bab i pendahuluan -...

23
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kemajuan teknologi penginderaan jauh mampu menyediakan citra penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial, resolusi spektral dan resolusi temporal yang cukup tinggi. Hal ini tentu saja sangat membantu pelaksanaan aplikasi citra penginderaan jauh dalam hal pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan dengan lebih efisien dibandingkan pemetaan secara konvensional. Pada sistem sensor satelit penginderaan jauh, resolusi spasial dan resolusi spektral citra merupakan hal yang saling bertolak belakang. Beberapa satelit pengideraan jauh mampu memberikan citra dengan informasi multispektral yang dapat membedakan fitur secara spektral tetapi tidak secara spasial, begitu pula sebaliknya. Keterbatasan pada penyediaan citra multispektral beresolusi tinggi ini menyebabkan diperlukannya solusi untuk menghasilkan citra multispektral yang kaya akan informasi spasial maupun informasi warna (spektral). Fusi citra atau pan- sharpening adalah salah satu teknik yang tepat untuk menggabungkan detil geometri (spasial) dan detil warna (spektral) pada pasangan citra awal sehingga didapatkan citra multispektral baru dengan informasi spasial dan spektral setajam mungkin. Proses fusi citra pada bidang penginderaan jauh bertujuan mempermudah langkah analisis yang memerlukan ekstraksi obyek citra secara detail, antara lain pada metode klasifikasi untuk analisis pemetaan penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan (land cover). Dengan kenampakan resolusi spasial yang lebih baik berdasarkan fusi citra, proses klasifikasi diharapkan dapat menjadi lebih terbantu dalam interpretasi visual dan mengelompokan objek-objek ke dalam kelas-kelas sesuai dengan kenampakan objek di lapangan yang ada pada daerah penelitian. Meningkatnya kemampuan interpretasi visual dan pengklasan objek menghasilkan akurasi klasifikasi yang lebih baik dibandingkan jika menggunakan salah satu data saja. Harus dipahami bahwa penggabungan citra dilakukan pada tingkat resolusi spasial dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan.

Upload: trinhduong

Post on 23-Jun-2018

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Kemajuan teknologi penginderaan jauh mampu menyediakan citra

penginderaan jauh yang mempunyai resolusi spasial, resolusi spektral dan resolusi

temporal yang cukup tinggi. Hal ini tentu saja sangat membantu pelaksanaan aplikasi

citra penginderaan jauh dalam hal pengukuran, pemetaan, pantauan dan pemodelan

dengan lebih efisien dibandingkan pemetaan secara konvensional. Pada sistem sensor

satelit penginderaan jauh, resolusi spasial dan resolusi spektral citra merupakan hal

yang saling bertolak belakang. Beberapa satelit pengideraan jauh mampu

memberikan citra dengan informasi multispektral yang dapat membedakan fitur

secara spektral tetapi tidak secara spasial, begitu pula sebaliknya.

Keterbatasan pada penyediaan citra multispektral beresolusi tinggi ini

menyebabkan diperlukannya solusi untuk menghasilkan citra multispektral yang

kaya akan informasi spasial maupun informasi warna (spektral). Fusi citra atau pan-

sharpening adalah salah satu teknik yang tepat untuk menggabungkan detil geometri

(spasial) dan detil warna (spektral) pada pasangan citra awal sehingga didapatkan

citra multispektral baru dengan informasi spasial dan spektral setajam mungkin.

Proses fusi citra pada bidang penginderaan jauh bertujuan mempermudah langkah

analisis yang memerlukan ekstraksi obyek citra secara detail, antara lain pada metode

klasifikasi untuk analisis pemetaan penggunaan lahan (land use) dan penutup lahan

(land cover). Dengan kenampakan resolusi spasial yang lebih baik berdasarkan fusi

citra, proses klasifikasi diharapkan dapat menjadi lebih terbantu dalam interpretasi

visual dan mengelompokan objek-objek ke dalam kelas-kelas sesuai dengan

kenampakan objek di lapangan yang ada pada daerah penelitian. Meningkatnya

kemampuan interpretasi visual dan pengklasan objek menghasilkan akurasi

klasifikasi yang lebih baik dibandingkan jika menggunakan salah satu data saja.

Harus dipahami bahwa penggabungan citra dilakukan pada tingkat resolusi spasial

dengan perbedaan yang tidak terlalu signifikan.

2

Citra yang digunakan pada penelitian ini yaitu Landsat 7 ETM+ Multispektral

(Band 1, Band 2, Band 3, Band 4, Band 5, dan Band 7) dengan Landsat 7 ETM+

Pankromatik (Band 8). Resolusi spasial untuk masing-masing citra yaitu 30 meter

dan 15 meter. Terdapat tiga macam teknik yang digunakan untuk fusi citra yaitu:

penggantian intensitas (melalui transformasi RGB-HIS), transformasi Brovey, HSV,

PCA, dan CN Spectral Sharpening. Dalam tugas akhir ini hanya akan membahas

proses fusi citra pada tingkat piksel dan metode yang digunakan adalah transformasi

Brovey. Citra yang dihasilkan dari proses fusi kemudian akan dijadikan sebagai citra

masukan untuk klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan (LU/LC) dengan

metode maximum likelihood.

I.2. Perumusan Masalah

Dari uraian yang telah disampaikan pada latar belakang di atas, permasalahan

yang muncul diantaranya:

1. Bagaimana hasil citra fusi dengan menggunakan transformasi Brovey

secara visual (resolusi spektral dan resolusi radiometrik) maupun

geometriknya (resolusi spasial) ?

2. Dari hasil fusi citra tersebut, bagaimanakah akurasi hasil klasifikasi

penggunaan lahan dan penutup lahannya?

I.3. Tujuan Penelitian

1. Visualisasi citra hasil metode fusi citra (pan-sharpening) transformasi Brovey

pada menggunakan data citra Landsat 7 ETM+ Multispektral dan citra

Landsat 7 ETM+ Pankromatik.

2. Menghitung dan menganalisis akurasi hasil klasifikasi terkontrol (supervised

classification) penggunaan lahan dan penutup lahan (land use/land cover)

dengan masukan datanya adalah hasil fusi citra multisensor Landsat 7 ETM+

Multispektral dan citra Landsat 7 ETM+ Pankromatik.

3

I.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang akan diperoleh dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Mengeksplorasi kemampuan citra multispektral dengan resolusi (spasial)

sedang/menengah dan rendah agar menjadi citra yang handal dan efektif

untuk digunakan dalam berbagai keperluan pemetaan dan perencaan secara

detil dan teliti.

2. Mengekstraksi kemampuan spasial dari citra pankromatik yang tidak

mempunyai keberagaman warna dalam tampilan visualnya, untuk

digabungkan dengan citra multispektral yang handal dalam resolusi spektral

dan keberagaman kanal warnanya.

3. Memberikan gambaran akan manfaat teknik fusi citra satelit berupa

peningkatan informasi spasial dan informasi warna (spektral) pada citra

hasil fusi.

4. Memberikan alternatif untuk menghasilkan sebuah klasifikasi penggunaan

lahan dengan tingkat akurasi yang lebih baik dengan data citra resolusi

sedang atau menengah yang ekonomis dan mudah didapatkan.

I.5. Batasan Masalah

1. Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah citra Landsat 7 ETM+

Multispektral dan citra Landsat 7 ETM+ Pankromatik pada epoch yang

sama yaitu 19 Oktober 2012.

2. Proses rektifikasi citra Landsat 7 ETM+ Pankromatik dilakukan dengan

transformasi koordinat dikarenakan pada saat mengunduh, citra Landsat 7

ETM+ yang digunakan sebagai citra utama dalam penelitian telah memiliki

koordinat tanah terproyeksi sentral (orthorektifikasi) namun pada

pengaturan zona lokasi mengalami kesalahan.

3. Daerah penelitian berada pada koordinat 346802,5700 E; 9158191,9000N

(top left) hingga 369128,4382 E; 9135926,0476 N (bottom right).

4. Metode fusi citra yang digunakan adalah metode fusi transformasi Brovey.

5. Klasifikasi penutup lahan dan penggunaan lahan menggunakan metode

Supervised Classification : Maximum Likelihood.

4

I.6. Tinjauan Pustaka

Makarau, dkk (2010) menyajikan pendekatan fusi untuk citra resolusi sangat

tinggi menggunakan data SAR dan fusi data multispektral untuk klasifikasi otomatis

di daerah perkotaan. Data multispektral terintegrasi dengan menggunakan kerangka

INFOFUSE yang terdiri dari ekstraksi fitur, pengelompokan kelas tidak terbimbing

(unsupervised clustering), dan agregasi data (Bayesian atau jaringan saraf). Fusi data

TerraSAR-X, WorldView-2 (hanya VNIR saja ataupun dataset lengkap), dan Model

Permukaan Digital (DSM) memungkinkan berbagai jenis objek perkotaan

diklasifikasikan ke dalam kelas yang telah ditentukan dengan tujuan peningkatan

akurasi klasifikasi. Akurasi klasifikasi terbaik dihasilkan oleh metode Infofuse dan

jaringan saraf dalam kombinasi data multispektral dan data model permukaan digital

(DSM). Fusi data multisensor menggunakan Infofuse dan jaringan saraf

(OVA=90,1092, Kappa=0,8907) menmberikan akurasi yang lebih tinggi

dibandingkan hasil fusi dan klasifikasi dengan menggunakan metode jaringan saraf

saja (OVA=87,0697, Kappa=0,8566). TerraSAR-X dan DSM menghasilkan overall

accuracy sebesar 90 % dengan pendekatan persamaan Kappa sebesar 0,89 dan

menghasilkan 23 kelas objek material.

Sitanggang (2001) memperoleh hasil bahwa untuk identifikasi objek-objek

penutup lahan citra pansharpening HSV AVNIR-2 komposit 321 dan PRISM adalah

yang terbaik dibandingkan metode Brovey (Color Normalized), Gram-Schmidth, dan

PC Spectral Sharpening.

Penulis (2013) dalam penelitian ini menggunakan data yang berasal dari sensor

yang sama yaitu Landsat 7 ETM+ yang mempunyai citra multispektral dan citra

pankromatik.. Kedua data tersebut digunakan sebagai masukan untuk dilakukan fusi

atau pan-sharpening dengan menggunakan metode Brovey. Dari hasil fusi tersebut

kemudian dilakukan klasifikasi penggunaan lahan dan penutup lahan dengan metode

Maximum Likelihood dan dilakukan uji lapangan, untuk kemudian hasilnya

dibandingkan dengan klasifikasi citra Landsat multispektral original (tanpa fusi).

Pemilihan data ini dikarenakan penulis ini menampilkan bahwa data yang ekonomis

dan mudah didapat namun mempunyai resolusi yang tidak terlalu baik dapat

dieksplorasi kemampuannya dengan teknik penginderaan jauh.

5

I.7. Dasar Teori

I.7.1 Citra Landsat

Landsat 1 adalah satelit pengamatan Bumi pertama kali di dunia (EOS), yang

diluncurkan oleh Amerika Serikat pada tahun 1972. Satelit ini memiliki kemampuan

untuk mengamati Bumi jauh dari ruang angkasa, dan merupakan salah satu perangkat

terbaik dalam penginderaan jauh. Setelah Landsat 1, Landsat 2, 3, 4, 5, dan 7

diluncurkan, Landsat 7 saat ini dioperasikan sebagai satelit utama.

Gambar I.1. Satelit Landsat 7 (sumber: http://science.nasa.gov)

Landsat 5 dilengkapi dengan multispectral scanner (MSS) dan thematic mapper

(TM). MSS adalah sensor optik yang didesain untuk mengamati radiasi matahari yang

dipantulkan dari permukaan Bumi dalam empat band spektral yang berbeda, dengan

menggunakan kombinasi dari sistem optik dan sensor. TM adalah peralatan observasi

canggih yang digunakan dalam MSS. Peralatan ini mengamati permukaan Bumi di

tujuh band spektral yang berkisar dari sinar tampak hingga inframerah termal.

Landsat 7 telah berhasil diluncurkan dari Pangkalan Angkatan Udara Vandenburg

pada tanggal 15 April 1999. Satelit ini dilengkapi dengan instrumen Enhanced

Thematic Mapper Plus (ETM+), penerus TM. Jumlah band dari Landsat 7 sama

6

dengan Landsat 5 sebanyak tujuh band, tetapi pada Landsat 7 ditambahkan band 8

yaitu band pankromatik dengan resolusi 15 m.

Data Landsat telah digunakan oleh pemerintah, masyarakat komersial, industri,

sipil, dan pendidikan di seluruh dunia. Data tersebut mendukung berbagai berbagai

aplikasi dalam bidang-bidang seperti penelitian perubahan iklim global, pertanian,

kehutanan, geologi, manajemen sumberdaya, geografi, pemetaan, hidrologi, dan

oseanografi. Citra Landsat dapat digunakan dalam pemetaan perubahan antropogenik

dan ilmiah di Bumi selama periode beberapa bulan sampai dua dekade. Jenis

perubahan yang dapat diidentifikasi meliputi pembangunan pertanian, penggundulan

hutan, bencana alam, urbanisasi, dan pengembangan dan degradasi sumber daya air).

Spesifikasi satelit dan karakteristik band citra Landsat 7 disajikan pada Tabel I.1 dan

I.2.

Tabel I.1. Spesifikasi Satelit Landsat 7

Tanggal diluncurkan 15 April 1999, di Pangkalan Angkatan Udara

Vandenberg, California

Resolusi Spasial

30 meter

Orbit

705 +/- 5 km (di atas khatulistiwa) sun-synchronous

Kecondongan Orbit

98,2 +/- 0,15

Periode Orbit

98,9 menit

Resolusi Temporal

16 hari (233 orbit)

Resolusi

15 hingga 90 meter

Tabel I.2. Karaktristik Band Citra Landsat 7

Band Rentang Spektral

(µ)

Resolusi

Spasial (m)

Keterangan

1 0,450 – 0,515

(Blue - Green)

30 Didesain untuk menembus badan

air, membedakan tanah, vegetasi,

dan memetakan tipe hutan

2 0,525 – 0,605

(Green)

30 Cocok untuk mengukur nilai

reflektan hijau tertinggi pada

vegetasi. Direkomendasikan untuk

membedakan vegetasi dan figur

tanaman

7

Band Rentang Spektral

(µ)

Resolusi

Spasial (m)

Keterangan

3 0,630 – 0,690

(Red)

30 Band ini dioperasikan untuk

mengukur daerah absorpsi klorofil.

Baik untuk mendeteksi jalan, tanah

kosong, dan tipe vegetasi

4 0,775 – 0,900

(NIR)

30 Band ini digunakan untuk

mengestimasi biomassa. Walaupun

band ini bisa memisahkan badan

air dari vegetasi dan membedakan

kelembaban tanah, tetapi tidak

efektif untuk identifikasi jalan pada

TM3

5 1,550 – 1,750

(Medium Infrared)

30 Band 5 dipertimbangkan sebagai

band tunggal terbaik dari semua

banda. Band ini bisa membedakan

jalan, tanah kosong, dan air. Band

ini juga mendukung kontras yang

baik dalam membedakan tipe

vegetasi dan paling baik dalam

menembus kabut dan atmosfir

6 10,50 – 12,50

(Thermal Infrared)

60 Band ini merespon radiasi termal

yang erat hubungannya dengan

kelembaban tanah dan tempertatur

vegetasi baik untuk mengukur

stress tanaman akibat panas dan

pemetaan termal

7 2,090 – 2,35

(Medium Infrared)

30 Band ini baik dalam membedakan

tipe batuan dan mineral serta untuk

interpretasi tutupan vegetasi dan

kelembaban tanah

8 0,520 – 0,900

(Pankromatik)

15 Band ini diperuntukkan untuk

mempertinggi resolusi dan

kemampuan meningkatkan deteksi.

Sumber: http://satelit-inderaja.blogspot.com, diakses pada 12 Januari 2013

Landsat 7 diproses beberapa tingkatan citra, yaitu (Sumber: www.nasa.gov):

1. Level 0R

Hasil perekaman sensor Landsat 7 masih dalam format .raw atau mentah

sehingga belum mengalami koreksi geometrik dan radiometrik

Level 1R

Hasil perekaman sensor telah terproses radiometrik sedang aspek

geometriknya masih sama dengan level 0R.

(lanjutan) Tabel I.2. Karakteristik Band Citra Landsat

7

8

2. Level 1G

Merupakan produk 0R yang telah terkoreksi aspek radiometrik dan

geometrik. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra

satelit landsat 7 pada level 1G sehingga tahapan koreksi radiometrik tidak

lagi dilakukan pada proses pre-processing. Sedangkan untuk koreksi

geometrik masih tetap dilakukan dikarenakan pengaturan datum dan

proyeksi yang ditetapkan dari situs sumber (NASA) masih belum sesuai

dengan datum dan proyeksi yang benar pada lokasi penelitian.

I.7.2 Koreksi Geometrik

Data penginderaan jauh biasanya mengandung kesalahan sistematik dan non

sistematik. Kesalahan ini dapat dikategorikan ke dalam dua kelas, yaitu:

1. Kesalahan yang dapat dikoreksi dengan data yang didapat dari nilai epemeris

wahana.

2. Kesalahan yang tidak dapat dikoreksi tanpa adanya data Ground Control

Point (GCP). GCP adalah titik-titik di permukaan Bumi yang untuk

mengidentifikasikan koordinat citra (dalam baris dan kolom) dan koordinat

peta (dalam derajat, lintang, bujur, meter, dll).

Koreksi geometrik dilaksanakan dengan maksud agar citra memiliki skala yang

benar dan seragam dalam suatu sistem proyeksi tertentu. Kegiatan yang dilakukan

untuk menghasilkan citra yang terkoreksi geometrik memerlukan tahapan-tahapan

sebagai berikut:

a. Transformasi Koordinat

Kesalahan yang telah dipertimbangkan dan bersifat sistematik dikoreksi

dengan menerapkan rumus-rumus yang diturunkan dengan membuat model

matematis dari seumber kesalahan. Selain dapat mengeliminir kesalahan

sistematik, koreksi geometrik juga dapat mengeliminir kesalahan non

sistematik (Lillesand and Kiefer, 2000).

Koreksi menggunakan analisis kesesuaian titik control tanah pada citra

acuan yang telah terkoreksi geometrik dan citra yang masih dalam koordinat

9

citra, memerlukan ketersediaan citra yang teliti dan sesuai dengan liputan

citra. Koreksi distorsi geometrik pada umumnya menggunakan transformasi 2

dimensi dengan persamaan polynomial orde n. Rumus transformasi affine 2D

atau polynomial pada orde satu ditunjukkan pada rumus I.1 dan I.2 di bawah

ini (Jensen, 1996 dalam Harintaka, 2002) :

Ximg = a0 + a1Xmap + a2Ymap ……………………………..…...….…..(I.1)

Yimg = b0 + b1Xmap + b2Ymap……………………………………..….(I.2)

Keterangan:

(X, Y)map = posisi objek pada koordinat referensi (peta)

(X, Y)img = posisi objek pada koordinat citra

a0, a1, a2, b0, b1, b2 = parameter transformasi

Pada transformasi ini diperlukan minimal 5 parameter X dan 5

parameter Y (3 parameter (X, Y) untuk memenuhi jumlah minimal GCP dan

2 titik (X, Y) untuk pengukuran lebih) untuk mengubah posisi geometri citra

sama dengan posisi geometri citra acuan/referensi.

b. Resampling

Resampling citra merupakan suatu proses penentuan kembali nilai piksel

sehubungan dengan koordinat baru setelah transformasi koordinat.

Pelaksanaannya dilakukan dengan proses transformasi dari suatu sistem

koordinat ke suatu sistem koordinat lainnya (Purwadhi, 2001).

Ada 3 metode dalam resampling, yaitu interpolasi tetangga terdekat

(nearest neighbor), interpolasi bilinear, dan interpolasi cubic convolution.

Dalam penelitian ini, metode resampling yang digunakan adalah interpolasi

tetangga terdekat (nearest neighbor). Nilai keabuan piksel baru ditentukan

berdasar nilai piksel tetangga yang paling dekat. Metode ini merupakan

metode yang paling sederhana dan mudah karena tidak menyebabkan

perubahan nilai piksel selama proses resampling.

I.7.3 Fusi Citra (Pan-sharpening)

Data citra yang sering dipakai dalam analisis penginderaan jauh antara lain

adalah citra pankromatik (pan) dengan informasi keabu-abuan yang umumnya

memiliki informasi spasial tinggi sehingga dapat membantu melokasikan suatu objek

10

di muka Bumi. Selain itu terdapat pula citra multispektral berwarna dengan saluran

multispektrum (inframerah, cahaya tampak maupun ultraviolet) yang lebih

memberikan informasi warna berdasarkan pantulan dan penyerapan sinar

elektromagnetik oleh objek yang ditangkap oleh sensor. Pada umumnya citra

multispektral yang ada memiliki resolusi rendah, dalam artian memiliki informasi

spasial yang rendah meskipun mampu memberi informasi yang tinggi.

Citra pankromatik dan multispektral ini, terlebih penggabungannya , memiliki

andil yang besar dalam aplikasi penginderaan jauh. Proses penggabungan citra

pankromatik dan citra multispektral ini umum dikenal dengan istilah image fusion

atau pan-sharpening/image sharpening. Fusi citra secara umum diartikan sebagai

teknik untuk mengintegrasikan detail geometri atau spasial dari suatu citra

pankromatik (hitam putih) beresolusi tinggi dengan citra multispektral beresolusi

rendah, dimana dua atau lebih gambar digabungkan menjadi satu gambar dengan

mempertahankan fitur penting dari masing-masing gambar asli.

Tujuan utama fusi citra adalah mengintegrasikan data-data yang didapat dari

berbagai sumber untuk mendapatkan informasi yang jauh lebih baik jika

dibandingkan dengan informasi yang didapat dari satu sumber saja. Dalam hal ini,

manfaat dari fusi citra meliputi:

1. Memperluas jangkauan operasi.

2. Memperpanjang cakupan spasial dan temporal.

3. Mengurangi ketidakpastian.

4. Meningkatkan kehandalan.

5. Menguatkan kinerja sistem.

6. Kompak dalam penyajian informasi.

Fusi citra sendiri dapat dilakukan dalam beberapa tingkat, yaitu pada tingkat

piksel, tingkat ciri dan pada tingkat pengambilan keputusan. Gambar I.2.

menunjukkan perbedaan dari ketiga tingkat fusi citra:

11

Gambar I.2. Skema fusi data

Fusi citra pada tingkat piksel adalah fusi citra pada tingkat data paling dasar,

yaitu penggabungan parameter fisik dari citra itu sendiri yaitu data piksel-piksel yang

menyusun sebuah citra. Fusi pada tingkat ciri memerlukan ekstraksi cirri dari citra-

citra yang akan digabungkan, misalnya dengan melakukan segementasi terlebih

dahulu kemudian objek-objek yang dihasilkan akan digabungkan. Fusi tingkat cirri

jugadapat disebut fusi informasi. Sementara fusi pada tingkat pengambilan keputusan

adalah metode fusi dimana citra sumber diproses secara terpisah satu dengan yang

lainnya, baru kemudian informasi dari masing-masing citra tersebut digabungkan

untuk mendukung proses pengambilan keputusan/kesimpulan.

Ada tiga metode yang dapat digunakan untuk fusi citra yaitu Principal

Component Merge, Multiplicative dan Brovey Transform. Principal Commponent

Merge merupakan metode penggabungan dua citra yang memiliki resolusi spasial

yang berbeda dengan menggunakan analisis komponen utama (Principal Component

Analysis/PCA). Karson (1982 dalam Putra, 2003) menyatakan bahwa tujuan

dilakukannya analisis komponen utama adalah untuk memperoleh peubah baru

Level

Pixel

Image 1

Image 2

Image 3

Feature

Extraction

Feature

Identification Evaluation Result FUSION

Evaluation Result FUSION

Level

Pixel

Image 1

Image 2

Image 3

Image 1

Image 2

Image 3

Feature

Extraction Evaluation Result FUSION

12

(komponen utama) yang tidak saling berkorelasi tetapi menyimpan informasi yang

terkandung pada peubah asal. Multiplicative merupakan suatu teknik fusi yang

digunakan untuk meningkatkan intensitas citra sehingga kenampakan cultural di

permukaan Bumi dipertegas pada citra tersebut. Brovey transform merupakan suatu

teknik fusi yang telah dikembangkan untuk meningkatkan kontras secara visual pada

citra. Oleh sebab itu, metode ini tidak cocok bagi mereka yang ingin

mempertahankan nilai radiometrik asli. Berbeda dengan kedua metode di atas, dalam

metode ini 3 band telah ditentukan terlebih dahulu untuk dimasukkan ke dalam

perhitungan matematis (Zakiah, 2007).

I.7.4 Transformasi Brovey

Transformasi Brovey adalah salah satu cara yang sederhana untuk

mengkombinasikan data dari beberapa sensor, dengan batasnya yaitu hanya tiga

kanal yang dapat disertakan. Transformasi ini melakukan normalisasi terhadap

sebuah citra RGB, kemudian mengalikan hasilnya dengan sebuah data citra yang

beresolusi lebih tinggi untuk meningkatkan komponen intensitas dari citra.

Hal ini dapat dirangkum dalam rumus sebagai berikut (Natsir, 2003) :

R = Band 5/(Band 5 + Band 4 + Band 2) * S1…………………..(I.3)

G = Band 4/(Band 5 + Band 4 + Band 2) * S1…………………..(I.4)

B = Band 2/(Band 5 + Band 4 + Band 2) * S1…………………..(I.5)

Band 2, Band 4, dan Band 5 menunjukkan kanal nomor 2, 4 dan 5 citra

multispektral (Landsat 7 ETM+), S1 menunjukkan citra pankromatik (kanal 8 dari

Landsat 7 ETM+).

Normalisasi warna menggunakan metode transformasi pan-sharpening Brovey

dapat mengaplikasikan teknik penajaman yang menggunakan kombinasi matematis

dari citra multispektral dengan kekayaan warna citra yang tinggi dan citra dengan

resolusi spasial tinggi.

Setiap band di citra multispektral dikalikan dengan rasio dari data resolusi

spasial tinggi yang dibagi dengan jumlah band warna. Fungsi tersebut secara

otomatis me-resampling 3 warna band tersebut ke dalam ukuran pixel resolusi tinggi.

Pilihan resampling yang banyak digunakan antara lain nearest neighbour, bilinear

atau cubic convulution.

13

Hasil citra RGB akan memiliki ukuran pixel dari masukan citra dengan resolusi

spasial tinggi.

I.7.5 Penggunaan Lahan dan Penutup Lahan

Penggunaan lahan dan penutupan lahan memiliki defenisi yang berbeda.

Menurut Lillesand dan Kiefer (2000), istilah penutupan lahan berkaitan dengan jenis

kenampakan yang ada di permukaan Bumi. Sedangkan istilah penggunaan lahan

berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu. Konecny (2003)

menyatakan bahwa penutupan lahan menggambarkan penampilan fisik dari

permukaan Bumi. Sementara itu, penggunaan lahan diartikan sebagai kategori lahan

yang berhubungan dengan hak penggunaan tanah tersebut secara ekonomi.

Parwati,dkk (2004) menggunakan citra Landsat 7 ETM dengan resolusi spasial

30 x 30 m untuk memetakan penutupan lahan. Klasifikasi penutupan lahan dilakukan

secara digital. Teknik klasifikasi yang digunakan adalah metode supervised. Langkah

awal adalah membentuk training sample tersebut secara statistik. Dengan bantuan

training sample tersebut dilakukan proses klasifikasi secara digital, dimana objek

dengan nilai statistik terdekat dikelompokkan menjadi kelas sesuai dengan kelas

training sample yang diambil. Jenis penutup lahan yang diidentifikasi dari citra

Landsat dijadikan dasar untuk menginterpretasi jenis penggunaan lahan pada masing-

masing penutupan lahan tersebut. Hasil penetapan jenis penggunaan lahan tersebut

selanjutnya akan digunakan untuk mendeteksi perubahan penggunaan lahan. Proses

interpretasi jenis penutupan lahan didasarkan pada kondisi lapangan yang diperoleh

dari pengecekan lapangan.

I.7.6 Klasifikasi Digital

Klasifikasi ialah menetapkan objek-objek kenampakan atau unit menjadi

kumpulan di dalam suatu sistem pengelompokan yang dilakukan berdasarkan

kandungan isinya. Fungsi utama dari kumpulan yang komplek menjadi kelompok-

kelompok (disebut kelas, kategori) yang dapat diperlikan sebagai unit yang seragam

untuk keperluan khusus. Tahapan klasifikasi adalah mengenali, menentukan letak,

dan melakukan pengelompokan obyek menjadi kelas-kelas tertentu yang didasarkan

pada kesamaan nilai spektral setiap piksel.

14

Pembuatan klasifikasi baku untuk penggunaan lahan bukanlah pekerjaan yang

mudah dan cepat karena banyak memiliki syarat-syarat dan prosedur yang harus

dilakukan dengan benar. Hal ini sesuai dengan standar penelitian Anderson (1976)

yang membuat suatu batas klasifikasi penggunan lahan yang terdiri dari lima unsur

pokok, yaitu:

1. Konfigurasi permukaan topografi.

2. Tumbuhan/vegetasi serta komunitas tumbuhan yang ditentukan di wilayah

tersebut.

3. Pola ukuran dan ladang yang terlihat pada umumnya di wilayah tersebut.

4. Pola pemukiman, kepadatan pemukiman dan lokasi pemukiman.

5. Jaringan jalan atau jaringan transportasi dan kepadatan jaringan jalan yang

ada di wilayah tersebut.

Sutanto (1986) mengutarakan terdapat empat persyaratan untuk klasifikasi

penggunaan lahan, yaitu:

1. Dapat diterapkan untuk daerah luas, jadi tidak bersifat lokal.

2. Dapat diterapkan dengan citra yang dibuat pada musim yang berbeda.

3. Dapat diterapkan bagi citra dan foto udara yang skalanya lebih kecil atau

lebih besar.

4. Memungkinkan penambahan kelas-kelas penggunaan lahan yang baru.

Tujuan prosedur klasifikasi secara digital adalah untuk melakukan kategori

secara otomatik dari semua piksel citra ke dalam kelas dengan suatu tema tertentu.

Secara umum, data multispektral menggunakan bentuk klasifikasi pola spektral data

untuk kategori setiap piksel berbasis numerik. Pengenalan pola spektral (spectral

pattern recognition) merupakan prosedur klasifikasi yang menggunakan informasi

spektral setiap piksel untuk mengenal kelas-kelas obyek secara otomatis.

Suatu klasifikasi penggunaan lahan yang sudah disesuaikan dengan keadaan di

Indonesia, susunan klasifikasi penggunan lahan yang baik menurut Malingreau

adalah sebagai berikut (Malingreau, 1982 dalam Prayudha, 2008) :

1. Kelas-kelas tersebut diberi batasan yang tepat dan keanekaragaman dalam

kelas tersebut seminim mungkin.

2. Pemisahan diantara jenis kategori penggunaan lahan harus tegas.

3. Klasifikasi harus terbuka untuk memungkinkan penambahan kelas-kelas lagi.

15

4. Klasifikasi dibuat menurut suatu penggolongan kelas agar dapat digunakan

pada daerah yang berbeda-beda.

5. Klasifikasi dibuat menyesuaikan terhadap pengumpulan data yang tidak dapat

dilakukan menggunakan foto udara dan citra penginderaan jauh lainnya.

Pada penelitian ini, algoritma klasifikasi penggunaan lahan yang digunakan

adalah klasifikasi menurut Malingreau. Penggunaan klasifikasi ini mengingat:

1. Mempunyai batas yang tegas diantara kategori.

2. Mempunyai sifat-sifat yang terbuka sehingga memungkinkan penambahan

kelas-kelas lain bila diperlukan.

3. Penyusunan klasifikasi telah disesuaikan dengan keadaan di Indonesia sesuai

dengan klasifikasi yang lain.

Malingreau membuat klasifikasi penggunaan lahan sekaligus penutup lahan

yang ada di dalamnya. Klasifikasi penggunaan lahan menurut Malingreau dibagi

menjadi empat golongan utama yaitu :

1. Air.

2. Daerah vegetasi.

3. Daerah tak bervegetasi.

4. Pemukiman dan bangunan.

Proses klasifikasi penutup lahan meliputi dua langkah : (1) mengenali objek –

objek penutup lahan (2) pemberian nama-nama piksel untuk diklasifikasi

menggunakan algoritma klasifikasi tertentu. Ada dua pendekatan pemberian nama-

nama piksel ke dalam penutup lahan yaitu klasifikasi terkontrol (supervised

classification) dan klasifikasi tidak terkontrol (unsupervised classification) (Mather,

1999).

I.7.6.1. Klasifikasi Terkontrol (Supervised Classification)

Yaitu proses klasifikasi dengan pemilihan kategori yang diinginkan

dan memilih daerah contoh (training area) untuk setiap kategori penutup lahan.

Klasifikasi ini mengacu pada nilai piksel yang sudah diketahui jenis penutup

lahannya. Berdasarkan pada nilai piksel dari suatu penutup lahan yang

diketahui jenisnya akan dapat diketahui persebaran penutup lahan pada daerah

penelitian.

16

Pada tahap klasifikasi ini setiap piksel pada citra dibandingkan dengan

setiap kategori pada kunci interpretasi numerik, yaitu menentukan nilai piksel

yang tak dikenal dan paling mirip dengan kategori yang sama. Perbandingan ini

dapat dilakukan menggunakan berbagai metode klasifikasi terkontrol,

diantaranya jarak terdekat terhadap nilai rerata (minimum distance), nilai rata-

rata, klasifikasi parallelepiped, klasifikasi maximum likelihood dan klasifikasi

tetangga terdekat (nearest neighbor).

I.7.6.2. Klasifikasi Tidak Terkontrol (Unsupervised Classification)

Klasifikasi tidak terkontrol merupakan klasifikasi yang dilakukan

tanpa menggunakan daerah contoh atau daerah sampel (training area). Dalam

klasifikasi jenis piksel ini dikelompokan berdasar nilai spektralnya. Dasar

pemikiran klasifikasi ini bahwa piksel-piksel untuk satu jenis penutup lahan

akan mengelompok, sedangkan untuk penutup lahan yang berbeda akan

terpisah letaknya. Kelas-kelas yang dihasilkan belum diketahui jenis kelas

spektralnya karena pengelompokaannya tanpa menentukan daerah contoh.

Untuk mengetahui jenis kelas spektralnya ke dalam kategori penutup lahan

maka harus dibandingkan terhadap data acuan atau uji lapangan.

I.7.7 Training Area

Sesudah memilih skema klasifikasi, analisa dilanjutkan dengan memilih suatu

lokasi tertentu di citra yang mempunyai penutup lahan sesuai dengan klas yang

diinginkan. Penentuan area tersebut disebut dengan training area, dimana kegiatan ini

dapat dilakukan dengan bantuan peta, interpretasi foto udara dan sebagainya.

Setelah training area ditentukan batasnya kemudian dilakukan hitungan

statistik terhadap training area tersebut.

1.7.8 Uji Indeks Separabilitas

Dalam klasifikasi terbimbing, dilakukan pengambilan sampel pada tiap nilai

digital yang dikelompokkan berdasarkan klasifikasi tertentu. Sampel ini dijadikan

dasar oleh algoritma untuk dilakukan perhitungan klasifikasi nilai digital. Pada

17

pengambilan sampel perlu dilakukan secara cermat dan hati-hati, karena hal ini

berpengaruh terhadap akurasi hasil klasifikasi. daripada pemilihan algoritma

klasifikasi itu sendiri. Evaluasi tingkat separabilitas sampel dapat dilakukan melalui

metode pengukuran Transformed Divergen (TD), dan ajarak Jeffries-Matusita (JM).

Nilai yang dihasilkan dari evaluasi tersebut berkisar antara 0 hingga 2. Nilai indeks

lebih dari 1,9 memiliki arti bahwa sampel memiliki separabilitas (keterpisahan) yang

baik. Jika nilai separabilitas kurang dari 1, maka sampel tersebut harus

dikelompokkan menjadi satu kelompok kelas, karena separabilitasnya sangat buruk.

Pengambilan sampel nilai digital atau ROI (Region Of Interest) dilakukan

dengan mengelompokkan nilai-nilai digital sesuai dengan kategorisasi atau

pengklasan objek tertentu yang memiliki sifat hampir sama (homogen). Hal ini

dilakukan sebagai usaha untuk mempertajam interpretasi, yang pada dasarnya unsure

interpretasi terdiri dari 9 unsur, yaitu rona atau warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola

tinggi, bayangan, situs dan asosiasi dan ditambah unsure tambahan yaitu

pengetahuan mengenai daerah yang dikaji (local knowledge) (Sutanto, 1994 dalam

Prayudha, 2008). Pada interpretasi visual, 9 unsur ini memungkinkan untuk

terpenuhi, tetapi untuk interpretasi secara digital yang berbasiskan pada nilai digital

yang mempresentasikan perbedaan warna, 9 unsur tersebut hanya terpenuhi pada

unsur rona/warna saja.

Jarak Jeffries-Matusita (JM) antara sepasang kemungkinan distribusi (kelas

spektral) yang digunakan untuk mengukur jarak rata-rata antara fungsi densitas dua

kelas (Wacker, 1971 dalam Richards, ) adalah:

………………..…………...(I.6)

Keterangan:

, = probabilitas klas sebelumnya (prior)

= posisi distribusi probabilitas kelas spektral

= jarak Jeffries-Matusita

Rata-rata jarak JM berpasangan dapat didefinisikan menjadi

…………………..…………..(I.7)

Dimana M adalah jumlah kelas spektral dan , merupakan probabilitas

klas prior.

18

I.7.9 Metode Klasifikasi

Ada tiga metode klasifikasi digital, yaitu:

a. Klasifikasi jarak minimum rata-rata kelas (minimum distance).

Merupakan salah satu dari metode klasifikasi terkontrol yang paling

sederhana, yaitu dengan cara menentukan nilai rata-rata setiap kelas. Suatu

piksel yang tak dikenal identitasnya dapat dikelaskan dengan cara

menghitung jarak terpendek dari nilai piksel rata-rata yang digunakan

sebagai kategori kelas (Purwadhi, 2001).

Tiap obyek yang sama dalam suatu ruang n dimensi, yang

menggambarkan saluran 1,2,3,…,n pada suatu sistem multispektral, akan

mempunyai nilai ganda pada saluran 1,2,3,..,n. setiap piksel dapat diplot

pada ruang spektral, dan diukur jarak spektralnya terhadap suatu piksel

sampel acuan (yang telah diketahui pasti jenisnya), dengan menggunakan

persamaan I.9 (Danoedoro, 1996) :

…………………………. ………...(I.8)

Keterangan:

n = jumlah saluran

i = saluran tertentu

c = kelas obyek tertentu

Xxyi = nilai berkas data piksel pada posisi x,y saluran i

JSxyc = jarak spektral dari piksel x,y ke rerata kelas c

b. Klasifikasi parallelepiped.

Proses klasifikasi dilakukan dengan memperhitungkan kisaran nilai

digital dari masing – masing rangkaian kategori nilai piksel daerah contoh.

Kisaran nilai digital dari dua saluran dapat digambarkan dalam bentuk

empat persegi panjang. Suatu piksel tak dikenal dapat dikelaskan pada

kategori kelas penutup lahan sesuai dengan wilayah dimana letak atau

posisi piksel tak dikenal tersebut berada.

Menurut Danoedoro (1996), langkah – langkah yang dilakukan dalam

klasifikasi ini adalah:

19

1. Memasukkan sampel berupa nilai kelompok piksel beserta dengan

namanya. Nilai kelompok piksel ini hanya akan dicatat sebagai nilai

rerata beserta dengan simpangan bakunya.

2. Sampel tersebut kemudian ditempatkan pada ruang spektral n

dimensi, dimana n adalah jumlah saluran spektral yang dijadikan

masukan.

3. Memasukkan suatu koefisien pengali p. nilai p ini nantinya akan

dikalikan dengan Sd pada tiap saluran. Nilai p x Sd digunakan sebagai

nilai panjang tiap sisi ang dibangun pada nilai rerata sebagai pusat

kotak.

Proses dimulai dari piksel baris 1 kolom1, sampai baris terakhir

kolom terakhir. Apabila vector piksel yang bersangkutan masuk ke salah

satu kotak sampel, maka piksel ini diklasifikasikan sebagai kelas yang

menandai kotak tersebut. apabila ternyata suatu vector tidak masuk kotak

manapun, maka piksel tersebut adalah sebagai piksel yang tidak

terklasifikasi.

c. Klasifikasi kemiripan maksimum (maximum likelihood).

Sistem klasifikasi ini pada dasarnya merupakan pengelompokan

piksel berdasarkan nilai pantulannya sesuai dengan daerah contoh yang

dipilih (Purwadhi, 2001). Pada penelitian ini, klasifikasi yang digunakan

adalah klasifikasi terkontrol yang didasari oleh pemasukan contoh nilai

spektral objek.

Pada algoritma klasifikasi kemiripan maksimum, diasumsikan bahwa

probabilitas untuk semua kelas dipandang sama. Pada kenyataannya, tidak

semua kelas dapat diperlakukan pada probabilitas sama untuk

dipresentasikan pada citra. Suatu gugugs sampel yang jauh lebih kecil dari

gugus – gugus sampel yang lain akan mempunyai probabilitas yang lebih

kecil untuk muncul, sehinga perlu adanya factor pembobot untuk masing –

masing kelas yang ada. Gugus sampel yang kecil ini secara logis dapat

diberi bobot yang lebih rendah dibandingkan gugus – gugus yang lain

(Danoedoro, 1996).

20

Metode klasifikasi ini pada dasarnya merupakan pengelompokan

piksel berdasarkan nilai pantulannya sesuai dengan daerah contoh yang

dipilih. Pelaksanaan klasifikasi dimulai dengan asumsi bahwa pikselnya

mengikuti kurva – kurva normal, maka persebaran pola spektralnya dapat

dilukiskan dengan baik yang selanjutnya dihitunh kemungkinan

pengelompokan secara statistik, untuk menentukan kelas penggunaan lahan.

Metode maximum likelihood ini memakai besaran statistik antar band

(matrik kovarian : Vo) yang telah dihitung sebelumnya. Ketentuan yang

dipakai dapat dilihat pada persamaan I.9 :

D = ln (ac)–[0.5 ln (|Covc|)–[0.5(X–Mc)T(Covc

-1)(X–Mc)]…….....(I.9)

Keterangan:

D = jarak yang diberi bobot

C = suatu kelas tertetu

X = vektor piksel yang diklasifikasi

Mc = vektor rerata sampel kelas c

Covc = matriks kovariansi piksel – piksel pada sampel kelas c

Melalui persamaan ini, suatu piksel akan dimasukkan sebagai kelas

c apabila nilai D untuk kelas c adalah yang terendah. Klasifikasi

menggunakan kemiripan maksimum menyangkut beberapa dimensi, maka

pengelompokan obyek dilakukan pada obyek yang mempunyai nilai piksels

ama dan identik pada citra.

I.7.10 Uji Ketelitian Hasil Klasifikasi

Kebutuhan untuk menilai akurasi dari peta yang dihasilkan dari data

penginderaan jauh, telah menjadi universal dan diakui sebagai komponen proyek

yang tidak terpisahkan Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar proyek

membutuhkan tingkat akurasi tertentu yang dicapai untuk proyek dan peta yang

dianggap akan sukses.

Ketelitian klasifikasi adalah ketepatan dan keakuratan peta dalam pendeteksian

dan pengidentifikasian suatu objek. Perhitungan ketelitian klasifikasi peta tutupan

lahan dilakukan dengan menghitung nilai kappa dari matriks konfusi dengan

21

menggunakan data inspeksi lapangan (ground truth) sebagai referensi validasi.

Adapun perancangan matriks konfusi adalah dengan cara membuat tabulasi silang

(crosstab) antara data hasil interpretasi (data peta tutupan lahan) dengan data

sebenarnya (data inspeksi lapangan. Nilai kappa adalah tingkat ketelitian dari suatu

klasifikasi.

Evaluasi dilakukan terhadap citra hasil klasifikasi, yaitu meliputi analisis

statistik hasil klasifikasi dan uji ketelitian. Menurut teori Short , ketelitian klasifikasi

dari data Landsat dapat diuji menggunakan empat cara, yaitu:

1. Melakukan cek lapangan pada titik-titik tertentu (fields checks at selected

point). Pada metode ini, uji ketelitian dilakukan dengan melihat situasi di

lapangan dan membandingkannya dengan hasil klasifikasi, serta menilai

apakah hasil interpretasi sesuai dengan data yang sebenarnya di lapangan.

2. Estimasi kesesuaian antara Landsat dan oeta acuan atau foto (estimate of

agreement between Landsat and reference maps or photos). Metode ini

dilakukan dengan menumpangtindihkan atau meng-overlay antara Landsat

terkoreksi dengan peta acuan. Tingkat hubungan diantara tema yang sama,

kelas, dan batas kelas diestimasi atau dihitung dengan pengukuran statistik

yang cocok

3. Analisis statistik (statistical analysis). Metode ini dilakukan dengan

menggunakan nilai numeric dalam pengukuran, pengambilan sampel, dan

pemrosesan data. Perhitungan statistik yang berbeda dilakukan pada

pengukuran ketelitian yang diterapkan pada data mentah atau hasil akhir

termasuk dalam tes ini adalah RMSE (Root Mean Square Error), standard

error, analisis varians, koefisien korelasi, analisis regresi linier dan multiple

serta tes kuadrat terkecil.

4. Perhitungan matriks kesalahan (confussion matrix calculation). Metode ini

dilakukan dengan membuat tabel matriks kesalahan (confusion matrix) dan

merupakan metode yang teliti. Jumlah sampel yang benar pada

Matriks kesalahan adalah deretan angka dalam baris dan kolom yang

menyatakan jumlah satuan sampel (misalnya, piksel, kluster piksel atau poligon)

yang ditempatkan pada kategori kelas penggunaan lahan relative terhadap katgori

actual sebagaimana yang diverifikasi di lapangan. Kolom menyajikan data rujukan,

22

sedangkan baris menunjukkan klasifikasi yang dihasilkan dari data penginderaan

jauh.

Kesalahan untuk kelas individu dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

Ketelitian hasil klasifikasi =

…………....(I.10)

Ketelitian pemetaan untuk tiap klas X =

....……..…(I.11)

Piksel Xomisi =

......................(I.12)

Kesalahan omisi yaitu sampel kelas tertentu pada data acuan yang terklasifikasi

secara benar yang dibagi kelas yang terletak pada kolom X tetapi tidak terletak pada

diagonal.

Piksel Xkomisi =

...…..…….(I.13)

Kesalahan komisi yaitu sampel kelas penggunaan lahan pada data terklasifikasi

secara benar, yaitu kelas yang terletak pada baris X tetapi tidak terletak pada

diagonal.

Untuk mendapatkan matriks kesalahan, sampel titik dipilih dari peta

penggunaan lahan interpretasi untuk dibandingkan dengan data kebenaran lapangan

dalam rangka menghemat pengecekan setiap titik. Uji ketelitian dilakukan dengan

cara menilai jumlah piksel hasil klasifikasi yang sama dengan data cek lapangan,

kemudian dibandingkan dengan jumlah keseluruhan cek lapangan, hasil ketelitian

diterima jika piksel terklasifikasi memenuhi ketelitian minimal 85 % (Short, 1982

dalam Prayudha, 2008).

I.8. Hipotesis

Berdasarkan studi literatur dan tinjauan pustaka yang telah dilakukan oleh

penulis dalam tahap persiapan penelitian ini, maka diperoleh hipotesis (dugaan

sementara) antara lain:

23

1. Penggabungan antara citra multispektral dan citra pankromatik mendukung

akurasi dalam proses identifikasi obyek dibanding jika menggunakan salah

satu citra saja.

2. Dengan peningkatan kualitas spasial dan spektral yang telah dilakukan,

akan menghasilkan akurasi hasil klasifikasi yang lebih baik yaitu dengan

menunjukkan tingkat kebenaran hasil klasifikasi terhadap kondisi di

lapangan.