bab i pendahuluan -...

36
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Postingan Kompasianer di Kompasiana pada 15 September 2012 dengan nama akun Mcdamas menarik untuk dicermati 1 , pasalnya Mcdamas menulis isu kampanye putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012. “Isu” ini dihembuskan dan coba dipopulerkan oleh Foke. Saat dia berkampanye dihadapan warga Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, hari ini, Foke mengatakan bahwa Kartu Sehat dan Kartu Pintar yang selalu dibawa Jokowi saat kampanye adalah “Pepesan Kosong”. Ada yang kemana-mana bawa kartu, ternyata kartunya pepesan kosong, ” kata Foke.“Doyan pepesan kosong apa kagak?” tanya Foke ke warga yang langsung menjawab, “Tidak!Rupanya “emosi” Foke belum mereda sejak Debat Kandidat di JakTV tadi malam. Saat itu Jokowi “meledek” Foke: “Kalau sejak lima tahun kemarin pak Foke sudah menerapkan Kartu Sehat dan Kartu Pintar, di putaran 1 kemarin pak Foke bisa menang 90%” kata Jokowi. Karena tidak punya kesempatan untuk merespon ledekan tersebut saat acara debat, Foke melampiaskan “dendam”nya di hadapan warga. “Jadi kalau ada yang bawa pepesan kosong, bilangin jangan bawa kesini,” tegas Foke. Realitasnya, selama 5 tahun Foke memimpin Jakarta, selama itu pula warga disuguhi pepesan kosong sesungguhnya oleh Foke. Kartu Jamkesda, program pengobatan gratis a la Foke, dan sekolah gratis 12 tahun justru baru gencar dibagikan kepada warga saat Foke maju di putaran 2 pilkada DKI tahun ini. Itupun karena dia merasa “terdesak” oleh kepopuleran Jokowi dengan 2 Kartu Saktinya tersebut. Apa yang diungkapkan Mcdamas menunjukkan bahwa warga Jakarta menerima secara kritis segala bentuk kampanye yang dilakukan oleh kandidat. Tidak berhenti sampai di situ, dengan penuh kesadaran Mcdamas mencoba mengungkapkannya kepada warga lain lewat tulisan di Kompasiana. Kebetulan Mcdamas merupakan Kompasianer, yakni anggota komunitas Kompasiana 2 . Mcdamas mengkritisi gubernur petahana, Foke. Sebagai warga Jakarta, Mcdamas mengetahui bahwa program Foke di bidang kesehatan belum berjalan maksimal. Sehingga ketika Foke mencerca materi kampanye Jokowi soal Kartu 1 Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/isu-menarik-di-kampanye-hari-kedua-493176.html 2 Kompasiana adalah blog para jurnalis dan publik yang beralamat di http://kompasiana.com, diluncurkan pada 22 Oktober 2008. Saat acara berlangsung tercatat lebih dari 1.800 posting atau tulisan, baik dari para jurnalis Kompas atau jurnalis di lingkungan Kelompok Gramedia, blogger tamu, maupun blogger publik dengan lebih dari 12.000 komentar (Nugraha, 2013: 70). Keterangan lebih lengkap soal Kompasiana akan dipaparkan dalam keterangan objek penelitian.

Upload: duongquynh

Post on 02-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Postingan Kompasianer di Kompasiana pada 15 September 2012 dengan nama

akun Mcdamas menarik untuk dicermati1, pasalnya Mcdamas menulis isu kampanye

putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012.

“Isu” ini dihembuskan dan coba dipopulerkan oleh Foke. Saat dia berkampanye

dihadapan warga Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, hari ini, Foke mengatakan

bahwa Kartu Sehat dan Kartu Pintar yang selalu dibawa Jokowi saat kampanye adalah

“Pepesan Kosong”.

“Ada yang kemana-mana bawa kartu, ternyata kartunya pepesan kosong,” kata

Foke.“Doyan pepesan kosong apa kagak?” tanya Foke ke warga yang langsung

menjawab, “Tidak!“

Rupanya “emosi” Foke belum mereda sejak Debat Kandidat di JakTV tadi malam. Saat itu

Jokowi “meledek” Foke: “Kalau sejak lima tahun kemarin pak Foke sudah menerapkan

Kartu Sehat dan Kartu Pintar, di putaran 1 kemarin pak Foke bisa menang 90%” kata

Jokowi.

Karena tidak punya kesempatan untuk merespon ledekan tersebut saat acara debat, Foke

melampiaskan “dendam”nya di hadapan warga. “Jadi kalau ada yang bawa pepesan

kosong, bilangin jangan bawa kesini,” tegas Foke.

Realitasnya, selama 5 tahun Foke memimpin Jakarta, selama itu pula warga disuguhi

pepesan kosong sesungguhnya oleh Foke. Kartu Jamkesda, program pengobatan gratis a la

Foke, dan sekolah gratis 12 tahun justru baru gencar dibagikan kepada warga saat Foke

maju di putaran 2 pilkada DKI tahun ini. Itupun karena dia merasa “terdesak” oleh

kepopuleran Jokowi dengan 2 Kartu Saktinya tersebut.”

Apa yang diungkapkan Mcdamas menunjukkan bahwa warga Jakarta menerima

secara kritis segala bentuk kampanye yang dilakukan oleh kandidat. Tidak berhenti sampai

di situ, dengan penuh kesadaran Mcdamas mencoba mengungkapkannya kepada warga

lain lewat tulisan di Kompasiana. Kebetulan Mcdamas merupakan Kompasianer, yakni

anggota komunitas Kompasiana2. Mcdamas mengkritisi gubernur petahana, Foke. Sebagai

warga Jakarta, Mcdamas mengetahui bahwa program Foke di bidang kesehatan belum

berjalan maksimal. Sehingga ketika Foke mencerca materi kampanye Jokowi soal Kartu

1 Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/isu-menarik-di-kampanye-hari-kedua-493176.html

2 Kompasiana adalah blog para jurnalis dan publik yang beralamat di http://kompasiana.com, diluncurkan

pada 22 Oktober 2008. Saat acara berlangsung tercatat lebih dari 1.800 posting atau tulisan, baik dari para

jurnalis Kompas atau jurnalis di lingkungan Kelompok Gramedia, blogger tamu, maupun blogger publik

dengan lebih dari 12.000 komentar (Nugraha, 2013: 70). Keterangan lebih lengkap soal Kompasiana akan

dipaparkan dalam keterangan objek penelitian.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

2

Sehat, Mcdamas angkat bicara. Pilihan Mcdamas untuk bicara dan melemparkan informasi

politik semacam ini tentu tidak lepas dari latar belakang sosialnya sebagai guru, tepatnya

guru bahasa Inggris di suatu lembaga kursus ternama di Jakarta. Praktis posisi ini juga

menempatkannya di level kelas menengah3. Kelas ini cenderung memberi tingkat perhatian

yang tinggi terhadap masalah kesehatan, termasuk jaminan kesehatan untuk warganya4.

Lain lagi dengan tulisan Kompasianer bernama Febrian Arham yang diposting pada

tanggal 15 September 20125. Lewat tulisannya Arham mengkritik Ahok yang tidak

memiliki kejelasan sistem transparansi anggaran:

“Di berbagai pernyataan baik media cetak maupun elektronik Basuki Tjahaja

Purnama alias Ahok selalu mengkampanyekan mengenai transparansi anggaran sebagai

janji yang akan ditepatinya jika ia terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta nanti.

Pernyataannya diperkuat dengan pernyataan lainnya mengenai pengalamannya sebagai

Bupati Belitung Timur yang telah pernah melaksanakan model janji tersebut, Dan

kemudian menjadi pejabat Negara yakni sebagai anggota DPR … Ahok lupa menceritakan

mengenai Transparansi Anggaran dan disiplin administrasi yang mengikutinya yang

diterapkan di Kabupaten Belitung Timur, yang sesungguhnya lebih relevan dengan

Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi DKI.

Inilah yang memperjelas bahwa, ide Ahok mengenai Transparansi Anggaran adalah tidak

jelas.

Pengelolaan Keuangan atau pengelolaan anggaran sector public dibedakan menjadi

Pengelolaan Keuangan Negara dan Pengelolaan Keuangan Daerah, yang keduanya secara

sederhana meliputi Perencanaan, pelaksanaan dan pertanggunjawaban dalam satu tahun

anggaran.

Dari „Pengalamannya” yang hanya berlangsung dalam satu tahun dari 2005-2006 dapat

dipastikan bahwa Ahok pernah, belum mengalami, salah satu proses dari pengelolaan

anggaran yang disebutkan di atas.

Ahok belum cukup menguasai mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah.”

Lebih lanjut Arham justru memuji Foke. Nampaknya Arham merupakan pendukung Foke.

Secara terbuka Arham mengungkapkan bahwa Fokelah yang justru memiliki kejelasan

konsep mengenai transparansi anggaran. Tidak hanya itu, selama menjabat sebagai

petahana, menurut Arham Foke sudah melaksanakan transparansi anggaran dengan sangat

baik.

3 Asia Development Bank (ADB, 2010) mendefinisikan kelas menengah sebagai warga yang memiliki

pengeluaran $2-20 sehari, atau sekitar 20-200 ribu sehari, dan tersebar di kota-kota besar Indonesia

teristimewa Jakarta. Kelas menengah ditandai dengan profesi-profesi yang erat dengan dunia pendidikan,

memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan berani mengemukakan pendapat (CMCS, 2013) 4 Ketika bicara soal kesehatan, kelas menengah memiliki orientasi preventif ketimbang kuratif. Dengan

demikian mereka (baca: kelas menengah) memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta makin banyak

informasi yang membuatnya kritis dan tidak gampang percaya, termasuk kepada tenaga kesehatan. Mereka

cenderung menempuh jalan sehat yang makin personal namun sarat tuntutan fasilitas kepada pemerintah. Hal

ini sebagai konsekuensi kesadaran hak-hak politik yang sedemikian tinggi dimiliki oleh kelas menengah. 5 Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/transparansi-anggaran%E2%80%93nya-ahok-vs-

educating-the-stakeholdersnya-foke-493166.html

Page 3: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

3

“Lebih besar dari ketololan itu, rasanya ide Foke mengenai Educating the

Stakeholdersnya pada debat di atas adalah nyata lebih baik dan sejalan dengan ide utama

dari tulisan ini.

Dokumen Perencanaan maupun Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang merupakan

Dokumen lebih rinci dari Peraturan Presiden tentang APBN dan Peraturan Kepala Daerah

tentang APBD adalah Dokumen yang dapat terdiri dari Ribuan Halaman yang dikompilasi

sejalan dengan APBD/APBN.

Kita dapat melihat bahwa misalnya APBN adalah sekian atau APBD adalah sekian.

Namun, masalahnya, masyarakat pada dasarnya emoh untuk mengetahui lebih lanjut

bentuk rincian anggaran yang termuat dalam dokumen pelaksanaan Anggaran diatas.

Ada juga rincian yang lebih rinci dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran yaitu Term of

Reference (TOR) yang memuat Rincian Anggaran Belanja yang membentuk suatu Dokumen

Pelaksanaan Anggaran, namun pada hakikatnya lebih dekat dengan Dokumen

Perencanaan Anggaran.

Kata Kunci Educating the stakeholders seperti yang disebutkan Foke dalam Debat

semalam adalah lebih penting agar para stakeholders Pemerintah DKI Jakarta.”

Sama seperti Mcdamas, Arham bagian dari warga kelas menengah Jakarta yang juga

anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini bekerja sebagai

analis pajak. Arham menyukai Foke dan cenderung meragukan Jokowi-Ahok.

Pendapat berbeda ditunjukkan oleh Usman Kusmana6. Usman tidak dalam posisi

mendukung salah satu kandidat, baik Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok, namun melihat

dari sudut pandang yang lebih kritis mengenai proses kampanye putaran kedua yang

sedang berlangsung.

“Membaca berbagai informasi dan artikel di media seputar Pilkada DKI Jakarta

sungguh membuat merinding bulu kuduk. Terakhir saya membaca tulisannya Bung Daniel

Ht tentang Deklarasi Pilkada Damai Yang hanya jadi olok-olok bagi Ahok. Informasi dan

deskripsi seputar suasana acara tersebut sungguh membuat kita miris dan prihatin.

Judulnya deklarasi damai, tapi justru malah mencerminkan deklarasi perang dan

permusuhan.

Ketidakhadiran Cagub Jokowi dalam acara tersebut karena belum mendapatkan izin cuti

daru Gubernur Jateng menjadi bahan sindiran dari lawannya Fauzi Bowo dan juga Ketua

DPR RI Marzuki Ali. Saat Ahok berpidato massa meneriakan hal-hal yang sungguh

mengerikan. Menyangkutpautkan dengan peristiwa Mei „98, mengejek dan mengolok-olok

Ahok, dan berbagai teriakan massa lainnya yang tidak etis dalam judul acara yang

bernama deklarasi Pilkada damai.

Saya sampai berfikir, pada akhirnya proses pilkada DKI Jakarta akan penuh dengan teror

dan intimidasi. Ormas keagamaan tertentu menduduki daerah-daerah yang menjadi korban

kebakaran dengan membuat posko disana, beberapa ormas kesukuan yang notabene jelas

menjadi pendukung Cagub/Cawagub tertentu juga diduga keluar masuk kampung dengan

gaya jagoan dan intimidatif.

Saya menduga, pada akhirnya model penekanan politik dengan teror dan intimidasi akan

terus dijalankan sampai menjelang hari-H pencoblosan. Etnis tertentu yang pada putaran

pertama begitu antusias menggunakan hak pilihnya boleh jadi akan menjadi sasaran

pertama model ini. Agar mereka memilih Foke atau tidak menggunakan hak pilihnya, yang

penting tidak memilih Jokowi-Ahok.

6 Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/14/memilih-dalam-bayang-bayang-teror-dan-intimidasi-

493004.html

Page 4: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

4

Semua potensi dan kekuatan calon incumbent, baik dari unsur parpol, kekuatan rezim

pemerintahan, ormas keagamaan tertentu, ormas kedaerahan akan terus di push untuk

memperkecil ruang gerak konsolidasi Jokowi dan tim relawannya. Mereka akan

menggunakan berbagai cara agar Foke yang didukung oleh kekuatan mayoritas parpol

bisa memenangkan pertarungan. Karena kalahnya Calon petahana akan mempermalukan

eksistensi parpol-parpol yang menjadi pengusungnya.

Masyarakat Jakarta sepertinya akan memilih dalam bayang-bayang teror dan intimidasi.

Tentu kita berharap, masyarakat Jakarta tak lagi bisa ditekan dengan pola-pola seperti itu.

Jakarta sebagai pusat segala-galanya sangatlah tidak beradab jika mempertontonkan

politik demokrasi ala barbar yang tak berbudaya seperti itu.”

Usman justru melihat bahwa proses perebutan kekuasaan sudah sampai pada hal yang

mengkhawatirkan. Masing-masing pihak mulai menggunakan cara yang tidak beretika,

saling menjatuhkan, bahkan saling serang satu sama lain. Kesadaran politik Usman

menuntunnya menulis di Kompasiana, memberikan warna informasi yang berbeda, tidak

sekadar mendukung salah satu kandidat namun juga mengkritisi bagaimana dukung-

mendukung itu dilangsungkan di ruang publik Jakarta.

Mcdamas, Arham, dan Usman merupakan potret warga kelas menengah Jakarta

yang memiliki kesadaran politik untuk menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang

Pilkada DKI Jakarta, khususnya seputar karakter kandidat dan program-program yang

ditawarkan. Mcdamas, Arham, dan Kusmana mengawali perbincangan panjang mengenai

kelas menengah dan bagaimana pertukaran informasi dilangsungkan di Kompasiana,

khususnya dalam peristiwa Pilkada DKI Jakarta. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa

terjadi perubahan mendasar di masyarakat dimana aktor demokrasi tidak hanya negara

namun juga masyarakat sipil, termasuk kelas menengah.

Tahun 2011 IMF menetapkan bahwa GDP per kapita Indonesia sebesar $2,963 dan

tahun 2011 mencapai $3,270. Kondisi tersebut istimewa bagi Indonesia sebab Indonesia

memiliki modal ekonomi yang cukup untuk tumbuh dan besar seperti negara maju; Cina,

India, Brasil, atau Rusia. Indonesia memiliki kesempatan memperbesar konsumsi dalam

negeri yang mampu menarik pertumbuhan ekonomi. Satu hal yang menarik dari fakta

tersebut adalah tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Tercatat oleh Susenas Tahun

2011, kelas menengah Indonesia telah mencapai 134 juta atau hampir 60% dari jumlah

penduduk Indonesia dan bertambah 8-9 juta setiap tahun. Mcdamas, Arham, dan Kusmana

masuk dalam kategori ini.

Kelas menengah memiliki keunikan dalam menyalurkan aspirasi dan

kepentingannya. Dengan daya kritis dan pengetahuannya, mereka mengakrabi saluran-

Page 5: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

5

saluran baru dalam menyampaikan kepentingannya, yakni new media, khususnya social

media. Media berbasis teknologi ini mampu membuat urusan politik “turun gunung” jadi

urusan personal. Mengkritik, menyampaikan ide, mencerca pemerintah, atau sebaliknya

memuji kebijakan pemerintah, kini dilakukan dengan mudah dan cepat dengan bantuan

social media. Pada titik inilah Indonesia memasuki gerbang demokrasi digital, ketika

segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemenuhan kepentingan bersama sebagian besar

disampaikan lewat media baru (berbasis teknologi)7. Sampai di sini terlihat bahwa dalam

kelas menengah demokrasi yang terjadi adalah demokrasi horizontal, semua pihak

memiliki kesempatan dan ruang yang sama untuk mengemukakan pendapat.

Sebagaimana dilaporkan oleh Majalah Tempo (Edisi Liputan Khusus: Kelas

Konsumen Baru, 20-26 Februari 2012, hal 100-101), bahwa terdapat jutaan orang dari

kelas konsumen baru Indonesia di dunia maya. Lewat berbagai situs media sosial -blog,

Facebook, dan Twitter- sumpah serapah, keluhan, dan protes digelontorkan tanpa henti.

Macet, banjir, sampah, apapun, semua ditumpahkan lewat internet. Ketidakpuasan

terhadap layanan pemerintah dicurahkan lewat media sosial. Kasus yang disebut-sebut

menggambarkan kekuatan kelas menengah Indonesia via media sosial adalah Gerakan Satu

Juta Facebookers Dukung Chandra dan Bibit pada Oktober 2009 serta Koin Keadilan

untuk Prita pada akhir 2009. Kedua gerakan itu sama-sama dibangun dari media sosial,

yang kemudian direspon secara masif oleh publik. Jakarta menjadi kota penting dalam

gerakan ini, tidak hanya karena inisiatornya berasal dari Jakarta, namun tercatat oleh

Socialbaker.com (2012), pengguna Facebook di Jakarta pada tahun 2012 saja sudah

mencapai 11,658,760 orang (23.21% dari total pengguna Facebook di Indonesia).

Sedangkan Alexa.com memberikan informasi lain mengenai jumlah pengguna Facebook di

Indonesia. Dikatakan bahwa Indonesia adalah negara terbanyak ke-10 yang penduduknya

7 Perbincangan ini mengingatkan kita pada pemikiran Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa di

banyak negara berkembang masyarakat justru semakin banyak kehilangan kekuatannya ketika demokratisasi

itu dijalankan dengan serampangan. Bahkan lembaga-lembaga pendukung suatu pemerintahan, yang dalam

hal ini berarti kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak mampu memaksa pemerintahannya untuk tunduk

terhadap kepentingan warga masyarakat. (Journal World Politics, Political Development and Political Decay;

1965: 386-430 dalam Agustino, 2007). Akhirnya warga mengambil jalan pintas, yakni berpolitik,

berdemokrasi, lewat saluran yang mereka ciptakan sendiri. New media mewadahi ini. Seiring dengan

kemajuan teknologi komunikasi, proses penyampaian pesan/informasi politik tidak lagi lewat jalur formal

tetapi personal. Hacker & Van Dijk menyebut kondisi ini sebagai suatu pelengkap demokrasi dimana

aktivitas warga berdemokrasi dapat disampaikan melalui media-media baru. We define digital democracy as

a collection of attemps to practise democracy without the limits of time, space and other physical conditions,

using ICT or CMS instead, as an addition, not a replacement for traditional „analoque‟ political practices

(Hacker & Van Dijk, 2000: 1-2).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

6

mengunjungi laman Facebook. Walau demikian, laman Facebook menjadi favorit ke-2

situs yang dikunjungi orang Indonesia setelah Google.com.

Jakarta merupakan lokomotif pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. Selain

sebagai ibukota negara (pusat pemerintahan), Jakarta merupakan kota bisnis terbesar di

Indonesia. Semuanya berawal dari Jakarta. Termasuk tumbuhnya kelas konsumen baru

(kelas menengah) sekaligus gaya hidupnya yang memikat8. Hal ini tentu berpengaruh juga

pada dinamika kehidupan masyakatnya termasuk di bidang politik. Sebagaimana pernah

dilakukan survei oleh Pew Research Center (The Pew Global Attitude Project, 2009) di 13

negara berpendapatan menengah menunjukkan bahwa kelas menengah sangat

mementingkan institusi dan praktek demokrasi yang bebas dan jujur, kebebasan

berpendapat, serta sistem peradilan yang adil. Dalam konteks kelas menengah di Jakarta,

apakah hal tersebut juga nampak muncul di daerah yang dulunya bernama Batavia?

Fenomena pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012 menunjukkan hal tersebut.

Kembali kepada perbincangan awal, fenomena Mcdamas, Arham, dan Kusmana

menarik untuk diteliti lebih lanjut dengan beberapa latar belakang berikut:

Pertama, jika terjadi pertukaran informasi di Kompasiana pada masa kampanye

Pilkada DKI Jakarta 2012, maka perlu diketahui lebih lanjut informasi apa yang

dipertukarkan oleh para Kompasianer tersebut.

Kedua, bagaimana pertukaran informasi Kompasianer pada masa kampanye

Pilkada DKI Jakarta 2012 tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif.

Hal-hal di atas sekiranya dapat memberikan latar permasalahan penelitian ini.

Fenomena pertukaran informasi Kompasianer pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta

2012 hendaknya diteliti, untuk mengetahui lebih lanjut informasi apa saja yang

dipertukarkan dan sejauh mana informasi tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif.

B. RUMUSAN MASALAH

Fenomena yang telah terjabarkan dalam latar belakang ini mendorong peneliti untuk

menjawab pertanyaan berikut: informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom

"PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012?

8 Majalah Tempo (edisi 20-26 Februari 2012, hal 64-65) memaparkan bagaimana pergeseran perilaku

konsumsi kelas menengah terekam paling awal di Jakarta. Mulai dari menjamurnya pusat belanja, klinik

kecantikan, restoran makanan organic, butik-butik mancanegara, hingga konsumsi gadget yang menggila.

Page 7: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

7

Kemudian pertanyaan pengembangan sebagai berikut: bagaimana pertukaran informasi

tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif?

C. TUJUAN PENELITIAN

Paparan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas memberikan

gambaran mengenai tujuan penelitian ini, sebagai berikut:

1. Mengetahui informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom

"PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta

2012.

2. Mengetahui sejauh mana informasi yang dipertukarkan Kompasianer memenuhi

indikator kondisi deliberatif.

D. MANFAAT PENELITIAN

Paparan tujuan penelitian di atas memberikan gambaran mengenai manfaat

penelitian ini, sebagai berikut:

1. Penelitian dapat menggambarkan informasi apa saja yang dipertukarkan

Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1

dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012.

2. Penelitian dapat memperlihatkan sejauh mana informasi yang dipertukarkan

Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" saat masa kampanye putaran 1

dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012 memenuhi indikator kondisi deliberatif.

E. OBJEK PENELITIAN

1. Kompasiana

Sebagaimana diungkapkan Pepih Nugraha9, Kompasiana adalah sebuah media

warga (citizen media). Lewat Kompasiana, setiap orang yang menjadi anggotanya dapat

mewartakan peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi

dalam bentuk tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video. Pepih Nugraha

mengungkapkan jati diri Kompasiana dengan menyebutkan bahwa:

9 Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan

Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 1-8.

Pepih Nugraha merupakan pendiri Kompasiana, berprofesi sebagai wartawan surat kabar harian Kompas.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

8

“Kompasiana adalah etalase. Kalau saat pertama kata etalase ditemukan punya

pengertian tempat memajangkan barang dagangan atau benda-benda seni, saya

menggunakan etalase Kompasiana sebagai tempat untuk menampilkan berbagai jenis

tulisan warga biasa; baik berupa berita warga, opini warga, catatan harian warga, dan

bahkan fisik warga. Di dalam etalase ini, warga biasa bisa menampilkan kemampuannya

dalam menulis yang diharapkan kualitasnya tidak kalah dengan karya tulis para penulis

atau jurnalis professional.”10

Kompasiana menampung beragam tulisan yang menarik, bermanfaat dan dapat

dipertanggungjawabkan dari semua lapisan masyarakat dengan beragam latar belakang

budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Walau demikian, Kompasiana sejak awal

keberadaannya memang pertama-tama diperuntukkan bagi pembaca Kompas. Keterlibatan

warga secara masif ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat

pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kompasiana juga

melibatkan kalangan jurnalis Kompas Gramedia dan para tokoh masyarakat, pengamat

serta pakar dari berbagai bidang, keahlian dan disiplin ilmu untuk ikut berbagi informasi,

pendapat dan gagasan.

Lewat Kompasiana, setiap anggota didorong untuk menulis tentang peristiwa yang

terjadi di sekitarnya, pendapatnya tentang peristiwa tersebut, serta mengomentari pendapat

orang lain mengenai peristiwa tersebut. Kompasianer (sebutan orang-orang yang menjadi

anggota Kompasiana) juga diberi kebebasan menyampaikan gagasan, pendapat, ulasan

maupun tanggapan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Setiap konten yang

tayang di Kompasiana menjadi tanggungjawab Kompasianer yang menempatkannya.

Apakah dengan demikian Kompasiana merupakan citizen journalism?

Harry Surjadi, mantan wartawan harian Kompas, pemenang kategori individu

Penghargaan Komunikasi bagi Perubahan Sosial (Communications for Social Change

Award) yang diberikan oleh Universitas Queensland di Brisbane akhir Maret 2013,

mengkritik Kompasiana bukan media citizen journalism sebab minim berita warga yang

melaporkan kejadian/peristiwa yang terjadi di sekeliling mereka.11

Sebagaimana konsep

citizen journalism, media ditujukan semata-mata untuk menghasilkan ruang yang mampu

memfasilitasi warganya melaporkan segala kejadian/peristiwa yang terjadi di sekitar

mereka secara independent dan merdeka.

Terhadap kritik di atas Pepih Nugraha berdiplomasi:

10

Ibid., hlm. xi 11

Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan

Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 205-206.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

9

“Tentu saja saya harus mendengar kritik rekan saya itu … Saya harus tetap

membuka lebar-lebar telinga untuk menerima kritik itu. Di newsroom Kompas apa yang

dikemukakan Harry menjadi kajian serius. Saya punya jawaban pasti untuk kritik ini.

Tidak keliru memang kalah Kompasiana dikatakan bukan media citizen journalism,

meski tidak seluruhnya benar. Saya ingin sejak awal platform Kompasiana adalah

menulis. Ya, menulis pada media sosial yang memungkinkan para penulisnya tersambung

satu dengan yang lainnya … Dalam hal ini, melaporkan peristiwa dalam bentuk berita

warga juga termasuk kegiatan menulis, bukan? Walaupun minim namun tulisan

Kompasianer yang mengangkat kejadian atau peristiwa di sekitar mereka tetap ada.”12

Jadi Kompasiana bukan media citizen journalism, melainkan media partisipasi

warga. Titik tekan Kompasiana adalah menyediakan ruang interaksi dan komunikasi antar-

anggota. Setiap Kompasianer bisa menjalin pertemanan dengan Kompasianer lain. Mereka

juga dapat berkomunikasi lewat email, komentar dan fitur interaktif lainnya. Fasilitas dan

fitur Kompasiana hanya bisa digunakan oleh pengguna internet yang telah melakukan

registrasi di www.kompasiana.com/registrasi. Begitu proses registrasi selesai, pengguna

akan mendapatkan blog pribadi dengan alamat http://kompasiana.com/namapengguna.

Tanpa registrasi, pengguna hanya bisa membaca konten Kompasiana. Dengan beragam

fitur dan fasilitas interaktif tersebut, Kompasiana yang mengusung semangat berbagi dan

saling terhubung (sharing. connecting.) telah berwujud menjadi sebuah media sosial yang

informatif, interaktif, komunikatif dan mencerahkan bagi setiap orang.

Jati diri Kompasiana tersebut dikuatkan oleh Rikard Bagun. Dalam suatu

kesempatan Rikard, demikian ditulis Pepih Nugraha dalam bukunya, menjelaskan bahwa

media sosial seperti Kompasiana adalah suatu keniscayaan dalam atmosfer media

kontemporer, khususnya di tengah perkembangan media digital dan online yang semakin

pesat, dibarengi dengan kecepatan internet yang makin bertambah. Ada “keresahan” warga

berupa opini dan gagasan yang tidak tertampung oleh media-media di arus utama.

Kompasiana menurut Rikard menjadi pelarian bagi netizen, supaya tetap bisa mencurahkan

ide dan gagasannya13

.

Nama Kompasiana diusulkan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas

yang biasa menulis kolom "Politika". Nama ini pernah digunakan untuk kolom khusus

yang dibuat pendiri Harian Kompas, PK Ojong, berisi tulisan tajam mengenai situasi

mutahir pada masanya. Kumpulan rubrik Kompasiana yang ditulis PK Ojong itu sendiri

sudah dibukukan.

12

Ibid., hlm. 206. 13

Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan

Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 3.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

10

Ide pendirian Kompasiana awalnya berangkat dari dari fakta tidak semua jurnalis

akrab dengan blog. Jangankan punya, membaca blog orang barangkali belum pernah. Jadi,

merupakan langkah maju dan terobosan tak terduga manakala sejumlah jurnalis Kompas

menyatakan diri ingin menjadi bagian dari Kompasiana dan bahkan sudah langsung

mencurahkan pandangan dan gagasannya. Pada tanggal 1 September 2008, Kompasiana

mulai online sebagai blog jurnalis. Pada perjalanannya, Kompasiana berkembang

menjadi social blog atau blog terbuka bersama para jurnalis harian Kompas dan Kompas

Gramedia (KG) serta beberapa orang penulis tamu dan artis. Tercatat nama-nama jurnalis

Kompas seperti Ninok Leksono, Budiarto Shambazy, James Luhulima, Myrna Ratna, Agus

Hermawan, Rakaryan Sukarjaputra, Mohammad Nasir, Imam Priyadiyoko, Ichwan

Susanto, Janes Eudes Wawa, Dahono Fitrianto, Joice, Sonya Helen Sinombor, Didit Putra,

Ingki Rinaldi, Kris Razianto Mada, Robert Adhi KSP, Syamsul Hadi, Ambrosius Harto,

dan lain-lain. Karena para jurnalis Kompas itu biasanya “sukar disentuh” dan sulit diajak

bicara di dunia nyata, maka warga pembaca Kompasiana pun tak kalah antusias menyapa

dan menyambut mereka14

. Antusiasme para blogger dan netizen untuk ikut membuat blog

di Kompasiana sangat besar sehingga dibuatkan satu menu khusus bernama Public. Pada

22 Oktober 2008, Kompasiana sebagai social blog resmi diluncurkan.

2. Kompasianer

Sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, Kompasianer adalah sebutan

bagi anggota Kompasiana. Tercatat pada September 2013, jumlah anggota Kompasiana

(Kompasianer) sudah di atas 200.000 orang. Jumlah yang fantastis untuk sebuah media

sosial lokal yang umurnya baru 5 tahun. Akun pertama tercatat si pembuat mesin

Kompasiana, yakni Kandar dari teknologi informasi Kompas.com. Ia beralamat di

http://kompasiana.com/k4. Sedang akun Pepih Nugraha selaku founder Kompasiana

tercatat sebagai akun kedua Kompasiana, dengan alamat

http://kompasiana.com/pepihnugraha15

. Dalam rentang waktu 5 tahun, setidaknya dari

Oktober 2008 sampai September 2013, telah lahir dan tayang 866.767 tulisan dengan

jumlah komentar nyaris mencapai 9 juta atau persisnya 8.951.395. Meski tidak ada batasan

14

Ibid., hlm. 18-19. 15

Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan

Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 251.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

11

usia namun Kompasiana terisi oleh orang-orang dengan rentang usia yang cukup lebar,

antara yang termuda sekitar 17 tahun seperti Ammar Mahardika di

http://kompasiana.com/ammarmahardika sampai yang paling senior Sutardi di

http://kompasiana.com/sutardi yang berusia 73 tahun. Kompasianer pemecah rekor dengan

tulisan terbanyak dipegang oleh Katedra Rajawen di

http://kompasiana.com/katedrarajawen dengan jumlah 7.349 tulisan, sedang pemegang

rekor satu tulisan paling banyak dibaca masih dipegang Seand Munir di

http://kompasiana.com/seand_munir di mana satu postingnya berjudul “Ternyata Para

Penumpang Sukhoi itu Mengaktifkan Hpnya di Pesawat” dibaca oleh satu juta lebih

pembaca, tepatnya 1.052.55216

.

Masing-masing Kompasianer ada yang fokus menulis pada satu bidang, tetapi tidak

sedikit pula yang menulis sesuai kata hati, atau sesuai hobi yang beragam dengan satu

fokus bahasan utama yang sangat mereka kuasai. Dalam konteks kampanye Pilkada DKI

Jakarta 2012, Kompasianer yang menulis rata-rata berdomisili di Jakarta, atau setidaknya

berasal dari Jakarta sehingga tulisan maupun komentar yang dibuat mewakili ide dan

aspirasi politiknya17

.

Salah satu hal yang menghubungkan antara Kompasianer dengan kategori kelas

menengah adalah profesinya, yakni pekerjaan sehari-hari yang dijalani oleh Kompasianer.

Setiap Kompasianer wajib memberikan keterangan kepada admin, dalam hal ini Pepih

Nugraha, profesi yang sedang digelutinya. Terhadap hal ini Pepih memberikan keterangan:

“Keterangan profesi diperlukan untuk memperjelas identitas Kompasianer, siapa

dia dan untuk apa tujuannya ikut di Kompasiana. Selain itu juga untuk mengidentifikasi

fokus tulisan. Kira-kira dengan profesi tersebut jenis tulisan apa yang bisa dihasilkan oleh

Kompasianer yang bersangkutan.”18

Profesi Kompasianer memang beragam, namun jika ditilik lebih lanjut maka profesinya

masuk dalam kategori profesi kelas menengah yang setiap harinya mengeluarkan uang

16

Ibid., hlm. 252. 17

Mengenai ide dan gagasan Kompasianer di bidang lain bisa dilihat di buku kolaborasi yang dihasilkan oleh

Kompasianer, admin Kompasiana, dan pihak penerbit mainstream. Setidaknya terdapat dua buku yang masuk

dalam kategori ini yakni berjudul Jokowi (bukan) untuk Presiden berkerja sama dengan Penerbit Elex Media

dan Mencintai Indonesia Setengah Hati berkolaborasi dengan Penerbit Bentang Pustaka. Terbitnya kedua

buku ini semakin memperjelas posisi Kompasiana dan Kompasianer, yakni berada di level tengah

masyarakat Indonesia, atau dalam teks penelitian ini disebut sebagai kelas menengah. 18

Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan

Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013) hlm. 34.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

12

sejumlah $2-2019

. Jika dibuat daftarnya maka bentangan profesi kelas menengah yang

masuk menjadi Kompasianer adalah sebagai berikut: penyair, karyawan teknologi

informasi, wartawan, karyawan/karyawati, penulis, blogger, pengamat HAKI, fotografer,

insinyur, pekerja buku, mahasiswa, dosen, swasta, novelis, dokter, peneliti, pustakawan,

diplomat, wiraswasta, arsitek, praktisi periklanan, analis ekonomi, guru, pengusaha, LSM,

hingga purnakarya Polri.

3. Kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012

Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta

2012 diselenggarakan pada Rabu, 11 Juli 2012 dan Kamis, 20 September 2012 untuk

memilih Gubernur Jakarta untuk jangka waktu lima tahun berikutnya. Hasil Pilkada DKI

Jakarta putaran 1 diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta pada tanggal 20

Juli 2012. Memasuki putaran kedua, Partai Golongan Karya dan Partai Persatuan

Pembangunan memberikan dukungan kepada pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.

Sementara, hasil pemilukada DKI Jakarta putaran 2 diumumkan pada Sabtu, 29 September

2012. Penetapan dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat

provinsi sehari sebelumnya. Pasangan Jokowi-Ahok meraih 2.472.130 (53,82%) suara,

sedang Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 (46,18%) suara. Dengan selisih 351.315

(7,65%) suara, Ketua KPUD DKI Jakarta Dahliah Umar menyatakan, "Pasangan nomor

urut 3 meraih suara terbanyak dalam putaran kedua"

Hal yang menarik dari Pilkada DKI Jakarta adalah munculnya pasangan Jokowi-

Ahok. Sebagai pasangan yang relatif baru bagi warga Jakarta, Jokowi-Ahok mampu

merangsek naik dalam waktu singkat, menciptakan persepsi positif, dan memenangkan

pertarungan. Keberadaan pasangan ini juga mampu memicu perbincangan politik secara

lebih intensif di kalangan warga Jakarta, tak terkecuali via media sosial. Perbincangan

yang sedemikian masif dan menarik di sosial media inilah yang dalam banyak kesempatan

dijadikan ukuran majunya iklim demokrasi Jakarta, termasuk salah satunya di Kompasiana.

19

Lihat definisi kelas menengah menurut ADB di Yuswohady, Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas

Menengah Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) hlm. 23.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

13

F. PENELITIAN TERDAHULU

Penelitian mengenai praktek demokrasi di media sosial pernah dilakukan oleh

Anthony G. Wilhelm pada Oktober 199620

. Wilhelm meneliti pengiriman pesan-pesan

politik warga Amerika khususnya mengenai berbagai aspek karakter dari para kandidat,

posisi pada permasalahan, dan sebagainya dalam konteks pemilihan umum Amerika tahun

1996.. Karena informasi yang dicari terutama pada penyatuan pesan-pesan, pengiriman

pesan tunggal adalah unit analisis. Dengan demikian, jumlah yang cukup dari pesan-pesan

tersebut dimasukkan dalam sampel untuk menggeneralisirisasikan karakteristik-

karakteristiknya (N=500). Sebagai tambahan pada pengiriman pesan individu, hubungan-

hubungan pesan diteliti, seperti hubungan antar pesan, homogenitas newsgroup, dan

jumlah urutannya. Dengan demikian, newsgroup menjadi unit analisa yang tepat21

.

Untuk mengukur informasi itu, sebuah sampel mengenai newsgroup-newsgroup

politik diseleksi. Total ada 57 newsgroup yang dideskripsikan sebagai newsgroup yang

politis, dan 14 kelompok-kelompok diskusi pada Washington Connection. Untuk lebih

spesifiknya, prosedur berikut dijalankan untuk sampai pada sampel acak dari pesan-pesan

yang dianalisis:

(1) Jumlah yang seimbang dari pesan-pesan terpilih di-download dari 10

newsgroup (6 dari newsgroup Usenet dan 4 dari AOL).

(2) Sebuah sampel dari 500 pesan dibutuhkan untuk meyakinkan sebuah interval

kepercayaan diri yang memuaskan (± 4,4%).

(3) Karenanya, 50 pesan diseleksi secara acak dari 10 kelompok untuk jumlah

keseluruhan dari 500 pesan.

(4) Periode waktu diseleksi supaya menghasilkan kontinuitas dalam tema-tema

yang ada di daftar.

Setelah keempat prosedur dijalankan, maka penelitian tersebut bergerak ke

kategori-kategori kamus isi dari pesan politik yang dianalisis. Wilhelm menyebut kategori

tersebut terdiri dari: menyediakan, mencari, menyebarkan benih, menggabungkan,

membalas, homogenitas, valid, tidak valid, pengarang, panjang, pesan, waktu, dan

rangkaian22

.

20

Lihat Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 146-147. 21

Ibid., hlm. 151. 22

Ibid., hlm. 155-157.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

14

Sementara dari hasil penelitiannya Anthony Wilhelm membuat suatu pernyataan

sebagai berikut:

“… individu-individu cenderung bergerak ke kelompok-kelompok yang

menyetujui sudut pandang mereka sendiri. Dan mereka yang terlibat dalam aktivitas

politik di newsgroup adalah mereka yang kelihatannya memang sudah berpartisipasi

dalam kehidupan sipil dan politik yang non virtual.”23

Tampak bahwa hasil dari penelitian ini masih sebatas mendeskripsikan bagaimana

pertukaran informasi dilakukan di media sosial oleh warga, dan belum menghubungkannya

dengan fenomena apapun, misalnya bagaimana peran kelas menengah Amerika dalam

peristiwa tersebut. Walau demikian penelitian Wilhelm penting sebagai referensi karena

menunjukkan bahwa perbincangan warga mengenai proses pemilihan umum mulai

dilakukan lewat dunia maya/media sosial24

, warga memperbincangkan karakter kandidat,

posisi terhadap program yang ditawarkan, dan sebagainya.

Sementara itu penelitian yang dipaparkan dalam proposal ini tidak hanya

membahas bagaimana pertukaran informasi dilakukan, namun juga membahas siapa yang

melakukan dan bagaimana pengaruhnya terhadap keberadaan kelas menengah. Penelitian

ini menghubungkan antara praktek berdemokrasi di media sosial (bertukar informasi

sosial-politik) dengan kelas menengah.

Mengenai kelas menengah, khususnya yang ada di Jakarta dan umumnya

Indonesia, pernah dilakukan penelitian yang komprehensif oleh Center for Middle-Class

Consumer Studies (CMCS) pada November 201225

. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

kelas menengah Indonesia berada pada angka 135 juta jiwa, atau sekitar 56% dari total

penduduk Indonesia26

. Dari total jumlah kelas menengah tersebut, hampir 40% posisinya

ada di Jakarta. Kelas ini menjadi kelas yang paling berpengaruh dalam menumbuhkan

konsumsi domestik, juga dalam meningkatkan taraf pengetahuan dan pendidikan. Oleh

karena itu, kehadiran kelas menengah ditandai dengan kesadaran politik yang baik dengan

cara mementingkan institusi dan praktek demokrasi yang bebas dan jujur, kebebasan

berpendapat, serta sistem peradilan yang adil.

Penelitian yang dilakukan CMCS bersumber pada sebuah model yang tersusun atas

tiga parameter psikografis/perilaku konsumen kelas menengah Indonesia, yaitu

23

Lihat Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Hlm., 170-171. 24

Khususnya dalam konteks ini berlangsung di Amerika pada 1996. 25

Penelitian ini dijadikan referensi karena menunjukkan data secara riil kondisi existing kelas menengah

Jakarta pada masa terjadinya peristiwa yang diteliti, yakni Pilkada DKI Jakarta tahun 2012. 26

Lihat Majalah Swa 02, no. XXIX, edisi 23 Januari-6 Februari 2013

Page 15: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

15

kepemilikan sumber daya (ownership of resources), tingkat pengetahuan

(knowledgeability), dan tingkat koneksi sosial (social connection). Tiga parameter ini

kemudian diturunkan menjadi model proposisi nilai kelas menengah Indonesia dan model

segmentasi yang menghasilkan delapan segmen pasar kelas menengah Indonesia yakni

expert, aspirator, settler, trendsetter, climber, performer, flow-er, dan follower27

.

Hal yang menarik adalah penemuan karakteristik dari 8 segmen kelas menengah

Indonesia. Terdapat beberapa karakteristik khas di bidang politik, khususnya bagaimana

mereka berelasi sosial. Ada yang aktif dan terlibat dengan isu-isu publik dan bersifat

modern, namun ada yang cenderung mengelompok dan feodal. Berikut tabel karakteristik

relasi sosial28

:

Segmen Karakteristik Relasi Sosial

The Aspirator Terhubung dengan isu universal, terlibat

dan aktif dalam isu-isu publik

The Performer Bergabung dalam suatu komunitas, dalam

rangka aktualisasi diri

The Expert Cenderung menjalin jaringan profesional

untuk mempertajam keahlian

The Climber Menjaga keharmonisan dalam keluarga

The Trendsetter Berusaha menjadi pusat perhatian

The follower Menjaga agar tetap relevan di tengah-tengah

teman dan komunitas sosialnya, termasuk

afiliasi dalam politik

The Settler Bergabung dalam kegiatan adat,

keagamaan, dan kemasyarakatan

The Flow-er Menjaga kebersamaan keluarga besar dan

kerabat Tabel 1. Tabel Karakteristik Relasi Sosial 8 Segmen Kelas Menengah Indonesia

Temuan menarik lain yang muncul dalam penelitian ini adalah dalam alokasi

pengeluaran per bulan, rata-rata keluarga kelas menengah mengeluarkan anggaran sebesar

11,1% dari total pengeluaran untuk kebutuhan telekomunikasi, 6,3% untuk telepon dan

4,8% untuk internet. Jumlah yang signifikan mengingat jumlah ini lebih besar daripada

yang mereka keluarkan untuk investasi, asuransi, cicilan hutang, zakat, atau hiburan.

Pengeluaran di bidang telekomunikasi menduduki peringkat ke-3 setelah kebutuhan

27

Ibid., hlm. 44. 28

Ibid., hlm. 32.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

16

keluarga dan tabungan29

. Hal ini menunjukkan bahwa kelas menengah Jakarta melek

informasi. Bagi mereka informasi penting dalam hidupnya, termasuk dalam hal politik.

Kelas menengah menganggap informasi seputar politik berguna sebab rata-rata dari

mereka melek politik, sadar akan haknya sebagai warga negara dan menyuarakannya

dalam media sosial. Hal inilah yang menyambungkan antara kelas menengah dengan

media sosial. Bahwa media sosial menjadi sarana komunikasi yang paling efektif bagi

kelas menengah untuk bertukar informasi, termasuk informasi politik.

Melek politik ala kelas menengah dalam penelitian ini dikuatkan dengan beberapa

pertanyaan seputar politik, yakni tokoh-tokoh pilihan di masa kini dan di masa lalu. ketika

responden disuguhi pertanyaan “Tokoh politik nasional yang dianggap bisa membawa

perubahan”, jawabannya Jokowi (37,9%), Prabowo Subianto (25,1%), Megawati (16,9%),

Jusuf Kalla (16,4%), Dahlan Iskan (16,0%), Amien Rais (13,3%), Aburizal bakrie (10,9%,

Surya Paloh (7,5%), dan Wiranto (6,0%). Naiknya pamor Jokowi diyakini sebagai hasil

penetrasi media terhadap benak audiens, terutama ketika berbicara mengenai langkah

positif Jokowi mengelola Jakarta30

.

Lalu, bagaimana dengan Pilkada DKI Jakarta 2012 sendiri? Penelitian yang pernah

dilakukan oleh Prisma Resources Center dan Media Nusantara Citra (MNC) tbk pada

bulan Juli 2012 berjudul “Suara Kelas Menengah dalam Pemilihan Gubernur DKI

Jakarta 201: Beberapa Catatan Hasil Survei” menunjukkan bahwa Pilkada DKI Jakarta

merupakan pilkada yang memiliki tingkat perbincangan politik yang tinggi diantara

warganya. Hasil penelitian dirujuk untuk menunjukkan bahwa warga kelas menengah

Jakarta memiliki kepedulian terhadap isu-isu kebijakan dalam kaitannya dengan Pilkada

DKI Jakarta, seperti akses terhadap sumber daya produktif, kenyamanan serta keamanan.

Lebih lanjut terungkap dengan detail bahwa informasi-informasi politik yang

dipertukarkan oleh responden mengerucut menjadi beberapa tema saja yakni biaya

pendidikan dasar, biaya berobat, kemacetan, kenyamanan sarana umum, penanganan

banjir, dan pelayanan administrasi Pemda (KTP, IMB, izin kegiatan)31

.

Hal menarik dari penelitian Prisma ini justru terletak di tarikan kesimpulan atas

data yang ada, dikatakan bahwa:

29

Lihat Majalah Swa 02, no. XXIX, edisi 23 Januari-6 Februari 2013, hlm. 34. 30

Ibid., hlm. 43. 31

Lihat Prisma Vol. 31, No. 1, 2012, hlm 77.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

17

“…kebawelan dan kerewelan kelas menengah semacam itu justru terasa sebagai

gagasan transformatif bagi kota Jakarta. Keluh-kesah kelas menengah yang telah

mengkristal menjadi kejengkelan mereka terhadap kondisi Jakarta saat ini bisa dikatakan

mewakili, setidaknya untuk sebagian, apa yang selama ini juga menjadi persoalan warga

Jakarta secara keseluruhan. Memang tidak semua persoalan warga Jakarta identik dengan

persoalan kelas menengah Jakarta. Begitu pula sebaliknya. Bagaimanapun juga,

sebagaian persoalan kelas menenga Jakarta sudah menjadi “irisan” dari persoalan yang

dihadapi semua warga Jakarta.”32

Lebih lanjut diungkapkan bahwa dilihat dari jumlahnya, penghuni Jakarta yang

masuk dalam kategori kelas menengah tentu tidak sebanyak kelas yang ada di bawahnya.

Kelas bawah tidak punya akses informasi dan komunikasi yang memadai untuk

menyampaikan keluh kesahnya. Lebih jauh, kemampuan mereka mempengaruhi proses

politik yang sedang berjalan juga kecil. Apalagi di Jakarta, kesenjangan kelas yang

sedemikian besar membuat kelas bawah hanya menjadi sarana legitimasi politik sesaat

saja, tidak pernah benar-benar diperjuangkan oleh komponen politik yang ada di Jakarta.

Lain halnya dengan kelas menengah, kemampuan mereka mempengaruhi proses politik

tidak bisa diremehkan. Tidak hanya karena mereka mampu mengakses berbagai informasi

publik tanpa batas, tetapi juga mampu “menguasai” saluran dan isi informasi publik dan

mempergunakannya sebagai sarana artikulasi kebawelan dan kerewelan kelas mengenah

untuk memengaruhi berbagai segmen sosial lainnya dalam rangka mengubah wajah kota

Jakarta melalui momentum Pilkada.

Kembali pada penelitian “Kelas Menengah & Kondisi Deliberatif”, bahwa belum

pernah dilakukan penelitian yang secara khusus menghubungkan perbincangan kelas

menengah seputar kebijakan di media sosial dengan kualitas demokrasi. Bahwa terdapat

hubungan di antara keduanya dan saling mempengaruhi. Penelitian “Kelas Menengah &

Kondisi Deliberatif”, ingin menjelaskan posisi kelas menengah di Jakarta saat kampanye

Pilkada DKI Jakarta. Apa hal yang didiskusikan, dan bagaimana diskusi tersebut mampu

menunjukkan kondisi-kondisi tertentu dalam konteks demokrasi33

. Pilkada DKI Jakarta

2012 dipakai sebagai objek penelitian, sebab diyakini dalam pilkada ini peran dan

pengaruh kelas menengah sangat signifikan, khususnya dalam tukar-menukar informasi

politik yang nantinya menjadi referensi warga dalam menentukan pilihan politik. Dalam

konteks ini, Kompasianer dipilih untuk mewakili kelas menengah Jakarta, yang

menuangkan segala ide dan gagasan politiknya mengenai Pilkada Jakarta lewat tulisan di

32

Ibid., hlm. 79. 33

Kondisi-kondisi inilah yang kemudia dijabarkan lebih lanjut lewat teori kondisi deliberatif James S.

Fishkin.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

18

blog sosial Kompasiana. Hasil-hasil penelitian terdahulu akan dijadikan referensi dalam

mengolah dan menganalisis data.

G. KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka pemikiran ini berisi teori-teori yang dipilih oleh peneliti untuk

memperjelas pokok permasalahan yang diangkat, yakni demokrasi di era digital, demokrasi

deliberatif, partisipasi demokrasi, dan demokrasi kelas menengah. Teori yang muncul di

sini akan dipilih oleh peneliti untuk dijabarkan menjadi unit analisis yang selanjutnya

digunakan untuk meneliti informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom

"PILKADAJAKARTA" saat masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012

serta sejauh mana pertukaran tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif.

1. Kelas Menengah dan Demokrasi

Sebagaimana diungkapkan oleh Max Weber tentang terminologi kelas34

, bahwa

membicarakan kelas bukan semata-mata membicarakan sebuah komunitas tetapi

setidaknya ada tiga hal berikut: pertama, adanya bagian dari masyarakat yang memiliki

spesifikasi kesadaran yang khas, yang mempengaruhi pola kehidupan mereka sehari-hari.

Kedua, adanya unsur kepemilikan terhadap modal dan barang, serta pengaruhnya terhadap

pendapatan sehari-hari. Ketiga, adanya pekerjaan/profesi yang dimunculkan di sana.

Penjelasan Weber mengenai terminologi “kelas” di atas memperjelas apa dan siapa

kelas menengah. Artinya pembagian kelas menjadi kelas atas, tengah/menengah, dan

bawah tidak semata-mata berdasarkan komunitas yang memiliki ciri pendapatan tertentu,

namun juga pola pikir, serta profesi yang dilaksanakannya. Lebih lanjut Weber

berpendapat mengenai kelas menengah. Menurutnya kelas menengah atau middle classes

dapat disebut juga sebagai commercial classes35

. Commercial classes ini dibagi dalam dua

bagian besar yakni entrepreneurs dan laborers. Mereka yang disebut sebagai

entrepreneurs adalah yang bekerja sebagai merchants, shipowners, industrial, bankers,

financiers, lawyer, physicians, artists, dan sebagainya. Sedangkan mereka yang disebut

34

Lihat Max Weber, Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and General Economic History

dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California: University of

California Press, 1982), hlm. 61. 35

Lihat Max Weber, Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and General Economic History

dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California: University of

California Press, 1982), hlm. 70.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

19

sebagai laborers adalah mereka yang bekerja dengan pendapatan tetap dengan kategori

skilled, semi-skilled, dan unskilled36

. Hal yang menarik adalah tarikan Weber terhadap

kesadaran politik yang dimiliki kelas tipe ini. Dikatakan bahwa kelas menengah cenderung

memiliki kesadaran politik yang baik. Pertanyaannya kemudian mengapa? Karena kelas

menengah membutuhkan kondisi politik yang ideal untuk melangsungkan pekerjaan/bisnis

mereka. Dengan kata lain Weber memberi pondasi relasi antara kelas menengah dengan

demokrasi, bahwa dengan segala pekerjaan/bisnisnya, kelas menengah akan selalu

mengusahakan situasi yang demokratis demi kelangsungan hidup mereka.

Hal ini dipertegas dengan penelitian yang dilakukan oleh Michael Mann terhadap

literatur sosiologi klasik yang berbicara mengenai kelas sosial37

. Disimpulkannya bahwa

stabilitas politik dan sosial merupakan suatu kondisi pra-politik yang diinginkan oleh kelas

menengah. Mereka memerlukan kondisi yang stabil demi tercapainya cita-cita hidup

mereka masing-masing.

Lalu apakah dalil-dalil di atas bisa juga diterapkan di Indonesia? Sebelum

melangkah lebih jauh ada baiknya kita melihat sejarah kelas menengah di Asia. Richard

Robison38

& David S.G. Goodman39

, bersama lembaga The Asia Research Centre on

Social, Political, and Economic Change yang didirikan di Murdoch University, melakukan

penelitian mengenai kemunculan kelas baru di Asia. Kelas ini unik karena memiliki

kemampuan finansial cukup kuat dan menjadi faktor penting dalam proses pembangunan

di asia. Hasil penelitian dituangkan dalam buku berjudul The New Rich in Asia, terbit pada

1996.

Tumbuhnya kelas baru di asia, sebagaimana dinyatakan oleh Robison & Goodman,

telah menumbuhkan ekspektasi besar bangsa barat terhadap Asia. Kelas ini memberikan

kepastian bahwa asia perlahan-lahan akan tumbuh menyerupai Eropa, yang mengagungkan

rasionalitas, modernitas, dan demokrasi:

“For western liberals, there is an expectation that the rise of the “new rich” in

Asia will be, in cultural terms, a process of convergence. The burgeoning middle classes

and entrepreneurs are seen as embodying universal interest which will create an Asia

36

Ibid., hlm. 71. 37

Lihat Michael Mann, The Social Cohesion of Liberal Democracy dalam Classes, Power, and Conflict:

Classical and ConTemporery Debates (California: University of California Press, 1982), hlm. 387. 38

Professor of Southeast Asian Studies and Director of the Asia Research Centre, Murdoch University. 39

Director of the Institute of International Studies at University of Technology, Sydney.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

20

more like the liberal stereotypes: more rational, individualistic, democratic, secular, and

concernedwith human rights, the environment and the law.”40

Robison & Goodman mengingatkan bahwa kelas baru ini -sebagian besar kelas

menengah- memiliki pengaruh yang signifikan bersekutu dengan pemodal besar dan

mampu membawa gerbong kapitalisme ke daerahnya. Kelas ini juga bisa tentara yang

bersekutu dengan pemodal besar untuk memunculkan investasi besar di negaranya.

Implikasinya praktek-praktek otoritarianisme harus dihilangkan dari muka asia, khususnya

negara-negara yang bertumbuh ekonominya. Seperti yang terjadi di Indonesia pada 1966,

Thailand pada 1973, dan Filipina pada 1986. Pemerintahan otoriter digulingkan lewat

persekutuan tentara, kelas borjuis-menengah, dan pemodal besar. Di saat bersamaan,

kapitalisme masuk dan tumbuh berkembang di negara-negara tersebut41

.

Masuknya kelas menengah dalam usaha penggulingan otoritarianime tidak lepas

dari kepentingan ekonomi. Artinya kelas ini membutuhkan situasi dan kondisi yang

kondusif agar usaha yang dijalankannya berhasil. Kelas menengah bergerak selama

kepentingan ekonomi mereka terganggu42

. Kelas menengah menghindari terlibat langsung

dalam gerakan politik, seperti diungkapkan dalam keterangan Robison & Goodman berikut

ini:

“The lessons for the political role of the middle class are far from clear. it may

signify that the middle class is congenitally unable to hold real power in its own right,

and is forced to rely on alliances or coincidences of interest with other social groups.

alternatively, it may be that the middle class, in situations where it still fears mass radical

movements or social chaos, is interested only in reforming authoritarianism.”43

Maka keterkaitan antara kelas menengah dengan tumbuhnya kapitalisme sangat

erat. Namun perlu dicatat bahwa kapitalisme yang menumbuhkan kelas menengah bukan

kapitalisme wirausaha, melainkan kapitalisme berbasis korporasi. Walau akhirnya para

entrepreneurship juga bisa masuk kategori kelas menengah, namun pertama-tama kelas

menengah bertumbuh secara signifikan di Asia pada periode 1990-an karena derasnya

kapitalisme korporasi, sehingga muncul jenis-jenis profesi baru berbasis keahlian.

40

Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and

Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 2. 41

Ibid., hlm. 2-4. 42

Sepintas asumsi ini mirip dengan pemikiran yang diusung oleh Max Weber dan Michael Mann tentang

kelas menengah. Bahwa mereka membutuhkan jaminan kondisi yang stabil guna melangsungkan usaha

ekonominya. 43

Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and

Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 8.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

21

Keahlian ini didapat dari pendidikan dan pelatihan profesional. Dalam hal ini Robison &

Goodman menyatakan:

“The new middle class is the result of the demise of entrepreneurial capitalism

and the rise of corporate capitalism with its army of managers, technocrats, marketers,

and financiers. The middle class is therefore the skilled workforce of capitalism and

expands with it. Giddens differentiates the middle class from the bourgeoisie on the basis

of market capacity: ownership of property versus possession of qualifications.”44

Kelas menengah orientasinya berbeda dengan kaum borjuis. Kaum borjuis

cenderung memupuk modal untuk pengembangan usaha yang tidak terbatas (khas kaum

kapitalis), sedangkan kelas menengah cenderung menginginkan suatu kondisi yang ideal

dalam hidupnya terutama dari sisi ekonomi: karir cemerlang, finansial kuat, tingkat

konsumsi tinggi, keluarga sejahtera, dan terdapat kepastian hukum bagi hidupnya. Soal ini

Robison & Goodman menambahkan:

“Clearly the middle classes represent a new set of social interests that regimes

must take into account. what now becomes critical for these new social interest are living

standards that include high levels of consumption and a greater emphasis on leisure; a

greater concern for education as a central mechanism for securing position and wealth; a

desire for predictability and certainty of laws; and access to information and analysis. As

the skills and, indeed, the purchasing power of the new middle classes become more

essential to industrial capitalism, the state and capital are increasingly driven to

accommodate this social force, whether it be within a conservatism that offers stability

and protection, or a liberalism that offers more direct participation in the process of

government.”45

Pada titik inilah singgungan antara kelas menengah dengan negara berlangsung.

Dan pilihan yang paling rasional, sebagaimana nampak dalam kecenderungan negara-

negara Asia di masa kini (termasuk Indonesia) adalah memilih jalan demokrasi untuk

mewujudkan kondisi yang menawarkan “stabilitas dan perlindungan” tersebut.

Otoritarianisme tidak lagi jadi pilihan bagi kelas menengah.

Demokrasi menyuburkan perilaku kelas menengah dalam mengonsumsi gaya

hidup. Demokrasi memberikan ruang yang sangat lebar bagi kelas menengah untuk bekerja

sekaligus bersenang-senang. Work hard play hard. Ariel Heryanto ketika menyoroti soal

tumbangnya otoritarianisme di Asia, khususnya Asia Tenggara, menyinggung soal kelas

menengah. Baginya kelas menengah adalah kelas yang unik sebab bukan kelas atas namun

memiliki kekuatan konsumsi yang signifikan, sekaligus pengaruh sosial-kultural yang

besar:

44

Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and

Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 8-9. 45

Ibid., hlm. 11.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

22

“What all variants of the middle class share common (without which they cannot

be designated as middle classes at all) are their orientation towards any combination of

these: urban residence; modern occupation dan education; and cultural tastes, which

manifest most vividly, but not exclusively, in consumer lifestyle. Economically, these

people occupy positions distinct from those that roughly fit the general conception of the

working classes, as well as those who extract the greatest advantage in the existing social

order by virtue of their enormous economic or bureaucratic power. The majority of

journalist, university students and lecturers, artist, lawyers, non governmental

organization (NGO) activists, and many others in conTemporary Indonesia-Malaysia

have been frequently identified as middle classes.”46

Disebut sebagai kelas tengah karena kelas ini bukan kelas pekerja, bukan pula kelas

borjuis. Tingkat pendidikan dan ketrampilannya menyerupai kelas borjuis, namun

kepemilikan modalnya minim seperti kelas bawah. Tingkat konsumsi yang besar hanya

untuk barang-barang yang mendukung gaya hidupnya. Kelas ini menyukai demokrasi,

karena baginya demokrasi memberi kepastikan hukum. Rata-rata dari komponen kelas ini

juga melek politik. Sebab itulah mereka berada di balik usaha reformasi Indonesia 1998

(dalam konteks negara Indonesia). Segera setelah pemerintah orde baru membredel

Majalah TEMPO, Editor, dan Detik, maka saat itu pula genderang perang kelas menengah

terhadap kekuasaan otoriter dimulai47

.

Secara lebih detail Ariel masuk dalam konsepsi kelas menengah yang berbeda

dengan yang didefinisikan Robison & Goodman, dan juga kelak William Liddle. Robison

& Goodman cenderung memposisikan kelas menengah, di Asia umumnya dan Indonesia

khususnya, sebagai kelas menengah yang bergantung pada negara. Kelas ini umumnya

oportunis dan egois. Kalaupun kelas ini menghendaki demokrasi, maka demokrasi yang

dimaksud adalah demokrasi yang disokong penuh oleh negara yang kecenderungannya

militeristik. Dengan demikian kelas menengah Indonesia secara politis tidak bisa

diharapkan berbuat lebih karena kelahiran mereka disokong pemerintah orde baru. Selain

itu, cukup banyak masyarakat yang masuk kelas ini beretnis Cina yang kurang tertarik atau

kurang terlatih pemahamannya tentang politik48

. Ariel pun sempat memperbincangkan ini

konteks budaya popular di Indonesia, Ariel menulis demikian:

It is useful to begin the question of what being “Chinese” meant under the New

Order (1966-98).Most writing on the subject emphasize the series of discriminations

against this minority group. Althought most observers have commented on their

46

Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing

Indonesia and Malaysia (New York: Routledge, 2003), hlm. 27. 47

Ibid., hlm. 33. 48

Lihat Ariel Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics

(London & New York: Routledge Media, 2008), hlm. 53.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

23

economic prominence, few has taken seriously the seeming contradictory phenomena

(political and cultural repression versus economic favouritism)49

.

Pendapat Robison & Goodman ini dikuatkan oleh pemikiran R. William Liddle

mengenai kelas menengah di Indonesia. Liddle berpendapat bahwa kelas menengah di

Indonesia berkembang pesat saat orde baru50

. Walau akhirnya ikut menumbangkan namun

kelas menengah di Indonesia kelahirannya banyak dibantuk oleh orde baru. Dijelaskan

oleh Liddle bahwa ideologi pembangunan di era orde baru telah memunculkan kelas baru,

yakni kelas menengah, yang pada era Soekarno masih sangat abu-abu. Namun di era orde

baru kelas ini menyeruak ke permukaan. Apa hubungannya dengan pembangunan?

Pembangunan menciptakan birokrasi, dan birokrasi menciptakan birokrat. Birokrat inilah

yang pertama-tama mengisi tampuk kelas menengah Indonesia, antara lain adalah pegawai

negeri sipil di berbagai tingkatan. Kelas ini menyukai stabilitas sosial-politik, sebab

dengan demikian kehidupan mereka tidak terganggu.

Walau demikian Liddle memberi catatan kecil, bahwa kelas menengah juga tumbuh

seiring masuknya kapitalisme global ke Indonesia. Gelombang ini menciptakan ribuan

pekerjaan baru yang tingkat kesejahteraan sosial-ekonominya setara, atau bahkan lebih,

dibandingkan dengan pegawai negeri sipil. Dalam perkembangannya justru kelompok

inilah yang mendorong terbukanya era politik baru di Indonesia, dimana demokrasi

semakin kuat dan dijunjung. Puncaknya adalah tahun 1998 ketika rezim orde baru &

Soeharto tumbang.

Kembali pada pernyataan di depan bahwa Ariel memiliki konsepsi yang berbeda

mengenai kelas menengah (di Indonesia). Ariel sependapat bahwa kelas menengah pada

umumnya memiliki unsur-unsur berikut: tinggal di perkotaan, memiliki pekerjaan dan

pendidikan modern, serta selera budaya. Secara ekonomi kelas ini menduduki posisi yang

jelas berbeda dengan mereka yang lazim disebut sebagai kelas pekerja, namun tidak

seluruh bagian dari kelas menengah dapat diseragamkan. Artinya ada unsur kelas

menengah yang cenderung apolitis dan oportunis, seperti pejabat negara peringkat tengah

da perwira menengah, dan ada kelas menengah yang cenderung politis dan kritis, seperti

49

Ibid., hlm., 73. 50

Lihat R. William Liddle, The Middle Class and New Order Legitimacy dalam The Politics of Middle Class

Indonesia (Victoria: Monash University Press, 1992), hlm., 50-52.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

24

jurnalis, akademisi, dan seniman51

. Secara kultural dan politik dinamika diantara dua unsur

ini berbeda. Ariel cenderung meyakini kelas menengah yang memainkan peran penting

dalam peta politik Indonesia dewasa ini adalah kelas menengah golongan kedua, yakni

kaum cerdik pandai, jurnalis, dan seniman. Mereka bekerja dengan otonomi, inovasi,

integritas, dan kreativitas, serta terkadang subversi. Mereka berbeda, dan membedakan

diri, dari sosok pejabat militer, pejabat negara, atau kaum profesional dalam dunia usaha.

Jadi kelas menengah Ariel adalah kelas menengah yang menguasai produksi karya-

karya intelektual dan kultural, dan menguasai posisi sebagai intelektual publik. Dengan

demikian bahasan kelas menengah dan intelektual dalam bahasannya Ariel memiliki posisi

yang sama, yakni berwujud konsep-konsep diskursif, ideologis, dan mitis ketimbang

sebagai deskripsi yang murni empiris dari sejumlah individu yang secara biologis ada

dengan nama, profesi, pola-pola konsumsi atau afiliasi kelembagaan yang spesifik52

.

Konsepsi Ariel ini sejalan dengan Gerry van Klinken yang meneliti kelas menengah di

provinsi/kota non-Jawa di Indonesia:

“The natural setting for the middle classes who provided the political steam

pressure for both democracy and decentralization was not the globalized metropolis, but

the provincial town – a place that foreign researchers rarely visit. The selfemployed

medium scale entrepeneurs, the private and public sector clerks, the Golkar apparatchiks,

the teachers – and the youth aspiring to these positions – who populate this book, belong

to a world of their own. They are only partly assimilated with the national bourgeoisie.

They may share elite global consumerist aspirations, but their economic interests differ.

Their incomes are less secure, their networks of relations more local (where they may be

more intense than in the big city), their religion more conservative – in short, their

horizon is more parochial. Yet their control of the towns gives them a national clout that

belies their relative lack of affluence53

.”

Dalam desain penelitian ini, nampaknya pendekatan kelas menengah versi Ariel

lebih tepat dipilih ketimbang sarjana-sarjana lainnya, sebab dalam paparan selanjutnya

kelas inilah yang ingin diuji kualitas demokrasinya, dengan cara menguji bagaimana

mereka mempertukarkan/bertukar informasi politik di media sosial, dalam hal ini

Kompasiana.

51

Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing

Indonesia and Malaysia (New York: Routledge, 2003), hlm. 54-55. 52

Ibid., hlm., 56-57. 53

Lihat Gerry van Klinken & Ward Berenschot (ed.), In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in

Provincial Towns (Leiden-Boston: KITLV-Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean

Studies, 2014), hlm. 6.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

25

2. Media Sosial dan Demokrasi

Hakikat politik adalah penciptaan kehidupan bersama yang lebih baik (Aristoteles).

Lewat politik kekuasaan diabdikan bagi kepentingan masyarakat. Politik adalah

hakikatnya, teknologi adalah sarananya, dan social media adalah salah satu aplikasinya.

Rogers (1986: 238) menyatakan bahwa internet memampukan seorang kandidat

mengirimkan pesan personal kepada konstituennya dengan cepat, tepat, dan efisien lewat

surat elektronik. Internet mengubah “lapangan” politik dari bersifat nyata menjadi maya.

Sebagai perwujudan dari demokratisasi di internet, media sosial menjadi kunci penting

bertumbuhnya mutu demokrasi di suatu negara. Media sosial mampu memfasilitasi diskusi

antarawarga negara, terutama soal politik. Hal ini sekaligus menandai karakteristik new

media, atau media-media baru dalam kaitannya dengan demokrasi. Rogers menegaskan hal

ini sebagai berikut:

“Interactive media can also facilitate citizen-to citizen communication about

political issue; these new can help individuals locate others with whom they exchange

information and opinions.”54

Selain tingkatan warga, new media juga dapat menghubungkan para politikus,

membuat jejaring komunikasi dan menciptakan ruang diskusi mengenai isu-isu politik.

Tidak hanya itu, jejaring juga dimanfaatkan untuk menggalang dukungan dalam

menggolkan suatu rancangan undang-undang. Sebagaimana penelitian yang diadakan di

Amerika Serikat, para politikus/legislator saling terhubung, beberapa diantara bahkan

masuk kategori politisi terkenal seperti Tom Delay, Bob Dole, Jesse Helms, John Kerry,

dan Ted Kennedy. Mereka berjejaring satu sama lain dan memiliki pengaruh kuat dalam

proses legislasi di AS. Artinya mereka bisa menggerakkan jaringan mereka untuk menekan

legislator lain menyetujui suatu rancangan undang-undang yang diusung partainya (Partai

Republik atau Partai Demokrat). Beberapa nama lain adalah Hillary Clinton, Ron Paul,

Tom Tancredo, Dennis Kunichi, dan John McCain55

.

Dengan demikian media sosial memfasilitasi negara dan masyarakat sipil untuk

saling terhubung dan berdiskusi, bahkan menciptakan pergerakan politik. Soal ini Timothy

W. Luke menambahkan sebagai berikut:

54

Everett M. Rogers, Communication Technology: The New Media in Society (New York: The Free Press,

1986), hlm., 237-238). 55

Christakis M.D. & James H. Fowler, Connected: Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup

Kita (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm., 239.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

26

“The Net also provides modes of action and types of artifacts to organize their

cultural interactions, institutionalize political movements, and advance economic

demands on a derritorialized metanational basis in 24/7 time frames. The networks are

operational venues whose assignment, sale and use generate a new governance challenge;

how to create, border, police and use virtual spaces.”56

Hill dan Sen, akademikus yang memberikan perhatian luas pada kajian internet dan

demokrasi di Indonesia, juga menegaskan hal ini, pernyataannya menguatkan pemikiran

bahwa internet telah memproduksi satu saluran komunikasi baru yang lebih egaliter,

dengan demikian informasi dapat dipertukarkan dengan bebas, dua arah, dan kritis,

termasuk informasi politik:

“The internet shifted the terms of the media-democracy debate in a number of

ways. The new medium of communication had obliterated the distinction between

producer and consumer, a dichotomy that was at the heart of the leftist and political-

economy critique of the old media‟s anti democracy design. If every individual consumer

could also produce and distribute information, ideas and later images, then the question

of “who owned what” mattered little or not at all.”57

Sebagai bagian dari internet, media sosial memiliki semua karakteristik media yang

berpengaruh positif bagi internet. Dan Indonesia memiliki kasus-kasus yang sangat riil

mengenai social media dan pengaruhnya terhadap demokrasi politik. David T. Hill dan

Krishna Sen (2005: 11) mencatat bahwa internet memungkinkan terjadinya penggulingan

kekuasaan Soeharto serta pemerdekaan Timor-Timur. Di sisi lain Hill dan Sen

mengungkapkan pula bahwa media sosial memungkinkan terjadinya kampanye virtual,

lewat perang website dan pesan-pesan politik di dunia maya (2005: 79).

3. Informasi Politik

Studi perilaku memilih yang dilakukan oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan

Kuskridho Ambardi (2012) telah memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena

pemilihan umum. Studi ini pertama-tama mencoba menguak partisipasi politik, dengan

beberapa pertanyaan utama: Seberapa banyak warga negara yang berpartisipasi? Mengapa

seseorang memutuskan ikut serta atau absen dalam pemilu? Partisipasi politik menjadi hal

penting untuk dijelaskan di sini. Partisipasi politik: (1) tindakan, (2) oleh orang biasa, (3)

dilakukan secara sukarela, (4) untuk mempengaruhi kebijakan publik (Brady 1999;

56

Timothy W. Luke, Power and Political Culture dalam Leah A. Lievrouw & Sonia Livingstone, Handbook

of New Media: Social Shaping and Social Consequences of ICTs (London: Sage Publications, 2006), hlm.,

164. 57

David T Hill & Krishna Sen, The Internet in Indonesia‟s New Democracy (New York: Routledge, 2005)

hlm. 10.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

27

Conway 2000 dalam Mujani dkk, 2012). Jadi partisipasi politik merupakan suatu tindakan

yang dilakukan oleh orang biasa, dilakukan secara sukarela, dan bertujuan untuk

mempengaruhi kebijakan publik. Ketika publik berpartisipasi, maka hal riil yang muncul

adalah keikutsertaannya untuk memilih dalam suatu pemilihan umum.

Dari studi ini pula ditemukan 3 model perilaku memilih, yakni model sosiologis,

model psikologis, dan model pilihan rasional/ekonomi-politik. Dalam model sosiologis

perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas

sosial, agama, dan kelompok etnik/kedaerahan/bahasa. Sedangkan dalam model psikologis,

seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau pilpres bukan saja karena kondisinya lebih

baik secara sosial-ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi, karena ia

tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai),

punya informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta

percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy). Model ini

memperkenalkan budaya demokrasi atau civic culture. Terakhir model pilihan rasional,

Orang memilih partai atau calon tertentu apabila partai atau calon tersebut dipandang dapat

membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya: kehidupan ekonomi. Pemilih

mempersepsikan keadaan ekonomi dirinya (egosentrik) di bawah sebuah pemerintahan

(partai atau calon) tertentu sekarang ini dibanding sebelumnya (retrospektif), dan yang

akan datang dibanding sekarang (prospektif); dan evaluasi umum seorang pemilih atas

keadaan ekonomi nasional (sosiotropik) di bawah pemerintahan sekarang dibanding tahun

sebelumnya (retrospektif), dan keadaan ekonomi nasional di bawah pemerintahan sekarang

di banding tahun-tahun yang akan datang (prospektif) (Dawns 1956; Wheaterford dan

Kiewiet, 1980; Fiorina, 1981; Lewis-Beck, 1998 dalam Mujani, dkk, 2012)

Dalam ketiga model tersebut, informasi politik atau pengetahuan politik menduduki

tempat yang penting. Mengapa? Sebab semakin mempunyai informasi lebih banyak

tentang masalah publik, maka dirinya cenderung lebih mampu menentukan sikap dan

melakukan tindakan politik (political interest). Lalu, apa itu informasi politik? Informasi

yang dimiliki seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik atau yang berkaitan

dengan kepentingan umum. Demokrasi menuntut keterbukaan informasi58

.

58

Saiful Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi. Kuasa Rakyat : Analisis tentang Perilaku Memilih

dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Order Baru (Jakarta: Mizan, 2012), hlm. 13-14.

Page 28: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

28

Dalam keterkaitannya dengan kelas menengah dan media sosial, informasi politik

inilah yang diusahakan oleh kelas menengah bisa dipertukarkan dengan bebas dengan

bantuan media sosial. Pada sub-bab terdahulu telah dipaparkan dengan detail keterkaitan

diantara ketiganya, bahwa kelas menengah menggunakan media sosial sebagai sarana

untuk melakukan pertukaran informasi politik. Terhadap hal ini, jika ditelusuri lebih jauh,

terlihat bahwa internet dan media sosial tidak selalu menjadi ruang yang positif bagi

pertukaran informasi. Artinya banyak literatur yang menunjukkan soal pertukaran

informasi di internet dan media sosial sungguh problematik.

Gary D. Rawnsley misalnya, mengungkapkan bahwa informasi yang dibagi oleh

para blogger59

merupakan informasi yang tidak termediasi dan terkontrol. Artinya apa yang

ditulis sebagai informasi di sana oleh para blogger merupakan informasi yang keluar dari

seseorang tanpa melewati mekanisme verifikasi60

. Namun di sisi lain justru karena tidak

ada kontrol maka blogger mampu memunculkan sebuah propadanda yang memberikan

alternatif lain dalam memandang persoalan sosial politik. Lebih lanjut Rawnsley

mengungkapkannya demikian:

“This is realized most dramatically in the rapid emergence of the blogger

culture, the posting by anyone with access to the internet of on-line diaries that allow

readers a glimpse into the lives of their authors. Bloggers can undermine tives of events

from those provided by other media following their own news agendas and reporting

stories according to particular framing devices … Hence, the most attractive about

blogging is that it represent a genuine bottom up process of unmediated and unfiltered

communication.”61

Alternatif lain yang ditawarkan oleh blogger menjadi dasar suatu komunikasi yang

demokratis. Artinya masyarakat tidak hanya menerima begitu saja segala hal yang

disuguhkan oleh negara, atau bahkan pasar, lewat media konvensional, namun mampu

mengkritisinya secara konstruktif. Secara lebih jelas Rawnsley menyatakannya sebagai

fenomena psikologi berpendapat, bahwa ada kecenderungan bagi seseorang untuk mencari

pembanding informasi dari sumber lain, termasuk sumber-sumber yang sifatnya personal:

59

Sebutan bagi orang yang memiliki akun di situs blooger.com, yakni situs web yang dibuat oleh Pyra Labs

dan diakuisisi oleh Google pada 2013. Situs ini sangat popular karena menyediakan sarana web gratis untuk

menciptakan ruang tulis-menulis pribadi. 60

Verifikasi merupakan salah satu disiplin kerja dalam jurnalisme yang mensyaratkan adanya cek ulang

informasi/data yang diperoleh dari narasumber. Jadi wartawan tidak menulis begitu saja informasi/data yang

didapat tetapi melakukan cek-ricek kebenarannya lewat pengamatan langsung, konfirmasi narasumber lain,

dan membandingkan dengan data tertulis lain. 61

Lihat Gary D. Rawnsley, Political Communication and Democracy (New York: Palgrave Macmillan,

2005), hlm. 179.

Page 29: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

29

“In psychology-speak, ICTs are increasing „selective avoidance‟ and thus

undermining the need to consider alternative views (and reconsider one‟s own) to achieve

consonance (see Chapter 3 this volume). The liberal educative function of

communication via interaction with alternative ideas, information and sources breaks

down, and we can no longer claim that the more one participates, the more

knowledgeable one becomes about political issues. Rather, the filtration mechanisms that

allow users to choose the information they receive and the sources from which they

receive it, means that even citizens of democracies are no longer forced to confront

challenging ideas, thus limiting our knowledge and understanding of politics, and

undermining the principles of free speech. From Athens on, democratic political

communication is based on open dialogue between citizens allowing the competition of

ideas.”62

Dengan kata lain jelaslah bahwa internet dalam hal ini memberdayakan dan

mendemokratisasi masyarakat, sebab internet mampu menampung keinginan warga untuk

berpartisipasi dalam proses politik (partisipasi politik)63

. Walau demikian soal kredibilitas

informasi yang dibagikan di internet atau media sosial dipertanyakan. Apakah informasi

yang dibagikan akurat dan kredibel? Rawnsley menuliskan:

“Let us begin with the idea that everyone can be publisher and recipient. If this

the case, we are confronted not only with an explosion in the amount of information we

must confront, sift and process (Neumann, 1986) but with a fundamental question that

defines the democratic approach to political communication: whose truth are we

receiving? How can we check and guarantee the accuracy of the information? Does this

mean that the responsibility for determining the truth falls to the consumers rather than

producers? If we are already concerned with how the traditional media have the capacity

to distort the truth and present a one-dimensional, biased or superficial picture of political

issues, processes and institutions, won‟t we become more anxious with information that

is unmediated, unedited and unverifiable? The Internet provides more information, but it

does not guarantee the quality of information. Perhaps this really is a case of better the

devil you know…?”64

Ahli lain, John C. Tedesco dari Virginia Tech. berpendapat sama kurang

lebih dengan Rawnsley, bahwa informasi yang ada di internet haruslah dicek

ulang sebab banyak yang isinya hanya propaganda tidak berdasar dan cenderung

berbahaya bagi demokrasi. Tedesco mensyaratkan bahwa informasi yang

dibagikan oleh warga biasa, politisi, atau partai politik harulah informasi yang

kredibel dan berkualitas, sehingga sungguh-sungguh menjadi referensi warga lain

dalam berdemokrasi:

“Credibility of on-line information is at the source of much academic

controversy and inquiry (Whillock, 1997). Whillock argues that verifying the validity of

on-line information is very difficult to do without searching multiple sources for

confirmation and support of claims posted by candidates or other politically interested

62

Lihat Gary D. Rawnsley, Political Communication and Democracy (New York: Palgrave Macmillan,

2005), hlm. 185. 63

Ibid., hlm., 183. 64

Ibid., hlm., 183

Page 30: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

30

parties or groups. As Glass (1996) acknowledges, the “Internet offers far fewer clues to

its users to help them discern the good from the ugly” (p. 140).”65

Klaim kebenaran menjadi persoalan penting di sini, manakala internet atau media

sosial hanya menjadi ajang klaim, maka akan jauh dari fungsi sebagai jembatan informasi

yang menghubungkan satu warga dengan warga lain, antara warga dengan politisi, dan

warga dengan partai politik.

4. Demokrasi Deliberatif

Telaah mengenai informasi politik yang ada di internet akan membawa diskusi pada

demokrasi. Sebagaimana dinyatakan dalam suatu studi perilaku memilih yang dilakukan

oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi (2012: 13-14), informasi

politik yang benar mendorong warga untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Dengan

demikian adanya arena/ruang bagi warga untuk bertukar informasi politik menjadi penting,

lalu mendiskusikan dan akhirnya menentukan pilihan. Ruang dimana warga berada dalam

posisi yang setara dan dapat mendiskusikan pandangan-pandangannya mengenai masalah

sosial politik yang ada di sekitar mereka. Ruang ini oleh James S. Fishkin, seorang

professor komunikasi dan ilmu politik dari Stanford University, disebut sebagai kondisi

deliberatif. Informasi yang ada di kondisi deliberatif merupakan informasi yang dapat

dipertanggungjawabkan karena bermuara pada nalar yang rasional dan tidak menyesatkan.

“In a deliberative democracy everyone‟s views are considered equally under

good conditions for the participans to arrive at their views. The process is deliberative in

that it provides informative and mutually respectful discussion in which people consider

the issue on its merits. The process is democratic in that it requires the equal counting of

everyone‟s views as we will see below.”66

Proses pertukaran informasi dalam kondisi deliberatif menjadi penting, sebab dalam

proses inilah ide atau pemikiran orang mengenai kondisi ideal masyarakat dapat muncul.

Tidak hanya itu, Fishkin menegaskan bahwa orang harus berada dalam sebuah kondisi

yang setara. Dalam konteks ini orang sama-sama menjadi warga negara yang memiliki hak

berpendapat. Maka suatu komunitas warga dapat berfungsi menjadi ruang bagi proses

tersebut, yakni proses pertukaran informasi. Dan sebagaimana dinyatakan di atas bahwa

65

Lihat John C. Tedesco, Changing the Channel: Use of the Internet for Communicating About Politics

dalam Lynda Lee Kaid, Handbook of Political Communication Research (New Jersey: Lawrence Erlbaum

Associates Publisher, 2004) Hlm., 522. 66

James S. Fishkin, When The People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation (New York:

Oxford University Press, 2009) hlm. 11

Page 31: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

31

dari proses tersebut akan muncul referensi otentik yang bisa digunakan orang untuk

mengambil keputusan politik. Tentu saja deliberasi yang terjadi dalam suatu komunitas

harus dipastikan dalam kondisi baik, dengan kata lain berkualitas.

Masih tentang kriteria sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas

dapat dikategorikan ke dalam kondisi yang deliberatif apabila terdapat lima hal berikut

(Fishkin 2009):

“By deliberation we mean the process by which individuals sincerely weigh the

merits of competing arguments in discussions together. We can talk about the quality of a

deliberative process in terms of five conditions: (a) Information: The extent to which

participants are given access to reasonably accurate information that they believe to be

relevant to the issue; (b) Substantive balance: The extent to which arguments offered by

one side or from one perspective are answered by considerations offered by those who

hold other perspectives; (c) Diversity: The extent to which the major positions in the

public are represented by participants in the discussion; (d) Conscientiousness: The

extent to which participants sincerely weigh the merits of the arguments; (e) Equal

consideration: The extent to which arguments offered by all participants are considered

on the merits regardless of which participants offer them.”67

Lima kondisi di atas bisa dijadikan ukuran bagi suatu pertukaran informasi, mulai

dari apakah informasinya berkualitas sampai tingkat mempengaruhi pemilih. Maka kembali

pada diskusi awal mengenai kredibilitas informasi politik di internet, dalam hal ini

informasi politik yang dipertukarkan Kompasianer pada masa kampanye Pilkada DI Jakarta

2012. Sebagaimana diungkapkan James S. Fishkin, jika ingin dinyatakan sebagai sebuah

informasi yang berkualitas maka setidak-tidaknya informasi di internet, khususnya

informasi politik68

, harus mengandung lima hal yakni information, substantive balance,

diversity, conscientiousness, dan equal consideration. Desain penelitian ini menetapkan

bahwa setidaknya kedelapan hal ini yang akan digunakan sebagai alat ukur untuk melihat

informasi-informasi dalam yang ditulis oleh Kompasianer pada masa Pemilukada DKI

Jakarta 2012.

H. UNIT ANALISIS

Unit analisis merupakan bagian tersendiri yang diberi kode dan kemudian dihitung.

Pada proses ini unit analisis menyediakan cara yang standar untuk menjabarkan teks

menjadi elemen-elemen yang hendak dianalisis. Berger (1998), sebagaimana dikutip oleh

67

James S. Fishkin, When The People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation (New York:

Oxford University Press, 2009) hlm. 33-34, 126, 160. 68

Disebut sebagai informasi politik karena hal yang dimuat dalam informasi tersebut merupakan hal yang

berhubungan dengan politik, baik dari sisi warga, negara, maupun partai politik.

Page 32: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

32

Keyton (2006: 236) menyebutkan pentingnya membuat unit analisis. Tanpa unit analisis

yang standar atau seragam, analisis data tidak akan valid dan teks-teks yang dianalisis

kemudian tidak bisa diperbandingkan.

Berdasarkan teori-teori yang dimunculkan dalam kerangka pemikiran, khususnya

mengenai informasi politik, peneliti menyusun unit analisis. Unit analisis ini disusun

berdasarkan indikator kondisi deliberatif yang diungkapkan oleh Fishkin yakni

information, substantive balance, diversity, conscientiousness, dan equal consideration.

Unit Analisis Kategori Sub-Kategorisasi

Information Keakuratan informasi; apakah

informasi disertai dengan data,

undang-undang, atau detail peristiwa

yang relevan dan terkait dengan isu

yang dibicarakan yakni Pilkada DKI

Jakarta 2012

Akurat

Tidak akurat

Substantive balance Sejauh mana argumen yang

ditawarkan oleh seseorang dari satu

perspektif dijawab oleh mereka yang

memegang perspektif lain hingga

memunculkan kesempatan untuk

berdialog diantara Kompasianer

Ada dialog yang

bersifat substantif

Tidak ada dialog

yang bersifat

substantif

Diversity Sejauh mana Kompasianer

merepresentasikan pilihan politiknya

(Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnana

atau Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli)

dalam berdiskusi di masa kampanye

Pilkada DKI Jakarta 2012

Informasi mewakili

representasi politik

Kompasianer

Informasi tidak

mewakili

representasi politik

Kompasianer

Conscientiousness Sejauh mana Kompasianer tulus

mempertimbangkan manfaat dari

argumen-argumen yang muncul dalam

Informasi jadi

referensi untuk

memilih

Page 33: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

33

diskusi Informasi tidak jadi

referensi untuk

memilih

Equal consideration Sejauh mana informasi ditanggapi satu

sama lain

Informasi ditanggapi

Informasi diabaikan

I. DEFINISI OPERASIONAL

Pada bagian definisi oprasional peneliti hendak menjelaskan masing-masing bagian

dari unit analisis dan kategori yang dibuat. Singarimbun dan Effendi (ed.) (1989:46)

menjelaskan:

“Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu

peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama.”

Maka selain digunakan sebagai pedoman peneliti untuk tahap analisis, definisi

operasional ini dibuat sebagai referensi penelitian-penelitian dengan tema serupa.

Berikut penjelasan mengenai masing-masing bagian dari unit analisis dan kategori

yang digunakan dalam penelitian:

a. Information

Keakuratan informasi; apakah informasi disertai dengan data, undang-undang, atau

detail peristiwa yang relevan dan terkait dengan isu yang dibicarakan yakni Pilkada

DKI Jakarta 2012.

b. Substantive balance

Sejauh mana argumen yang ditawarkan oleh seseorang dari satu perspektif dijawab

oleh mereka yang memegang perspektif lain hingga memunculkan kesempatan untuk

berdialog diantara Kompasianer.

c. Diversity

Sejauh mana Kompasianer merepresentasikan pilihan politiknya (Joko Widodo-Basuki

Tjahaja Purnana atau Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli) dalam berdiskusi di masa

kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012.

d. Conscientiousness

Sejauh mana Kompasianer tulus mempertimbangkan manfaat dari argument-argumen

yang muncul dalam diskusi

Page 34: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

34

e. Equal consideration

Sejauh mana informasi ditanggapi satu sama lain.

J. METODOLOGI PENELITIAN

Ketika penelitian berfokus pada pesan-pesan politik, maka metode penelitian yang

digunakan adalah analisis isi kualitatif. Pilihan seperti ini dapat pula diterapkan untuk

semua jenis isi pesan, termasuk yang ditulis atau dicetak dalam bentuk dokumen, pesan,

film, dan kaset audio yang direkam. Pesan bahkan mungkin dianalisis seketika jika peneliti

hadir pada saat pesan tersebut diproduksi. Menggunakan coders manusia yang terlatih

untuk mengidentifikasi elemen tekstual masih merupakan langkah paling umum dalam

pendekatan analisis isi.

1. Metode Penelitian

Analisis isi dipakai sebagai metode utama untuk mengungkap makna yang

terkandung dalam tiap tulisan politik yang dibuat oleh Kompasianer pada masa kampanye

Pilkada DKI Jakarta 2012, yang terbagi dalam dua putaran yakni putaran pertama (24 Juni

-7 Juli 2012) dan putaran kedua (14-16 September 2012). Makna yang ingin diungkap

dengan kata lain merupakan komponen-komponen substansif dari pesan-pesan politik69

.

Dari komponen substantif tersebut dapat dilihat lebih lanjut perilaku tukar-menukar

informasi yang ada apakah sudah mengandung unsur-unsur demokrasi atau tidak,

khususnya dalam tulisan/perbincangan yang ada. Selain itu, metode ini dipilih oleh penulis

sebab analisis isi mampu memberikan gambaran yang sederhana terhadap makna tanpa

narasumber (baca: Kompasianer) tahu bahwa tulisan mereka sedang dianalisis. Sehingga

penelitian analisis isi mampu menekan bias yang mungkin muncul dalam proses penelitian.

Jika para responden diminta penulis untuk mengisi survei, dari perspektif analisis isi, hal

ini adalah penciptaan teks-teks baru yang kemungkinan besar bias oleh kepentingan-

kepentingan peneliti dan tekanan-tekanan yang muncul dalam proses penelitian tersebut70

.

Selanjutnya pendekatan analisis isi yang dipilih oleh penulis adalah analisis isi

deskriptif, yakni analisis isi yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran detail suatu

pesan, atau suatu teks tertentu. Dari aspek-aspek yang ditampilkan detail tersebut, sesuai

69

Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 148. 70

Idem., hlm. 150.

Page 35: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

35

dengan tema yang dipilih, akan didapatkan data yang mampu dianalisis lebih lanjut untuk

memunculkan makna71

. Makna inilah yang kemudian diinterpretasikan hingga kemudian

memperlihatkan ukuran untuk melihat mutu demokrasi, khususnya dalam melihat perilaku

Kompasianer bertukar informasi politik.

2. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini utamanya dilakukan melalui metode

analisis isi, selain juga wawancara mendalam yang dilakukan untuk menajamkan analisis

yang dilakukan terhadap teks yang ada72

. Analisis isi akan dilakukan pada tulisan-tulisan

yang diposting oleh Kompasianer antara tanggal 24 Juni -7 Juli 2012 dan 14-16 September

2012, khususnya yang bertema politik dalam rangka kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012

baik putaran pertama maupun kedua. Analisis ini diterapkan untuk mengetahui sejauh

mana subtansi demokrasi muncul dalam tiap tulisan Kompasianer, baik dalam frekuensi

maupun pola penyampaikan informasi, juga sifat dari informasi politik yang dipertukarkan:

apakah memberi, mencari, menegaskan, atau mencaci informasi seputar kandidat.

3. Analisis dan Interpretasi

Teknik analisis dalam penelitian komunikasi kualitatif pada dasarnya terdiri dari

tiga komponen: reduksi data, penyajian data, dan penarikan serta pengujian kesimpulan.

Ketiganya akan dilakukan dalam penelitian ini dalam konteks metode analisis isi kualitatif.

Oleh karena itu mengawali proses reduksi dan penyajian data akan dilakukan proses

coding (koding) dan categorization (kategorisasi) terlebih dulu terhadap data yang masuk

ke peneliti.

Koding akan dilakukan terhadap postingan masing-masing Kompasianer yang

muncul dalam kolom "PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2

Pilkada DKI Jakarta 2012, berdasarkan lima kriteria kualitas pertukaran informasi yang

disampaikan oleh James S. Fishkin, yakni information, substantive balance, diversity,

conscientiousness, dan equal consideration. Peneliti akan mengidentifikasi tiap tulisan dan

diskusi yang muncul apakah memuat lima kriteria kualitas proses deliberasi (pertukaran

informasi) dari James S. Fishkin. Tulisan yang tidak memuat hal-hal tersebut akan

71

Eriyanto, Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial

Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 47. 72

Arthur Asa Berger, Media and Communication Research Methods: An Intriduction to Qualitative and

Quantitatives Approaches 2nd

Edition (California: Sage Publications, 2011), hlm. 216-217.

Page 36: BAB I PENDAHULUAN - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/77929/potongan/S2-2015... · anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini

36

diabaikan, sedangkan yang memuat akan dilihat lebih lanjut menggunakan kategorisasi

yang ada (lihat tabel unit analisis di atas).

Selanjutnya pada tahap analisis dan interpretasi, peneliti akan menulis hasil analisis

terkait data yang sudah dikoding dan dikategorisasi. Data akan dibandingkan dengan

konsep dan teori yang sudah dipilih dalam penelitian ini, sebagaimana termuat dalam

kerangka pemikiran yang berisi teori-teori yang dipilih oleh peneliti untuk memperjelas

pokok permasalahan yang diangkat, yakni tentang kondisi deliberatif.