bab i pendahuluan a. latar...

27
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ”Makanan Indonesia yang enak i tu perlu. Saya kira mungkin kita lebih mengembangkan kekuatan kita pada makanan one-dish-meal, seperti soto, gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak yang enak-enak, dan masakan Indonesia itu kaya dari segi rasa”. (Onghokham, 1933 2007). 1 “Masalah suatu cuisine diakui secara internasional atau tidak sebetulnya cuma soal enak atau tidak enak. Cocok untuk orang banyak atau tidak… Makanan daerah di Indonesia itu banyak yang enak… Tapi makanan Indonesia tidak diakui karena belum dikenal”. (Umar Kayam, 1932 - 2002). 2 “Adiboga kita, sebenarnya bahan ada, elemennya semua ada, cuma creative person-nya yang belum. Creative person itu harus menguasai bukan saja sejarah Indonesia, tetapi juga ilmu bumi dan pertanian Indonesia”. (Iwan Tirta, 1935 - 2010). 3 Pada 2011, CNN Go merilis poling bertajuk World’s 50 Best Foods. Hasil poling itu menempatkan rendang dalam urutan pertama sebagai makanan terlezat di dunia, mengalahkan berbagai makanan dari negara lainnya. 4 Masyarakat Indonesia pun dibuat bangga dengan hasil poling itu karena dianggap telah melambungkan popularitas makanan dari Padang itu ke mancanegara. Alasan untuk bangga itu pun terbilang ”istimewa”, karena hasil poling itu dijadikan sebagai keunggulanbagi Indonesia dalam menghadapi 1 Haryani, “Perlukah Adiboga Indonesia?”, Selera, No. 9/th. XIV, (Desember, 1995), hlm. 33. 2 Ibid., hlm. 34. 3 Ibid., hlm. 61. 4 Poling itu tersedia di laman: http://travel.cnn.com/explorations/eat/readers- choice-worlds-50-most-delicious-foods-012321.

Upload: dangdang

Post on 02-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

”Makanan Indonesia yang enak itu perlu. Saya kira mungkin kita lebih

mengembangkan kekuatan kita pada makanan one-dish-meal, seperti soto,

gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak

yang enak-enak, dan masakan Indonesia itu kaya dari segi rasa”.

(Onghokham, 1933 – 2007).1

“Masalah suatu cuisine diakui secara internasional atau tidak sebetulnya

cuma soal enak atau tidak enak. Cocok untuk orang banyak atau tidak…

Makanan daerah di Indonesia itu banyak yang enak… Tapi makanan

Indonesia tidak diakui karena belum dikenal”. (Umar Kayam, 1932 -

2002).2

“Adiboga kita, sebenarnya bahan ada, elemennya semua ada, cuma

creative person-nya yang belum. Creative person itu harus menguasai

bukan saja sejarah Indonesia, tetapi juga ilmu bumi dan pertanian

Indonesia”. (Iwan Tirta, 1935 - 2010).3

Pada 2011, CNN Go merilis poling bertajuk World’s 50 Best Foods. Hasil

poling itu menempatkan rendang dalam urutan pertama sebagai makanan terlezat

di dunia, mengalahkan berbagai makanan dari negara lainnya.4

Masyarakat Indonesia pun dibuat bangga dengan hasil poling itu karena

dianggap telah melambungkan popularitas makanan dari Padang itu ke

mancanegara. Alasan untuk bangga itu pun terbilang ”istimewa”, karena hasil

poling itu dijadikan sebagai ”keunggulan” bagi Indonesia dalam menghadapi

1 Haryani, “Perlukah Adiboga Indonesia?”, Selera, No. 9/th. XIV, (Desember,

1995), hlm. 33. 2 Ibid., hlm. 34.

3 Ibid., hlm. 61.

4 Poling itu tersedia di laman: http://travel.cnn.com/explorations/eat/readers-

choice-worlds-50-most-delicious-foods-012321.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

2

Malaysia yang beberapa tahun sebelumnya acap berpolemik dengan negara jiran

itu terkait aksi saling klaim kebudayaan, termasuk salah satunya rendang.5

Rendang dapat dijadikan contoh bagus betapa makanan pun bisa menjadi

masalah seteru dalam kancah hubungan antarbudaya bangsa. Meski begitu tidak

banyak yang menyadari imbas dari hal itu bagi persatuan bangsa dan antarbangsa.

Dengan memahami masalah itu melalui sejarah makanan, sedianya dapat

dipahami bahwa makanan pun bisa dijadikan sebagai sarana membayangkan

adanya suatu rasa bersama yang mampu mewujudkan rasa persatuan itu.

Hal itu misalnya dapat dibuktikan dari bagaimana orang-orang Italia

membanggakan pasta sebagai salah satu makanan nasionalnya. Orang-orang Italia

sendiri tidak malu untuk mengakui, bahwa pasta adalah adopsi dari sejenis

vermicelli (bihun/mi) di China yang konon awalnya disaksikan dan dibawa

sampelnya ke Italia oleh Marco Polo pada abad ke-13 silam.

Kasus menarik lainnya adalah paella. Makanan berbahan beras berwarna

kuning efek dari peresapan kunyit dicampur bahan daging atau ikan laut ini adalah

menu bersama (sharing menu) di beberapa negara Mediterania. Meski diduga

pengaruh pilaf6 (makanan Arab warisan Abad Pertengahan) dan biryani

7 (dari

5 Wacana Bondan Winarno dalam artikelnya Pameran Pusaka Bersama di

Kompas, (Sabtu, 12 September 2009), menyatakan begitu bagus perihal sedianya

kasus rendang dijadikan sebagai shared heritage (pusaka bersama) oleh orang

Minang dan Pahang (Malaysia). Secara historis orang-orang Pahang notabenenya

merupakan migrasi orang-orang dari Minang. Wajar jika kalio –bukan rendang,

seperti dikatakan Bondan– yang dikonsumsi oleh orang-orang Pahang punya ciri

yang tidak jauh berbeda dengan rendangnya orang-orang Minang.

6 Makanan ini dikonsumsi hampir merata di kawasan Arab (seperti Mesir), Turki,

dan kawasan beberapa negara di Mediterania khususnya Spanyol dan Italia. Lihat

Ken Albala (ed.), Food Cultures of the World Encyclopedia, (Oxford:

Greenwood, 2011), hlm. 52 (indeks Egypt, vol. 1); hlm. 211(indeks Turkey, vol.

1); hlm. 350 – 351 (indeks Spain, vol. 4); hlm. 208 (indeks Italy, vol. 4).

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

3

India), tapi bangsa Spanyol dan Italia menganggapnya sebagai makanan bersama,

meski masing-masing menamakannya berbeda.8

Jika itu bukti keharmonisan sharing menu di negara lain, maka bagaimana

dengan kasus di Indonesia? Apakah didapati pula keharmonisan semacam itu?

Idealnya begitu. Namun, nyatanya untuk kasus di Indonesia dan Asia Tenggara

umumnya, hal ini tidak selalu akur dan mudah diakurkan, seperti terlihat dari

kasus rendang. Ada bahkan pihak-pihak yang berusaha melacak jejak sejarahnya

demi melakukan legitimasi budaya, namun dalam penafsirannya terkesan lebih

mencari pembenaran daripada berusaha mencari kenyataan di balik hubungan

berbagai fakta pada masa lalu. Masalah lain di balik itu juga disebabkan belum

banyak sumber terkait rendang ditelusur dan didedah secara cermat.

Hal itu pun dapat dirasakan dari perkembangan makanan di Indonesia

beberapa tahun terakhir ini. Kegairahan untuk mengembangkan makanan di

Indonesia bahkan dilakukan mulai dari lembaga pemerintahan hingga media

massa yang berusaha untuk mengangkat ragam makanan di berbagai daerah di

Indonesia agar dikenal di lingkup nasional hingga internasional.9

7 Ibid, hlm. 98 (indeks India, vol.3). Nasi biryani juga menjadi salah satu

makanan nasional di Malaysia, mengingat mengakarnya pengaruh Arab dan India

di sana, ibid., hlm. 162 (indeks Malaysia, vol. 3). Nasi biryani pun didapati dan

menjadi bagian dari makanan khas di Aceh dan Sumatra Utara. 8 Pilaf mula-mula mulai diterima di Spanyol seiring mulai masuknya jenis beras

Mesir pada abad ke-10. Orang Spanyol lalu melafalkan pilaf menjadi paella.

Adapun di Italia, pilaf lebih sering disebut dengan risotto, ibid., hlm. 52 (vol. 1);

hlm. 208 (vol. 4). Menariknya, Nicole Tarulevicz dalam entri artikel Singapore,

menyebut bahwa nasi goreng atau juga nasi padang dari Indonesia adalah sejenis

hidangan nasi bergaya pilaf (a pilaf style dish), ibid., hlm. 244 (vol. 3). 9 Dalam konteks media massa, hal ini dapat dilihat dari seri Jelajah Kuliner

Nusantara yang digarap Kompas sejak 2013. Seri yang terbit pada hari minggu

dengan waktu terbit tidak teratur ini mengulas berbagai boga daerah dan etnik di

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

4

Sebuah proyek seleksi makanan tradisional garapan Kementerian

Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tahun 2013 bertajuk The 30 Indonesian

Traditional Culinary Icons adalah satu buktinya. Komposisi dari 30 ikon

tradisional itu terdiri dari 22 berasal dari Pulau Jawa, 5 dari Sumatra, dan masing-

masing 1 dari Sulawesi dan Bali, serta 2 ”ikon nasional” yaitu tumpeng dan nasi

goreng kampung.10

Di antara para penanggapnya menilai seleksi itu tidak

berimbang karena banyak makanan dan minuman khas dari daerah lainnya tidak

masuk di dalamnya.11

Kata ”tradisional” pun menjadi aneh ketika klappertaart

disebut sebagai ”makanan tradisional” Manado. Tentu jika menelusuri jejak

historis kue warisan masa kolonial Belanda itu, maka konteks ”tradisional”

berbagai provinsi di Indonesia. Sebelum itu, wartawan Kompas Andreas Maryoto

yang intens menulis berbagai masalah pangan di surat kabar nasional ini pernah

membukukan tulisan-tulisannya di Kompas dengan judul Jejak Pangan; Sejarah,

Silang Budaya, dan Masa Depan, (Jakarta: Kompas, 2009). Koran Tempo pun

tidak ketinggalan dalam mengembangkan boga di Indonesia. Pada 8 April 2012,

surat kabar nasional ini pernah menyisipkan suplemen khusus bertajuk Masakan

Pusaka Nusantara. Suplemen ini berusaha mengungkap sebaran masakan di

berbagai provinsi di Indonesia yang dianggapnya sebagai “pusaka”.

10

Kementrian ini merilisnya dalam format video berdurasi 7 menit 7 detik dengan

musik latar lagu nasional Indonesia Pusaka yang diunggahnya di Youtube.

Adapun 30 ikon itu mencakup: nasi tumpeng, ayam panggang bumbu rujak

Yogyakarta, gado-gado Jakarta, nasi goreng kampung, serabi Bandung, sarikayo

Minangkabau, es dawet ayu Banjarnegara, urap sayuran Yogyakarta, sayur

nangka kapau, lunpia Semarang, nagasari Yogyakarta, kue lumpur Jakarta, soto

ayam Lamongan, rawon Surabaya, asinan Jakarta, sate ayam Madura, sate

maranggi Purwakarta, klappertaart Manado, tahu telur Surabaya, sate lilit Bali,

rendang Padang, orak arik buncis Solo, pindang patin Palembang, nasi liwet Solo,

es bir pletok Jakarta, kolak pisang ubi Bandung, ayam goreng lengkuas Bandung,

laksa Bogor, kunyit asam Solo, asam padeh tongkol Padang. Seperti apa tampilan

dan respons para penanggapnya dapat dilihat lebih lanjut dan diunduh di:

http://www.youtube.com/watch?v=mK5KYs-VK5s.

11

Dua orang staf dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif sempat

menemui dan mewawancarai saya untuk meminta tanggapan dan pandangan

terkait video ini. Untuk Saudara Tatang dan Ibu Komang, saya juga mengucapkan

terima kasih atas informasi yang telah diberikan terkait kontroversi dan polemik di

balik proyek 30 ikon makanan tradisional ini.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

5

kadang jadi menggelikan. Pasalnya, kata itu tidak disadari oleh awam, kadang

dikonotasikan lebih rendah gengsinya dari oposisi binernya, ”modern”.12

Bagaimana hal semacam itu bisa menubuh dalam masalah makanan di Indonesia?

Masalah di atas itu menjadi menarik jika dihubungkan dengan pernyataan

seorang Indo Belanda bernama James Schuurmans berikut ini:

“Kita pernah membeli sebuah buku cetak ulang masakan Indis terlengkap

karya dari Nyonya Cathenius van der Meyden (sic)13

… Tidak ditemukan

sebuah indikasi adanya (masakan) Jawa, Sunda, Bali dan lain-lain. Hanya

resep-resep Indis… Sayangnya buku itu diambil oleh juru masak

Indonesia pertama kita. Betapa kasihan dia tidak mengerti apa yang dimau

oleh orang-orang Belanda”14

“Di manakah adiboga Indonesia? Sepertinya tidak lagi ada (orang

Indonesia) yang suka memasak. Si nyonya punya juru masak yang tidak

bisa memasak”15

Penyataan Schuurmans itu sangat terasa begitu mengolok-olok boga16

Indonesia. Dengan kata lain ia terkesan hendak mengatakan, ada standar khusus

12 Pemerintah dan gastronom di Indonesia pun suka sekali menyebut makanan-

makanan daerah di Indonesia adalah “tradisional” –bahkan melayakkannya

sebagai “street food”. Mereka terkesan sulit atau diliputi keraguan untuk

merumuskan atau menyebutnya dengan “makanan Indonesia”. Selain buktinya

terlihat dari proyek The 30 Indonesian Traditional Culinary Icons itu, bukti

menarik lainnya dapat dilihat dari sebuah buku karya Bondan Winarno. Bondan

yang juga terlibat dalam proyek itu kemudian menerbitkan buku panduan makan

bertajuk 100 Makanan Tradisional Indonesia Mak Nyus Bondan Winarno (100

Best Street Food of Indonesia), (Jakarta: Kompas, 2013).

13

Schuurmans salah menulis nama, yang seharusnya: Catenius-van der Meijden. 14

―We ever bought a reprint of the large complete Indies Cookbook of a Mrs

Cathenius van der Meyden… Never a regional indication such as Javanese,

Sundanese, Balinese etc. Just Indies recipes… Unfortunately the book was stolen

by our first Indonesian cook. What a pity she could not understand Dutch‖, James

Schuurmans, “Indies Cuisine, Indonesian Cuisine‖, INA Magazine vol. XXI no. 1,

(2009), hlm. 32.

15

“Where is Indonesia’s haute cuisine? It seems nobody likes cooking anymore.

Madam has a cook that cannot cook”, ibid., hlm. 30.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

6

seni memasak yang sejatinya bisa membawa makanan di Indonesia pada haute

cuisine17

atau adiboga. Nada sindirnya pun mungkin diarahkan kepada para

gastronom Indonesia masa awal kemerdekaan yang dianggapnya salah

memperlakukan resep-resep masak buatan seorang gastronom kolonial. Lalu, apa

maksud Schuurmans mendikotomikan yang Indis dengan yang kedaerahan? Hal

apa yang tidak dimengerti orang Indonesia terhadap orang Belanda dalam

mengurus persoalan boga? Lalu, bisakah diterima pemikiran Schuurmans itu?

Setidaknya, kata cuisine yang dipakai dan dimaksudkan Schuurmans

cukup mengena dengan pemaknaan kata itu sendiri, sebagaimana sejarawan

Michael Freeman mengartikannya: ”sebuah kesadaran diri tradisi masak dan

makan... dengan seperangkat sikap tentang makanan dan ruangnya di mana

manusia hidup.”18

Linda Civitello lebih lanjut menjelaskan pengartian Freeman

16

Boga diambil dari bahasa Sansekerta, bhoga atau bhogi, yang artinya

kenikmatan, hal makan; segala objek kenikmatan, makanan, kesenangan…, lihat

P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuna – Indonesia, (bagian 1 A –

O), (Jakarta: Gramedia, 1997), hlm. 129. Kata boga sendiri dipakai dan

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh gastronom Indonesia Suryatini N.

Ganie sebagai cuisine, sehingga haute cuisine diterjemahkannya menjadi

“upaboga” atau “adiboga”. Lihat Suryatini N. Ganie, Upaboga di Indonesia:

Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep, (Jakarta: Gaya Favorit Press, 2003).

Dalam penelitian ini, kata boga pun dipakai untuk menyebut cuisine.

17

Kata cuisine masuk ke dalam kosakata Inggris yang diserap dari bahasa Prancis

sejak abad ke-18. Cuisine sendiri diserap dari beberapa turunan kata Latin, antara

lain coquino (memasak), coquitatio (hal memasak), coquo, coxi, coctum (1.

membuat masak; memeram; menangas; menguapi; 2. Memasak; membakar;

merebus; menggoreng; mengolah; mencairkan), coquens (juru masak), coquus

(juru masak), lihat C.M. Prent, K., J. Adisubrata, dan W.J.S Poerwadaminta,

Kamus Latin – Indonesia, (Jakarta: Kanisius, 1969), hlm. 196. Adapun dalam

bahasa Belanda, beberapa turunan kata Latin di atas, tidak dilafalkan dengan

cuisine, tapi keuken; sehingga, misalnya, untuk menyebut ”boga Indonesia”, orang

Belanda akan menyebutnya ”Indonesische keuken”.

18

―A self-conscious tradition of cooking and eating . . . with a set of attitudes

about food and its place in the life of man‖, Michael Freeman dikutip dari Linda

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

7

itu dengan menekankan bahwa yang diperlukan dalam cuisine bukan hanya seni

memasak, tapi sebuah kesadaran tentang bagaimana makanan diolah dan

dikonsumsi. Jika pada fase kehidupan paling purba, manusia makan hanya

sekedar membuat kenyang atau bertahan hidup dan tidak ada pengelolaan atas

makanannya, itu bukanlah cuisine.19

Dengan memakai kerangka berpikir Freeman

dan Civitello itu, maka sejak kapan dan seperti apa kesadaran pengelolaan

makanan –yang dimaksud keduanya itu– berkembang dalam konteks Indonesia?

Pemikiran Freeman dan Civitello dan juga jika dihubungkan dengan

pernyataan Schuurmans itu tentu perlu ditanggapi secara serius untuk memahami

masalah makanan di Indonesia. Pernyataan Onghokham, Umar Kayam, dan Iwan

Tirta dalam majalah Selera20

yang pada Desember 1995 mengangkat edisi khusus

Perlukah Adiboga21

Indonesia sebagaimana dikutip pada awal bab ini, secara tidak

langsung bisa dipakai, khususnya sebagai bahan untuk menanggapi pernyataan

Schuurmans. Menurut ketiga tokoh Indonesia itu, boga Indonesia memang

memiliki nilai lebih dari segi kekayaan bahan dan rasa, tapi dari segi pengelolaan

untuk menuju adiboga, masih didapati banyak kekurangan. Tersirat Onghokham

Civitello, Cuisine and Culture: a History of Food and People, (New Jersey:

Wiley, 2008), hlm. 3.

19

Ibid.

20

Selera adalah majalah boga pertama di Indonesia. Dipelopori pendiriannya oleh

Suryatini N. Ganie (alm.). Sejak 1981 – 1995 ia menjadi pemimpin redaksi

Selera. Suryatini N. Ganie sendiri adalah seorang gastronom yang mengakui bakat

seni memasaknya diwariskan dari eyang-nya, R.A. Kartini. Kepemimpinan

redaksi Selera pada medio 1995 kemudian diambil alih oleh Emma S.

Wirakusumah, seorang ahli gizi. 21

Kata ini adalah terjemahan majalah Selera atas terma Prancis haute cuisine.

Haute cuisine sendiri memiliki arti seni masak tingkat tinggi (top-grade cooking),

lihat Charles Sinclair, International Dictionary of Food and Cooking, (London: A

& C Black, 2005), hlm. 273.

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

8

dan Umar Kayam menghendaki agar sedianya di Indonesia perlu terlebih dahulu

dibuat konsep dan konsensus one-dish-meal dalam hal makanannya. Konsep ini

sendiri dapat dikatakan sebagai bentuk sederhana dari pembentukan boga nasional

(national cuisine)22

sebelum menapaki fase adiboga sebagaimana contohnya

terlihat dari kasus boga di China dan Prancis.23

Selain itu, pernyataan Iwan Tirta

lebih penting lagi untuk dikembangkan, bahwa menurutnya yang pokok untuk

dipikirkan dari persoalan boga haruslah terhubung-kait dengan penguasaan

pengetahuan sejarah, geografi, dan pertanian.

Apa yang dinyatakan Iwan itu nyatanya belum benar-benar dipikirkan

secara global hubung-kaitnya dalam konteks sejarah makanan di Indonesia. Maka

itu, perlu kiranya pemikiran dan permasalahan yang telah diulas di atas diteliti

dalam perspektif global untuk memahami jejak sejarah makanan di Indonesia.

22

Wacana sejarah boga nasional pernah dilakukan oleh beberapa sarjana dengan

spasial berbeda. Misalnya Jeffrey M. Pilcher, “Tamales or Timbales: Cuisine and

the Formation of Mexican National Identity, 1821 – 1911”, The Americas 53 (2),

(1996), hlm. 193 yang meneliti kasus di Meksiko. Boga Meksiko dikatakan

Pilcher lahir dari perjuangan kelas, gender, etnisitas, dan kedaerahan. Juga ada

studi national cuisine di India yang diteliti Arjun Appadurai, “How to Make a

National Cuisine: Cookbooks in Contemporary India”, Comparative Studies in

Society and History vol. 30, No. 1, January, (1988), hlm. 5. Boga India lahir dari

produksi buku-buku masak (cookbook) oleh kaum wanita kelas menengah yang

berbaur dengan nilai etnis dan kasta. Lain lagi kasus di Afrika yang diteliti Igor

Cusack, ”African Cuisines: Recipes for Nation Building?”, Journal of African

Cultural Studies, vol. 13 Number 2, (December, 2000), hlm. 209. Seraya

meminjam ungkapan Michael Billig, Cussack mengatakan boga di Afrika adalah

sebentuk “banal nationalism: everyday, unnoticed nationalism‖.

23

Haryani, op.cit., hlm. 33 – 34. Bandingkan dengan China yang punya menu

mahal dan istimewa macam Peking duck. Sama halnya dengan Prancis memiliki

foie gras (hati angsa yang digemukan), maka Indonesia tidak memiliki

kekhususan itu. Satai dan nasi goreng yang dikatakan khas Indonesia, misalnya, di

mata Onghokham (dalam Haryani, ibid) adalah pilihan yang umum dikonsumsi

kebanyakan orang di Indonesia dari segala kalangan. Sulit mengatakannya sebagai

adiboga yang sedianya menuntut diolah dari bahan-bahan mahal dan unik.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

9

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup

Sejarah makanan di Indonesia terbentuk dari beberapa lapisan waktu yang

jika dihubungkan dengan sumber-sumber sejarah setidaknya telah terasa makanan

dikonstruksi sebagai boga (cuisine) sejak abad ke-10 M seiring juga dengan

masuknya pengaruh citarasa China, India, dan Arab. Hal itu makin kompleks

ketika Eropa mulai menanamkan pengaruhnya sejak abad ke-16 hingga abad ke-

18 dengan ditandai masuknya secara bergelombang berbagai jenis bahan makanan

baru dari Benua Amerika dan Eropa ke Indonesia (dan juga sebaliknya) yang

dalam sejarah global dikenal dengan Columbian Exchange. Kurun waktu yang

panjang itu menjadi penentu bagi perkembangan dan pembentukan citra makanan

di Indonesia pada masa kolonial (abad ke-19 – paruh pertama abad ke-20) hingga

masa kemerdekaan. Pokok permasalahan studi ini membahas perkembangan

makanan di Indonesia dengan memahaminya melalui perspektif global.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini berusaha untuk memahami

berbagai permasalahan seputar makanan di Indonesia yang dilihat secara global

melalui aspek-aspek antara lain politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Selain

menekankan Indonesia sebagai ruang lingkup spasial, aspek temporal yang

panjang (longue durée) di atas pun dipakai dalam penelitian ini sebagai sarana

untuk memahami permasalahan global makanan di Indonesia.

Permasalahan di atas lalu dijelaskan melalui beberapa pertanyaan.

Pertama, terkait memahami proses awal pembentukan citra makanan di Indonesia.

Mengapa beberapa jenis makanan bisa bertahan selama berabad-abad? Mengapa

beberapa jenis makanan dari pengaruh China, India, Arab, dan Eropa bisa

diterima dan menyatu sebagai bagian dari boga di Indonesia? Apa yang membuat

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

10

bahan makanan tertentu disukai dan lainnya tidak24

serta dari semula makanan

yang tidak dikenal nama dan resep pengolahannya kemudian menjadi dikenal?25

Kedua, kurun waktu abad ke-19 penting dilihat sebagai suatu proses

pembentukan baru citra makanan di Indonesia. Dikatakan penting, karena hal itu

ada kaitannya dengan perubahan lingkungan dan budaya akibat penerapan sistem

budidaya pangan yang ternyata turut memengaruhi terjadinya perkembangan

makna makan dan makanan. Pengaruh dan perkembangan itu pun ditunjang pula

oleh kehadiran buku-buku sains makanan dan buku-buku masak karya orang-

orang berdarah Eropa yang mulai berkembang penerbitannya. Lalu, bagaimana

pengaruh dan perkembangan itu berlangsung? Siapa saja agen yang berperan

dalam menanamkan pengaruh itu?

Ketiga, perkembangan sains makanan dan gastronomi pada kurun 1900 –

1940 memengaruhi para ahli ilmu makanan dalam mendorong pembudidayaan

berbagai jenis bahan makanan untuk dimanfaatkan sebagai konsumsi rakyat. Hal

ini lalu memunculkan konsep ”makanan rakyat” (volksvoedsel). Apa maksud

pengembangan ”makanan rakyat” ini? Selain itu, muncul juga usaha para penulis

buku masak dari kalangan orang Belanda untuk mengkonsepkan dan

mengembangkan Indische keuken (boga Hindia Belanda). Bahan makanan berikut

olahannya dari berbagai wilayah pun coba direngkuh dalam satu kesatuan

24

Dalam penelitian ini akan dilacak beberapa kecenderungan dalam masalah boga

di Indonesia, seperti misalnya apa yang membuat beras lebih pokok daripada

jagung; daging sapi lebih unggul daripada kerbau; cabai lebih disukai daripada

lada; serta makanan dari Jawa dan Sumatra lebih dominan mewakili boga di

Indonesia dibandingkan dari luar daerah lainnya.

25

Salah satu yang akan dilacak dalam penelitian ini adalah rendang. Makanan

populer dari Padang ini nyaris tidak didapati nama dan resepnya dalam buku-buku

masak sejak abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Melalui penelitian ini dilacak

bagaimana mulanya rendang menjadi makanan populer di Indonesia.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

11

geografis (baca: Hindia Belanda). Mengapa Indische keuken dibutuhkan orang-

orang Belanda? Apa maksud para penulis buku masak merengkuh makanan di

Hindia dalam satu kesatuan geografis? Kenyataannya, beberapa perempuan

Pribumi pun turut terpengaruh Indische keuken yang cenderung identik sebagai

wujud ”makanan ningrat”. Mereka pun mulai menulis buku-buku masaknya

sendiri. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi mereka?

Keempat, pada masa 1930 – 1950, Indische keuken mulai mengalami

proses dekonstruksi. Citra ”makanan ningrat” pun mulai tergeser oleh ”makanan

rakyat”. Bahkan pada masa akhir 1940-an mulai muncul adanya kesadaran dari

penulis buku masak Indonesia untuk menyebut ”makanan Indonesia”. Bagaimana

proses itu berlangsung? Mengapa hal itu terjadi? Faktor-faktor apa saja yang

menyebabkannya?

Kelima, pada masa 1950 hingga 1967, Pemerintah Indonesia giat

mengembangkan program dan propaganda makanan sehat bagi rakyat melalui

publikasi buku-buku ilmu makanan. Mengapa hal itu dilakukan? Apa yang

sebenarnya tengah terjadi pada masa itu serta apa pengaruhnya bagi kehidupan

rakyat? Selain itu, usaha memiliki buku masak nasional pun untuk pertama

kalinya dikerjakan melalui proyek ambisius pemerintah pada kurun 1960 – 1967.

Buku masak bertajuk Mustika Rasa ini merupakan sebentuk penegasan

pemerintah terhadap perlunya konsep ”makanan Indonesia” sebagai wujud

simbolik dari bagaimana makanan dijadikan sebagai identitas bangsa. Ribuan

jenis resep yang terdiri dari warisan lawas (lokal dan asing) abad-abad

sebelumnya hingga temuan resep-resep baru dari berbagai daerah di Indonesia

dihimpun dalam buku masak ini. Bagaimana proses berlangsungnya penyusunan

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

12

buku masak nasional itu? Apa tujuan penyusunannya? Mengapa pemerintah

merasa perlu untuk mewujudkannya? Tantangan apa saja yang dihadapi dalam

penyusunan buku masak nasional itu?

Lingkup makanan di Indonesia yang dikaji dalam penelitian ini bukan

berarti hendak merengkuh secara rinci keseluruhan makanan di berbagai daerah

dan apalagi suku-suku bangsa di Indonesia secara geografis dan etnografis.

Namun lebih diusahakan untuk menelusuri perkembangan citra makanan di

Indonesia yang tidak dapat dilepaskan dari keterlibatan unsur-unsur penting antara

lain politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Hubungan makanan dengan unsur-unsur

itu sendiri ditempuh melalui proses evolusi yang panjang disertai berbagai

pengaruh global. Penelitian ini hendak mengkaji bagaimana unsur-unsur itu saling

berkait. Selain itu, penelitian ini juga berusaha untuk menelusuri jejak-jejak

sejarah makanan di Indonesia yang masih banyak tercecer dalam berbagai jenis

sumber (seperti penelitian prasasti dan naskah kuna, laporan perjalanan, hasil

penelitian ilmiah, hingga buku masak) dan di antaranya belum banyak tersentuh,

diabaikan, atau salah dimaknai. Adapun penamaan geografis antara lain

Nusantara, Hindia Timur, Hindia Belanda, dan Indonesia akan dipakai sesuai

dengan konteks zamannya.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tema seputar makanan mulai mendapatkan perhatian dan diwacanakan

serius oleh peminat studi sejarah sebagai suatu kajian khusus setidaknya selama

tiga dasawarsa belakangan ini. Perhatian itu tentu saja bukan tanpa maksud dan

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

13

tujuan, mengingat masalah makanan ternyata bukan hanya menyangkut masalah

makanan saja, melainkan lebih rumit dari itu.

Dikatakan rumit, karena masalah makanan terkait dengan bagaimana

bahan-bahan makanan dibudidayakan, kebijakan politik dan ekonomi terkait tata-

kelola sistem budidaya itu, hingga persoalan budaya yang berpeluang

memunculkan aksi saling klaim makanan khas antarbangsa.26

Selain itu,

merebaknya berbagai upaya untuk menampilkan makanan daerah atau etnik juga

bisa memunculkan berbagai keambiguan.27

Rachel Slocum yang meneliti

fenomena makanan etnik bahkan berpendapat, bahwa tumbuh suburnya berbagai

rupa makanan etnik28

adalah sebuah ciri kecil dari tumbuhnya rasisme yang tidak

banyak disadari mengelindan dalam hidup keseharian. Hasilnya, hal-hal penting

yang seharusnya dikembangkan, sebut saja di antaranya masalah nutrisi dan

kesehatan serta ketahanan, revitalisasi, dan diversifikasi pangan luput dibenahi.

Masalah-masalah itu pun terasa mengelindan di Indonesia dan tentu saja

perlu dipahami akar masalahnya. Itulah mengapa melacak sejarah makanan dalam

penelitian ini menjadi tujuan penting untuk memahami bagaimana sejatinya

26

Salah satu kasusnya pada 2009 lalu Indonesia sempat berang ketika rendang

yang identik dengan makanan khas Minang diklaim juga sebagai makanan khas

dari Pahang, Malaysia. Lihat Bondan Winarno, (2009), op.cit.

27

Michiko Kubo yang melakukan riset kontemporer tentang makanan di

Indonesia pun mengomentari betapa membingungkannya batas-batas etnisitas

dalam konteks makanan di Indonesia. Lihat Michiko Kubo, “The Development of

an Indonesian National Cuisine: A Study of New Movement of Instant Foods and

Local Cuisine”, James Farrer (ed.), Globalization, Food and Social Identities in

the Asia Pacific Region (Tokyo: Sophia University Institute of Comparative

Culture, 2010).

28

Rachel Slocum, “Race in the Study of Food”, Progress in Human Geography.

35 (3), (2010), hlm. 303-314.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

14

persoalan makanan di Indonesia didudukkan dalam sejarah dan juga sebaliknya,

bagaimana sejarah Indonesia dilihat dari persoalan makanan.

D. Tinjauan Pustaka

Pembahasan makanan dalam sejarah Indonesia masih amat minim

disinggung dan didalami para sejarawan atau peminat sejarah makanan. Malah

dalam lingkup Asia sendiri lebih khusus lagi Asia Tenggara, perhatian terhadap

sejarah makanan di Indonesia pun belum benar-benar terperhatikan secara khusus.

Hal ini bisa terlihat dari dua buku. Pertama Food Culture in Southeast

Asia (2008) karya Penny van Esterik. Buku ini secara umum membahas budaya

makan di Asia Tenggara secara selektif. Maksudnya, van Esterik secara umum

hanya menseleksi lalu membuat perbandingan singkat antarnegara seperti

Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Hal menarik dalam studi perbandingannya ini,

van Esterik menyebut Indonesia sebagai “island of cuisines”, bukan lagi sekedar

sebutan klise “island of spices”. Van Esterik menyadari bukanlah hal mudah

mengupas sejarah makanan di Asia Tenggara. Pasalnya, beragam unsur seperti

lingkungan, bahasa, etnisitas, dan sistem politik berkelindan di dalamnya.29

Hal itu pun kurang lebih sama dengan buku Food Culture in Colonial

Asia: a Taste of Empire yang digarap oleh Cecillia Leong-Salobir (2011). Meski

berlingkup Asia, Leong-Salobir hanya fokus pada tiga negara bekas koloni Inggris

yaitu India, Malaysia, dan Singapura. Buku ini pun sebatas membahas kontribusi

para pelayan/juru masak pribumi Asia dalam pengembangan makanan di ketiga

negara itu sejak 1858 – 1963. Adapun ruang yang dicakup Leong-Salobir adalah

29

Penny van Esterik, Food Culture in Southeast Asia, (London: Greenwood,

2008), hlm. xvi.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

15

rumah tangga kolonial, hotel, dan restoran.30

Beberapa bagian dari buku ini

sebenarnya menyinggung sepintas hal-hal menarik tentang masalah pertanian,

rumah tangga, dan higienitas makanan di Indonesia pada masa kolonial sebagai

perbandingannya.31

Meski begitu, itu hanya disinggung sepintas lalu saja.

Sebenarnya penelitian Leong-Salobir sendiri cukup serupa dengan kasus

studi sejarah makanan dalam konteks penelitian sejarah budaya makan di

Indonesia beberapa tahun belakangan. Sebut saja buku saya sendiri Rijsttafel:

Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial, 1870 – 194232

(2011) dan juga

sebuah tesis dari Gregorius Andika Ariwibowo (2011) Pendidikan Selera:

Perkembangan Budaya Makan di Perkotaan Jawa pada Masa Akhir Kolonial.

Kedua penelitian ini masih mendudukkan makanan sebatas dalam wacana

permukaan, terutama gaya hidup di ruang sosial budaya perkotaan saja.

Maka, untuk meluaskan wacana terkait bagaimana konstruksi rasa dalam

pembentukan makanan di Indonesia yang mula-mula turut ditentukan oleh

perkembangan budidaya, penelitian Susie Protschky, Cultivated Taste: Colonial

Art, Nature and Landscape in the Netherlands Indies (2007) memberi kerangka

berpikir penting. Protschky melihat bagaimana budidaya perkebunan dan agraria

di Hindia Belanda dibangun citranya melalui perspektif seni rupa dan sastra Mooi

30

Cecillia Leong-Salobir, Food Culture in Colonial Asia: a Taste of Empire,

(London: Routledge, 2011), hlm. 2.

31

Ibid, hlm. 57, 69, 70.

32

Buku ini semula adalah tugas akhir (skripsi) saya di Jurusan Ilmu Sejarah

Universitas Padjadjaran yang dipertahankan pada 2006 dengan judul asli:

Rijsttafel: Perkembangan Budaya Makan di Pulau Jawa (1869 – 1942).

Perubahan menjadi “budaya kuliner” dan spasial “di Indonesia” semata-mata

didasari pertimbangan dengan penerbit untuk membuatnya menjadi sebuah bacaan

sejarah yang lebih populer.

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

16

Indië. Kerangka pemikiran ini setidaknya dapat menjadi model bagaimana jika

“cultivated taste” ala Protschky ini dibawa ke dalam permasalahan makanan.

Dalam meneliti perkembangan makanan di Indonesia didapati pula

penelitian yang mengkaji hubungan makanan di Indonesia sebagai identitas

bangsa. Dalam hal ini, ada pewacanaan sejarah kontemporer boga Indonesia yang

dilakukan Michiko Kubo dalam artikelnya The Development of an Indonesian

National Cuisine: a Study of New Movement of Instant Foods and Local Cuisine

(2010). Artikel Kubo ini hanya membahas pengaruh makanan instan dan boga

lokal dalam perkembangan kontemporer boga di Indonesia. Kubo sendiri tidak

melakukan studi sejarah komprehensif dalam penelitiannya tentang makanan di

Indonesia, sehingga hal itu menyisakan pertanyaan baginya tentang seperti apa

dan bagaimana proses pembentukan makanan di Indonesia itu sendiri. Penelitian

Kubo ini setidaknya bisa membantu mengiris fakta-fakta seputar perkembangan

makanan di Indonesia sejak kurun abad ke-19 yang tidak sampai dibahasnya.

Selain itu, persoalan budaya dan sejarah makanan di Indonesia pun masih

banyak dipertanyakan dalam ranah gastronomi, seperti tampak dari dua karya Sri

Owen berjudul Indonesian Regional Food and Cookery (1999) dan Indonesian

Food (2009). Dari dua karya gastronomi berbalut budaya ini, didapati hal menarik

tapi belum disadari oleh Sri terkait kekaguman sekaligus kebingungannya

terhadap buku Mustika Rasa yang disebutnya apakah ini: ‖the first serious

Indonesian cookbook‖ atau ‖regional cookbook‖?33

Sri pun melihat mulai banyak

terbitnya buku-buku masak di Indonesia sebagai hal yang menarik. Dikatakan

menarik, karena fenomena penulisan resep-resep sebenarnya telah menggeser

33

Sri Owen, Indonesian Regional Food & Cookery, (London: Frances Lincoln

1999), hlm. 12.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

17

tradisi pelisanan resep-resep yang berlaku pada abad-abad sebelumnya, termasuk

di lingkungan istana sekalipun.34

Lalu, masalah yang tersekam dan tidak bisa ia

retas adalah: apa sebenarnya motif dan imbas buku masak produk pemerintah

(baca: Departemen Pertanian) itu bagi pencitraan makanan di Indonesia?

Tinjauan pustaka di atas kiranya dapat membantu untuk mewacanakan

penggunaan sumber-sumber primer dalam penelitian ini, di antaranya penelitian

bahan makanan dan buku masak. Karya para ahli sains dan para penulis buku

masak memberikan banyak informasi penting yang mendukung penelitian ini.

E. Kerangka Pemikiran

Beberapa sejarawan makanan telah berusaha menampilkan hubungan

makanan dalam perspektif sejarah global dalam karya mereka.35

Pemikiran yang

secara jelas dan mendalam membahas hubungan itu tertuang dalam tulisan

Raymond Grew, Food and Global History, di mana ia menyatakan:

”... para sejarawan berpikir secara global sebagai hasil dari respons

pengalaman kekinian terkait pandangan baru terhadap: segala kurun masa

lalu, penyelidikan atas hubungan-hubungan global, dan proses perubahan

akibat sejarah global yang mungkin diabaikan... Studi makanan dalam

sejarah global mau tidak mau harus memecahkan masalah periodisasi ini.

Beberapa tema... seperti lintas jarak jauh niaga bahan-bahan makanan...,

respons ekonomi subsisten terhadap perubahan-perubahan cuaca dan

wabah global, penyebaran teknik dan pemeliharaan makanan lintas

masyarakat dan benua (dimulai sejak masa kuna) berkembang luas dalam

sejarah. Manusia di seluruh dunia merawat itu semua menjadi lebih tinggi

dan membuatnya bertahan lebih lama dan itu terkait dengan sejarah global

34

Ibid. 35

Sebut saja beberapa contoh di antaranya: Linda Civitello, Cuisine and Culture:

a History of Food and People, (New Jersey: Wiley, 2008); Felipe Fernández-

Armesto, Near a Thousand Tables; a History of Food, (New York: The Free

Press, 2002); Reay Tannahill, Food in History, (New York: Stein and Day, 1973);

Jeffrey M. Pilcher, Food in World History, (New York: Routledge, 2006), dan

B.W. Higman, How Food Made History, (Oxford: Blackwell, 2012).

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

18

makanan pada masa modern; makanan adalah sebuah unsur penting dalam

relasi-relasi –seperti– ekonomi, kekuasaan, dan agama sebagai bagian dari

sejarah global yang (berlangsung) jauh lebih lampau”.36

Pemikiran Grew sendiri sejalan dengan pemikiran Annales yang melihat

budaya material seperti makanan memiliki relasi dengan pola-pola mentalitas,

sebagaimana tertuang dalam wacana sejarah total Fernand Braudel. Melalui tiga

jilid bukunya Civilisation matérielle, économie et capitalisme, XVe

- XVIIIe

siècle,37

Braudel merumuskan konsep periode sejarah totalnya yang mencakup

unsur: masa yang panjang (longue durée) terkait ruang-ruang geografis, masa

yang sedang (conjoncture) terkait siklus ekonomi, dan masa yang pendek (les

événements) terkait sejarah politik.38

36

―… historians, thinking globally as a result of contemporary experience invites

a new look at all periods of the past, probing for global connections and

recognizing global historical processes of change that may have been

underestimated… The study of food in global history is unlikely to resolve this

issue of periodization. Some themes… such as trade in food stuffs over great

distance…; the response of subsistence economies to global changes in climate

and disease, and the spread across societies and continents of techniques for

producing and preserving food (beginning in ancient times)—extend through

history. That human beings around the world are tending to grow taller and live

longer is related to the global history of food in the modern era, that food is a

crucial element in the relations of economies and empires and religions has been

a part of global history much longer.‖ Raymond Grew, “Food and Global

History”, Raymond Grew (ed.), Food in Global History, (Colorado: Westview,

1999), hlm. 5 – 6. 37

Buku yang ditelaah di sini adalah versi terjemahan bahasa Inggris Civilization

and Capitalism: 15 – 18th

Century, (London: Collins, 1984). Ketiga jilid itu

mencakup: Jilid I The Structure of Everyday Life: The Limits of the Possible; Jilid

II The Wheel of Commerce; dan Jilid III The Perspective of the World.

38

Ringkasan singkat tentang studi sejarah total Braudel di kawasan Mediterania

pada masa kekuasaan Philip II saya peroleh dari buku Christian Delacroix,

François Dosse, dan Patrick Garcia, Histoire et historiens en France depuis 1945,

(Paris : Association pour la diffusion de la pensée Française, 2003), hlm. 28 - 30.

Dalam historiografi Asia Tenggara, studi sejarah total dipraktikkan begitu baik

dan rinci oleh Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 - 1680,

Jilid I: Tanah di Bawah Angin, (Jakarta: Obor 1992) dan Jilid II: Dari Ekspansi

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

19

Konsep sejarah total Braudel sendiri sepintas terkesan meluputkan hal-hal

mikro di dalam sejarah. Akan tetapi, di kalangan sejarawan makanan ada yang

mencoba untuk membaharuinya melalui studi sejarah global dengan memilih

subyek makanan sebagai suatu unsur mikro yang penting untuk dikaji. Alasan

penting untuk dikaji itu sendiri tidak lepas dari pandangan bahwa makanan adalah

salah satu unsur paling melekat dalam sejarah kehidupan sehari-hari manusia.

Hal di atas bisa dirasakan lebih lanjut dalam pemikiran Massimo

Montanari yang mewacanakan hendaknya studi sejarah makanan didudukkan

dalam kerangka hubungan alam dan budaya; alam sebagai konstruksi budaya;

serta bagaimana memahaminya dalam ruang dan waktu.39

Sebagai suatu

komponen alam, tanah adalah ruang hidup yang memuat segala kepentingan

(budaya, sosial, ekonomi, dan politik). Segala kepentingan itu sebenarnya telah

mencerabut kealamian tanah dari akarnya. Marcel Sainclivier40

melalui studinya

mempertanyakan: ”apakah ada makanan alami?” Menurutnya, antitesis antara

”makanan alami” dan ”makanan yang diolah” sebenarnya artifisial. Maksudnya,

bukan hanya faktor alam, tapi budaya pun menjadi faktor penting dalam

memainkan peran mengkonstruksi baik yang ”alami” maupun ”diolah” itu.

hingga Krisis, (Jakarta: Obor 1992); serta di Jawa oleh Denys Lombard, Nusa

Jawa: Silang Budaya, Kajian Sejarah Terpadu (tiga jilid), (Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama, 1996).

39

Massimo Montanari, Food is Culture, (Columbia: Columbia University Press,

2006), hlm. 1 – 18.

40

Marcel Sainclivier, “L‟aliment naturel, un mythe ?”, Économie rurale, N°121,

(1977), hlm. 3.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

20

Penyataan Sainclivier yang sejalan dengan Lévi-Strauss41

dan Montanari42

kiranya

menjadi beralasan jika menyelami konteks masalah makanan di Indonesia.43

Hal lain yang juga mesti dicermati dari konteks perkembangan makanan

(yang diolah) di Indonesia adalah sejak kapan dan bagaimana proses tradisi

melisankan resep beralih ke tulisan? Berkait ini, Walter J. Ong44

dan Mihai

Nadin45

yang menyarikan teorinya tentang pengaruh kelisanan, melek kirografik

(manuskrip) dan melek cetak, mengatakan cukup senada bahwa “tulisan menata

kembali kesadaran”. Distribusi buku masak yang diimbangi kemelekan aksara

telah menata kesadaran manusia dalam memaknai makna makan dan

makanannya. Hal ini setidaknya sejalan dengan pemikiran Montanari dalam

menyajikan proses bagaimana boga ditemu-ciptakan dan dikonstruksi melalui

skemanya yang menarik: fire -> cooking -> kitchen -> cuisine -> civilization46

.

41

Lihat Claude Lévi-Strauss, The Raw and the Cooked (New York: Harper

Colophon, 1975). Apa yang dimaksudkan ”artifisial” oleh Sainclivier, kiranya

menyambung dengan pemikiran Lévi-Strauss dalam Totemism bahwa makanan

bukan hanya ”baik untuk dimakan” (bon à manger) –sebagai sifat alaminya, tapi

juga ”baik untuk dipikirkan” (bon à penser) – sebagai sifatnya ”yang diolah”.

Lihat Claude Lévi-Strauss, Totemism, (Boston: Beacon Press, 1963), hlm. 89.

42

Montanari membuktikan secara khusus dalam satu subbab bukunya bahwa rasa

itu sendiri adalah produk budaya. Montanari, op.cit., hlm. 61 – 66. 43

Istilah ”Tanah Air yang subur makmur” atau ”gemah ripah loh jinawi” yang

bahkan terpancar dalam aliran seni rupa Mooi Indië seringkali diterima dan

dikagumi sebagai hal yang terberi secara alami. Padahal dalam penelitiannya yang

apik, Protschky menyebut di balik semua eksotisme itu berkelindan banyak

modus operandi kekuasaan kolonial. Protschky, op.cit., hlm. 86.

44

Walter J. Ong, Orality and Literacy: the Technologizing of the World, (London:

Routledge, 1989), hlm. 82.

45

Mihai Nadin, The Civilization of Illiteracy, (Dresden: Wuppertal, 1997), hlm.

446 – 447.

46

Montanari, op.cit., hlm. 29 – 34.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

21

Untuk menuju fase cuisine dan civilization itu, Montanari lebih jauh

memahaminya dari imbas ketika makanan dituliskan dan resep-resep masak

dilisankan (written cuisine and oral cooking).47

Montanari mengatakan bahwa

dalam hubungan antara bahasa dan makanan terkandung kode-kode komunikasi

yang mengekspresikan makna-makna simbolik terhadap berbagai macam aspek

kehidupan masyarakat (seperti ekonomi, sosial, politik, agama, etnik, dan

estetik).48

Perkembangan berupa perubahan dan kemunculan jenis-jenis makanan

baru berikut kebiasaan makannya, adalah ekspresi dari berbagai macam hal yang

menghasilkan rasa sebagai suatu hal paling subtil di balik makna makan dan

makanan. Rasa memang lebih sering ditempatkan dalam fungsi biologis; namun

bagi Montanari, sebenarnya ini juga adalah produk budaya yang terbentuk dari

hubungan makanan dengan ruang-ruang geografis49

, bahasa, dan identitas50

.

Hubungan di atas itu sendiri sejalan dengan pemikiran seorang gastronom

kenamaan Prancis Jean Anthelme Brillat-Savarin51

yang merumuskan konsep

”fisiologi rasa” (physiologie du goût). Brillat-Savarin menjadikan makanan

47

Ibid, hlm. 35 – 42.

48

Ibid., hlm. 133.

49

Ibid, hlm. 59 – 82. 50

Ibid, hlm. 91 – 138.

51

Brillat-Savarin (1755-1826) adalah sarjana hukum yang juga menekuni ilmu

kimia dan kedokteran, lalu ia meramu ketiga ilmunya itu untuk merenungi makna

makanan. Baginya, makanan pun punya aturan hukum dan sains yang tidak boleh

diabaikan. Pada akhir 1825 atau dua bulan sebelum ia meninggal, terbit karyanya

Physiologie du gout ou méditations gastronomie transcendante ouvrage

théorique, historique, et à l’ordre du jour, (Paris : Librairie Garnier Frères, 1948).

Karyanya ini begitu terkenal dan dipakai dalam studi makanan di berbagai negara

hingga saat ini. Wujud ”fisiologi rasa” dalam konteks gastronomi Asia Tenggara

dapat dirasakan dari pemikiran Sri Owen dalam bukunya New Wave Asian: a New

Look at Southeast Asian Food, (London: Quadrille, 2002), hlm. 6 – 9.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

22

sebagai sarana merenung bagi para praktisi (sains dan gastronomi) terkait

bagaimana rasa (goût) sebaiknya dikonstruksi. Menurutnya, rasa adalah indra

yang terhubung dengan sensasi kenikmatan di mana tubuh menyadari sensasi itu.

Sebagai perangsang selera, lapar, dan haus, maka rasa adalah dasar yang

menghasilkan bagaimana individu bertumbuh, berkembang, merawat, dan

membenahi kehilangan-kehilangan (dari kebiasaan makan sebelumnya) sebagai

akibat dari perubahan vital. Mengatur tubuh agar tidak makan dengan cara sama –

sebagai pembeda dengan tubuh-tubuh lainnya, menghasilkan kreasi, meragamkan

metode, hingga pengaruhnya dalam menentukan aneka cara pengelolaannya, itu

semua adalah serangkaian dari beroperasinya (fungsi) rasa.52

Wacana fisiologi rasa pun turut memengaruhi pandangan terkait

perubahan kebiasaan makan serta hubungan makanan dengan kesehatan, sains,

dan kesenangan yang menggoda selera. Pemikiran Brillat-Savarin ini berkembang

menggairahkan dalam kancah sejarah makanan di dunia, termasuk terasa pula

pengaruhnya dalam konteks sejarah makanan di Indonesia pada masa kolonial.

Dalam pengolahan makanan, ada aturan-aturan yang telah diturunkan

sejak silam. Namun, makna aturan-aturan itu makin kemari tidak terlalu disadari

atau hanya di bagian permukaan saja yang bisa diketahui dan dipahami.

Aturan-aturan terkait pengolahan rasa dalam makanan sendiri mengandung

intuisi terkait penseleksian bahan-bahan makanan untuk mewujudkan citarasa

52

―Le goût est celui de nos sens qui nous met en relation avec les corps sapides,

au moyen de la sensation qu'ils causent dans l'organe destiné à les apprécier. Le

goût, qui a pour excitateurs l'appétit, la faim et la soif, est la base de plusieurs

opérations dont le résultat est que l'individu croît, se développe, se conserve et

répare les pertes causées par les évaporations vitales. Les corps organisés ne se

nourrissent pas tous de la même manière; l'auteur de la création, également varié

dans ses méthodes et sûr dans ses effets, leur a assigné divers modes de

conservation‖. Brillat-Savarin, op.cit., hlm. 25.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

23

tertentu. Secara biologis/alamiah, manusia mempunyai bekal/bakat universal

dalam mengecap rasa melalui hubungan lidah dengan air liur (saliva)-nya. Namun

sifat universal itu tidak berlaku secara sosial dan budaya sebagai aspek yang lebih

luas dari bekal/bakat biologis itu. Pengaruh sosial dan budaya secara luas

menyentuh aturan moral, perintah, dan norma. Inilah yang membuat sifat rasa

menjadi nisbi, bersinggungan dengan berbagai biner, seperti: berselera – tidak

berselera; enak – tidak enak; halal – haram; tradisional – modern; hingga

ambigunya batas antara boga nasional, boga daerah, dan boga etnik.

Wacana rasa di atas akhirnya membawa masuk makanan ke dalam ruang

identitas. Rachel Slocum53

dan juga Jon D. Holtzman54

menyiratkan bahwa semua

proses yang membuat hewan, vegetasi, atau mineral menjadi dapat dimakan, itu

semua berkait dengan apa yang terjadi kemudian pada tubuh dan tatanan sosial.

Salah satu hubungan yang memuat kelumit masalah adalah makanan dan identitas.

Ketika makanan dipahami dalam sirkulasi kekuasaan, maka diperlukan analisis

dengan kesadaran politis untuk melihat bagaimana misalnya identitas etnik hingga

bangsa itu dikonstruksi atau dibayangkan.55

Hal ini mendukung pemikiran Ian

Cook dan Philip Crang56

yang mengatakan makanan mestinya bukan didudukkan

sebagai artefak kebudayaan, tapi sebagai material dan praktik yang dapat bergeser

53

Slocum, op.cit., hlm. 303-314. 54

Jon D. Holtzman, ”Food and Memory”, Annual Review of Anthropology 35,

(2006), hlm. 361–378.

55

Kata “dibayangkan” ini terinspirasi dari pemikiran Benedict Anderson,

Imagined Communities (Komunitas-Komunitas Terbayang), (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2002). 56

Ian Cook dan Philip Crang, “The World on a Plate: Culinary Culture,

Displacement and Geographical Knowledges,” Journal of Material Culture 1,

(1996), hlm. 131.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

24

(displacement) dan berubah (change) melalui serangkaian proses yaitu, pertama:

invented -> invention, -> innovation, dan kedua constructed -> deconstructed ->

reconstructed. Praktik rasisme politik kolonial yang diberlakukan dalam

”pendidikan hasrat”57

, misalnya, juga menggeser persoalan makna makan dan

makanan di tanah jajahannya. Selain itu, berbagai aspek seperti sistem budidaya,

produksi serta distribusi buku sains, buku masak, dan panduan rumah tangga,

bahkan hingga kegiatan misionarisasi58

, tidak pernah disadari, turut andil pula

menggeser dan mengubah berbagai kebiasaan makan di Indonesia.

F. Metode Penelitian dan Sumber

Langkah heuristik penelitian ini adalah menelusuri sumber-sumber

kepustakaan primer dan sekunder. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia

menjadi lokasi utama penemuan sumber-sumber primer berupa buku, majalah,

surat kabar, dan jurnal. Beberapa arsip terkait informasi seputar lembaga-lembaga

yang menaruh perhatian terhadap riset pangan dilacak di Arsip Nasional Republik

Indonesia di Jakarta serta Lembaga Pustaka Pertanian dan Herbarium di Bogor.

Beberapa sumber studi gastronomi sempat merujuk koleksi bibliotik Institut

57

Ann Stoler memandang ras adalah fiksi dan juga tidak disadari bahwa rasisme

sebagai produk politik kolonial turut membentuk hubungan-hubungan terkait

ruang geografis (spatial), sejarah, dan aspek-aspek hidup keseharian yang

terselubung (invisible). Lihat Ann Stoler, Race and the Education of Desire:

Foucault’s History of Sexuality and the Colonial Order of Things (Durham: Duke

University Press, 1995).

58

Dalam kaitan kasus hubungan makanan dengan agama terbilang menarik,

sebagaimana diteliti Gabriele Weichart, “Same Stuff, Different Meaning… Same

Meaning, Different Stuff? A Story of „Bread‟ and „Wine in Indonesia”,

Anthropological Notebooks 12 (1), (2006). Telaah Weichart terkait fenomena

minuman ”anggur lokal” dan ”roti lokal” di Manado menandakan bahwa

Kristenisasi di Indonesia memang berhasil mengkonversi adab makan masuk ke

dalam milieu Barat. Pembahasan seputar hal ini dibahas dalam Bab II dan Bab III.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

25

Français d‟Indonésie (IFI) di Jakarta. Koleksi Hatta Corner UGM di Perpustakaan

UGM yang di antaranya memiliki koleksi-koleksi tua termasuk jurnal terbitan

berkala BKI dan TNI juga menjadi rujukan. Perpustakaan FIB UGM pun

menyediakan tambahan sumber-sumber yang membantu penelitian ini. Untuk

sebagian jurnal ilmiah kontemporer didapatkan dari layanan online internet

dengan mencantumkan alamat dan waktu pengunduhannya. Selebihnya, sebagian

sumber primer dan sekunder yang dipakai diperoleh dari koleksi pribadi, beberapa

perpustakaan pribadi serta hibah buku-buku yang dikirim oleh beberapa rekan.59

Sumber-sumber yang terkumpul dalam tahap heuristik kemudian diperiksa

data-datanya melalui tahap kritik. Data-data ini kemudian dianalisis dalam tahap

interpretasi hingga menghasilkan fakta-fakta sesuai dengan masalah yang dibahas.

Dalam penelitian ini, penganalisisan masalah perkembangan makanan di

Indonesia menggunakan pendekatan sejarah total. Pendekatan ini ditujukan

sebagai penjelas untuk memahami hubungan kausalitas (aspek politik, ekonomi,

sosial, dan budaya) dalam penelitian sejarah makanan yang memengaruhi

pembentukan mentalitas manusia dalam memaknai arti makan dan makanannya.

Tahap akhir yaitu historiografi. Dalam tahap ini hasil analisis dari fakta-

fakta disusun berdasarkan kerangka dan tujuan dari penelitian ini.

59

Beberapa sumber didapatkan dari keterlibatan saya sebagai kontributor dalam

proyek penulisan buku Indonesian Food (2009) bersama Sri Owen (gastronom

Inggris) dan proyek buku bertema Peranakan Cuisine (masih berjalan) karya Siu

Ling Koo (gastronom Belanda). Buku-buku kiriman Sri Owen (beberapa di

antaranya Indonesia Regional Food and Cookery [1999], New Wave Asian: a New

Look at Southeast Asian Food [2002], dan Indonesian Food [2009]); dari Siu Ling

Koo (beberapa di antaranya Indisch Kookboek [1872] dan Mustika Rasa [1967]);

serta Gani A. Jaelani yang bermurah hati di tengah kesibukan studi doktoral di

Paris untuk memberikan beberapa buku studi sejarah makanan dan digitalisasi

beberapa sumber penelitian bahan makanan pada paruh pertama abad ke-20.

Semua itu sungguh membantu dalam memetakan masalah penelitian sejarah

makanan di Indonesia ini. Saya sangat berterima kasih untuk ketiganya.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

26

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini terbagi dalam delapan bab. Terkait latar penelitian ini dapat

dikerjakan (workable), tersedianya sumber (available) dan dapat diolah

(manageable), serta dapat dihasilkan suatu temuan dari masalah yang diteliti

(obtainable) tertuang dalam bab I.

Adapun Bab II terdiri dari dua bagian. Pertama membahas secara umum

latar belakang bagaimana perkembangan makanan pada masa kuna hingga

masuknya berbagai pengaruh asing pada abad ke-16. Ini akan terkait dengan

bagian dua yang membahas dinamika makna makan dan makanan dilihat dari

perubahan lingkungan alam dan budaya hingga akhir abad ke-18.

Bab III menekankan pembahasan pada abad ke-19 yang terbagi menjadi

tiga bagian. Bagian pertama mengulas pembudidayaan bahan makanan. Adapun

bagian kedua membahas pembentukan dan pertumbuhan selera makan baru.

Bahasan kemudian dilanjutkan ke Bab IV yang membahas seputar faktor

pendorong perubahan selera makan pada paruh kedua abad ke-19. Bab ini terdiri

dari dua bagian. Bagian pertama membahas awal kemunculan buku masak.

Adapun bagian kedua membahas saintifikasi bahan-bahan makanan di Hindia.

Pembahasan pengembangan makanan masa kolonial sejak 1900 hingga

1940 dibahas dalam Bab V. Kaitan antara masalah sains dan gastronomi hingga

buku-buku masak dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama membahas

perkembangan aspek saintifikasi makanan hingga 1930; sedangkan bagian kedua

membahas perkembangan aspek gastronominya hingga 1940.

Adapun Bab VI membahas perkembangan makanan pada masa-masa sulit

yaitu sejak 1930 hingga 1950 yang dibagi ke dalam tiga bagian. Bagian pertama

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakangetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/74573/potongan/S2-2014... · gulai, rawon, dan sebagainya… Sebenarnya masakan daerah kita banyak ... 6 Makanan

27

masa Malaise (1930 – 1942); bagian kedua masa Jepang (1942 – 1945); dan

bagian ketiga masa awal Kemerdekaan (1945 – 1950).

Selanjutnya Bab VII membahas perkembangan makanan pada masa pasca

kolonial. Bagian pertama melihat proses dan usaha pembentukan citra makanan

Indonesia; dilanjutkan bagian kedua yang mengulas seputar perkembangan

pangan dan penelitian makanan hingga tahun 1960. Bagian ketiga menyorot

proyek pengerjaan hingga terbitnya buku masakan nasional pertama di Indonesia,

Mustika Rasa (1960 – 1967).

Selepas uraian dari Bab I hingga VII, kesimpulan penelitian ini tertuang

dalam bab VIII. Bab ini menjawab pertanyaan penelitian yang sebelumnya

dirumuskan dalam Bab I.