Tahap Penyediaan Data

Tahap ini merupakan upaya peneliti dalam menyediakan data. Dalam upaya

penyediaan data ada tiga kegiatan yang dilakukan (1) mengumpulkan data yang

ditandai dengan pencatatan; (2) memilih dan memilah-milah data dengan

membuang data yang tidak diperlukan; dan (3) menata data menurut tipe atau

jenis terhadap apa yang telah dicatat, dipilih dan dipilah-pilah itu (Sudaryanto,

1993:10-11).

Dalam penyediaan data ini peneliti menggunakan metode simak dan

dilanjutkan dengan teknik catat. Metode simak dilakukan dengan menyimak

banyaknya klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i karya Li>na Ki>lani>.

Peneliti menggunakan teknik lanjutan berupa teknik catat untuk mencatat

masalah-masalah dalam penelitian tersebut. Teknik catat tersebut juga digunakan

untuk mencatat data-data yang telah ditemukan dengan menulisnya pada sebuah

kartu data.

2. Tahap Analisis Data

Tahap analisis data merupakan upaya peneliti dalam menangani langsung

masalah yang terkandung pada data. Penanganan itu tampak dari adanya tindakan

mengamati yang segera diikuti dengan “membedah” atau mengurai dan

memburaikan masalah yang bersangkutan dengan cara-cara khas tertentu

(Sudaryanto, 1993:6). Metode yang digunakan dalam upaya menemukan kaidah

dalam tahap analisis data ada dua, yaitu metode padan dan metode agih

(Sudaryanto, 1993:13). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode agih

sebagai upaya penganalisisan data. Metode tersebut merupakan metode yang alat

penentunya adalah bagan dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto,

Page 43: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

43

1993:15). Teknik yang digunakan berupa teknik bagi unsur langsung. Disebut

teknik bagi unsur langsung karena cara yang yang digunakan pada awal kerja

analisis ialah membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa bagian atau unsur

(Sudaryanto 1993:31). Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik lesap, ganti dan baca markah. Teknik lesap digunakan untuk

mengetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan. Teknik tersebut dilaksanakan

dengan melesapkan (menghilangkan, menghapuskan, mengurangi) unsur tertentu

satuan lingual yang dimaksudkan (Sudaryanto, 1993: 37). Misalnya dalam klausa

berikut.

(Kilani 2007 : 1)بكت األمًنة طويال (72)

bakat al-amiratu thawi>lan S P O

„putri itu menangis lama‟

Klausa di atas termasuk ke dalam klausa verbal karena predikatnya berupa

verba. Berdasarkan struktur intinya klausa tersebut tergolong klausa lengkap

karena kehadiran dua unsur inti klausa yaitu S/M dan P/MI.

Klausa vebal tersebut terdiri atas tiga konstituen: (1) bakat (2) al-amiratu

(3) thawi>lan. Konstituen (1) dalam klausa menduduki fungsi predikat/musnad.

Berdasarkan waktu kejadiannya verba pada predikat tersebut termasuk fi’l ma>dhi>

(bakat) „menangis‟. Partikel / ت/ yang ada dibelakangnya menunjukkan bahwa

yang melakukan pekerjaan „menangis‟ adalah al-amiratu „putri‟ yang berupa

dhami>r mu'annats (perempuan). Verba tersebut berjenis fi’l lazi>m, yaitu fi’l yang

tidak membutuhkan objek. Selain itu dilihat dari peran subjeknya yang melakukan

pekerjaan, predikat bakat termasuk dalam verba aktif atau fi’l ma’lu >m. Konstituen

Page 44: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

44

(2) menduduki fungsi subjek/ musnad ilaih berupa pronomina persona ketiga

tunggal. Konstituen (3) thawi>lan menduduki fungsi keterangan.

Verba bakat merupakan konstituen yang sangat inti dalam klausa tersebut

hal ini dapat dibuktikan dengan melesapkan kata bakat, sehingga menjadi al-

amiratu thawi>lan. Pelesapan verba tersebut mengakibatkan makna klausa menjadi

tidak berterima, hal ini membuktikan bahwa klausa merupakan satuan yang

bersifat predikatif.

Teknik yang selanjutnya adalah teknik baca markah. Teknik baca markah

digunakan untuk mengetahui identitas konstituen tertentu. Teknik ini digunakan

dengan cara melihat langsung pemarkah yang ada pada satuan lingual

(Sudaryanto, 1993:95). Teknik ini dapat diterapkan dalam contoh berikut:

(Ki>lani>> :9)وجف الضرع،ومات الزرع ،واألشجار تيبس ،أخذت األرض تعطش(73)

Achadzat al-ardhu ta’thasyu, wal-asyja>ru taibasu, wa ma>ta a’z-zar’u, wa jaffa a’d-dhar’u (Ki>lani>> :9)

„Bumi menjadi gersang, pohon-pohon kering, benih-benih mati, dan udara

panas‟ (Ki>lani>> :9)

Klausa yang bergaris bawah merupakan al-jumlatul-lati> la> machalla laha>

minal-i’ra>b yang berjenis at’ta>bi’atu li jumlatin atau pengikut bagi jumlah yang

sebelumnya. Hal itu dibuktikan dengan adanya penanda athaf ‘و’ yang

menunjukkan bahwa klausa yang dimaksud merupakan ma’thuf bagi jumlah yang

ada di depannya.

Selain kedua teknik yang telah disebutkan, pada penelitian ini juga

menggunakan teknik yang lain yaitu teknik ganti. Teknik ini digunakan untuk

Page 45: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

45

mengetahui kadar kesamaan kelas atau kategori unsur terganti dengan unsur

pengganti (1993:48). Contoh:

تيبساألشجار (74)

al-asyja>ru taibasu

„pohon-pohon kering‟

Satuan yang bergaris bawah di atas merupakan klausa yang menempati

suatu fungsi dalam susunan kalimat (al-jumlatul-lati> laha> machallun minal-i’ra>b)

yang menempati posisi khabar (al-wa>qi’atu khabaran). Khabar yang dimaksud

merupakan sebuah jumlah fi’liyah. Karena fi’l tersebut menjadi khabar dari al-

asyja>ru maka kedudukannya adalah marfu>’. Untuk memperjelas bahwa jumlah

tersebut menempati i’ra>b rafa’ karena menjadi predikat dari al-asyja>ru maka, hal

ini dapat dibuktikan dengan cara menggantinya menjadi ism fa>‘il seperti berikut :

يابسة األشجار

al-asyja>ru ya<bisatun

„pohon-pohon kering‟

3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data

Langkah selanjutnya setelah tahap analisis data adalah tahap penyajian

data. Penyajian hasil analisis ini disajikan dalam bentuk laporan informal.

Laporan informal yaitu penyajian laporan yang berwujud perumusan dengan kata-

kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

Page 46: BAB I PENDAHULUANfi’liyah) yang ada pada cerpen. Penelitian tentang klausa verbal sebelumnya pernah dilakukan oleh beberapa peneliti. Penelitian klausa verbal antara lain telah dilakukan

46

Bab I: Pendahuluan. Pada bagian ini mencakup latar belakang masalah,

tujuan penelitian, rumusan masalah, pembatasan masalah, landasan teori, data dan

sumber data, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II: Analisis klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i

berdasarkan struktur intern klausa.

Bab III: Analisis klausa verbal dalam cerpen Uchibbuka kal-Ma>´i

berdasarkan jenisnya.

Bab IV: Penutup. Bab ini berisi kesimpulan dari hasil analisis data dan

saran penulis.