bab i pendahuluan disorder of movement in icu

25
BAB I PENDAHULUAN Movement disorders atau gangguan gerakan merupakan sekelompok penyakit sistem saraf pusat dan kondisi neurologis yang mempengaruhi kecepatan, kelancaran, kualitas, dan kemudahan dalam pergerakan. Kelancaran gerak yang abnormal atau kecepatan gerak yang abnormal (disebut diskinesia) mungkin melibatkan gerakan yang berlebihan atau involunter (hiperkinesia) atau gerakan volunter yang melambat (hipokinesia) (Swierzewski, 2000). Pada referat ini akan dideskripsikan tiga tipe dari gangguan gerak yang paling sering ditemukan di ICU: (a) gerakan involunter (misal: kejang), (b) kelemahan atau gerakan tidak efektif (misal: kelemahan neuromuskular), dan (c) ketiadaan gerakan (misal: paralisis karena obat) (Marino, 2014) 1

Upload: carollius-pratama-putra

Post on 14-Feb-2016

224 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

TRANSCRIPT

Page 1: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

BAB I

PENDAHULUAN

Movement disorders atau gangguan gerakan merupakan

sekelompok penyakit sistem saraf pusat dan kondisi neurologis yang

mempengaruhi kecepatan, kelancaran, kualitas, dan kemudahan dalam

pergerakan. Kelancaran gerak yang abnormal atau kecepatan gerak yang

abnormal (disebut diskinesia) mungkin melibatkan gerakan yang

berlebihan atau involunter (hiperkinesia) atau gerakan volunter yang

melambat (hipokinesia) (Swierzewski, 2000).

Pada referat ini akan dideskripsikan tiga tipe dari gangguan gerak

yang paling sering ditemukan di ICU: (a) gerakan involunter (misal:

kejang), (b) kelemahan atau gerakan tidak efektif (misal: kelemahan

neuromuskular), dan (c) ketiadaan gerakan (misal: paralisis karena obat)

(Marino, 2014)

1

Page 2: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Kejang

Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara

sebagai akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan

muatan listrik otak yang berlebihan (betz dan Snowden, 2002).

Kejang merupakan komplikasi neurologis kedua terbanyak setelah

ensefalopati metabolik pada pasien dengan penyakit kritis. Insidensi

onset baru kejang pada pasien ICU adalah 0,8-3,5% (Marino, 2014).

1.1. Klasifikasi Kejang

Kejang diklasifikasikan berdasarkan luasnya otak yang terlibat

(kejang umum dan kejang fokal), ada atau tidaknya gerakan

abnormal (kejang konvulsif dan non-kompulsif), dan tipe

gerakan abnormal (tonik klonik, mioklonik) (Marino, 2014).

1.1.1. Kejang umum

Kejang umum timbul dari pelepasan muatan listrik yang

sinkron dan ritmik yang hampir melibatkan seluruh

bagian dari korteks serebri, dan selalu diasosiasikan

dengan hilangnya kesadaran (Marino, 2014). Berikut

adalah contoh kejang umum:

Kejang atonik: menyebabkan kehilangan tonus

otot secara singkat sehingga dapat menyebabkan

jatuh.

Absence seizure (petit-mal seizure): Kejang ini

biasanya berlangsung singkat (>10 detik) dan

diasosiasikan dengan perubahan yang tidak

menonjol pada tonus otot

Kejang umum tonik-klonik (grand-mal seizure):

didahului oleh fase tonik, yang diasosiasikan

Page 3: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

3

dengan apnea dan sianosis, dan diikuti oleh fase

klonik.(Lowenstein, 2008).

1.1.2. Kejang Fokal

Kejang fokal dapat timbul dari pelepasan muatan listrik

yang bersifat menyebar atau lokal di suatu bagian otak,

dan manifestasi klinisnya bervariasi, namun dapat

memiliki kesamaan yaitu didahului oleh aura, dan dapat

disertai dengan automatisme. Contoh kejang fokal

berikut:

Kejang fokal simplex: kejang ini dapat

menyebabkan gejala motorik, sensorik, autonomik

atau psikis tanpa mengganggu kesadaran

(Lowenstein, 2008).

Kejang fokal kompleks; kejang nonconvulsive

yang bermanifestasi perubahan perilaku (Marino,

2014). Manifestasi yang khas adalah pasien yang

sadar tetapi tidak menyadari lingkungan. Pasien

tidak dapat merespon perintah verbal atau visual

selama kejang. (Lowenstein, 2008).

1.1.3. Mioklonus

Mioklonus ditandai dengan jerking movement yang dapat

terjadi secara spontan, atau ketika terdapat rangsang

seperti nyeri atau suara keras. Gerakan-gerakan ini dapat

terlihat di setiap jenis ensefalopati (metabolik, iskemik).

Pada pasien yang tidak terbangun dalam waktu satu jam

setelah cardiac arrest, adanya mioklonus yang

berlangsung lebih dari 24 jam memiliki prognosis buruk

untuk pemulihan neurologis. Mioklonus tidak universal

dianggap sebagai kejang karena tidak terkait dengan

Page 4: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

4

pelepasan muatan listrik berirama pada EEG (Marino,

2014).

1.1.4. Status Epileptikus

Status epileptikus secara tradisional didefinisikan sebagai

kejang lebih dari 30 menit, atau kejang berulang tanpa

periode pemulihan. Karena umumnya kejang konvulsif

tidak mungkin untuk berhenti setelah 5 menit, maka

terdapat usulan definisi baru untuk status epileptikus yaitu

kejang terus menerus selama 5 menit, atau dua episode

kejang tanpa periode sadar. Status epileptikus dapat

melibatkan berbagai jenis kejang, dan dapat "konvulsif"

(terkait dengan gerakan tubuh yang abnormal) atau "non-

konvulsif" (tidak terkait dengan gerakan tubuh yang

abnormal (Marino, 2014).

1.1.4.1. Konvulsif Status Epileptikun

Adalah bentuk terbanyak darui status epileptikus.

Walaupun dengan terapi, angka mortalitas tipe ini

mencapai 20-27%. Setelah sekitar 30 menit,

konvulsif status epileptikus dapat menjadi non

konvulsif status epileptikus (Marino 2007).

1.1.4.2. Nonkonvulsif Status Epileptikus

Sebagian besar kasus status epileptikus

nonkonvulsif melibatkan kejang fokal kompleks

(jarang pada pasien ICU), tetapi sebanyak 25% dari

kejang umum dapat nonkonvulsif. Generalized

nonconvulsive status epilepticus juga dikenal

sebagai subtle status epilepticus, dan biasanya

terjadi ketika kejang umum konvulsif tidak

Page 5: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

5

ditangani dengan baik. Kejang ini diasosiasikan

dengan hilangnya kesadaran, dan kejang ini adalah

sumber dari unexplainned coma di ICU. Dalam satu

studi, kejang umum nonkonvulsif menyebabkan 8%

dari kasus koma di ICU pasien. Diagnosis

memerlukan bukti pelepasan epileptiform pada EEG

(Marino, 2014).

1.2. Predisposisi

Berbagai kondisi dapat menimbulkan kejang pada pasien dengan

sakit kritis, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Dalam satu

survei mengenai kejang dengan onset baru di ICU, kondisi

predisposisi yang paling umum adalah keracunan obat,

pemutusan obat, dan kelainan metabolik (misalnya,

hipoglikemia) (Marino, 2014)

Gambar 1: Predisposisi kejang pada pasien ICU

1.3. Manajemen Akut

Manajemen akut yang akan dijelaskan berkaitan dengan status

epileptikus generalisata, baik kejang konvulsif dan nonkonvulsif.

Page 6: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

6

1.3.1. Obat tahap 1

Obat-obatan yang paling efektif untuk penghentian cepat

kejang umum adalah benzodiazepin, yang mengakhiri 65-

80% kejang konvulsif dalam waktu 2-3 menit.

Lorazepam: lorazepam intravena (4 mg IV selama 2

menit) adalah rejimen obat pilihan untuk mengakhiri

GSE. Onset kerja kurang dari dua menit, dan efeknya

berlangsung selama 12-24 jam.

Midazolam: Keuntungan midazolam adalah serapannya

cepat ketika diberikan secara injeksi intramuskular (IM).

Ketika akses intravena tidak tersedia, midazolam dapat

diberikan IM dalam dosis 10 mg, dan keberhasilan dalam

mengakhiri GSE setara dengan IV lorazepam. Jika waktu

untuk membuat akses intravena cukup lama, IM

midazolam menghasilkan penekanan lebih cepat untuk

kejang (3-4 menit) dibandingkan IV lorazepam.

Pendekatan ini cocok untuk kontrol pra-rumah sakit

pasien GSE.

1.3.2. Obat tahap 2

Obat yang digunakan untuk kejang menetap setelah

pemberian benzodiazepin, atau kambuh dalam waktu 24

jam. Drug of choice untuk tahap ini adalah fenitoin

Phenitoin: Dosis inisial fenitoin adalah 20 mg / kgBB IV,

dengan dosis kedua 10 mg/kgBB IV, jika perlu. Fenitoin

tidak dapat diberikan pada kecepatan di atas 50 mg /

menit karena risiko depresi jantung dan hipotensi. Ini

Page 7: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

7

berarti bahwa, untuk 70 kg dewasa, dosis awal fenitoin

(20 mg / kg) akan membutuhkan 30 menit untuk

menyelesaikan, dan ini adalah kelemahan ketika GSE

belum ditangai. Depresi jantung disebabkan oleh propilen

glikol, yang digunakan sebagai pelarut IV fenitoin

Fosphenitoin: Fosphenytoin adalah fenitoin analog yang

larut dalam air yang mempunyai efek samping depresi

jantung lebih rendah dari fenitoin karena tidak

mengandung propylene glycol. Sehingga, fosphenytoin

dapat diberikan tiga kali lebih cepat dari fenitoin (150

mg / menit vs 50 mg / menit). Fosphenytoin adalah

prodrug yang harus dikonversi ke fenitoin dan diberikan

dalam dosis yang sama seperti fenitoin

1.3.3. Obat tahap 3

Sekitar 10% pasien dengan GSE tidak bisa ditangani

menggunakan obat tahap 1 dan 2. Pada tahap ini obat

yang dianjurkan adalah dosis anestesi salah satu obat pada

gambar 2. (Marino, 2014)

Gambar 2: Obat tahap 3

Page 8: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

8

Gambar 3: Algoritma penatalaksanaan GSE

2. Sindrom Kelemahan Neuromuskular

2.1. Myasthenia Gravis

Myasthenia Gravis (MG) merupakan penyakit autoimun yang

diakibatkan oleh antibodi yang mendestruksi reseptor asetilkolin

pada bagian post sinaps di neuromuscular junction

2.1.1. Predisposisi

MG bisa dipicu oleh operasi besar atau bersamaan dengan

penyakit. Tumor timus berhubungan untuk 20% dari

kasus, dan hipertiroidisme adalah penyebab di 5% kasus.

Beberapa obat terutama antibiotik (aminoglikosida,

ciprofloxacin) dan obat-obatan jantung (misalnya, beta-

adrenergik, lidokain, procainmide, quinidine) dapat

memicu atau memperburuk MG (Marino, 2014).

Page 9: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

9

2.1.2. Manifestasi Klinis

Kelemahan otot pada MG memiliki ciri khas seperti

berikut:

Kelemahan otot diperburuk dengan aktivitas dan

membaik dengan istirahat.

Kelemahan pertama kali terlihat pada kelopak mata

dan otot ekstraokular, dan kelemahan ekstremitas

mengikuti pada 85% kasus

Kelemahan otot yang progresif biasanya mengenai

dinding dada dan diafragma, hal ini mengakibatkan

progresi ke arah gagal nafas, biasanya disebut

dengan myasthenia crisis, yang terjadi pada 15-

20% pasien.

Bagian yang terganggu adalah murni motor dan

reflex tendon dalam tetap ada (Marino, 2014).

2.1.3. Diagnosis

Diagnosis MG bila terdapat kelemahan di kelopak mata

dan otot ekstraokular yang memburuk dengan

penggunaan berulang. Diagnosa pasti MG jika (a) Terjadi

peninggkatan kekuatan otot setelah pemberian

edrophonium (tensilon), sebuah zat yang inhibitor dari

asetilkolinesterase dan (b) Terdapat assay positif dari

antibodi reseptor asetilkolin (85% pasien MG) (Marino,

2014).

2.1.4. Tatalaksama

Terapi lini pertama adalah inhibitor

acetylcholinesterase, pyridostigmine (Mestinon), yang

dimulai pada dosis oral 60 mg setiap 6 jam, dan dapat

ditingkatkan sampai 120 mg setiap 6 jam. Pyridostigmine

Page 10: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

10

dapat diberikan secara intravena untuk mengobati krisis

miastenia: dosis IV adalah 1/30 dari dosis oral

Imunoterapi dapat ditambahkan jika diperlukan,

baik menggunakan prednison (1-1,5 mg/kgBB/hari),

azathioprine (1-3 mg / kg / hari), atau siklosporin (2,5

mg / kg dua kali sehari). Untuk mengurangi kebutuhan

untuk terapi imunosupresif jangka panjang, thymectomy

bedah sering disarankan pada pasien di bawah usia 60

tahun.

Dalam kasus khusus yang membutuhkan ventilasi

mekanis, ada dua pilihan tatalaksana: (a) plasmapheresis

untuk membersihkan antibodi patologis dari aliran darah,

atau (b) pemberian imunoglobulin G (0,4 atau 2 gm / kg /

hari IV selama 2-5 hari) untuk menetralisir antibodi

patologis. Kedua pendekatan sama-sama efektif, tetapi

plasmapheresis memiliki respon yang lebih cepat

(Marino, 2014).

2.2. Sindrom Guillain-Barre

Sindrom Guillain-Barre adalah inflamasi subakut yang

menyebabkan demielinasisasi polineuropati dan biasanya terjadi

setelah akut infeksi. Agen infeksi terbanyak yang diasosiasikan

dengan sindrom guillain-barre adalah Campylobacter jejuni dan

cytoegalovirus (Marino, 2007). Diduga penyebabnya adalah

sistem imun (Marino, 2014).

2.2.1. Manifestasi Klinis

Manifestasi Klinis dari sindrom Guillain-Barré adalah

parestesia dan kelemahan tungkai simetris yang

berkembang selama beberapa hari sampai beberapa

minggu. Perkembangan kearah gagal napas terjadi pada

Page 11: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

11

25% kasus, dan ketidakstabilan otonom dapat terjadi pada

kasus lanjut. Kondisi ini sembuh secara spontan pada

sekitar 80% kasus, tetapi kebanyakan pasien memiliki

gejala sisa defisit neurologis (Marino, 2014).

2.2.2. Diagnosis

Diagnosis sindrom Guillain-Barré didasarkan pada

presentasi klinis (parestesia dan kelemahan ekstremitas

simetris), pemeriksaan konduksi saraf (melambat karena

demielinisasi), dan analisis cairan serebrospinal (protein

meningkat dalam 80% kasus) (Marino, 2014).

2.2.3. Tatalaksana

Pengobatan sebagian besar hanya sebagai

suportif, namun pada kasus lanjut dengan kegagalan

pernafasan, plasmapharesis atau imunoglobulin intravena

G (0,4 g / kg / hari selama 5 hari) sama-sama efektif

dalam memproduksi perbaikan jangka pendek.

Immunoglobulin G sering disukai karena lebih mudah

untuk melaksanakan (Marino, 2014).

2.3. Critical Illness Neuromyopathy

Critical illness polyneuropathy (CIP) dan critical illness

myopathy (CIM) adalah gangguan sekunder, dan biasanya

bersamaan dengan sepsis berat dan kondisi lain yang terkait

dengan peradangan sistemik progresif. Gangguan ini sering

terjadi bersamaan pada pasien yang sama, dan menjadi jelas

ketika pasien gagal untuk berhenti memakai ventilasi mekanis

(Marino, 2014).

2.3.1. Patogenesis

Page 12: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

12

CIP adalah neuropati sensorik dan motorik aksonal difus

yang ditemukan pada setidaknya 50% dari pasien dengan

sepsis berat dan syok septik. Memiliki Onset bervariasi,

terjadi dari 2 hari sampai beberapa minggu setelah onset

episode septik. CIP dianggap neuropati perifer yang

paling umum pada pasien sakit kritis. CIM adalah miopati

inflamasi difus yang melibatkan kedua tungkai dan otot

trunkal. Kondisi predisposisi termasuk sepsis berat dan

syok septik, dan waktu pemulihan yang lama dari

paralisis neuromuskular akibat induksi obat, terutama bila

dikombinasikan dengan terapi kortikosteroid. CIM juga

telah dilaporkan pada sepertiga pasien dengan status

asmatikus yang diobati dengan kortikosteroid dosis tinggi

(Marino, 2014).

2.3.2. Manifestasi Klinis

Seperti hanya disebutkan, CIP dan CIM sering tidak

terdeteksi sampai ada kegagalan yant tidak terjelaskan

ketika menghentikan ventilasi mekanik dari pasien. Pada

pemeriksaan fisik ditemukan quadriparesis dengan hipo-

refleksia atau arefleksia. Diagnosis CIP dapat

dikonfirmasi oleh pemeriksaan konduksi saraf (yang

menunjukkan konduksi melambat dalam serat sensorik

dan motorik) dan diagnosis CIM dapat dikonfirmasi oleh

elektromiografi (yang menunjukkan perubahan miopati)

dan oleh biopsi otot (yang menunjukkan atrofi , hilangnya

filamen myosin, dan infiltrasi inflamasi (Marino, 2014).

2.3.3. Tatalaksama

Tidak ada tatalaksana untuk CIP dan CIM.

Penyembuhan sempurna terjadi pada 50% pasien, tetapi

Page 13: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

13

masa penyembuhan dapat mencapai berbulan-bulan

(Marino, 2014).

3. Paralisis Diinduksi obat

Paralisis diinduksi obat digunakan pada situasi: (a) untuk

memfasilitasi intubasi endotrakeal, (b) untuk mencegah pasien

menggigil selama diinduksi hipotermia (dalam koma henti jantung),

dan (c) untuk memfasilitasi ventilasi mekanis pada pasien agitasi.

Agen penghambat neuromuskular bekerja dengan mengikat reseptor

asetilkolin di sisi postsynaptic dari taut neuromuskuler. Setelah

terikat, terdapat dua cara kerjanya yaitu: (a) agen depolarizing

bertindak seperti asetilkolin dan menghasilkan depolarisasi

berkelanjutan dari membran postsinaps, sehingga memblok kontraksi

otot selanjutnya (Marino, 2007), dan (b) agen non-depolarisasi

bertindak dengan menghambat depolarisasi membran postsinaps

(Marino, 2014).

3.1. Obat yang biasa digunakan

3.1.1. Succinylcholine

Suksinilkolin adalah agen depolarisasi dengan onset cepat

(60-90 detik) dan waktu pemulihan yang cepat (10-12

menit). Karena alasan ini, succinylcholine digunakan

untuk memfasilitasi intubasi endotrakeal.

Suksinilkolin menginduksi depolarisasi otot

rangka dengan cara mempromosikan efflux kalium dari

sel-sel otot. Hal ini dapat dikaitkan dengan peningkatan

kalium serum sebesar 0,5 mEq / L, tetapi efek ini bersifat

sementara dan tanpa konsekuensi. Namun, hiperkalemia

dapat terjadi ketika succinylcholine diberikan kepada

pasien dengan otot rangka mengalami "cidera denervasi"

(misalnya, cedera kepala atau cedera tulang belakang),

Page 14: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

14

atau pasien dengan rhabdomiolisis, luka bakar, atau

imobilitas kronis. Akibatnya, succinylcholine tidak

disarankan untuk pasien dengan kondisi ini (Marino,

2014).

3.1.2. Rocuronium

Rocuronium adalah penghambat neuromuscular non-

depolarisasi dengan onset cepat (1,5-3 menit) dan waktu

pemulihan menengah (30-40 menit). Karena onset kerja

yang cepat, rocuronium dapat digunakan untuk intubasi

endotrakeal ketika succinylcholine tidak disarankan.

Namun, dosis yang lebih besar (1 mg / kg) diperlukan

untuk intubasi, dan ini akan memperpanjang waktu

pemulihan. Rocuronium dapat diinfus dengan kecepatan

5-10 mg / kg / menit untuk memperpanjang paralisis

neuromuskuler. Obat ini ditoleransi dengan baik, dan

tidak memiliki efek samping kardiovaskular (Marino,

2014).

3.1.3. Cisatracurium

Cisatracurium adalah agen non-depolarisasi dengan onset

kerja lama (5-7 menit) dan waktu pemulihan menengah.

Ini adalah isomer dari atrakurium, dan dikembangkan

untuk mencegah pelepasan histamin terkait dengan

atracurium. Cisatracurium dapat diinfus dengan laju 2-5

mg / kg / menit untuk memperpanjang masa paralisis

neuromuskuler dan obat ini cocok untuk pasien ICU

karena kadar pada darah tidak dipengaruhi oleh disfungsi

ginjal atau hati (Marino, 2014).

3.1.4. Pemantauan

Page 15: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

15

Metode standar pemantauan paralisis diinduksi obat

adalah memberikan empat rangkaian arus listrik frekuensi

rendah (2 Hz) di nervus ulnaris bagianlengan bawah dan

mengamati adduksi jempol. Ketiadaan total aduksi jempol

merupakan bukti blok berlebihan. Tujuan yang

diharapkan adalah adanya 1 atau 2 kedutan jelas, dan

infus obat disesuaikan untuk mencapai bahwa titik akhir

(Marino, 2014).

3.1.5. Menghindari Obat pelumpuh Otot

Terjaga ketika paralisis adalah pengalaman mengerikan

dan menyakitkan dan sangat penting untuk menjaga

pasien tedap dalam pengaruh obat sedatif pada waktu

mereka paralisis. Namun, tidak mungkin untuk

mengevaluasi kecukupan sedasi atau mengendalikan rasa

nyeri saat seorang pasien lumpuh. Ketidakmampuan

untuk memastikan sedasi memadai dan nyeri terkontrol

adalah alasan utama untuk menghindari kelumpuhan

akibat obat bila memungkinkan. Menghindari paralisis

neuromuskuler periode lama juga akan mengurangi risiko

komplikasi berikut: (a) Critical illness myopathy (b)

"Hypostatic" pneumonia (dari kumpulan sekresi nafas

pada paru-paru dependen ) (c) tromboemboli vena (dari

imobilisasi berkepanjangan) (d) Ulkus (juga dari

imobilisasi lama) (Marino, 2014).

BAB III

KESIMPULAN

Page 16: Bab i Pendahuluan disorder of movement in ICU

16

1. Analgesik terbagi menjadi 2 yaitu analgesik non-opioid dan

analgesik opioid.

2. Analgesik non-opioid mempunyai efek analgetik yang lebih lemah

dibandingkan dengan analgesik opioid.

3. Analgesik non-opioid lebih umum digunakan oleh masyarakat dan

efek samping yang tersering dari analgesik non opiod adalah

gangguan saluran cerna.

4. Analgesik opiod dalam penggunaannya harus diawasi secara ketat

karena dapat menimbulkan ketergantungan.