bab i pendahuluan a. pengertian syariah dan fiqh
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengertian Syariah dan Fiqh
1. Pengertian Syariah
Syariah secara etimologi berarti jalan menuju sumber air.
Jalan menuju sumber air ini bisa berarti jalan ke arah sumber
kehidupan.1
Sedangkan secara terminologi syariah menurut beberapa
pakar Islam sebagai berikut:
a. Manna’ Qathan, Syariah adalah segala ketentuan Allah yang
disyari’atkan kepada hamba-Nya yang mencakup aqidah
(Keimanan), akhlak (moral), ibadah (ritual) maupun muamalah
(aturan hukum terkait hubungan dengan sesama manusia). 2
b. Mahmud Syaltut, Syariah ialah, “hukum-hukum yang
digariskan Allah agar manusia dapat mempedomaninya yang
terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan,
hubungannya dengan sesama manusia, dan hubungannya
dengan alam dan kehidupan”.3
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa syariah
memiliki makna yang luas yaitu, identik dengan agama yang
ajarannya meliputi aqidah, akhlak, ibadah dan muamalat. Hal ini
selaras dengan pernyataan firman Allah dalam surat al-Maidah
(5):48; al-Syura (42); 13 dan al-Jatsiyah (45): 18.
Dalam perkembangannya, kata syariah sering juga
diidentikan dengan ketentuan-ketentuan Allah yang menyangkut
hukum atas perilaku praktis manusia sehari-hari (tidak termasuk
1Muhamad Faruq Nabhan, Al-Madkhal li al-Tasyri’ al-Islami, (Beirut: Dar al-Shadir,
t.th.), Jilid VIII, h. 10. 2Manna’ al-Qathan. Al-Tasyri’ wa al-Fiqh fi al-Islam, (T.tp: Muassasah al-Risalah,
t.th), h. 14. 3 M.Hasbi Ash-Shidiqi. Falsafat Hukum Islam. (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), h. 31.
2
keimanan dan akhlak) yang terdiri dari aspek ibadah dan
muamalah, baik yang langsung ditetapkan al-Qur’an dan Sunnah
maupun yang ditetapkan berdasarkan pemikiran manusia (ijtihad).
Syariah yang dihasilkan oleh pemikiran manusia (ijtihad)
berdasarkan penalaran terhadap sumber utamanya Al-Qur’an dan
Sunnah ini kemudian dikenal dengan Fiqh.
2. Pengertian Fiqh
Kata Fiqh menurut etimologi berarti pemahaman yang
mendalam. Sedangkan menurut terminologi, fiqh adalah
pengetahuan tentang hukum syara' (hukum yang bersumber dari ajaran
Islam/Al-Qur’an dan As-Sunnah/Hadis) yang berhubungan dengan amal
perbuatan manusia, yang digali dan ditemukan melalui penalaran
mujtahid (pakar hukum Islam) dari dalil-dalinya yang terinci ".4
Fiqh diperlukan setidaknya karena dua alasan, pertama, Al-
Qur’an dan assunah tidak berkembang lagi setelah Rasulullah SAW
meninggal, sementara persoalan baru senantiasa yang muncul
seiring dengan perkembangan dan perbedaan zaman, situasi,
kondisi, tempat serta tehknologi. kedua, tidak semua ayat-ayat Al-
Qur’an dan As-Sunnah dapat dipahami secara jelas (muhkam) dan
pasti (qat’i) oleh semua orang tetapi banyak ayat-ayat yang samar
(mutasyabih) dan tidak pasti (dhanny) sehingga bisa dipahami
berbeda-beda.
Oleh karena Fiqh adalah hasil pemahaman akal manusia
(mujtahid) terhadap sumber ajaran Islam (Al-Qur’an dan sunnah)
yang terkait amal perbuatan manusia yang bersifat lahiriyah maka
produk fiqh sangat mungkin bervariasi atau berbeda-beda antara
hasil pemahaman satu fuqaha (pemikir/pakar hukum Islam)
dengan fuqaha yang lain. Dengan dengan demikian, kebenaran
4 Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islamy, (Beirut, Dar al-Fikr, 1987), huz 1, h: 19
3
produk fiqh tidak bersifat pasti (qath’i) tetapi bersifat relatif
(zhanny), kebenarannya tidak 100% benar tetapi memungkinkan
terjadi kesalahan (khilaf).
Di samping itu, karena fiqh dilahirkan oleh para mujtahid
(pakar hukum Islam) yang tidak terlepas dari faktor pengaruh
zaman, situasi, kondisi, tempat serta tehknologi yang
melingkupinya, maka Fiqh sangat mungkin mengalami perubahan
dan perbedaan seiring dengan perubahan-perubahan faktor yang
mempengaruhinya. Bahkan antar mujtahid pun bisa melahirkan
produk ketentuan fiqh yang berbeda dalam persoalan yang
mungkin sama. Oleh karena itu fiqh sering dikaitkan dengan
mujtahid yang memformulasikannya, misalnya fiqh Hanafi, fiqh
Maliki, fiqh Syafi’i, fiqh Hanafi, fiqh Syiah dan lain-lain.
3. Obyek Kajian Fiqh
Obyek kajian Fiqh adalah amal perbuatan lahiriyah manusia,
baik yang terkait dengan hubungan manusia dengan Tuhan (Fiqh
Ibadah) maupun yang terkait dengan hubungan manusia dengan
sesama manusia (Fiqh muamalah). Jadi Fiqh tidak secara langsung
menkaji ajaran Islam yang terkait dengan akidah dan Akhlak.
Dengan demikian Fiqh secara umum dibagi menjadi dua:
pertama yang menyangkut hubungan manusia dengan Allah
disebut Fiqh Ibadah dan kedua, yang menyangkut hubungan
manusia dengan sesama manusia disebut dengan Fiqh muamalat.
Fiqh ibadah meliputi ajaran Islam yang dominan
mengandung unsur spritualitasnya seperti shahadat, shalat, puasa,
zakat, dan haji. Umumnya bidang fiqh ini dijelaskan secara rinci
(tafshily) sehingga tidak banyak menuntut kreatifitas akal manusia
melalui ijtihad.
4
Sedangkan, Fiqh muamalat meliputi aspek ajaran Islam yang
dominan unsur hubungan sesama manusia yang menyangkut hak
dan kewajiban terhadap sesamanya. Fiqh Muamalah terdiri dari
bidang-bidang sebagai berikut:
a. Hukum keluarga (ahwal syakhsyiyyah) terdiri dari perkawinan
(munakahat), waris (mawaris), hibah dan wasiat, wakaf ;
b. Hukum ekonomi (muamalat maaliyah/iqtishadiyah) terdiri dari jual
beli (buyu’), perseroan (syirkah), Mudharabah, gadai (alrahn),
perkongsian pepohonan (al-musaqah), perkongsian pertanian (al-
muzara’ah), sewa menyewa (al-ijarah), pemindahan
hutang/faktoring (al-hiwalah), hak prioritas pemilik
lama/tetangga (al-shuf’ah), perwakilan dalam melakukan akad
(al-wakalah), pinjam meminjam (al-‘ariyah), barang titipan (al-
wadi’ah), al-gasb (memakai barang orang lain tanpa izin), barang
temuan (luqathah), jaminan perseorangan (al-kafalah), dan
sayembara (al-ji’alah) dan lain-lain ;
c. Hukum pidana (jinayah) terdiri dari qishash (hukum setimpal :
pembunuhan, pelukaan, dll), hudud (perbuatan pidana yang
hukumnya secara tegas dijelaskan dalam al-quran dan hadis) ,
dan ta’zir (perbuatan dan hukuman pidana yang ditentukan oleh
ulil amri (negara);
d. Hukum tata negara (siyasah) terdiri dari hukum Tata Negara (al-
ahkam al-sulthoniyah), hukum antar negara (alhuquq al-dauliyah);
dan Lain-Lain;
e. Hukum acara (murafa’at) atau mukhasamat (gugatan, tuntutan,
saksi, hakim, dan peradilan).
B. Pengertian Fiqh Muamalah
Kata muamalat berasal dari bahasa arab muamalat (ا لمعا ملة) yang
merupakan derifasi (bentukan) dari kata ‘amala-yuamilu-muamalatan ( عاملا
5
معا ملة –يعا مل – ) yang menurut bahasa (etimologi) memiliki arti saling
bertindak, berbuat, pekerjaan, pergaulan sosial (social intercous), bisnis
(business), dan transaksi (transaction).5
Secara terminologi (istilah) pengertian fiqh muamalah dibagi
dalam dua macam yaitu pengertian fiqh muamalah dalam arti luas dan
pengertian fiqh muamalah secara sempit.
Fiqh Muamalah dalam arti luas adalah aturan-aturan hukum Islam
yang mengatur hubungan antar manusia baik yang bersifat individual
maupun kolektif, yang terdiri dari hukum keluarga (al-akhwal al-
syakhsiyyah), hukum kebendaan (al-ahkam al-madaniyah), hukum pidana (al-
ahkam al-jinaiyah), hukum acara (ahkam murafa’at), perundang-undangan
(al-ahkam al-dusturiyah), hukum internasional (al-ahkam al-dualiyah), hukum
ekonomi dan keuangan (al-ahkam al-iqtishadiyah wa al-maliyah).6
Sedangkan muamalah dalam arti sempit hanya dibatasi pada
hubungan hukum yang terkait dengan persoalan harta benda (maaliyah).
Mustofa Ahmad al-Zarqa merumuskan Fiqh Mumalat sebagai berikut:
الأحكم المتعلقة بافعال النا س و تعاملهم بعضهم مع بعض فى الاموال وا لحقو ق و 8فصل منا زعاتهم
“Hukum–hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan antar
sesama manusia dalam urusan harta benda, hak dan kewajiban, serta penyelesaian
sengketa di antara mereka”
Atas dasar pengertian fiqh muamalat di atas, dapat disimpulkan
bahwa fiqh muamalat dalam arti luas mencakup segala aturan hukum
Islam yang terkait dengan hubungan antar manusia (hablum minannas)
sebagai pembeda fiqh ibadah yang mengatur hubungan manusia dengan
5Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Lisan al-‘Arab, t.th.), jilid 2, h. 887. Ma’an
Z Madina, Arabic-English Dictiniory of Modern Literary Language, (New York: Pocket Book, 1973), h. 457
6Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2002), cet. 4, h. 33-34.
6
Allah SWT(hablum minallah). Sedangkan fiqh muamalat dalam arti sempit
hanya membahas persoalan aturan hukum antar manusia yang terkait
dengan harta benda (maal).
Pembahasan dalam modul ini hanya menguraikan persoalan
muamalat dalam dalam arti sempit yang menyangkut persoalan harta
benda dan hal-hal yang terkait dengannya. Para ahli hukum Islam
kontemporer menamakan fiqh muamalat dalam bahasa Inggris dengan
beragam istilah, yaitu antara lain civil affair, Islamic law of contract, the
syari’a law of contract, dan Islamic law of obligation”
C. Sumber Hukum Fiqh Muamalah
Sumber hukum (mashadir al-tasyri’) fiqih Muamalah sebagaimana
fiqh pada umumnya secara umum berasal dari dua sumber utama, yaitu :
1. Al-Qur’an dan
2. al-Hadis
Selanjutnya dalam rangka menggali ketentuan-ketentuan hukum
untuk menjawab berbagai persoalan kehidupan yang tidak secara jelas
dan tegas terdapat dalam kedua sumber utama tersebut, para pakar
hukum Islam (mujtahid) melakukan penggalian hukum (istinbath/ijtihad
al-ahkam) dengan beberapa metode penggalian hukum (al-adillah al-
Syar’iyyah) berikut ini: 1. Qiyas, 2). Ijma’, 3). Istihsan, 4). Istislah/Maslahah
mursalah, 5). Istishab, 6). Sadd al-Zhari’ah, 7. Urf, 8). Syar’ man qablana,
9). Madzhab al-Shahabi.
Berikut pengertian masing-masing sumber hukum dan metode
penggalian hukum tersebut di atas:
1. Al-Quran
Al-Quran merupakan referensi utama umat islam, termasuk di
dalamnya masalah hukum dan perundang-undangan.sebagai
sumber hukum yang utama,Al-Quran dijadikan patokan pertama
7
oleh umat islam dalam menemukan dan menarik hukum suatu
perkara dalam kehidupan.
2. Al-Hadits
Al-Hadits adalah segala yang disandarkan kepada Rasulullah
SAW, baik berupa perkataan,perbuatan,maupun ketetapan. Al-
Hadits merupakan sumber fiqih kedua setelah Al-Quran yang
berlaku dan mengikat bagi umat islam.
3. Qiyas adalah kiat untuk menetapkan hukum pada kasus baru yang
tidak terdapat dalam nash (Al-Qur’an maupun Al-Hadist), dengan
cara menyamakan pada kasus baru yang sudah terdapat dalam
nash
4. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan mujtahid terhadap suatu hukum syar’i
dalam suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW. Suatu hukum
syar’i agar bisa dikatakan sebagai ijma’, maka penetapan
kesepakatan tersebut harus dilakukan oleh semua mujtahid, walau
ada pendapat lain yang menyatakan bahwa ijma’ bisa dibentuk
hanya dengan kesepakatan mayoritas mujtahid saja.
5. Istihsan
Istihsan adalah Memakai qiyas khafi (analogi yang samar) dan
meninggalkan qiyas jali (analogi yang jelas) karena ada petunjuk
untuk itu atau hukum pengecualian dari kaedah-kaedah yang
berlaku umum karena ada petunjuk untuk hal tersebut.
6. Istislah/Maslahah mursalah
Adalah sesuatu yang dianggap maslahat namun tidak ada
ketegasan hukum dalam Alquran dan atau As-Sunnah untuk
merealisasikannya dan tidak pula ada dalil tertentu baik yang
mendukung maupun yang menolaknya.
7. Istishab
8
Adalah melestarikan ketentuan hukum yang telah ada pada masa
lalu hingga ada dalil yang merubahnya
8. Urf
Adalah menetapkan kebiasaan yang telah dijalani oleh masyarakat
sebagai ketentuan hukum karena ada maslahah dan tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
9. Sadd al-Dzariah
Adalah menetapkan larangan terhadap sesuatu yang akan menjadi
sarana untuk perbuatan yang diharamkan atau yang
membahayakan/merusak.
10. Syar’u Man Qablana
Adalah menetapkan ketentuan hukum yang telah dijalankan umat
beragama sebelum islam sebagai ketentuan bagi umat islam
sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran yang dibawa
Nabi Muhammad SAW.
11. Madzhab Shahabi
Adalah pendapat para sahabat Rasulullah SAW tentang suatu
kasus, baik berupa fatwa atau ketetapan hukum, sedangkan ayat-
ayat al-Qur’an dan As-Sunnah tidak menjelaskan hukum tersebut.
D. Obyek kajian Fiqh muamalat
Para ahli fiqh baik klasik (salaf) maupun kontemporer (khalaf)
berbeda-beda dalam menentukan obyek kajian fiqh muamalat. Akan
tetapi secara umum pembahasan fiqh muamalat meliputi persoalan:
1. Teori hak-kewajiban (nadhariyat al-Haq);
2. Konsep harta (maal);
3. Konsep kepemilikan (milk);
4. Teori akad (nadhariyah al-Aqd);
5. bentuk-bentuk akad (anwa’ al-aqd) yang terdiri dari:
a. jual beli (al-bai’);
b. sewa menyewa (al-ijarah);
9
c. sayembara (jualah);
d. akad kerjasama perdagangan (al-syirkah, mudharabah dll);
e. kerjasama bidang pertanian (muzara’ah, mukhabarah, dan
musaqat);
f. pemberian (al-hibah dan wasiat);
g. titipan (al-wadi’ah);
h. pinjam meminjam (al-i’arah);
i. perwakilan/agency (al-wakalah);
j. hutang piutang (al-qardh);
k. garansi (al-kafalah);
l. pengalihan hutang-piutang (al-hiwalah);
m. jaminan (al-rahn);
n. perdamaian (al-shulh),;
6. akad-akad yang terkait dengan kepemilikan: menggarap tanah tak
bertuan (ihya mawat);
7. ghasab (al-ghasb);
8. merusak (itlaf);
9. barang temuan (luqathah/laqith); dan
10. syuf’ah (right of pre-emption).
Obyek kajian muamalah yang di uraikan di atas, secara sederhana
dapat dibagi lagi menjadi tiga bagian. Pertama, pengantar yang meliputi
hakekat fiqh muamalat, teori hak-kewajiban (nadhariyat al-Haq), konsep
harta (maal), dan Konsep kepemilikan (milk). Kedua, teori akad (nadhariyah
al-Aqd). Ketiga, tentang bentuk-bentuk akad (anwa’ al-aqd). Khusus untuk
bagian ketiga, bentuk-bentuk akad dilihat dari segi ada atau tidaknya
kompensasi (ujrah) dapat dibagi lagi menjadi akad tabarru’ dan akad
tijarah.
Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
not-for profit transaction (trasaksi nirlaba). Transaksi ini pada hakikatnya
bukan transaksi bisnis untuk mencari keuntungan komersil. Akad
10
tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong-menolong dalam rangka berbuat
kebaikan (tabarru’ berasal dari kata birr dalam bahasa Arab, yang artinya
kebaikan). Dalam akad tabarru’, pihak yang berbuat kebaikan tersebut
tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya.
Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah swt, bukan dari manusia.
Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta
kepada counter-part–nya untuk sekedar menutupi biaya yang
dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad tabarru’ tersebut. tetapi
tidak boleh sedikit pun mengambil laba dari akad tabarru’ itu. Contoh
akad-akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, wakalah, kafalah, wadi’ah,
hibah, waqf, shadaqah, dan hadiah.
Akad tijarah (compensational contract) adalah segala macam
perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad-akad ini dilakukan
dengan tujuan mencari keuntungan, masing-masing pihak yang
melakukannya saling menunaikan prestasi yakni menunaikan kewajiban
dan menerima hak. Contoh akad tijarah adalah jual beli, sewa menyewa,
syirkah, dan mudharabah.
E. Prinsip-Prinsip Dasar Fiqh Muamalah
Atas dasar pemikiran deduktif terhadap al-Qur’an dan as-Saunah,
ditemukan beberapa prinsip-prinsip dasar muamalat di dalam kedua
sumber hukum Islam tersebut, antara lain:
1. Seluruh tindakan muamalah dilakukan atas dasar nilai-nilai ketuhanan
(Tauhid).
Artinya, apapun jenis muamalah yang dilakukan oleh seorang muslim
harus senantiasa dalam rangka mengabdi kepada Alah dan senantiasa
berprinsip bahwa Allah selalu mengontrol dan mengawasi tindakan
tersebut. Hai ini dapat dipahami dari firman Allah dalam surat az-
Zariat/ 51: 56 yang berbunyi :
11
وما خلقت الجن والإنس إلا ليعبدون
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-ku.
Prinsip ini juga berarti bahwa seluruh persoalan muamalah yang
dilakukan harus mempertimbangkan persoalan-persoalan
keakhiratan, memperhatikan keseimbangan nilai kebendaan dengan
nilai kerohanian. Hal ini dapat dipahami dari firman Allah dalam
surat al-Qashash/28 : 27 yang artinya “dan carilah apa yang telah
dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu…”.
2. Muamalah harus didasarkan pada pertimbangan moral yang luhur
(akhlakul karimah)
Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara akhlak dengan
ekonomi, keduanya harus berjalan seiring. Tidak akan bisa
dibayangkan bila kegiatan ekonomi tanpa disertai dengan tuntunan
akhlak (moralitas). Pasti yang akan terjadi adalah yang kuat akan
memangsa yang lemah, seperti yang terjadi pada kehidupan binatang.
Atas dasar prinsip ini maka segala kegiatan muamalah harus
dilakukan dengan mengedepankan nilai-nilai moral yang luhur seperti
kejujuran (shidiq), keterbukaan (tabligh), Kasih sayang (rahmah),
kesetiakawanan (ukhuwah), suka sama suka (ridha), persamaan
(musawah) tanggung jawab (amanah), dan profesional (fathanah/itqan).
Dengan demikian, segala bentuk transaksi bisnis yang
mengandung unsur riba (riba) penipuan (tadlis), ketidakpastian
(gharar/tagrir), penganiayaan/ pemerasan (dhulm), diskriminatif (ghair
adalah), paksaan (ikrah), penyogokan (risywah) dan unsur-unsur lain
yang merugikan harus dihindarkan dan apabila telah berjalan harus
12
dibatalkan karena bertentangan tentang prinsip-prinsip moral (akhlak)
dalam syari’at Islam.
3. Prinsip dasar dalam hukum muamalah adalah diperbolehkan (al-Ashlu
fi al-Muamalah al-Ibahah)
Maksudnya segala bentuk transaksi bisnis (muamalah) adalah
diperbolehkan kecuali ada nash (ketentuan) Al-Qur’an atau Sunnah
yang secara jelas telah melarangnya (mengharamkannya). Ini juga
berarti bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip hukum dalam muamalat
bisa dirasionalisasikan dan dianalogikan (qiyas). Sebaliknya, dalam
bidang ibadah segala bentuk ibadah dilarang (diharamkan) kecuali
yang telah jelas ada nash yang memerintahkannya (al-ashlu fi al-ibadah
haram). Demikian juga dalam ibadah tidak bisa dilakukan analogi atau
qiyas (la qiyasa fi al-ibadah). Adapun ayat-ayat al-Qur’an dan As-
Sunnah yang menguatkan prinsip di atas adalah:
اهن سبع ماء فسو هو الذى خلق لكم ما فى الرض جميعا ثم استوى إلى الس
ل شيئ عليم سموات وهو بك
"Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di muka bumi untuk kamu
dan Dia berkehendak menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu." (QS. Al-Baqarah: 29)
ر لكم ما فى السمو ات وما فى الرض جميعا منه إن فى ذلك ليات لقوم وسخ
يتفكرون
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi semuanya, (sebagai rahmat) dari pada-Nya. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum
yang berfikir." (QS. Al-Jatsiyah: 13)
Hadits Nabawi, antara lain:
13
. الحلال ما أحل الله فى كتابه والحرام ما حرم الله فى كتابه وما سكت عنه فهو مما عفا عنكم .رواه الترمذى وابن ماجه والحاكم وصححه
"Yang halal adalah apa yang dihalalkan Allah Swt di dalam kitab-Nya, yang
haram adalah apa yang diharamkan Allah swt di dalam kitab-Nya, dan apa
yang tidak disebutkan Allah Swt adalah bagian dari yang dimaafkan Allah
Swt untuk kamu." (HR. al-Tirmidzi, Ibn Majah dan al-Hakim)
Dari ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah Swt
menjadikan apa yang ada di bumi, bahkan menundukkan apa yang
ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Apabila
kemudian hal itu diharamkan oleh Allah Swt kepada manusia, tentu
pengharaman itu tidak logis. Karenanya, Allah Swt tidak
mengharamkan semua itu kepada manusia, melainkan diharamkan
sebagian saja, sedangkan selebihnya dihalalkan.
Yang dimaksud dengan segala sesuatu dalam kaidah tadi
mencakup benda-benda (al-'ayan) dan perbuatan manusia, baik berupa
tradisi (al-'adah) maupun hubungan antar sesama manusia (al-
muamalah).
Dengan demikian, maka syari’at Islam memberikan keleluasaan
kepada manusia untuk mengembangkan aneka macam bentuk bisnis
selama tidak ada larangan, dan ini juga berarti bahwa syari’at Islam
bisa mengikuti dinamika perkembangan bisnis modern yang boleh
jadi belum dikenal pada zaman Rasulullah dan para ulama salaf tanpa
mempersulit atau bahkan menghambat perkembangannya.
4. Aturan Hukum (Fiqh) dalam bidang muamalat bertujuan untuk
mewujudkan kemaslahatan manusia.
Prinsip ini selaras dengan tujuan umum hukum Islam, yakni untuk
mewujudkan kemaslahatan dan menolak segala yang membahayakan
dan merugikan (al-dharar) manusia.
14
Menurut al-Ghazali parameter sesuatu dikatakan maslahah jika ia
memelihara maksud dari hukum syara’ yang meliputi lima perkara,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Setiap
sesuatu yang memelihara kelima perkara di atas adalah maslahah,
sebaliknya bila merusak atau menghilangkannya maka tergolong
mafsadah, dan menghindarinya dihitung maslahah.
Dengan demikian segala bentuk muamalat yang bermanfaat
untuk memelihara lima perkara tersebut boleh (mubah) atau bahkan
harus (wajib) dilakukan. Sebaliknya muamalah yang merusak atau
menghilangkan kelima perkara tersebut harus dijauhi atau dilarang
(haram) melakukannya.
5. Obyek muamalah harus halal (tidak dilarang oleh hukum Islam) dan
Thoyyib (baik atau tidak membahayakan).
Prinsip ini berdasarkan pada firman Allah SWT. dalam surat al A’
raf ayat 157 :
…dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan segala
yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu
yang ada pada mereka……
Nabi Saw bersabda:
"Sesungguhnya Allah dan rasul-Nya mengharamkan jual-beli khamr,
bangkai, babi dan patung-patung. Rasulullah ditanya, Wahai Rasulullah,
tahukah Anda tentang lemak bangkai, ia dipakai untuk mengecat kapal-kapal,
untuk meminyaki kulit-kulit dan digunakan untuk penerangan (lampu) oleh
banyak orang?". Nabi Saw menjawab, "Tidak, ia adalah haram". Nabi saw
kemudian berkata lagi, "Allah memerangi orang-orang Yahudi karena ketika
Allah mengharamkan lemak bangkai kepada mereka, mereka mencairkannya
dan menjualnya, kemudian mereka memakan hasil penjualan itu". (Muttafaq
Alaih)
15
Prinsip ini sangat terkait dengan prinsip sebelumnya yang
menyatakan bahwa hukum Islam sangat memperhatikan
kemaslahatan manusia. Oleh karena itu, segala yang dilarang
(diharamkan) Allah dan rasulnya pasti akan membawa kemaslahatan
bagi manusia. Demikian juga halnya sesuatu yang dilarang untuk
dijadikan obyek bisnis oleh Allah dan Rasulnya pasti akan membawa
dampak positif bagi manusia.
Atas dasar prinsip di atas, babi, anjing, khamr, bangkai dilarang
untuk dijadikan obyek jual beli dan obyek investasi
pembudidayaannya.
F. Transaksi yang dilarang dalam Muamalah
Transaksi yang dilarang dalam Islam adalah transaksi yang
disebabkan oleh faktor:
1. Haram Zatnya
Islam melarang beberapa obyek muamalah untuk ditransaksikan
karena subtansinya diharamkan Allah SWT, seperti minuman keras
(khamr), daging babi, dan. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqih: “ma
haruma fi’luhu haruma tholabuhu” (setiap apa yang diharamkan atas
obyeknya, maka diharamkan pula atas usaha dalam mendapatkannya).
memberikan dampak bahwa setiap obyek haram yang didapatkan
dengan cara yang baik/halal, maka tidak akan merubah obyek haram
tersebut menjadi halal.
2. Haram selain zatnya
Beberapa transaksi yang dilarang disebabkan oleh cara bertransaksi-
nya yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip muamalah, yaitu: tadlis
(penipuan), ikhtikar (rekayasa pasar dalam supply), bai’ najasy
(rekayasa pasar dalam demand), taghrir (ketidakpastian), dan riba
(tambahan).
16
a. Tadlis (Unknown to One Party)
Tadlis adalah keadaan di mana salah satu pihak tidak mengetahui
informasi yang diketahui pihak lain, atau disebut juga asymmetric
information.
Rasulullah SAW bersabda:
حدثنا المزني : أخبرنا أبو جعفر قال : أخبرنا أبو النضر قال : أخبرنا أبو إسحاق قال أخبرنا سفيان ، عن العلاء بن عبد الرحمن ، عن أبيه ، عن : الشافعي قال أخبرنا: قال
مر برجل يبيع طعاما فأعجبه ، فأدخل يده : أبي هريرة ، أن النبي صلى الله عليه وسلم (البيهقيرواه ) « ليس منا من غشنا » : فيه ، فإذا هو طعام مبلول ، فقال
Artinya: Telah mengabarkan Abu Ishaq, telah mengabarkan Abu nadar, telah mengabarkan Abu Ja‘far, telah mengabarkan al-Muzni, telah mengabarkan al-Shafi‘i, telah mengabarkan Sufyan dari ‘Ala ibn ‘Abd al-Rahman dari bapaknya dari Abu Hurayrah bahwasannya Rasulullah SAW terkejut ketika menghampiri seorang laki-laki yang sedang menjual makanan karena ketika beliau memasukkan tangan ke dalam tumpukkan makanan yang dijualnnya ternyata didapati makanan yang basah (busuk), seketika itu Rasulullah SAW bersabda: Tidak termasuk umatku orang yang melakukan penipuan (HR Bayhaqi)
Tadlis dapat terjadi dari segi kuantitas barang, kualitas barang,
harga barang, serta waktu penyerahan. Tadlis dari segi kuantitas di
antaranya pedagang yang mengurangi takaran (timbangan) barang yang
dijualnya. Tadlis dari segi kualitas terjadi ketika penjual menyembunyikan
cacat barang yang ditawarkan. Tadlis dari segi harga terjadi ketika penjual
memanfaatkan ketidaktahuan pembeli akan harga sesungguhnya dengan
menaikkan harga barang di atas harga sesungguhnya. Sedangkan tadlis
dari segi waktu penyerahan terjadi ketika seorang petani yang menjual
buah di luar musimnya padahal si petani mengetahui bahwa dia tidak
dapat menyerahkan buah yang dijanjikan itu pada waktunya, atau
seorang konsultan yang berjanji untuk menyelesaikan proyek dalam
waktu dua bulan untuk memenangkan tender, padahal konsultan tersebut
mengetahui bahwa proyek tersebut tidak dapat diselesaikan dalam batas
waktu tersebut.
17
Penipuan (tadlis) dalam kuantitas termasuk juga kegiatan menjual
barang kuantitas sedikit dengan harga barang kuantitas banyak. Misalnya
menjual baju sebanyak satu container. Karena jumlahnya banyak dan tidak
mungkin untuk menghitung satu persatu, penjual berusaha melakukan
penipuan dengan mengurangi jumlah barang yang dikirim kepada
pembeli. Perlakuan penjual untuk tidak jujur di samping merugikan pihak
penjual juga merugikan pihak pembeli. Apa pun tindakan pembeli,
penjual yang melakukan penipuan akan mengalami penurunan utility,
begitu pula pembeli akan mengalami penurunan utility.
Praktek mengurangi timbangan dan mengurangi takaran
merupakan contoh klasik yang selalu digunakan untuk menerangkan
penipuan kuantitas. Sedangkan kejahatan ini sering kali terjadi dan
menjadi fenomena kecurangan dalam transaksi perdagangan. Oleh karena
itu, ulama klasik telah melakukan langkah-langkah untuk membuat
standarisasi timbangan sebagai alat ukur. Untuk memperjelas bagaimana
dampak pemberlakuan tadlis kuantitas terhadap penawaran dan
keseimbangan pasar dapat dilihat pada gambar.
Di samping tadlis kuantitas dikenal juga tadlis kualitas termasuk di
dalamnya menyembunyikan cacat atau kualitas barang yang buruk yang
tidak sesuai dengan yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Pasar
penjualan komputer bekas misalnya, pedagang menjual komputer bekas
dengan kualifikasi core two duo dalam kondisi 80% baik, dengan harga
3.000.000,00. Pada kenyataannya, tidak semua penjual menjual komputer
bekas dengan kualifikasi yang sama. Sebagian penjual menjual komputer
dengan kualifikasi yang lebih rendah, tetapi menjualnya dengan harga
yang sama, yaitu Rp. 3.000.000,00. Pembeli tidak dapat membedakan
mana komputer dengan kualifikasi rendah dan mana komputer dengan
kualifikasi yang lebih tinggi, hanya penjual saja yang mengetahui dengan
pasti kualifikasi komputer yang dijualnya.
18
Keseimbangan ekonomi hanya akan terjadi ketika harga yang
tercipta merupakan konsekuensi dari kualitas atau kuantitas barang yang
ditransaksikan. Apabila tadlis kualitas terjadi, maka syarat untuk
pencapaian keseimbangan tidak akan tercapai. Oleh karena itu, dalam
pendekatan ilmu ekonomi pun hal ini tidak dapat dibenarkan.
Ekuilibrium akan terjadi apabila penjual menjual komputer kualitas buruk
kepada pembeli yang melihat komputer itu sebagai komputer buruk.
Atau apabila penjual menjual komputer kualitas baik kepada pembeli
yang melihat komputer tersebut sebagai komputer berkualitas baik.
Dengan kata lain, komputer berkualitas buruk mempunyai pasarnya
sendiri, dan komputer berkualitas baik mempunyai pasarnya sendiri pula.
Oleh sebab itu Rasulullah melarang penukaran satu sak kurma kualitas
baik dengan dua sak kurma kualitas buruk, dengan mengatakan, “Jual
kurma kualitas buruk, dapatkan uangnya, kemudian beli kurma kualitas
baik dengan uangmu.” Kurma kualitas baik mempunyai pasarnya sendiri,
dan kurma kualitas buruk mempunyai pasarnya sendiri pula.
Di samping tadlis kuantitas dan kualitas dikenal juga tadlis harga
termasuk di dalamnya menjual barang dengan harga yang lebih tinggi
atau lebih rendah dari harga sesungguhnya karena ketidaktahuan pembeli
atau penjual. Katakanlah seorang musafir datang dari Jakarta
menggunakan kereta api, tiba di Bandung. Ia kemudian naik taksi, namun
tidak tahu harga pasaran taksi dari stasiun kereta api ke jalan Braga di
Bandung. Katakan pula, harga pasaran ongkos taksi untuk jarak itu
adalah Rp. 12.000,00. Supir taksi menawarkan dengan harga Rp. 50.000,00.
Setelah terjadi tawar menawar, akhirnya disepakati rela sama rela Rp.
40.000,00. Meskipun kedua belah pihak rela sama rela, namun hal ini
dilarang karena kerelaan si musafir bukan kerelaan yang sebenarnya, ia
rela dalam keadaan tertipu.
Besarnya keuntungan yang akan diperoleh produsen yang
melakukan tadlis harga pada jangka pendek akan lebih tinggi dari
19
produsen yang tidak melakukan tadlis harga (ghaban). Upaya produsen
untuk melakukan ghaban akan memberikan keuntungan sesaat baginya
dan merugikan banyak konsumen. Akan tetapi apabila produsen terus
menerus menggunakan strategi ini atau apabila reputasi buruk produsen
telah menjadi rahasia umum, maka konsumen akan mengetahuinya dan
tidak mau dirugikan lagi. Oleh karena itu, ketika produsen melakukan
harga tipu lagi, maka konsumen akan menggunakan strategi lain, yaitu
dengan tidak memakai jasanya lagi atau membelinya dari produsen lain
yang tidak melakukan ghaban, sehingga untuk jangka panjang produsen
akan mengalami kerugian.
Disamping tadlis dalam kuantitas, kualitas, dan harga, terdapat
tadlis yang lain yaitu tadlis dalam waktu penyerahan. Di antara kasus tadlis
dalam waktu penyerahan adalah ketika si penjual tahu persis ia tidak
akan dapat menyerahkan barang pada besok hari. Walaupun konsekuensi
tadlis ini tidak berkaitan langsung dengan harga ataupun kuantitas dan
kualitas barang yang ditransaksikan, akan tetapi masalah waktu
merupakan sesuatu yang sangat penting. Lebih lanjut, pelarangan ini
dapat kita hubungkan dengan larangan transaksi yang lain, yaitu
transaksi kali bi kali (transaksi jual beli, di mana obyek barang atau jasa
yang diperjualbelikan belum berpindah kepemilikan, namun sudah
diperjualbelikan kepada pihak lain) di mana transaksi ini juga dilarang
oleh Rasulullah karena transaksi ini tidak diikuti oleh hak kepemilikan.
Transaksi yang terdapat unsur tadlis dapat merugikan salah satu
pihak yang bertransaksi di pasar, hal ini disebabkan oleh tidak adanya
keseimbangan informasi yang mana salah satu pihak mengetahui apa
yang tidak diketahui oleh pihak lain. Untuk meminimalisir kerugian yang
diakibatkan oleh transaksi ini mayoritas ulama merekomendasikan hak
khiyar bagi semua pihak yang bertransaksi di pasar ketika ada salah satu
pihak yang merasa dirugikan oleh pihak lain yang diakibatkan oleh
prilaku tadlis.
20
b. Taghrir (Uncertain to Both Parties)
Taghrir berasal dari kata Bahasa Arab gharar, yang berarti: akibat,
bencana, bahaya, risiko, dan ketidakpastian. Dalam istilah fiqh muamalah,
taghrir berarti melakukan sesuatu secara membabi buta tanpa
pengetahuan yang mencukupi; atau mengambil risiko sendiri dari suatu
perbuatan yang mengandung risiko tanpa mengetahui persis apa
akibatnya, atau memasuki kancah resiko tanpa memikirkan
konsekuensinya.
Baik taghrir maupun tadlis keduanya terjadi karena adanya
incomplete information. Namun, berbeda dengan tadlis, di mana incomplete
information dalam tadlis hanya dialami oleh satu pihak saja (unknown to one
party, misalnya pembeli saja, atau penjual saja), dalam taghrir, incomplete
information dialami oleh kedua belah pihak (baik pembeli maupun
penjual). Karena itu, kasus taghrir terjadi apabila ada unsur ketidakpastian
yang melibatkan kedua belah pihak (uncertain to both parties).
Sebagaimana halnya tadlis, terdapat empat bentuk taghrir, yaitu
taghrir kuantitas, tahgrir kualitas, taghrir harga, dan taghrir waktu
penyerahan. Taghrir dalam kuantitas misalnya petani sepakat untuk
menjual hasil panennya (beras dengan kualitas A) kepada tengkulak
dengan harga Rp. 750.000,00 pada saat kesepakatan dilakukan, sawah si
petani belum dapat dipanen. Dengan demikian kesepakatan jual beli
dilakukan tanpa menyebutkan spesifikasi mengenai berapa kuantitas
yang dijual (berapa ton, berapa kuintal, misalnya) padahal harga sudah
ditetapkan. Dengan demikian terjadi ketidakpastian menyangkut
kuantitas barang yang ditransaksikan.
Misalnya berdasarkan pengalaman historis dan ramalan cuaca dari
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), kita dapat mengidentifikasi tiga
sekenario kejadian sebagai berikut
Tabel
21
Ilustrasi Taghrir Kuantitas
No Skenario Probabil
itas
Kuantitas
Hasil Panen
Harga
Jual/Ton
Harga Jual
Total
1 Optimis:
Cuaca bagus
tidak ada hama
0,3 2 ton Rp 1.000.000 Rp 2.000.000
2 Moderat 0,3 1 ton Rp 1.000.000 Rp 1.000.000
3 Pesimis:
Cuaca Buruk
Terserang Hama
0,4 0,5 ton Rp 1.000.000 Rp 500.000
Apabila yang terjadi adalah skenario moderat, maka si tengkulak
mendapatkan untung Rp. 250.000,00 (selisih harga jual dengan harga beli).
Bila terjadi skenario optimis, maka tengkulak mendapatkan laba Rp.
1.250.000,00. Sebaliknya jika yang terjadi skenario pesimis, maka
tengkulak akan mengalami kerugian sebesar Rp. 250.000,00.
Apabila produsen menghadapi pasar persaingan sempurna maka
keseimbangan akan tercipta ketika kurva permintaan (D=P=MR=AR)
dengan kurva penawaran. Namun yang menjadi permasalahan pada
taghrir kuantitas di sini adalah transaksi terjadi dengan harga yang sudah
pasti untuk dipertukarkan dengan sejumlah barang yang belum pasti
jumlahnya. Artinya kurva permintaan sudah jelas, namun kurva
penawaran belum dapat ditentukan pada kurva yang mana penawaran
yang sesungguhnya akan terjadi. Dengan demikian, pada taghrir kuantitas
ini keseimbangan yang dicapai adalah keseimbangan yang semu dan
tidak pasti.
Di samping taghrir dari segi kuantitas dalam ekonomi Islam dapat
dikenal juga taghrir dari segi kualitas. Taghrir kualitas misalnya menjual
anak sapi yang masih dalam kandungan induknya. Penjual sepakat untuk
menyerahkan anak sapi tersebut segera setelah anak sapi itu lahir, seharga
Rp. 1.000.000,00 dalam hal ini, baik si penjual maupun si pembeli tidak
22
dapat memastikan kondisi fisik anak sapi tersebut bila nanti sudah lahir.
Apakah akan lahir normal, atau cacat, atau lahir dalam keadaan mati.
Dengan demikian, terjadi ketidakpastian menyangkut kualitas barang
yang ditransaksikan.
Tabel
Ilustrasi Taghrir Kualitas
No Skenario Probabilitas Harga Jual Keuntungan Pembeli
1 Lahir
Normal
0,7 Rp 1.500.000 Rp 500.000
2 Lahir cacat 0,2 Rp 250.000 (Rp 750.000)
3 Lahir Mati 0,1 Rp 0 (Rp 1.000.000)
Apabila anak sapi tersebut lahir normal, maka si pembeli untung
Rp.500.000,00 (ia membeli anak sapi dengan harga jual Rp.1.500.000,00
seharga Rp.1.000.000,00). Namun apabila ternyata anak sapi tersebut lahir
dalam keadaan cacat, maka ia rugi Rp.750.000,00. Apabila lahir dalam
keadaan mati, maka ia mengalami kerugian sebesar Rp.1.000.000,00.
Dengan demikian titik ekulibrium bukanlah hasil perpotongan dari
penawaran dan permintaan dengan kualitas yang sama. Artinya tingkat
keseimbangan yang tercipta adalah keseimbangan semu karena
mempertemukan permintaan dan penawaran yang berbeda kualitasnya.
Tipe taghrir yang selanjutnya yaitu taghrir dalam harga. yaitu
terjadi ketika penjual menyatakan bahwa ia akan menjual satu unit panci
merk ABC seharga Rp. 10.000,00 bila dibayar tunai, atau 50.000,00 apabila
dibayar dengan kredit selama lima bulan, kemudian si pembeli
menyetujuinya. Ketidakpastian muncul karena adanya dua harga dalam
satu akad. Tidak jelas harga mana yang berlaku, apakah yang Rp.
10.000,00 atau Rp. 50.000,00. Katakanlah ada pembeli yang membayar
lunas pada bulan ke-3, berapa harga yang berlaku? Atau ekstrimnya satu
hari setelah penyerahan barang, berapa harga yang berlaku? Eksterm
23
lainnya adalah bagaimana menentukan harga apabila dibayar lunas sehari
sebelum akhir bulan ke-5? Dalam kasus ini, walaupun kuantitas dan
kualitas barang sudah ditentukan, tetapi terjadi ketidakpastian dalam
harga barang karena si penjual dan si pembeli tidak mensepakati satu
harga dalam satu akad.
Sedangkan taghrir dalam waktu penyerahan misalnya Adi
kehilangan mobil BWNnya. Ida kebetulan sudah lama ingin memiliki
mobil BMW seperti yang dimiliki Adi, dan karena itu ia ingin
membelinya. Akhirnya Adi dan Ida membuat kesepakatan. Adi menjual
mobil BMWnya yang hilang tersebut kepada Ida seharga Rp. 100 juta.
Harga sesungguhnya BMW adalah Rp. 300 juta. Mobil akan diserahkan
segera setelah ditemukan. Dalam transaksi ini terdapat ketidakpastian
menyangkut waktu penyerahan barang, karena barang yang dijual tidak
diketahui keberadaannya. Mungkin mobil tersebut akan ditemukan satu
bulan lagi, atau satu tahun lagi, atau bahkan mungkin tidak akan
mungkin tidak akan ditemukan sama sekali.
Tabel
Ilustrasi Taghrir Waktu Penyerahan
Hasil Probabilitas Keuntungan Ida
Mobil ditemukan 0,5 Rp 200.000.000
Mobil tidak ditemukan 0,5 (Rp 100.000.000)
Tabel di atas hanya mengasumsikan dua kemungkinan saja, yakni
mobil ditemukan (probabilitasnya ½) dan mobil tidak ditemukan
(probabilitasnya ½ juga). Bila mobil ditemukan, maka yang untung adalah
Ida, karena ia dapat membeli mobil di bawah harga sesungguhnya (harga
sesungguhnyanya adalah Rp. 300 juta, sementara harga belinya Rp. 100
juta. Jadi ida untung 20 juta). Namun, bila ternyata mobil tidak
ditemukan, maka ida rugi Rp 100 juta. Di lain pihak, kerugian Adi
menjadi berkurang, karena seharusnya ia rugi Rp. 300 juta dengan
24
hilanghya mobil BMW. Namun, karena ia berhasil menjual mobilnya
seharga Rp. 100 juta, maka kerugiannya hanya menjadi 200 juta.
Sama yang terjadi pada taghrir lain, taghrir dengan tidak adanya
kepastian waktu penyerahan secara grafis juga gagal untuk menerangkan
tingkat ekuilibrium yang sesungguhnya terjadi. Perpotongan antara kurva
permintaan dan penawaran tidak dapat memberikan informasi yang jelas
kepada kita berapa level harga yang terjadi pada jumlah kuantitas
tertentu.
c. Ihtikar (Monopoli)
Ihtikar adalah menahan atau menimbun (hoarding) barang dengan
sengaja, terutama pada saat terjadi kelangkaan, dengan tujuan untuk
menaikkan harga di kemudian hari. Praktik ihtikar akan menyebabkan
terganggunya keadilan ekonomi, di mana produsen kemudian akan
menjual dengan harga yang lebih tinggi dari harga normal. Penjual akan
mendapatkan untung besar (monopolistic rent), sedangkan konsumen akan
menderita kerugian. Jadi, akibat ihtikar, masyarakat luas akan dirugikan
akibat ulah sekelompok kecil.
Rasulullah SAW bersabda:
(رواه مسلم (من احتكر فهو خاطئArtinya: Barang siapa yang melakukan ihtikar maka ia berdosa (Hadis Riwayat Muslim).
Dalam hadis lain Rasulullah SAW:
دخل عبيد الله بن : الحسن ، يقول حدثنا زيد بن أبي ليلى أبو المعلى العدوي سمعت صلى الله عليه وسلم سمعت رسول الله: زياد على معقل بن يسار ، قال معقل بن يسار
دخل في شيء من أسعار المسلمين ليغليه عليهم ، كان حقا على الله أن من: ، يقول (رواه البيهقي) يقدفه في معظم من النار يوم القيامة
Artinya: Dari Zayd ibn Abi Mu‘alla al-‘Adawi saya mendengar al-Hasan berkata: ‘Ubayd Allah ibn Ziyad bertemu dengan Ma‘qal ibn Yasar, Ma‘qal ibn Yasar berkata: Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang menjual
25
barangnya kepada kaum muslimin dengan harga yang sangat tinggi, maka Allah akan memasukkannya ke dalam api neraka (Hadis RiwayatAhmad) Namun tidak termasuk ihtikar penimbunan yang dilakukan pada
situasi di mana pasokan barang melimpah, misalnya ketika terjadi panen
besar, dan segera menjualnya ketika pasar membutuhkannya atau
menimbun barang dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan
keluarganya dan bukan untuk dijual dengan harga yang tinggi ketika
masyarakat sangat membutuhkannya. Karena dalam situasi panen besar,
apabila tidak ada pihak yang bersedia membeli/menampung hasil panen
tersebut, maka harga akan semakin melemah. Hal ini justru akan
merugikan petani yang dalam hal ini merupakan pemasok terbesar.
d. Bay‘ al-Najash (Permintaan Semu)
Bay‘ al-najash adalah transaksi jual beli yang melibatkan pihak
ketiga untuk memuji barang yang dijual atau menawar dengan harga
yang tinggi agar orang lain tertarik untuk membeli. Pihak ketiga ini tidak
bermaksud untuk benar-benar membeli barang tersebut. Ia hanya ingin
menipu orang lain yang benar-benar ingin membeli. Sebelumnya orang
ini telah mengadakan kesepakatan dengan penjual untuk membeli dengan
harga yang tinggi agar ada pembeli yang sesungguhnya merasa tertarik
membeli barang tersebut. Akibatnya terjadi permintaan palsu (false
demand). Tingkat permintaan yang tercipta tidak dihasilkan secara
alamiah.
رء ي ابتااع لاا يه ب ايع عالاى الما ر ياب ع والاا ، ت انااجاش وا والاا ، أاخ (البخاري رواه) ل بااد حااض Artinya: Janganlah seseorang menjual di atas jualan saudaranya, janganlah melakukan najesy dan janganlah orang kota menjadi calo untuk menjualkan barang orang desa” (HR. Bukhari) Dalam konteks Indonesia, bay‘ al-najash ini pernah terjadi pada
waktu terjadi krisis moneter tahun 1997. Ketika itu terjadi isu kelangkaan
pangan. Karena takut kehabisan persediaan beras, maka masyarakat
(terutama di kota-kota besar) ramai-ramai menyerbu toko-toko untuk
26
memborong beras. Hal ini menyebabkan naiknya permintaan terhadap
beras sehingga harga menjadi naik. Tidak lama kemudian, media masa
memberitakan bahwa persediaan beras di gudang BULOG melimpah.
e. Perjudian (Maysir)
Secara harfiah kata maisir berarti memperoleh sesuatu dengan
sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapatkan keuntungan tanpa
bekerja. Dalam terminologi berarti transaksi yang dilakukan oleh dua
pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan
satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi
tersebut dengan tindakan atau kejadian tertentu (Sula, 2004).
Secara sederhana, maysir juga dapat diartikan sebagai suatu
permainan dimana kemenangan salah satu pihak akan merugikan pihak
yang lain.
Allah SWT telah memberi penegasan terhadap keharaman
melakukan aktivitas ekonomi yang mengandung unsur maysir
(perjudian). Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamr,
berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-
perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”(Q.S. Al-Maidah: 90)
Contoh maysir adalah taruhan atas pertandingan sepak bola, judi
melalui undian berhadiah.
f. Riba
Secara etimologis riba berarti pelunasan, pertambahan, dan
pertumbuhan (Sula, 2004). Riba berarti pengambilan tambahan, baik
dalam transaksi jual beli maupun pinjam - meminjam secara batil atau
bertentangan dengan prinsip transaksi secara Islam.
27
Larangan riba terdapat pula dalam surat : Al-Baqarah : 275, dan 278-279 ,
Ali Imran : 130, dan Ar-Ruum : 39. Dalam Al Qur’an Surat Al Baqarah 278
-279 dikatakan bahwa:
“ Hai orang – orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan lepaskan sisa –
sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang – orang yang beriman. Jika
kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah
dan Rasulnya akan memerangimu. Jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba)
maka bagimu modalmu. Kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”
Namun tidak semua pertambahan atau pertumbuhan dilarang
dalam Islam, karena keuntungan dari bisnis juga merupakan peningkatan
atas jumlah pokok tapi hal ini tidak dilarang. Rasulullah SAW bersabda ‘
ketika seseorang memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam
memberikannya makanan atau tumpangan hewan, dia tidak boleh
menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan pertolongan
(HR Baihaqi). Jadi tidak diperbolehkan mendapatkan hadiah atau
pengembalian dalam bentuk apapun dari si peminjam kecuali hal tersebut
sudah biasa dilakukan (tidak terkait dengan transaksi pinjam meminjam).
Secara umum dapat dikatakan bahwa riba adalah tambahan yang harus
dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersamaan dengan
pokok pinjaman sebagai syarat mendapatkan pinjaman atau perpanjangan
waktu pengebalian pinjaman tersebut.
Dalam ilmu fikih, dikenal 4 jenis riba, yaitu:
1) Riba Fadl
2) Riba Nasiah
3) Riba Yad
4) Riba Jahiliyah
Berikut akan dijelaskan ketiga macam riba di atas:
1) Riba Fadl
Jual beli barter barang-barang ribawi : emas Vs emas, beras Vs beras,
uang vs uang (salah satunya lebih banyak dari penggantinya).
28
2) Riba Nasi’ah
Jual beli barang ribawi: emas dengan emas, beras dengan beras, uang
dengan uang , di mana penyerahan salah satu obyek jual beli tidak
dilakukan secara tunai. Termasuk dalam kategori riba nasiah adalah
Utang-piutang dengan mengambil manfaat/keuntungan.
3) Riba Yad
Riba yang terjadi dalam Jual beli yang hingga penjual dan pembeli
berpisah belum terjadi penyerahan obyek akad. Ulama selain Imam
syafi’i memasukkan riba yad dalam kategori riba nasiah.
4) Riba Jahiliyah
Utang-piutang, dimana kreditur mengenakan tambahan (dari jumlah
hutang) bila debitur pada saat jatuh tempo tidak bisa membayar
kewajibannya. Praktik modern riba Jahiliyah terdapat pada jasa kartu
kredit.
Dalam praktek asuransi konvensional terjadi riba fadl dan Nasiah.
Jika perusahaan Asuransi membayar klaim kepada tertanggung melebihi
uang premi yang ia bayarkan maka terjadi Riba fadl. Jika Perusahaan
membayar kepada tertanggung setelah masa tertentu sejumlah premi
yang dibayarkan tertanggung atau perusahaan menginvestasikan
kekeyaannya secara ribawi maka terjadi Riba Nasi’ah
g. Talaqqi al-Rukban
Talaqqi al-rukban adalah tindakan yang dilakukan oleh pedagang
yang memiliki informasi yang lengkap untuk membeli barang produsen
yang tidak memiliki informasi yang benar tentang harga untuk
mendapatkan harga yang lebih murah dari yang sesungguhnya.
Rasulullah SAW bersabda:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبيع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال (رواه البخاري)حاضر لباد
29
Artinya: Dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar semoga Allah Meridhai keduanya, Rasulullah SAW melarang seseorang (orang kota) menjadi pelantara orang padang pasir (orang kampung) untuk menjual barangnya (Hadis Riwayat Bukhari). h. Bay‘ al-Hadir li al-Badi
Bay‘ al-hadir li al-badi adalah praktek makelar (samsarah) yang
dilakukan oleh seseorang (orang kota) terhadap orang yang datang dari
perkampungan (gurun sahara) untuk menjadi perantara dalam menjual
barang dengan mengambil keuntungan yang sangat besar dan
keuntungan yang diperoleh dari harga yang naik diambil untuk dirinya
sendiri. Transaksi ini berpotensi untuk melambungkan harga yang dapat
merugikan masyarakat.
Rasulullah SAW bersabda:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يبيع عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال (رواه البخاري)حاضر لباد
Artinya: Dari ‘Abd Allah ibn ‘Umar semoga Allah Meridhai keduanya, Rasulullah SAW melarang seseorang (orang kota) menjadi pelantara orang padang pasir (orang kampung) untuk menjual barangnya (Hadis Riwayat Bukhari).
i. Suap-Menyuap (Risywah)
Yang dimaksud dengan perbuatan risywah adalah memberi
sesuatu kepada pihak lain untuk mendapatkan sesuatu yang bukan
haknya. Allah swt telah menyinggung praktek suap-menyuap pada
sejumlah ayat Alquran. Di antaranya firman Allah swt:
“Dan janganlah sebagian kamui memakan harta sebagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang batil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu
kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebagian dari ha`rta benda orang
lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui” (Q.S. Al-
Baqarah: 188)
Rasulullah saw pun telah memberi peringatan secara tegas untuk
menjauhi praktek risywah (suap-menyuap). Rasulullah saw bersabda:
30
“Allah melaknat orang yang memberi suap, penerima suap, sekaligus broker
suap yang menjadi penghubung antara keduanya” (Hadis Riwayat Ahmad)
Praktek suap menyuap ini seringkali tidak terlalu jelas karena telah
menjadi budaya dalam masyarakat indonesia. Dalam pemasaran asuransi
konvensional sering kali praktek ini ditemui untuk “memudahkan
urusan’. Tentu saja hal ini jauh dari anjuran Rasulullah untuk
mendapatkan harta secara baik dan halal.
j. Penganiayaan (Zulm)
Dalam bertransaksi antara kedua belah pihak harus sama – sama
rela dan memenuhi ketentuan-ketentuan syariah. Diantaranya tidak boleh
menganiaya pihak lain (misalnya dengan mengenakan bunga pada
pinjaman) sehingga walaupun dilakukan dengan rela tetapi hal itu
termasuk dilarang dalam kaidah transaksi berdasarkan syariat Islam.
3. Tidak sah
Segala macam transaksi yang tidak sah/lengkap akadnya, maka
transaksi itu dilarang dalam Islam disebabkan oleh: rukun (terdiri dari
pelaku, objek, dan ijab kabul) dan syaratnya tidak terpenuhi, terjadi
ta’alluq (dua akad yang saling berkaitan), atau terjadi two in one (dua
akad sekaligus). Ta’alluq terjadi bila kita dihadapkan pada dua akad yang
saling dikaitkan, di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad
kedua. Yang seperti ini, terjadi bila suatu transaksi diwadahi oleh dua
akad sekaligus sehingga terjadi ketidakpastian (grarar) akad mana yang
harus digunakan, maka transaksi ini dianggap tidak sah.
G. Hubungan Fiqh Muamalat dan Ekonomi Islam
Pesatnya perkembangan kajian dan aplikasi sistem ekonomi
Islam di dunia, telah membawa perubahan yang positif bagi para pakar
ekonomi dunia dalam melihat ajaran Islam sebagai sumber normatif
31
disiplin ilmu ini. Upaya untuk mengkaji ajaran Islam lebih intens
dilakukan di perbagai negara--baik negara yang mayoritas penduduknya
beragama Islam maupun yang warga negara muslim menjadi warga
minoritas--dalam rangka menguak lebih dalam tentang hakekat ekonomi
Islam. Di antara tema kajian yang menarik untuk dibicarakan adalah
berkaitan dengan upaya mencari akar keilmuan dalam tradisi Islam yang
melahirkan kajian ekonomi Islam modern. Dengan kata lain, apakah ilmu
ekonomi Islam itu ilmu baru, yang biasanya disebut new comer? Ataukah
ia merupakan ilmu lama dalam tradisi keilmuan islam yang menjadi
cabang atau bagian “ilmu keislaman” tertentu? Atau ilmu ekonomi islam
merupakan ilmu ekonomi konvensional yang telah “disyahadatkan”?
Sebagian pakar ilmu ekonomi Islam menyatakan bahwa ilmu ini
bukan merupakan ilmu yang sama sekali baru dalam tradisi keilmuan
Islam, tetapi telah memiliki akar keilmuan yang kuat, yaitu dalam kajian
ilmu fiqh, lebih khusus lagi fiqh muamalat, yaitu bidang fiqh (hukum
Islam) yang membahas persoalan-persoalan yang terkait dengan
hubungan manusia dalam persoalan harta benda. Oleh karena itu, tidak
jarang dalam penulisan buku-buku ekonomi Islam aspek hukum/fiqh
muamalat selalu mendominasi tema kajian ilmu ekonomi Islam. Di
samping itu, menurut A. Qadri azizy, ada beberapa alasan bahwa
ekonomi Islam adalah cabang fiqh mu’amalah, bukan cabang dari ilmu
ekonomi sekuler, yaitu antara lain; pertama, dari segi sejarah munculnya,
ekonomi Islam termasuk perbankan syariah, adalah dari ilmu Islam yang
disebut fiqh atau bahkan dari syariah. Ilmu ini sama sekali tidak muncul
di Barat yang biasanya menjadi sumber munculnya disiplin ilmu baru.
Ekonomi Islam muncul dari para ulama, khususnya fuqaha’, baik klasik
(kyai) atau modern (sarjana). Sebagai contoh, penegasan kembali
keharaman bunga bank konvensional telah terjadi pada muktamar di Al-
Azhar, Kairo pada tahun 1965, dilakukan oleh Rabithah Alam Islami pada
tahun 1980-an. Juga oleh OKI pada tahun 1985. keduanya adalah lembaga
32
kajian fiqh bergensi tingkat internasional. Kedua, ada beberapa ide atau
istilah yang sama sekali berbeda dan bahkan bertentangan dengna tradisi
keilmuan ekonomi sekuler. Misalnya Algaoud dan Lewis menyatakan
bahwa prinsip-prinsip pembiayaan Islam adalah sebagai berikut: 1). Tidak
ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba); 2). Pengenalan pajak
religius atau pemberian shadaqah, zakat; 3). Pelarangan produksi barang
dan jasa yang bertentangan dengan sistem nilai Islam (haram); 4).
Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan maysir (judi) dan
gharar (ketidakpastian); 5). Penyediaan takaful (asuransi Islam). Kesemua
istilah tentang prinsip dasar pembiayaan syari’ah tersebut merupakan
istilah-istilah yang sudah familier di bidang fiqh muamalat. Hal ini
semakin memantapkan bahwa ekonomi Islam bukan cabang dari ekonomi
sekuler, tetapi berasal dari fiqh muamalat. Di Indonesia sendiri,
judgement akhir yang berkaitan dengan kesyariahan adalah Dewan
Syari’ah Nasional, lembaga yang didirikan oleh MUI (Majelis Ulama
Indonesia) Pusat yang merupakan lembaga fatwa tentang masalah-
masalah fiqhiyah di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan produk-
produk lembaga keuangan syari’ah, seperti perbankan syari’ah, asuransi
syari’ah, pasar modal syari’ah dan lain-lain.
Namun demikian, ada sebagian pakar ilmu ekonomi Islam
seperti, munzir Qaf, yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan antara
ilmu ekonomi dengan fiqh muamalat. Menurutnya obyek kajian fiqh
muamalat membahas aspek hukum dari aktifitas ekonomi, sementara
ilmu ekonomi lebih difokuskan pada studi tentang usaha manusia yang
berkaitan aktifitas produksi, distribusi, dan konsumsi. Meskipun
demikian, di akui bahwa obyek kajian ilmu ekonomi berkaitan juga
dengan aspek normatif yang diadopsi dari hukum Islam tetapi aspek ini
bukanlah satu-satunya obyek kajian yang ada di dalamnya. Namun, ada
beberapa aspek lain yang menjadi bahan rujukan dalam pembentukan
33
ilmu ekonomi, seperti norma-norma masyarakat, pemikiran-pemikiran
para ahli, dan kebiasaan-kebiasaan yang terkait dengan perilaku ekonomi.
Dari uraian di atas jelas bahwa fiqh muamalat memang tidak
identik dengan ekonomi Islam. Akan tetapi, diakui bahwa akar keilmuan
munculnya disiplin ekonomi Islam bersumber dari fiqh muamalat.
Bahkan, aplikasi ekonomi Islam dalam lembaga keuangan syari’ah,
terutama berkaitan dengan aspek keabsahan produk lembaga keuangan
syari’ah dengan nilai-nilai Islam selalu terkait erat dengan fiqh muamalat.
H. Fiqh Muamalat dan Perubahan Sosial
Perkembangan ekonomi atau bisnis modern yang semakin pesat
seiring dengan melajunya perkembangan ilmu pengetahuan dan
tehnologi telah membawa tantangan baru bagi para pemikir hukum Islam
(mujtahid) untuk mengawal dan merespon berbagai praktek kegiatan
ekonomi atau bisnis modern tersebut agar tetap selaras dengan norma-
norma ajaran Islam.
Dalam kaitan ini, Fiqh muamalat yang merupakan bidang hukum
Islam yang memiliki kaitan langsung dengan kegiatan ekonomi
seharusnya mampu menjawab dan mengakomodir berbagai
perkembangan baru bentuk atau model bisnis modern yang boleh jadi
belum dikenal atau sudah dikenal tetapi memiliki perbedaan dalam
tehnik operasionaliasasinya dengan kegiatan bisnis zaman klasik saat fiqh
muamalat diformulasikan. Misalnya dalam transaksi bisnis modern
dikenal adanya saham, obligasi, leter of credit (LC), asuransi, dan jual beli
valas. Dalam kaitan ini, pertanyaan yang kemudian muncul adalah
mungkinkah fiqh muamalat yang merupakan produk ulama zaman klasik
dan pertengahan tersebut dapat berubah dan mampu mengakomodir
perkembangan bisnis modern dengan berbagai produk dan instrumen
bisnisnya tersebut?
34
Fiqh muamalat sebagaimana bidang fiqh lainnya, seperti fiqh
ibadat, munakahat, jinayat, dan siyasah, merupakan hasil pemikiran
ulama yang bersumberkan Al-qur’an dan As-Sunnah baik secara tekstual
maupun kontekstual di samping juga bersumberkan pada pertimbangan-
pertimbangan sosiologis masyarakat (‘urf) yang mengandung nilai
maslahat dan tidak bertentangan dengan kedua sumber hukum tersebut.
Namun demikian, berbeda dengan Fiqh ibadat yang untuk sebagian besar
ketentuan-ketentuan hukumnya bersifat qath’i, yakni bersifat tegas, pasti
dan tidak mengenal perubahan karena perbedaan tempat dan waktu
(shalihun likulli al-zaman wa al-makan) serta sangat sedikit terjadi
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Fiqh muamalat merupakan fiqh
yang untuk sebagian besar ketentuan-ketentuan hukumnya bersifat
zhanny, yakni tidak pasti kebenarannya dan banyak terjadi perbedaan
pendapat di kalangan ulama. Di samping itu, umumnya Al-Qur’an dan
As-Sunnah hanya memberikan aturan-aturan yang bersifat umum.
Sedangkan perincian atau pengembangan dari aturan tersebut diserahkan
kepada ijtihad para ahli hukum Islam sesuai dengan kondisi obyektif
waktu, tempat, tradisi, dan tingkat perkembangan tehnologi mereka.
Oleh karena itu, muamalah sangat erat hubungannya dengan
perubahan sosial yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Para ahli ilmu
sosial mendefinisikan perubahan sosial adalah perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang
mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-
sikap,dan pola-pola prilaku di antara kelompok-kelompok di dalam
masyarakat.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa permasalahan muamalah
dan pengembangannya diserahkan sepenuhnya kepada ahlinya, maka
permasalahan muamalah oleh para ahli ushul fiqh di kelompokkan ke
dalam persoalan-persoalan ta’aqquliyat (yang bisa dinalar) atau ma’qul al-
ma’na (yang bisa dimasuki logika). Maksudnya dalam permasalahan-
35
permasalahan muamalah, yang dipentingkan adalah substansi makna
yang terkandung di dalam suatu bentuk muamalah serta sasaran yang
akan dicapainya. Jika muamalah yang dilakukan dan dikembangkan
sesuai dengan substansi makna yang ditetapkan syara’, dan bertujuan
untuk kemaslahatan umat manusia dengan menghindarkan
kemadharatan, maka jenis muamalah itu dapat diterima.
Kemaslahatan setiap manusia baik yang bersifat individu ataupun
masyarakat akan selalu berbeda, dan itu semua sangat dipengaruhi oleh
perkembangan masa dan lingkungan yang mereka tempati. Masyarakat
akan selalu berubah dan berkembang sepanjang zaman. Perubahan
masyarakat tersebut meliputi nilai-nilai sosial, kaidah-kaidah sosial, pola-
pola prilaku organisasi, susunan lembaga-lembaga kemasyarakatan,
lapisan-lapisan di dalam masyarakat, dan sebagainya.
Perubahan yang terjadi dalam masyarakat jika dipandang dari segi
nilai-nilai sosial yang terkandung didalamnya dapat menimbulkan nilai
positif maupun nilai negatif. Perubahan sosial dinilai positif jika
perubahan tersebut dapat membawa kemaslahatan bagi umat manusia,
tetapi jika perubahan itu membawa kemadharatan bagi manusia, maka
perubahan tersebut mengandung nilai negatif. Dalam permasalahan
muamalah perubahan sosial yang perlu mendapat perhatian dan
pertimbangan adalah perubahan yang bersifat positif , karena tujuan dari
adanya hukum Allah adalah untuk kemaslahatan umat manusia, baik
kemaslahatan di dunia maupun di akhirat.
Namun, karena perubahan yang terjadi dalam suatu masyarakat
tidak selalu bersifat positif, maka diperlukan suatu prinsip dan kaidah-
kaidah yang dijadikan patokan untuk mengantisipasi pengaruh nilai-nilai
negatif yang terkandung didalamnya sebagai akibat dari perubahan sosial
itu sendiri. Begitu pula dalam pemasalahan muamalah, prinsip dan
kaidah-kaidah baik yang berasal dari alqur’an, al-hadist, atau dari sumber
hukum syari’ah lainnya harus diperhatikan dan dijadikan dasar hukum
36
dalam mengembangkan jenis-jenis muamalah agar tercapainya maqasidu
asy-syariah itu sendiri.
Bentuk muamalah dapat diubah dan dinyatakan tidak berlaku lagi,
jika suatu saat bentuk muamalah tersebut sudah tidak sejalan lagi dengan
kemaslahatan manusia, walaupun pada masa sebelumnya bentuk
muamalah itu pernah berlaku. Misalnya pada pertangahan abad V H di
bukhara dan balkh (di Asia Tengah), ulama fiqh Hanafi menciptakan
sebuah bentuk muamalah yang disebut dengan ba’i al-wafa’, yaitu suatu
bentuk jual beli bersyarat dengan tenggang waktu, sehingga apabila
tenggang waktu telah habis, pihak pembeli wajib menjual barang yang
dibelinya itu kepada pihak penjual sesuai dengan harga ketika
berlangsungnya akad pertama.
Contohnya, seseorang membutuhkan uang dalam keadaan
terdesak, namun ia hanya memiliki sawah seluas 1 hektar, sedangkan
tetangganya tidak mau meminjamkan uangnya secara suka rela, sekalipun
dengan akad rahn. Maka sawah tersebut dijual kepada tetangganya
sebesar uang yang dibutuhkan, yaitu Rp 50 juta dengan ketentuan bahwa
kebun itu akan dibeli lagi dalam waktu tiga tahun dengan harga yang
sama, maka pihak pembeli wajib menjualnya dengan harga yang sama
ketika berlangsungnya akad pertama. Dan selama kebun itu berada di
tangan pembeli, ia secara syara’ diperbolehkan untuk memanfaatkannya.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa bahwa jual-beli seperti ini
merupakan rekayasa dari tiga bentuk transaksi, yaitu:
1) Ketika dilakukan transaksi akad ini merupakan jual beli, karena di
dalam dijelaskan bahwa transaksi itu adalah jual beli.
2) Setelah transaksi dilaksanakan dan harta beralih kepada pembeli,
transaksi ini berbentuk al-ijari (sewa-menyewa), karena barang yang
dibeli tadi harus dikembalikan kepada penjual semula, walaupun
pembeli berhak memanfaatkan barang tersebut.
37
3) Di akhir akad ketika tanggang waktu yang disepakati sudah jatuh
tempo, ba’i al-wafa’ berbentuk ar-rahn, karena dengan sudah jatuhnya
yang disepakati kedua belah pihak, penjual harus mengembalikan
uang kepada pembeli sejumlah harga yang didiserahkan kepada
penjual ketika transaksi berlangsung, dan pembeli berkewjiban untuk
mengembalikan barang itu kepada penjual secara utuh.
Jual beli seperti ini diciptakan masyarakat dan disepakati oleh
mazhab Hanafi dengan tujuan agar riba tidak merajalela dikalangan
masyarakat ketika itu. Selain itu, disisi lainpun pemilik harta yang
berlebihan juga akan mendapatkan manfaat dan keuntungan dari
transaksi seperti itu, sehingga selain tercipta tolong menolong antara
keduanya pihak penolong (pembeli)pun memperoleh keuntungan yang
sah menurut syariat (halal).
Begitu pula mengenai konsep harta misalnya, dalam masyarakat
agraris konsep harta berbeda dengan yang berkembang dalam
masyarakat industri dan perdagangan. Dalam masyarakat industri dan
perdagangan harta berfungsi sebagaimodal dan komoditas, sedangkan
dalam masyarakat agraris harta berfungsi sebatas untuk memenuhi hajat
hidup. Begitu juga dalam teknis transaksi muamalah juga mengalami
kearah yang lebih praktis dibanding dengan aturan-aturan normatif yang
terdapat dalam fiqh muamalah.
Dengan demikian, perubahan sosial sangat berpengaruh bagi
perkembangan muamalah dalam Islam. Selain itu dari sini jelaslah bahwa
hukum Islam itu amat elastis dan fleksibel.
Dari keterangan-keterangan di atas jelas bahwa selama muamalah
yang diciptakan di suatu zaman tidak bertentangan dengan nash al-
Qur’an dan as-Sunnah, dapat diterima dengan syarat sejalan dengan
maqasid asy-syariah, yaitu untuk kemaslahatan umat manusia.