laporan refarat gangguan gerakan (movement disorder)

67
BAB I PENDAHULUAN Gerakan involunter (GI) ialah suatu gerakan spontan yang tidak disadari, tidak bertujuan, tidak dapat diramalkan dan dikendalikan oleh kemauan, bertambah jelas waktu melakukan gerakan volunter atau dalam keadaan emosi dan menghilang waktu tidur. GI yang sering dijumpai pada anak akibat gangguan ganglia basalis dan/atau serebelum mencakup tremor, korea, atetosis, distonia dan hemibalismus. GI yang timbul bukan karena gangguan pada inti-inti organ tersebut, misalnya tic, spasmus dan mioklonia tidak dibicarakan. Gangguan involunter menjadi tanda klinik gangguan pada sistem ekstrapiramidal. Berupa hiperkinesia dan hipokinesia, dan disertai perubahan pada tonus otot dan

Upload: muh-nur-islam

Post on 08-Jul-2016

260 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Refarat tentang sebuah penjelasan dari gangguan gerakan yang disebabkan oleh faktor neurologi

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

BAB I

PENDAHULUAN

Gerakan involunter (GI) ialah suatu gerakan spontan yang tidak disadari, tidak

bertujuan, tidak dapat diramalkan dan dikendalikan oleh kemauan, bertambah jelas

waktu melakukan gerakan volunter atau dalam keadaan emosi dan menghilang waktu

tidur.

GI yang sering dijumpai pada anak akibat gangguan ganglia basalis dan/atau

serebelum mencakup tremor, korea, atetosis, distonia dan hemibalismus. GI yang

timbul bukan karena gangguan pada inti-inti organ tersebut, misalnya tic, spasmus

dan mioklonia tidak dibicarakan.

Gangguan involunter menjadi tanda klinik gangguan pada sistem

ekstrapiramidal. Berupa hiperkinesia dan hipokinesia, dan disertai perubahan pada

tonus otot dan sikap tubuh. Sementara itu gangguan pada serebelum menyebabkan

kelainan dalam rentang gerakan. Kecepatan dan gaya gerakan (sedangkan kekuatan

tidak terganggu).

Adapun jenis gerakan involunter meliputii dua hal pokok :

1. Gangguan gerakan hiperkinetik (hiperkinesia)

a. Tics, tremor, dan mioklonus

b. Khorea, atetosis, balismus, dan distonia

Page 2: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

c. Gangguan gerakan karena obta-obatan

2. Gangguan gerakan hipokinetik (hipokinesia)

a. Sindrom parkinson

b. Paralisis supranuklear progresif

c. Gangguan serebelum dan hubungan spinoserebral

PATOFISIOLOGI

Suatu fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka memerlukan kerjasama

yang terpadu antara sistem piramidal (P) dan ekstrapiramidal (EP). Sistem P terutama

untuk gerakan volunter sedang sistem EP menentukan landasan untuk dapat

terlaksananya suatu gerakan volunter yang-trampii dan mahir. Dengan kata lain,

sistem EP mengadakan persiapan bagi setiap gerakan volunter berupa pengolahan,

pengaturan dan pengendalian impuls motorik yang menyangkut tonus otot dan sikap

tubuh yang sesuai dengan gerakan yang akan diwujudkan.

Sistem EP terdiri atas: 1). Inti-inti korteks serebri area 4S, 6 & 8; 2). Inti-inti

subkortikal ganglia- basalis yang meliputi inti kaudatus, putamen, globus palidus,

substansi nigra, korpus subtalamikum dan inti talamus ventrolateralis; 3). Inti ruber

dan formasio retikularis batang otak dan 4). Serebelum. Inti-inti tersebut saling

berhubungan melalui jalur jalur khusus yang membentuk tiga lintasan lingkaran

(sirkuit). Sedangkan sistem P, dari korteks serebri area 4 melalui jalur-jalur

Page 3: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

kortikobulbar dan kortikospinal (lintasan piramidal) menuju Ice "lower motor neuron

(LMN).

Untuk mengetahui mekanisme terjadinya GI, terlebih dahulu dijelaskan

pengertian perihal jalannya impuls motorik yang digunakan 'untuk mempersiapkan

dan membangkitkan gerakan volunter. Impuls motor& EP sebelum diteruskan ke

LMN akan mengalami pengolahan di berbagai inti ganglia basalis dan korteks

serebelum sehingga telah siap sebagai impuls motorik/pengendali bagi setiap gerakan

yang akin diwujudkan impuls motoric P. Keduanya merupakan suatu kesatuan yang

tidak terpisahkan dalam membangkitkan setiap gerakan volunter yang sempuma.

Ada 3 jalur sirkuit untuk pengolahan impuls motorik tersebut :

1) Sirkuit pertama

Lintasan sirkuit pertama akan dilalui oleh impuls motorik yang dicetuskan di

area 4 dan 6, lalu dihantarkan ke inti basal pons, korteks serebelum, inti dentatus, inti

ruber dan inti ventro-lateralis dan akhimya kembali ke korteks motorik P dan EP area

tersebut.

2). Sirkuit kedua

Merupakan lintasan yang akan dilalui oleh impuls motorik dari korteks

serebri area 4, 4S dan 6, menuju ke substansi nigra, putamen, globus palidus, inti

ventrolateralis talami dan kembali ke korteks motorik P & EP area 4, 4S dan 6.

Page 4: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

3) Sirkuit ketiga

Impuls motorik dan area 4S dan 8 akan melalui sirkuit ini menuju ke inti

kaudatus, globus palidus dan inti ventrolateralis talami dan selanjutnya kembali ke

korteks motorik area P dan EP area 6. Sebagian impuls tersebut akan diteruskan ke

inti Luys sebelum kembali ke korteks yang bersangkutan.

Bila ada gangguan pada salah satu jalur sirkuit atau inti ganglia basalis atau

serebelum, maka gangguan umpan balik ke korteks motorik P dan EP akan timbul.

Hal ini disebabkan karena impuls motorik yang semula dicetuskan di korteks motorik

area bersangkutan tidak dapat diteruskan melalui jalur sirkuit atau tidak dapat

dikelola oleh inti-inti ganglia basalis dan serebelum yang terganggu. Dengan

demikian akan bangkit gerakan yang tidak terkendali sistem EP berupa gerakan

involunter. Bergantung pada lokalisasi lesi maka GI thpat berbentuk tremor bila lesi

pada serebelum atau substansi nigra, korea pada inti kauthtus dan globus palidus,

atetosis path bagian luar putamen dan globus palidus, distonia path bagian dalam

putamen dan inti kaudatus dan hemibalismus pada inti Luys .

Pada suatu penyakit tertentu dapat dijumpai satu atau beberapa jenis GI.

Seperti pada kelumpuhan otak tipe subkortikal, dapat ditemukan semua jenis GI

tersebut di atas.

Page 5: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENGERTIAN

Gerakan involunter merupakan gerakan yang tidak sesuai dengan

kemauan, tidak diketehendaki, dan tidak bertujuan.

B. PATOFISIOLOGI

Suatu fungsi motorik yang sempuma pada otot rangka memerlukan kerjasama

yang terpadu antara sistem piramidal (P) dan ekstrapiramidal (EP). Sistem piramidal

terutama untuk gerakan volunter sedang sistem ekstrapiramidal menentukan landasan

untuk dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang terampil dan mahir.

Dengan kata lain, sistem ekstrapiramidal mengadakan persiapan bagi setiap

gerakan volunter berupa pengolahan, pengaturan dan pengendalian impuls motorik

yang menyangkut tonus otot dan sikap tubuh yang sesuai dengan gerakan yang akan

diwujudkan.

Sistem ekstrapiramidal terdiri atas:

1. Inti-inti korteks serebri area 4S, 6 & 8;

2. Inti-inti subkortikal ganglia basalis yang meliputi inti kaudatus, putamen, globus

palidus, substansi nigra, korpus subtalamikum dan inti talamus ventrolateralis;

3. Inti ruber dan formasio retikularis batang otak dan

Page 6: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

4. Serebelum. Inti-inti tersebut saling berhubungan melalui jalur jalur khusus yang

membentuk tiga lintasan lingkaran (sirkuit).

Sedangkan sistem piramidal, dari korteks serebri area 4 melalui jalur-jalur

kortikobulbar dan kortikospinal (lintasan piramidal) menuju Ice "lower motor neuron

(LMN). Untuk mengetahui mekanisme terjadinya gerakan involunter, terlebih dahulu

dijelaskan pengertian perihal jalannya impuls motorik yang digunakan 'untuk

mempersiapkan dan membangkitkan gerakan volunter. Impuls motor dan

ekstrapiramidal sebelum diteruskan kae LMN akan mengalami pengolahan di

berbagai inti ganglia basalis dan korteks serebelum sehingga telah siap sebagai

impuls motorik/pengendali bagi setiap gerakan yang akin diwujudkan impuls motoric

P. Keduanya merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam

membangkitkan setiap gerakan volunter yang sempuma.

Ada 3 jalur sirkuit untuk pengolahan impuls motorik tersebut:

1) Sirkuit pertama

Lingkaran yang disusun oleh jaras jaras penghubung berbagai inti melewati

korteks piramidalis (area 4 ) , area 6, oliva inferior, inti inti pontis, korteks serebelli,

nucleus dentatus, nucleus rubber, nucleus ventrolateralis talami, korteks pyramidalis

& ekstrapiramidalis. Peranan sirkuit ini memberikan FEEDBACK kepada korteks

piramidalis & ekstrapiramidalis yang berasal dari korteks serebellum.

Page 7: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Gangguan feedback lintasan ini timbul :

– Ataksia

– Dismetria

– Tremor sewaktu gerakan volunteer berlangsung.

2). Sirkuit kedua

Menghubungkan korteks area 4S & area 6 dengan korteks motorik

piramidalis & ekstrapiramidalis melalui substansia nigra, globus pallidus, nucleus

ventrolateralis talami. Tujuan pengelolaan impuls piramidalis & ekstrapiramidalis

untuk mengadakan INHIBISI terhadap korteks piramidalis & ekstrapiramidakis, agar

Page 8: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

gerakan volunteer yang bangkit memiliki ketangkasan yang sesuai. Gangguan pada

substansia nigra menimbulkan:

– Tremor sewaktu istrahat

– Gejala-gejala motorik lain

• Sering ditemukan pada sindroma Parkinson

3)Sirkuit ketiga

Merupakan lintasan bagi impuls yang dicetuskan di area 8 & area 4S untuk

diolah secara berturut-turut oleh nucleus kaudatus, globus palidus & nucleus

ventrolateralis talami. Hasil pengolahan ini dengan dicetuskan impuls oleh nucleus

Page 9: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

ventrolateralis talami yang dipancarkannya ke korteks piramidalis &

ekstrapiramidalis (area 6). Impuls terakhir ini melakukan tugas INHIBISI. sebagian

impuls ini disampaikan oleh globus pallidus kepada nucleus Luysii.

Bila area 4S & 6 tidak dikelola oleh impuls tersebut maka timbul gerakan

involunter (gerakan spontan yang tidak dapat dikendalikan) seperti Khorea dan

Atetosis .Keduanya akibat lesi di nucleus kaudatus & globus pallidus. Balismus

akibat lesi di Nukleus Luysii.

Page 10: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

C. JENIS-JENIS GERAKAN INVOLUNTER

1. TICS 1

Tic adalah istilah Prancis yang sesuai dengan standar internasional.

Tic merupakan suatu gerakan otot involunter yang berupa kontraksi otot setempat,

sejenak namun berkal-kali dan kadang kala selalu serupa atau berbentuk majemuk.

Menurut gerakan otot involunter yang timbul, penggolongan ‘tic diberi tambahan

sesuai dengan lokasi kontraksi otot stempat. Dengan demikian dikenal istilah tic

facals, yang mengenai otot-otot wajah, otot orbikularis oris, dan tic orbikularis okuli.

Dalam hal ini, otot yang berkontarksi secara involunter adalah otot orbikularis oris,

orbikularis okuli dan zigomatikus mayor atau otot fasial lainnya.

Penyebab tic belum diketahui, tic merupakan suatu gerakan yang

terkoordinir , berulang dan melibatkan sekelompok otot dalam hubungan yang

sinergistik.

Tics adalah gerakan involunter yang sifatnya berulang, cepat, singkat,

stereotipik, kompulsif dan tak berirama, dapat merupakan baian dari kepribadian

normal.

Page 11: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Gerakan tik ini dibedakan menjadi 3 macam:

a. Tik Fonik

Gerakan otot penggerak pita suara yang mana suara yang diproduksi berubah-

ubah karena pasien berusaha memindahkan udara nafasnya melalui mulut, kadang

sengau karena melewati hidung sehingga gerakan tik ini disebut juga tik verbal.

b. Tik motorik sederhana

Tik ini biasanya terjadi tiba-tiba, singkat, gerakan berarti yang biasanya hanya

melibatkan satu kelompok otot, seperti mata berkedip, kepala menyentak, atau

mengangkat bahu. Selain itu, dapat beragam tak bertujuan dan mungkin termasuk

gerakan-gerakan seperti tangan bertepuk tangan, leher peregangan, gerakan mulut,

kepala, lengan atau kaki tersentak, dan meringis wajah.

c. Tik motorik komplek

Tik motor komplek biasanya lebih terarah-muncul dan yang bersifat lebih

lama. Mereka mungkin melibatkan sekelompok gerakan dan muncul terkoordinasi.

Contohnya menarik-narik baju, menyentuh orang, menyentuh benda-benda,

ekopraksia/gerakan latah dan koprolalia/ngomong jorok.

Page 12: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Tik fonik yang bersifat komplek dapat jatuh ke dalam gerakan tik motor

komplek berbagai seri (kategori), termasuk echolalia (mengulangi kata-kata hanya

diucapkan oleh orang lain), palilalia (mengulangi seseorang kata-kata sebelumnya

diucapkan sendiri), lexilalia (mengulangi kata-kata setelah membaca mereka), dan

coprolalia (ucapan spontan sosial pantas atau tabu kata atau frase).

Tik motor komplek jarang terlihat berdiri sendiri kadang dicetuskan denagn

tik yang sederhana.

Jenis-jenis tics meliputi :

a. Tics sederhana misalnya kedipan mata dan tics fasialis. Biasanya dijumpai pada

anak yang cemas atau pada umur yang lebih tua dan dapat hilang secara spontan.

b. Tics konvolsif atau tics hereditar multipleks (sindrom gilles de la Tourette).

Dijumpai pada anak dengan tics sederhana yang kemudian berkembang

mengalami multipleks. Penderita biasanya mengalami hambatan dalam

pergaulan. Gejalanya antara lain dapat berupa :

Gerakan involunter kompleks :

Tics respiratorik dan vokal

Ekholalia/suka meniru

Suara menggonggong/bersiul

Menggerutu, batuk-batuk

Perubahan kepribadian : suka marah/mengomel

Page 13: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Koprolalia

Diagnosis ditegakkan atas gejala klinik, dan harus dibedakan dengan

mioklonus dan gerakan khorea.

Terapi untuk tics sederhada adalah benzodiazepin. Untuk sindrom gilles de

tourette dapat diberikan :

a. Haloperidol, 0,5-40 mg/hari, merupakan obat pilihan

b. Klonidin, 0,1-0,6 mg/hari

c. Pimozide, 1-20 mg/hari

d. Lorazepam, 0,5-2,5 mg, 3X sehari

2. TREMOR

Tremor adalah sesuatu gerakan osilasi ritmik, agak teratur, berpangkal pada

pusat gerakan tetap dan biasanya dalam suatu bidang tertentu. Tremor meliputi

tremor fiiologik dan patologik. Tremor patologik meliputi resting/static tremor,

ataxic/intention tremor, dan postural/action tremor.

Tremor adalah gerakan osilatorik (repetitif dalam suatu ekuilibrium) ritmis

yang involunter, dihasilkan oleh otot-otot yang kerjanya berlawanan satu sama lain

(resiprokal). Keterlibatan otot agonis dan antagonis membedakan tremor dari klonus

(klonik). Secara umum tremor dibagi menjadi tremor normal (fisiologis) dan tremor

abnormal (patologis).

Page 14: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Tremor fisiologik

Tremor pada jari-jari, tangan dan kaki yang timbul pada waktu seseorang

yang mengalami stres.

Tremor fisiologis merupakan fenomena normal yang dapat terjadi dalam

keadaan terjaga atau selama fase tertentu selama tidur. Frekuensinya berkisar 8-13 Hz

(10 Hz), dan lebih rendah pada orang tua dan anak-anak. Tremor ini dihasilkan oleh

getaran pasif akibat aktivitas mekanik jantung (balistocardiogram). Sifat tremor

sangat halus dan tidak dapat dilihat secara kasat mata. Tremor fisiologis dapat

ditingkatkan oleh kondisi emosi (takut, cemas) dan latihan fisik.

Page 15: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Tremor patologis (secara klinis kadang disebut tremor saja) memiliki ciri:

disebabkan oleh hal-hal yang bersifat patologis, paling sering melibatkan otot-otot

distal ekstremitas (khususnya jari dan telapak tangan), lalu otot-otot proksimal,

kepala, lidah, rahang dan korda vokalis. Frekuensiya 4-7 Hz. Dengan bantuan EMG,

tremor patologis dapat diklasifikasikan berdasarkan kekerapannya, hubungan dengan

postur dan gerakan volunter, pola bacaan EMG pada otot yang bekerja berlawanan,

serta respons terhadap pemberian obat tertentu.

Resting/static tremor

Page 16: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Ditemukan pada sindrom parkinson, dengan frekuensi 6-10 kali per detik,

mengenal sendi pergerakan tangan dan sendi metakarpofalangeal. Tremor ini timbul

pada waktu anggota gerak dalam keadaan istirahat. Dilengkapi dengan gerakan

oposisi telunjuk dan ibujari secara ritmik, gerakan ini disebut pill rolling.

Merupakan tremor kasar dengan frekuensi 3-5 Hz, pada EMG terlihat ledakan

aktifitas yang berganti-gantian (alternating) otot-otot yang bekerja

berlawanan.Tremor pada awalnya hanya mengenai otot-otot distal asimetris. Pada

penyakit Parkinson, tremor mungkin hanya satu-satunya gejala (tanpa disertai

akinesia, rigiditas, dan mask-like facies), walaupun tremor dapat juga muncul

belakangan setelah gejala lainnya. Ciri khas tremor terjadi pada salah satu/kedua

lengan bawah dan sangat jarang pada kaki, rahang, bibir dan lidah, terjadi jika lengan

dalam sikap istirahat (resting tremors) dan menghilang sejenak pada saat pindah

sikap atau lengan ditopang dengan mantap.

Bentuk dari tremor Parkinson ini adalah fleksi-ekstensi, abduksi-adduksi jari

tangan, pronasi-supinasi lengan bawah. Pada kaki terjadi gerakan fleksi-ekstensi

lutut, pada rahang berupa gerakan membuka-menutup, pada kelopak terjadi gerakan

berkedip-kedip dan pada lidah berupa gerakan keluar-masuk.

Ataxic/intention tremor

Tremor ini timbul saat melakukan gerakan, dan tremor akan terjadi secara

maksimal pada saat gerakan tangan mendekati sasarn. Tremor jenis ini akibat

gangguan serebelum.

Page 17: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Tremor Intention merupakan tremor yang timbul ketika pasien melakukan

gerakan aktif, tertuju, dan presisi/fine (misalnya, menyentuh ujung hidung dengan jari

telunjuk). Ciri khas tremor intention adalah tremor semakin jelas pada saat mendekati

target yang dituju. Disebut “ataxic” karena disertai oleh ataxia cerebellar. Tremor

menghilang pada saat tungkai tidak bekerja atau pada saat fase inisiasi memulai

gerakan. Frekuensi 2-4 Hz. Penyebab tremor ini adalah kelainan pada cerebelum (lesi

di nukleus interpositus, nukleus dentatus) dan koneksinya, terutama pada pedunkulus

cerebelar superior.

Postural/acion tremor

Tremor jenis ini timbul pada waktu anggota gerak melakukan gerakan dan

kemudian dipertahankan dalam posisi tertentu.

Tremor Postural dan Aksi (kedua istilah ini sering dipertukarkan) terjadi

ketika tubuh dan ekstremitas dipelihara (dipertahankan) dalam posisi tertentu

terutama untuk menjaga postural dan melawan gravitasi (misal: merentangkan kedua

lengan di depan dada). Karena untuk mempertahankan posisi tersebut dibutuhkan

kerja sejumlah otot ekstensor. Tremor ini dapat muncul pada gerakan aktif dan

meningkat apabila kebutuhan gerakan semakin tinggi. Tremor menghilang apabila

ekstremitas direlaksasi namun muncul kembali bila otot yang bekerja diaktifkan.

Karakteristik tremor postural/aksi yakni adanya ledakan ritmis pada neuron motorik

yang terjadi tidak secara sinkron dan simultan pada otot yang berlawanan, tidak

seimbang dalam hal kekuatan dan periodenya.

Page 18: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Tremor postural/aksi ini terbagi lagi menjadi beberapa tipe:

Tremor fisiologis yang meningkat (enhanced physiological tremor). Frekuensi

sama dengan tremor fisiologis (10 Hz) dengan amplitudo lebih besar. Timbul

apabila dalam keadaan takut, cemas (ansietas), gangguan metabolik

(hipertiroid, hiperkortisol, hipoglikemik), feokromositoma, latihan fisik

berlebih, penarikan alkohol/sedatif lainnya, efek toksik lithium, asam

nikotinat, xantin (kopi, teh, aminofilin, cola), dan kortikosteroid. Bersifat

transien dan dapat dipicul oleh injeksi epinefrin atau obat β-adrenergik

(isoproterenol). Diduga akibat aktifitas reseptor β-adrenergik tremorgenik

Tremor pada alkoholik. Tremor ini terjadi pada penarikan alkohol dan obat

sedatif (benzodiazepin, barbiturat) setelah penggunaan yg cukup lama.

Tremor esensial/familial. Ini adalah tremor tersering, frekuensi 4-8 Hz dengan

amplitudo bervariasi dan tidak berhubungan dengan masalah neurologis

(“esensial”).  Tremor ini  sering muncul pada anggota keluarga tertentu,

mengisyaratkan adanya karakteristik ”familial”. Muncul pada usia akhir

dekade kedua (walaupun juga dapat muncul sejak anak-anak). Seiring

bertambahnya usia, frekuensi tremor berkurang namun amplitudo meningkat.

Tremor terjadi pada lengan secara simetris, kepala, dan (jarang) rahang, bibir,

lidah dan laring. Seperti yang lainnya, tremor ini dipengaruhi oleh emosi,

aktifitas fisik dan kelelahan. Penyebab tremor esensial belum diketahui,

diduga cerebelum berperan melalui jaras kortiko-talamo-cerebellar.

Page 19: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Tremor polineuropatik, tremor ini terjadi pada pasien dengan kelainan

demielinisasi dan polineuropati paraproteinemik.  Karakteristik berupa tremor

esensial kasar dan memburuk jika pasien diminta memegang dengan jarinya.

Namun tidak seperti tremor organik lainnya, tremor ini berkurang jika

diberikan beban pada ekstremitas yang terkena.

Tremor Palatal merupakan merupakan gerakan involunter, cepat dan ritmis

daripada palatum mole. Ada dua jenis tremor palatal: tremor palatal essensial

dan tremor palatal simtomatis. Pada tremor palatal essensial terjadi aktivasi

dari m. Tensor veli palatini tanpa ada penyebab patologis, menimbulkan

bunyi  klik dan berkurang pada saat tidur. Sedangkan tremor palatal

simtomatis melibatkan m. Levator veli palatini dan terdapat lesi batang otak

yang mempengaruhi jaras dentata-olivari. Frekuensi: 26-420 kali permenit

(tremor essensial) dan 107-164 kali permenit (tremor simtomatis).

Page 20: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Tremor histerikal, terjadi pada pasien dengan gangguan histeria. Selain tremor

gejala lainnya: rasa berat di tungkai, kram, sulit bernapas, palpitasi, rasa

tercekik, berteriak seperti “kesakitan”, penurunan kesadaran, dll. Penyebabnya

adalah stress.

3. MIOKLONUS

Merupakan aktivasi sekelompok otot yang menyebabkan gerak singkat,

eksplosif seperti “tersengat listrik”, sering mengenai seluruh ekstremitas. Sentakan

Page 21: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

mioklonus sekali terjadi bisa mengenai seluruh otot, seperti yang sering terjadi ketika

kita mulai tertidur. Mioklonus juga bisa terbatas pada satu tangan, sekumpulan otot di

lengan bagian atas atau tungkai atau bahkan pada sekelompok otot wajah.

Penyebabnya banyak sekali seperti dari penyakit vascular, obat-obatan dan

ganguan metabolic, dan penyakit neurodegenerative seperti enselopati spongioform.

Mioklonus adalah kontraksi suatu otot atau sekelompok otot yang tidak

disadari dan bersifat mendadak, mengakibatkan gerakan yang dapat dilihat pada

tempat/sendi yang bersangkutan.

Gerakan otot ini biasanya tak berirama, tidak sinkron, multipleks, spontan

atau dengan rangsang sensorik, dan kadang-kadang dapat bersifat ritmik.

Gerakan abnormal yang timbul pada mioklonus adalah akibat lesi atau

kelainan susunan saraf pusat (SSP), sedangkan gerakan-gerakan abnormal yang

timbul akibat lesi perifer tidak termasuk dalam mioklonus.

Mioklonus bisa timbul akibat kelainan pada SSP oleh karena gangguan

metabolik, lesi fokal atau gangguan struktur SSP, dan familial.

Jenis-jenis mioklonus

1. Berdasarkan penyebab

a. Mioklonus idiopatik (kausa tidak diketahui)

Page 22: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Mioklonus esesnsial herediter

Mioklonus nokturnal

b. Mioklonus simptomatik

Kelainan difus pada serebrum dan serebelum

Kelainan fokal terutama di batang otak.

2. Berdasarkan gambaran klinik

a. Mioklonus epileptik

b. Ramsay hut

c. Mioklonus palatal

d. Mioklonus pascahipoksia (sindrom lance-adam)

Mioklonus esensial herediter atau paramioklonus multipleks adalah mioklonus

yang timbul dalam satu keluarga dan diwariskan secara autosomal dominan. Biasanya

tidak progresif bila tidak ada kelainan neurologik lainnya. Sementara itu mioklonus

nokturnal timbul pada malam hari, tidak progresif, benigna, tidak dijumpai kelainan

neurologik dan bersifat familiar.

Mioklonus simptomatik dapat dilatarbelakangi oleh kelainan otak atau

serebelum yang bersifat difus (ensefalopati metabolik, hipoksia, toksik, infeksi virus)

ataupun bersifat lokal (GPDO, demielinisasi, tumor).

Mioklonus epileptik termasuk mioklonus simtomatik. Munculnya mioklonus

disertai bangkitan epilepsi. Sementara itu, mioklonus ramsay hunt yang disebut pula

sebagai mioklonus serebelaris disinergi juga termasuk mioklonus simtomatik.

Page 23: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Mioklonus ini bersifat progresif, lambat dan akhirnya disertai dengan mioklonus yang

bersifat intensional. Mikolonus ramsay hunt terjadi secara sporadik, familiar, dan

diwariskan secara autosomal baik dominan maupun resesif. Sindrom ini termasuk

ensefalopati.

Mioklonus palatal merupakan contontoh klasik mioklonus fokal, terbatas pada

otot-otot spesifik dan disebabkan oleh lesi di batang otak yang bersifat fokal dan

berbatas tegas. Pada mioklonus ini terjadi kontraksi palatum berkecepatan tinggi dan

ritmik, unilateral atau bilateral, menetap, muncul pada waktu tidur, disertai dengan

otot-otot tengkuk, laring, diagrafma dan ekstremitas. Faktor yang mendasarinya

antara lain gangguan vaskuler/infark, tumor, atau dimielinisasi pada segitiga yang

dibentuk oleh nukleus ruber, oliva inferior dan nukleus dentatus. Segitiga tersebut

dikenal sebagai segitiga Guillain dan Mollaret.

Mioklonus pasca hipoksia ditandai dengan gerakan mioklonik yang menonjol

dan sangat mudah ditimbulkan dengan meminta penderita untuk mempertahankan

ekstremitas yang terkena dalam posisi tertentu, atau dengan meminta penderita

melakukan gerakan volunter. Inilah yang dikenal dengan mioklonus intensional.

Disamping itu juga ditemukan ataksia serebelar dan disartri; jarang ditemukan adanya

kejang umum. Sindrom ini biasanya ditemukan pada hipoksi umum yang berat dan

berlangsung lama misalnya pada obstruksi jalan napas bagian atas, hipotensi berat,

dan pada kardiak pulmonery arrest.

Page 24: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Terapi mioklonus didasarkan atas dugaan adanya defisiensi serotonergik

sentral. Obat-obat yang dpat diberikan antara lain :

a. Karbidopa, berefek menurunkan metabolisme prekursor serotonin di perifer,

sehingga meningkatkan penetrasinya ke SSP. Hal ini dapat meningkatkan

kadar serotinin sentral.

b. Prekursor serotonin (5-hidroksi triptofan = 5 HTP) dapat meningkatkan kadar

serotonin sentral.

4. Khorea

Kata khorea berasal dari Yunani yang berarti menari Chorea adalah gerakan di

luar kesadaran yang cepat, menyentak, pendek dan berulang-ulang yang dimulai satu

bagian tubuh dan bergerak dengan tiba-tiba, tak terduga, dan seringkali secara terus-

menerus sampai bagian tubuh lainnya.

Khorea biasanya melibatkan tangan, kaki, dan muka. Gerakan menyentak

kelihatannya mengalir dari satu otot ke otot berikutnya dan mungkin kelihatannya

seperti menari. Gerak-gerik mungkin bergabung secara tak terlihat ke dalam

perbuatan dengan tujuan atau semi-tujuan, kadang-kadang membuat chorea sukar

untuk dikenali.

Penyebabnya antara lain: penyakit Huntington, koera Sydenham (komplikasi demam

reumatik), SLE, pil kontrasepsi oral, hiperviskositas, tirotoksis=kosis,dan sindrom

antifosfolipid. Korea kadang terjadi pada usia lanjut tanpa alasan yang jelas dan

Page 25: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

terutama mengenai otot di dalam dan di sekitar mulut. Khorea ini juga bisa

menyerang wanita hamil pada 3 bulan pertama kehamilannya, tetapi akan menghilang

tanpa pengobatan segera setelah persalinan.

Dalam klinik dibedakan 3 jenis gerakan koreatik :

Khorea Sydenham

Sering disebut korea Sydenham, St Vitus dance atau korea akuisita.

Patogenesisnya masih belum jelas, diduga berhubungan dengan infeksi reuma sebab

75% kasus menunjukkan riwayat demam rematik. Sangat mungkin reaksi antigen-

antibodi pasca infeksi streptokok betahemolitikus grup A yang berperan. Selain pada

demam rematik, korea ini dapat juga bermanifestasi pada ensefalitis/ensefalopati dan

intoksikasi obat. Kira-kira 80% kasus terdapat pada usia 5—15 tahun, perempuan:

lelaki = 2—3 : 1. Gejala klinik berupa gerakan-gerakan koreatik pada tangan/lengan

menyerupai gerakan tangan seorang penari/pemain piano, adakalanya pada

kaki/tungkai dan muka. Perjalanan penyakit bervariasi, dapat sembuh spontan dalam

2—3 bulan tetapi dapat pula sampai setahun. Tidak ada pengobatan khusus selain

sedativa.

Gangguan Sydenham disebabkan oleh gangguan imunologik sehubungan

dengan infeksi streptokokus atau demam reumatik. Pada infeksi ini ditemukan

vaskulitis di seluruh jaringan otak. Umur penderita berkisar antara 5-15 tahun; wanita

lebih banyak menderita penyakit tersebut daripada laki-laki.

Page 26: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Gejal-gejal berupa gerakan involunter yang cepat dan tidak teratur arahnya,

pada lengan dan tangan; sementara itu tonus otot menurun (hipotoni) dan refleks

patela menunjukkan gerakan pendular.

Diagnosis didasarkan pada gambaran klinik, ditunjang oleh pemeriksaan

darah (laju endap darah meninggi dan kadar anti streptolisin O meninggi) dan EKG

yng menunjukkan gambaran karditis reumatik.

Khorea dapat diatasi dengan pemberian haloperidol; dapat pula

dipertimbangkan pemberian klorpromazina atau valproat. Untuk infeksinya diberikan

penisilin dosis tinggi.

Khorea Huntington

Merupakan salah satu gejala klinik penyakit Huntington. Penyakit ini

bersifat herediter yang diturunkan secara autosom dominan, akibat degenerasi ganglia

basalis terutama pada inti kaudatus yang bersifat menahun progresif. Lebih sering

pada orang dewasa di atas umur 30 tahun, sangat jarang pada anak. Sekitar 1—5%

terdapat pada anak di atas umur 3 tahun (juvenile type). Pada tipe juvenilis, 75%

dengan riwayat keluarga positif yakni ayahnya. Manisfestasi klinik lain berupa

kekakuan, bradikinesi, kejang dan retardasi intelektual. Tidak ada pengobatan khusus.

Prognosis jelek. kematian biasanya terjadi 3—10 tahun sesudah timbul gejala klinik.

Khorea jenis ini diwariskan secara autosomal dominan. Neuron-neuron

menghilang dan terjadi gliosis di globus palidus dan talamus; sementara itu serebelum

Page 27: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

mengalami atrofi. Terdapat kelebihan aktivitas sistem dopaminergik dan

berkurangnya enzim yang berhubungan dengan pembentukan asetilkolin dan GABA.

Tanda-tanda klinik meliputi demensia, gerakan khorea-atetosis dan hipotoni

pada kedua sisi ekstremitas. Keadaan seperti ini perlu dibedakan dengan kercunan

mercuri, khorea Sydenham, tirotoksikosis, dan khorea sinilis.

Terapi ditujukan untuk mengurangi dopamin atau yang menghambat

reseptornya. Obat-obat yang sering dipakai ialah haloperidol dengan dosis 4 x (1-4)

mg, klorpromazina dengan dosis 3 x 50 mg. dapat pula diberikan propanolol maupun

dantrolen.

5. Atetosis

Atetosis berasal dari Yunani yang berarti berubah. Pada atetose gerakan lebih

lambat dan melibatkan otot bagian distal, namun cenderung menyebar ke proksimal.

Atetosis banyak dijumpai pada penyakit yang melibatkan ganglia basal. Athetosis

adalah aliran gerakan yang lambat, mengalir, menggeliat di luar kesadaran. Biasanya

pada kaki dan tangan.

Khorea dan atetosis bisa terjadi secara bersamaan, dan disebut koreoatetosis.

Korea dan atetosis bukan merupakan penyakit, tetapi merupakan gejala yang bisa

terjadi pada beberapa penyakit yang berbeda.

Seseorang yang mengalami korea dan atetosis memiliki kelainan pada ganglia

Page 28: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

basalisnya di otak. Penyakit yang seringkali menyebabkan korea dan atetosis adalah

penyakit Huntington.

Gerakan atetotik ditemukan pada beberapa penyakit:

1) Kelumpuhan otak (cerebral palsy)

Biasanya dijumpai pada anak terutama bayi baru lahir akibat kerusakan otak

non-progresif yang terjadi intrauterin,waktu lahir atau segera sesudah lahir.

Kelumpuhan otak yang disertai gerakan atetotik/koreo-atetotik termasuk kelumpuhan

otak tipe subkortikal, akibat lesi pada komponen ganglia basalis. Tipe ini meliputi 5

—15% kasus kelumpuhan otak.

Terdapat 2 faktor perinatal sebagai penyebab utama kelumpuhan otak tipe subkortikal

ialah hiperbilirubinemia (kern ikterus) dan asfiksi berat.

Gejala klinik biasanya baru tampak sesudah umur 18 bulan. Dapat ditemukan

gerakan atetotik, koreo-atetotik maupun jenis GI fainnya bergantung pada lokasi

kerusakan. Pengobatan hanya simtomatik dan suportif.

2) Sindrom Lesch-Nyhan

Kelainan ini sangat jarang dijumpai,ditandai oleh gerakan koreoatetotik

bilateral, retardasi mental, mutilasi diri dan hiperurikemia. Etiologi belum diketahui;

dihubungkan dengan defisiensi ensim hipoksantin-guanin fosforibosil transferase

pada eritrosit, fibroblast dan ganglia basalis. Merupakan penyakit herediter yang

Page 29: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

diturunkan secara sex-linked resesif_pada kromosom X sehingga hanya terdapat pada

anak lelaki.

Gerakan atetotik mulai timbul pada umur 6—8 bulan, kemudian diikuti

gerakan koreo-atetotik dan pada usia di atas 2 tahun sudah dapat ditemukan sindrom

yang lengkap. Pengobatan dengan alopurinol 8 mg/kgBB sehari dalam tiga kali

pemberian. Prognosis jelek.

3) Penyakit Hallervorden-Spatz

Kelainan degeneratif pada substansi nigra dan globus palidus yang herediter

dan diturunkan secara autosom resesif. Etiologi tidak diketahui, diduga ada hubungan

dengan deposisi pigmen yang mengandung zat besi pada kedua daerah tersebut.

Namun tidak jelas adanya gangguan metabolisme zat besi yang menyertainya.

Penyakit ini jarang dijumpai.

Gejala klinik biasanya manifes pada umur 8-10 tahun berupa gerakan atetotik,

kekakuan pada lengan/tungkai dan retardasi mental yang progresif. Kadang-kadang

timbul kejang. Perjalanan penyakit lambat progresif. Tidak ada pengobatan,

prognosis jelek, biasanya meninggal dalam 5-20 tahun.

Atetosis ini disebabkan oleh anoksi pada waktu lahir. Terjadi dimielinisasi

pada putamen dan kadang-kadang pada globus palidus.

Page 30: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Manifestasi klinik berupa gerakan involunter yang lambat dan melilit-lilit,

terutama pada lengan bagian distal. Kelainan ini dapat diatasi dengan pemberian

haloperidol maupun diazepam.

6. DISKINESIA TARDIF

Diskinesia sendiri ialah pergerakan yang tidak disadari. Tardif ialah efek dari

pemakaian obat. Sehingga diskinesia tardif adalah gerakan berulang- ulang dan tidak

disadari yang merupakan efek samping jangka panjang dari obat antipsikotik

khususnya pada orang sakit jiwa.

Gambaran klinis diskinesia tardif yaitu berulang-ulang, involunter dan

gerakan yang tidak ada tujuannya. Selain menyeringai, menjulur-julurkani lidah,

bergetar, melipat dan mengerutkan bibir serta mengedipkan mata secara cepat.

Pergerakan cepat dari ekstremitras dan jari-jari juga muncul pada beberapa penderita.

Hal yang membedakannya dengan parkonson disease ialah pergerakan dari

ekstremitasnya. Pada parkinson disease, pasien kesulitan untuk bergerak tetapi pada

pasien diskinesia tardif tidak ada kesulitan untuk bergerak.

Mekanisme diskinesia tardif karena proses antagonisme dopamin di jalur

antara lokasi substansia nigra dan korpus striatum. Terutama kalau yang terkena

proses antagonisasi dopaminpada reseptor D2 menyebabkan efek lepas obat dan

menimbulkan gerakan ini.

Page 31: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Pedoman dibuktikan berbasis dari American Academy of Neurology

merekomendasikan penggunaan clonazepam dan ginkgo biloba untuk TD. Fukasawa

et al melaporkan bahwa clonazepam berhasil mengurangi gejala TD dan dyskinesia

lisan spontan

7. Hemibalismus

Hemiballismus ialah sejenis chorea, biasanya menyebabkan gerakan

melempar satu lengan di luar kemauan dengan keras. Hemiballismus mempengaruhi

satu sisi badan. Lengan terkena lebih sering daripada kaki. Biasanya disebabkan oleh

stroke yang mempengaruhi bidang kecil tepat di bawah basal ganglia yang disebut

nukleus subthalamic. Hemiballismus untuk sementara mungkin melumpuhkan karena

ketika penderita mencoba menggerakkan anggota badan, mungkin melayang secara

tak terkendali.

Hemibalismus disebabkan oleh beberapa macam proses patologik antara lain

gangguan vaskuler, infeksi, trauma, dan tumor. Kelainan di otak berupa destruksi

nukleus subtalamik.

Gambaran klinik meliputi gerakan involunter berupa gerakan spontan

melempar bola. Gerakan ini melibatkan otot-otot proksimal dan dapat menguras

tenaga penderita.

Terapi pilihan adalah haloperidol dan diazepam. Dosis disesuaikan dengan

kemajuan klinik yang ada.

Page 32: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

8. Distonia

Distonia adalah kelainan gerakan dimana kontraksi otot yang terus menerus

menyebabkan gerakan berputar dan berulang atau menyebabkan sikap tubuh yang

abnormal. Gerakan tersebut tidak disadari dan kadang menimbulkan nyeri, bisa

mengenai satu otot, sekelompok otot (misalnya otot lengan, tungkai atau leher) atau

seluruh tubuh. Pada beberapa penderita, gejala distonia muncul pada masa kanak-

kanak (5-16 tahun), biasanya mengenai kaki atau tangan.

Beberapa penderita lainnya baru menunjukkan gejala pada akhir masa remaja atau

pada awal masa dewasa.

Gejala awal adalah kemunduran dalam menulis (setelah menulis beberapa

baris kalima), kram kaki dan kecenderunagn tertariknya satu kaki keatas atau

kecenderungan menyeret kaki setelah berjalan atau berlari pada jarak tertentu.

Leher berputar atau tertarik diluar kesadaran penderita, terutama ketika

penderita merasa lelah. Gejala lainnya adalah tremor dan kesulitan berbicara atau

mengeluarkan suara. Gejala awalnya bisa sangat ringan dan baru dirasakan hanya

setelah olah raga berat, stres atau karena lelah. Lama-lama gejalanya menjadi

semakin jelas dan menyebar serta tak tertahankan.

Berdasarkan bagian tubuh yang terkena:

Distonia generalisata, mengenai sebagian besar atau seluruh tubuh

Distonia fokal, terbatas pada bagian tubuh tertentu

Page 33: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Distonia multifokal, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang tidak berhubungan.

Distonia segmental, mengenai 2 atau lebih bagian tubuh yang berdekatan.

Hemidistonia, melibatkan lengan dan tungkai pada sisi tubuh yang sama,

seringkali merupakan akibat dari stroke.

Beberapa pola distonia memiliki gejala yang khas:

Distonia torsi, sebelumnya dikenal sebagai dystonia musculorum deformans atau

DMD. Merupakan distonia generalisata yang jarang terjadi dan bisa diturunkan,

biasanya berawal pada masa kanak-kanak dan bertambah buruk secara progresif.

Penderita bisa mengalami cacat yang serius dan harus duduk dalam kursi roda.

Tortikolis spasmodik atau tortikolis merupakan distonia fokal yang paling sering

ditemukan. Menyerang otot-otot di leher yang mengendalikan posisi kepala,

sehingga kepala berputar dan berpaling ke satu sisi. Selain itu, kepala bisa

tertarik ke depan atau ke belakang.

Tortikolis bisa terjadi pada usia berapapun, meskipun sebagian besar penderita

pertama kali mengalami gejalanya pada usia pertengahan. Seringkali mulai

secara perlahan dan biasanya akan mencapai puncaknya.

Sekitar 10-20% penderita mengalami remisi (periode bebas gejala) spontan,

tetapi tidak berlangsung lama.

Blefarospasme merupakan penutupan kelopak mata yang tidak disadari.

Gejala awalnya bisa berupa hilangnya pengendalian terhadap pengedipan mata.

Pada awalnya hanya menyerang satu mata, tetapi akhirnya kedua mata biasanya

Page 34: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

terkena. Kejang menyebabkan kelopak mata menutup total sehingga terjadi

kebutaan fungsional, meskipun mata dan penglihatannya normal.

Distonia kranial merupakan distonia yang mengenai otot-otot kepala, wajah dan

leher.

Distonia oromandibuler menyerang otot-otot rahang, bibir dan lidah.

Rahang bisa terbuka atau tertutup dan penderita mengalami kesulitan berbicara

dan menelan.

Disfonia spasmodik melibatkanotot tenggorokan yang mengendalikan proses

berbicara. Juga disebut disfonia spastik atau distonia laringeal, yang

menyebabkan kesulitan dalam berbicara atau bernafas.

Sindroma Meige adalah gabungan dari blefarospasme dan distonia

oromandibuler, kadang-kadang dengan disfonia spasmodik. Kram penulis merupakan

distonia yang menyerang otot tangan dan kadang lengan bawah bagian depan, hanya

terjadi selama tangan digunakan untuk menulis. Distonia yang sama juga disebut

kram pemain piano dan kram musisi. Distonia dopa-responsif merupakan distonia

yang berhasil diatasi dengan obat-obatan. Salah satu variannya yang penting adalah

distonia Segawa. Mulai timbul pada masa kanak-kanak atau remaja, berupa kesulitan

dalam berjalan. Pada distonia Segawa, gejalanya turun-naik sepanjang hari, mulai

dari kemampuan gerak di pagi hari menjadi ketidakmampuan di sore dan malam hari,

juga setelah melakukan aktivitas.

Page 35: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Distonia, seperti juga gerakan involunter lainnya, sering ditemukan pada

berbagai penyakit, baik yang umum dan sistemik maupun yang terbatas pada sistem

saraf, dan dapat membantu mengidentifikasi penyakit yang mendasarinya. Semakin

disadari bahwa kebanyakan gerakan involunter mempunyai dasar organik dan

penjelasan psikogenik harus dipertimbangkan dengan hati-hati.

Distonia adalah dipertahankannya suatu sikap abnormal yang berkepanjangan

oleh karena kontraksi tonik satu atau sekelompok otot yang bersifat involunter, yang

disebabkan oleh lesi diberbagai tingkat di dalam sistem ekstrapiramidalis dan

mungkin juga pada korteks serebri.

Biasanya yang terkena adalah otot-otot aksial dan pergelangan bahu. Bila

spasme berulang-ulang maka terjadi pergerakan distonik dan bila berkepanjangan

maka sikap distonik dipertahankan. Distonia tipe umum (lebih sering dijumpai:

distonia idiopatik dan simptomatik) dan distonia tipe segmental.

Distonia idiopatik disebabkan secara autosomal resesif atau autosomal

dominan. Termasuk dalam jenis ini adalah distonia muskulorum deformans.

Sementara itu distonia simtomatik biasanya didasari oleh berbagai penyakit

neurologik, sebagai akibat dari kerusakan otak atau pengaruh obat-obatan. Distonia

tipe segmental terdiri dari gangguan-gangguan seperti tortikolis, retrokolis,

blefarospasmus, distonia fasial (Meige’s dystonial), dan kejang pada penulis (writer’s

cramp). Distonia yang nampak secara khas adalah distonia muskulorum deformans

dan tortikolis spasmodik.

Page 36: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

8a. Distonia muskulorum deformans

Distonia muskulorum deformans atau distonia torsi adalah suatu sindrom

dengan ciri-ciri: gerakan yang berlangsung lambatdan berkepanjangan dan biasanya

otot-otot somatik memutar dengan kuat. Gerakan involunter ini dapat melibatkan

hampir semua muskulatur namun dengan predileksi pada otot-otot aksial.

Patologi distonia ini berupa hilangnya neuron di putamen, nukleus kaudatus,

nukleus dentatus, substansia nigra dan talamus. Diduga ada kelainan biokimia yang

melibatkan sistem nigrostriatal dopaminergik sentral.

Penyakit jarang ditemukan, insidensi kedua jenis kelamin sama. Biasanya

gejala pertama timbul antara umur 5-15 tahun, jarang pada dekade ketiga dan

keempat. Ada variasi gambaran klinik, dalam bentuk distonia progresif familial dan

distonia paroksismal familial.

Gejala-gejala bergantung pada kelompok otot yang dikenal, misalnya :

Terlibatnya otot lengan atas/pergelangan bahu, dapat menimbulkan gerakan

ekstensi meliuk dan hiperpronasi lengan dan fleksi pergelangan tangan dan

ekstensi jari-jari. Spasme mula-mula intermitten, berangsur-angsur timbul

lebih sering dan akhirnya kontinu dan mengganggu aktivitas penderita.

Otot-otot punggung khususnya bagian lumbal atau panggul sehingga tubuh

meliuk secara aneh.

Page 37: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Manifestasi lain dapat berupa blefarospasmus, tortikolis, dan sentakan-

sentakan mioklonik pada waktu terjadi gerakan volunter.

Kegelisahan dapat memperberat keadaan.

Intelegensia seringkali superior, atau kadang-kadang ada gangguan mental.

Spasme yang berlebihan menimbulkan rasa nyeri, dan distonia menghilang

pada waktu tidur.

Diagnosis distona muskulorum deformans ditegakkan atas dasar gejala klinik dan

tidak ada riwayat degenerasi hepatolentikular atau ensefalitis epidemika.

Berbagai macam obat dapat digunakan untuk mengatasi distonia muskulorum

deformans. Levodopa ternyata efektif pada stadium awal. Obat-obat yang dapat

digunakan antara lain :

a. Antikolinergik, misalnya triheksifinidil 10-30 mg/hari

b. Antikonvulsan, misalnya karbamazepin 200-400 mg/hari

c. Agonis dopamin, misalnya bromokriptin, klonazepam

d. Penekan dopamin, misalnya haloperidol dan reserpin

e. Penghambat reseptor dopamin, misalnya tetrabenazin

f. Obat-obat lain : baklofen, amantadin, antidepresan, litium

8b. Tortikolis spasmodik

Tortikolis spasmodik adalah kontraksi otot-otot kuduk yang bersifat

involunter dan intermitten, yang menyebabkan deviasi depala ke satu sisi secara

episodik dan tonik yang disebut laterokolis. Apabila terjadi gangguan bilateral maka

Page 38: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

akan timbul retrokolis atau anterokolis. Tortikolis merupakan sindrom dari suatu

diagnosis etiologik.

Patogenesis tortikolis spasmodik belum diketahui belum jelas, diduga ada

kelainan di nukleus kaudatus, putamen, dan globus palidus.

Tortikolis spasmodik dapat dijumpai pada semua umur, awitan biasanya pada

dekade ketiga sampai keenam dan lebih sering pada pria, awitan biasanya berangsur-

angsur, namun demikian dapat terjadi secara mendadak.

Kontraksi intermitten otot kuduk menyebabkan rotasi kepala ke satu sisi dan

dapat disertai oleh gerakanbn kepala secara intermitten dengan sentakan-sentakan

mioklonik atau ritmik. Muskulus sternokleidomastoideus paling sering terkena

gangguan ini. Emosi dan rangsang luar dapat memperberat keadaan. Pada waktu tidur

kontraksi involunter dapat menghilang.

Diagnosis tortikalis spasmodik dibuat atas dasar gejala klinik. Diagnosis

banding meliputi fibrosis/hematom di dalam otot sternokleidomastoideus, miositis

lokal, limfadenitis servikal, kelainan tulang belakang servikal, dan tortikolis histerik.

Tak ada terapi medikamentosa yang adekuat, hampir selalu intractable.

Pada kasus refrakter yang berat dapat dianjurkan dengan operasi stereotaksis.

Obata-obat yang dapat diberikan, dengan hasil yang belum pasti, adalah sebagai

berikut:

Page 39: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Suntikan lokal toksin botulinum (botox) yang menyekat neuromuscular

junctions

Diazepam 10-40 mg/hari, pada kasus ringan

Amantadin 300 mg sehari, haloperidol, bromokriptin, pada kasus lebih berat.

9. Sindrom ekstrapiramidal terinduksi obat

Drug-induced extrapyramidal syndrome sering kali dijumpai di klinik. Obat

yang dapat mengakibatkan sindrom ekstrapiramidal antara lain :

a. Obat-obat antipsikosis, misalnya fenotiasin, butirofenon, yang secara primer

berkhasiat sebagai dopamin receptor blockers dan hal ini dapat menimbulkan

sindrom ekstrapiramidal terinduksi obat.

b. Obat-obat anti muntah, misalnya prokhlorperazina, metoklopramide, dan

sebagian obat antipsikosis.

c. Obat-obat katekolamin, analog dengan depleting drugs, misalnya metildopa,

tetrabenazin dan reserpin, dapat pula menimbulkan gerakan-gerakan

ekstrapiramidal.

d. Pengobatan lama dengan L-DOPA, pada beberapa kasus/kelompok penderita

dapat menimbulkan sindrom ekstrapiramidal terutama diskinesia.

Gerakan abnormal dapat berupa diskinesia idiosinkratik akut, distonia,

parkinsonisme, akatisia, atau diskinesia tardif. Gejala timbul pada hari pertama

Page 40: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

pengobatan dengan neuroleptik. Diskinesia merupakan gerakan involunter yang

sifatnya cepat, singkat, dapat berupa khorea, atetosis atau balisme.

Diskinesia dan distonia akut dapat diatasi dengan menghentikan pengobatan dan

pemberian antikholinergik parenteral misalnya benztropin (cogentin) 1 mg im/iv dan

difenhidramin (benadryl) 50 mg iv, kemudian dilanjutkan dengan pengobatan oral 48

jam berikutnya.

Perlu diketui bahwa pengobatan antihistaminika oral dapat pula menimbulkan

reaksi distonia.

Parkinsonisme dicirikan oleh adanya akinesia, rigiditas, dan tremor (3-5 siklus

perdetik). Parkinsonisme dapat timbul antara beberapa hari 4 minggu setelah

pengobatan dimulai. Keadaan ini dapat berlangsung sampai beberapa bulan walaupun

pengobatan dengan neuroleptikatelah dihentikan.

Terapi parkinsonisme meliputi menghentikan/mengurangi dosis obat

antipsikosis dan pemberian antikolinergik misalnya benztropin (cogentin) 2 x (0,5-4,9

mg), biperin (akineton) 3 x (1,0-2,0 mg), dan triheksifenidil (artane) 3 x (1,0-5,0) mg.

Pengobatan dengan antikolinergik ditujukan untuk menekan secara parsial efek

obat antipsikosis. Obat ini tidak perlu diberikan pada semua penderita dan jarang

diperlukan lebih dari tiga bulan. Tidak ada indikasi untuk profilaksis dengan obat

kolinergik pada pemakaian obat antipsokosis.

Page 41: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Akatisia memberi gambaran sebagai berikut; penderita tidak dapat duduk tenang,

biasanya terjadi pada 20% penderita yang mendapat pengobatan antipsikosis, timbul

beberapa hari pertama setelah pengobatan dimulai, dan kausa belum diketahui.

Pengobatan akitisia dengan cara menghentikan pengobatan antipsikosis atau

memberi dosis antripsikosis serendah mungkin, hindari pemakaian dosis tinggi.

Antikolinergik hanya efektif sebagian. Pengobatan lain yang bisa meringankan gejala

adalah dengan memberi benzodiazepin, antagonis alfa, klonidin atau amantadin.

Diskenisa tardif biasanya muncul setelah pengobatan neuroleptik yang

berlangsung lebih dari satu tahun. Prevalensi lebih dari 20% dari penderita yang

mendapat pengobatan, biasa pada umur tua dan terutama pada wanita, timbul lebih

sering pada penderita yang meberi reaksi manifestasi akut terhadap neuroleptik dan

yang mempunyai gangguan afektif.

Gejala diskinesia tardif adalah : timbul gerakan involunter, biasanya terbatas

pada daerah kepala dan leher, dapat berupa gerakan-gerakan mengecap (chewing),

gerakan-gerakan mengeluarkan lidah (tongue thrusting), disamping itu bsa juga

berupa khorea wajah dan anggota gerak, atetosis, distonia dan akatisia, dan jarang

mengenai otot-otot pernapasan.

Prinsip pengobatan diskinesia tardif berdasarkan pada stimulasi mekanisme

kolinergik, menghambat aktivitas dopaminergik, dan obat yang aktif dalam sistem

GABA, yang mempunyai proyeksi striatonigral.

Page 42: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

Dengan meninggikan dosis antipsikosis, dimana dopamin receptor blokade

ditingkatkan, gerakan involunter pada diskinesia tardif bisa diatasi dengan namun

hanya berlangsung sementara. Pemakaian obat-obat kolinergik sebaiknya dipakai

secara terbatas/hati-hati oleh karena dapat menimbulkan eksaserbasi akut. Dianjurkan

dosis serendah mungkin pada pemakaian obat neuroleptik/antipsikosis.

Gejala drug withdrawal pada diskinesia bisa berfluktuasi, bisa berlangsung

selama berbulan-bulan/tahunan, dan 50% reversibel dalam 5 tahun, dan bisa pula

tidak ada perbaikan.

Pengobatan diskinesia ternyata sulit dan banyak obat yang telah dicoba namun

tidak memberikan hasil yang memuaskan. Anjuran dengan drug holiday dalam

pengobatan neuroleptik tak banyak gunanya dalam mencegah diskinesia bahkan dapat

beresiko tinggi.

Obat-obat yang dapat diberikan pada diskinesia tardif antara lain :

a. Tetrabenazina : menekan persediaan monoamin biogenik sentral dimulai dengan

1 tab/hari (1 tab = 25 mg) dan dosis dapat ditingkatkan sampai 200 mg/hari. Efek

sampingnya : parkinsonisme, pusing dan depresi.

b. Reserpin : menekan persediaan monoamin biogenik sentral, terapi dimulai

dengan 0,25 mg/hari – 2-4 mg/hari. Efek samping : hipotensi ortostatik.

c. Obat lain : asam valproat, diazepam, antagonis alfa, klonidin, dan

karbidopa/L.Dopa.

Page 43: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan dokter spesialis saraf indonesia, Buku Ajar NEUROLOGI KLINIS,

Cetakan kelima : April 2011, penerbit : Gajdjah mada university press.

2. Fahmi. Chorea, Athetosis, dan Hemiballismus. Universitas negeri malang; 2005.

http://forum.um.ac.id/index.php?topic=6054.0

3. Grace et Borley. Surgery at Glance Third Edition. Erlangga. 2006

4. Houston H, Rowland L, Rowland R. Merrit’s Neurology. 10th ed. US: LWW;

2000.

5. Isselbacher dkk. Harison Prinsip-prinsip umum Ilmu penyakit dalam.Volume 1.

Edisi 13. EGC: 1999.

6. Muttaqin, A. hal 62-63,”Pengantar Asuhan keperawatan Klien dengan gangguan

system persarafan. Salemba medika

7. Prof.DR.dr.S.M.Lumbantobing.Neuorologi Klinik,Pemeriksaan Fisik dan

Mental.Jakarta : FKUI

8. Rohkamm R. Color Atlas of Neurology. US: Thieme; 2004. p.62-3.

Page 44: Laporan Refarat Gangguan Gerakan (Movement Disorder)

9. Ropper A, Brown R. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. US:

The McGraw-Hill Company; 2005. p.55-97

10. Santens P, Boon P, Van Roost D, Caemaert J. The Pathophysiology of motor

symptoms in Parkinson’s disease. Acta neurol. Belg. 2003 [103];129-34