bab i pendahuluan a. latar...

31
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Infeksi yang disebabkan oleh bakteri merupakan salah satu penyakit yang sering menyerang manusia. Hal tersebut menyebabkan penggunaan berbagai jenis antibiotik di kalangan masyarakat juga semakin meningkat. Beberapa penyakit infeksi dapat ditanggulangi dengan penggunaan antibiotik yang rasional, tepat, dan aman. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional mampu menimbulkan berbagai dampak negatif seperti timbulnya kekebalan bakteri terhadap beberapa antibiotik, meningkatnya efek samping obat bahkan hingga mengakibatkan kematian (Hadi, 2006). Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah suatu kemampuan bakteri untuk menahan efek dari antibiotik (Chambers, 2001) Hal ini mampu menurunkan efektivitas dan kesuksesan terapi infeksi dengan penggunaan antibiotik (Coast et al., 1996). Infeksi yang paling banyak menyerang manusia salah satunya disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Beberapa infeksi yang disebabkan oleh S. aureus adalah bisul, jerawat, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994). Bakteri ini juga sudah banyak mengalami resistensi terhadap penggunaan beberapa antibiotik (Adukwu et al., 2012). Salah satunya adalah S. aureus yang resisten terhadap methisilin dan golongannya karena adanya modifikasi pada protein pengikat penisilin. Protein ini

Upload: ngonga

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Infeksi yang disebabkan oleh bakteri merupakan salah satu penyakit yang

sering menyerang manusia. Hal tersebut menyebabkan penggunaan berbagai jenis

antibiotik di kalangan masyarakat juga semakin meningkat. Beberapa penyakit

infeksi dapat ditanggulangi dengan penggunaan antibiotik yang rasional, tepat, dan

aman. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional mampu menimbulkan berbagai

dampak negatif seperti timbulnya kekebalan bakteri terhadap beberapa antibiotik,

meningkatnya efek samping obat bahkan hingga mengakibatkan kematian (Hadi,

2006). Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah suatu kemampuan bakteri untuk

menahan efek dari antibiotik (Chambers, 2001) Hal ini mampu menurunkan

efektivitas dan kesuksesan terapi infeksi dengan penggunaan antibiotik (Coast et

al., 1996).

Infeksi yang paling banyak menyerang manusia salah satunya disebabkan

oleh bakteri Staphylococcus aureus. Beberapa infeksi yang disebabkan oleh S.

aureus adalah bisul, jerawat, dan infeksi luka. Infeksi yang lebih berat diantaranya

pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi saluran kemih, osteomielitis, dan

endokarditis (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994). Bakteri ini juga sudah banyak

mengalami resistensi terhadap penggunaan beberapa antibiotik (Adukwu et al.,

2012). Salah satunya adalah S. aureus yang resisten terhadap methisilin dan

golongannya karena adanya modifikasi pada protein pengikat penisilin. Protein ini

2

berperan untuk mengkode peptidoglikan transpeptidase baru yang mempunyai

afinitas rendah terhadap antibiotik golongan beta laktam, sehingga terapi antibiotik

golongan beta laktam menjadi tidak efektif karena bakteri akan tetap hidup

meskipun terpapar antimikroba dalam konsentrasi tinggi. Strain S. aureus ini

dikenal dengan Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) (Jawetz et al.,

2005).

Munculnya strain bakteri yang resisten terhadap antibiotik tertentu, termasuk

bakteri S.aureus merupakan suatu masalah yang serius, apalagi bila didukung oleh

kemampuan bakteri ini dalam membentuk biofilm yang menyebabkan agen

antimikroba dan respon sistem imun tidak efektif dalam mengeliminasi sel biofilm.

Sebelum terbentuknya biofilm, bakteri hidup bebas di alam yang sering disebut

dengan fase planktonik. Kecenderungan bakteri yang hidup bebas adalah melekat

pada berbagai macam permukaan baik abiotik maupun biotik yang didukung oleh

berbagai faktor diantaranya oleh matriks ekstraselular (Costerton, 2007). Bakteri

yang melekat ini akan membentuk mikrokoloni yang akan mengatur perkembangan

membentuk biofilm. Biofilm merupakan suatu kondisi mikroba dimana secara

alami cenderung hidup berkoloni. Akibat pembentukan biofilm tersebut maka suatu

senyawa antimikroba mengalami kesulitan untuk mencapai mikroba yang dituju

(Lewis, 2001). Mikroba yang tumbuh di dalam biofilm diketahui memiliki laju

pertumbuhan yang lebih lambat bila dibandingkan dengan fase planktoniknya

(Dewanti & Hariyadi, 1997).

Infeksi yang disebabkan oleh biofilm suatu bakteri merupakan salah satu

masalah yang banyak terjadi. Ditambah lagi mikroba yang terdapat di dalam

3

matriks biofilm sangat resisten terhadap senyawa antimikroba. Resistensi

menyebabkan peningkatan penggunaan suatu senyawa antimikroba agar dapat

membunuh mikroba yang dituju. Semakin tinggi dosis yang digunakan maka dapat

semakin membahayakan pasien (Dewanti & Hariyadi, 1997). Maka dari itu,

penemuan suatu senyawa yang mampu menghambat pembentukan dan

mendegradasi biofilm sangat berguna (Quave et al., 2008).

Minyak atsiri yang berasal dari suatu tanaman dipandang cukup menjanjikan

sebagai agen antimikroba maupun antibiofilm karena mampu menjadi salah satu

alternatif yang diharapkan mampu mengurangi pemakaian antibiotik yang telah ada

sehingga menekan prevalensi terjadinya resistensi dari penggunaan senyawa

antibotik yang beberapa diantaranya sudah mengalami resistensi (Piers et al., 2011)

terutama pada mekanisme pembentukan biofilm. Hal ini mendorong dilakukannya

penelitian dengan mengkombinasikan antibiotik dengan minyak atsiri yang juga

memiliki aktivitas sebagai antibiofilm. Diharapkan kombinasi suatu senyawa

antibiotik dengan minyak atsiri mampu menjadi salah satu strategi dalam

menanggulangi resistensi mikroba dan peningkatan dosis antibiotik yang

digunakan.

Dalam penelitian ini dilakukan uji efektivitas kombinasi minyak atsiri dengan

senyawa antibiotik dalam menghambat pembentukan biofilm bakteri S.aureus.

Minyak atsiri yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sereh

(Cymbopogon citratus) yang diketahui berpotensial sebagai antibiofilm (Aiemsaard

et al., 2011; Chamdit & Siripermpool, 2012) dengan senyawa antibiotik yang

digunakan adalah eritromisin, streptomisin, kloramfenikol, dan siprofloksasin yang

4

diketahui memiliki aktivitas antibiofilm yang rendah pada S. aureus (Monte et al.,

2014; Punitha et al., 2014). Tujuan dari kombinasi ini adalah untuk meningkatkan

efektivitas suatu obat antimikroba. Melalui mekanisme kombinasi ini diharapkan

mampu mengurangi dosis dari senyawa antibiotik sehingga dapat meminimalisir

efek samping penggunaan obat antibiotik serta memberikan solusi dalam mengatasi

resistensi bakteri. Dalam penelitian ini bakteri yang digunakan adalah

Staphylococcus aureus.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana efektivitas minyak sereh (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf),

eritromisin, streptomisin, kloramfenikol, dan siprofloksasin terhadap

penghambatan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus?

2. Apakah kombinasi antibiotik dengan minyak sereh mampu menunjukkan

penghambatan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus yang lebih tinggi

daripada aktivitasnya dalam bentuk tunggal?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui efektivitas minyak sereh (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf),

eritromisin, streptomisin, kloramfenikol dan siprofloksasin terhadap

penghambatan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus.

5

2. Mengetahui apakah kombinasi antibiotik dengan minyak sereh mampu

menunjukkan penghambatan pembentukan biofilm Staphylococcus aureus

yang lebih tinggi daripada aktivitasnya dalam bentuk tunggal.

D. Manfaat Penelitian

1. Mengetahui potensi aktivitas sinergisme antara minyak sereh dengan antibiotik,

dan bila terdapat aktivitas sinergisme maka dapat menentukan pada kadar

berapa yang menunjukkan efek sinergisme yang paling efektif.

2. Menemukan alternatif untuk mengatasi kasus resistensi bakteri terhadap

beberapa senyawa antibiotik.

E. Tinjauan Pustaka

1. Uraian tentang biofilm bakteri Staphylococcus aureus

a. Biofilm

Mikroorganisme yang hidup di alam ternyata lebih banyak yang terdapat

dalam keadaan menempel pada permukaan sel daripada keadaan yang

tersuspensi dalam fase planktonik, kemudian berkembang menjadi bentuk

biofilm yang lebih stabil (Dewanti & Hariyadi, 1997). Biofilm merupakan

bentuk mikroorganisme yang tumbuh namun bukan dalam bentuk planktonik

melainkan menempel pada bagian permukaan yang cenderung lembab. Bila

mikroba terdapat dalam bentuk biofilmnya maka pada umumnya mereka tahan

terhadap senyawa antimikroba daripada mikroba yang terdapat dalam bentuk

sel planktoniknya (Donlan & Costerton, 2002). Tujuan pembentukan biofilm

6

sebagai bentuk pertahanan mikroba terhadap pengaruh kondisi dari luar

(Yarwood et al., 2004).

Biofilm yang terbentuk dapat terdiri dari mikroba tunggal maupun

beberapa spesies mikroba. Biofilm yang terbentuk oleh spesies tunggal terdapat

dalam berbagai infeksi sehingga biofilm spesies tunggal ini yang menjadi fokus

dalam beberapa penelitian yang ada sekarang (O’Toole et al., 2000).

Beberapa studi menunjukkan bahwa fase biofilm merupakan kondisi

stabil dalam suatu kondisi yang mencakup inisiasi, pematangan, pemeliharaan,

dan disolusi. Tahap awal dalam pembentukan biofilm dimulai dari penempelan

sel bakteri pada suatu permukaan yang padat yang diikuti dengan proses

proliferasi dan agregasi untuk menghasilkan lapisan utama dari biofilm (Nobile

& Mitchel, 2007). Proses selanjutnya terjadi interaksi antar sel sehingga

terbentuk koloni dengan melakukan Quorum sensing (QS). Quorum sensing

adalah suatu mekanisme komunikasi antar sel bakteri yang memastikan jumlah

sel mencukupi untuk mampu melakukan respon biologi khusus. Setiap sel

bakteri akan menghasilkan molekul sinyal untuk dapat melakukan komunikasi

dengan sel bakteri lainnya. Setelah cukup banyak sel bakteri yang menghasilkan

molekul sinyal maka dapat memicu pembentukan biofilm untuk keseluruhan

bakteri tersebut. Molekul sinyal yang dihasilkan oleh tiap sel bakteri berbeda

untuk setiap jenis mikroba yang memiliki peranannya masing-masing. Sinyal

molekul bakteri Gram positif berupa peptid sedangkan sinyal bakteri Gram

negatif berupa AHLs (N-acylhomoserine lactones) (O’Toole et al., 2000;

Hentzer & Giskov, 2003).

7

Langkah selanjutnya dalam pembentukan biofilm bakteri adalah produksi

matriks seluler yang disebut EPS (Extracellular Polimeric Substances) yang

terdiri dari protein, glikoprotein, dan glikolipid serta ada yang mengandung

DNA, dihasilkan dan digunakan bakteri untuk melekat (Flemming et al., 2007).

Extracellular Polimeric Substances mampu memberi perlindungan bakteri

terhadap mekanisme pertahanan yang dihasilkan oleh hospes dan menghalangi

masuknya agen antimikroba sehingga mampu memicu resistensi bakteri

terhadap antimikroba, serta melindungi dari pengaruh faktor-faktor lainnya

untuk mempertahankan kelangsungan hidup bakteri (Lewis, 2001; Hentzer &

Giskov, 2003). Fase selanjutnya adalah pematangan yang ditandai dengan

pembentukan struktur menara oleh sel di dalam EPS. Sel-sel dalam biofilm

dapat mengalami disolusi yaitu sel kembali dalam bentuk planktonik dan

melengkapi siklus pembentukan biofilm (Hentzer & Giskov, 2003).

Gambar 1. 1. Penempelan awal; 2. Pembentukan koloni; 3.Penempelan

permanen (produksi EPS); 4. Maturasi; 5. Pelepasan sel kembali ke fase planktonik

(Stoodley et al., 2002)

Matriks biofilm yang dihasilkan oleh bakteri memiliki fungsi yang

beragam tergantung dari strukturnya, namun secara umum matriks biofilm

memiliki fungsi pertahanan dan perlekatan. Fungsi perlekatan untuk

8

memelihara sel-sel dan interaksi sel yang terdapat di permukaan untuk menjaga

keutuhan struktur biofilm. Fungsi pertahanan untuk melindungi sel bakteri dari

mekanisme perlindungan dari hospes dan masuknya agen antimikroba ke dalam

sel bakteri (Nobile & Mitchel, 2007). Menurut Jabra-Rizk et al. (2006),

resistensi mikroba dalam bentuk biofilm adalah lebih besar 50 sampai 500 kali

daripada bentuk sel planktoniknya.

b. Bakteri Staphylococcus aureus

Bakteri S. aureus termasuk dalam divisi Protophyta, kelas Schizomycetes,

bangsa Eubacteriales, suku Micrococcaceae, marga Staphylococcus, dan jenis

Staphylococcus aureus (Salle, 1961). Staphylococcus aureus merupakan

bakteri Gram positif yang berbentuk bulat, merupakan jenis yang tidak

menghasilkan spora dan tidak bergerak. Staphylococcus aureus tumbuh pada

suhu optimum 37oC, dengan koloni pada media padat berwarna abu-abu hingga

kuning keemasan. Staphylococcus aureus tersusun dalam rangkaian yang tidak

beraturan seperti buah anggur. Beberapa diantaranya tergolong flora normal

pada kulit dan selaput mukosa manusia, menyebabkan penanahan, abses, dan

berbagai infeksi. Staphylococcus aureus mengandung polisakarida dan protein

yang berfungsi sebagai antigen dan merupakan substansi penting di dalam

struktur dinding sel (Jawetz et al., 2005).

Infeksi yang disebabkan oleh S. aureus ditandai dengan adanya kerusakan

jaringan yang disertai abses bernanah. Beberapa penyakit infeksi yang

disebabkan oleh S.aureus adalah bisul, jerawat, dan infeksi luka. Infeksi yang

9

lebih berat diantaranya adalah pneumonia, mastitis, plebitis, meningitis, infeksi

saluran kemih, osteomielitis, dan endokarditis. Staphylococcus aureus juga

merupakan penyebab utama infeksi nosokomial dan keracunan makanan (Ryan

et al., 1994; Warsa, 1994).

Bisul atau abses, seperti jerawat dan borok merupakan infeksi kulit yang

muncul di daerah folikel rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat.

Diawali dengan terjadinya nekrosis pada jaringan setempat, lalu diikuti dengan

koagulasi fibrin di sekitar lesi dan pembuluh getah bening sehingga terbentuk

dinding yang membatasi proses nekrosis. Infeksi dapat menyebar ke bagian

tubuh lain melalui pembuluh getah bening dan pembuluh darah, sehingga dapat

menyebabkan peradangan pada vena bahkan bakterimia. Bakterimia dapat

menyebabkan terjadinya endokarditis, osteomielitis, meningitis, atau infeksi

paru-paru (Warsa, 1994; Jawetz et al., 2005). Kontaminasi oleh S.aureus pada

luka terbuka (termasuk luka pascabedah) atau infeksi setelah trauma (seperti

osteomielitis kronis) dan meningitis, merupakan penyebab infeksi nosokomial

(Jawetz et al., 2005).

Pengobatan terhadap infeksi S. aureus dapat dilakukan melalui pemberian

antibiotik, yang disertai dengan tindakan bedah, baik berupa pengeringan abses

maupun nekrotomi. Pada infeksi yang cukup berat, diperlukan pemberian

antibiotik secara oral atau intravena seperti penisilin, metisilin, sefalosporin,

eritromisin, linkomisin, vankomisin, dan rifampisin. Sebagian besar galur

Staphylococcus sudah resisten terhadap berbagai antibiotik tersebut, sehingga

perlu diberikan antibiotik berspektrum lebih luas seperti siprofloksasin,

10

kloramfenikol, amoksisilin, dan tetrasiklin (Ryan et al., 1994; Warsa, 1994;

Jawetz et al., 2005).

Staphylococcus aureus merupakan bakteri Gram positif dan salah satu

patogen penting yang memiliki kemampuan untuk mengalami mekanisme

resistensi dan faktor-faktor penentu lainnya yang telah muncul dalam

masyarakat (Adukwu et al., 2012). Beberapa jenis S.aureus selama beberapa

tahun terakhir ini menjadi tahan terhadap antibiotik yang sebelumnya efektif.

Berikut merupakan beberapa mekanisme resistensi yang secara umum terjadi

pada bakteri adalah: perubahan target aksi sehingga afinitas obat terhadap

reseptor berkurang, adanya inaktivasi agen antimikroba oleh enzim yang

dihasilkan oleh bakteri, dan adanya mekanisme antibiotic efflux (Sibanda &

Okoh, 2007).

Proses pembentukan biofilm S. aureus sama seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya pada bagian biofilm. Tahap akhir yang merupakan pelepasan sel

planktonik merupakan tahap penyebaran infeksi terjadi di dalam tubuh (Rohde

et al., 2007). Pembentukan biofilm pada S. aureus berpengaruh terhadap

kemampuan difusi antibiotik melewati matriks biofilm yang menyebabkan

terjadinya resistensi terhadap beberapa antibotik. Peran penting suatu biofilm

adalah mencegah suatu agen antimikroba mencapai target (seperti sitoplasma

dan membran sel) (Vuong et al., 2004).

11

2. Uraian tentang Minyak atsiri sereh

a. Sereh dapur (Cymbopogon citratus)

Gambar 2. Tanaman sereh

Tanaman sereh dapur termasuk ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi

Angiospermae, kelas Monocotyledon, bangsa Poales (Glumiflorae), suku

Poaceae (Graminae), genus Cymbopogon, dan spesies Cymbopogon citratus

(Backer & Van den Brink, 1968).

Morfologi daun tanaman sereh adalah berwarna hijau dan tidak

bertangkai. Daunnya kesat, panjang, dan runcing hampir menyerupai ilalang.

Berbentuk seperti pita yang semakin ke ujung semakin runcing, berbau jeruk

limau ketika daunnya diremas, berwarna hijau kebiru-biruan. Daunnya

memiliki tepi yang kasar dan tajam namun halus pada kedua permukaannya.

Berdaun tunggal, lengkap, berpelepah daun silindris. Tulang daunnya sejajar.

Letak daun pada batang secara tersebar. Panjang daunnya sekitar 50-100 cm,

sedangkan lebarnya kira-kira 2 cm. Daging daun tipis, serta pada bagian kedua

permukaannya terdapat bulu halus. Tanaman sereh jenis ini jarang sekali

memiliki bunga, kalaupun ada maka pada umumnya bunganya tidak memiliki

12

mahkota dan mengandung bulir. Tanaman sereh jenis C. citratus jarang sekali

atau bahkan tidak memiliki buah dan biji (Backer & Van den Brink, 1968).

Tanaman sereh dapur mengandung minyak atsiri yang tersusun atas

komponen senyawa sitral, sitronellal, metilheptan, n-desil aldehida, linalool,

geraniol, limonen, eugenol, dan metileugenol (Guenther, 1990).

b. Minyak atsiri

Minyak atsiri adalah minyak yang mudah menguap dan diperoleh dari

tanaman penghasilnya. Minyak atsiri saat ini banyak digunakan sebagai bahan

pewangi atau penyedap. Beberapa jenis minyak atsiri dapat digunakan sebagai

antiseptik. Minyak atsiri dari tanaman tertentu bahkan secara umum tersusun

atas senyawa kimia tertentu yang pada prinsipnya mampu menunjukkan

aktivitas antimikroba yang spesifik terutama pada bakteri S. aureus dan

Escherichia coli (Triayu, 2009).

Beberapa tahun terakhir ini banyak dikembangkan senyawa alami yang

memiliki aktivitas sebagai antimikroba dan banyak dilakukan penelitian

terhadap kandungan senyawa dalam tanaman yang mampu dijadikan sebagai

agen antimikroba (Bourne et al., 1999; Cowan, 1999).

Minyak atsiri yang diambil dari tanaman banyak menunjukkan adanya

aktivitas sebagai antimikroba secara in vitro pada strain suatu bakteri yang

diketahui memiliki resistensi terhadap antimikroba tertentu (Fisher & Phillips,

2006; Warnke et al., 2009).

13

Minyak atsiri yang memiliki aktivitas antimikroba dapat digunakan secara

topikal (Barker dan Altman, 2004), secara oral, terutama untuk perawatan gigi-

mulut (Jeon et al., 2011), dan untuk penyembuhan luka (Edwards-Jones et al.,

2004; Thakur et al., 2011).

Beberapa tahun terakhir, laporan penelitian mengenai minyak atsiri

sebagai suatu senyawa yang memiliki aktivitas antibiofilm semakin meningkat.

Salah satunya adalah minyak atisiri sereh yang menunjukkan aktivitas

antibiofilm pada Listeria monocytogenes (De Oliveira et al., 2010).

Efek yang ditimbulkan dari minyak atsiri kayu manis pada biofilm sudah

diteliti dengan uji yang menunjukkan eradikasi biofilm yang cukup pada S.

aureus dan S. epidermidis (Nuryastuti et al., 2009) pada kadar minyak atsiri

yang hampir sama dengan kadar minyak atisiri yang digunakan pada sel

planktonik. Begitu pula pada penelitian yang menggunakan minyak atsiri

oregano, carvacrol, dan thymol menunjukkan efek penghambatan dan eradikasi

terhadap biofilm bakteri S. aureus dan S. epidermidis pada kadar minyak atsiri

dua sampai empat kali lebih besar dari konsentrasi yang diperlukan untuk

menghambat fase planktonik (Nostro et al., 2007). Pada penelitian uji in vitro

lainnya, terdapat peningkatan aktivitas pada senyawa minyak atsiri terhadap

biofilm bila dibandingkan dengan efeknya pada bentuk sel planktoniknya (Al-

Shuneigat et al., 2005; Karpanen et al., 2008).

14

c. Minyak atsiri sereh

Minyak atsiri sereh merupakan salah satu jenis minyak atsiri yang banyak

digunakan. Minyak sereh berwarna kuning muda sampai kuning tua, berbau

lemon dan bersifat mudah menguap. Memiliki nilai bobot jenis pada 15oC

sebesar 0.886 – 0894 dan nilai indeks bias pada 20oC sebesar 1,467 – 1,473.

Larut dalam tiga bagian volume etanol namun bila diencerkan lagi maka larutan

menjadi keruh (Ketaren, 1985).

Kegunaan minyak sereh dapat digunakan untuk pewangi sabun maupun

detergen dan jenis produk teknis lainnya. Sedangkan minyak kasar digunakan

untuk pembuatan isolat sitral yang banyak digunakan dalam flavor, kosmetik,

dan parfum. Minyak atsiri sereh tersusun atas tiga komponen utama yaitu

sitronellal, sitronellol, dan geraniol (Guenther, 1990).

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan adanya aktivitas minyak

sereh dalam menghambat pertumbuhan mikroba genus Aspergillus (Matasyoh

et al., 2010; Al-Yousef., 2013). Minyak sereh tersebut juga ditemukan

berpotensial sebagai antibakteri dalam melawan beberapa bakteri pada fase

planktonic termasuk S. aureus (Ragasa et al., 2008; Naik et al., 2010; Chamdit

& Siripermpool, 2012; Kruthi et al., 2014) sehingga hal tersebut dapat

meningkatkan efektivitas dalam penyembuhan yang disebabkan oleh mikroba

yang telah resisten terhadap beberapa obat.

Terdapat pula beberapa penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa

minyak sereh berpotensial sebagai agen antibiofilm. Seperti yang ditunjukkan

dari hasil penelitian mengenai aktivitas minyak sereh dan komponen utamanya

15

seperti sitral, geraniol, dan mirsen dalam menghambat empat strain patogen

termasuk S. aureus pada pembentukan biofilm (Aiemsaard et al., 2011;

Chamdit & Siripermpool, 2012). Beberapa minyak atsiri menunjukkan

efikasinya terhadap eradikasi pembentukan biofilm pada bakteri dengan

efisiensi yang lebih besar daripada hanya menggunakan agen antimikroba yang

biasa digunakan (Kavanaugh & Ribbeck, 2012).

d. Cara mendapatkan minyak atsiri

Cara untuk mengambil minyak atsiri yang terdapat dalam tumbuhan

penghasil minyak atsiri dapat dilakukan dengan tiga metode yaitu penyulingan

(distillation), ekstraksi dengan menggunakan pelarut (solvent extraction), dan

pengempaan (expression). Penyulingan merupakan metode yang paling banyak

digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri. Namun pemilihan metode isolasi

minyak atsiri tergantung dari sifat bahan baku tumbuhan yang akan digunakan.

Metode ekstraksi menggunakan prinsip melarutkan minyak atsiri dalam bahan

dengan pelarut organik yang mudah menguap seperti kloroform, eter, aseton

dan etanol dialirkan bersamaan dengan bahan tumbuhan sampai terkumpul pada

suatu tempat sehingga terkumpul minyak atsiri dan unsur pelarut. Lalu tempat

ini akan dipanaskan pada suhu rendah (45oC) untuk menguapkan unsur pelarut

yang digunakan agar diperoleh minyak atsiri yang terpisah dari unsur

pelarutnya. Dengan metode pengempaan dilakukan dengan mengempa bahan

tumbuhan pada sebuah alat penekan. Umumnya bahan tumbuhan berupa biji,

buah, atau kulit luar yang dihasilkan oleh tanaman yang termasuk dalam famili

16

citrus. Alat yang digunakan berupa mesin penekan yang bekerja dengan cara

menekan bahan baku hingga sel penghasil minyak akan pecah sehingga minyak

akan keluar (Armando, 2009).

Penyulingan minyak atsiri dapat dibedakan atas tiga cara yaitu

penyulingan dengan air, penyulingan dengan uap, dan penyulingan dengan uap

dan air. Pada penyulingan dengan air, bahan tumbuhan yang akan disuling

direbus dengan air mendidih dalam suatu wadah. Uap air yang menguap

membawa uap minyak atsiri yang terdapat dalam bahan tumbuhan, dialirkan

melalui sebuah pipa yang berhubungan dengan kondensor sehingga uap

berubah menjadi cair kembali. Cairan ditampung pada sebuah tempat kemudian

dilakukan pemisahan minyak dari air. Metode penyulingan ini baik digunakan

untuk bahan penyulingan berbentuk tepung dan bunga-bungaan yang mudah

membentuk gumpalan ketika terkena panas tinggi. Namun karena dicampur

menjadi satu, waktu penyulingan yang dibutuhkan lama serta jumlah dan mutu

minyak yang dihasilkan rendah. Selain itu bahan yang disuling dapat hangus

karena suhu yang tinggi bila tidak diawasi. Pada penyulingan dengan uap dan

air, bahan diletakkan di atas piringan yang berlubang-lubang seperti ayakan dan

terletak beberapa sentimeter di atas air mendidih. Selanjutnya uap yang timbul

akibat pemanasan air akan dialirkan melalui lubang-lubang piringan dan terus

mengalir melewati bahan sambil membawa minyak yang terkandung dalam

bahan. Uap ini dikondensasi agar kembali menjadi cair sehingga minyak dan

air dipisahkan. Keuntungan dari metode ini adalah penetrasi uap terjadi secara

merata ke dalam jaringan bahan dan suhu dapat dipertahankan. Lama

17

penyulingan relatif lebih singkat, rendemen minyak lebih besar dan kualitas

minyak lebih baik jika dibandingkan dengan minyak hasil dari sistem

penyulingan dengan air. Penyulingan dengan uap dilakukan dengan cara

membedakan wadah pemanasan air dan wadah bahan. Air dipanaskan sehingga

mengeluarkan uap yang dialirkan menuju wadah bahan. Uap yang dihasilkan

bertekanan lebih tinggi dari tekanan udara luar. Di dalam wadah bahan, bahan

diletakkan di atas piringan yang berlubang-lubang sama seperti penyulingan

dengan uap dan air. Selanjutnya uap tetap akan mengalami proses pendinginan

untuk dicairkan. Proses penyulingan ini baik digunakan untuk bahan baku

minyak atsiri berupa kayu, kulit batang, maupun biji-bijian yang relatif keras

(Armando, 2009).

3. Uraian tentang antibiotik

a. Eritromisin

Eritromisin merupakan antibiotik yang termasuk dalam golongan

makrolid. Antibiotik makrolid merupakan suatu golongan obat antimikroba

yang menghambat sistesis protein mikroba. Makrolid adalah suatu golongan

senyawa yang memiliki kaitan erat dan ditandai dengan adanya sebuah cincin

lakton makrosiklik (mengandung 14 atau 16 atom) tempat gula-gula deoksi

melekat. Struktur umum eritromisin ditunjukkan dengan adanya cincin

makrolid dan gula desosamin dan kladinosa. Obat ini kurang larut dalam air

tetapi mudah larut dalam pelarut organik. Eritromisin biasanya dibuat dalam

bentuk ester dan garam (Katzung et al., 2014).

18

Gambar 3. Struktur kimia eritromisin

Eritromisin bekerja bakteriostatik terhadap terutama bakteri Gram positif

khususnya S. aureus dan Diphtheroid, serta spektrum kerjanya mirip penisilin-

G, makanya dapat digunakan oleh penderita yang alergis terhadap penisilin.

Mekanisme kerjanya seperti tetrasiklin, yakni melalui pengikatan reversibel

pada ribosom mikroba, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Bila digunakan

terlalu lama atau sering dapat terjadi resistensi. Absorpsinya tidak teratur, agak

sering menimbulkan efek samping saluran cerna (Tjay & Rahardja, 2007).

Eritromisin merupakan pilihan pertama pada khususnya infeksi paru-paru

dengan Legionella pneumophila dan Mycoplasma pneumonia, juga pada infeksi

usus dengan Campylobacter jejuni. Eritromisin khusus digunakan sebagai

pilihan kedua bilamana terdapat resistensi atau hipersensitivitas untuk penisilin

(Tjay & Rahardja, 2007).

Eritromisin memiliki aktivitas sebagai bakteriostatik maupun bakterisida

tergantung dari jenis mikroba patogen dan konsentrasi obat. Mekanisme

aksinya adalah melalui proses penghambatan sintesis protein bakteri dengan

cara berikatan secara reversible dengan ribosom subunit 50S. Antibiotik ini

19

memiliki spektrum kerja yang cukup luas terhadap bakteri Gram positif seperti

S. aureus, Streptococcus pyogenes dan Streptococcus pneumonia, dan Gram

negatif seperti Haemophilus influenzae, Pasteurella multocida, Brucella dan

Rickettsia maupun mikoplasma (Chlamydia) namun tidak memiliki aktivitas

terhadap virus, ragi ataupun jamur (Katzung et al., 2014).

b. Streptomisin

Streptomisin merupakan antibiotik golongan aminoglikosid yang

dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan Micromonospora. Spektrum

kerjanya luas dan meliputi terutama banyak bacilli Gram negatif, antara lain

E.coli, H. influenza, Klebsiella, Proteus, Enterobacter, Salmonella dan

Shigella. Obat ini juga aktif terhadap gonococci dan sejumlah bakteri Gram

positif (antara lain S. aureus/ S. epidermidis). Streptomisin aktif terhadap

bakteri tahan asam Mycobacterium (tuberkulosis dan lepra) (Tjay & Rahardja,

2007).

Gambar 4. Struktur kimia streptomisin

Aktivitasnya adalah bakterisid, berdasarkan dayanya untuk menembus

dinding bakteri dan mengikat diri secara spesifik pada ribosom subunit 30S di

dalam sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis

20

proteinnya dikacaukan. Efek ini tidak saja terjadi pada fase pertumbuhan,

melainkan juga bila bakteri tidak membelah diri (Tjay & Rahardja, 2007).

Streptomisin diperoleh dari Streptomyces griseus oleh Waksman (1943)

dan segera digunakan sebagai obat tuberkulosid. Penggunaannya pada terapi

tuberkulosis sebagai obat pilihan utama sudah lama terdesak oleh obat-obat

primer lainnya berhubung toksisitasnya. Hanya bila terdapat resistensi atau

intoleransi bagi obat-obat tersebut maka streptomisin masih dapat digunakan

(Tjay & Rahardja, 2007).

c. Kloramfenikol

Semula diperoleh dari sejenis Streptomyces (1947), tetapi kemudian

dibuat secara sintetis. Antibiotik spektrum luas ini berkhasiat sebagai

bakteriostatis terhadap hampir semua bakteri Gram positif dan sejumlah bakteri

Gram negatif, juga terhadap Spirochaeta, Chlamydia trachomatis dan

Mycoplasma. Bekerja sebagai bakterisid terhadap S. pneumoniae, N.

meningitidis dan H. influenza. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan

sintesis polipeptida bakteri. Kloramfenikol tidak aktif terhadap kebanyakan

suku Pseudomonas, Proteus dan Enterobacter (Tjay & Rahardja, 2007).

Gambar 5. Struktur kimia kloramfenikol

21

Kloramfenikol memberikan efek dengan cara bereaksi pada ribosom

subunit 50S dan menghalangi aktivitas enzim peptidil transferase. Enzim ini

berfungsi untuk membentuk ikatan peptida antara asam amino baru yang masih

melekat pada tRNA dengan asam amino terakhir yang sedang berkembang. Hal

ini menyebabkan sintesis protein bakteri akan terhenti (Pratiwi, 2008).

Kloramfenikol merupakan antibiotik bakteriostatik berspektrum luas yang

aktif terhadap organisme aerobik dan anaerobik Gram positif maupun Gram

negatif. Sebagian besar bakteri Gram positif dihambat pada konsentrasi 1-10

μg/mL, sementara sebagian besar bakteri Gram negatif dihambat pada

konsentrasi 0,2-5 μg/mL (Katzung et al., 2014).

d. Siprofloksasin

Siprofloksasin merupakan antibiotik golongan senyawa kuinolon generasi

kedua yang memiliki spektrum kerja lebih luas dan lebih efektif terhadap

Enterobacteriaceae, P. aeruginosa, S. aureus, dan L. pneumophila (Tjay &

Rahardja, 2007).

Siprofloksasin mempunyai substituen 6-fluoro yang sangat memperkuat

potensi antibakteri melawan organism Gram positif dan Gram negatif termasuk

E.coli, P. aeruginosa, Salmonella, dan Campylobacter. Sejauh ini resistensi

tidak sering terjadi (Neal, 2006).

22

Gambar 6. Struktur kimia siprofloksasin

Mekanisme kerja siprofloksasin sebagai bakterisid adalah pada fase

pertumbuhan bakteri, berdasarkan inhibisi dua enzim bakteri (topo-isomerase),

yakni DNA-gyrase dan topo-isomerase IV sehingga sintesis DNA-nya

terganggu. DNA-gyrase adalah enzim yang mengkompres DNA bakteri

sehingga dapat diinkorporasi dalam sel bakteri, sedangkan topo-isomerase

diperlukan bagi struktur ruang DNA. Kedua proses itu dihambat oleh senyawa

kuinolon. Enzim tersebut hanya terdapat pada bakteri dan tidak pada sel dari

organisme lebih tinggi, sehingga sintesis DNA manusia tidak dihambat (Tjay &

Rahardja, 2007).

4. Media kultur

Media kultur diperlukan untuk perkembangbiakan mikroba di

laboratorium. Media kultur yang berisi bahan nutrisi diperlukan untuk menjaga

habitat normal mikroorganisme. Media kultur yang baik mengandung seluruh

nutrisi yang dibutuhkan mikroorganisme seperti air, sumber energi, zat hara

sebagai sumber karbon, nitrogen, sulfur, fosfat, oksigen, dan hidrogen. Media

biakan yang digunakan harus di sterilisasi terlebih dahulu. Proses sterilisasi

yang dilakukan bertujuan untuk membunuh semua organisme yang terdapat

dalam media biakan untuk mencegah terjadinya kontaminasi selama proses

23

pertumbuhan mikroorganisme (Lay, 1994). Beberapa faktor yang menentukan

proses perkembangbiakan bakteri adalah pH, temperatur, dan aerasi yang harus

diperhatikan dan dikontrol (Pratiwi, 2008).

Berdasarkan konsistensinya, media dibagi menjadi dua jenis yaitu media

padat dan media cair. Media padat menggunakan bahan pengeras seperti Agar

atau silica gel. Agar merupakan ekstrak polisakarida yang berasal dari alga laut

yang banyak digunakan sebagai bahan pengeras dalam media kultur karena

tidak dapat didegradasi oleh mikroorganisme. Media cair menggunakan ekstrak

kompleks material biologis yang dinamakan broth (Pratiwi, 2008).

Media kompleks merupakan media yang tersusun atas komponen yang

secara kimia tidak diketahui namun diperlukan untuk kebutuhan nutrisi

mikroorganisme tertentu. Contoh: pepton adalah produk yang dihasilkan dari

bahan-bahan yang mengandung protein seperti jagung, kasein, dan gelatin

sebagai sumber utama nitrogen organik, dapat pula mengandung vitamin dan

kadang karbohidrat tergantung kepada jenis bahan yang mengandung protein

yang dicernakan; ekstrak khamir sebagai sumber yang kaya vitamin B, dan

sebagai sumber karbon dan nitrogen organik. Beberapa contoh media kompleks

adalah Nutrient Broth atau Agar, (Pelczar & Chan, 1986; Pratiwi, 2008).

5. Sterilisasi

Sterilisasi adalah suatu proses untuk menghilangkan, mematikan, atau

menghancurkan semua bentuk mikroorganisme hidup baik yang patogen

maupun tidak, bahkan dalam bentuk vegetatif (spora) dari suatu objek atau

24

bahan. Dengan sterilisasi akan diperoleh objek atau bahan yang steril. Pada

umumnya suatu proses yang dapat menghancurkan zat hidup juga mampu

menyebabkan beberapa kerusakan pada obyek yang disterilkan (Levinson,

2008).

Metode sterilisasi kimia dilakukan untuk bahan-bahan yang rusak bila

disterilkan pada suhu tinggi (misalnya bahan-bahan dari plastik). Kekuatan

agen antimikroba kimiawi diklasifikasikan atas dasar efisiensinya dalam

membunuh mikroorganisme. Seluruh germisida diklasifikasikan sebagai

kategori tingkat tinggi karena efektif terhadap seluruh bentuk kehidupan

termasuk endospora bakteri. Jenis agen antimikroba kimiawi yang digunakan

yaitu bentuk cair (fenol-fenol, senyawa ammonium kuartener, alkohol) dan gas

(ethylene oxide, formaldehid) (Pratiwi, 2008).

Metode sterilisasi dengan menggunakan radiasi dilakukan dengan

menggunakan sinar UV ataupun dengan metode ionisasi. Sinar UV dengan

panjang gelombang 260 nm memiliki daya penetrasi yang rendah sehingga

tidak mematikan mikroorganisme namun dapat mempenetrasi gelas, air, dan

substansi lainnya. Sinar UV ini bereaksi dengan asam nukleat sel

mikroorganisme dan menyebabkan ikatan antara molekul-molekul timin yang

bersebelahan dan menyebabkan terbentuknya dimer timin. Dimer timin dapat

menghalangi replikasi DNA normal dengan menutup jalan enzim replikasi.

Penggunaan sterilisasi dengan sinar UV antara lain untuk sterilisasi kabinet dan

ruangan. Endospora bakteri resisten terhadap sinar UV. Metode sterilisasi

dengan ionisasi sebesar 2,5 Mrad dapat mempenetrasi jauh ke dalam obyek.

25

Penggunaan teknik ini, misalnya dengan radiasi gamma dari kobalt-60, lebih

kuat daya tembusnya dibandingkan dengan cahaya UV dan tidak dilakukan

dalam laboratorium. Metode sterilisasi ini ditujukan untuk merusak asam

nukleat mikroorganisme dan digunakan untuk bahan-bahan yang tidak dapat

disterilisasi menggunakan panas, contohnya bahan plastik sekali pakai

(disposable plasticware), antibiotik, hormon, dan jarum suntik (syringe)

(Pratiwi, 2008).

Metode sterilisasi dengan menggunakan panas dibagi menjadi dua jenis

yaitu panas basah dan panas kering. Panas basah menggunakan alat autoclave

pada suhu 110C selama 20 menit atau dapat juga dilakukan pada suhu 121C

selama 15 menit. Metode ini digunakan untuk bahan yang tidak tahan panas

tinggi. Pada metode ini uap air akan menembus dinding sel mikroba dan

mengakibatkan koagulasi protein sehingga spora bakteri akan mati dan tercapai

keadaan steril. Panas kering menggunakan oven suhu 200C selama 1 jam.

Sterilisasi panas kering dilakukan untuk alat-alat yang tahan pemanasan tinggi

tetapi tidak dapat ditembus oleh uap air dengan mudah. Pada sterilisasi panas

kering, pemusnahan mikroba berdasarkan proses oksidasi dan dehidrasi

terhadap sel mikroba. Dalam sterilisasi ini perlu diperhatikan penyusunan alat

gelas dalam oven. Sebaiknya alat gelas disusun agak renggang sehingga aliran

udara dapat menembus dan terdispersi ke seluruh permukaan gelas. Keuntungan

menggunakan metode sterilisasi panas kering adalah alat-alat yang disterilkan

akan tetap kering (Ansel, 2014).

26

Metode sterilisasi dengan filtrasi (penyaringan) digunakan untuk bahan

yang sensitif terhadap panas misalnya enzim. Pada proses ini digunakan

membran filter yang terbuat dari selulosa asetat. Kerugian prosedur ini adalah

biaya yang mahal serta filter yang mudah mampat akibat filtrat tertinggal pada

saringan sehingga harus sering diganti. Kerugian yang lain adalah meskipun

memiliki pori-pori yang halus, membran filter tidak dapat digunakan untuk

menyaring virus. Jenis filter yang sering digunakan adalah filter HEPA (High

Efficiency Particulate Air) (Pratiwi, 2008).

6. Uji aktivitas penghambatan pertumbuhan sel planktonik bakteri

Uji ini bertujuan untuk mengukur respon pertumbuhan bakteri pada fase

planktonik terhadap suatu agen antimikroba. Metode yang digunakan adalah

mikrodilusi cair yang dilakukan dengan cara menginokulasikan mikroba dalam

media cair yang mengandung agen antimikroba dalam seri kadar pada sumuran

microplate flat bottom 96 wells yang diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.

Selanjutnya dilakukan pembacaan Optical density (OD) menggunakan

microplate reader. Metode mikrodilusi memberikan hasil kuantitatif yang

menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat atau

membunuh bakteri (Brooks et al., 2001).

7. Uji aktivitas penghambatan pembentukan biofilm bakteri

Uji ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suatu senyawa terhadap

pembentukan biofilm bakteri. Metode yang digunakan adalah mikrodilusi cair

27

dengan microplate U-bottom 96 wells, dilakukan dengan memasukkan senyawa

uji konsentrasi terntentu yang sudah dicampurkan dengan media ke dalam

sumuran dan ditambahkan bakteri uji. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC

selama 48 jam (Quave et al., 2008). Supernatant pada tiap sumuran dibuang

dan dicuci dengan akuades sebanyak tiga kali. Metode pengukurannnya

menggunakan matrix quantification assay yang didasarkan pada pewarnaan

menggunakan larutan kristal violet 1% dalam akuades (Peeters et al., 2008).

Larutan kristal violet 1% dimasukkan ke dalam tiap sumuran dan ditunggu

selama 15 menit lalu dicuci dengan akuades sebanyak tiga kali dan dikeringkan.

Etanol dimasukkan ke dalam tiap sumuran bertujuan untuk melarutkan kristal

violet yang terikat pada lapisan biofilm, sehingga banyaknya kristal violet yang

terikat berbanding lurus dengan massa biofilm yang terbentuk, metode ini

merupakan modifikasi dari penelitian Hertiani et al. (2010). Optical density

(OD) dibaca menggunakan microplate reader pada panjang gelombang 595 nm

(Skogman, 2012). Optical density yang terbaca berbanding lurus dengan

pembentukan biofilm pada setiap sumuran (Quave et al., 2008).

8. Terapi antibiofilm

Tujuan pembentukan biofilm sebagai pertahanan mikroba dari pengaruh

luar, sangat menyulitkan senyawa antimikroba untuk memberikan efek

terhadap mikroba yang terdapat dalam bentuk biofilmnya. Hal ini disebabkan

karena senyawa antimikroba mengalami kesulitan dalam menembus pertahanan

yang dibentuk oleh mikroba. Selain itu juga laju pertumbuhan mikroba dalam

28

bentuk biofilm lebih lambat daripada dalam bentuk sel planktoniknya sehingga

mempengaruhi efek yang ditimbulkan akibat adanya senyawa antimikroba

(Donlan & Costerton, 2002).

Strategi terapi biofilm yang dapat dilakukan adalah dengan menggunakan

agen yang mampu menghambat pembentukan biofilm tanpa membunuh bakteri

dan memiliki efek sinergis dengan antibiotik konvensional, saling bekerja sama

untuk mengatasi infeksi yang tidak dapat diatasi oleh agen tunggal. Agen

antibiofilm mampu menjaga bakteri dalam fase planktonik sensitif, sementara

antibiotik akan menghilangkan populasi bakteri tersebut. Berdasarkan

penelitian Rogers et al. (2011) melaporkan bahwa turunan 2-aminodiazol dan

antibiotik memiliki efek sinergis sebagai agen yang dapat menghambat dan

merusak biofilm Staphylococcus aureus. Hasil penelitian lain melaporkan

bahwa penambahan kombinasi minyak atsiri pada sediaan mouthwash dapat

meningkatkan aktivitas penghambatan plak biofilm pada gigi (Ouhayoun,

2003). Terdapat pula penelitian mengenai kombinasi tea tree oil dengan

siprofloksasin secara signifikan menunjukkan peningkatan aktivitas

penghambatan pembentukan biofilm Pseudomonas aeruginosa dibandingkan

bentuk tunggal siprofloksasin (Coelho & Pereira, 2013). Adanya sinergisme

pada kombinasi minyak sereh dengan amoksisilin terhadap penghambatan

pertumbuhan Methicillin-resistant S. aureus (MRSA) dilaporkan oleh El-Kalek

& Mohamed (2012).

29

F. Landasan Teori

Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang sudah banyak

mengalami resistensi terhadap obat-obat antimikroba yang sudah banyak beredar di

masyarakat terutama karena obat-obat tersebut kurang efektif dalam melawan

infeksi yang disebabkan oleh biofilm (Walters et al., 2003). Seperti pada eritromisin

dan siprofloksasin dalam kondisi tunggal memiliki aktivitas sebagai antibiofilm

yang rendah terhadap beberapa strain Staphylococcus aureus (Monte et al., 2014).

Begitu pula pada penelitian Punitha et al. (2014) yang menunjukkan beberapa isolat

Staphylococcus aureus pada fase biofilm mengalami resistensi yang lebih tinggi

terhadap streptomisin dan kloramfenikol dibandingkan dengan vankomisin.

Resistensi tersebut menyebabkan dosis penggunaan yang semakin meningkat.

Sehingga pada penelitian ini diharapkan dapat menemukan strategi untuk

mengurangi efek resistensi tersebut dengan mengkombinasikan agen antimikroba

(antibiotik) dengan senyawa alam yang banyak terdapat dalam tanaman yaitu salah

satunya adalah minyak atsiri. Minyak atsiri yang dikombinasikan harus diteliti juga

bahwa memiliki aktivitas sebagai antimikroba. Minyak atsiri yang digunakan

adalah minyak sereh.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa minyak sereh

berpotensial sebagai agen antibiofilm. Seperti yang ditunjukkan dari hasil

penelitian mengenai aktivitas minyak sereh dan komponen utamanya seperti sitral,

geraniol, dan mirsen dalam menghambat empat strain patogen termasuk S. aureus

pada pembentukan biofilm (Aiemsaard et al., 2011; Chamdit & Siripermpool,

2012). Terdapat pula penelitian mengenai kombinasi minyak sereh dengan

30

amoksisilin menunjukkan adanya efek sinergisme aktivitas antimikroba terhadap

Methicillin-resistant S. aureus (MRSA) (El-Kalek & Mohamed, 2012). Penelitian

yang mengkombinasikan antara senyawa antibiotik seperti eritromisin,

streptomisin, kloramfenikol, dan siprofloksasin dengan minyak sereh sebagai agen

antibiofilm sejauh ini belum dilakukan.

Mikroba yang terdapat dalam bentuk biofilmnya akan lebih sulit ditembus

oleh zat antimikroba bila dibandingkan dengan bentuk sel planktoniknya karena

biofilm merupakan suatu bentuk pertahanan dari mikroba terhadap zat antimikroba.

Sehingga mekanisme yang diharapkan pada kombinasi minyak sereh dengan

antibiotik adalah sebagai antibiofilm karena dinilai lebih efektif dalam membunuh

mikroba.

Keberhasilan terapi infeksi akibat biofilm bakteri S.aureus sangat dibutuhkan

pada praktek secara klinis. Penggunaan zat antimikroba dalam bentuk kombinasi

dapat meningkatkan efektivitas melalui efek sinergisme terutama jika keduanya

memiliki mekanisme aksi yang berbeda namun dapat saling mendukung sehingga

dapat mengurangi kemungkinan terjadinya resistensi mikroba (Li & Tang, 2004).

Selain itu, kombinasi antimikroba juga mampu meningkatkan kepekaan mikroba

dalam biofilm (Saginur et al., 2006).

Maka dalam penelitian ini dilakukan penelitian mengenai efektivitas

kombinasi minyak sereh dengan antibiotik (eritromisin, streptomisin,

kloramfenikol dan siprofloksasin) dalam menghambat pembentukan biofilm pada

bakteri S. aureus.

31

G. Hipotesis

1. Minyak sereh (Cymbopogon citratus (DC.) Stapf), eritromisin, streptomisin,

kloramfenikol dan siprofloksasin efektif terhadap penghambatan pembentukan

biofilm S.aureus.

2. Kombinasi minyak sereh dengan antibiotik mampu menunjukkan

penghambatan pembentukan biofilm S. aureus yang lebih tinggi daripada

aktivitasnya dalam bentuk tunggal.